Anda di halaman 1dari 20

Terjadinya Krisis Multidimensional

PERKEMBANGAN MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA REFORMASI

Pernahkah Anda melihat orang menyampaikan pendapat dalam suatu rapat? Penyampaian pendapat
tersebut merupakan salah satu ciri dari demokrasi. Penyampaian pendapat dapat dilakukan dalam
berbagai bentuk, baik secara lisan maupun tulisan. Pernahkah Anda melihat orang berdemonstrasi? Jika
pernah, di mana Anda melihat? Secara langsung atau melihat di televisi? Perlu diingat, meskipun
demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian aspirasi, tetapi tidak boleh dilakukan secara
anarkis. Demonstrasi hams dilakukan secara damai agar tidak merugikan orang lain dan pemerintah.
Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi demokrasi. Hal itu karena Indonesia
merupakan salah satu negara demokratis. Terbukti dengan adanya kebebasan pers, kebebasan
berpendapat, keberadaan partai politik, dan pemilu.

A. Terjadinya Krisis Multidimensional


Krisis multidimensional merupakan gabungan dari berbagai, krisis. Krisis-krisis tersebut antara lain
ekonomi, sosial budaya, agama, kepercayaan, moral, dan sebagainya. Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada tahun 1997 membuat terjadinya krisis multidimensional. Banyak terjadi kerusuhan,
pembakaran, penjarahan, pembunuhan, dan sebagainya. Peristiwa tersebut membuat stabilitas dalam
negeri bangsa Indonesia menjadi kacau. Berikut ini beberapa krisis multidimensional yang terjadi di
Indonesia pada tahun 1997.

1. Krisis Politik
Setahun sebelum pemilihan umum direncanakan pada bulan Mei 1997, kehidupan politik Indonesia
mulai memanas. Pemerintahan yang didukung oleh Golkar (Golongan Karya), berusaha
mempertahankan kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima kali pemilihan umum sebelumnya.
Di lain pihak, tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru oleh masyarakat makin berkembang.

Setahun sebelum pemilihan umum direncanakan pada bulan Mei 1997, kehidupan politik Indonesia
mulai memanas. Pemerintahan yang didukung oleh Golkar (Golongan Karya), berusaha
mempertahankan kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima kali pemilihan umum sebelumnya.
Di lain pihak, tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru oleh masyarakat makin berkembang.

Pemerintahan Orde Baru dianggap bersikap otoriter dan tertutup dalam berpolitik nasional. Kekuatan
partai Golkar dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru untuk mengamankan kekuasaanny.a. Dua
partai politik lainnya, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
dikendalikan oleh pemerintah. Akibatnya peran kontrol politik dua partai tersebut terhadap kebijakan
pemerintah tidak berfungsi sama sekali. Pemerintahan Orde Baru selalu melakukan intervensi terhadap
kehidupan internal partai politik. Intervensi tersebut dilakukan untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal
ini diperkokoh dengan keluarnya lima paket undang-undang, yaitu:
a. UU No. 1/1985 tentang Pemilihan Umum;
b. UU No. 2/1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenag DPR/MPR;
c. UU No. 3/1985 tentang Partai Politik dan Golongan karya;
d. UU No. 4/1985 tentang Referendum;
e. UU No. 5/1985 tentang Organisasi Massa.

Sikap pemerintah Orde Baru yang otoriter, tertutup, dan tidak demokratis serta merebaknya KKN
menimbulkan krisis kepercayaan di dalam masyarakat. Gejala ini mulai tampak dalam pemilu 1992 yang
ditandai dengan suara Golkar berkurang cukup drastis. Sejak tahun 1996, ketidakpuasan terhadap
pemerintah Orde Baru mulai muncul. Munculnya tokoh vokal seperti Amien Rais serta lahirnya gerakan
mahasiswa makin memperbesar keberanian masyarakat. Masyarakat mulai berani melakukan kritik
tajam terhadap pemerintahan Orde Baru. Kritik tersebut antara lain mengenai masalah dwifungsi ABRI,
praktik KKN, pelanggaran HAM, pratik monopoli, dan lima paket Undang-Undang Politik.

Setelah pemilihan umum 1997, rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah Orde Baru.
Akibat rekayasa tersebut, Pasal 2 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pasal 2
UUD 1945 berbunyi "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat". Namun dalam kenyataanya, kedaulatan ada di tangan sekelompok orang
tertentu. Anggota MPR sudah diatur dan direkayasa. Sebagian besar anggota MPR diangkat berdasarkan
ikatan kekeluargaan (nepotisme). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila anggota DPR/MPR terdiri
atas para istri, anak, dan kerabat dekat para pejabat negara.

Kabinet Pembangunan VII dibentuk setelah Sidang Umum MPR bulan Malet 1998. Kabinet ini dianggap
masih membawa nilai-niali korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Berbagai tekanan terhadap
kepemimpinan Presiden Soeharto makin rneluas. Tekanan tersebut dilakukan oleh para mahasiswa dan
kaum intelektual sejak bulan April 1998.

2. Krisis Moneter
Pada awal Juli 1997, Negara Thailand dilanda krisis moneter. Krisis ini memengartihi nilai tukar mata
uang negara-negara di Asia, seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Akibatnya nilai tukar rupiah
dengan dolar menurun drastis.

