Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1. TEMA DALAM NOVEL

Tema merupakan dasar gagasan, ide, pokok, pikiran yang dituangkan


pengarang dalam karyanya, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Suatu
novel harus diawali dengan gagasan yang akan dikembangkan sebagai sebuah
cerita yang utuh. Begitu pula dengan ide yang akan dituangkan dalam cerita: ide
tentang keterbelakangan sosial, pendidikan yang tertinggal, religi, persoalan
HAM.
Tema berfungsi sebagai dasar pengembangan seluruh cerita. Oleh karena itu,
tema terkait dengan seluruh bagian cerita. Secara prinsip, tema terdiri atas dua
macam, yaitu tema utama merupakan makna tambahan yang menyokong dan
mencerminkan makna pokok cerita.
Struktur oposisional pada level individu terbagi atas: oposisi antara kemauan
dengan keinginan, oposisi antara perasaan dengan pikiran, oposisi antara cinta
dengan kewajiban, oposisi antara kehidupan dengan harga diri. Struktur
oposisional pada level sosial terbagi atas: oposisi antara individu dengan
masyarakat dan oposisi antara pekerja dengan pemilik modal.Struktur oposisional
pada level sosial terbagi atas: oposisi antara cobaan dengan keimanan dan oposisi
antara dosa dengan pahala.
Semi (1984:35) menyatakan bahwa tema merupakan suatu gagasan
sentral,sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam suatu tulisan atau karya fiksi.
Sedangkan Muhardi dan Hasanuddin (1982:8) menyatakan bahwa tema adalah
inti
permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya.
Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang
terkait dengan penokohan dan latar. Jadi dapat disimpulkan bahwa tema, yaitu
suatu pokok atau inti persoalan yang mendasari suatu cerita.
Untuk menemukan sebuah tema dalam sebuah karya fiksi, ia haruslah
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian
tertentudari cerita (Nugiantoro, 1995:68) walau tema sulit ditemukan secara pasti,
ia bukanlah makna yang “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan
secara eksplisit.
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari
sejumlah unsur pembangun cerita yang lain yang secara bersama membentuk
sebuah kemenyeluruhan. Bahkan sebenarnya, eksistensi tema itu sendiri amat
bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene
"hanya" berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tidak mungkin
hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema
baru akan menjadi makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-
unsur cerita lainnya. Tema sebuah cerita tidak mungkin di- sampaikan secara
langsung, melainkan hanya menumpang secara implisit melalui cerita. Unsur-
unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta
cerita-tokoh, plot, latar- yang "bertugas" mendukung dan menyampaikan tema
tersebut.
Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemlotan), latar
(dan pelataran), dan cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika diikat
oleh sebuah tema. Tema berfungsi memberi koherensi dan makna terhadap
keempat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Tokoh-tokoh
cerita, khususnya tokoh utama, adalah pembawa dan pelaku cerita, pembuat,
pelaku, dan penderita peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dengan demikian,
sebenarnya, tokoh-tokoh (utama) cerita inilah yang "bertugas" (atau tepatnya:
"ditugasi") untuk menyampaikan tema yang dimaksudkan oleh pengarang.
Tentu saja berhubung teks fiksi merupakan suatu karya seni, penyampaian
tema itu "seharusnya" tidak bersifat langsung, melain- kan hanya melalui tingkah
laku (verbal dan nonverbal), pikiran dan perasaan, dan berbagai peristiwa yang
dialami tokoh itu. Tokoh Sadeli dalam Maut dan Cinta, misalnya, adalah pejuang
tegaknya kebenaran dan keadilan, dan sebaliknya penentang penyelewengan dan
keja- hatan, dan hal itu merupakan makna utama yang dikandung novel itu.
Hanya, sebagai catatan tambahan, penyampaian makna itu agak mencolok dan
terkesan ditonjol-tonjolkan suatu hal yang sebenarnya justru dapat mengurangi
kadar kelitereran karya itu sendiri.
Pada umumnya tema-tema tradisional merupakan tema yang digemari orang
dengan status sosial apa pun, di mana pun, dan kapan pun. Hal itu disebabkan
pada dasarnya setiap orang cinta akan kebe- naran dan membenci sesuatu yang
sebaliknya. Bahkan mungkin, orang sebenarnya tidak tergolong baik sekalipun
(misalnya: preman, gentho) juga lebih menyenangi tema ini dalam cerita. Hal itu
terlihat misalnya, pada cerita wayang, Mahabharata dan Ramayana, yang amat
digemari masyarakat sejak zaman dahulu. Tampaknya semua penonton,
pendengar, atau pembaca cerita Mahabharata akan memi- hak keluarga Pandawa
yang merupakan representasi kebenaran dari- pada keluarga Kurawa yang sebagai
