Anda di halaman 1dari 49

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
33

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Letak Geografis Kabupaten Sukoharjo
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi
Jawa Tengah dengan luas wilayah sebesar 46.666 Ha atau 1,43% luas
wilayah Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomis Kabupaten Sukoharjo
terletak pada 1100 42’ 06,79” - 1100 57’ 33,70” Bujur Timur dan 70 32’
17.0 ” - 70 49’ 32.00” Lintang Selatan. Kabupaten Sukoharjo secara
topografis memiliki kemiringan datar (0%-2%) seluas 36.443 Ha,
bergelombang (2%-15%) seluas 8.609,25 Ha, curam (15%-40%) seluas
1.088,75 Ha dan sangat curam seluas 525 Ha.
Kabupaten Sukoharjo memiliki 16 embung, 1 waduk, 1 bendungan, 70
daerah irgiasi dan 34 sungai dimana Sungai Bengawan Solo merupakan
sungai dengan panjang 41,5 Km (Dinas Lingkungan Hidup Sukoharjo,
2018). Kabupaten Sukoharjo terletak diantara 6 (enam) Kabupaten/Kota,
yang berbatasan langsung secara administratif sebagai berikut:
a. Utara :Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar
b. Timur :Kabupaten Karanganyar
c. Selatan :Kab. Gunung Kidul (DIY) dan Kab. Wonogiri
d. Barat :Kab. Boyolali dan Kab. Klaten
Wilayah Kabupaten Sukoharjo sebelah utara yaitu Kecamatan Baik,
Kevamatan Grogol, dan Kecamatan Mojolaban berbatasan langsung dengan
Kota Surakarta. Sedangkan tiga Kecamatan yang dilalui oleh jalur lintas
Provinsi adalah Kecamatan Nguter, Kecamatan Sukoharjo, dan Kecamatan
Grogol. Wilayah terluas adalah Kecamatan Polokarto dengan luas 6.216 Ha
(13,32%). Wilayah terkecil adalah Kecamatan Kartasura dengan luas 1.923
Ha (4,12%). Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Sukoharjo tersaji
pada tabel 4.1.

commit to user

33
library.uns.ac.i digilib.uns.a3

Tabel 4.1 Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Sukoharjo

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka (2017)

Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah (2011-2031)


Gambar 4.1 Rencana Pola Wilayah di Kabupaten Sukoharjo
Pola Perencanaan tata ruang wilayah di Kabupaten Sukoharjo diatur
dalam Peraturan Daerah No 14 Tahun 2011. Pasal 30 dan Pasal 22 huruf b
membagi pola perencanaan tata ruang wilayah dalam (a) kawasan
peruntukan hutan produksi; (b) kawasan hutan rakyat; (c) kawasan
peruntukan pertanian; (d) kawasan peruntukan perikanan; (e) kawasan
peruntukan pertambangan; (f) kawasan peruntukan industri; (g) kawasan
peruntukan pariwisata; (h) kawasan peruntukan permukiman; dan (i)
Kawasan peruntukan lainnycao. mmit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a3

Kawasan peruntukan hutan produksi terdapat dalam pasal 31.


Kawasan peruntukan hutan produksi berupa hutan produksi terbatas dengan
luas 70,3 (tujuh puluh koma tiga) hektar meliputi (a) Kecamatan Tawangsari
dan (b) Kecamatan Bulu. Dalam pasal 32, kawasan peruntukan hutan rakyat
dengan luas 7.724 (tuju ribu tujuh ratus dua puluh empat) hektar meliputi (a)
Kecamatan Weru, (b) Kecamatan Tawangsari; (c) Kecamatan Bulu; (d)
Kecamatan Nguter; (e) Kecamatan Bendosari; dan (f) Kecamatan Polokarto.
Dalam pasal 33 kawasan peruntukan pertanian terdiri dari 4 kawasan
meliputi (a) kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan; (b) kawasan
peruntukan hortikultura; (c) kawasan peruntukan perkebunan; dan (d)
kawasan peternakan. Dalam pasal 33 ayat (1), kawasan peruntukan
pertanian tanaman pangan terdiri atas (a) pertanian lahan basah dan (b)
pertanian lahan kering.
Dalam pasal 33 ayat 2 huruf a, pertanian lahan basah dengan luas
21.113 (dua puluh satu ribu seratur tiga belas) hektar meliputi (a)
Kecamatan Kartasura; (b) Kecamatan Gatak; (c) Kecamatan Baki; (d)
Kecamatan Grogol; (e) Kecamatan Mojolaban; (f) Kecamatan Polokarto; (g)
Kecamatan Sukoharjo; (h) Kecamatan Bendosari; (i) Kecamatan Nguter; (j)
Kecamatan Tawangsari; (k) Kecamatan Weru); dan (l) Kecamatan Bulu.
Dalam pasal 33 ayat 2 huruf b, pertanian lahan kering dengan luas
2.629 (dua ribu enam ratus dua puluh sembilan) hektar meliputi (a)
Kecamatan Sukoharjo; (b) Kecamatan Bendosari; (c) Kecamatan Nguter;
(d) Kecamatan Polokarto; (e) Kecamatan weru; (f) Kecamatan Bulu; dan (g)
Kecamatan Tawangsari. Kemudian Kawasan peruntukan pertanian tanaman
panagn pada ayat (2) ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Dalam pasal 35 kawasan peruntukan pertambangan memiliki luas 89
(delapan puluh sembilan) hektar meliputi (a) penambangan bahan mineral
bukan logam dan bantuan terdiri dari Kecamatan Bendosari, Kecamatan
Nguter, Kecamatan Weru, Kecamatan Bulu, dan Kecamatan Polokarto; (b)
penambangan batu kapur berada di Kecamatan Weru.
commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a3

Dalam pasal 36 Kawasan peruntukan indsutri meliputi (a) Industri


besar dengan luas 621 (enam ratus dua puluh satu) hektar meliputi
Kecamatan Kartasura, Kecamatan Grogol, Kecamatan Sukoharjo, dan
Kecamatan Nguter; (b) Industri menengah dengan luas 495 (empat ratus
sembilan puluh lima) hektar meliputi Kecamatan Grogol, Kecamatan Gatak,
Kecamatan Sukoharjo, Kecamatan Baki, Kecamatan Nguter, Kecamatan
Weru, dan Kecamatan Tawangsari; serta (c) Industri Kecil dan Mikro
berada pada lingkungan sektora permukiman tersebar di seluruh kecamatan.
Dalam pasal 38 Kawasan peruntukan permukiman memiliki luas
17.674 (tujuh belas ribu enam ratus tujuh puluh empat) hektar terdiri dari (a)
permukiman perkotaan dengan luas 5.518 (lima ribu lima ratus delapan
belas) hektar meliputi desa/kelurahan yang termasuk di Kawasan perkotaan
seluruh kecamatan; (b) permukiman perdesaan memiliki luas 12.156 (dua
belas ribu seratus lima puluh enam) hektar tersebar di kawasan perdesaan.
Kebupaten Sukoharjo berada pada ketinggian wilayah antara 80- 125
diatas permukaan air laut. Tempat tertinggi di atas permukaan air laut
adalah Kecamatan Polokarto 125 m dpal dan wilayah terendah adalah
Kecamatan Grogol 80 m dpal. Berdasarkan relief, Kabupaten Sukoharjo
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu daerah datar meliputi
Kecamatan Kartasura, Baki, Gatak, Grogol, Sukoharjo, dan Mojolaban.
Sedangkan daerah yang miring meliputi Kecamatan Polokarto, Bendosari,
Nguter, Bulu, dan Weru.

Sumber : Rencana Tata RuangcWomilmayiathto(RuTsRerW) Kabupaten


Sukoharjo (2017)
Gambar 4.2 Peta Kelerengan di Kabupaten Sukoharjo
library.uns.ac.i digilib.uns.a3

Berdasarkan kelerengan, Kabupaten Sukoharjo dapat dikelompokkan


menjadi dua kelompok yaitu daerah datar dan daerah miring. Daerah datar
meliputi Kecamatan Kartasura, Baki, Gatak, Grogol, Sukoharjo, dan
Mojolaban. Daerah miring meliputi Kecamatan Polokarto, Bendosari, Nguter,
Bulu, dan Weru. Peta kelerangan Kabupaten Sukoharjo menunjukkan bahwa
terdapat 10 Kecamatan didominasi pada kelerangan datar. Tempat tertinggi
diatas permukaan air laut adalah Kecamatan Polokarto yaitu 125 m dpl dan
yang terendah adalah Kecamatan Grogol 89 m dpl. Ketinggian Kabupaten
Sukoharjo menurut kecamatan tersaji pada grafik 4.1.

Sumber: RTRW Kabupaten Sukoharjo (2017)


Grafik 4.1 Ketinggian Kabupaten Sukoharjo Menurut Kecamatan Berdasarkan peta kelerangan
terletak pada kelerengan atau kemiringan 0-2%.Kondisi ini memiliki keuntungansecarageogra

bangunan, dan tanaman pangan karena kelerangan tersebut tidak rawan tanah
longsor. Apabila gambar 4.2 dibandingkan gambar 4.1, Kawasan peruntukan
perumahan; perindustrian; dan pertanian cenderung dikembangkan pada
kelerangan 0-2 % dan 2-5%.
Berdasarkan jenis tanah, Kabupaten Sukoharjo memiliki enam jenis
tanah yang beberda. Jenis tanah yang paling banyak ditemui adalah jenis
gromosol yang tersebar di wilayah Kabupaten Sukoharjo bagian tengah
terdiri dari Kecamatan Mojolaban, Polokarto, Bendosari, Nguter, Tawangsari,
dan Bulu. Jenis aluvium terdapat pada Kecamatan Baki, Grogol, Sukoharjo,
dan Nguter. Jenis tanah ini tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura,
Nusa Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Tanah ini memiliki sifat mengembang
commit to user
bila basah dan mengkerut bila kering, sehingga pengelolaan tanah ini perlu
library.uns.ac.i digilib.uns.a3

irigasi air yang baik untuk memeuhi kebutuhan tanaman. Tanaman yang
dapat tumbuh di tanah Gromosol adalah padi, jagung, kedelai, tebu, kapas,
tembakau, dan jati (Buol; F.D Hole; dan R.J Mc Cracker, 1980). Ketika
gambar 4.3 dibandingkan gambar 4.1, perkembangan kawasan pertanian
untuk tanaman pangan banyak dikembangkan pada area dengan jenis tanah
gromosol.
Jenis Latosol terdapat pada Kecamatan Polokarto, Bendosari, dan
Nguter. Jenis regosol terdapat pada ujung bagian barat yaitu Kecamatan Kartasura, Gatak, Weru

Sumber: RTRW Kabupaten Sukoharjo (2017)


Gambar 4.3 Peta Jenis Tanah di Kabupaten Sukoharjo
2. Penggunaan Lahan
Luas Kabupaten Sukoharjo adalah 46.666 Hektar atau 1,43% dari luas
Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Sukoharjo memiliki 12 Kecamatan.
Kecamatan Mojolaban merupakan Kecamatan terluas di Kabupaten
Sukoharjo. Sedangkan, Kecamatan Nguter memiliki luas wilayah paling
rendah dari pada Kecamatan yang lain di Kabupaten Sukoharjo. Luas

Kabupaten Sukoharjo menuru t k e ca m a ta n te rsaji pada grafik 4.2.


c o m m i t t o u se r
library.uns.ac.i digilib.uns.a3

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka (2018)