Nilai rupiah yang semula berada pada level Rp4.850/dollar AS mengalami penurunan nilai pada tahun
1997. Pada bulan Januari 1998, penurunan nilai rupiah mencapai Rp17.000/dollar AS. Nilai mata uang
rupiah mengalami depresiasi (penurunan nilai) lebih dari 80 persen. Hal ini mengakibatkan harga-harga
barang kebutuhan pokok menjadi sangat tinggi. Penurunan nilai rupiah juga mengakibatkan nilai ekspor
menjadi merosot. Akibatnya devisa negara mengalami penurunan yang luar biasa.

Total utang luar negeri negara per Maret 1998 mencapai 138 milyar dollar AS. Sekitar 72,5 milyar
dollar AS adalah utang swasta dan dua pertiganya merupakan jangka pendek. Sebanyak 20 milyar dollar
AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar
AS. Keadaan ini akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang. Merosotnya nilai tukar
rupiah juga disebabkan oleh reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/1999 yang diumumkan 6 Januari
1998. Angka-angka RAPBN dinilai tidak realistis.

Merosotnya nilai mata uang rupiah memicu keadaan panik tentang akan habisnya persediaan bahan
makanan sehari-hari. Presiden Soeharto akhirnya meminta bantuan sarana penyelamatan kepada
International Monetary Fund (IMF) berjumlah US$43 miliar. Sudah tepatkah langkah Presiden Soeharto
meminta bantuan kepada IMF untuk mengatasi krisis ekonomi pada saat itu?. Perjanjian dengan IMF
dilakukan pada bulan Oktober 1997. Akibat perjanjian tersebut memaksa pemerintah Indonesia harus
melakukan pembaruan-pembaruan kebijakan. Di antaranya, penghentian subsidi dan penutupan 16
bank swasta. Usaha ini ternyata tidak membawa suatu pemecahan masalah, tetapi justru menimbulkan
masalah barn.

Di tengah kondisi yang tidak menentu, Presiden Soeharto justru mengeluarkan pernyataan bahwa paket
IMF yang ditandatanganinya tersebut menjurus pada ekonomi liberal. Hal ini menyiratkan bahwa
pemerintah Indonesia tidak akan melaksanakan perjanjian dengan IMF. Perjanjian tersebut berisi 50
butir kesepakatan. Situasi tarikmenarik antara pemerintah dan IMF menyebabkan krisis ekonomi di
Indonesia makin memburuk.

3. Krisis Ekonomi
Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia, khususnya
Asia Tenggara. Krisis moneter yang berkepanjangan, akhirnya mengarah pada krisis ekonomi di
Indonesia. Krisis ekonomi tersebut ditandai dengan:
a. kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah,
b. pemerintah melikuidasi enam belas bank bermasalah pada akhir 1997,
c. pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi empat puluh
bank bermasalah lainnya,
d. perusahaan milik negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang telah
jatuh tempo,
e. angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan
efisiensi atau menghentikan kegiatannya sama sekali, dan
f. persediaan sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya harga-
harga barang naik tidak terkendali dan hal itu berarti biaya hidup juga makin tinggi.

4. Krisis Sosial
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang tidak mampu mengatasi krisis ekonomi
mendorong perilaku negatif dari masyarakat. Sepanjang tahun 1996, telah terjadi pertikaian sosial dan
politik dalam kehidupan masyarakat. Pada bulan Oktober 1996 terjadi pertikaian di Situbondo (Jatim).
Bulan Desember 1996 terjadi pertikaian di Tasikmalaya (Jabar) dan Sanggau Ledo yang meluas ke
Singkawang dan Pontianak (Kalbar). Ketegangan politik terus berlanjut sampai menjelang pemilu tahun
1997. Ketegangan tersebut berubah menjadi konflik antaretnik dan agama. Pada bulan Maret 1997,
terjadi konflik di Pekalongan (Jawa Tengah).

Saat krisis ekonomi makin dalam, muncul gangguan-gangguan sosial di masyarakat. Pada bulan-bulan
pertama tahun 1998, terjadi kerusuhan-kerusuhan anti-Cina di sejumlah kota di Indonesia. Kelompok
Cina/Tionghoa merupakan sasaran kemarahan masyarakat. Hal itu karena kelompok Cina/Tionghoa
mendominasi perekonomian di Indonesia. Badai krisis ekonomi makin menjalar dalam bentuk gejolak-
gejolak non-ekonomi. Badai ekonomi membawa pengaruh terhadap proses suatu perubahan
selanjutnya.

5. Krisis Hukum
Sistem peradilan pada masa Orde Baru tidak dapat dijadikan barometer mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bersamaan dengan krisis moneter,
ekonomi, dan politik, juga terjadi krisis di bidang hukum (peradilan).

Krisis hukum pada masa Orde Baru juga tercermin dari berbagai praktik.pelanggaran HAM. Pelanggaran
HAM tersebut seperti pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, penumpasan Organisasi
Papua Merdeka (OPM) di Papua, terjadinya kasus Marsinah, dan penculikan aktivis mahasiswa
reformasi. Kasus pelanggaran HAM antara lain berupa pembunuhan, penculikan, penyiksaan, dan
penghilangan secara paksa. Pelanggaran tersebut merupakan dampak pendekatan keamanan yang
dilakukan ABRI dalam menyelesaikan masalah-masalah pembangunan.