representasi kejahatan dan kese- rakahan.
Demikian juga halnya dengan cerita-cerita yang lain seperti cerita Melayu
Lama, misalnya berbagai hikayat, berbagai cerita detek- tif populer, cerita silat
seperti di film-film Barat, dan sebagainya. Berbagai cerita tersebut pada umumnya
mempertentangkan golongan putih dan hitam, kebaikan dan kejahatan. Novel-
novel yang digolong- kan kesastraan pun banyak yang mengangkat tema
tradisional itu, terlebih pada novel awal kebangkitan sastra Indonesia modern-
yang tentunya disebabkan oleh adanya pengaruh langsung dari tema-tema cerita
lama yang telah memasyarakat seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan
Salah Pilih, juga termasuk novel yang lebih kemudian seperti Harimau! Harimau!,
Maut dan Cinta, Perjanjian dengan Maut, dan sebagainya.
Tema jenis tersebut ternyata bersifat universal. Hal itu terlihat pada
banyaknya karya sastra di manca negara yang sejak zaman dahulu juga
mengangkat tema kebenaran lawan kejahatan, atau tema tradisional lain secara
umum. Misalnya, karya sastra zaman Yunani Klasik seperti Oedipus Sang Raja,
Oedipus di Kolonus, dan Antigone, ketiganya karya Sophocles, karya-karya
Shakespeare seperti Hamlet dan Romeo dan Julia, Madame Bovary karya Gustave
Flaubert, Uncle's Tom Cabin karya Betcher Stower, Doktor Zivago Karya Boris
Pasternak, di samping juga berbagai karya detektif seperti karya Conan Doyle dan
Agatha Christie (yang melambungkan nama Sherlock Holmes dan Poirot), dan
sebagainya.
Jangan pula dilupakan sastra anak-remaja yang menjadi booming di awal abad ke-
21 ini, yaitu serial Harry Potter (ada tujuh seri dan tebal-tebal dengan ketebalan
yang bervariasi, misalnya seri kelima setebal 1.200 halaman) karya J.K. Rowling.
Novel Harry Potter yang berlatar cerita dunia sihir dengan tokoh-tokoh sihir itu
mampu menyihir dunia, dan belakangan juga lewat film-filmnya. Novel ini juga
berisi pertentangan frontal kebaikan versus kejahatan dengan representasi tokoh
pembela kebenaran adalah Harry Potter dan kawan-kawan melawan Lord
Voldemort yang ekstrajahat dan para pengikutnya sebagai representasi tokoh
pemuja kejahatan.
Dalam suatu cerita fiksi, tema pertentangan antara kebaikan dan kejahatan
belum tentu diungkap secara frontal seperti dalam serial Harry Potter itu misalnya,
namun secara implisit atau eksplisit terasa bahwa karya-karya itu mendukung
kebaikan. Dalam banyak contoh kasus, baik di dalam maupun di luar negri, karya-
karya sastra yang mengangkat tema-tema jenis tersebut dapat menjadi karya yang
besar (sebut saja sebagai masterpiece) dan bertahan dari masa ke masa.
Selain hal-hal yang bernuansa tradisional, tema sebuah karya mungkin saja
mengangkat sesuatu yang tidak lazim, katakan sesuatu yang nontradisional, yang
dalam kaitan ini adalah tema nontradisional. Karena sifatnya yang nontradisional,
tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, menjadi
melawan arus, menge- jutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan,
atau berbagai reaksi afektif yang lain. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada
umum- nya orang mengharapkan yang baik, yang jujur, yang bercinta, atau semua
tokoh yang digolongkan sebagai tokoh protagonis, akhirnya mengalami
kemenangan, kejayaan, dan kebahagiaan.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat
kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih
banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masa- lah seksualitas suatu aktivitas
yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Hubungan seksual banyak
dikisahkan dalam cerita fiksi, bahkan kini para pengarang perempuan juga tidak
sedikit yang mengangkatnya. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia
men- dapat penekanan dalam tema tingkat ini, khususnya kehidupan seksual yang
bersifat menyimpang atau tidak pada tempatnya.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as
socious. Kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat manusia berkiprah,
beraksi-interaksi dengan sesama dan dengan ling- kungan alam mengandung dan
memunculkan banyak permasalahan, persahabatan-permusuhan, konflik, dan lain-
lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain
berupa masalah ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan,
cinta kasih antarsesama, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan ber- bagai
masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang
berwujud kritik sosial. Berbagai karya Mochtar Lubis seperti yang dicontohkan
pada tema tingkat organik di atas juga tampak menonjol unsur kritik sosial (baca:
tema tingkat sosial)-nya. Novel-novel yang lain misalnya, Royan Revolusi,
Kemelut Hidup, Kubah, Di Kaki Bukit Cibalak, Ronggeng Dukuh Paruk, Canting,