Grafik 4.2 Luas Kabupaten Sukoharjo Menurut Kecamatan
Menurut penggunaan lahan, Kabupaten Sukoharjo terdiri dari lahan
sawah sebesar 43,84% (20.460 Hektar) dan lahan bukan sawah 56,16%
(26.206 Hektar) pada tahun 2018. Dari luas lahan sawah tahun 2018,
Kabupaten Sukoharjo mempunyai sawah irigasi teknis 70,72% (14.469
hektar); irigasi 1/2 teknis 10,95% (2.241 hektar); irigasi sederhana 9,16%
(18.584 hektar); dan sawah tadah hujan 9,16% (1.876 hektar). Luas lahan
sawah menurut jenis pengairan tersaji pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Luas Sawah Menurut Jenis Pengairan di Kabupaten Sukoharjo
Jenis sawah (hektar)
Total Luas
Tahun Irigasi Irigasi ½ Irigasi Tadah
Sawah
Teknis Teknis Sederhana Hujan
2003 14.587 2.244 2.039 2.314 21.184
2004 14.576 2.250 2.053 2.305 21.184
2005 14.799 2.139 1.952 2.229 21.119
2006 14.798 1.897 1.937 2.464 21.096
2007 14.813 1.897 1.937 2.464 21.111
2008 14.823 1.897 1.937 2.464 21.121
2009 14.900 1.902 2.021 2.434 21.257
2010 14.930 1.902 2.021 2.434 21.287
2011 14.809 1.903 1.929 2.413 21.054
2012 14.781 2.172 1.913 2.144 21.010
2013 14.774 2.174 1.903 2.007 20.858
2014 14.751 2.161 1.895 2.007 20.814
2015 14.692 2.161 1.944 1.846 20.643
2016 14.655 2.161 1.967 1.834 20.617
2017 14.556 2.161 1.967 1.834 20.518
2018 14.469 2.241 1.874 1.876 20.460
Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS (2002-2019)

Dari lahan bukan sawa h ta hu n 20 1 8 terdiri dari tanah


c om m it to u se r
kering 95,81% (25.108 hektar); hutan negara 1,49% (390 hektar); dan
perkebunan negara
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

2,70% (708 hektar). Dari jenis penggunaan tanah kering pada tahun 2018,
Penggunaan tanah kering untuk pekarangan lebih besar dari pada penggunaan
kebun; hutan rakyat; dan tambak. Lahan pekarangan sebesar 64,91% (17.009
hektar); Kebun 15,36% (4.025 hektar); hutan rakyat 5,27% (1.382 hektar);
dan tambak 0,19% (49 hektar). Luas lahan bukan sawah menurut jenis
penggunaan tersaji pada tabel 4.3 dan jenis penggunaan tanah kering tersaji
pada grafik 4.3.
Tabel 4.3 Luas Bukan Sawah Menurut Jenis Penggunaan di Kabupaten
Sukoharjo
Jenis Bukan Sawah (hektar) Total Luas
Tahun Tanah Hutan Perkebunan Bukan
Kering Negara Negara Pekarangan Sawah
2003 24.337 390 755 15.613 25.482
2004 24.343 390 755 15.627 25.482
2005 24.398 390 759 15.814 25.547
2006 24.472 390 708 16.063 25.570
2007 24.457 390 708 16.074 25.555
2008 24.442 390 708 16.087 25.545
2009 24.307 390 708 16.099 25.409
2010 24.281 390 708 16.058 25.379
2011 24.514 390 708 16.223 25.612
2012 24.558 390 708 16.268 25.656
2013 24.710 390 708 16.464 25.808
2014 24.754 390 708 16.473 25.852
2015 24.925 390 708 16.671 26.023
2016 24.951 390 708 16.761 26.049
2017 25.050 390 708 16.881 26.148
2018 25.108 390 708 17.009 26.206
Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002-2019)

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS (2002-2019)


commit to user
Grafik 4.3 Jenis Penggunaan Tanah Kering di Kabupaten Sukoharjo
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

Dari tahun 2003 hingga tahun 2018 terlihat jika lahan sawah cenderung
mengalami pengurangan dan sebaliknya luas lahan bukan sawah mengalami
perluasan. Luas lahan bukan sawah yang mengalami perluasan adalah
pekarangan. Pekarangan berkaitan dengan kebutuhan penduduk untuk tempat
tinggal. Sedangkan luas lahan sawah menurut jenis pengairan, semua jenis
lahan sawah mengalami pengurangan luas selama 15 tahun kecuali jenis
irigasi 1/2 teknis yang mengalami peningkatan pada tahun 2018. Peta
penggunaan lahan Kabupaten Sukoharjo tersaji pada gambar 4.4.

Sumber: RTRW Kabupaten Sukoharjo (2017)


Gambar 4.4 Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukoharjo
Permukiman di Kabupaten Sukoharjo memiliki kecenderungan dalam
pengembangan untuk mengikuti Jalan Kabupaten yang menghubungkan
Kabupaten Sukoharjo dengan Kabupaten lainnya seperti Klaten, Wonogiri,
dan Kota Surakarta (Jati dan Christanto, 2012). Pola permukiman yang
terbentuk di Kecamatan Grogol, Kecamatan Kartasura, Kecamatan Nguter
dan Kecamatan Sukoharjo adalah pola linear mengikuti jalan, sungai, dan
batas administrasi. Sedangkan pola permukiman yang terbentuk di
Kecamatan Baki, Kecamatan Weru, Kecamatan Tawangsari, Kecamatan
Bulu, Kecamatan Gatak, Kecamatan Polokarto, Kecamatan Bendosari, dan
Kecamatan Mojolaban tidak terbentuk secara jelas.
commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo No.14 Tahun


2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukoharjo Tahun
2011-2031 yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo
No.1 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten
Sukoharjo No.14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Sukoharjo Tahun 2011-2031 pembagian kawasan peruntukan di
Kabupaten Sukoharjo tersaji pada tabel 4.4
Tabel 4.4 Kawasan Peruntukan di Kabupaten Sukoharjo
Luas Wilayah (Hektar)
No Kawasan Peruntungan
2011 2018
1 HutanProduksi 70,3 70
2 Hutan Rakyat 7.724 3.500
3 TanamanPangan 23.742 26.864
Seluruh Seluruh
4 Hortikultura
Kecamatan Kecamatan
5 Perkebunan 708 708
6 Peternakan 249 138
7 Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 23.742 23.742
8 Pertambangan 89 166
9 Industri 1.116 2.352
10 Pariwisata 65 9
11 Permukiman 17.674 17.102
Kawasan
pertahanan
12 Lainnya 127
dan
keamanan
Sumber: RTRW Kabupaten Sukoharjo (2011 dan 2018)
3. Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Jumlah penduduk di Kabupaten Sukoharjo secara keseluruhan
menunjukkan trend peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata 0,845
selama 21 tahun dari 1998 hingga 2018. Laju pertumbuhan penduduk selama
21 tahun mengalami trend penurunan dari 1,57% pada tahun 1999 menjadi
0,78% pada tahun 2018. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
penduduk dapat ditekan. Berdasarkan data 20 tahun terakhir, jumlah
penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki dengan
angka sex ratio 97,05% pada tahun 1999 meningkat menjadi 98,18% pada
tahun 2018. Sex ratio menunjukkan bahwa jika dalam 100 perempuan
terdapat 98 laki-laki. Sex ratcioomtmeristetbouut smerenunjukkan angka
harapan hidup
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

penduduk perempuan lebih tinggi dibanding penduduk laki-laki. Jumlah


penduduk Kabupaten Sukoharjo tersaji pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Jumlah, Pertumbuhan, dan Sex Ratio Penduduk Kab. Sukoharjo
Penduduk (Jiwa) Pertumbuhan Sex
Tahun
Laki-Laki Perempuan Jumlah (%) Ratio
1999 382.252 393.855 776.107 1,00 97,05
2000 386.931 401.395 788.326 1,57 96,40
2001 392.518 403.162 795.680 0,93 97,36
2002 396.068 406.434 802.502 0,86 97,45
2003 399.290 409.521 808.811 0,79 97,50
2004 402.725 412.364 815.089 0,78 97,66
2005 405.831 415.382 821.213 0,75 97,70
2006 408.506 417.783 826.289 0,62 97,78
2007 411.340 420.273 831.613 0,64 97,87
2008 414.292 422.987 837.279 0,68 97,94
2009 417.276 425.851 843.127 0,70 97,99
2010 419.438 427.540 846.978 0,46 98,10
2011 421.776 429.381 851.157 0,98 98,23
2012 425.008 432.413 857.421 0,94 98,29
2013 428.159 435.534 863.693 0,91 98,31
2014 431.086 438.395 869.481 0,88 98,33
2015 434.278 441.639 875.917 0,86 98,33
2016 431.686 439.711 871.397 0,83 98,17
2017 435.183 443.191 878.374 0,80 98,19
2018 438.527 446.678 885.205 0,78 98,18
Sumber : Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002-2019)
Berdasarkan data jumlah penduduk menurut Kecamatan di Kabupaten
Sukoharjo dari tahun 2000; 2010; 2014; dan 2018, terdapat 7 Kecamatan
mengalami penurunan jumlah penduduk meliputi Kecamatan Weru; Bulu;
Tawangsari; Nguter; Bendosari; Polokarto; dan Gatak. Jumlah penduduk
terbanyak berada di Kecamatan Grogol dan paling sedikit berada di
Kecamatan Bulu. Jumlah penduduk menurut Kecamatan tersaji pada tabel
4.6.
Kecamatan Grogol menjadi daya tarik bagi penduduk karena
kelerangan yang datar, pusat perdagangan, dan berbatasan langsung dengan
Kota Surakarta. Sedangkan Kecamatan Bulu memiliki daya tarik yang rendah
bagi penduduk karena kelerangan >40% dan kawasan peruntunkan hutan
produksi tetap. Aksesbilitas Kecamatan Grogol jauh lebih mudah dari pada
Kecamatan Bulu yang jauh dari pusat perdagangan di Kota Surakarta dan
commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

Kabupaten Sukoharjo. Jumlah penduduk menurut Kecamatan di Kabupaten


Sukoharjo tersaji pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Sukoharjo
2000 2010 2014 2018
Kecamatan Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Penduduk % Penduduk % Penduduk % Penduduk %
Weru 64.729 8,21 66.893 7,9 67.789 7,8 49.511 5,6
Bulu 51.009 6,47 51.418 6,1 51.666 5,9 27.633 3,1
Tawangsari 56.676 7,19 58.885 6,9 59.483 6,8 47.948 5,4
Sukoharjo 76.817 9,74 85.166 10 87.280 10 91.020 10
Nguter 64.216 8,15 64.528 7,6 65.076 7,5 41.891 4,7
Bendosari 62.131 7,88 67.734 8 68.981 7,9 52.367 5,9
Polokarto 70.583 8,95 74.900 8,8 75.971 8,7 75.553 8,5
Mojolaban 72.054 9,14 79.427 9,4 82.559 9,5 96.268 10
Grogol 92.767 11,8 104.055 12 108.649 13 140.050 16
Baki 48.802 6,19 53.055 6,3 55.318 6,4 83.344 9,4
Gatak 44.798 5,7 48.772 5,8 50.899 5,9 49.039 5,5
Kartasura 83.744 10,6 92.145 11 95.810 11 130,581 15
Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002; 2011; 2015; dan 2019)
Berdasarkan kelompok usia, penduduk kelompok usia produktif pada
usia 15 tahun hingga 59 tahun meningkat dari 60,01% pada tahun 2000
menjadi 64,71% pada tahun 2018. Persentase penduduk kelompok usia
produktif lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk usia belum produktif
dan penduduk usia tidak produktif di Kabupaten Sukoharjo. Kondisi ini
menunjukkan bahwa Kabupaten Sukoharjo membutuhkan lebih banyak
lapangan pekerjaan guna mengurangi tingkat pengangguran pada
masyarakatnya.
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo telah menetapkan Peraturan Bupati
No.67 Tahun 2017 tentang Perluasan Kesempatan Kerja di Kabupaten
Sukoharjo. Berdasarkan pasal 10 ayat 1, Pemerintah Daerah melakukan
perluasan kesempatan kerja melalui (a) pembentukan dan pembinaan tenaga
kerja mandiri; (b) sistem padat karya; (c) penerapan teknologi tepat guna; (d)
pendayagunaan tenaga kerja sukarela; (e) penciptaan wirausaha; dan (f)
kemitraan.Penduduk menurut kelompok usia di Kabupaten Sukoharjo tersaji
pada tabel 4.7.

commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

Tabel 4.7 Penduduk Menurut Kelompok Usia Kab. Sukoharjo


Persentase Penduduk (%)
Kelompok Usia
2000 2006 2010 2014 2018
0–4 8,15 6,63 7,69 7,7 7,18
5–9 11,21 7,97 8,04 8,05 7,45
10 – 14 10,62 8,25 8,33 8,32 7,29
∑UsiaBlmProduktif 29,98 22,85 24,07 24,07 21,92
15 – 19 8,98 9,36 8,14 8,06 7,95
20 – 24 8,77 10,89 7,26 7,14 8,19
25 – 29 7,25 9,20 8,31 8,28 7,61
30 – 34 8,84 8,32 8,36 8,32 7,44
35 – 39 6,74 7,64 7,66 7,62 7,35
40 – 44 6,01 7,08 7,64 7,65 7,3
45 – 49 5,09 5,47 6,76 6,79 6,84
50 – 54 4,82 4,48 5,8 5,84 6,42
55 – 59 3,5 3,41 4,46 4,52 5,61
∑UsiaProduktif 60,01 65,84 64,39 64,21 64,71
60 – 64 3,37 3,54 3,42 3,46 4,55
65 – 69 2,82 2,78 2,99 3,04 3,27
70 – 74 1,99 2,48 2,3 2,34 2,22
75 + 1,83 2,50 2,84 2,88 3,32
∑UsiaTidakProduktif 10,01 11,31 11,54 11,72 13,36
Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2000; 2006; 2010; 2014; dan 2018)
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sukoharjo diikuti dengan
pertumbuhan angkatan kerja. Angkatan Kerja di Kabupaten Sukoharjo
memiliki kecenderungan meningkat dari 410.798 Jiwa pada tahun 2002
menjadi 471.973 Jiwa pada tahun 2018. Kabupaten Sukoharjo juga
mengalami peningkatan persentase penduduk yang bekerja seiring dengan
peningkatan angkatan kerja. Persentase penduduk yang bekerja meningkat
dari 94% pada tahun 2002 menjadi 97% pada tahun 2018. Jumlah angkatan
kerja dan persentase penduduk yang bekerja di Kabupaten Sukoharjo tersaji
pada grafik 4.4.

Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, BPS Jateng (2002-2019)


Grafik 4.4 Jumlah Angkatan Kerja Dan Persentase Penduduk Bekerja
c o m mit to user
Kabupaten Sukoh a r jo
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

4. Kondisi Perindustrian
Sektor industri memiliki peran sebagai penggerak pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Sukoharjo. Sektor Industri memiliki sumbangan paling
besar di Kabupaten Sukoharjo. Berdasarkan PDRB konstan, sektor industri
meningkat dari Rp1.014.529.700.000,00 pada tahun 2000 menjadi
Rp1.813.182.174.406,06 pada tahun 2014 (BPS Sukoharjo, 2014).
Berdasarkan tahun 2002 hingga 2017, rata-rata pertumbuhan jumlah
industri sebesar 1,1%. Jumlah industri meningkat dari 14.414 unit pada tahun 2002 menjadi 17.1

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002-2018)


Grafik 4.5 Jumlah dan Pertumbuhan Industri di Kabupaten Sukoharjo
Berdasarkan jumlah tenaga kerja dari tahun 2002 hingga 2017, jumlah
tenaga kerja di sektor industri meningkat dari 109.528 jiwa pada tahun 2002
menjadi 156.790 jiwa pada tahun 2017. Kontribusi jumlah tenaga kerja
industri terhadap jumlah penduduk bekerja meningkat dari 28% pada tahun
2002 menjadi 35% pada tahun 2017. Kontribusi tersebut menunjukkan peran
sektor industri dalam penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sukoharjo.
Pekerja Industri dan kontribusi terhadap penduduk bekerja di Kabupaten
Sukoharjo tersaji pada grafik c4o.6m.mit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002-2018)


Grafik 4.6 Pekerja Industri dan Kontribusi Terhadap Penduduk Bekerja di Kabupaten Sukohar
Berdasarkan jenis usaha, sektor industri digolongan menjadi Industri Agro dan Hasil Hutan (IA

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002-2018)


Grafik 4.7 Perbandingan Jumlah Pekerja IAHH; ITA; dan IKLME di
Kabupaten Sukoharjo
Berdasarkan Skala Usaha, sektor industri digolongan menjadi Industri
Besar; Menengah; dan Kecil. Industri Kecil menyerap tenaga kerja paling
banyak selama tahun 2002 hingga 2014. Jumlah pekerja inudstri kecil
meningkat dari 52.992 jiwa pada tahun 2002 menjadi 66.580 jiwa pada tahun
c o m m i t to u s e r
2014. Sedangkan periode 20 0 2 -2 0 1 7 , s e l is ih jumlah pekerja
Industri Besar
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

dan Kecil semakin sedikit. Kondisi ini menunjukkan bahwa Industri Besar
dan Kecil sebagai industri padat karya di Kabupaten Sukoharjo. Jumlah
pekerja Industri Besar; Menengah; dan Kecil di Kabupaten Sukoharjo tersaji
pada grafik 4.8.

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002-2018)


Grafik 4.8 Jumlah Pekerja Industri Besar; Menengah; dan Kecil di Kabupaten Sukoharjo
Berdasarkan produktivitas investasi menurut skala usaha pada periode 2002-2017, terjadi pening

merupakan industri padat karya. Produktivitas Investasi Industri menurut


skala usaha di Kabupaten Sukoharjo tersaji pada grafik 4.9.
18
16
Produktivitas Investasi

14
12
10
8
6
4
2
0
200020022004

2006 200820102012201420162018
Besar Menengah Kecil
Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002-2018)
Grafik 4.9 Produktivitas Investasi Industri Menurut Skala Usaha di
commit to user
Kabupaten Sukoharjo
library.uns.ac.i digilib.uns.a4

Berdasarkan produktivitas Investasi Industri menurut jenis usaha


(IAHH: ITA; dan IKLME) pada periode 2002 hingga 2017, terjadi
peningkatan produktivitas investasi dari semua jenis usaha. Sedangkan nilai
produktivitas investasi, Industri Agro dan Hasil Hutan (IAHH) lebih efisien
dalam penggunaan modal dari pada ITA dan IKLME karena jumlah pekerja
lebih sedikit dari pekerja ITA dan Kabupaten Sukoharjo memiliki potensi
dalam sumberdaya alam pertanian. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
IAHH merupakan industri padat karya. Produktivitas investasi industri
menurut jenis usaha tersaji pada grafik 4.10
8

6
Produktivitas Investasi

0
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018

IAHH ITA IKLME

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002-2018)


Grafik 4.10 Produktivitas Investasi Industri Menurut Jenis Usaha di
Kabupaten Sukoharjo
Berdasarkan kontribusi jumlah pekerja terhadap total penduduk bekerja
di Kabupaten Sukoharjo, Industri tekstil dan aneka (ITA) lebih besar
kontribusinya dibandingan IAHH dan IKLME. Rata-rata kontribusi pekerja
selama 2002 hingga 2017, ITA sebesar 16,1% ; IAHH 10,5%; dan IKLME
6,2%. Kontribusi jumlah pekerja industri menurut jenis usaha di Kabupaten
Sukoharjo tersaji pada tabel 4.8.

commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

Tabel 4.8 Kontribusi Jumlah Pekerja Industri Menurut Jenis Usaha di


Kabupaten Sukoharjo
Penduduk Bekerja Kontribusi (%)
Tahun
(Jiwa) IAHH ITA IKLME
2002 388.176 7,7% 15,2% 5,4%
2003 392.099 8,1% 15,2% 5,4%
2004 402.733 8,8% 14,9% 5,3%
2005 407.445 9,5% 15,0% 5,5%
2006 412.009 9,7% 15,1% 5,6%
2007 426.623 9,8% 14,8% 5,5%
2008 411.496 10,5% 15,7% 6,3%
2009 414.058 10,7% 15,7% 6,4%
2010 400.526 11,4% 16,5% 6,7%
2011 411.536 11,4% 16,7% 6,6%
2012 402.487 12,0% 17,1% 6,9%
2013 405.276 12,0% 17,1% 7,0%
2014 436.988 11,4% 16,3% 6,6%
2015 428.885 11,8% 17,4% 6,8%
2016 428.885 11,8% 17,4% 6,8%
2017 450.280 11,3% 16,9% 6,6%
Rata-Rata 10,5% 16,1% 6,2%
Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2002-2018)

5. Kondisi Otonomi Daerah di Kabupaten Sukoharjo


Kabupaten Sukoharjo merupakan Kabupaten muda yang lahir seiring
dengan Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945. Sebelum tahun 1945,
Sukoharjo bukan merupakan Kabupaten. Sukoharjo merupakan daerah
kawedanan dan masuk dalam Kekuasaan Kasunanan. Pada masa pendudukan
Jepang, wilayah Karesidenan Surakarta merupakan Daerah Istimewa yang
dikenal dengan Solo Ko (Kasunanan) dan Mangkunegaran Ko
(Mangkunegaran).
Wilayah Mangkunegaran meliputi Kabupaten Karanganyar, Wonogiri,
dan sebagian Kota Solo. Sementara wilayah Kasunanan meliputi Sregan,
Klaten, Boyolali, dan Kabupaten Kota Surakarta. Kedudukan Kabupaten
Sukoharjo seperti Kawedanan Delanggu di Kabupaten Klaten. Pemimpin
sebuah kawedanan adalah seorang Wedono. Kawedanan Sukoharjo masuk
dalam wilayah Kabupaten Kota Surakata.
Tanggal 23 Mei 1946 pemerintahan dari empat Kabupaten, yaitu
Klaten, Karanganyar, Boyolali, dan Wonogiri memutuskan hubungan dengan
Mangkunegaran dan Kasuncaonmanm. itEtmo puaset rKabupaten
teresebut lepas dari
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

pemerintahan Mangkunegara dan Kasunanan tidak terlepas dari pergolakan


politik yang mempertanyakan kedudukan Surakatra sebagai Daerah Istimewa
pada saat Indonesia merdeka. Pergolakan politik daerah istimewa Surakatra,
telah dimanfaatkan oleh rakyat Surakarta untuk membentuk Pemerintahan
Kota Surakatra yang berhak mengatur dan menyelenggarakan rumah
tangganya. Pergolakan politik tersebut berdampak pada pemindahan
pemerintahan Kabupaten Kota Surakarta ke Sukoharjo dan menyatakan
berdirinya kota Surakarta yang lepas dari Kasunanan pada tanggal 16 Juni
1946. Tanggal ini kemudian menjadi hari lahir Pemerintah Daerah
Kotamadya Surakarta.
Kemudian disusul dengan Penetapan Pemerintah No. 16/SD tanggal 15
Juli 1946 lingkungan Karesidenan Surakarta dibentuk suatu daerah baru
dengan Kota Surakarta yang dipimpin oleh seorang Walikota. Penetapan
Pemerintah pada tanggal 15 Juli 1946 merupakan bukti formal bahwa
Kasunanan dan Mangkunegaran dipandang sudah tidak ada dan wilayah-
wilayahnya untuk sementara menjadi wilayah Karesidenan Surakarta.
Wilayah Karesidenan Surakarta yang baru terbentuk pada 15 Juli 1946 terdiri
dari Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Klaten,
Sragen, Boyolali, Kawedanan Sukoharjo, Kawedanan Bekonang, Kawedanan
Kartasura, dan Kotamadya Surakarta.
Cakupan wilayah yang luas dari Karesidenan Surakarta perlu ada
koordinasi yang baik agar pembangunan wilayah dapat berjalan. Atas dasar
ini, para pemimipin Karesidenan Surakarta membentuk Kabupaten baru di
luar Kota Surkarta agar ketiga kawedanan (Sukoharjo, Bekonang, Kartasura)
dapat dibina dalam satu naungan pemerintah Kabupaten. Kemudian Komite
Nasional Indonesia (KNI) Daerah Surakarta menunjuk K.R.M.T Soewarno
Honggopati Tjitrohoepojo untuk menjadi Bupati. Setelah penetapan bupati
Sukoharjo dan Penetapan Pemerintah No.16/SD, tanggal 15 Juli 1946
ditetapkan menjadi Hari Lahir Kabupaten Sukoharjo. Penetapan ini kemudian
dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Sukoharjo No.17
tahun 1986 tentang Hari Lahir Kabupaten Sukoharjo yang disahkan
berdasarkan SK Gubernur KDcoHmTmiintgtkoaut sIeJrawa Tengah tanggal
15 Desember
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

