Anda di halaman 1dari 31

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Migrain
1.1. Definisi
Migrain adalah suatu penyakit yang ditandai dengan episode nyeri
kepala berulang, seringkali unilateral, namun dapat juga bilateral, dan
dalam beberapa kasus disertai dengan gangguan visual atau sensorik yang
dikenal sebagai aura. Aura seringkali timbul sebelum nyeri kepala
muncul, namun dapat terjadi selama atau setelah nyeri kepala (Burstein,
2015).
Menurut WHO Kata "migrain" berasal dari bahasa Yunani yaitu
hemikrania, hemi berarti setengah, kranion yang berarti tengkorak,
sehingga dapat disimpulkan bahwa migrain diartikan sebagai rasa sakit di
satu sisi kepala. Migrain merupakan salah satu nyeri kepala primer yang
ditandai dengan nyeri kepala berulang dengan intensitas nyeri sedang
hingga parah. Biasanya, nyeri kepala mempengaruhi satu sisi kepala,
nyerinya berdenyut, dan berlangsung dari dua sampai 72 jam. Rasa nyeri
umumnya diperburuk dengan aktivitas fisik, sepertiga penderita migrain
memiliki aura, suatu periode gangguan visual singkat yang menandakan
bahwa nyeri kepala akan segera terjadi. Kadang-kadang, aura dapat
terjadi dengan sedikit atau tanpa nyeri kepala setelahnya (WHO, 2016).
1.2. Prevalensi
Migrain merupakan gangguan neurologis yang umum namun
cukup memberatkan. Secara global, sekitar 15% orang terkena migrain
(Vos et al., 2012). Di Amerika serikat, diperkirakan 18% dari populasi
wanita dan 6% laki-laki mengalami migrain (Smitherman, 2013). Migrain
dapat tejadi dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Migrain lebih sering
terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum
usia 12 tahun, tetapi lebih sering ditemukan pada wanita setelah pubertas,

5
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
6

yaitu paling sering pada kelompok umur 25-44 tahun. Pada beberapa
wanita serangan migrain menjadi lebih jarang setelah menopause.
(NINDS, 2015).
World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi
migrain di seluruh dunia mencapai 10-14%. Prevalensi tertinggi migrain
didapatkan pada daerah Amerika utara, diikuti dengan Amerika Tengah
dan Selatan, Eropa, Asia dan Afrika. Sekitar 3000 serangan migrain
terjadi pada setiap 1 juta orang di seluruh dunia setiap hari. Menurut
WHO migrain merupakan penyebab ke-19 dari disabilitas kehidupan.
1.3. Etiologi
Migrain diduga disebabkan oleh campuran faktor lingkungan dan
genetik (Piane et al., 2007). Sekitar dua pertiga kasus migrain memiliki
riwayat keluarga dengan migrain (Bartleson dan Cutrer, 2010). Perubahan
kadar hormon juga berperan terhadap migrain dimana migrain sedikit
lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan pada anak
perempuan sebelum pubertas, namun setelah pubertas terjadi 2-3 kali
lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Resiko migrain biasanya
menurun selama kehamilan (Lay dan Broner, 2009).
Migrain dengan atau tanpa aura pada umumnya menunjukkan pola
pewarisan yang bersifat multifaktorial, namun sifat spesifik dari pengaruh
genetik belum sepenuhnya dipahami. Studi asosiasi genom terbaru
menunjukkan terdapat 4 regio di mana polimorfisme nukleotida tunggal
mempengaruhi risiko menderita migrain (Chasman et al., 2011; Antilla et
al., 2010; Ligthart et al., 2011).
Migrain memiliki peranan komponen genetik yang kuat. Sekitar
70% pasien migrain memiliki keluarga tingkat pertama yang juga
memiliki riwayat migrain. Penelitian oleh Kors et al (1999) menyebutkan
bahwa risiko migrain meningkat 4 kali lipat pada keluarga penderita
migrain dengan aura. Berbagai faktor pencetus serangan migrain telah
diidentifikasi,sebagai berikut:
a. Perubahan hormonal, seperti menstruasi, kehamilan, dan ovulasi
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
7

b. Stres
c. Kurang tidur, atau tidur berlebih
d. Obat-obatan (misalnya, vasodilator dan kontrasepsi oral)
e. Merokok
f. Paparan pencahayaan terang
g. Bau kuat (misalnya parfum)
h. Trauma kepala
i. Perubahan cuaca
j. Mabuk perjalanan
k. Stimulus dingin
l. Kurang olahraga
m. Puasa atau melewatkan makanan
n. Konsumsi anggur merah
Beberapa bahan makanan dan bahan tambahan juga telah diduga menjadi
pencetus migrain seperti :
a. Kafein
b. Pemanis buatan (misalnya aspartam, sakarin)
c. Monosodium glutamat (MSG)
d. Buah sitrus
e. Makanan yang mengandung tyramine (misal, keju)
f. Daging dengan nitrit
Namun begitu, penelitian epidemiologi yang besar belum dapat
membuktikan sebagian besar hal diatas sebagai pemicu sebenarnya, dan
tidak ada diet yang terbukti membantu migrain. Kendati demikian pasien
yang mengidentifikasi makanan tertentu sebagai pemicu sebaiknya
menghindari makanan tersebut (Wober et al., 2007; Allais et al., 2009).
1.4. Klasifikasi
Secara umum migrain dibagi menjadi dua :
1. Migrain dengan aura
Migrain dengan aura disebut juga sebagai migrain klasik. Diawali
dengan adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
8

oleh nyeri kepala unilateral, mual, dan kadang muntah, kejadian ini
terjadi berurutan dan manifestasi nyeri kepala biasanya tidak lebih
dari 60 menit yaitu sekitar 5-20 menit.
2. Migrain tanpa aura
Migrain tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit
kepalanya hampir sama dengan migrain dengan aura. Nyerinya pada
salah satu bagian sisi kepala dan bersifat pulsatil dengan disertai mual,
fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam
(Bertleson et al., 2010).

1.5. Patofisiologi
1.5.1 Teori vascular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam
terjadinya migrain dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya
nyeri kepala disertai denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh darah
yang mengalami konstriksi terutama terletak di perifer otak akibat
aktivasi saraf nosiseptif setempat. Teori ini dicetuskan atas observasi
bahwa pembuluh darah ekstrakranial mengalami vasodilatasi sehingga
akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini akan menstimulasi orang
untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian,
vasokonstriktor seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala,
sedangkan vasodilator seperti nitrogliserin akan memperburuk sakit
kepala (Srivasta, 2010).

Teori ini didasarkan pada 3 observasi berikut


1.) Pembuluh darah ekstrasranial membesar dan berdenyut saat terjadi
serangan migrain.
2.) Stimulasi pembuluh darah intrakranial menyebabkan timbulnya nyeri
kepala.
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
9

3.) Vasokonstriktor (misalnya, ergot) dapat mengobati nyeri kepala,


sedangkan vasodilator (misalnya nitrogliserin) memicu timbulnya
serangan.
Namun, teori ini tidak dapat menjelaskan sifat prodromal dari
migrain, khasiat beberapa obat yang digunakan untuk mengobati migrain
yang tidak berpengaruh pada pembuluh darah dan fakta bahwa
kebanyakan penderita migrain tidak memiliki aura. Selain itu, dengan
munculnya teknologi yang lebih baru, para peneliti menemukan bahwa
pola aliran darah intrakranial tidak sesuai dengan teori vascular (Santos
et al., 2014).