Para priyayi, Saman, dan lain-lain sampai Ayat-ayat Cinta dan serial Laskar
Pelangi. Berbagai cerita fiksi Indonesia sejak awal kebang- kitannya hingga kini
yang mutakhir tampak jelas mengandung ber- bagai ragam tema tingkat ini.
Keempat, tema tingkat egois, manusia sebagai individu, man as
individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga
sebagai makhluk individu yang senantiasa "menuntut" pengakuan atas hak
individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun
memunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi
manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah
individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau
sifat dan sikap tertentu manusia lainnya yang pada umumnya lebih bersifat batin
dan dirasa- kan oleh yang bersangkutan. Masalah individualitas biasanya menun-
jukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang.
Kegiatan menafsirkan tema sebuah cerita fiksi, barangkali, merupakan tugas
yang paling banyak dibebankan kepada peserta didik semua orang yang pernah
menjadi pembelajar pasti mengalami mendapat pertanyaan itu, namun belum tentu
terhadap aspek fiksi yang lain. Walau demikian, tidak jarang penugasan itu sendiri
bersifat semu. Hal itu disebabkan jangankan menafsirkan tema sebuah novel,
membacanya pun belum tentu mereka telah melakukannya. Jadi, bagaimana
peserta didik dapat menafsirkan tema sebuah novel jika tidak atau belum
membacanya?
Dalam kegiatan pembelajaran, jalan pintas yang sering ditem- puh guru
adalah memberitahukan bahkan mungkin sekali: mendikte- kan atau memberi tahu
tema novel-novel itu kepada peserta didik. Kondisi seperti itu sebenarnya
langsung atau tidak langsung mem- biasakan mereka untuk begitu saja mau
menerima pendapat orang lain tanpa berusaha sendiri. Hal itu akan semakin
"parah" lagi jika tema yang didiktekan guru itu pun hanya diperolehnya dari buku
teks tanpa dikonfirmasikan ke novel aslinya. Artinya, buku itu menuliskan tema
sebuah novel yang kemudian didiktekan atau disuruh hafalkan kepada peserta
didik. Atau, tidak sedikit guru yang hanya puas membaca
sinopsis yang dibuat orang sehingga penafsiran tema yang dibuat menjadi kurang
tepat.
Misalnya, banyak guru mengajarkan tema (utama) novel Sitti Nurbaya
sesuai dengan buku teks pegangannya? adalah kawin paksa. Padahal, jika kita
baca secara teliti novel itu, mungkin kita kurang menyetujui bahwa ia bertemakan
kawin paksa. Sebagai gam- baran, cobalah dipertanyakan: siapakah sebenarnya
yang memaksa Sitti Nurbaya agar mau kawin dengan Datuk Maringgih itu? Selain
itu, biasanya dalam satu novel hanya ditunjukkan satu tema, tanpa memberikan
kemungkinan adanya penafsiran tema-tema yang lain, atau kurang memberi
kesempatan siswa untuk menafsirkan sendiri tema(-tema) sebuah karya.
Terlepas dari masalah di atas, penafsiran tema sebuah novel memang
bukan pekerjaan yang mudah seperti tampaknya. Walau betul penulisan sebuah
novel didasarkan pada tema atau ide tertentu, per- nyataan tema itu sendiri pada
umumnya tidak dikemukakan secara eksplisit. Tema hadir bersama dan berpadu
dengan unsur-unsur struk- tural yang lain sehingga yang kita jumpai dalam sebuah
novel adalah (hanya) cerita. Tema tersembunyi di balik cerita itu. Jika pekerjaan
menafsirkan itu sudah ditemukan, artinya kita sudah menentukan tema karya
novel yang bersangkutan, hasil penafsiran itu pun belum tentu diterima orang lain.
Kita pun tidak perlu memaksakan pendapat kita sebab adanya perbedaan
penafsiran yang demikian amat wajar. Namun, hasil penafsiran yang diberikan
sebaiknya disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Karena tema tersembunyi di balik cerita, penafsiran terhadap- nya haruslah
dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun
cerita itu. Kita dapat memulai pekerjaan itu dengan cara memahami cerita itu,
mencari kejelasan ide-ide perwatak- an, peristiwa-peristiwa-konflik, dan latar. Ia
bisa dimulai dengan me- mahami tokoh, terutama tokoh utama (yang ini pun
harus ditentukan juga). Para tokoh utama biasanya "dibebani" tugas membawakan
tema, maka kita perlu memahami keadaan itu. Untuk tujuan itu, kita misalnya,
dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: perma- salahan apa yang
dihadapi, apa motivasi bersikap dan berperilaku, bagaimana perwatakan,
bagaimanakah sikap dan pandangannya ter- hadap permasalahan itu, apa (dan
bagaimana cara) yang dipikir, di- rasa, dan dilakukan, bagaimana keputusan yang
diambil, dan sebagai- nya.
Berdasarkan materi dan keterangan diatas maka penulis merasa tertarik
untuk menganalisis novel “someday” karya Winna Efendi dalam hal Tema. Sebab
tema yang muncul dalam novel ini terlihat sangat menarik untuk dikupas lebih
dalam.
BAB II
PEMBAHASAN

