Anda di halaman 1dari 166

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS


SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF
DI YOGYAKARTA

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister


Program Studi Seni Rupa
Minat Utama Seni Murni

Oleh
Emmanuel Putro Prakoso
S011302004

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
SURAKARTA
2015
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS


SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF
DI YOGYAKARTA

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister


Program Studi Seni Rupa
Minat Utama Seni Murni

Oleh
Emmanuel Putro Prakoso
S011302004

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
SURAKARTA
2015

i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS


SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF
DI YOGYAKARTA

TESIS

Oleh
Emmanuel Putro Prakoso
S011302004

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal


Pembimbing

Pembimbing I Dr. Nooryan Bahari, M.Sn ................. ... 26


NIP. 196502201990031001 Januari
2015

Pembimbing II Dr. Sarah Rum Handayani, M.Hum ................. 26


NIP. 195212081981032001 Januari
2015

Telah dinyatakan memenuhi syarat


Pada tanggal 26 Januari 2015

Ketua Program Studi Seni Rupa


Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD


commit to user
NIP. 195007091980031003

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS


SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF
DI YOGYAKARTA

TESIS

Oleh
Emmanuel Putro Prakoso
S011302004

Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD ....................... 25
NIP. 19500709 198003 1003 Februari
2015

Sekretaris Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T, M.Trop.Arch ............. 25


NIP. 19680609 1994021001 Februari
2015

Anggota Dr. Nooryan Bahari, M.Sn ....................... 25


Penguji NIP. 19650220 199003 1001 Februari
2015

Dr. Sarah Rum Handayani, M.Hum ....................... 25


NIP. 19521208 198103 2001 Februari
2015

Telah dipertahankan didepan penguji


dan dinyatakan telah memenuhi syarat
pada tanggal 25 Februari 2015

Direktur Ketua Program Studi


Program Pascasarjana Seni Rupa

Porf. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. commit to user Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD
NIP. 19610717 198061 1001 NIP. 19500709 198003 1003

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:


1. Tesis yang berjudul: “KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS SRI
MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF DI
YOGYAKARTA” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak
terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dengan
acuan yang disebutkan sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar
pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan
terdapat unsur-unsur plagiasi, maka saya bersedia menerima sangsi, baik
Tesis beserta gelar magister saya dibatalkan serta diproses sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum
ilmiah harus menyertakan tim promotor sebagai author dan PPs UNS
sebagai institusinya. Apabila saya melakukan pelannggaran dari ketentuan
publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang
berlaku.

Surakarta, 24 Februari 2015

Emmanuel Putro Prakoso


S011302004

commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang,


Supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik
dan memuliakan Bapamu yang di sorga”
(Matius 5 Ayat 16)

“The essence of all beautiful art, all great art, is gratitude”


(Friedrich Nietzsche)

“Seni memampukan kita untuk melihat karya terbesar Tuhan


dalam diri kita,
dan karena seni,
kita disempurnakan sebagai manusia dihadapan-Nya.
(Penulis)

Tesis ini saya persembahkan kepada

Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Sistiawan dan Ibunda Trining Indriyati YS
dan Kakaku terkasih Pribadi Setyawam Andrianto;

Seluruh Staf Pengajar Program Magister Seni Rupa UNS yang setia
membimbingku dan sahabat-sahabat mahasiswa Pogram Magister Seni Rupa;
Sahabat-sahabat mahasiswa seni murni FSRD UNS angkatan 2011, 2012, dan
2013 yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu;

Mas Sri Maryanto ORABER, Mas Bayu Widodo SURVIVE!garage dan Mas
Muhamad Yusuf Taring Padi yang telah berkenan menjadi narasumber utamaku;
Mas Deni Rahman dan Alexander Nawangseto M dari Grafis Minggiran
yang telah berkenan memberikan pandangan tentang perkembangan seni grafis di
Indonesia dan Yogyakarta khususnya;

Sahabat-sahabat terhebatku Galih Reza P, Rais Zakaria, Wahyu Eko P,


Nugrahaningdyah Martina S.P. dan Mas Agus Susanto Tugitu United yang telah
mendukung dan menyemangatiku.

commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas kasih dan damai sukacitaNyalah penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik
dan sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan.
Sesuai dengan minat dan bidang keahlian, maka penulis mengangkat
sebuah kajian dalam bidang seni grafis di Yogyakarta sebagai dasar penelitian
tesis dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master dalam
bidang seni rupa di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Berdasarkan hal tersebut, penulis memilih sebuah penelitian yang berjudul
“KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS SRI MARYANTO, BAYU
WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF DI YOGYAKARTA” untuk dikaji dan
dianalisis dalam bentuk sebuah tesis.
Tidak sedikit pula hambatan dan kendala yang penulis alami dalam proses
penyelesaian penelitian ini, namun berkat bantuan serta dukungan dari berbagai
pihak akhirnya dapat meminimalisir segala hambatan dan kendala yang penulis
alami sehingga penelitian ini dapat diselesaikan sesuai dengan alokasi waktu yang
telah ditentukan.
Banyak perjuangan berharga yang penulis rasakan selama mengerjakan
proyek penelitian ini dimana dalam prosesnya tidak terlepas dari dukungan
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD selaku Ketua Program Studi Seni
Rupa, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Dr. Nooryan Bahari, M.Sn., selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan pengetahuan, ide, gagasan, pengalaman, dan pengarahan
selama proses pengerjaan tesis ini.

commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Ibu Dr. Sarah Rum Handayani, M.Hum selaku dosen pembimbing II yang
telah memberikan pengetahuan, ide, gagasan, pengalaman, dan pengarahan
selama proses pengerjaan tesis ini.
5. Bapak Drs. Agustinus Sumargo, M.Sn., selaku rekomendator S2 dan
Ketua Jurusan Seni Rupa Murni, Fakultas FSRD Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
6. Bapak Drs. Arfial Arsad Hakim, selaku rekomendator S2 dan Dosen
Jurusan Seni Murni Fakultas FSRD Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Progam Magister Seni Rupa dan Jurusan
Seni Rupa Murni Fakultas FSRD Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmunya, sehingga dapat menjadi bekal
dikemudian hari.
8. Bapak Sri Maryanto, Bayu Widodo, Muhamad Yusuf selaku nara sumber
utama dalam penelitian ini serta Bapak Deni Rahman dan Alexander
Nawangseto selaku nara sumber penguat dalam penelitian ini.
9. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan
Pusat ISI Yogyakarta, Perpustakaan Pascasarjana UNS, IVVA Indonesian
Visual Art Archive Yogyakarta, Indonesian Art News, Cemeti Art House.
10. Kedua Orang tuaku tercinta, Ayahanda Sistiawan, Ibunda Trining
Indriyati YS. dan Kakaku tercinta Pribadi Setyawan A yang telah
memberikanku semangat dan doa di setiap waktu.
11. Sahabat-sahabat terbaikku, Rais Zakaria, Galih Reza, Wahyu Eko P, Agus
Susanto dan Nugrahaningdyah Martina S.P. yang dengan segala
kemurahannya telah bersedia membantu dan mendukungku secara nyata
maupun doa.
12. Seluruh teman-teman di Prodi S1 Seni Murni angkatan 2008, 2009, 2010,
2011, 2012, 2013. Heri, Faqih, Efendi, Ratna, Izmi, Aditya, Anggy, Oki,
Rezky, Kodi, Algo, Amalia P, Tri Andriani L, M Thata Gilang, A Ovan,
Dewi H, Anis K, Aninda DR, Retno W, Nurina S, Sindi M, Latifah H,
Stera LR, Luki AR dan sahabat ISI Surakarta serta teman-teman dari
Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS atas semua dukungan, doa, saran dan
kritiknya. commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13. Seluruh teman-teman komunitas Taring Padi, SURVIVE!garage, dan


ORABER Total Produk Grafis, dam Grafis Minggiran
14. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa apa yang telah penulis buat ini tidaklah
mencapai kata sempurna namun hanya dengan niat baik yang melandasi penulis
menyelesaikan tesis ini agar dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan salam budaya.

Surakarta, 24 Februari 2015

Emmanuel Putro Prakoso

commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

JUDUL .............................................................................................................. i
PENGESAHAN PEMBIMBING TESIS ......................................................... ii
PENGESAHAN PENGUJI TESIS .................................................................iii
PERNYATAAN .............................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
ABSTRAK..................................................................................................... xvi
ABSTRACT ................................................................................................. xvii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1


A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................... 6
C. Pembatasan Masalah .......................................................... 6
D. Perumusan masalah ........................................................... 7
E. Tujuan Penelitian .............................................................. 8
F. Manfaat Penelitian ............................................................ 8
G. Sistematika Penulisan ........................................................ 9

BAB II LANDASAN TEORI ......................................................... 12


A. Deskripsi Teoritik ........................................................... 12
1. Teori Substansi ........................................................... 12
a. Definisi Komodifikasi ......................................... 12
b. Psikologi Kepribadian ......................................... 15
c. Ekonomi Mikro ................................................... 22
d. Industri Kreatif .................................................... 24
e. Fungsi Politis Seni ............................................... 26
f. Art and Craft Movement ...................................... 28
g. Seni Grafis dan Nilai Orisinalitas dalam karya
Seni Grafis .......................................................... 29
h. Sejarah Seni Grafis di Yogyakarta dan
perubahannya ...................................................... 31
2. Fenomenologi dan Analisis Hermeneutik .................... 36
a. Defenisi Fenomenologi ....................................... 36
b. Defenisi Hermeneutik ......................................... 37
B. Penelitian yang Relevan ................................................... 38
C. Kerangka Berpikir ............................................................ 44