1.5.2 Teori Neurovaskular dan Neurokimia


Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang
dianut oleh para neurologist di dunia. Pada saat serangan migrain terjadi,
nervus trigeminus mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related
Peptide) dalam jumlah besar. Hal inilah yang mengakibatkan vasodilatasi
pembuluh darah multipel, sehingga menimbulkan nyeri kepala. CGRP
adalah peptida yang tergolong dalam anggota keluarga calcitonin yang
terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin. Seperti calcitonin,
CGRP ada dalam jumlah besar di sel C dari kelenjar tiroid. Namun
CGRP juga terdistribusi luas di dalam sistem saraf sentral dan perifer,
sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, dan sistem urologenital.
Ketika CGRP diinjeksikan ke sistem saraf, CGRP dapat
menimbulkan berbagai efek seperti hipertensi dan penekanan pemberian
nutrisi. Namun jika diinjeksikan ke sirkulasi sistemik maka yang akan
terjadi adalah hipotensi dan takikardia. CGRP adalah peptida yang
memiliki aksi kerja sebagai vasodilator poten. Aksi keja CGRP dimediasi
oleh 2 reseptor yaitu CGRP 1 dan CGRP 2 (Srivasta, 2010).
Pada prinsipnya, penderita migrain yang sedang tidak mengalami
serangan mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral,
terutama di korteks oksipital, yang diketahui dari studi rekaman MRI dan
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
10

stimulasi magnetik transkranial. Hipereksitabilitas ini menyebabkan


penderita migrain menjadi rentan mendapat serangan, sebuah keadaan
yang sama dengan para pengidap epilepsi. Pendapat ini diperkuat fakta
bahwa pada saat serangan migrain, sering terjadi alodinia (hipersensitif
nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut tersensitisasi saat episode
migrain.
Mekanisme migrain berwujud sebagai refleks trigeminal vaskular
yang tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat
segmental ini yang memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian
akan terjadi dorongan pada kortibular yang berlebihan. Dengan adanya
rangsangan aferen pada pembuluh darah, maka menimbulkan nyeri
berdenyut (Antonaci et al., 2011).

1.5.3 Teori Cortical Spreading Depression (CSD)


Patofisiologi migrain dengan aura dikenal dengan teori cortical
spreading depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron
di substansia nigra yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit.
Penyebaran ini diikuti dengan gelombang supresi neuron dengan pola
yang sama sehingga membentuk irama vasodilatasi yang diikuti dengan
vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD adalah pelepasan Kalium atau
asam amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan neural sehingga
terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi (Ayata, 2015).
CSD pada episode aura akan menstimulasi nervus trigeminalis
nukleus kaudatus, memulai terjadinya migrain. Pada migrain tanpa aura,
kejadian kecil di neuron juga mungkin merangsang nukleus kaudalis
kemudian menginisiasi migrain. Nervus trigeminalis yang teraktivasi
akan menstimulasi pembuluh kranial untuk dilatasi. Hasilnya, senyawa-
senyawa neurokimia seperti calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan
substansi P akan dikeluarkan, terjadilah ekstravasasi plasma. Kejadian ini
akhirnya menyebabkan vasodilatasi yang lebih hebat, kemudian akan
terjadi inflamasi steril neurogenik pada kompleks trigeminovaskular.
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
11

Selain CSD, migrain juga terjadi akibat beberapa mekanisme lain, di


antaranya aktivasi batang otak bagian rostral, stimulasi dopaminergik,
dan defisiensi magnesium di otak. Mekanisme ini bermanifestasi
pelepasan 5-hidroksitriptamin (5-HT) yang bersifat vasokonstriktor.
Pemberian antagonis dopamin, misalnya Proklorperazin, dan antagonis 5-
HT, misalnya Sumatriptan dapat menghilangkan migrain dengan efektif
(Srivasta, 2010; Antonaci, 2011; Ayata, 2015).

1.5.4 Zat vasoaktif dan Neurotransmitter


Aktivitas saraf perivaskular menyebabkan pelepasan berbagai
macam zat vasoaktif seperti substance P, neurokinin A, peptida terkait
gen kalsitonin, dan nitrit oksida (NO), yang berinteraksi dengan dinding
pembuluh darah menyebabkan dilatasi, ekstravasasi protein, dan
inflamasi steril. Keadaan inflamasi steril yang dihasilkan disertai dengan
lebih lanjut, vasodilatasi menghasilkan rasa nyeri. Informasi tersebut
kemudian diteruskan ke talamus dan korteks sehingga timbul rasa nyeri.
Keterlibatan sentral lainnya dapat menjelaskan gejala otonom yang
terkait. Ekspansi plasma neurogenik berperan dalam ekspresi rasa nyeri
pada migrain. Namun begitu, ekspansi plasma saja mungkin tidak dengan
sendirinya menyebabkan rasa nyeri, diduga terdapat stimulator lain yang
dapat memperkuat rasa nyeri yang timbul (Reiffurth, 2015).

1.6. Diagnosis
1.6.1 Migrain tanpa
aura Kriteria diagnostik
:
A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati
atau tidak berhasil diobati).
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik
berikut:
1. Lokasi unilateral
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
12

2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat
4. Keadaan bertambah berat oleh aktifitas fisik atau penderita
menghindari aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik
tangga).
D. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini:
1. Mual dan/atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
E. Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain (Bartleson, 2010)
1.6.2 Migrain dengan aura
Kriteria diagnostik:
A. Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan yang memenuhi kriteria B-D.
B. Adanya aura yang terdiri paling sedikit satu dari dibawah ini tetapi
tidak dijumpai kelemahan motorik:
1. Gangguan visual yang reversibel seperti : positif (cahaya yang
berkedip-kedip, bintik-bintik atau garis-garis) dan negatif
(hilangnya penglihatan).
2. Gangguan sensoris yang reversible termasuk positif (pins and
needles), dan/atau negatif (hilang rasa/baal).
3. Gangguan bicara disfasia yang reversibel
C. Paling sedikit dua dari dibawah ini:
1. Gejala visual homonim dan/atau gejala sensoris unilateral
2. Paling tidak timbul satu macam aura secara gradual > 5 menit dan
/atau jenis aura yang lainnya > 5 menit.
3. Masing-masing gejala berlangsung > 5 menit dan < 60 menit.
D. Nyeri kepala memenuhi keriteria B-D
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain (Bartleson, 2010).
Gejala diatas ini tidak boleh disebabkan oleh kelainan struktural,
metabolik atau gangguan lainnya.
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
13

Gambar 1: Kriteria diagnosis migrain oleh International Headache Society

1.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana migrain melibatkan terapi akut (abortif) dan
pencegahan (profilaksis). Penatalaksanaan farmakologis untuk migrain
dengan pengobatan anti nyeri sederhana seperti ibuprofen dan parasetamol
(asetaminofen) untuk nyeri kepala, obat anti mual, dan penghindaran
pemicu migrain (Armstrong, 2013). Obat-obatan spesifik seperti triptans
atau ergotamin dapat digunakan ketika obat anti nyeri sederhana tidak
efektif (NINDS, 2015). Sejumlah obat juga digunakan untuk mencegah
serangan seperti metoprolol, valproat, dan topiramat (Armstrong, 2013).
Pasien juga harus menghindari faktor-faktor yang memicu
serangan migrain (misalnya kurang tidur, kelelahan, stres, makanan
tertentu, penggunaan vasodilator). Pasien dianjurkan untuk menggunakan
buku harian untuk mendokumentasikan kejadian nyeri kepala, hal tersebut
merupakan metode yang efektif dan murah untuk mengikuti jalannya
penyakit (NINDS, 2015).