Novel yang akan penulis analisis adalah novel winna efendi yang berjudul
“someday”. Cerita ini tentang seorang perempuan muda yang sederhana, yang
bernama Christian Andersen dengan mimpi besar dan harapan yang besar pula.
Berperawakan tomboi, dengan penampilan yang biasa saja. Putri duyung yang
tinggal didasar samudra seperti dalam dongeng Hans Christin Andersen,yang
setiap hari bebas menelusuri keindahan lautan, dan berinteraksi dengan makhluk
makhluk laut yang hanya bisa dilihat manusia lewat program program discovery’s
channel di televisi. Selalu berada didalm air,dalam dunia yang selama ini tak lebih
dari sekadar fantasi bagi orang orang sepertiku.
Satu hal yang perlu diketahui, Milo gila latihan. Dia menghabiskan
sebagian besar waktunya dikolam renang berukuran olimpiade yang menjadi
kebanggaan SMA Pelita,bahkan melebihi jam latihan yang diwajibkan oleh
pelatih kami.

Dengan kehadirannya dia membawa kesepian, dan meskipun bersikeras


tidak percaya pada cinta, ia menyimpan keinginan yang besar untuk menemukan
sesuatu, atau seseorang, yang membuktikan sebaliknya.
I find a little bit of everyone of us in her. Ini adalah kisahnya dalam
mencari, menemukan, juga merasakan kehilangan. Namun lebih dari itu semua,
ini adalah ceritanya dalam menemukan jati diri, serta apa yang benar-benar
diinginkannya. Bahwa tidak semua yang kita harapkan dapat berjalan sesuai
keinginan. Bahwa terkadang, kita jatuh dan terluka. Terkadang kita menempatkan
hati pada orang yang salah.

But it’s okay; maybe not today, but someday.

Lewat sekeping ceritanya, saya ingin percaya bahwa suatu hari semuanya
akan baik-baik saja.

Jatuh cinta itu merepotkan. Merepotkan dan menyakitkan. — Hal. 10

Menurutku, Blurb sendiri enggak membuat aku berimajinasi sama sekali


tentang isi/konflik dari novel ini. Namun saat aku telisik sekali lagi, aku
menyadari bahwa, novel ini mengenai seseorang—Chris—yang tidak percaya
pada cinta dan jatuh cinta pada orang yang salah.

Satu kalimat dalam Blurb; Terkadang kita menempatkan hati pada orang
yang salah.

Dan saat aku membuka halaman-halaman pertama, aku menemukan Chris


yang bersahabat dari kecil dengan Milo. Friendzone? Aku kira juga seperti itu,
apalagi diperkuat dengan Milo yang suka sama orang lain. Jadi aku menebak
bahwa Chris jatuh cinta kepada Milo namun ia menampik perasaan itu karena
Milo suka dengan orang lain.

Lalu saat Chris bertemu dengan seorang cowok yang menatapnya intens,
di arena perlombaan renang di sekolahnya. Aku merasa novel ini nggak ada
kaitannya dengan ‘frienzone’ dan ternyata, cerita ini, nggak semainstream itu.
Cerita ini bukan tentang friendzone. Itu aku sadari setelah terus menerus membaca
tanpa henti.