PERKEMBANGAN MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA REFORMAS

REFORMASI YANG DAPAT MEMPERBAIKI NASIB BANGSA DAN MENGANGKAT HARKAT MARTABAT
BANGSA

Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan
kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demo-kratis
berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban
atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial
merupakan faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah
menjadi salah satu indikator yang menentukan. Artinya, reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak
boleh ditawar-tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya
gerakan tersebut. Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian
kepemimpinan nasional sebagai langkah awal. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat
memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Semua itu merupakan jalan
menuju terwujudnya kehidupan yang aman, tenteram, dan damai. Rakyat tidak mempermasalahkan
siapa yang akan pemimpin nasional, yang penting kehidupan yang adil dalam kemakmuran dan makmur
dalam keadilan dapat segera terwujud (cukup pangan, sandang, dan papan). Namun demikian, rakyat
Indonesia mengharapkan agar orang yang terpilih menjadi pemimpin nasional adalah orang yang peduli
terhadap kesulitan masyarakat kecil dan krisis sosial.

Reformasi di bagi dalam 3 bentuk :

1. Reformasi Prosedural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pada tataran normatif atau
aturan perundang-undangan dari yang berbentuk otoriter menuju aturan demokratis. Undang-
Undang yang mengatur bidang politik harus menjamin adanya ruang kebebasan bagi masyarakat
untuk melakukan aktifitas politik. Undang- Undang yang mengatur bidang sosial budaya harus
memberikan kesempatan masyarakat untuk membentuk kelompok sosial sebagai ekspresi
kolektif dari identitas masing- masing. Undang-undang yang mengatur bidang ekonomi harus
melindungi kepentingan masyarakat umum (ekonomi kerakyatan) bukan pengusaha dan
penguasa. Begitulah kira- kira gambaran umum arah reformasi prosedural. Pada konteks ini,
hemat penulis , Indonesia dapat dikatakan telah menjalankan reformasi prosedural itu. Pasca
tahun 1998, peraturan perundang- undangan telah banyak dirubah bahkan peraturan yang
mendasari berdirinya Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sudah empat kali
dilakukan perubahan (amandemen).

Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah yang dinilai sentralistik
telah dirubah menjadi Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan dirubah lagi menjadi Undang-undang No 32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang menjunjung tinggi asas demokrasi yaitu dengan adanya
desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pembahasan
perubahan kesemua undang-undang tidak mungkin

1. Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah yang dinilai


sentralistik telah dirubah menjadi Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan dirubah lagi menjadi
Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang menjunjung tinggi asas
demokrasi yaitu dengan adanya desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah. Pembahasan perubahan kesemua undang-undang tidak mungkin
dibahas pada tulisan ini. Setidaknya dalam era reformasi ini secara prosedural terbersit harapan
adanya repositioning pola relasi antara masyarakat dan negara, seperti yang dicatat oleh
Lukman Hakim dalam bukunya yang berjudul Revolusi Sistemik (2003:196) di era reformasi,
negara telah memberi kesempatan seluas mungkin kepada rakyat untuk melakukan usaha-
usaha produktif guna memperkuat posisi tawarnya terhadap negara.Pertanyaannya, rakyat yang
mana yang dapat merasakan reformasi prosedural itu? Rakyat, menurut Gramsci ada tiga model
yakni rakyat kapital, rakyat politik kolektif, dan rakyat proletar. Hemat penulis, selama ini
reformasi prosedural hanya dinikmati oleh rakyat kapital (konglomerat) dan rakyat politik
kolektif (Parpol,LSM). Sedangkan rakyat proletar (masyarakat tani dan buruh) hanya menjadi
penonton, objek politik, dan bahkan seringkali di eksploitasi oleh politikus, pengusaha, dan
penguasa.
2. Reformasi Struktural, adalah tuntutan perubahan institusional negara dari birokratik menuju
birokrasi. Birokratik adalah lembaga negara yang hirarkis, sentralistik dan otoriter. Birokrasi
adalah lembaga negara yang responsif, penegak keadilan, transparantif, dan demokratis yang
menegakkan istilah-istilah suport system reformasi yang diuaraikan diawal tulisan ini.
Terbentuknya sejumlah lembaga non struktural (komisi) menandakan Indonesia telah masuk
pada reformasi struktural. Komisi adalah Lembaga ekstra struktural yang memiliki fungsi
pengawasan, mengandung unsur pelaksanaan atau bersentuhan langsung dengan masyarakat
atau pihak selain instansi pemerintah (lapis primary), biasanya anggota terdiri dari masyarakat
atau profesional dan kedudukan sekretariat tidak menempel dengan instansi pemerintah
konvensional. Pasca gerakan reformasi 1998 hingga saat ini lembaga non struktural berjumlah
12 komisi, yakni: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Hukum Nasional,
Komisi Ombudsman, Komisi Nasional HAM, Komisi Kepolisian Negara, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Nasional, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, Komisi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Kejaksaan.
Lembaga non struktural tersebut memiliki kewenangan, yakni: meminta bantuan, melakukan
kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat atau institusi terkait, melakukan pemeriksaan
(investigasi), mengajukan pernyataan pendapat, melakukan penyuluhan, melakukan kerjasama
dengan perseorangan, LSM, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah, Memonitor dan mengawasi
sesuai dengan bidang tugas, Menyusun dan menyampaikan laporan rutin dan insidentil,
Meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota. Pada umumnya, komisi-komisi tersebut
memiliki kewenangan untuk menegakkan keadilan dan membantu masyarakat untuk
memonitoring, membina, mengawasi, dan menyelidiki proses kerja lembaga negara,
Presiden,MA,MK,DPR,DPD, dan seluruh jajaran birokrasi dibawahnya agar menjalankan tugas
dan fungsinya dengan baik sehingga terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (clean and
good governance) yaitu birokrasi yang sanggup menempatkan dirinya sebagai pelayan
masyarakat.