2. Migrain dan Cemas


Beberapa tinjauan pustaka menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang kuat antara gangguan migrain dan psikiatri. Adanya komorbiditas
gangguan jiwa dapat mempersulit diagnosis, mempengaruhi kualitas hidup,
mempengaruhi kepatuhan pengobatan, dan mengubah perjalanan penyakit
migrain (Baskin dan Smitherman, 2009). Komorbiditas gangguan jiwa juga
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
14

terkait dengan meningkatnya biaya pengobatan, berkurangnya kepuasan


pengobatan, prognosis yang buruk, dan peningkatan kecacatan (Seng, 2016).
Gangguan cemas memiliki banyak gambaran klinis yang serupa
dengan migrain. Sebagai contoh, migrain bersifat episodik dan ditandai
dengan serangan nyeri kepala berulang disertai dengan gejala yang terkait,
termasuk hipersensitivitas neuronal menyeluruh (Burstein et al., 2015).
Demikian pula, gangguan panik merupakan kelainan episodik yang ditandai
dengan serangan disregulasi otonom berulang yang dikaitkan dengan
hipersensitifitas terhadap perubahan lingkungan internal. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa hubungan ini dapat terjadi melalui adanya komorbiditas
gangguan jiwa (Tietjen et al., 2015). Hubungan antara migrain dan gangguan
cemas diduga bersifat dua arah, dimana satu gangguan meningkatkan risiko
terjadinya gangguan lainnya, begitu pula sebaliknya, yang memunculkan
dugaan bahwa terdapat etiologi yang sama diantara kedua gangguan tersebut
(Seng, 2016).
Terdapat beberapa kemungkinan mekanisme komorbiditas migrain dan
gangguan psikiatri: (1) asosiasi dua gangguan tersebut bisa jadi merupakan
suatu kebetulan (coincidental model), (2) satu kelainan dapat menyebabkan
kelainan lain dimana hubungannya bersifat kausal satu arah (seperti diabetes
yang menyebabkan neuropati diabetik) (unidirectional causality model), (3)
salah satu kelainan menyebabkan kelainan lainnya begitu pula sebaliknya
sehingga hubungan kausalitasnya bersifat dua arah (bidirectional causality
model) (4) terdapat faktor risiko lingkungan dan genetik yang dapat mendasari
kedua kelainan tersebut (seperti trauma kepala yang menyebabkan nyeri
kepala pasca trauma dan kejang pasca trauma) (shared environmental or
genetic risk factor model) dan (5) faktor risiko genetik atau lingkungan yang
dapat menghasilkan kondisi otak laten tertentu yang menyebabkan kedua
kondisi tersebut (latent brain state model) (Antonaci, 2011).
Model kausal menunjukkan bahwa penyakit utama dapat mempercepat
dan menyebabkan gangguan komorbidnya. Hubungan antara penyakit utama
dan komorbidnya mungkin searah atau dua arah. Bukti epidemiologis yang
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
15

ada hingga saat ini mengesampingkan model yang menyatakan bahwa


hubungan antara migrain dan gangguan jiwa bersifat insidental. Model kausal
searah juga dianggap terlalu sederhana sehingga model kausal dua arah diduga
lebih diterima (Buse et al., 2013).
Terdapat banyak bukti yang mendukung model latent brain state
model sebagai penjelasan komorbiditas gangguan migrain dan psikiatri.
Diduga bahwa faktor resiko lingkungan atau genetik dapat menyebabkan
kondisi otak tertentu yang selanjutnya berkaitan peningkatan kejadian migrain
dan gangguan jiwa. Burstein et al, mengusulkan bahwa terdapat beberapa
daerah otak, termasuk daerah hipotalamus, sistem limbik, dan korteks, yang
teraktivasi ketika terjadi serangan migrain. Sinyal nyeri migrain disalurkan
melalui proyeksi trigeminovaskular ke daerah otak tersebut selanjutnya
berperan dalam menghasilkan gejala migrain serta gejala gangguan jiwa.
Konsisten dengan hipotesis tersebut, disebutkan bahwa disfungsi serotonergik
dan dopaminergik mendasari komorbiditas psikiatri dan migrain dengan
mekanisme yang masih belum sepenuhnya jelas (Buse et al., 2013).
Dugaan lain menyebutkan bahwa hubungan migrain dengan
komorbiditas gangguan jiwa berkaitan dengan kadar hormon ovarium.
Hormon ovarium memodulasi banyak neurotransmitter pada wanita. Kondisi
migrain dan gangguan afektif sangat dipengaruhi oleh fluktuasi bulanan dan
dari hormon tersebut. Migrain dan gangguan afektif 2-3 kali lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria, dan perbedaan ini nampak paling jelas
setelah pubertas. Wanita penderita migrain sering mengalami serangan ketika
terjadi penurunan kadar estrogen yaitu pada masa menstruasi. Banyak wanita
juga menunjukkan gangguan mood bertepatan dengan masa menstruasi, masa
postpartum, dan periode perimenopause. Fase luteal akhir siklus haid
tampaknya merupakan waktu yang sangat rentan untuk timbulnya serangan
migrain dan gangguan afektif, karena tingkat estrogen menurun secara drastis
dan terjadi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis serta penurunan
aktivitas sistem serotonergik dan GABA (Baskin dan Smitherman, 2009).
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
16

