Anda di halaman 1dari 4

Apa jadinya kalau perusahaan yang bergerak di bidang penerbangan atau maskapai penerbangan

tidak menerapkan secara ketat manajemen berbasis risiko? Yang terjadi antara lain kecelakaan
yang mematikan dan menelan korban jiwa, tergelincirnya pesawat, delay bahkan
pembatan penerbangan, complain penumpang terus menerus, dan sebagainya.

Berita besar tentang Lion Air yang sedang menghadapi masalah kesulitan keuangan sehingga
tidak mampu membayar biaya sewa bandara merupakan salah satu contoh kecil dari tidak
berfungsinya dengan benar penerapan manajemen berbasis risiko. Dan dampaknya pasti akan
mempengaruhi keseluruhan aktivitas manajemen operasional perusahaan.

liputan6.com

Bila dicermati, nampak bahwa sejak dua tahun terakhir kabar di media santer mengenai Ryanair,
maskapai penerbangan dari Irlandia menuju kebangkrutan. Antara November 2107 dan Maret
2018, terjadi 18.000 pembatalan penerbangannya dari 34 rute penerbangan di Eropa telah terjadi;
data memperlihatkan pemasukan uang jauh dari target.
Adalah seorang senior di bidang bisnis penerbangan, Michael O'Leary yang adalah CEO
Ryanair sejak tahun 1994, menjadikan pertanyaan bagi media bagaimana kekuatannya untuk
bertahan benar-benar di uji dalam menjalani tahun 2019 yang sangat memberatkan bagi
kelanjutan maskapai penerbangan yang dipimpinnya.

Pernah dikabarkan bahwa untuk meningkatkan pendapatan dikandung


maksud Ryanair mengakusisi Air Berlin, untuk ekspansi serta memperluas wilayah pangsa
pasarnya di Eropa, namun upaya ini ternyata gagal, karena tidak lama kemudian Air Berlin
dinyatakan bangkrut.

Ryanair Holdings Probability of Bankruptcy Analysis suatu badan penilaian harga saham,
membuat penilaian berdasarkan model Macroaxis dengan ukuran Z-Score, yaitu ketentuan yang
ditetapkan oleh pasar modal Eropa berdasarkan banyak faktor perhitungan. Skoring itu
menentukan kedudukan suatu perusahaan dalam kesulitan permodalan dan keuangan dalam
waktu 24 bulan ke depan.

Sementara itu pada tanggal 4 Juni 2019, sekitar 70% lebih awak pesawat Ryanair yang berasal
dari Belgia telah menyetujui pembayaran kompensasi gaji mereka dalam kurun waktu tiga tahun.

Sebenarnya, apa yang sedang dialami Ryanair sudah di tahap ke dua dalam empat tahapan Krisis
berat bagi sebuah maskapai penerbangan. Tahapan ini dikenal dengan "Tahap Akut", dimana
persoalan dan pergolakan menghadapi masalah eksistensi maskapai sudah muncul.
Perusahaan yang sudah memasuki tahapan akut dalam sebuah proses krisis, sangat sulit untuk
keluar dari keadaan yang sangat menyakitkan itu. Dan bila tidak ada tindakan yang betul-betul
jitu maka ambruklah dia.

Melihat pengalaman Ryanair pada tahap akut krisisnya, bagaimana dengan krisis yang sedang
dihadapi oleh maskapai penerbangan terbesar di Indonesia ini, yaitu Lion Air?

Bila dicermati dengan data-data yang sangat terbatas, maka dapat disimpulkan bahwa Lion Air di
Indonesia masih dalam Tahap Prodromal.

Tahapan prodromal dapat dimengerti dengan sederhana, yaitu tahap ketika krisis baru muncul
dan belum mempunyai dampak yang luas pada citra maupun reputasi sebuah korporasi atau
institusi. Meskipun demikian, ini sudah merupakan warning sign bagi pucuk pimpinan dan
pemilik perusahaan agar harus secepatnya mengambil tindakan menghadapi krisis.

Strategi yang dikenal dengan mitigasi risiko menghadapi kebangkrutan harus ditangani secara
serius dan cepat, selain sanggup meneropong ke depan, secepat mungkin melakukan tindakan
preventif secara umum mempelajari sebagai komitmen penerapan Manajemen Risiko yang
sangat sangat dibutuhkan oleh perusahaan.