Cerita ini lebih kompleks dengan segala aspek yang membuat aku selalu
menahan napas tanpa sadar, menutup buku saat aku tak kuasa menahan rasa yang
timbul saat membaca.

Ketika berenang, hanya ada aku dan air, dan pikiran-pikiran kosong. —
Hal. 96

Chris suka sekali berenang, apalagi menenggelamkan diri. Baginya


menenggelamkan diri adalah wujud pelarian baginya.

Dan, siapa sosok cowok misterius itu? Dia adalah Art.

Saat pertama kali melihat Art, ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Entah
kenapa, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Art, namun aku menampik
pikiran negatif itu. Menurutku, mungkin karena dari pertama aku suka dengan
karakter dari Milo.

Tapi, pikiran negatif itu tetap datang. Sampai akhirnya di pertengahan


cerita aku menutup buku itu dan menghembuskan napas perlahan, karena tanpa
sadar aku menahan napas.

Kenapa aku menahan napas? Kalian harus baca sendiri karena aku gak
mau spoiler.

Lalu ada satu kutipan di buku seperti ini;

Orang-orang yang sama-sama pernah terluka akan dengan mudah saling


mengenali, lalu saling tertarik. — Hal. 81
Orang-orang itu adalah Chris dan Art. Mereka punya kesamaan yaitu
sama-sama terluka oleh kedua orangtuanya.

Chris yang mempunyai orangtua yang tidak harmonis saat mereka tahu
bahwa Colin—adik Chris—mempunyai sindrom yang membuatnya berbeda dari
kebanyakkan anak seusianya.

Sedangkan Art? Ia tidak mau membuka apa yang membuatnya terluka,


namun aku yakini bahwa, luka itu teramat dalam. Sangat dalam.

Karena luka itu pula membuat keduanya terikat.

Jika cinta memang cukup kuat untuk hadir diantara mereka sejak awal,
mengapa begitu mudahnya cinta itu berjalan pergi? — Hal. 29

Menurut gue, orang yang paling banyak tertawa justru adalah orang-orang
yang tersedih di dunia. — Hal. 151

Mungkin karena kesamaan itu, mereka seperti tahu apa yang pasti mereka
rasakan. Art tahu persis apa yang Chris rasakan begitu pula sebaliknya.

Dan, Chris meyakini bahwa, dua orang yang terluka pasti bisa mengobati
luka satu sama lain.

Tapi, bagaimana jika luka tersebut malah semakin lebar dan perih?

Review

Saat kalian membaca Someday, pasti kalian akan membenci Art. Aku
yakin itu. Namun, aku malah menyukai Art, apalagi saat tahu apa luka Art
tersebut.
Menyukai sekaligus mengasihani.

Novel ini benar-benar membawaku mencari, menemukan dan merasakan


kehilangan seseorang. Walaupun dia hanyalah tokoh fiksi bernama Art.

Art yang eksplosit, misterius, dan sulit di tebak.

Aku juga suka dengan persahabatan antara Chris dan Milo. Walaupun ada
‘jarak’ masing-masing sehingga mereka berjauhan tetapi mereka tetap saling
merangkul saat kesulitan.

I love Milo, but Art…sosok paling terkenang di buku ini.

Novel ini, memakai sudut pandang Chris, yang sangat aku suka ialah, aku
jadi tahu apa yang persis Chris rasakan saat melihat kedua orangtuanya,
kedekatannya dengan Milo dan juga Art.

Cerita ini bener-bener rekomen buat kalian, sedihnya tuh dapet banget.
Moral valuenya juga ada.

Dan oh ya, ada yang sudah menonton film posesif di bioskop? Dan, entah
kenapa aku seperti menonton film Someday disana. Keposesifan Yudhis di film
posesif hampir sama dengan Art, lalu Lala di film posesif yang baru pertama kali
jatuh cinta dan juga seorang atlet renang di sekolahnya sama seperti Chris,
membuat aku merasakan persamaan yang dalam pada film itu.

Atau cuma aku yang merasakan persamaan itu?

Terimakasih kak Winna Efendi telah memperkenalkan aku dengan sosok


Chris, Art dan Milo. Aku menjadi belajar suatu hal yang berharga dalam hidup
bahwa semua akan baik pada akhirnya, semua akan indah pada waktunya.
But it’s okay; maybe not today, but someday.

Anda mungkin juga menyukai