3. Kualitas Hidup
3.1 Definisi
Menurut World Health Organozation Quality of Life (WHOQOL)
merupakan sebagai persepsi individu mengenai posisi dalam hidup dalam
konteks budaya dan system nilai dimana individu hidup dan hubungannya
dengan tujuan, harapan, standar yang ditetapkan dan perhatian seseorang
(Nimas, 2012). Sedangkan menurut Chipper mengemukakan kualitas
hidup sebagai kemampuan fungsional akibat penyakit dan pengobatan
yang diberikan menurut pandangan atau perasaan pasien (Mabsusah,
2016).
Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat
diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial,
emosional, pekerjaan, dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau
bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada,
adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta
kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain.
3.2 Kualitas Hidup pada Migrain
Migrain merupakan gangguan neurologis kronis yang ditandai
dengan serangan berulang dan kembali ke kondisi awal antara serangan,
yang mempengaruhi 11% orang dewasa di seluruh dunia. Penderita
migrain menanggung rasa ketakutan akan gangguan kemampuan kerja
mereka, kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab keluarga atau sosial,
dan tekanan psikososial lainnya yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
mereka (QOL) dan produktivitas kerja (Sulmaz et al., 2014).
Migrain memiliki pengaruh negatif pada kualitas hidup, termasuk
aspek fisik, emosional dan sosial kehidupan sehari-hari seperti keluarga,
pekerjaan dan hubungan sosial. Lingkungan keluarga dan aspek psikologis
pasien merupakan yang paling terpengaruh menurut pasien dan keluarga.
Para profesional kesehatan menekankan bahwa pasien migrain jika tidak
diobati maka akan mengakibatkan gangguan fungsi pekerjaan berupa
fokus terhadap pekerjaannya (Ruiz, 2003).
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
17

Dalam sebuah penelitian 162 pasien wanita berpartisipasi dalam


penelitian dengan diagnosis migrain yang kronis dari 36 kantor, yang
berusia antara 18 dan 63 tahun. 53 pasien wanita memenuhi kriteria untuk
migrain dengan aura dan 109 untuk migrain tanpa aura. Dampak dari
serangan migrain, sebanyak 64,20% pasien perempuan tidak mampu
melakukan pekerjaan rumah tangga, 48,15% sangat berpengaruh di tempat
kerja, 8,64% tidak mampu mengambil bagian dalam acara sosial dan
hanya 1 pasien wanita yang tidak dapat melakukan kegiatan olahraga. Para
pasien perempuan tidak masuk kerja secara kolektif 149 hari kerja dalam
setahun terakhir, rata-rata 6,09 hari untuk setiap pasien wanita karena
migrain. 94,4% pasien wanita menganggap kemampuan kerja mereka
sangat berkurang karena nyeri kepala yang mereka alami (Mihaela, 2008).
Mengenai pengaruh pada kesehatan fisik serta keterbatasan
fungsional yang ditimbulkan migrain pada penderita yang dikeluhkan
mereka berfokus terutama pada intensitas rasa nyeri dan ketidaknyamanan
yang disebabkan oleh dengungan dan cahaya selama serangan akut.
Mereka kebanyakan menggambarkan bagaimana rasa nyeri dan
ketidaknyamanan tersebut membuat mereka tidak bisa tidur, nyeri
diseluruh tubuh, lemas, berkeringat, dan kurangnya ingatan. Berkaitan
dengan aspek sosial, tiga aspek yang dianggap berpengaruh terhadap
kualitas hidup pasien: (i) bekerja dan belajar; (ii) hubungan keluarga dan /
atau dengan pasangan; dan (iii) hubungan sosial di luar keluarga dan
lingkungan kerja, termasuk kegiatan memanfaatkan waktu luang. Salah
satu aspek yang paling sering disebutkan adalah aktivitas di tempat kerja
dan belajar. Aspek ini mengacu pada kesulitan dalam melaksanakan tugas
seseorang di tempat kerja atau untuk melakukan suatu hal dalam kondisi
yang kurang menguntungkan, berkaitan dengan aspek fisik dan motivasi
serta kemampuan pribadi.
Kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan migrain pada hubungan
keluarga merupakan salah satu aspek penting yang dibahas di semua
kelompok pasien, dan terutama di keluarga. Fakta ini memiliki efek
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
18

psikologis pada pasien, karena mempengaruhi citra mereka sebagai ibu /


ayah, pasangan, dll. Dampak migrain terhadap tingkat emosional sangat
relevan. Mereka menggambarkan efek pada keadaan emosional sebagai
masalah besar pada kehidupan mereka di semua bidang. Penting bagi kita
untuk memahami apa yang mereka gambarkan, bagaimana migrain
mempengaruhi mereka secara emosional. Mereka mengatakan tentang
perubahan suasana hati, ketidakbahagiaan dan keputusasaan, kondisi
krisis, serta peningkatan agresivitas mereka dan kurangnya kontrol emosi
yang lebih besar (Ruiz, 2003).
4. Neurofeedback
Neurofeedback (juga disebut neurobiofeedback atau EEG biofeedback)
mengacu pada biofeedback berbasis frekuensi yang menggunakan EEG untuk
memberi informasi kepada pasien mengenai gelombang otak mereka dan
secara bertahap mengajarkan pasien bagaimana cara mengubah aktivitas
gelombang otak mereka. Sensor dilekatkan pada kulit kepala dan sinyal EEG
diperkuat, spektrum frekuensi diekstraksi melalui transformasi Fourier dan
komponen frekuensi terpilih ditampilkan melalui user interface seperti
permainan video (Stokes dan Lappin, 2010).
Ketika neuron di otak beraktivitas, maka akan menghasilkan pulsasi
elektrik. Dengan menempatkan elektroda pada kulit kepala, aktivitas listrik
otak, yang dikenal dengan EEG, dapat direkam. EEG dihasilkan oleh aktivitas
spesifik dari neuron yang dikenal sebagai neuron piramidal. Pola aktivitas
listrik yang berbeda, yang dikenal sebagai gelombang otak, dapat dikenali
dengan amplitudo dan frekuensi yang berbeda-beda. Frekuensi menunjukkan
ukuran keseluruhan spektrum atau seberapa cepat gelombang berosilasi yang
diukur dengan jumlah gelombang dominan per detik, sedangkan amplitudo
mewakili ukuran kekuatan sinyal pada rentang frekuensi gelombang tertentu
yang diukur dengan mikrovolt (μV) (Dempster, 2012).
Selama prosedur, sensor dilekatkan pada kulit kepala, sinyal EEG
diperkuat dan dilakukan perekaman EEG, selanjutnya, berbagai komponen
spektrum frekuensi EEG tersebut diekstraksi dan ditampilkan kembali ke
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
19

pasien secara online dan real-time dalam bentuk audio, video atau kombinasi
keduanya yang dapat dimengerti oleh pasien. Sebagai contoh, kekuatan sinyal
pada suatu pita frekuensi dapat ditunjukkan dengan grafik batang yang
bervariasi. Selama prosedur ini, pasien menjadi sadar akan perubahan yang
terjadi selama menjalani latihan tersebut dan akan dapat menilai kemajuannya
untuk mencapai kinerja optimal. Misalnya pasien mencoba memperbaiki pola
otak berdasarkan perubahan yang terjadi pada suara atau film (Dempster,
2012).
Kelainan pada aktivitas elektrofisiologis biasanya ditemukan pada otak
penderita migrain, sehingga sangat masuk akal bahwa intervensi yang
melibatkan EEG mungkin dapat memberi manfaat. Pada anak-anak penderita
migrain, baik dengan maupun tanpa aura, didapatkan peningkatan frekuensi
gelombang theta dibandingkan dengan kontrol normal. Siniatchkin et al,
menunjukkan penurunan serangan migrain yang signifikan pada migrain pada
10 penderita migrain muda setelah 10 sesi neurofeedback di area frontal dan
central midline yang mengajarkan pasien untuk mengendalikan aktivitas
potensial kortikal yang lambat yang mewakili sensitivitas dan reaktivitas
kortikal (Pistoia et al., 2013).
4.1 Tipe Neurofeedback
4.1.1 Tipe-tipe Neurofeedback
Terdapat beberapa tipe Neurofeedback yang dapat digunakan untuk
pengobatan berbagai gangguan diantaranya:
a. Neurofeedback yang paling sering digunakan adalah frequency / power
neurofeedback. Teknik ini biasanya mencakup penggunaan 2 sampai 4
elektroda permukaan, sehingga kadang disebut "surface
neurofeedback". Ini digunakan untuk mengubah amplitudo atau
kecepatan gelombang otak spesifik di lokasi otak tertentu untuk
mengobati ADHD, kegelisahan, dan insomnia.
b. Slow cortical potential neurofeedback (SCP-NF) memperbaiki arah
potensial kortikal lambat untuk mengobati ADHD, epilepsi, dan
migrain (Christiansen et al., 2014).
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
20