1986 No. 188.3/480/1986 dan diundangkan dalam Lembaran Daerah


kabupaten Dati II Sukoharjo No.3 tahun 1987 Seri D No. 2 tanggal 9 Januari
1987.
Berdasarkan Penetapan Pemerintah No.16/SD, Kawedanan Sukoharjo
berubah menjadi Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Sukoharjo terdiri dari
3 Kawedanan yaitu Sukoharjo, Bekonang, dan Kartasura. Ketiga kawedanan
tersebut terdapat 12 Kecamatan. Kemudian Peraturan Presiden nomor 22
Tahun 1963 menghapus Karesidenan dan Kawedanan. Dampak dari Peraturan
Presiden tersebut, setiap Kecamatan langsung berada di bawah Pemerintahan
Kabupaten. Berdasarkan Peraturan Presiden No.22 Tahun 1963, wilayah
Kabupaten Sukoharjo menjadi 12 Kecamatan.
Era kebijakan otonomi daerah yang dimulai pada tahun 1999 telah
mengubah sistem pengelolaan keuangan daerah. Daerah memiliki wewenang
dalam pengelolaan keuangan daerah. Tujuan kebijakan otonomi daerah untuk
mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak daerah; peningkatan
pendapatan asli daerah dan pengurangan subsidi dari pusat; mendorong
pembangunan daerah sesuai dengan aspirasi masing-masing daerah
(Ndaparoka; Rantelobo; dan Samadara, 2018). Kebijakan otonomi daerah
dapat berjalan efektif, jika anggaran cukup untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan daerah.
Menurut Mayrowani (2012) dan Irawan (2005), pelaksanaan utama
dalam otonomi daerah adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
melalui setiap sumber yang sesuai potensi daerah. Pandangan penelitian
Mayrowani dan Irawan, sektor pertanian bukan merupakan sektor prioritas
yang dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga
perkembangan sektor pertanian merupakan urusan pilihan bagi Pemerintah
Daerah.
Asumsi tersebut didukung dengan UU No.23 Tahun 2014 tentang
pembagian urusan Pemerintah Daerah yang membagi antara urusan wajib dan
pilihan. Sektor pertanian termasuk dalam urusan pilihan. Asumsi tersebut
berdampak pada hubungan negatif antara Pendapatan Asli Daerah dengan
PDRB sektor pertanian dan lucaosmlmahiat ntosauwsearh.
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

Kabupaten Sukoharjo dalam upaya peningkatkan Pendapatan Asli


Daerah sesuai penelitian Mayrowani (2012) dan Irawan (2005). Berdasarkan
catatan atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Tahun
Anggaran 2019, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dilakukan
dengan memperluas lapangan kerja dan pergeseran kegiatan ekonomi dari
sektor primer (pertanian dan pertambangan) ke sektor sekunder (industri
pengolahan; listrik; dan bangunan) dan tersier (perdagangan; pengangkutan;
keuangan; dan jasa-jasa).
Nilai PDRB tiga jenis sektor utama (Sektor primer; sekunder; dan
tersier) cenderung meningkat dari tahun 2011 hingga 2019. Nilai PDRB
sektor primer meningkat dari Rp873.423 tahun 2011 menjadi Rp1.111.708
tahun 2019. PDRB sektor sekunder meningkat dari Rp1.920.509 tahun 2011
menjadi Rp3.055.194 tahun 2019. PDRB sektor tersier meningkat dari
Rp717.341 tahun 2011 menjadi Rp1.148.386 tahun 2019. PDRB sektor
sekunder mendominasi dari pada sektor primer dan tersier. PDRB atas dasar
harga konstan tahun 2010 untuk sektor primer; sekunder; dan tersier di
Kabupaten Sukoharjo tersaji pada grafik 4.11

Sumber: BPS Sukoharjo (2011-2019)


Grafik 4.11 PDRB Harga Konstan (Dalam Juta Rupiah)
Tahun Dasar 2010 Kabupaten Sukoharjo
Pergeseran sektor primer ke sekunder dan tersier karena peningkatan
angkatan kerja Kabupaten Sukoharjo. Kondisi tersebut mendorong
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo melakukan perluasan kesempatan kerja.
Alasan lain, Bupati Sukoharjo memiliki target untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai promosi politiknya saat pilkada
2016.
commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

Pernyataan tersebut dikutip dari media solopotv pada tanggal 29 Juli


2015 terkait promosi program kerja calon bupati pada Pilkada 2016. Pada
Periode 2010-2016, Wardoyo sebagai Bupati Sukoharjo telah menetapkan
Peraturan Daerah (Perda) No.05 Tahun 2011. Setelah terpilih sebagai Bupati
Sukoharjo periode 2016-2021, Wardoyo menetapkan Perda No.02 Tahun
2018 tentang pedoman pembangunan industri di Kabupaten Sukoharjo. Dua
periode Wardoyo sebagai Bupati Sukoharjo memiliki dapat pada
peningkatan investasi yang lebih tinggi dari pada periode Bambang Riyanto.
Jumlah investasi dalam negeri dan proyek di Kabupaten Sukoharjo tersaji
pada grafik 4.12

Sumber: National Single Window for Investment (NSWI), 1993-2019


Grafik 4.12 Investasi Dalam Negeri dan Proyek di Kabupaten Sukoharjo
Sektor sekunder dan tersier memiliki kontribusi PDRB yang lebih
besar dari pada sektor primer. Kontribusi PDRB tersebut memberikan
dampak pada pendapatan asli daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Sukoharjo meningkat dari tahun 1994 hingga 2019. PAD
meningkat dari Rp5.690.657.000 pada tahun 1994 menjadi
Rp315.261.722.000 pada tahun 2019. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Sukoharjo tersaji pada grafik 4.13.
Rp503.000.000.000
Rp403.000.000.000 Rp303.000.000.000 Rp203.000.000.000 Rp103.000.000.000 Rp3.000.000.000
Pendapatan Asli
Daerah

Sumber: Kementerian Koordinator Perekonomian (2014), dan


Kemnterian Keuangan (2014-2019)
commit to user
Grafik 4.13 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sukoharjo
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

Total pendapatan Kabupaten Sukoharjo meningkat dari tahun 1994


hingga 2019. Total pendapatan meningkat dari Rp22.860.779.000 pada tahun
1994 menjadi Rp1.969.651.846.000. Total pendapatan Kabupaten Sukoharjo
tersaji pada grafik 4.14.
Rp2.519.000.000.000
00.000 Rp1.019.000.000.000 Rp519.000.000.000 Rp19.000.000.000
Total Pendapatan
Daerah

Sumber: Kementerian Koordinator Perekonomian (2014), dan Kemnterian Keuangan (2014-2019)


Grafik 4.14 Total Pendapatan Kabupaten Sukoharjo
Ukuran keberhasilan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dapat dilihat dengan analisis d
menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah Kabupaten Sukoharjo

masih dalam kategori kurang. Derajat desentralisasi fiskal (DDF) Kabupaten


Sukoharjo tersaji pada grafik 4.15.
Derajat Desentralisasi Fiskal

30%
25%
24%23%23% 23%
25%
21%
19%
20% 17% 18%
16%
14%14%
15%
10% 9%
9%8%8% 8%8%7%8%
10% 7% 6%7%
6%6%
5%

0%

Sumber: Data diolah dari Kementerian Koordinator Perekonomian (2014), dan


Kemnterian Keuangan (2014-2019)
commit to user
Grafik 4.15 Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kabupaten Sukoharjo
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

Berdasarkan grafik 4.15, nilai derajat desentralisasi fiskal (DDF)


menunjukkan bahwa pemerintah daerah berusaha untuk meningkatkan
kemandirian keuangan daerah dengan peningkatan pendapatan asli daerah.
Terdapat 5 langkah yang dilakukan pemerintah untuk peningakatan
pendapatan asli daerah yang tercatat dalam laporan keuangan daerah
Kabupaten Sukoharjo (2019). Lima langkah yang dilakukan terdri dari (a)
melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan
daerah; (b) penyederhanaan sistem, prosedur administasi pemungutan pajak
dan retribusi daerah, dan meningkatkan ketaatan para wajib pajak; (c)
peningkatan pengendalian dan pengawasan atas pemungutan PAD; (d)
peningkatan penerimaan pendapatan malalui penyertaan modal atau
investasi; dan (e) optimalisasi aset daerah dalam meningkatkan daya dukung
pembiayaan daerah dan pertumbuhan ekonomi.
B. Pembahasan
1. Aktor dan Pengaturan Izin Alih Fungsi Lahan Sawah Kab. Sukoharjo
Kabupaten Sukoharjo secara umum telah menetapkan Peraturan
Daerah No 14 Tahun 2011 yang kemudian diubah menjadi Perturan
Daerah No.1 Tahun 2018 sebagai aturan dasar dalam penetapan dan
pemetaan luas dalam tata ruang daerah. Perubahan aturan dasar tersebut
juga diikuti penyesuaian izin pemnafaatan ruang dalam Peraturan Bupati
Sukoharjo No.67 Tahun 2011 menjadi Perturan Bupati Sukoharjo No.25
Tahun 2018. Peraturan Bupati No.25 Tahun 2018 mengatur tentang
persetujuan perubahan penggunaan tanah dan peningkatan pemanfaatan
tanah.
Tujuan penetapan Peraturan Bupati No. 25 Tahun 2018 untuk
sinkronisasi aturan tata ruang daerah agar sesuai Peraturan Presiden No. 97
Tahun 2014. Sinkronisasi tesebut memberikan kemudahaan bagi para
pelaku usaha untuk mendapatkan izin usaha dan fasilitas usaha di daerah.
Sinkronisasi tersebut perlu dilakukan sebagai upaya legalitas dalam
pemberian izin alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian melalui
mekanisme aturan tata ruang daerah.
commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

Mekanisme pemberian izin perubahan fungsi lahan dari pertanian


(sawah beririgasi) dan non pertanian (non sawah) harus berdasarkan
rencana tata ruang daerah. Kebijakan tersebut merupakan pelaksanaan dari
Surat Menteri Agraria No.460-3346/MK/10/1994; Undang-Undang No.41
Tahun 2009; dan Peraturan Pemerintah No 12 Tahun 2012. Kebijakan
tersebut memiliki maksud intervensi negara agar pejabat terkait dalam
Pemerintahan di daerah memperhatikan dan melindungi luas lahan sawah
beririgasi sesuai tujuan nasional melalui perencanaan tata ruang. Tujuan
nasional tersebut secara tegas diatur dalam Surat Menteri Agraria No.410-
1851 dan Pasal 44 UU No.41 Tahun 2009.
Pemerintah telah menerapkan kebijakan penyelarasaan perencanaan
tata ruang dari tingkat nasional; provinsi; dan kabupaten/ kota.
Penyelarasan tersebut memiliki tujuan agar perencaan pembangunan dapat
didukung penataan tata ruang dari tingkat nasional; provinsi; dan
kabupaten. Integrasi perencanaan pembangunan dan penataan ruang di
Indonesia didasarkan pada UU No. 24/2005; UU.32/2004; UU
No.26/2007; Peraturan Menteri 15, 16, dan 19/PRT/M/2009.
Kebijakan tersebut telah dikaji oleh Bappenas (2015) melalui kajian
kebijakan dari Inggris dan USA. Inggris dan USA berhasil melakukan
integrasi perencanaan pembangunan dan tata ruang wilayah dari tingkat
nasional, regional, dan lokal. Intergrasi tersebut memberikan dukungan
kepada pemerintah daerah dalam otonomi daerah dan kesatuan tujuan
pemerintah daerah untuk mendukung tujuan nasional. Kajian Bappaenas
(2015) juga didukung oleh Nadin (2007).
Peraturan tersebut mendiskripsikan keterkaitan perencanaan
pembangunan dan penataan ruang secara hierarki dari tingkat nasional;
provinsi; dan kabupaten/kota. Keterkaitan tersebut mendiskripsikan bahwa
aktor yang memiliki kekuasaan wilayah administrasi lebih tinggi dapat
berpengaruh dalam kebijakan tata ruang daerah, misal: Gubernur memiliki
kewenangan untuk evaluasi kebijakan perencanaan pembangunan dan
penataan ruang di Kabupaten/ Kota. Keterkaitan perencanaan
pembangunan dan tata ruancogmdmi Iint dtoonuesseira tersaji pada
gambar 4.5
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