BAB III METODE PENELITIAN


commit to user.................................................. 47
A. Tempat dan Waktu ........................................................... 47

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Jenis Penelitian ................................................................ 47


C. Data, Sumber Data dan Instrumen Penelitian .................... 48
D. Teknik Pengambilan/Pemilihan Informan......................... 49
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 50
F. Teknik Analisis dan Validasi Data ................................... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN: BENTUK, SEBAB DAN PROSES


KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS DI
YOGYAKARTA ................................................................. 56
A. Hasil Penelitian ................................................................ 56
1. Bentuk Komodifikasi pada Objek Karya Seni
Grafis di Yogyakarta ............................................... 56
2. Penyebab Terjadinya Komodifikasi Seni Grafis
Di Yogyakarta......................................................... 69
a. Sebab Terjadinya Komodikifakasi pada Karya
Seni Grafis Sri Maryanto ..................................... 69
b. Sebab Terjadinya Komodikifakasi pada Karya
Seni Grafis Bayu Widodo .................................... 71
c. Sebab Terjadinya Komodikifakasi pada Karya
Seni Grafis Muhamad Yusuf ............................... 72
3. Proses Komodifikasi Karya Seni Grafis
di Yogyakarta ......................................................... 73
a. Proses Terjadinya Komodifikasi pada Karya
Seni Grafis Sri Maryanto .................................... 73
b. Proses Terjadinya Komodifiaksi pada Karya
Seni Grafis Bayu Widodo ................................... 81
c. Proses Terjadinya Komodifikasi pada Karya
Seni Grafis Muhamad Yusuf ............................. 90
B. Analisis Data dan Pembahasan ......................................... 98

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ............................................... 123


A. Simpulan........................................................................ 123
B. Saran.............................................................................. 125

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 126


LAMPIRAN ................................................................................................. 131

commit to user

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perubahan Karya Grafis Sri Maryanto Sebelum dan


Sesudah Proses Komodifikasi .................................................58
Tabel 2 Perubahan Karya Grafis Bayu Widodo Sebelum dan
Sesudah Proses Komodifikasi .................................................62
Tabel 3 Perubahan Karya Grafis Muhamad Yusuf sebelum
dan Sesudah proses Komodifikasi ...........................................66
Tabel 4 Identifikasi dan Klasifikasi Karya Seni Grafis Atas
Dugaan Munculnya Praktik Komodifikasi di Yogyakarta..... 101
Tabel 5 Analisis Perubahan Fisik Karya Seni Grafis ......................... 102
Tabel 6 Identifikasi Penyebab Terjadinya Komodifikasi Seni
Grafis di Yogyakarta............................................................ 108
Tabel 7 Identifikasi Proses Terjadinya Komodifikasi Seni Grafis
Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf
Di Yogyakarta ..................................................................... 119

commit to user

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Piramida Hirarki Kebutuhan Manusia Abraham Maslow ........17


Gambar 2 Kerangka Berpikir ..................................................................45
Gambar 3 Analisis Data Model Interaktif ................................................52
Gambar 4 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “KissBoy” dan Sisi
Kanan Hasil Produk Kaos dari Sri Maryanto yang
Dicetak Langsung Pada Kaos dengan Teknik Cetak
Tinggi, Tahun Pembuatan 2008 ..............................................75
Gambar 5 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Malaikat Maut” dan
Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Sri Maryanto yang
Dicetak Langsung Pada Kaos dengan Teknik Cetak
Tinggi, Tahun Pembuatan 2008 ..............................................76
Gambar 6 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Tan Malaka” dan Sisi
Kanan Hasil Produk Kaos dari Sri Maryanto,
Dicetak Pada Kaos dengan Teknik Cetak Saring,
Tahun Pembuatan 2008 ..........................................................78
Gambar 7 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Tirto Suryo Adi”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Sri Maryanto,
Dicetak Pada Tas dengan Teknik Cetak Saring,
Tahun Pembuatan 2008 ..........................................................79
Gambar 8 Sisi Kiri Karya Proses Produksi Kalender dan Sisi
Kanan Hasil Produk Kalender dari Sri Maryanto,
yang Dicetak Langsung Pada Kertas dengan Teknik
Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2008 ....................................80
Gambar 9 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “The Last Tree” dan Sisi
Kanan Hasil Produk Kaos dari Bayu Widodo yang
Dicetak dengan Teknik Cetak Saring,
Tahun Pembuatan 2012 ..........................................................82
Gambar 10 Sisi Kiri Karya Sablon Berjudul “Less Hotel More Park”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Bayu Widodo
commitTeknik
yang Dicetak dengan to userCetak Saring,