c. Low-energy neurofeedback system (LENS) memberikan sinyal


elektromagnetik lemah untuk mengubah gelombang otak pasien
sementara pasien diposisikan tidak bergerak dengan mata tertutup
(Zandi Mehran et al., 2014). Jenis neurofeedback ini telah digunakan
untuk mengobati cedera otak traumatis, ADHD, insomnia,
fibromyalgia, sindrom kaki gelisah, kecemasan, depresi, dan
kemarahan.
d. Hemoencephalographic neurofeedback (HEG) memberikan umpan
balik pada aliran darah serebral untuk mengobati migrain (Dias et al.,
2012).
e. Live Z-score neurofeedback digunakan untuk mengobati insomnia.
Neurofeedback ini membandingkan variabel aktivitas listrik otak ke
data base sistematis secara kontinyu untuk memberikan umpan balik
yang berkesinambungan (Collura et al., 2010).
f. Low-resolution electromagnetic tomography (LORETA) melibatkan
penggunaan 19 elektroda untuk memantau fase, kekuatan, dan
koherensi (Pascual-Marqui et al., 1994). Teknik neurofeedback ini
digunakan untuk mengobati adiksi, depresi, dan gangguan obsesif-
kompulsif.
g. Quantitative EEG (qEEG) merupakan pendekatan dengan pemetaan
seluruh otak. Beberapa pendekatan qEEG berusaha mendekatkan
individu ke qEEG yang sehat (Thornton, 2000). Pendekatan lain
menggunakan qEEG untuk mengidentifikasi daerah target yang
hipoaktif atau hiperaktif untuk dilatih (Logemann et al., 2010).
h. Infralow frequency neurofeedback menargetkan frekuensi serendah
0,01 Hz (Legarda et al., 2011). Beberapa bukti menunjukkan bahwa
protokol ini dapat digunakan untuk PTSD atau kelainan lainnya di
masa depan (Legarda et al., 2011; Othmer et al., 2011)
i. Functional magnetic resonance imaging (fMRI) adalah tipe
neurofeedback terbaru untuk mengatur aktivitas otak berdasarkan
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
21

umpan balik aktivitas dari area subkortikal dalam (Hurt et al., 2014;
Lévesque et al., 2006).

4.2 Penggunaan Neurofeedback sebagai Terapi Migrain


Biasanya, pasien tidak dapat mempengaruhi pola gelombang otak
mereka karena mereka tidak menyadarinya. Namun, ketika mereka dapat
melihat interpretasi gelombang otak mereka di layar komputer secara
langsung, hal tersebut mengajarkan kepada mereka kemampuan untuk
mempengaruhi pola gelombang otak dan secara bertahap mengubahnya.
Neurofeedback melakukan rekondisi gelombang otak dan melatihnya
kembali. Awalnya, perubahan yang dihasilkan tidak begitu menetap,
namun perubahannya berangsur-angsur menjadi lebih permanen. Dengan
umpan balik dan pelatihan yang berkelanjutan, pola gelombang otak yang
lebih sehat biasanya dapat dilatih ulang pada sebagian orang. Sebagian
besar penelitian menunjukkan bahwa perbaikan yang signifikan terjadi 75
pada 80% dari peserta penelitian. Prosesnya hampir serupa seperti
berolahraga atau melakukan terapi fisik namun dilakukan dengan otak,
meningkatkan fleksibilitas dan kontrol kognitif (Hammond, 2011).
Perubahan disabilitas akibat migrain dinilai dengan kuesioner
Headache Impact Test (HIT-6) dan Migraine Disability Assessment
(MIDAS) selama 3 kali yaitu sebelum menerima terapi (baseline), minggu
ke 6 terapi (midtreatment) dan pada akhir sesi terapi (posttreatment).
Semua peserta penelitian memiliki skor HIT-6 ≥ 56 yang berarti migrain
yang dideritanya memberikan dampak disabilitas yang sedang hingga
berat. Sesi terapi dilakukan dengan menonton film yang dipilih oleh
peserta melalui sebuah laptop. Peserta dianjurkan memilih film yang dapat
memberi muatan emosinal dan menarik peserta ke dalam cerita/plot serta
menghindari film yang dapat menimbulkan kejutan atau ketakutan. Film
diputar dengan software dan diatur untuk terus berjalan selama 5 menit.
Setelah 5 menit berjalan, pengaturan dirubah sehingga peserta harus
mempertahankan keadaan mental yang tenang dan fokus agar film tidak
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
22

berhenti. Pengaturan tersebut dipertahankan selama 10-25 menit. Sesi


pelatihan akan diberhentikan ketika: (a) peserta mengalami nyeri kepala,
(b) peserta lelah, (c) peserta mengalami ketidaknyamanan fisik atau
emosional, (d) diamati adanya fluktuasi cepat pada sinyal pIR, atau (e)
sinyal pIR turun di bawah ambang batas lima kali. Penghentian sesi latihan
terjadi rata-rata dua kali pada tiap peserta. Hasilnya, didapatkan penurunan
skor HIT-6 yang sangat signifikan antara penilaian midtreatment dan
baseline (p < 0,001), dan antara penilaian posttreatment dan baseline (p <
0,001). Namun begitu tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan
antara skor antara midtreatment dan posttreatment. Didapatkan juga
penurunan skor MIDAS yang sangat signifikan antara penilaian
postreatment dan baseline (p < 0,001). Tidak ditemukan adanya perbedaan
yang signifikan antara skor baseline dan midtreatment, atau antara
midtreatment dan posttreatment. Tidak ditemukan adanya perbedaan skor
MIDAS subskala A yang menilai frekuensi serangan migrain, namun pada
skor MIDAS subskala B yang menilai intensitas nyeri dari serangan
migrain, didapatkan adanya penurunan yang signifikan antara penilaian
midtreatment dan baseline (p < 0,001), dan antara penilaian posttreatment
dan baseline (p < 0,001). Namun lagi-lagi untuk skor antara midtreatment
dan posttreatment tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan
(Walker dan Lyle, 2016).