3. Reformasi Kultural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pola pikir, cara pandang, dan
budaya seluruh elemen bangsa untuk menerima segala perubahan menuju bangsa yang lebih
baik. Reformasi kultural merupakan kata kunci untuk mewujudkan agenda reformasi prosedural
dan struktural yang dijelaskan di atas. Tanpa adanya reformasi kultural, reformasi prosedural
dan struktural hanyalah sebuah simbol yang tidak memiliki makna apa-apa. Diandaikan sebuah
komputer, reformasi prosedural dan kultural adalah hadwernya, reformasi kultural adalah
sofwernya. Hadwer tanpa sofwer itu bukan dikatakan komputer yang baik.

Sebab-sebab Lahirnya Reformasi

Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupa-kan faktor atau penyebab utama
lahirnya gerakan reformasi. Namun, persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang
mem-pengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum.
Pemerintahan orde baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan
konsekuen dalam melak-sanakan cita-cita orde baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966, orde baru
bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Masih ingatkah kamu akan pengertian orde baru?

Orde baru adalah tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan
pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan orde baru banyak melakukan penyimpangan terhadap
nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan
rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan
kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu telah melahirkan krisis multidimensional yang menjadi
penyebab umum lahirnya gerakan reformasi, seperti:

1. Krisis politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik
pemerintahan orde baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan orde baru selalu
dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebe-narnya terjadi
adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya,
demokrasi yang dilaksa-nakan pemerintahan orde baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan
demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk
rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa.

Pemerintahan orde baru selalu melakukan intervensi terhadap ke-hidupan politik. Misalnya, ketika
Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai,
sedangkan pemerintahan Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai ketua PDI. Keja-dian itu
mengakibatkan keadaan politik dalam negeri mulai memanas. Namun, pemerintahan orde baru yang
didukung Golongan Karya (Golkar) merasa tidak bersalah. Keadaan itu sengaja direkayasa oleh
pemerintah dalam rangka memenangkan pemilihan umum secara mutlak seperti tahun-tahun
sebelumnya.

Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah orde baru sehingga pasal 2 UUD 1945 tidak
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pasal 2 UUD 1945 berbunyi bahwa: 'Kedaulatan ada di
tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat'. Namun dalam
kenyataannya, kedaulatan ada di tangan seke-lompok orang tertentu. Anggota MPR sudah diatur dan
direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan
(nepotisme). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak,
dan kerabat dekat para pejabat negara.

Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya masya-rakat terhadap institusi pemerintah,
MPR, dan DPR. Ketidakpercayaan itulah yang menyebabkan lahirnya gerakan reformasi yang dipelopori
para mahasiswa dan didukung oleh para dosen maupun kaum cendekia-wan. Mereka menuntut agar
segera dilakukan pergantian presiden, reshuffle kabinet, menggelar Sidang Istimewa MPR, dan
melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Gerakan reformasi menuntut untuk mela-kukan reformasi
total dalam segala bidang kehidupan, termasuk keang-gotaan MPR dan DPR yang dipandang sarat KKN.
Di samping itu, gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaruan terhadap lima paket
undang-undang politik yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan. Keadaan partai-partai politik dan
Golkar dianggap tidak mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Pembangunan
nasional selama pemerintahan orde baru dipandang telah gagal mewujudkan kehidupan masyarakat
yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Bahkan, pembangun-an nasional telah
mengakibatkan terjadinya ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial.

Krisis politik semakin memanas, setelah terjadi peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa itu
sebagai akibat pertikaian internal dalam tubuh PDI. Kelompok PDI pimpinan Suryadi menyerbu kantor
pusat PDI yang masih ditempati oleh PDI pimpinan Megawati. Peristiwa itu menimbulkan kerusuhan
yang membawa korban, baik kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan korban jiwa. Pada
dasarnya, peristiwa itu merupakan ekses dari kebijakan dan rekayasa politik yang dibangun
pemerintahan orde baru.

Pada masa orde baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu ada-nya tekanan yang kuat dari
pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang
represif, di antaranya:

1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan
subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).

2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.

3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki
kebebasan untuk mengontrolnya.

4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.

5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi
presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak
demokratis.

Ciri-ciri itulah yang menjadi isi tuntutan atau agenda reformasi di bidang politik.

Sepanjang tahun 1996, telah terjadi pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat.
Kerusuhan terjadi di mana-mana, seperti pada bulan Oktober 1996 di Situbondo (Jatim), Desember 1996
di Tasikmalaya (Jabar) dan di Sanggau Ledo yang meluas ke Singkawang dan Pontianak (Kalbar).
Ketegangan politik terus berlanjut sampai menjelang Pemilu Tahun 1997 yang berubah menjadi konflik
antar etnik dan agama. Pada bulan Maret 1997, terjadi kerusuhan di Pekalongan (Jateng) yang meluas
ke seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa yang tidak sedikit
jumlahnya. Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya gerakan reformasi.

Kekecewaan rakyat semakin memuncak ketika semua fraksi di DPR/MPR mendukung pencalonan
Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 1998-2003. Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998,
Suharto terpilih sebagai Presiden RI dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden untuk masa jabatan 1998-
2003. Bahkan, MPR menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan kewenangan khusus kepada
presiden untuk mengendalikan negara. Semua itu tidak dapat dipisahkan dari komposisi keanggotaan
MPR yang lebih mengarah pada hasil-hasil nepotisme.