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tahun Pembuatan 2014 ..........................................................84


Gambar 11 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Owl” dan Sisi Kanan
Hasil Produk Emblem dari Bayu Widodo yang Dicetak
Pada Kaos dengan Teknik Cetak Saring, Tahun
Pembuatan 2012 .....................................................................85
Gambar 12 Sisi Kiri Karya Sablon Berjudul “Less Hotel More Park”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Emblem dari Bayu Widodo
yang Dicetak dengan Teknik Cetak Saring, Tahun
Pembuatan 2014 .....................................................................86
Gambar 13 Sisi Kiri Karya Sablon dan Sisi Kanan Hasil Produk
Kartu Pos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan
Teknik Cetak Digital, Tahun Pembuatan 2009 ........................87
Gambar 14 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Kretek Butuh Korek”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Muhamad
Yusuf yang Dicetak Langsung dengan Teknik
Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2014 ....................................92
Gambar 15 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Dewi Saraswati”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Muhamad
Yusuf yang Dicetak Langsung dengan Teknik
Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2014 ....................................94
Gambar 16 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Matinya Seorang Petani”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Muhamad
Yusuf yang Dicetak Langsung dengan Teknik
Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2014 ....................................95
Gambar 17 Sisi Kiri Mater Plat Grafis dan Sisi Kanan Produk
Emblem Manual dari Muhamad Yusuf yang Dicetak
Langsung dengan Teknik Cetak Tinggi, ..................................96
Gambar 18 Sisi Kiri Mater Plat Grafis dan Sisi Kanan Produk
Kartu Pos Manual dari Muhamad Yusuf yang
Dicetak Langsung dengan Teknik Cetak Tinggi, .....................96
Gambar 19 Produk Kalender Manual dari Muhamad Yusuf yang
commit
Dicetak Langsung to Teknik
dengan user Cetak Tinggi ......................97

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 20 Poster Propaganda Politik Kemerdekaan Indonesia


Karya dari Affandi, Suromo, Abdul Salam, dan
Mochtar Apin .........................................................................99
Gambar 21 Karya Monoprint AT. Sitompul, AC. Andre Tanama
Ariswan Adhitama dan Irwanto Lentho................................ 100
Gambar 22 Contoh Produk Benda Pakai Hasil Komodifikasi Karya
Seni Grafis Sri Maryanto, Bayu Widoo dan
Muhamad Yusuf .................................................................. 104

commit to user

xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Biodata Penulis .................................................................... 131


Lampiran 2 Biografi Narasumber Utama dan Narasumber Penguat ......... 132
Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian ....................................................... 136
Lampiran 4 Daftar Pertanyaan Untuk Menggali Data dari
Narasumber Utama .............................................................. 139
Lampiran 5 Daftar Nama Seniman Yogyakarta Yang Melakukan Praktik
Komodifikasi Karya Seni Menjadi Sebuah Produk Pakai
(Merchandise) Rentang Tahun 1999-2014 ........................... 140

commit to user

xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Emmanuel Putro Prakoso. S011302004. 2015. KOMODIFIKASI KARYA


SENI GRAFIS SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD
YUSUF DI YOGYAKARTA. TESIS. Pembimbing 1 Dr. Nooryan Bahari,
M.Sn., dan Pembimbing 2 Dr. Sarah Rum Handayani P, M.Hum. Program Studi
Seni Rupa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Seni grafis di Yogyakarta merupakan salah satu media ekspresi diri yang
memiliki karakter visual yang khas dan unik. Karya seni grafis di Yogyakarta
dalam penelitian ini diposisikan sebagai sebuah objek yang dapat dianalisa untuk
dijadikan tolok ukur keberadaan praktik komodifikasi di kota tersebut. Fenomena
komodifikasi seni grafis harus dipahami dan dipandang sebagai sebuah proses
perubahan nilai guna suatu barang menjadi nilai tukar (jual) dimana perubahan ini
ditentukan melalui sebuah mekanisme harga.
Penelitian ini dilakukan dalam ranah ilmu Seni Rupa dengan metode
kualitiatif dan teknis analisis data secara deskriptif yang menggunakan strategi
studi kasus agar dapat menangkap fenomena di lapangan yang kemudian dikaji
lebih mendalam, detail, intensif dan komperehensif melalui pendekatan
hermeneutik. Di dalam penelitian ini teori Komodifikasi dari Walter Benjamin
diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab ketiga rumusan masalah
penelitian yang dalam penggunaannya dibantu dengan teori Psikologi Kepribadian
dan Ekonomi Mikro yang digunakan secara elektik.
Berdasarkan penelitian komodifikasi karya seni grafis, diperoleh hasil
penelitian bahwa telah terjadi komodifikasi seni grafis di Yogyakarta yang
ditandai perubahan fisik dan non fisik dari karya grafis yang dilatarbelakangi oleh
faktor dorongan psikologis dan kebutuhan ekonomi yang dalam proses terjadinya
meliputi aspek ide penciptaan produk, penentuan teknis produksi, penentuan jenis
produk yang dicetak, penentuan jumlah barang yang diproduksi, proses produksi,
penentuan harga produk, mpenentuan strategi pemasaran dan strategi penjualan
produk. Penelitian ini mempunyai implikasi teoritis dan praktis. Hasil studi ini
akan memperkaya teori komodifikasi, teori psikologi kepribadian dan teori
ekonomi mikro secara umum serta praktik komodifikasi pada karya seni grafis
dapat dimungkinkan terjadi atas dasar tujuan komersil.

