Anda di halaman 1dari 6

POLICY BRIEF

“Kerugian Ekonomi dan Sosial Akibat Kebakaran Lahan


Gambut”

Zainal Imron Hidayat


NIM 16950179

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada
Magister Ilmu Lingkungan Institut Teknologi Yogyakarta

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2017
POLICY BRIEF
“Kerugian Ekonomi dan Sosial Akibat Kebakaran Lahan
Gambut”

A. Pengantar
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat, salah satunya di bidang
perkebunan, mendorong tingginya alih konversi lahan menjadi kawasan perkebunan. Keterbatasan
lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan
gambut adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena
relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. Indonesia
yang merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, memiliki lahan gambut
terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan
dan Papua. Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut,
kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian.
Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak
untuk pertanian. (Agus dan Subiksa, 2008).

B. Permasalahan Lahan Gambut


Kebakaran hutan di Indonesia hampir terjadi setiap tahun dimana dalam skala luas telah
terjadi sejak tahun 1982/1983 yang telah memusnahkan 2,4-3,6 juta ha hutan di Kalimantan Timur.
Sejak itu kebakaran hutan terjadi terus dengan interval waktu tahun 1987, 1991, 1994, 1997/1998,
2000, 2002, 2005, 2006 dan 2013. Peristiwa kebakaran 95% selalu dipicu oleh adanya pembakaran
awal dalam aktivitas manusia. Salah satu dampak kerugian ekonomi yang paling menarik perhatian
semua kalangan adalah akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 yang diperkirakan sebesar
9,3 milyar US dollar. Kebakaran tersebut telah menyebabkan lahan terbakar sekitar 9,8 juta ha yang
tersebar di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya. Sebagian dari kebakaran terjadi di
hutan rawa gambut. Api kebakaran di lahan gambut memiliki karakteristik selain dapat menghasilkan
api tajuk dan permukaan, juga dapat menimbulkan api bawah tanah gambut yang menghasilkan asap
tebal sehingga banyak merugikan berbagai pihak. Walaupun kebakaran hutan ini sudah sering terjadi,
namun selalu saja terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Seolah-olah tidak ada upaya penyelesaian dari
permasalahan yang berulang-ulang ini. (Agus dan Subiksa, 2008).