4.3 Slow Cortical Potential Neurofeedback (SCP-NF)


Neurofeedback memiliki beberapa jenis dan protokol dalam
pelaksanaanya, sehingga aplikasi gelombang otak pada neurofeedback
diharapkan dapat membantu menurunkan migrain. Hingga saat ini,
penelitian neurofeedback sebagai terapi migrain memanfaatkan dua
modalitas neurofeedback yaitu neurofeedback potensial kortikal lambat
(Slow cortical potential neurofeedback [SCP-NF]) dan
Hemoencephalographic neurofeedback (HEG).
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
23

Dalam hal ini penulis akan menggunakan modalitas neurofeedback


potensial kortikal lambat (SCP-NF). SCP-NF memperbaiki arah potensial
kortikal lambat untuk mengobati migrain. Slow cortical potential
neurofeedback (SCP-NF) adalah jenis neurofeedback yang memanfaatkan
gelombang slow cortical potential, yaitu gelombang polarisasi positif atau
negatif dalam rentang frekuensi yang sangat lambat dari 0,3 Hz hingga
sekitar 1,5 Hz. Pada penderita migrain, sebelum serangan migrain,
jaringan korteks bersifat lebih elektronegatif dibandingkan dengan orang
normal (hipereksitabilitas). Kondisi tersebutlah yang diduga mendasari
terjadinya migrain. SCP diduga dapat berperan membantu mengatur
ambang batas preaktivasi dan eksitabilitas kortikal (Elbert, 1993), dimana
SCP dapat dilatih untuk dimunculkan secara volunter karena SCP
merupakan potensial otak yang dihasilkan akibat penyajian stimulus
(Christiansen et al., 2014).
Penelitian sebelumnya yang memanfaatkan pelatihan SCP untuk
terapi migrain diantaranya dilakukan oleh Siniatchkin yang menyebutkan
bahwa salah satu karakteristik pasien migrain adalah adanya kondisi
hipersensitivitas dan hipereksitasi dari jaringan kortikal. Dalam penelitian
tersebut, 10 anak penderita migrain tanpa aura mengikuti 10 sesi pelatihan
SCP-NF, selanjutnya mereka dibandingkan dengan 10 anak yang sehat
(kelompok kontrol negatif) dan 10 anak penderita migrain yang tidak
mendapatkan terapi (kelompok kontrol positif). Pelatihan SCP-NF di area
frontal dan central midline ditujukan untuk mengajarkan pasien
mengendalikan aktivitas potensial kortikal lambat yang dimilikkinya. Pada
penelitian tersebut, kelompok anak dengan migrain memiliki kemampuan
kontrol aktivitas kortikal yang lebih buruk dibandingkan kelompok anak
yang sehat, namun setelah menjalani 10 sesi pelatihan SCP-NF, tidak
didapatkan adanya perbedaan kemampuan kontrol aktivitas kortikal antara
kelompok anak yang sehat dan kelompok anak dengan migrain yang
mendapatkan pelatihan SCP-NF. Hal tersebut diikuti juga dengan
penurunan eksitabilitas kortikal serta penurunan jumlah hari migrain
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
24

dalam sebulan yang signifikan pada kelompok anak penderita migrain


yang menjalani pelatihan SCP-NF. Siniatchkin menduga bahwa
normalisasi eksitabilitas kortikal yang akibat pelatihan SCP-NF
merupakan penyebab terjadinya perbaikan kondisi klinis (Siniatchkin et
al., 2000).

4.4 Prinsip Mekanisme SCP-NF Sebagai Terapi Migrain


Seperti yang telah dijelaskan, diduga pengaturan dan
pengkondisian potensial kortikal lambat (SCP) secara volunter dapat
membantu mengatur ambang batas preaktivasi dan eksitabilitas kortikal
(Elbert, 1993). Untuk lebih memahami prinsip neurofeedback SCP, perlu
dipahami terlebih dahulu apa yang disebut SCP dan teori yang mendasari
mekanisme kerja SCP. Pada penderita migrain diduga terjadi adanya
gangguan pengaturan ambang batas preaktivasi kortikal, yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang normal (Schoenen, 1996) yang diikuti
denganhipereksitabilitas neuron piramida kortikal (Welch dan Ramadan,
1995). Teori tersebut didukung oleh adanya temuan peningkatan
konsentrasi asam amino eksitatorik pada pasien migrain, dan amplitudo
event related potential (ERP) yang besar (Aurora et al., 1998).
ERP adalah respons otak yang terukur yang merupakan akibat
langsung dari kejadian sensorik, kognitif, atau motorik spesifik, atau
secara lebih sederhana, ERP merupakan respons elektrofisiologis otak
terhadap suatu stimulus. Salah satu metode untuk menilai ambang batas
preaktivasi dan tingkat eksitabilitas kortikal adalah dengan melakukan
perekaman contingent negative variation (CNV). CNV adalah ERP lambat
yang terkait dengan respons yang mencerminkan alokasi sumber daya
pengolahan untuk aktivitas mental seperti ekspektansi, perhatian, dan
persiapan perilaku (Rockstroh et al., 1998). Seperti yang dijelaskan oleh
Rohrbaugh et al (1986) proses tersebut meliputi antisipasi stimulus,
persiapan respons, dan antisipasi terhadap keputusan. Penelitian CNV
pada pasien migrain menunjukkan adanya beberapa perbedaandengan
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
25

CNV pada kontrol diantaranya: (a) negativitas dan penurunan habituasi,


(b) normalisasi CNV selama serangan, (c) periodisitas di antara serangan,
(d) perubahan akibat pematangan serebral.
Slow cortical potential (SCP) adalah ERP lambat dalam bentuk
perubahan kekuatan amplitudo gelombang listrik yang berasal dari lapisan
korteks superior. Hal ini berarti dapat terjadi perubahan aktivitas EEG
berdasarkan respon terhadap suatu kejadian. Jika suatu gambar atau suara
dipresentasikan kepada individu, penyajian stimulus tersebut akan
menyebabkan perubahan potensial otak, sebagai reaksi terhadap
rangsangan yang diberikan. Menariknya, perubahan potensial ini dapat
bersifat eksogen (reaksi terhadap stimulus eksternal yang dipresentasikan)
atau endogen (reaksi terhadap “harapan” akan stimulus). Sehingga otak
dapat bereaksi terhadap suatu ekspektasi stimulus, tanpa diperlukan
adanya stimulus yang asli, dengan demikian maka perubahan potensial
tersebut dapat dihasilkan secara volunter sesuka hati. Apabila perubahan
potensial tersebut dapat dihasilkan sesuka hati, maka SCP dapat dilatih/
dikendalikan. Dalam hal ini neurofeedback berupaya melatih pengendalian
SCP secara langsung dan sukarela melalui pikiran, kognisi, dan citra
sehingga tercapai normalisasi amplitudo CNV. Kontrol SCP volunter ini
harus mengarah pada pemrosesan stimulus yang adekuat dan normalisasi
dari fungsi habituasi (Lauritzen, 2001).
Pengaturan SCP secara volunter didasarkan pada pentingnya
aktivitas korteks lambat dalam patogenesis migrain. Perubahan oleh SCP
menyebabkan penurunan negativitas yang mencerminkan berkurangnya
depolarisasi neuron, yang disertai dengan peningkatkan ambang
depolarisasi neuron (proses inhibisi sehingga neuron lebih sulit teraktivasi)
dan penurunan eksitabilitas neuron (aktivitas neuronal lebih sedikit).
Pengurangan amplitudo melalui SCP berkorelasi dengan perbaikan gejala
klinis (penurunan frekuensi dan intensitas nyeri kepala). Diasumsikan juga
bahwa kontrol amplitudo CNV melalui SCP secara volunter dapat
memiliki efek preventif. Pengendalian SCP juga berkaitan dengan
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
26