Kata Kunci: Komodifikasi, Seni Grafis, Yogyakarta, Psikologi Kepribadian,


Ekonomi Mikro

commit to user

xvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Emmanuel Putro Prakoso. S011302004. Co-modification of Graphic Arts Sri


Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf in Yogyakarta. Thesis:
Advisor: Dr. Nooryan Bahari, M.Sn, Co-advisor: Dr. Sarah Rum Handayani, P.,
M. Hum. The Graduate Program in Fine Art, Sebelas Maret University, Surakarta
2015.

Graphic art in Yogyakarta is one of the media for self-expression which


has a special and unique visual character. The graphic art in Yogyakarta is
positioned in this research as an object which can be analyzed to be used as a
parameter for co-modification practice existence in the city. The graphic art co-
modification phenomenon must be understood and viewed as a process of change
of the use value of an article to be the sale value where this value change is
determined by a price mechanism.
This research was done within the fine art studies. It used the descriptive
qualitative method with the embedded single case study. The data of research
were analyzed by using the descriptive and interpretative qualitative method as to
obtain the phenomena in the field to be analyzed deeply, in detail, intensively, and
comprehensively through hermeneutics approach. In this research to answer the
three proposed problem statements, the theory of co-modification claimed by
Walter Benjamin was positioned as the primary theory, which was also supported
with theory of personality psychology and that of micro economics. They were
used eclectically.
The results of research show that the graphic art co-modification happens
in Yogyakarta as indicated by the physical and non-physical changes of graphic
arts. The co-modification is due to psychological support and economic need
factors. In its process, the co-modification includes product creation ideas,
determination of production technique, determination of printed product types,
determination of number of products manufactured, production process,
determination of product prices and determination of product marketing and sale.
This research has theoretical and practical implications that the results of
research enrich theory of co-modification, theory of personality psychology, and
theory of micro-economics in general, and the practice of co-modification in
graphic arts possibly takes place on the commercial goal basis.

Keywords: Co-modification, graphic art, Yogyakarta, personality psychology,


micro economics.

commit to user

xvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seni grafis di Indonesia merupakan sebuah proses kerja kreatif yang


digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan pengalaman estetis senimannya.
Kedudukan seni grafis sejajar dengan bidang seni murni lainnya seperti lukis,
patung maupun keramik. Pendapat ini diperkuat oleh Tris Neddy Santo dkk.
dalam bukunya yang berjudul “Menjadi Seniman Rupa”, yang menyatakan bahwa
seni grafis masuk dalam rumpun seni murni sama seperti seni patung, keramik
dan lukis (Santo dkk, 2012: 104). Sebagai sebuah karya, seni grafis memiliki
keistimewaan yang khas jika dibandingkan dengan karya seni lainnya.
Keistimewaan ini terlihat dalam karya seni grafis yang dapat digandakan
sebanyak mungkin tanpa kehilangan nilai orisinalitas disetiap hasil cetakannya.
Pernyataan ini diperkuat oleh Nooryan Bahari dalam bukunya yang berjudul
“Kritik Seni Wacana, Apresiasi dan Kreasi” yang menyatakan bahwa seni grafis
memiliki kelebihan pada karyannya yang dapat dilipatgandakan tanpa mengurangi
nilai orisinalitasnnya (Bahari, 2008: 83)
Seni grafis tidak hanya memiliki keistimewaan dalam proses
penggandaannya, namun juga memiliki ciri yang kuat berupa sebuah identitas
konvensi disetiap karyanya dan hal tersebut sekaligus menjadi pembeda dengan
karya seni lainya seperti lukis, keramik maupun patung. Mengacu pada konvesi
seni grafis Indonesia dalam kompetisi Trienal Seni Grafis Indonesia, Aminudin
TH Siregar menyatakan bahwa identitas konvensi pada karya seni grafis ditandai
dengan pencantuman edisi (nomor urut cetakan), teknik yang digunakan, judul
karya, tanda tangan, tahun pembuatan atau tempat dimana karya seni grafis
tersebut diciptakan dan semua keterangan tersebut ditulis pada bagian bawah
setiap karya grafis yang diciptakan (Siregar, 2009: 9).
Seni grafis sebagai sebuah rumpun seni murni memiliki beberapa teknis
dalam pengerjaannya. Teknik tersebut meliputi; cetak tinggi, cetak dalam, cetak
commit to user
saring dan cetak datar. Seiring dengan perkembangan zaman terdapat dua teknik