C. Kebakaran Lahan Gambut


Pembakaran dalam pengertian ini didefiniskan sebagai tindakan kesengajaan membakar yang
dilakukan masyarakat dalam mengelola lahan untuk kegiatan pertanian / perladangan mereka.
Sedangkan kebakaran didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas,
tidak tertekan yang mengkonsumsi bahan bakar seperti : serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu
mati, tiang, gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon segar (Dharmawan, 2003). Kebakaran lahan
menurut Perda Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998, didefinisikan sebagai “suatu keadaan
dimana lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerugian obyek pengembangan ilmu pengetahuan,
ekonomi dan atau ekologis/ lingkungan hidup”.
Pembukaan lahan dengan cara bakar sampai saat ini masih terus dilakukan. Kegiatan
pembukaan lahan yang kurang bijaksana, yang dilakukan masyarakat lebih dikarenakan kondisi sosial
ekonomi dan adanya anggapan bahwa abu sisa pembakaran bisa menjadi pupuk. Disamping itu belum
adanya teknologi pembukaan lahan yang murah, mudah dan secepat api juga masyarakat melakukan
pembakaran ketika mempersiapkan lahannya untuk usaha pertanian atau perkebunan. Selain itu, adanya
perusahaan Hutan Tanaman Industri dan Perkebunan yang memanfaatkan masyarakat secara
sembunyi-sembunyi melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, agar biaya pembukaan lahan
dapat ditekan, juga telah memicu terjadinya kebakaran lahan dan kebun. Atas hal tersebut diatas pada
dasarnya masyarakat petani/peladang, pengusaha hutan tanaman industri dan perkebunan besar
meningkatkan resiko kebakaran hutan dan lahan dan dampak buruk yang diakibatkannya termasuk
terjadinya bencana asap. Kebakaran yang tidak terkendali menyebabkan api menjalar kemana-mana,
terlebih lagi terjadi pada lahan gambut. Kebakaran lahan gambut lebih berbahaya dibandingkan dengan
kebakaran pada lahan kering (tanah mineral). Selain kebakaran vegetasi dipermukaan, lapisan gambut
juga terbakar dan bertahan lama, sehingga menghasilkan asap tebal akibat pembakaran yang tidak
sempurna.
Limin (2006) menyatakan bahwa kedalaman lapisan gambut terbakar rata-rata 22,03 cm
(variasi antara 0 – 42,3 cm) namun pada titik tertentu kebakaran lapisan mencapai 100 cm. Oleh karena
itu pemadaman kebakaran pada lahan gambut sangat sulit dan memerlukan banyak air. Untuk
memadamkan total seluas satu meter persegi lahan gambut diperlukan air sebanyak 200 – 400 liter.
Terdapat sembilan ciri kebakaran pada lahan gambut : (1) kebakaran vegetasi di atas lapisan gambut,
(2) lapisan gambut terbakar tergantung kedalaman air tanah, (3) kebakaran pada lapisan gambut sulit
dipadamkan dan bertahan lama, (4) kebakaran menghasilkan asap tebal karena terjadi pembakaran tak
sempurna, (5) api dapat merambat melalui lapisan bawah, walaupun vegetasi di atasnya belum terbakar
atau masih segar, (6) banyak pohon tumbang dan pohon mati tetapi masih berdiri tegak, (7) terdapat
vegetasi yang mudah terbakar, (8) bekas kebakaran gambut ditutupi arang, dan (9) penyemprotan air
pada gambut yang sedang terbakar tidak hingga padam total, akan menyebabkan produk asap semakin
tebal.
Dampak asap berikut unsur-unsur penyusunnya terhadap lingkungan dapat bervariasi mulai
dari yang bersifat lokal, yaitu menghalangi pemandangan sampai dengan yang memungkinkan
terjadinya pemanasan iklim global. Dampak buruk yang terjadi akibat kebakaran lahan meliputi
berbagai sektor kehidupan, mulai dari gangguan kehidupan sehari-hari masyarakat, hambatan
transportasi, kerusakan ekologis, penurunan tingkat kunjungan pariwisata, dampak politik, ekonomi
sampai pada gangguan terhadap kesehatan. Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan
gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang sengaja melakukan pembakaran ataupun akibat kelalaian
dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan
terjadinya kebakaran, seperti gejala El Nino, kondisi fisik gambut yang terdegradasi dan rendahnya
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut :
1) Pembakaran vegetasi. Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran
vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada saat kegiatan, misalnya dalam
pembukaan areal HTI dan perkebunan serta penyiapan lahan pertanian oleh masyarakat.
2) Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam. Kebakaran yang diseabkanoleh api yang
berasal dari aktivitas manusia selama pemanfaatan sumber daya alam, misalnya pembakaran
semak belukar yang menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam serta
pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar danpencari ikan di dalam hutan.
Keteledoran mereka dalam memadamkan api dapat menimbulkan kebakaran.
3) Penguasaan lahan. pi sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak
atas lahan.

D. Dampak Kebakaran Lahan Gambut


Kebakaran lahan gambut yang selalu berulang-ulang dan seolah-olah tanpa ada penyelesaiannya ini
tentu akan merugikan manusia pada khususnya. Adapun dampak-dampak dari kebakaran lahan gambut
ini dapat dikategorikan sebagai berikut :
1) Dampak Sosial Ekonomi
 Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan
hidupnya pada hutan (berladang, beternak, berburu/ menangkap ikan).
 Penurunan produksi kayu.
 Terganggunya kegiatan transportasi
2) Dampak Lingkungan
 Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air
tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak).
 Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan
fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium,
tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik.
 Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati
akibat kebakaran.
 Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu
(benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar) sehingga akan
menurunkan keanekaragaman hayati.
 Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam
tanah, mengurangi transportasi vegetasi, menurunkan kelembabab tanah, dan
meningkatkan jumlah air yang mengalir ke permukaan (surface run-off). Kondisi
demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya
sedimentasi dan perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman
ikan di perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan
jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat.
 Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi
emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebaga gas rumah kaca, karbondioksida
berdampak pada pemanasan global. berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997
menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5
juta ton partikel debu.
3) Dampak Kesehatan
Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit
mata dan batuk akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya
kualitas air, sehingga menjadi kurang layak untuk diminum.