peningkatan habituasi selama perekaman CNV. Oleh karena itu kita juga
berasumsi bahwa pengurangan amplitudo negatif secara volunter dapat
memberikan kemampuan habituasi yang lebih baik (Carmen, 2002).
Harus diakui bahwa kelebihan dari neurofeedback memberikan
keuntungan dalam segi efektivitas dan efisiensi. Neurofeedback tidak
menimbulkan rasa sakit sehingga pasien-pasien dengan gangguan cemas
dapat merasa nyaman tanpa harus mengalami rasa takut akan nyeri.
Neurofeedback membantu pasien agar dapat memantau kondisinya dengan
detail, individu yang pada awalnya tidak menyadari dapat menyadari apa
yang sebenarnya terjadi pada status biologisnya dan mudah
mengkontrolnya sehingga mampu menciptakan mekanisme pertahanan
(coping) yang mature (Barbara, 2011).

5. Operational Research
A. Definisi
Menurut Operation Research Society of America (ORSA),
operation research berkaitan dengan pengambilan keputusan secara ilmiah
dan bagaimana membuat suatu model yang baik dalam merancang dan
menjalankan sistem yang melalui alokasi sumber daya yang terbatas.
Intinya adalah bagaimana proses pengambilan keputusan yang optimal
dengan menggunakan alat analisis yang ada dan adanya keterbatasan
sumber daya. Sedangkan menurut Hamdi A. Taha, operational research
adalah pendekatan dalam pengambilan keputusan yang ditandai dengan
penggunaan pengetahuan ilmiah melalui usaha kelompok antar disiplin
yang bertujuan menentukan penggunaan terbaik sumber daya yang
terbatas (Zacoeb, 2014). Dalam penelitian ini diharapkan dapat
mengetahui berbagai informasi tentang bagaimana pengaruh
neurofeedback terhadap migrain, cemas, dan kualitas hidup pasien di RS
UNS Surakarta.
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
27

Dalam menyelesaikan persoalan pada proses pengambilan


keputusan harus diidentifikasi terlebih dahulu 2 komponen utamanya,
yaitu :
a. Tujuan
Tujuan adalah hasil akhir yang ingin dicapai. Dalam bidang usaha
biasanya tujuan akhir diartikan sebagai “memaksimumkan laba” atau
“meminimumkan biaya yang harus dikeluarkan”. Dalam bidang lain
yang sifatnya non-profit, maka tujuan akhir diartikan sebagai
“pemberian kualitas pelayanan kepada para pelanggan”.
b. Variabel-variabel
Setelah tujuan ditentukan, maka harus dilakukan pemilihan
tindakan yang terbaik agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
Kualitas dalam pemilihan tindakan yang terbaik sangat tergantung
pada pengetahuan pengambil keputusan (manajer) terhadap seluruh
alternatif tindakan yang mungkin. Untuk dapat menentukan tindakan
yang mungkin dilakukan, maka manajer harus mengidentifikasi
variabel-variabel yang dapat dikendalikan oleh pengambil keputusan.
Operational research memiliki ciri yang paling khas yaitu
menggunakan teknik penelitian ilmiah dan pendekatan kelompok antar
disiplin untuk mendapatkan solusi optimal. Operational research tidak
memberikan jawaban sempurna terhadap suatu masalah, tetapi hanya
memperbaiki kualitas solusi (Zacoeb, 2014; Rahayu, 2012).
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
28

B. Pendekatan operational research


Pendekatan riset operasi untuk memecahkan masalah dapat dilihat
pada gambar berikut :

Mengenali dan mempelajari


Observasi masalah- masalah yang ada dalam
suatu sistem

Masalah yang ada dideskripsikan secara singkat dan jelas


Definisi
Masalah
Teknik manajemen sains

Penyajian data dapat berupa


pemaparan secara deskriptif,
Konstruksi Model tabel dan grafik
Gambar 2 Bagan pendekatan operational research untuk menyelesaikan
suatu masalah (Zacoeb, 2014).
Rancangan model dibuat untuk
membantu membuat suatu
keputusan dalam penyelesaian
Solusi suatu masalah, dapat berupa
Desain dan metode Operational Research berada
informasi, pada kisaran dari
anjuran/pedoman.
kualitatif ke kuantitatif, dan desain penelitian dari non-eksperimental

Pelaksanaan Dalam pelaksanaannya, manajer


tidak menerapkan solusi secara
kaku tetapi dengan
dengan percobaan yang benar. Tidak ada satu metode yang khusus atau
mempertimbangkan lebih lanjut
(mis. Sumberdaya, lingkungan,
dsb.)
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
29

desain yang unik untuk Operational Resarch. Operational Research bukan


merupakan gambaran khusus dari aplikasi dari metode atau penggunaan
satu desain tertentu di atas metode yang lainnya. Hal ini yang
membedakan Operational Research dari bentuk-bentuk penelitian lainnya
yang bertujuan melakukan kajian efektifitas suatu metode dibandingkan
dengan metode yang lain (Fisher et al., 2002).

C. Tahapan Penelitian
a) Tahap orientasi atau deskripsi : mendeskripsikan apa yang dilihat,
didengar, dirasakan, atau ditanyakan.
b) Tahap reduksi/fokus : data yang telah diperoleh pada tahap 1 direduksi
untuk memfokuskan pada masalah tertentu. Pada tahap ini, peneliti
memilih mana data yang menarik, penting, berguna, dan baru. Data yang
dirasa tidak berguna disingkirkan.
c) Tahap seleksi : peneliti menguraikan fokus yang telah ditetapkan menjadi
lebih rinci