1
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

dalam seni grafis yang mengalami perubahan dalam aspek media. Kedua teknik
tersebut adalah teknik cetak tinggi dan cetak saring. Hal ini diperkuat oleh Tris
Neddy Santo dkk, yang menyatakan bahwa karya grafis yang lazimnya disajikan
pada media kertas, kemudian berubah dengan media lainnya seperti kain, kayu,
fiberglass dan lain-lainnya (Santo dkk, 2012: 104).
Secara singkat teknis dalam proses pembuatan karya cetak tinggi dapat
dijabarkan sebagai berikut, langkah pertama yang dilakukan adalah
mencukil/mentatah lembaran plat kayu sesuai dengan bentuk rancangan visual
yang diinginkan, kemudian permukaan kayu yang telah dicukil dibubuhi dengan
tinta cetak dengan cara dirol pada bagian permukaan yang tidak tercukil,
kemudian ditransfer/dipindah pada media cetak seperti kertas, kain ataupun
kanvas dengan cara menekan media cetak tersebut di atas lembaran plat kayu
yang telah dicukil/ditatah. Cetak saring dalam seni grafis memiliki perbedaan
teknis dibandingan dengan cetak tinggi. Bentuk visual yang hadir dalam cetak
saring disebabkan oleh tembusnya cat pada bidang screen yang berlubang sesuai
dengan rancangan visual yang telah dibuat (Marianto, 1988: 17). Cetak tinggi dan
cetak saring, merupakan sebuah teknik dalam seni grafis yang berkembang sangat
pesat di Indonesia khususnya Yogyakarta.
Karya-karya seni grafis di Yogyakarta memiliki keunikan yang khas jika
dibandingkan dengan karya seni grafis di kota lainnya. Hal ini terlihat pada karya
cetak tingginya yang memiliki karakter visual rumit dan detail serta pada karya
cetak saring yang memiliki karakter khas berupa penggabungan berbagai macam
unsur warna dalam satu karya. Yogyakarta sebagai salah satu kota bagi para
seniman memiliki tantangan yang besar untuk terus melakukan inovasi dalam
rangka memasyarakatkan seni grafis kepada khalayak umum dan turut menjaga
keberadaan seni grafis dari kepunahan. Tantangan tersebut dijawab dengan
diselenggarakannya berbagai pameran seni grafis baik yang dilakukan secara
tunggal, kelompok maupun secara bersama di wilayah Yogyakarta. Beberapa
pameran seni grafis tersebut diantaranya adalah Trienal Seni Grafis Indonesia,
Festival Seni Grafis Jogjakarta Hi Grapher, dan yang terbaru adalah JMB (Jogja
Mini print Bienale) yang diadakan di Bank Indonesia Yogyakarta pada tahun
2014. Beberapa penyelenggaraancommit to user
pameran seni grafis tersebut pada akhirnya
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