Kekecewaan masyarakat terus bergulir dan berusaha menekan kepemimpinan Presiden Suharto melalui
berbagai demonstrasi. Para mahasiswa, anggota LSM, cendekiawan semakin marah ketika bebe-rapa
aktivitis ditangkap oleh aparat keamanan. Gerakan reformasi tidak dapat dibendung dan dipandang
sebagai satu-satunya jawaban untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.

1. Krisis hukum

Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan orde baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam
bidang hukum pun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan
untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh
keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan
dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakan bahwa 'kehakiman me-miliki kekuasaan yang
merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif)'.

Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa, masalah hukum telah menjadi salah
satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar setiap persoalan
dapat ditempatkan pada posisinya secara proporsional. Terjadinya ke-tidakadilan dalam kehidupan
masyarakat, salah satunya disebabkan oleh sistem hukum atau peradilan yang tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, para mahasiswa menuntut agar reformasi di bidang hukum
dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar
terwujudnya kehidupan yang demo-kratis, sekaligus sebagai wahana untuk mengadili seseorang sesuai
dengan kesalahannya.

1. Krisis ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi
perkembangan perekonomian Indonesia. Ter-nyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis
global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agus-tus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.oo
menjadi Rp 2,603.oo per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.oo per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar
rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollar.

Melemahnya nilai tukar rupaih mengakibatkan pertumbuhan eko-nomi Indonesia menjadi 0% dan iklim
bisnis semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan dan beberapa bank
harus dilikuidasi pada akhir tahun 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI). Ternyata, usaha pemerintah itu tidak dapat mem-berikan hasil karena pinjaman bank-
bank bermasalah justru semakin besar.
Keadaan di atas mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hutang yang sangat besar. Di
samping itu, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia semakin menurun dan gairah investasi
pun semakin melemah. Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia mem-buat kebijakan uang ketat dan
bunga bank tinggi guna membangun kepercayaan dunia internasional. Namun, krisis moneter tetap
tidak dapat diatasi.

Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar hutang-hutang luar negerinya, meskipun telah jatuh
tempo. Oleh karena itu, beberapa perusahaan harus mengurangi kegiatannya dan sebagian lagi harus
menghentikan kegiatannya sama sekali. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-
mana. Angka penganggguran pun terus meningkat dan daya beli masyarakat terus melemah.
Kesenjangan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin melebar seiring dengan terjadinya krisis
ekonomi.

Kondisi perekonomian nasional semakin memburuk pada akhir tahun 1997 sebagai akibat persediaan
sembako semakin menipis dan menghilang dari pasar. Akibatnya, harga-harga sembako semakin tinggi.
Kekurangan makanan dan kelaparan melanda beberap wilayah Indonesia, seperti di Irian Barat (Papua),
Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah di pulau Jawa. Untuk mengatasi persoalan itu, peme-rintah
meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, bantuan dana dari IMF belum
dapat direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepahaman,
Letter of Intent (LoI) pada tanggal 15 Januari 1998.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:

1. Hutang Luar Negeri Indonesia. Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi
penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara,
tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.
Sampai bulan Februari 1998, sebagaimana disampaikan Radius Prawiro pada Sidang
Pemantapan Ketahanan Ekonomi yang dipim-pin Presiden Suharto di Bina Graha, hutang
Indonesia telah menca-pai 63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta menca-pai
73,962 dollar Amerika Serikat.

2. Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945. Pemerintah orde baru ingin men-jadikan negara RI sebagai
negara industri. Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang
sangat rendah (rata-rata). Oleh karena itu, mengubah Indonesia menjadi negara industri
merupakan tugas yang sangat sulit karena masyarakat Indonesia belum siap untuk bekerja di
sektor industri. Itu semua merupakan kesalahan pemerintahan orde baru karena tidak dapat
melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan kon-sekuen.

3. Pemerintahan Sentralistik. Pemerintahan orde baru sangat sentral-istik sifatnya sehingga


semua kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat
menentukan dan peme-rintah daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Misalnya, dalam bidang ekonomi, di mana semua kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga peme-
rintah daerah tidak dapat mengembang-kan daerahnya. Akibatnya, terjadilah ketimpangan
ekonomi antara pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit Indonesia dalam menga-tasi krisis
ekonomi karena daerah tidak tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai.

1. Krisis sosial

Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik
yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis
dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Pelaksanaan
hukum yang berkeadilan sering menim-bulkan ketidakpuasan yang mengarah pada terjadinya
demonstrasi-demonstrasi maupun kerusuhan. Sementara, ketimpangan perekono-mian Indonesia
memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang
terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor
yang rentan terhadap krisis sosial.

Krisis sosial dapat terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu dan tempat. Tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah dapat menjadi faktor penentu karena sebagian besar warga masyarakat tidak
mampu mengendalikan dirinya. Sementara, para mahasiswa dan para cende-kiawan dengan
kemampuannya dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Untuk itu, salah satu jalan yang
sering ditempuh adalah melakukan demonstrasi secara besar-besaran. Semangat para maha-siswa telah
mendorong para buruh, petani, nelayan, pedagang kecil untuk melakukan demonstrasi. Semua itu
merupakan sumber krisis sosial.