Penerapan manajemen berbasis risiko menjadi keharusan bagi setiap perusahaan kalau tidak mau
kelangsungan hidup perusahaannya terganggu bahkan bisa mati. Penerapan yang dimaksud
paling tidak mencakup sejumlah aspek, yang antara lain berupa:

1. Memimpin integrasi manajemen berdasarkan visi, misi dan nilai perusahaan yang sudah
disepakati bersama dan dipahami untuk dilaksanakan
2. Memperjelas kewenangan Kepala Divisi atau Manajer Senior atas tanggungjawab yang
diembannya agar dapat terlihat akutanbilitasnya
3. Direksi wajib segera melakukan evaluasi pengukuran dan pelaporan kinerja organisasi sesuai
indikator yang telah didokumentasikan
4. Melakukan kajian dan perbaikan

Perbaikan yang dalam hari-hari ini merupakan sangat crucial bagi maskapai penerbangan Lion
Air dan membuatnya sesuatu yang seharusnya menjadi top urgent dan important untuk
ditangani.

Dalam ranah manajemen berbasis risiko, Risk Management, arah dan orientasi perbaikan yang
dimaksudkan adalah seharusnya mengikuti ketentuan ISO 31000 yang meliputi dua tahapan
serius:

1. Tahapan Adaptasi. Kepatuhan maskapai agar terus memantau, mengevaluasi, kemudian


mengambil tindakan baik dalam bentuk instruksi secara internal menggunakan sistem digital,
aplikasi on-screen, maupun dengan anjuran dan teguran untuk menyesuaikan kerangka kerja
dengan perubahan internal dan eksternal.
2. Tahapan Perbaikan Berkesinambungan. Maskapai harus siap dengan identifikasi dan siap
mengikuti matrix pilihan yang sangat penting untuk diprioritaskan melaksanakan perbaikan yang
akuntabel.

Perbaikan berkesinambungan sesungguhnya sudah harus dilaksanakan sejak maskapai didirikan


dengan pemantauan kinerja secara terus-menerus. Maka sebaiknya perusahaan atau organisasi
bisnis apapun wajib hukumnya untuk melakukan asesmen untuk seluruh divisi organisasinya
melalui proses evaluasi terdiri dari pemantauan, kajian dan asesmen.

Pemantauan adalah membandingkan kinerja manajemen risiko apakah sudah sesuai atau belum
terhadap rencana yang akan dikerjakan oleh manajemen perusahaan.

Kajian merupakan tahapan penanganan bila terjadi penyimpangan dari sasaran atau standar yang
telah disepakati yang artinya di sana ada penyimpangan atau bias operasional.

Asesmen adalah proses pengujian untuk jaminan yang wajar atas kinerja kerangka manajemen
risiko.

Perbaikan suatu keadaan internal maupun eksternal tidak lepas dari pengertian "kuno" PDCA,
yaitu Plan-Do-Check-Action. Siklus manajemen perusahaan merupakan keberlanjutan komponen
yang meliputi perencanaan strategi kebijakan, kesesuaian akuntabilitas, kewenangan dan
tanggungjawab.

Untuk itu perlu adanya sumber daya yang memadai, baik hard skills maupun soft skills.

Pentingnya pembelajaran sangat penting dari "studi kasus The GE Way, yang ditangani Jack
Welch ketika dia menjabat sebagai CEO, di tahun 1990-an dengan memberhentikan manajer,
supervisor dan karyawan yang tidak masuk kriteria mengahdapi perbaikan; yang memberikan
label dia sebagai CEO yang brutal. Dan dia sangat berhasil ketika itu.

Dalam penanganan perbaikan juga harus sungguh-sungguh dilaksanakan kesamaan bahasa yang
jatuh dalam ranah ilmu komunikasi yang efektif.

Sebenarnya proses komunikasi yang efektif sederhana, seperti alur komunikasi yang dibakukan
oleh Harold Laswell: Dari Komunikator, menyusun materi yang akan disampaikan, melalui
media yang bersih, tidak terdestorsi yang terimbas oleh hoax.

Kemudian disampaikannya dalam kode bahasa sederhana namun baku atau kode non-verbal
hingga dapat diterima oleh yang dikomunikasikan.

Ikutilah alur ini dengan mendengarkan kembali umpan balik, memahaminya dan memberi
respons.
Komunikasi demikian menjadi komponen utama dalam mitigasi risiko, juga apabila terdeteksi
"bahaya krisis" maka pemahaman: Be Prepared -- Be Available dan Be Credible harus dikuasai
oleh pucuk pimpinan/direksi dan semua manajer divisi dengan timnya. Semoga!

Artikel khusus disiapkan dan dikirimkan oleh Ludwig Suparmo: Lead Trainer Manajemen
Krisis, Isu, dan Risiko; juga Manajemen Kepatuhan; dengan Ref khusus dari: Mengenai Ryanair,
sebagian mendapat referensi dari Risk Management for Airlines – Financial Risks
(slideshare.net)

Yupiter Gulo, 11 Juni

Anda mungkin juga menyukai