Sumber: Diadopsi dari Bappenas Tahun 2015 serta Pemanfaatan Pengindraan Jauh Untuk
Penyusunan RTRW/RDTR oleh BAPPEDA Prov. Jawa Tengah Tahun 2018
Gambar 4.5 Keterkaitan Perencanaan Pembangunan Dan Tata Ruang di
Indonesia
Hirarki penyusuanan tata ruang wilayah dari gambar 4.5
menunjukkan bahwa penetapan tata ruang wilayah bersifat fleksibel.
Penetapan tata ruang bersifat fleksibel memiliki makna bahwa tata ruang
dapat diubah sesuai kebutuhan ruang yang ditetapkan oleh Kepala Daerah
terpilih. Pernyataan tersebut didukung UU. No 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dengan tidak ada aturan periode RTRW dan Terdapat
amanat bahwa RTRW harus menjadikan RPJPD dan RPJMD sebagai
dasar penyusunan. RPJD memang sudah terdapat aturan baku periode 20
tahun dan alur penyusunan yang harus sesuai RPJN. Sedangkan, RPJMD
bersifat fleksibel sesuai pelaksanaan pilkada di daerah dan sesuai arah
Kepala Daerah terpilih (BAPPENAS, 2015).
Alur kebijakan penataan ruang aturan tersebut cenderung mengikuti
kebutuhan visi, misi, dan program dari Kepala Daerah yang terpilih.
Pernyataan tersebut didukung dalam PP No.8 Tahun 2008 pasal 15 ayat 2,
RPJMD mengakomodasi implementasi dari visi; misi; dan program Kepala
Daerah terpilih. Sedangkan, Kepala Daerah dalam penyusunan draft
perencanaan pembangunan dan penataan ruang daerah dibantu oleh
BAPPENAS; BAPPEDA. BAPPENAS dan BAPPEDA menjabarkan visi,
commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a5

misi, dan program Kepala Daerah menjadi draft perencanaan


pembangunan dan penataan ruang.
Penataan ruang Kabupaten Sukoharjo mengalami dua perubahan dari
aturan tahun 2011 menjadi 2018. Proses perubahan tersebut mengalami
dua kali pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah
(BKPRD) yang terdokumentasi dalam Peraturan Bupati No. 31 Tahun
2007; No. 17 Tahun 2010; serta Keputusan Bupati Sukoharjo
No.690.05/1283/2013. BKPRD Kabupaten secara hirarki pada gambar
gambar 4.5 merupakan aktor ketiga yang berperan dalam penyusunan dan
pengendalian pelaksanaan RTRW Kabupaten.
BKPRD tahun 2007 dibentuk pada masa Bambang Riyanto sebagai
Bupati Sukoharjo terpilih tahun 2007. Tugas BKPRD Sukoharjo tahun
2007 untuk membahas draft rancangan tata ruang daerah tahun 2011.
BKPRD Sukoharjo tahun 2007 memiliki empat aktor yang berperan
sebagai penentu kebijakan, yaitu: 1) Bupat Sukoharjo sebagai penanggung
jawab; 2) Wakil Bupati sebagai ketua; 3) Sekretaris Daerah Kabupaten
Sukoharjo sebagai ketua harian; 4) Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan (BAPPEDA) Kabupaten Sukoharjo sebagai sekretaris; serta
5) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sukoharjo sebagai wakil
sekretaris.
BKPRD Sukoharjo tahun 2007 dibubarkan setelah terbit Peraturan
Bupati Sukoharjo No. 17 Tahun 2010. Pembubaran tersebut masih dalam
masa Bambang Riyanto sebagai Bupati Sukoharjo. Ada dua peristiwa yang
terdokumentasi sebagai penyebab pembubaran tersebut. Pertama,
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan integrasi penataan ruang secara
hirarki dari pusat ke daerah dengan Permendagri No. 28 Tahun 2008
tentang integrasi perencanaan pembangunan dan tata ruang serta
Permendagri No.50 Tahun 2009 tentang koordinasi penataan ruang daerah.
Kedua, masa jabatan Bambang Riyanto yang berakhir tahun 2010 ditandai
dengan penetapan Kepala Daerah terpilih tanggal 10 Juni 2010..
Wardoyo Wijaya terpilih sebagai Bupati Sukoharjo telah mengubah
tata ruang daerah dua kacloimsmeliatmtoa udseura periode jabatannya.
Perbuahan
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

tersebut bersamaan dengan peruahan susunan BKPRD Sukoharjo. Susunan


BKPRD tersebut berbeda dengan susunan BKPRD tahun 2007 pada masa
Bambang Riyanto. Perbedaan susunan tersebut terjadi pada kelompok
kerja pengendalian pemanfaatan ruang. Kelompok Kerja Pengendalian
Pemanfaatan Ruang dari BKPRD ditampilkan pada tabel 4.9.
Tabel 4.9 Kelompok Kerja Pengendalian Pemanfaatan Ruang dari BKPRD
Kabupaten Sukoharjo
Era Bambang Riyanto Era Wardoyo Wijaya
No
Instansi Jabatan Instansi Jabatan
Kepala Bidang Tata
Kepala Bagian Pemerintahan
Ruang pada Dinas
1 pada Sekretariat Daerah Kab. Ketua
Pekerjaan Umum Kab.
Ketua
Sukoharjo
Sukoharjo
Kepala Sub Dinas Cipta Karya Kepala Bagian Hukum
Wakil Wakil
2 pada Dinas Pekerjaan Umum
Ketua
Sekertariat Daerah Kab.
Ketua
Kab. Sukoharjo Sukoharjo
Kepala Seksi
Kepala Sub Dinas Pengairan
Pengendalian Ruang pada
3 pada Dinas Pekerjaan Umum Sekretaris
Dinas Pekerjaan Umum
Sekertaris
Kab. Sukoharjo
Kab. Sukoharjo
Kepala Bidang Tanaman
Kepala Sub Bidang Tata
Pangan dan Hortikultura
4 Ruang dan Tata Guna Tanah Anggota
pada Dinas Pertanian
Anggota
pada Bappeda Kab. Sukoharjo
Kab. Sukoharjo
Kepala Bidang Penegaan
Kepala Sub Bagian Pertanahan Perundang-Undangan
5 pada Sekretariat Daerah Kab. Anggota Daerah pada Satuan Anggota
Sukoharjo Polisi Pamong Praja Kab.
Sukoharjo
Kepala Sub Bidang
Penerapan Sistim
Kepala Sub Seksi
Manajemen dan
Penatagunaan Tanah dan
6 Kawasan Tertentu pada BPN
Anggota Laboratorium Anggota
Lingkungan pada Badan
Kabupaten Sukoharjo
Lingkungan Hidup Kab.
Sukoharjo
Kepala Seksi Pencegahan dan Kepala Sub Bidang Tata
Pengendalian Kerusakan Ruang dan Parasarana
7 Lingkungan pada Dinas Anggota Wilayah pada Bappeda Anggota
Lingkungan Hidup Kab. Kab.
Sukoharjo
Kepala Sub Seksi
Penatagunaan Tanah dan
8 Tidak Ada Tidak Ada
Kawasan Tertentu pada
Anggota
BPN Kab. Sukoharjo
Kepala Sub Bagian
Pertanahan pada
9 Tidak Ada Tidak Ada Anggota
Sekertariat Daerah Kab.
Sukoharjo
Sumber: Peraturan Bupati Sukoharjo No.31 Tahun 2007 dan
Keputusan Bupati Sukoharjo No.690.05/1283/2013
Perbedaan susunan tersebut karena era Wardoyo Wijaya menjadikan
Permendagri No.50 Tahun 2009 sebagai dasar penyusunan kelompok
c om m i t t o u s e r
kerja. Masa kerja Bamban g R iy a n t o i n s tansi Sekretariat
Daerah memiliki
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

jabatan ganda dalam BKPRD sebagai Ketua Harian BKPRD Sukoharjo


dan Ketua Kelompok Kerja Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Sedangkan,
masa kerja Wardoyo Wijaya telah terdapat pemisahan jabatan sesuai
Permendagri. Sekretaris Daerah Kabupaten Sukoharjo menempati posisi
sebagai Ketua Harian BKPRD dan Dinas Pekerjaan Umum sebagai ketua
pelaksana Kelompok Kerja pengendalian pemanfaatan ruang. Sedangkan,
posisi Bupati Sukoharjo masih sama sebagai penanggung jawab rencana
tata ruang wilayah.
Mekanisme penetapan RTRW yang telah dijelaskan menjadi
petunjuk untuk mendiskripsikan peran aktor dari pemerintahan daerah
dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Bupati Sukoharjo terpilih
memiliki peran utama dalam usaha pengendalian lahan pertanian dan izin
pemanfaatan tanah di Kabupaten Sukoharjo. Lahan pertanian dapat
berubah fungsi dengan ketentuan harus berpedoman pada aturan RTRW
yang berlaku di daerah. Bupati telah mengeluarkan Peraturan Bupati
Sukoharjo No.25 Tahun 2018 untuk memberikan pedoman teknis
perizinan kepada masyarakat yang ingin merubah fungsi lahan.
Tujuan utama dari Perbup Sukoharjo No.25 Tahun 2018 untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mempermudah perizinan
investasi. Aturan tersebut mendasarkan pada Pasal 25 ayat (1) Peraturan
Presiden No.97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu; meningkatkan kualitas pelayanan perizinan kepada
masyarakat; serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi.
Peraturan Bupati No.25 Tahun 2018 menunjukkan bahwa Lurah dan
Camat yang terpilih berperan dalam aturan tata guna lahan di tingkat
Kelurahan dan Kecamatan. Lurah dan Camat memiliki peran untuk
memberikan surat pengantar tentang permohonan alih fungsi lahan.
Mekanisme tersebut memberikan kepastian domisili lahan yang diajukan
perubahan fungsinya dan identitas orang atau lembaga yang mengajukan.
Mekanisme tersebut diharapkan mampu mengurangi konflik kepemilikan
lahan.
commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

Selain peran administrasi, Lurah dan Camat memiliki peran sebagai


koordinator penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten
Sukoharjo pada level Desa dan Kecamatan. RDTR merupakan penjabaran
dari RTRW Kabupaten Sukoharjo yang dilengkapi dengan peraturan
zonasi pada Desa dan Kecamatan. RDTR digunakan sebagai aturan dasar
pemerintah Desa dan Kecamatan dalam penataan jaringan utilitas;
penyediaan fasilitas publik; serta kontrol kondisi lingkungan yang
berdampak pada ekonomi dan sosial masyarakat. RDTR dibahas melalui forum Musrenban
disajikan pada gambar 4.6.

Sumber: Diagram Musrenbang diadopsi dari Bappenas (2018)


Gambar 4.6 Diagram Penyelenggaraan Musrenbang
Suasana musyawarah rencana pembangunan (musrenbang)
Kabupaten Sukoharjo dapat diwakili dalam pembahasan RDTR di
Kecamatan Grogol. Pemerintah Kecamatan Grogol mengadakan acara
musrenbang pada Kamis, 01 November 2018 di Pendopo Kantor
Kecamatan Grogol. Tujuan musrenbang membahas Rencanata Detail Tata
Ruang (RDTR) dan RPJMD Kabupaten Sukoharjo.
RDTR tahun 2018 perlu dibahas karena Perda No.01 Tahun 2018
telah ditetapkan sebagai RTRW baru menggantikan Perda No.14 Tahun
2011 tentang RTRW Kabupaten Sukoharjo. Kegiatan RDTR Kec. Grogol
dihadir 49 orang terdiri dari Kabid tata ruang PUPR Kab. Sukoharjo;

Camat Grogol; Kasi Per e n ca n a a n t a ta ruang PUPR Kab.


c o m m i t t ous e r
Sukoharjo;
Danramil 09 Grogol; Kanit Intel Polsek Grogol; Konsultan CV; Seluruh
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

Kepala Desa di Kec.Grogol; Seluruh KAUR Perencanaan di Kec.Grogol;


Seluruh Ketua BPD Desa di Kec.Grogol; Seluruh Ketua BKM Desa di
Kec.Grogol; serta tokoh masyarakat lokal.

