Anda di halaman 1dari 3

Putri Tunjung buih

Alkisah di Kalimantan Selatan, berdirilah Kerajaan Amuntai. Rakyatnya hidup


dama nanxvi sejahtera di bawah pemerintahan dua pemimpin, Raja Patmaraga
dan adiknya, Raja Sukmaraga.
Kedua raja itu memerintah dengan adil, saling menghargai, serta hidup rukun.
Namun ada satu hal yang mengurangi kebahagiaan mereka, yaitu mereka
belum dikaruniai anak. Sang adik, Raja Sukmaraga dan istrinya, sangat
mendambakan putra kembar. Dan mereka terus-menerus memintanya dalam
doa. Akhirnya, Tuhan mengabulkan doa mereka. Raja Sukmaraga sangat
bahagia, setiap malam ia mengelus perut istrinya sambil berkata, “Semoga anak
di kandunganmu ini putra kembar yang cakap.”
Istrinya hanya tersenyum tapi dalam hati mengiyakan harapan itu. Setelah
mengandung sembilan bulan, lahirlah putra kembar yang tampan. Raja
Sukmaraga mengumumkan berita bahagia itu pada kakaknya dan seluruh
rakyat.
Raja Patmaraga juga turut berbahagia atas kelahiran kemenakannya itu. Namun
dalam hati, ia sangat sedih. Ia juga ingin dikaruniai anak. Tak harus sepasang
anak laki-laki, anak perempuan pun akan ia terima dengan suka cita.
Raja Patmaraga berdoa, memohon petunjuk Tuhan. Ia mendapat jawaban lewat
mimpi. Dalam mimpinya, Raja Patmaraga diminta untuk bertapa di Candi Agung
yang berlokasi di luar Kerajaan Amuntai. Esok harinya, tanpa menunda-nunda
lagi, Raja Patmaraga berangkat bersama beberapa pengawal dan tetua istana,
Datuk Pujung.
Di sana, Raja Patmaraga segera bertapa selama bebera a hari. Meski pun belum
mendapat petunjuk, la yakin Tuhan akan mengabulkan doanya. Benar saja
dalam perjalanan pulang, Raja Patmaraga melewati sungai. Betapa terkejutnya
ia ketika melihat seorang bayi perempuan yang sangat cantik terapung-apung di
sungai itu.
“Apa itu? Apakah aku tak salah lihat? Bagaimana bisa ada bayi di sini?” tanyanya
dalam hati. Dengan sangat hati-hati, ia mengangkat bayi itu. “Datuk Pujung,
bantulah aku menggendong bayi ini.”
Dengan sigap Datuk Pujung mengambil bayi itu dari pelukan Raja Patmaraga.
Betapa herannya mereka, bayi itu tidak menangis melainkan berbicara!
Mereka ternganga mendengar kata-kata yang terucap dari mulut bayi itu,
“Jangan bawa aku seperti ini. Mintalah 40 wanita cantik untuk menjemputku.
Satu lagi, aku tak bisa ikut dalam keadaan telanjang seperti ini. Kalian harus
menyediakan selembar selimut yang ditenun dalam waktu setengah hari saja.”
Raja Patmaraga segera memerintah Datuk Pujung untuk kembali ke istana dan
mengadakan sayembara untuk mendapatkan selimut yang diminta bayi itu.
Selain itu, ia juga harus mengumpulkan 40 wanita cantik.
“Pengumuman, Raja Patmaraga sedang menunggu kita. Barang siapa mampu
menenun selembar selimut untuk bayi dalam waktu setengah hari, akan
diangkat menjadi pengasuh bayi,” kata Datuk Pujung
Mendengar pengumuman itu, rakyat gaduh dengan bisikan-bisikan yang
menanyakan siapa kira-kira yang mampu menenun selembar selimut dalam
waktu setengah hari. Para wanita mulai bekerja. Mereka menggunakan benang
terbaik.Namun sampai waktu yang ditentukan, tak seorang pun yang selesai.
Datuk Pujung nyaris putus asa, ketika tiba-tiba seorang wanita menghampirinya.
Tuanku, ini selimut hasil tenunan saya. Periksalah dengan cermat apakah
selimut ini cukup untuk menyelimuti bayi Raja Patmaraga?” katanya sambil
menyerahkan selembar selimut yang dilipat rapi.
Datuk Pujung membuka lipatan selimut tersebut dan “Waaahhhhh… indah sekali
selimut itu,” gumam para wanita yang berkerumun di sekitar Datuk Pujung.
“Siapakah namamu? Aku rasa kau pantas menjadi pengasuh bayi Raja
Patmaraga,” kata Datuk Pujung.
“Nama saya Ratu Kuripan. Saya akan sangat senang jika Raja Patmaraga
berkenan menjadikan saya pengasuh untuk putrinya,” jawab wanita itu.
Datuk Pujung, Ratu Kuripan, don 40 wanita cantik berangkat menjemput Raja
Patmaraga. Bayi itu dibungkus dengan selimut buatan Ratu Kuripan.
“Cantik sekali. Karena kau kutemukan terapung di atas buih-buih, maka kau
kunamakan Putri Junjung Buih,” kata Raja Patmaraga. Bayi itu tersenyum, seolah
setuju dengan Raja Patmaraga. Kebahagiaan rakyat Amuntai telah Iengkap
bersama dua raja dan putra-putri mereka. Negeri itu hidup damai dan bahagia.