E. Rekomendasi
1) Pembuatan Perda Larangan Pembukaan Lahan dengan Membakar
Indonesia merupakan negara hukum yang didasarkan pada undang-undang dan peraturan yang
berlaku. Sudah barang tentu setiap upaya dalam penegakan hukum harus didasarkan pada undang-
undang dan peraturan yang berlaku. Memang UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup sudah memuat aturan-aturan serta sanksi bagi bagi perusak
lingkungan. Namun hal ini perlu diperkuat dengan adanya Peraturan Daerah bagi daerah-daerah
yang rawan terjadi kebakaran. Pembuatan dan penetapan peraturan daerah mengenai larangan
pembukaan lahan dengan membakar ini akan menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam
menangani permasalahan kebakaran lahan ini.
2) Peninjauan Kembali Pemberian Izin Pemanfaatan Lahan Gambut sebagai Perkebunan
Lahan gambut merupakan lahan yang sangat potensial dan kaya akan keanekaragamanhayati.
Pembukaan lahan gambut sebagai perkebunan akan semakin mempercepat degradasi lingkungan
di lahan gambut. Pemberian izin di lahan gambut dapat saja diberikan, namun harus dilakukan
kajian evaluasi lingkungan terlebih dahulu. Jika keuntungan yang didapat dari pembukaan lahan
gambut lebih tinggi dari kerusakan yang akan terjadi akibat dari pembukaan lahan gambut
tersebut, maka rekomendasi izin selayaknya tidak dikeluarkan.
3) Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Menjaga dan Pemadaman Kebakaran
Masyarakat lokal merupakan objek terkena dampak dari kebakaran lahan gambut dan mereka
yang berada paling dekat dengan lokasi lahan gambut. Sehingga hendaknya pemerintah
memberikan dorongan kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga dan
mencegah kebakaran lahan gambut. Pemerintah dapat membentuk tim penanggulangan bencana
kebakaran lahan gambut yang dididik dan dilatih serta dilengkapi dengan peralatan. Sehingga
seandainya terjadi kebakaran lahan, masyarakat dapat segera bertindak untuk mencegah perluasan
areal kebakaran.
4) Memberikan insentif / disinsentif bagi Perusahaan atau Masyarakat Lokal yang dapat Menjaga
Lahannya dari Kebakaran
Dengan adanya insentif maka perusahaan maupun masyarakat akan memperoleh manfaat dari
partisipasi aktif mereka dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran yaitu bagi
perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka. Insentif kepada masyarakat dapat diberikan dalam
bentuk pengembangan produk-produk alternatif yang dapat dihasilkan masyarakat (misal: produk
kerajinan rotan, pembuatan briket arang dan kompos) serta pengembangan kegiatan-kegiatan
ekonomi yang ramah lingkungan (misal: budidaya ikan dalam kolam “beje” dengan menggunakan
parit/kanal yang ditabat dan sekaligus berfungsi sebagai sekat bakar). Insentif kepada perusahaan
dapat berupa pengurangan pajak ataupun dengan pemberian award.

Daftar Pustaka
Agus, F. Dan Subiksa, I.G.M. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai
Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Agus, F. 2009. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut. Prosiding Seminar Dies
Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31 Januari 2009, Malang.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
Gubernur Kalimantan Barat. 1998. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan. Sekretariat Daerah Provinsi
Kalimantan Barat. Pontianak.
Limin, Suwiti H. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut dan Permasalahannya. Makalah Workshop Gambut dengan
Tema : Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pertanian, Tepatkah? Jakarta 22 November 2006.
Sarwani, M. dan IPG. Widjaja Adhi. 1994. Penyusutan lahan gambut dan dampaknya terhadap produktivitas
lahan pertanian di sekitarnya. Kasus Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar
Nasional 25 Tahun Pemanfaatan Lahan Gambut dan Pengembangan Kawasan Pasang Surut.
Jakarta, 14-15 Desember 1994.
Sunanto. 2008. Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan danPenanggulangan Kebakaran Lahan (Studi Kasus
Kelompok Peduli Api di Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan
Barat). Tesis. Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. Semarang. (Tidak diterbitkan)
Parish, F., A. Sirin, D. Charman, H. Joosten, T. Minayeva, M. Silvius, and L. Stringer (Eds.). 2007. Assessment
on Peatlands, Biodiversity and Climate Change: Main Report. Global Environment Centre,
Kuala Lumpur and Wetlands International, Wageningen.
Adinugroho, W.C. dan Suryadiputra, I. Kebakaran Hutan dan Lahan. Wetlands International – Indonesia
Programe. Bogor. www.wetlands.or.id.
Presiden Republik Indonesia. 1990. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.
WWF. 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emision in Riau, Sumatra, Indonesia:
one Indonesian propinve’s forest and peat soil carbon loss over a quarter century and it’s plans
for the future. WWF Indonesia Technical Report. www.wwf.or.id.

Anda mungkin juga menyukai