Sumber: Dokumentasi musrenbang RDTR dari Kodim0726 Tahun 2018

Gambar 4.7 Musrenbang RDTR di Kec. Grogol, Kab. Sukoharjo

Masyarakat yang memiliki kepentingan dalam substansi RTRW


cenderung berperan dalam penyusunan peraturan tata ruang dan undang-
undang. Masyarakat yang berperan dalam penataan ruang terdiri dari 1)
Masyarakat terdampak langsung dari penataan ruang; 2) Masyarakat
memiliki keahlian ilmu di bidang penataan raung; dan/atau 3) Masyarakat
memiliki usaha berkaitan penataan ruang seperti pengembang perumahan.
Masyarakat mampu identifikasi potensi dan kendala dari hasil diskusi
untuk bahan penyusunan peraturan daerah (Perda) oleh pihak eksekutif
dan legislatif (Kurnia dkk, 2007).
Masyarakat mempunyai hak; kewajiban; dan peran dalam penataan
ruang berdasarkan UU No.26 Tahun 2007. Peran masyarakat menjadi
commit to user
indikator keberhasilan pemerintah dalam penyusunan penataan ruang.
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

Masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyusunan penataan ruang;


informasi terpercaya tentang RTRW; serta sosialisasi tentang RTRW.
Pihak TNI dan Polisi dapat terlibat dalam penyusunan penataan
ruang sebagai Satuan tugas (Satgas) pengendalian mafia tanah. Satgas
pengendalian mafia tanah dibentuk oleh Direktorat Jenderal Penanganan
Masalah Agraria Pemanfaatan Ruang dan Tanah dari Badan Pertanahan
Nasional/ Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Tugas Satgas
Pengendalian Mafia Tanah tercatat dalam Petunjuk Teknis BPN
No.01/JUKNIS/D.VII/2018. Tugas umum Satgas untuk mencegah dan
menyelesaikan sengketa hak milik tanah yang terindikasi ada keterlibatan
mafia tanah dalam proses kepemilikan tanah.
2. Pemburu Rente: Relasi Penguasa dan Partai Politik
Pemburu rente merupakan perilaku pejabat publik dan atau politisi
untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok melalui kelemahan
aturan atas pengelolaan sumber daya ekonomi oleh instansi-instansi
pemerintah. Pelaku rente membangun relasi antara penguasa (birokrat atau
politisi) dengan pengusaha untuk monopoli sumber daya ekonomi.
Monopoli sumber daya ekonomi dapat dilakukan dengan memanfaatkan
celah-celah alokasi anggaran dalam proyek-proyek pemerintah/ negara;
lisensi yang berpihak pada pribadi atau kelompok tertentu; serta
kewenangan instansi pemerintah yang digunakan untuk memperkuat
jabatan politik pribadi atau kelompok tertentu (Widanarto, 2017). Pelaku
rent seeking juga dapat berupa relasi antara pembuat kebijakan (legislatif
dan yudikatif) dan penyelenggara pemerintah (eksekutif) untuk
mengakumulasi kesejahteraan ekonomi secara politik dengan tujuan
pribadi atau kelompok tertentu (Grindle, 1989).
Pemburu rente dikategorikan menjadi 3 jenis (Ross, 1999), yaitu: 1)
rent creation; 2) rent extraction; serta 3) rent seizing. Kategori tersebut
didukung oleh Solihah (2016). Pendapat keduanya memiliki kesamaan
bahwa terdapat 3 faktor sebagai dasar kategori tersebut. Rent creation
mendasarkan pada relasi pengusaha dan penguasa memperoleh hak
istimewa akses proyek necgoamrammitetloaluusi esruap atau negosiasi
politik kepada
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

petinggi partai politik (politisi) dan birokrat. Rent extraction mendasarkan


pada perilaku penguasa mengancam pengusaha untuk tujuan pribadi
melalui berbagai regulasi yang ditetapkan. Rent seizing mendasarkan pada
perilaku penguasa untuk mempertahankan dan atau memperkuat
kekuasaan melalui kewenangan yang dimiliki institusi-institus negara
dengan tujuan pribadi atau kelompok tertentu.
Setelah undang-undang otonomi daerah ditetapkan, pemburu rente
menggunakan kebijakan tersebut untuk pembenaran motif pribadi atau
kelompok tertentu di daerah. Pernyataan tersebut didukung oleh Hidayat
(2002) dan Istiqomah (2017). Motif pribadi atau kelompok tertentu yang
berlindung pada legalitas otonomi daerah memiliki kekuatan politik daerah
ditandai dengan pemerintah pusat tidak dapat sepihak membatalkan
kebijakan daerah.
Kasus Kepala Daerah di Kabupaten Klaten dan Banten mendasarkan
kebijakan otonomi daerah untuk kekuasaan pada lingkaran keluarga dan
parta politik tertentu. Selanjutnya, kedua Kepala Daerah di kedua
Kabupaten tersebut juga terkena kasus suap dan gratifikasi. Kasus Kepala
Daerah di Kabupaten Banten tercatat dalam Putusan PN Jakarta Pusat
40/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PS tanggal 20 Juli 2017 dan kasus Kepala
Daerah di Kabupaten Klaten tercatat dalam Putusan PN Klaten
1/PID.PRA/2018/PN KLN tanggal 5 Februari 2018.
Kedua kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai rent extraction dan
rent seizing. Pemburu rente tersebut dapat terbantuk dari relasi penguasa
dan partai politik. Penguasa yang berasal dari partai politik tertentu
cenderung memberikan ruang untuk memperkuat jaringan partai politik
sebagai balas jasa dan motif pribadi sebagai perluasan kekuasaan di
pemerintah daerah. Relasi penguasa dan partai politik tidak dapat
dilepaskan dari peran pengusaha.
Pengusaha menjadi sumber dana bagi partai politik dan partai politik
digunakan sebagai sarana bisnis untuk kepentingannya dan bagi pengurus
partai politik. Kondisi tersebut dapat terjadi karena pengurus partai politik
menerapkan demokrasi secmomu muintttuokuksearderisasi partai
politik. Demokrasi
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

semu tersebut memiliki arti bahwa pengurus partai politik lebih


mendukung pengusaha menjadi calon Kepala Daerah sebagai sumber dana
parpol dan keluarga dekat dari mantan Kepala Daerah yang telah memiliki
pendukung kuat di daerah (Azhar, 2012).
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu daerah basis pendukung
dari PDIP. KPUD Sukoharjo mencatat jumlah kursi DPRD Kab.
Sukoharjo terbanyak selama 3 periode pemilihan umum legislatif dan
menempatkan calon Kepala Daerah sebagai Bupati Sukoharjo selama 4
periode dari tahun 2009-2021. KPUD Sukoharjo mencatat bahwa jumlah
kursi DPRD yang diperoleh PDIP tertinggi selama 3 periode, yaitu 19
kursi pada tahun 2009-2014; 22 kursi pada tahun 2014-2019; serta 20 kursi
pada tahun 2019-2024.
Sedangkan, PDIP mampu menempatkan Bambang Riyanto sebagai
Bupati Sukoharjo selama 2 periode dari tahun 2005-2010 dan Wardoyo
Wijaya sebagai Bupati Sukoharjo selama 2 periode dari tahun 2010-2021.
Kemudian, Etik Suryani sebagai istri Wardoyo Wijaya melanjutkan
jabatan Bupati Sukoharjo pada periode tahun 2019-2024 melalui PDIP.
Keunggulan PDIP di Kabupaten Sukoharjo tersebut menjadi basis daerah
pendukung bagi perolehan suara PDIP di Provinsi Jawa Tengah. Jawa
Tengah merupakan provinsi yang memiliki basis pendukung PDIP (Suryo
dan Aji, 2019). Kemudian, PDIP memperoleh kemenangan pada tingkat
nasional selama 2 periode dari tahun 2014-2024. PDIP menempatkan
kadernya sebagai Presiden RI. Kemenangan PDIP tersebut semakin
memperkuat posisi sebagai penentu kebijakan daerah dan nasional.
Kemenangan PDIP di Kabupaten Sukoharjo dan Jawa Tengah
menunjukkan bahwa partai tersebut memiliki kekuatan sebagai penentu
kebijakan Kabupaten Sukoharjo dan Jawa Tengah. Kekuatan tersebut
dapat ditunjukkan dari arah penataan ruang Kabupaten Sukoharjo. Setelah
Wardoyo Wijaya terpilih sebagai Bupati Sukoharjo, terdapat dua ciri
utama dalam kebijakan penataan ruang. Pertama, periode Bupati Wardoyo
program penataan ruang ditujukan untuk pembangunan fisik. Solopos.com
tanggal 05/09/2020 dan 11c/o0m2/m20it2t1o museemrberitakan bahwa
Bupati Wardoyo
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

selama 10 tahun mengalokasikan APBD untuk pembangunan jalan lingkar


timur Rp103.000.000.000; gedung Pusat Promosi Potensi Daerah
(GPPPD) senilai Rp22.000.000.000; revitalisasi Pasar Ir,Soekarno senilai
Rp20.000.000.000; city walk di pinggri Jl Jenderal Sudirman senilai
Rp24.000.000.000. Alokasi APBD juga digunakan untuk pembangunan
Menara Wijaya senilai Rp120.799.751.750 (jatengprov.go.id, 2017).
Pembangunan infrastruktur jalan & kawasan strategis di Kabupaten
Sukoharjo tidak hanya berpedoman pada Perda Kabupaten Sukoharjo
No.14 Tahun 2011 dan No.1 Tahun 2018. Bupati Wardoyo juga
mendasarkan program pembangunan infrastruktur jalan & kawasan
strategis pada Perda Provinsi Jawa Tengah No.6 Tahun 2010 tentang
penataan ruang Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029. Pasal 17 Perda
Jawa Tengah No.6 Tahun 2010 menunjukkan bahwa Sukoharjo
merupakan Kawasan prioritas dari wilayah Subosukawonosraten untuk
pengembangan infrastruktur jalan provinsi dan nasional. Integrasi Perda
penataan ruang Kabupaten Sukoharjo dan Jawa Tengah sesuai
Permendagri No. 28 Tahun 2008.
Program revitalisasi pasar tradisional mendasarkan Perda Kabupaten
Sukoharjo No.7 Tahun 2017 sebagai pedoman implementasi program.
Peraturan tersebut ditetapkan setelah ada peraturan setingkat menteri yang
mengatur tentang pembinaan dan penataan pasar tradisional. Permendagri
No 56/M-DAG/PER/9/2014 menjadi pedoman penataan pasar tradisional
di daerah. Sedangkan, program pembangunan gedung pelayanan
masyarakat berpedoman pada Perda Kabupaten Sukoharjo No.9 Tahun
2010 dan Peraturan Bupati No.3 Tahun 2018.
Pembangunan jalan merupakan rencana yang telah ditetapkan dalam
Perda penataan ruang di Kabupaten Sukoharjo. Tiga jenis jalan menjadi
prioritas pembangunan, yaitu: 1) Jalan lingkar timur; 2) Jalan lingkar
barat; serta 3) Jalan lingkar Solo Raya. Pembangunan tiga jalan tersebut
berdampak pada penurunan luas lahan pertanian. Pernyataan tersebut
dikutip dari wawancara Solopos.com kepada Agus Purwanto sebagai
commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

Kepala Bidang (Kabid) Prasarana dan Pengembangan BAPPEDA


Kabupaten Sukoharjo pada Jumat 08 April 2016.
Jalur lingkar timur (JLT) direncanakan sebagai akses menuju
gerbang tol di Kebak Kramat Kabupaten Sragen dan mempermudah
kendaraan muatan besar untuk menuju Kawasan Industri Besar Nguter di
Kabupaten Sukoharjo. JLT menghubungkan tiga Kecamatan, yaitu:
Polokarto; Bendosari; dan Nguter. Peta Jalan Lingkar Timur tersaji pada
gambar 4.8.