Ingrisnya
Once upon a time in South Kalimantan, there was the Kingdom of Amuntai. There’s people
lived in peace and prosperity under the rule of two leaders, King Patmaraga and his younger
brother, King Sukmaraga.
The two kings ruled fairly, respected each other, and lived in harmony. But there was one
thing that detracted from their happiness, and that was that they had not been blessed with
children. The younger brother, King Sukmaraga and his wife, was wanted a twin sons. And
they constantly asked for them in prayer. Finally, God answered their prayers. King
Sukmaraga was so happy, every night he stroked his wife's belly saying, "May the children in
your womb be capable twins."
His wife just smiled but silently agreed to the wish. After nine months of pregnancy,
handsome twin sons were born. King Sukmaraga announced the happy news to his brother
and all the people.

2
King Patmaraga was also happy for the birth of his nephew. But in his heart, he was very sad.
He also wanted to be blessed with children. It didn't have to be a boy, but a girl he would
gladly accept.
King Patmaraga prayed, asking God for guidance. He got an answer through a dream. In his
dream, King Patmaraga was asked to meditate in the Great Temple located outside the
Amuntai Kingdom. The next day, without further delay, Raja Patmaraga departed with
several bodyguards and the palace elder, Datuk Pujung.
There, King Patmaraga immediately meditated for several days. Even though he had not
received any guidance, he was sure that God would answer his prayers. Sure enough on his
way home, King Patmaraga passed by a river. How surprised he was when he saw a very
beautiful baby girl floating in the river.
"What is that? Am I not mistaken? How can there be a baby here?" he asked himself. Very
carefully, he picked up the baby. "Datuk Pujung, help me carry this baby."
Datuk Pujung swiftly took the baby from King Patmaraga's arms. To their astonishment, the
baby did not cry but spoke!
They were stunned at the words that came out of the baby's mouth, "Don't take me like this.
Ask 40 beautiful women to pick me up. One more thing, I can't come naked like this. You
must provide a blanket woven in half a day."
King Patmaraga immediately ordered Datuk Pujung to return to the palace and hold a contest
to get the blanket that the baby requested. In addition, he also had to gather 40 beautiful
women.
"Announcement, King Patmaraga is waiting for us. Whoever is able to weave a blanket for
the baby within half a day, will be appointed as the babysitter," said Datuk Pujung.
Hearing the announcement, the people were noisy with whispers asking who would be able to
weave a blanket in half a day. The women began to work. They used the best thread, but until
the appointed time, no one finished. Datuk Pujung was almost desperate, when suddenly a
woman approached him.
My lord, this is my woven blanket. Check carefully whether this blanket is enough to cover
King Patmaraga's baby?" he said while handing over a neatly folded blanket.
Datuk Pujung unfolded the blanket and "Waaahhhhh... what a beautiful blanket," murmured
the women who gathered around Datuk Pujung.
"What is your name? I think you deserve to be King Patmaraga's baby sitter," said Datuk
Pujung.
"My name is Ratu Kuripan. I will be very happy if King Patmaraga is pleased to make me a
nanny for his daughter," the woman replied.
Datuk Pujung, Ratu Kuripan, and 40 beautiful women went to pick up King Patmaraga. The
baby was wrapped in a blanket made by Ratu Kuripan.
"Very beautiful. Because I found you floating on the bubbles, I named you Princess Junjung
Buih," said King Patmaraga. The baby smiled, as if agreeing with King Patmaraga. The
happiness of the people of Amuntai was complete with the two kings and their daughters. The
land lived in peace and happiness.
Diterjemahkan dengan DeepL https://www.deepl.com/app/?
utm_source=android&utm_medium=app&utm_campaign=share-translation

Anda mungkin juga menyukai