Demonstrasi-demonstrasi yang tidak terkendali mengakibatkan kehidupan di perkotaan diliputi


kecemasan, rasa takut, tidak tenteram dan tenang. Situasi yang tidak terkendali telah mendorong
sebagian masyarakat, terutama dari etnis Cina untuk memilih pergi ke luar negeri dengan alasan
keamanan.

1. Krisis kepercayaan

Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan
politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan
pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah
mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi
mahasiswa terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang
berlangsung secara damai telah berubah menjadi aksi kekerasan, setelah tertembaknya empat orang
mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Lesmana, Heri Hertanto, dan Hafidhin Royan.
Sedangkan para mahasiswa yang menderita luka ringan dan luka parah pun tidak sedikit jumlah, setelah
bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha membubarkan para demonstran.
Pada waktu tragedi Trisakti terjadi, Presiden Suharto sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir.
Masyarakat menuntut Presiden Suharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan bertanggung
jawab atas tragedi tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Suharto kembali ke Tanah Air dan
masyarakat menuntut agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Bahkan, beberapa kawan terdekatnya
men-desak agar Presiden Suharto segera mengundurkan diri. Dengan demi-kian, tuntutan pengunduran
diri itu tidak hanya datang dari para maha-siswa dan para oposisi politiknya.

Kunjungan para mahasiswa ke gedung DPR/MPR yang semula untuk mengadakan dialog dengan para
pimpinan DPR/MPR telah berubah menjadi mimbar bebas. Para mahasiswa lebih memilih tetap tinggal
di gedung wakil rakyat itu, sebelum tuntutan reformasi total dipenuhinya. Akhirnya, tuntutan
mahasiswa tersebut mendapat tanggap-an dari Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR. Pada tanggal 18
Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Suharto mengundurkan diri.
Namun, himbauan pimpinan DPR/MPR agar Presiden Suharto mengundurkan diri dianggap sebagai
pendapat pribadi oleh pimpinan ABRI. Oleh karena itu, ketidakjelasan sikap elite politik nasional telah
mengundang banyak mahasiswa untuk berdatangan ke gedung DPR/MPR.

Untuk menyikapi perkembangan yang terjadi, Presiden Suharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-
tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian, Presiden Suharto mengumumkan
tentang pembentukan Dewan Reformasi, perombakan Kabinet Pembangunan VII, segera melakukan
Pemilu, dan tidak bersedia dicalonkan kembali. Namun, usaha Presiden Suharto tersebut tidak dapat
dilaksanakan karena sebagian besar orang menolak untuk duduk dalam Dewan Reformasi dan seorang
menteri menyatakan mundur dari jabatannya. Keadaan itu merupakan bukti bahwa Presiden Suharto
telah menghadapi krisis kepercayaan, baik dari para mahasiswa, aktivis LSM, pihak oposisi, para
cendekiawan, tokoh agama dan masyarakat, maupun dari kawan-kawan terdekatnya.

Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri (berhenti)
sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden. Pada saat itu juga Wakil
Presiden B.J. Habibie diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia
yang baru di Istana Negara.

Agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa mencangkup beberapa tuntutan, seperti :

· Adili suharto dan kroni – kroninya,

· Laksanakan amandemen UUD 1945

· Penghapusan dwi fungsi ABRI

· Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas – luasnya

· Tegakan supremasi hukum

· Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN


Agar agenda reformasi dapat dilaksanakan dan berhasil dengan baik, maka perlu disusun strategi yang
tepat, seperti:

1. Menetapkan prioritas, yaitu menentukan aspek mana yang harus direformasi lebih dahulu dan
aspek mana yang direformasi kemudian.

2. Melaksanakan kontrol agar pelaksanaan reformasi dapat mencapai tujuan dan sasaran secara
tepat.

Reformasi yang tidak terkontrol akan kehilangan arah, dan bahkan cenderung menyimpang dari norma-
norma hukum. Reformasi semacam ini akan mengalami kegagalan. Dengan demikian, cita-cita untuk
mem-perbaiki kehidupan masyarakat Indonesia tidak akan berhasil.

Solusi kembali pada kebesaran negeri ini pasca reformasi

Untuk menumbuhkan pohon bangsa yang subur dan berbuah serta tidak berhama, kita harus mengkaji,
menganalisa dan memperbaiki dari akar pohon tersebut sebagai penyebab berdiri dan runtuhnya pohon
tersebut. Atas pengertian tersebut diatas, pohon bangsa ini kita artikan terdiri dari, pohon legislatif,
ranting eksekutif dan daun-daun serta kembang-kembang masyarakat berbangsa. Untuk menuju solusi
Reformasi tak tercela menuju kebesaran bangsa, kita sebagai pohon dalam satu kesatuan tidak dapat
bekerja sendiri-sendiri, akan tetapi kita mesti memiliki kesadaran bersama dalam fungsi di peran
masing-masing pohon tersebut. Meninjau bersama-sama terhadap akar yang menjadi peranan terhadap
tumbuh dan besarnya kita di pohon tersebut. Apabila kita menyangkut pada akar permasalahan, maka
kita tidak dapat terlepas dari faktor norma dan spiritual yang menjadikan mekanisme penyelesaiannya,
dimana akar itu tidak terlihat, akan tetapi sangat menentukan! Begitu pula penyelesaian secara norma
dan spiritual, tidak bedanya dengan fungsi akar terhadap pohon !!!.