Sumber: Ilustrasi dari Solopos (2019)


Gambar 4.8 Peta Jalan Lingkar Timur
Jalan lingkar barat Kabupaten Sukoharjo dan lingkar Solo Raya
merupakan dua jenis jalan yang saling menghubungkan. Kedua jalan
tersebut direncanakan dapat menghubungkan Kota Surakarta; Kabupaten
Sukoharjo; Kabupaten dan Kabupaten Boyolali. Titik pertemuan Jalan
lingkar barat Kabupaten Sukoharjo dan Jalan lingkar Solo Raya berada di
Kecamatan Baki serta Kartasura. Tujuan pembangunan jalan tersebut
untuk mempermudah akses ke gerbang tol di Mojosongo Kabuapeten
Boyolali. Pembangunan kedua jalan tersebut sudah direncanakan oleh
Bibit Waluyo sebagai Gubernur Jawa Tengah dalam Perda No.6 Tahun
2010. Bibit Waluyo merupakan Kepala Daerah berasal berasal dari PDIP.
Peta Jalan Lingkar Solor Raya tersaji pada gambar 4.9

Sumber: ilustrasi dari Solopocso.mcommi(t2t0o16u)ser


Gambar 4.9 Peta Jalan Lingkar Solo Raya
library.uns.ac.i digilib.uns.a6

Pembangunan ketiga jalan tersebut mampu menarik investor di


Kawasan Industri Besar Bendosari dan Nguter. Bendosari dan Nguter telah
ditetapkan dalam Perda No.1 Tahun 2018 tentang penataan ruang sebagai
Kawasan Industri Besar di Kabupaten Sukoharjo. Pernyataan tersebut
dikutip dari wawancara Tribunsolo.com kepada Sri Hartati sebagai Kepala
Bidang (Kabid) Penanaman Modal Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPT) Kabupaten Sukoharjo pada
tanggal 01 Januari 2020.
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo mendukung investasi di sektor non
pertanian dengan menetapkan Perda No.5 Tahun 2011 tentang Penanaman
Modal dan Perda No.2 Tahun 2018 tentang Rencana Pembangunan
Industri Kabupaten Sukoharjo. Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa
Pemerintah Daerah memprioritaskan alokasi tanah untuk industri non
pertanian dengan pembangunan infrastruktur pada kebijakan penataan
ruang daerah.
Kedua, pembangunan infrastruktur periode Wardoyo bersamaan
dengan perubahan nama jalan dan gedung. Jalan dan gedung yang telah
dibangun secara simbolis cenderung menggunakan nama Ir.Soekarno;
Wijaya; dan warna dasar merah. Fakta tersebut diungkapkan pertama kali
oleh Prasetyo (2018) dalam Jurnal FISIP Universitas Airlanggar.
Pergantian nama dapat dilihat dari Jl Raya Solo Baru berganti menjadi Jl
Ir. Soekarno; pembangunan patung Ir.Soekarno; Pasar Sukoharjo berganti
menjadi Pasar Ir.Soekarno; RSUD DKR Sukoharjo berganti menjadi
RSUD Ir.Soekarno; serta pembangunan gedung pelayanan terpadu dengan
nama Menara Wijaya pada tahun 2017.

Sumber: Ilustrasi dari Soloposc.coommm(2it2/t0o3/u2s0e2r1)


Gambar 4.10. Pasar Ir Soekarno Kabupaten Sukoharjo
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

Sumber: Ilustrasi dari Dandang Seaputro (2021)


Gambar 4.11 Patung Ir.Soekarno

Sumber: Ilustrasi dari kartasura.sukoharjokab.go.id (2020)


Gambar 4.12 Menara Wijaya Kusuma Kab. Sukoharjo
Pergantian warna dasar merah juga dapat dilihat dari gedung-gedung
pemerintah yang telah direnovasi seperti Pasar Ir. Soekarno. Selain warna
dasar fisik pada gedung, simbolisasi warna merah digunakan dalam acara-
acara resmi dari instansi pemerintah seperti pembuatan seragam untuk juru
parkir & peresmian gedung di Kabupaten Sukoharjo. Selain simbolisasi
identitas naman & warna tersebut, Bupati dan Wakil Bupati tidak sering
dalam satu panggung pada acara resmi pemerintah.
Media memposting foto pada acara resmi pemerintah Kabupaten
cenderung Bupati berfoto bersama aktor pilihan dari Bupati pada acara
resmi pemerintah. Kondisi tersebut dapat ditunjukkan dari 1) acara
peresmian nama RSUD Soekarno tanggal 07 November 2017; 2) acara
syukuran operasional gedung Menara Wijaya tanggal 27 Januari 2017; 3)
acara peresmian OntheliscoSmumkoiht atorjouseMrakmur (OSM) di
Desa Telukan
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

tanggal 28 Januari 2020; serta 4) acara purna tugas Bupati periode 2016-
2021 tidak dihadiri oleh Wakil Bupati Sukoharjo tanggal 17 Februari
2021. Acara yang telah uraikan, Bupati cenderung melibatkan elit partai
politik nasional; istri; serta sekretaris daerah dalam sesi foto peresmian.
Pilkada tahun 2020 menunjukkan bahwa istri dan mantan Sekda tersebut
mencalonkan diri sebagai calon bupati dan wakil bupati sukoharjo periode
2021-2024. Pasangan tersebut memenangkan pilkada tahun 2020.

Sumber: Ilustrasi dari jatengprov.go.id (2017)

Sumber: jatengprov.go.id (2017)


Acara peresmian RSUD Ir.Soekarno tanggal 07/11/2017
Gambar 4.13 Peresmian RSUD Ir.Soekarno

Sumber: jatengprov.go.id (2017)


Acara syukuran operasional gedung Menara Wijaya tanggal 27/01/2017
Gambar 4.14 Syukuran Operasional Gedung Menara Wijaya

Sumber: joglosemarnews (2020)


Acara Peresmian Onthelis Sukoharjo Makmur (OSM) tanggal 28/01/2020
c om m i t t o u s e r
Ga m ba r 4 . 1 5 P e r semian OSM
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

Sumber: harianmerapi.com (2021)


Gambar 4.16 Purna Tugas Bupati Sukoharjo Periode 2016-2021
Relasi kuat antar elit partai politik dan penguasa dapat dilihat dari
kasus korupsi salah satu Kepala Kecamatan di Kabupaten Sukoharjo.
Kasus korupsi tersebut tercatat dalam putusan Mahkamah Agung
no.67/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Smg. Elit Pemerintah Kabupaten melalui
Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) mengajukan sebagai jaminan
agar Kepala Kecamatan tersebut tidak ditahan. Pernyataan tersebut
didukung dari hasil wawancara Solopos.com tanggal 24/05/2018 kepada
Polda Jateng. Sekarang, matan Kepala Kecamatan tersebut dipindahkan
menjadi staf di Instansi Pemerintah.
3. Peran Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Menjaga Neraca Beras
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu Kabupaten yang
menyediakan kebutuhan beras di Provinsi Jawa Tengah. Produksi padi dan
beras cenderung menurun dari tahun 1998 hingga tahun 2011. Produksi
padi dan beras selama periode tahun 2011 hingga 2019 tercatat lebih tinggi
dari periode tahun 1998 hingga 2010. Produksi padi dan beras di
Kabupaten Sukoharjo tersaji pada grafik 4.16.

Sumber: Data diolah dari BPScSoumkmohiatrjtoo(u19s9e8r-2019)


Grafik 4.16 Produksi Padi dan Beras di Kabupaten Sukoharjo
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

Produksi beras meningkat bersamaan dengan peningkatan luas


sawah selama periode tahun 1998 hingga 2008. Produksi beras menurun
bersamaan dengan penurunan luas sawah terjadi pada periode tahun 2008
hingga 2011. Sedangkan periode tahun 2011 hingga 2019, produksi beras
meningkat bersamaan dengan penurunan luas sawah.
Produksi beras selama periode tahun 2011 hingga 2019 bertolak
belakang dengan beberapa hasil penelitian. Hasil kajian Irawan (2005);
Purwaningsih, Sutomo, dan Istiqomah (2015); KPK (2016); Hairuddin,
Baja, dan Wikantari (2017); serta Kementerian Pertanian (2018)
menemukan bahwa penurunan lahan sawah akan berdampak langsung
terhadap penurunan produksi beras. Data produksi beras tersebut juga
berbeda dengan hasil perhitungan proyeksi penawaran beras oleh
Nurjayanti; Darsono; dan Supardi (2012), produksi beras cenderung
menurun dari tahun 2011 hingga 2015. Produksi padi, beras, dan luas
sawah di Kabupaten Sukoharjo tersaji pada tabel 4.10.
Tabel 4.10 Produksi Padi, Beras, dan Luas Sawah di Kab. Sukoharjo
S ProduksiPadi ProduksiBeras Luas Sawah (hektar)
uTahun KonversiBeras
(Ton) (Ton)
m 287.195,00 62,74% 168.041,597 20.937
1998
b 261.822,00 62,74% 153.195,519 21.120
1999
e 2000 305.374,00 62,74% 178.678,371 21.132
r 2001 285.020,00 62,74% 166.768,976 21.298
: 2002 268.047,00 62,74% 156.837,849 21.287
2003 273.108,00 62,74% 159.799,107 21.184
D2004 293.868,00 62,74% 171.946,058 21.184
a 2005 299.206,00 62,74% 175.069,392 21.119
t 2006 322.426,00 62,74% 188.655,722 21.096
a 2007 322.656,00 62,74% 188.790,298 21.111
2008 337.244,00 62,74% 197.325,930 21.121
d 2009 308.994,00 62,74% 180.796,480 21.257
i 2010 261.358,00 62,74% 152.924,026 21.287
o 2011 190.411,00 62,74% 111.411,997 21.054
l 2012 346.039,00 62,74% 202.472,000 21.010
a 2013 328.967,00 62,74% 192.482,947 20.858
2014 310.276,00 62,74% 181.546,596 20.814
h
2015 374.535,00 62,74% 219.145,387 20.643
2016 391.675,00 62,74% 229.174,228 20.617
d 2017 391.675,00 62,74% 229.174,228 20.518
a 2018 339.191,04 62,74% 198.465,168 20.460
r 2019 339.445,37 64,02% 202.666,035 Tidaktersedia
i
BPS Sukoharjo (1998-2019)
Produksi beras dan padi pada periode 2011 hingga 2019 lebih
tinggi dari periode 1998 hingga 2011 karena Kabupaten Sukoharjo
commit to user
mengembangkan
i bidanginovas
pertani an melalui program
mekanisasi
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

pertanian; kondolidasi lahan pertanian; dan integrated farming (pertanian


terpadu) dalam satu program corporate farming atau pertanian modern
dan cetak sawah baru dengan memanfaatkan tanah urug dari lahan bekas
galian tambang (Dinas Lingkungan Hidup Sukoharjo, 2018). Pemerintah
juga melakukan evaluasi RTRW dengan mentata kembali luas kawasan
tanaman pangan; perumukiman; dan industri yang tertera pada tabel 4.4.
Pelaksanaan program pertanian moderndipertegas oleh Bupati
Sukoharjo dalam acara pengesahan MoU antara Bank Indonesia Solo
dengan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo pada tanggal 3 Oktober 2017.
Bupati Sukoharjo, Bp Wardoyo, menyampaikan, “Penerapan modern
farming, Sukoharjo bisa panen setiap tahunnya 3x. Dengan cara
konvensional bisa habis dana 10jt tapi dengan cara modern hanya
kisaran 5-6jt. Ini juga ada bantuan alat pertanian dari bapak jokowi”.
Dokumentasi pidato Bupati Sukoharjo tersaji pada gambar 4.17.