membawa karya cetak tinggi dalam hal ini cukil kayu semakin dikenal oleh
masyarakat di wilayah Yogyakarta. Hal ini selaras dengan pernyataan Aminudin
TH Siregar dalam pengantar kuratorial pameran tunggal Irwanto Lentho yang
berjudul “Sang Pencukil: Catatan-catatan dan Pemaknaan” di dalam
pernyataannya Aminudin TH Siregar mengatakan bahwa cetak tinggi merupakan
salah satu teknik yang paling populer di Indonesia dan paling mendominasi
dibeberapa pameran seni grafis (Siregar, 2011: 7). Kepopuleran teknik cetak
tinggi kemudian diikuti pula dengan berkembangnya teknik cetak saring yang
telah diakui sebagai “kerja seni” sejak dekade 1970-an (Siregar, 2011: 11).
Kepopuleran seni grafis khususnya teknik cetak tinggi dan cetak saring
berdampak dengan semakin banyaknya penggunaan teknik tersebut oleh seniman-
seniman di Yogyakarta sebagai sebuah media ekspresi seni yang sifatnya sangat
personal. Terlihat dalam dekade tahun 2000an banyak sekali seniman-seniman di
Yogyakarta yang melakukan porses inovasi dengan cara memodifikasi karya-
karya grafis konvensional atas dasar ekspresi personal dan kepentingan untuk
lebih memasyarakatkan seni grafis secara umum. Sebut saja diantaranya adalah
seniman grafis AT. Sitompul yang pada tahun 2008 melakukan pameran tunggal
karya cukil kayu dengan visual berbentuk garis-garis geometrik dengan teknik
scraperboard yang telah dimodifikasi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mikke
Susanto dalam pengantar kuratorial pameran tunggal AT. Sitompul yang berjudul
“Abstrak” yang menyatakan bahwa hasil karya cukil kayu AT. Sitompul
diciptakan menggunakan teknik monoprint dimana karya grafis yang dicetak
hanya satu kali dengan pencampuran berbagai macam teknis (Susanto, 2008: 07).
Inovasi ini kemudian muncul kembali pada tahun 2010 yang dilakukan
oleh seniman grafis yang bernama AC. Andre Tanama. AC Andre Tanama pada
pameran tunggalnya yang bertajuk “The Tales of Gwen Silent” menampilkan
berbagai jenis karya seni grafis yang telah dimodifikasi dengan penggabungan
berbagai macam teknik seperti relief print, woodcut, drawing, dan painting dalam
satu karya. Jejak modifikasi karya seni grafis ini kemudian diikuti oleh seniman
grafis Ariswan Adhitama yang pada tahun 2010 melakukan pameran tunggalnya
dengan menampilkan karya cukil bervisual robot yang juga menggambungkan
commit
berbagai macam teknis dalam satu karya.toHal
user
ini selaras dengan pernyataan Fery
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

Oktanio dalam pengantar kuratorial pameran tunggal Ariswan Adhitama yang


berjudul “In repair: Imaginantion of Resistance, and Idea of Superhuman” yang
menyatakan bahwa karya cukil kayu yang diciptakan Ariswan Adhitama
menggunakan teknik monoprint dimana dalam teknis tersebut terjadi berbagai
perpaduan antara teknik drawing, painting dan printing yang kemudian hanya di
cetak satu kali tanpa adanya proses penggandaan yang merupakan sesuatu yang
tidak lazim terjadi pada karya seni grafis konvensional (Oktanio, 2010: 22).
Bentuk modifikasi ini berlanjut pada pameran tunggal seniman grafis yang
bernama Irwanto Lentho yang mengusung tema “Sang Pencukil”. Irwanto Lentho
dalam pameran tunggalnya juga melakukan proses modifikasi dari karya seni
grafis dengan melakukan pencampuran teknis di setiap karyanya dan hanya
dicetak satu kali atau yang biasa disebut dengan istilah monoprint. Proses inovasi
personal dari karya seni grafis yang diciptakan oleh AT. Sitompul, AC. Andre
Tanama, Ariswan Adhitama dan Irwanto Lentho merupakan sebuah bentuk
munculnya gejala praktik komodifikasi yang nyata terjadi di wilayah Yogyakarta.
Munculnya gejala praktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta ternyata
tidak hanya terjadi dalam wilayah pameran seni rupa saja melainkan telah
merambah pada wilayah komoditas benda pakai seperti kaos, tas, kalender, kartu
pos dan embelem dan hal ini juga yang kemudian menjadi fokus perhatian dalam
penelitian ini. Sekitar akhir tahun 1999 muncul sebuah fenomena baru dikalangan
seniman di Yogyakarta. Fenomena baru ini adalah menciptakan sebuah produk
merchandise/benda pakai dari karya seni grafis konvensional. Hal ini sama seperti
yang dilakukan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di
Yogyakarta. Ketiga seniman tersebut melakukan proses komodifikasi dengan cara
menggandakan karya cetak tinggi dan cetak saring ke dalam bentuk media baru
seperti kaos, tas, kalender dan kartu pos yang notabene memiliki nilai ekonomi.
Sangat menarik untuk dicermati bahwa gejala munculnya praktik komodifikasi
seni grafis tidak hanya terjadi dilingkungan pameran seni rupa melainkan telah
merambah pada wilayah barang komoditi dalam bentuk merchandise/benda pakai
yang dapat dikonsumsi secara massal oleh masyarakat umum. Hal ini
menimbulkan satu dugaan terhadap adanya upaya memodifikasi ulang karya seni
grafis konvensional dengan motif commit
ekonomitodalam
user bentuk praktik komodifikasi.
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