Tiga peranan dalam penyelesaian pohon bangsa yang akan menjadikan bangsa ini besar dan berkarisma
adalah kesadaran serentak dan bersama-sama antara pohon legislatif, dahan dan ranting eksekutif serta
daun dan kembang masyarakat berbangsa untuk merubah sikap dan memperbaiki fungsi dan peran di
pohon bangsa ini.

- Fungsi pohon legislatif (DPR-MPR) untuk penyelesaian dan perbaikan bangsa adalah bagaimana peran
legislatif untuk merubah hukum produk luar digantikan menjadi hukum nurani kita yang bersumber
pada kehidupan madani tatatentrem kertoraharjo, silih asah silih asih silih asuh dimana hukum kita
mestinya hanya bersumber pada teguran dan pembinaan di bawah pengawasan perwakilan sesuai
idiologi bangsa ini dan tidak menghukumi yang sifatnya memenjarakan, dimana status manusia, kita
samakan dengan fungsi hukuman terhadap binatang, dimana manusia bangsa ini direndahkan oleh
aturan bangsanya sendiri. Kita jangan takut dan minder oleh bangsa lain yang tidak memiliki akar budaya
sebagai manusia beradab !!!

- Fungsi dahan dan ranting pohon eksekutif (pemerintahan) dalam penegakan wibawa dan pengayoman
mengurus dan menata kehidupan berbangsa, saya sarankan pemerintah mengadakan upacara ritual
untuk menyampaikan penghormatan, pengakuan dan rasa terima kasih kepada seluruh unsur yang
mendorong menjadikannya Negara ini berdiri dan diakui oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini perlu dilakukan
agar seluruh komponen pemerintahan tidak terkutuk dan kena imbas nasib para pendorong pendiri
negara ini. Dimana saya melihat nasib seluruh pimpinan Negara dan jajarannya dari yang terdahulu
sampai saat ini seperti mengalami nasib serupa, dimana setelah berkarya besar di dalam peran
kepemimpinannya diakhiri oleh nasib yang dicampakkan, ibarat habis manis sepah dibuang. Dimana hal
ini menunjukan citra pemerintahan Negara ini kurang baik atas hal itu. Insya Alloh apabila norma
penghargaan tersebut telah dijalankan, akan lahir dan terlihat pemerintahan yang baik dan direstui,
yang sepatutnya setiap orang yang telah berperan dipemerintahan mendapat penghargaan dan
penghormatan yang layak.

- Peran dan fungsi perbaikan daun dan kembang masyarakat di pohon bangsa ini adalah, Kami dari
Paguron Syahbandar Kari Madi siap memberikan peran pada kehidupan berbangsa dimana Kami siap
pula memberikan kekuatan batin spiritual kepada masyarakat bangsa ini untuk menjadikan bekal
kekuatan dalam kehidupan bagi seluruh masyarakat di bangsa ini, yang menjadikan bangsa ini kelak
dihormati dan dihargai, tentunya akan berpatokan pada perilaku masyarakatnya yang handal,
profesional dan mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi dan luhur.

Kami siap memberikan pola itu kepada seluruh elemen bangsa agar bangsa ini dengan instant mendapat
kekuatan izin hidup, focus pada tujuan, penuh percaya diri, dapat memahami berbagai falsafah dan
sinyal-sinyal kehidupan serta dikabulnya apa yang di cita-citakan yang sebelumnya tidak. Kekuatan ini
diambil oleh formula jurus persenyawaan kita dengan Alam dan Tuhan Yang Maha Kuasa yang sudah
terimplentasi di 120 cabang Paguron Kami di seluruh Nusantara dan Luar Negeri. Andai seluruh elemen
bangsa ini mempunyai kekuatan batin spiritual yang tinggi, sehat jiwa dan raganya, tenang hidup dan
pemikirannya, dibarengi oleh restu alam dan Tuhan dalam keseharian hidupnya, entah akan menjadi
apa Bangsa dan Negara ini, tentunya kita akan

Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum


lahirnya gerakan reformasi, seperti berikut ini:

a. Krisis politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagaikebijakan politik
pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yangdikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu
dengan alasan dalam kerangkapelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah
dalamrangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya,demokrasi yang
dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yangsemestinya, melainkan demokrasi
rekayasa.
Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untukrakyat, melainkan
demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masaOrde Baru, kehidupan politik sangat
represif, yaitu adanya tekanan yang kuat daripemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang
berpikir kritis. Ciri-cirikehidupan politik yang represif, di antaranya:

1)Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh

sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).

2)Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau

demokrasi rekayasa.

3)Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masymasyarakat

tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.

4)Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara

(sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.

5)Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapipemilihan itu merupakanhasil rekayasa dan tidak demokratis.

b. Krisis hukum

Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas padabidang politik. Dalam
bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya,kekuasaan peradilan harus dilaksanakan
untuk melayani kepentingan para penguasadan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh
keadilan.

Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itubertentangan dengan
ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakanbahwa‘kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan
terlepas dari kekuasaanpemerintah (eksekutif)’.

c. Krisis ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi
perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis
global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesiadiawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat. Padatanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.00
menjadi Rp 2,603.00per dollar Amerika Serikat.

Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikatturun menjadi Rp 5,000.00
per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukarrupiah terus melemah dan mencapai titik
terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisisekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari berbagai kondisi, seperti:1)Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab
terjadinya

krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi

sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.