Sumber: Rekaman dari akun resim youtube, Konco Wardoyo (17 Oktober 2017)
Gambar 4.17 Acara MoU Pelaksanaan corporate farming dengan Bank
Indonesia di Kabupaten Sukoharjo
Pelaksanaan corporate farming di Kabupaten Sukoharjo semakin
dipertegas dengan kunjungan kerja Kementerian Pertanian pada 30
September 2019. Kementerian Pertanian telah memberikan bantuan
kepada Kabupaten Sukoharjo dengan bantuan sejumlah alsintan seperti
Drone penebar benih padi; drone penebar prill; drone sprayer untuk
aplikasi pestisida; robot tanam padi; traktor rawa; dan mesin panen plus
olah tanah terintegrasi (PPID Sukoharjo, 2019). Dalam acara tersebut,
commit to user
Menteri Pertanian menyampaikan pesan, “Melalui implementasi
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

Mekanisasi 4.0 di sector pertanian, diharapkan proses usahatani


menjadi semakin efisien guna menekan biaya produksi, meningkatkan
produktivitas, dan daya saing”. Dokumentasi mesin panen padi modern
di Kabupaten Sukoharjo tersaji pada gambar 4.18

Sumber: Dokumentasi data primer di Desa Sangkrahan Kec grogol, 2019


Gambar 4.18 Dokumentasi Mesin Panen Padi Modern di Kabupaten Sukoharjo
Pengembangan corporate farming di Kabupaten Sukoharjo mulai dilaksanakan pada 11 Mar
dengan koordinator Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kabupaten

Sukoharjo di Kecamatan Bulu, Polokarto, dan Tawangsari. (Mardikanto;


Widiyanto; Utami; dan Wibowo, 2014),
Pada tahun 2009, pembentukan BUMP juga bersamaaan dengan
pembentukan Penyuluh Pertanian Swadaya. Penyuluh Pertanian Swadaya
(PPS) berasal dari petani yang memiliki kemampuan dalam usaha tani
dan kemauan untuk menyebarkan pengalamannya. Penyuluh pertanian
swadaya ini berperan dalam sosialisasi di tingkat desa saat pembentukan
BUMP. Namun koordinasi PPS masih belum dapat menjangkau seluruh
kecamatan di Kabupaten Sukoharjo pada periode awal pembentukan
BUMP karena PPS hanya terbentuk di tingkat desa (Waluyo, 2012).
Pada tahun 2016, pemerintah melalui Dinas Pertanian menjadi
commit to user
fasilitator untuk pembentukkan koordinator Penyuluh Pertanian Swadaya
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

tingkat Kabupaten dengan sebutan “Tulodho Tani”. Tuludho Tani


bertujuan untuk mempermudah distribusi penggunaan alsintan bantuan
pemerintah; membantu kerja penyuluhan pertanian PNS; dan sosialisasi
pembentukan corporate farming di seluruh Kecamatan. Struktur Tuludho
Tani terdiri dari koordinator penyuluh pertanian swadaya pada masing-
masing kecamatan. Struktur Tuludho Tani tersaji pada tabel 4.11.
Tabel 4.11 Struktur Tulodho Tani di Kabupaten Sukoharjo
No Jabatan Keterangan
KepalaDinasPertanianKab.
1 Pelindung
Sukoharjo
2 Pembina KabidPenyuluhan (Bp JakaYulianto)
3 KetuaUmum Koordinator Tingkat Kabupaten
4 Ketua Wilayah Ketua Wilayah I, II, dan III
5 Sekretaris Wilayah Sekretaris Wilayah I, II, dan III
6 Bendahara Wilayah Bendahara Wilayah I,II, dan III
SetiapKecamatanterdapat 1
7 KoordinatorKecamatan Koordinator
MembuatJadwaldistribusialsintan
8 PengurusAlsintan dan perawatan
Sumber: Data primer (2020)
Penyuluh Pertanian Swadaya ditunjuk sebagai penggerak
sosialisasi BUMP dan distribusi penggunaan alsintan karena penyuluh
pertanian swadaya memiliki dasar hukum yang jelas. Dasar hukum
Penyuluh Pertanian Swadaya meliputi Undang-Undang No.16 Tahun
2006 dan Peraturan Menteri Pertanian No.61 Tahun 2008. Dasar hukum
yang jelas akan memberikan perlindungan hukum pada petani sebagai
aktor lokal pembangunan dalam melakukan kegiatan penyuluhan
pertanian dan distribusi penggunaan alsintan dari pemerintah.
Konsep Corporate farming merupakan konsep pemberdayaan yang
dikembangkan oleh Pemerintah sebagai solusi dari peningkatan
produktivitas padi saat terjadi penurunan luas lahan sawah (alih fungsi
lahan). Menurut Bandoe Widiarto dalam pidato pada acara MoU dengan
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo tanggal 3 Oktober 2017 mengatakan,
“konsep corporate farming atau pertanian modern terdiri dari 3 pilar
meliputi mekanisasi pertanian (penggunaan mesin pertanian untuk
menggantikan pengerjaaconmmmaitntuoaul)s;erkonsolidasi lahan

(pengerjaaan
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

lahan secara bersama oleh Badan Usaha Milik Petani); dan integrated
farming (integrasi pertanian dan peternakan sapi)”. Menurut Dinas
Pertanian (2000), konsep pemberdayaan corporate farming adalah suatu
bentuk kerjasama ekonomi dari sekelompok petani dengan orientasi
agribisnis melalui konsolidasi pengelolaaan lahan dengan tetap menjamin
kepemilikan lahan pada masing-masing petani; efisiensi usaha;
standarisasi mutu; efektivitas; dan efisiensi manajemen pemanfaatan
sumberdaya yang dimiliki.
Menurut Musthofa dan Kurnia (2018), corporate farming dapat
dijadikan sebagai solusi dalam mengatasi masalah petani berupa luas
lahan; status penguasaan lahan pertanian; akses terhadap informasi;
peningkatan partisipasi petani dalam penyuluhan pertanian dan
peningkatan kapasitas organisasi lokal terutama organisasi petani.
Menurut Kurnia (2004), corporate farming merupakan upaya untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan keuntungan usaha tani pada lahan
sempit melalui mekanisme penggabungan lahan yang terpencar dalam
satu badan usahatani yang terpadu, professional, dan manajemen dari
petani. Pendapat tersebut didukung dan dilengkapi oleh Setiawan (2008),
konsep corporate farming dikembangkan sebagai upaya meningkatkan
adaptasi petani terhadap teknologi tepat guna, meningkatkan kemampuan
petani dalam manajemen usahatani, dan mengembangkan potensi dari
komoditas unggulan di daerah.
Penggunaan konsep corporate farming mampu meningkatkan
realisasi intensifikasi padi di Kabupaten Sukoharjo. Menurut BPS (2012),
intensifikasi adalah upaya meningkatkan produktivitas dari sumberdaya
lahan yang terbatas dengan penerapan Sapta Usaha. Sapta usaha adalah
tujuh usaha dalam proses produksi pertanian terdiri dari penggunaan bibit
unggul; pemberian pupuk; manajemen usahatani; pengendalian jasad
pengganggu; penyediaan dan pengaturan air; serta perlakuan panen
hingga pasca panen. Realisasi intensifikasi padi meningkat dari 50.194
hektar pada tahun 2003 menjadi 53.463 hektar pada tahun 2018.
commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

Peningkatan intensifikasi padi melalui pemberdayaan petani model


corporate farming menunjukkan bahwa kebijakan sektor pertanian yang
efektif. Menurut Hermanto (2007) dan Anantanyu (2010), kebijakan
publik yang efektif ditunjukkan dengan seluruh stakeholder berperan
secara efektif dilindungi oleh suatu sistem yang kaya insentif. Realisasi
intensifikasi padi meningkat dari tahun 2003 hingga 2018. Intensifikasi
padi di Kabupaten Sukoharjo tersaji pada grafik 4.17.

.
Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2003-2018)
Grafik 4.17 Intensifikasi Padi di Kabupaten Sukoharjo Pengembangan kelembagaan ditujuka
teknologi dan modal sebagai faktor peningkatan produktivitas dan pemasaran hasil pertanian
transformasi dari pertanian tradisional menjadi modern (Ekowati;

Prasetyo; dan Eddy, 2020). Pemberdayaan petani model corporate farming


dapat meningkatan aliran teknologi ditunjukkan dengan realisasi alat dan
mesin untuk padi melalui mekanisasi pertanian. Realisasi alat dan mesin
untuk padi meningkat dari 20.599 unit pada tahun 2011 menjadi 82.619
unit pada tahun 2018. Realisasi alat dan mesin untuk padi di Kabupaten
Sukoharjo tersaji pada grafik 4.18.

commit to user
library.uns.ac.i digilib.uns.a7

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (2003-2018)


Grafik 4.18 Realisasi Alat dan Mesin untuk Padi di Kabupaten Sukoharjo
Jumlah penduduk di Kabupaten Sukoharjo cenderung meningkat dari
768.421 jiwa pada tahun 1998 menjadi 891.912 jiwa pada tahun 2019.
Sedangkan laju pertumbuhan penduduk cenderung menurun dari 1,57%
pada tahun 2000 menjadi 0,78% pada tahun 2019. Penurunan laju
pertumbuhan penduduk menunjukkan bahwa Pemeirntah Kabupaten
Sukoharjo berusaha mengendalikan jumlah penduduk. Pengendalian
jumlah penduduk dapat dilakukan dengan peningkatan penyerapan tenaga
kerja. Menurut Syam dan Wahab (2015), produktifitas seseorang yang
tinggi cenderung mempunyai keluarga yang kecil sehingga tingkat
fertilitas orang tersebut akan rendah. Peningkatan penyerapan tenaga kerja
di Kabupaten Sukoharjo ditunjukkan pada grafik 4.4.
Penurunan tingkat fertilitas di Kabupaten Sukoharjo dapat
ditunjukkan pada tabel 4.7, persentase penduduk usia belum produktif
cenderung menurun dari 29,98% pada tahun 2000 menjadi 21,92% pada
2018. Menurut DPPKBP3A Kabupaten Sukoharjo (2016), rata-rata jumlah
anak per keluarga di Kabupaten Sukoharjo cenderung turun dari sekitar 2
pada tahun 2010 menjadi 1 pada tahun 2015. Artinya secara rata-rata
jumlah anak per keluarga adalah 1 anak.
Berdasarkan rasio akseptor KB, rata-rata persentase jumlah pasangan
usia subur yang mengikuti Program Keluarga Berencana (KB) mencapai
74,40% dalam periode tahun 2011 hingga 2015. Artinya, 151.069
pasangan usia subur di Kabupaten Sukoharjo mengikuti program Keluarga
Berencana (KB). Usaha pemerintah dalam pengendalian jumlah penduduk
ditunjukkan dengan pencgoemmmbiat ntogaunserKampung Keluarga
Berencana
library.uns.ac.i digilib.uns.a8

berdasarkan Peraturan Bupati Sukoharjo No.38 Tahun 2018. Pembentukan


Kampung KB untuk meningkatkan kualitas hidup masyarkat melalui
berbagai kegiatan program KKBPK serta pembangunan sektor ekonomi
terkait. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sukoharjo
tersaji pada grafik 4.19.

Sumber: Sukoharjo Dalam Angka, BPS Sukoharjo (1998-2020)


Grafik 4.19 Jumlah Dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Sukoharjo
Konsumsi beras di Kabupaten Sukoharjo cenderung meningkat dari tahun 1998 hingga 2019. Peningk
indeks konsumsi beras sebesar 139,15 kg/kapita/th (konstan) dari Dirjen

Tanaman Pangan, konsumsi beras juga menunjukkan lebih tinggi pada periode
tahun 2011 hingga 2019. Indeks konsumsi beras dari Dirjen Tanaman Pangan
digunakan sebagai angka pembanding dari perhitungan dengan indeks konsumsi
beras BPS. Konsumsi beras di Kabupaten Sukoharjo tersaji pada grafik 4.20.

Sumber: Data diolah dari BPS Sukoharjo (1998-2020)


commit Beras
Grafik 4.20 Konsumsi to di Kabupaten Sukoharjo
user
library.uns.ac.i digilib.uns.a8

Neraca beras di Kabupaten Sukoharjo menunjukkan surplus beras


lebih tinggi pada periode tahun 2011 hingga 2019 dibandingkan dengan
periode tahun 1998 hingga 2011. Pada Periode tahun 2011 hingga 2019,
surplus beras cenderung meningkat. Sedangkan surplus beras cenderung
menurun pada periode tahun 1998 hingga 2011. Berdasarkan indeks
konsumsi dari Dirjen Tanaman Pangan, neraca beras mengalami defisit
pada tahun 2011. Neraca beras di Kabupaten Sukoharjo tersaji pada grafik
4.21.

Sumber: Data diolah dari BPS Sukoharjo (1998 hingga 2020)


Grafik 4.21 Neraca Beras di Kabupaten Sukoharjo
Pada periode 2008 hingga 2011, surplus neraca beras cenderung
turun. Kondisi tersebut terjadi karena pemerintah Kabupaten Sukoharjo
masih tahap awal dalam menerapkan pemberdayaan model corporate
farming dan terjadi alih fungsi lahan sawah. Pada periode 2011 hingga
2019, surplus neraca beras cenderung meningkat. Bahkan surplus neraca
beras periode tersebut lebih tinggi dibandingkan periode tahun 1998
hingga 2011.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dalam produksi padi
dan beras melalui corporate farming; cetak sawah; dan evaluasi RTRW
mampu meningkatkan produktivitas padi dan dampak dari alih fungsi
lahan sawah. Berdasarkan sisi konsumsi beras, pemeirntah Kabupaten
Sukoharjo dapat menekan laju pertumbuhan penduduk dengan program
pengembangan kampung Keluarga Berencana dan penciptaan lapangan
kerja bagi penduduk di Kabupaten Sukoharjo. Keberhasilan cipta lapangan

kerja ditunjukkan dengan p e n in g k a tan j u mlah penduduk


c o m m i t to us e r
bekerja.

Anda mungkin juga menyukai