D. Metode pengumpulan data


Dalam pendekatan kualitatif, terdapat tiga cara yang umum digunakan
untuk mengumpulkan data, yaitu melalui wawancara, observasi, dan
penelusuran-penelusuran dokumen-dokumen dalam bentuk tulisan-tulisan.
Metode dasar yang umumnya dipakai dalam penelitian kualitatif adalah
wawancara dan observasi. Pada penelitian ini akan digunakan wawancara
sebagai metode utama dan observasi sebagai metode penunjang (Sugiyono,
2005).
a) Wawancara
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi
dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam
suatu topik tertentu. Menurut Susan Stainback (1988), wawancara
dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang
partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
30

mana hal ini tidak dapat ditemukan dalam observasi. Wawancara


dilakukan untuk mengetahui apa yang ada di pikiran individu dan
memperoleh pemahaman terhadap perspektif individu. Pewawancara tidak
membawa hal-hal atau asumsi tertentu yang sudah dimilikinya ke dalam
pemikiran individu yang diwawancarai.
Wawancara paling baik digunakan apabila data yang hendak
diperoleh berdasarkan pada emosi, pengalaman, perasaan, pengetahuan,
dan pendapat individu. Informasi mengenai hal-hal tersebut perlu
dieksplorasi dan tidak cukup apabila hanya diungkapkan melalui beberapa
patah kata saja. Selain itu, wawancara juga dapat digunakan apabila
pertanyaan penelitian bersifat sensitif dan sangat personal. Melalui
wawancara peneliti dapat melakukan persuasi agar subjek dapat jujur dan
terbuka dalam mengungkapkan pengalamannya yang bersifat personal
(Manuelet al., 2014).
b) Observasi
Observasi dilakukan sebagai metode penunjang pengumpulan data
yang esensial dalam penelitian, terutama penelitian dengan metode
pendekatan kualitatif. Metode observasi digunakan sebagai metode
penunjang dengan dasar pemikiran bahwa melalui observasi
memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada
penemuan daripada pembuktian, dan mempertahankan pilihan untuk
mendekati masalah secara induktif. Dengan berada dalam situasi lapangan
yang nyata, kecenderungan untuk dipengaruhi berbagai konseptualisasi
(yang ada sebelum penelitian dilaksanakan) tentang topik yang diamati
akan berkurang (Sugiyono, 2005).
Observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat,
mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara
aspek dalam fenomena tersebut. Dalam penelitian kualitatif umumnya
dilakukan observasi terhadap setting tempat dan terhadap subjek
penelitian. Pengamatan setting bertujuan untuk mengamati faktor-faktor di
lingkungan yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku subjek serta
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
31

informasi yang akan disampaikannya. Pengamatan terhadap subjek yang


diwawancarai bersifat memperjelas dari apa yang diungkapkan secara
lisan dan menambah informasi mengenai subjek serta memperoleh hal-hal
yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian
secara terbuka dalam wawancara (Willig, 2001; Sugiyono, 2005).

E. Teknik pengambilan subjek penelitian


Teknik sampling yang digunakan dalam studi kualitatif biasanya
adalah non-probabilistic sampling dengan macamnya adalah sebagai berikut:
(1) convenience sampling, subjek yang mudah dan segera dapat diakses lebih
mungkin untuk diikutkan dalam studi. Hasil studi biasanya tidak dapat
digeneralisasikan; (2) purposive sampling, subjek dipilih berdasarkan tujuan
studi dengan perkiraan bahwa masing-masing subjek mempunyai nilai unik
dan banyak informasi yang sesuai. Populasi terjangkau tidak dapat ditukar dan
ukuran sampel ditentukan oleh saturasi data, bukan oleh perhitungan statistik;
(3) theoretical sampling, dilakukan untuk mengembangkan atau menjelaskan
teori yang digunakan sebagai panduan dalam pencarian subjek. Subjek
diambil dulu pada studi pendahuluan lalu dianalisis untuk kemudian dipilih
yang paling sesuai dengan tujuan studi (Suen et al., 2014; Simkiss et al.,
2015).

F. Jumlah subjek penelitian


Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif tidak didasarkan
perhitungan statistik. Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan
informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasi. Sarantakos
menyatakan bahwa pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif tidak
diarahkan pada jumlah sampel yang besar. Penetapan jumlahnya tidak
ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam jumlah
maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang
berkembang dalam penelitian. Hal ini berhubungan dengan konsep saturasi,
yaitu peneliti yang melakukan pengambilan sampel teoritis akan terus
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
32

menambahkan unit-unit baru dalam penelitiannya dan akan berhenti pada titik
di mana penambahan data dianggap tidak lagi memberikan informasi baru
dalam analisis. Selain itu, jumlah sampel juga tidak diarahkan pada
keterwakilan (dalam arti jumlah atau peristiwa acak) melainkan pada
kecocokan konteks (Poerwandari, 1998; Willig, 2001; Sugiyono, 2005).

G. Uji keabsahan data kualitatif


Pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi
credibility, transferability, dependability dan confirmability. Credibility
(validitas internal) dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan
ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi, analisis kasus negatif, dan
membercheck. Transferability (validitas eksternal) dilakukan dengan membuat
laporan penelitian dalam uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat
dipercaya sehingga pembaca dapat mengerti dan memahami hasil penelitian.
Dependability (reliabilitas) dilakukan dengan melakukan audit terhadap
keseluruhan proses penelitian. Confirmability (objektivitas) adalah menguji
hasil penelitian, prosesnya mirip dengan uji dependability sehingga dapat
dilakukan secara bersamaan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari
proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi
standar confirmability (Faisal, 1998 cit. Sugiyono, 2005).
Langkah penting dari studi kualitatif selanjutnya adalah validasi
untuk menilai tingkat kepercayaan temuan. Validasi dilakukan dengan
beberapa cara. Metode yang sering dipakai adalah triangulasi. Triangulasi
dilakukan dengan pencarian bukti dari berbagai sumber dan membandingkan
hasil tersebut dari sumber yang berbeda. Cara lain untuk validasi adalah
dengan pengecekan anggota atau member checking (Schutt, 2012).

H. Prosedur analisis data


Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi
dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkannya ke
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
33

dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana


yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2005).
Analisis data bersifat induktif, berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan
dan kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. Jadi dalam
penelitian kualitatif, analisis data dilakukan untuk membangun suatu hipotesis.
Analisis data dilakukan sejak peneliti menyusun proposal, melaksanakan
pengumpulan data di lapangan, sampai peneliti mendapatkan semua data
(Sugiyono, 2005).

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada :


a) Sejak sebelum memasuki lapangan
Analisis sebelum di lapangan dilakukan terhadap data hasil studi
pendahuluan atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan
fokus penelitian.
b) Selama dilapangan
Menurut Miles dan Huberman (1984), tahapan dalam analisis data
kualitatif selama di lapangan adalah :
1. Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting untuk dicari tema dan
polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila
diperlukan.
2. Penyajian data
Penyajian data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori,
flowchart, dan sejenisnya.
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
34

Menurut Miles dan Huberman (1984), yang paling sering


digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif.
3. Penarikan kesimpulan.
Penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan
temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat
berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih
remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas,
dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis, atau teori.
library.uns.ac.i digilib.uns.ac.id
35

B. Kerangka Berpikir

Migrain dengan gejala cemas

Terapi
>>Hipotalamus<<
neurofeedback

Stimulasi saraf simpatis

Aktivasi adrenomedullary
Sekresi norepinefrin

Kewaspadaan meningkat Ketegangan otot


Denyut jantung meningkat

Tubuh dalam keadaan siaga

Sensitivitas saraf
simpatis

Tubuh dalam keadaan relaks


Perasaan tenang dan bahagia
Kekambuhan migrain berulang
Kekambuhan migrain berkurang

Kualitas hidup menurun Kualitas hidup meningkat

Anda mungkin juga menyukai