2)Industrialisasi, pemerintah Orde Baru ingin menjadikan negara RI sebagai negaraindustri. Keinginan itu
tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia.Masyarakat Indonesia merupakan sebuah
masyarakat agraris dengan tingkatpendidikan yang sangat rendah (rata-rata).

3)Pemerintahan Sentralistik, pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnyasehingga semua


kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu, perananpemerintah pusat sangat menentukan dan
pemerintah daerah hanya sebagaikepanjangan tangan pemerintah pusat.

d. Krisis sosial

Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial.Pelaksanaan politik yang
represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinyakonflik politik maupun konflik antar etnis dan
agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah.

Ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadapkrisis sosial.


Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-hargasembako, rendahnya daya beli
masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentanterhadap krisis sosial.

e. Krisis kepercayaan

Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidak mampuan pemerintah dalam membangun
kehidupan politik yang demokratis, menegakkanpelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis
kepercayaan.

krisis ekonomi, sosial, hukum, politik dan kepercayaan ;)

A. Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik
pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu
dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi
adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya,
demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan
demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk
rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Pada masa Orde Baru,
kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak
oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:

1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan
subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).

2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.

3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki
kebebasan untuk mengontrolnya.

4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan.

5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden
melalui Sidang Umum MPR, tetapipemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.

B. Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam
bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan
untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh
keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan
dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakan bahwa‘kehakiman memiliki kekuasaan yang
merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah(eksekutif).

C.Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi
perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis
global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.00
menjadi Rp 2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar
rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar Krisis ekonomi yang
melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti: 1)Hutang luar negeri Indonesia
yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya
hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.

D. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik
yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis
dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Ketimpangan
perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran,
persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat
merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.

E. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan
politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan
pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
Kronologi Peristiwa Reformasi Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan sebagai
berikut:

1. Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil
Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003. Presiden Suharto membentuk dan melantik Kabinet
Pembangunan VII.

2. Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi
dan aksi keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako),
penghapusan KKN, dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan.

3. Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi
bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana,
Hery Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas dan puluhan mahasiswa
lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para
mahasiswa dan kalangan kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.

4. Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan
sehingga kegiatan masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan
isinya dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar.

5. Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya
menduduki DPR dan MPR Pada saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia berkumpul di
alunalun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung, guna mendengarkan maklumat
dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII.

6. Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi
‘anjuran agar Presiden Suharto mengundurkan diri.

7. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh
masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan
diketuai oleh Presiden Soeharto.
8. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden Suharto meletakkan jabatannya
sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung.
Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J.
Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua
MA.
Beberapa sebab lahirnya gerakan reformasi adalah krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, sosial,
budaya, dan kepercayaan terhadap pemerintahan Presiden Suharto. Nilai tukar rupiah terus merosot.
Para investor banyak yang menarik investasinya. Inflasi mencapai titik tertinggi dan pertumbuhan
ekonomi mencapai titik terendah selama pemerintahan Orde Baru. Kehidupan politik hanya kepentingan
para penguasa. Hukum dan lembaga peradilan tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya.
Pengangguran dan kemiskinan terus meningkat. Nilai-nilai budaya bangsa yang luhur tidak dapat
dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
telah sampai pada titik yang paling kritis. Oleh karena itu, krisis kehidupan masyarakat Indonesia sering
disebut sebagai krisis multidimensional. Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para
mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan
pada tanggal 4 Mei 1998. Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa
tuntutan, seperti:

1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya


2. Laksanakan Amandemen UUD1945
3. Penghapusan Dwi fungsi ABRI
4. Pelaksanaan Otonomi daerah seluas-luasnya
5. Tegakkan Supermasi Hukum
6. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN
Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, seluruh lapisan
masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibu
kota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13— 14 Mei 1998, yang menimbulkan banyak korban
baik jiwa maupun material. Semua peristiwa tersebut makin meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan
tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh
kebanyakan kelompok massa mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi
pendudukan gedung DPR/MPR. Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah peristiwa monumental dalam
proses pelengseran Soeharto dari tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa
ini, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak
Soeharto.

Latar belakang terjadinya Reformasi


Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, tujuan
lahirnya gerakan reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor
atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Namun, persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba.
Banyak faktor yang mempengaruhinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan
hukum. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak
konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966,
Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan
penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945
yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk
mempertahankan kekuasaan.
Reformasi merupakan gerakan moral untuk menjawab ketidak puasan dan keprihatinan atas kehidupan
politik, ekonomi, hukum, dan social. Reformasi bertujuan untuk menata kembali kehidupan berma-
sayarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan
demikian, hakikat gerakan reformasi bukan untuk menjatuhkan pemerintahan orde baru, apalagi untuk
menurunkan Suharto dari kursi kepresidenan Namun, karena pemerintahan orde baru pimpinan Suharto
dipandang tidak mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara, maka Suharto diminta untuk
mengundurkan secara legawa dan ikhlas demi perbaikan kehidupan bangsa dan Negara Indonesia yang
akan dating. Reformasi yang tidak terkontrol akan kehilangan arah, dan bahkan cenderung menyimpang
dari norma-norma hukum. Dengan demikian, cita-cita reformasi yang telah banyak sekali menimbulkan
korban baik jiwa maupun harta akan gagal. Untuk itu, kita sebagi pelajar Indonesia harus dan wajib
penjaga kelangsungan reformasi agar berjalan sesuai dengan harapan para pahlawan reformasi yang
gugur.

Anda mungkin juga menyukai