Gambaran fenomena di atas merupakan sesuatu yang sangat mungkin


terjadi seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx dan George Simnel, yang
dikutip oleh Turner (1992: 115–132), yang mengatakan bahwa faktor dorongan
ekonomi menimbulkan semangat menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya
yang berdampak pada munculnya gejala komodifikasi diberbagai sektor
kehidupan. Hal ini diperkuat oleh Ardika (2008: 3) dalam penelitiannya yang
berjudul “Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Refleksi dan Harapan di Tengah
Perkembangan Global”, yang mengatakan bahwa komodifikasi tidak semata-
mata dilakukan oleh pelaku ekonomi saja, melainkan masyarakat lokal juga
berpotensi untuk melakukan praktik komodifikasi karena mereka mempunyai hak
yang sama untuk mengkomodifikasikan setiap poduk yang dihasilkannya. Faktor-
faktor lain yang memungkinkan mendorong terjadinya komodifikasi pada karya
cetak tinggi dan cetak saring seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad
Yusuf adalah dorongan akan kebutuhan hidup seperti yang dikemukakan oleh
Abraham Maslow, yang dikutip oleh Alwisol (2009: 202), yang mengatakan
bahwa setiap manusia hidup memiliki kebutuhan homeostatik seperti makan dan
minum, serta kebutuhan dalam aktualisasi diri seperti kreativitas, realisasi diri dan
pengembangan diri. Faktor terakhir yang mempengaruhi terjadinya proses
komodifikasi adalah pandangan seniman terhadap industri kreatif, dimana
seniman memposisikan karya seni dengan standar-standar tertentu, seperti ada
karya yang diciptakan khusus sebagai idealisme dengan standar lebih tinggi dari
sisi konsep, ukuran, media, harga dan fungsi, namun ada juga karya
diperuntukkan atas dasar ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan
kualitas karya yang relatif lebih rendah dari sisi konsep, ukuran, media, harga dan
fungsi. Hal ini tidak terlepas adanya hubungan antara penawaran dan permintaan
yang menghasilkan barang dan jasa.
Berdasarkan pandangan tersebut terlihat adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya gejala praktik komodidikasi pada karya seni grafis Sri
Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Hal tersebut yang
kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk perlu dilakukannya penelitian dan
proses analisa terhadap munculnya gejala praktik komodifikasi pada karya seni
commit
grafis konvensional yang dilakukan to user
oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Guna memecahkan persoalan tersebut maka


diperlukan beberapa teori pendekatan seperti; teori komodifikasi, teori psikologi
kepribadian, dan teori ekonomi mikro.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka inti permasalahan dalam
penelitian ini adalah menganalisa munculnya gejala praktik komodifikasi pada
karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di
Yogyakarta.

C. Pembatasan Masalah
Munculnya sebuah fenomena gejala praktik komodifikasi pada karya seni
grafis di Yogyakarta tersebut dirasakan sangat sulit untuk diungkapkan semua
secara menyeluruh dalam satu penelitian, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan
waktu penelitian, luasnya wilayah penelitian, biaya yang dibutuhkan dan
banyaknya seniman yang melakukan praktik komodifiksi karya seni di Indonesia.
Ruang lingkup penelitian ini kemudian dibatasi pada apsek persoalan
muculnya gejala praktik komodifikasi karya seni grafis yang hanya dilakukan oleh
seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf dengan objek
penelitian berupa karya-karya cetak tinggi dan cetak saring serta beberapa hasil
produk mereka yang telah mengalami proses komodifikasi. Penelitian ini juga
dibatasi di wilayah Kota Yogyakarta dengan rentang antara tahun 1999 hingga
tahun 2014.
Pemilihan ketiga seniman tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa
mereka melakukan bentuk inovasi baru dalam dugaan munculnya gejala praktik
komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta. Gejala praktik komodifikasi yang
telah mereka lakukan adalah dengan menciptakan sebuah produk massal dari
karya seni grafis konvensional yang diaplikasikan dalam bentuk benda pakai yang
sederhana, unik, artistik, orisinal dan bernilai ekonomi serta dapat dirasakan
secara nyata kehadiranya bagi masyarakat umum. Terlihat adanya sisi kreatifitas
dari ketiga seniman tersebut untuk menciptakan sebuah produk massal yang
commit
memiliki nilai ekonomi dengan tetapto mepertahankan
user nilai-nilai keunikan,
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

keindahan dan orisinalitas. Hal inilah yang kemudian dijadikan dasar penulis
untuk lebih memfokuskan dan mengkonsentrasikan penelitian ini pada kasus
munculnya gejala praktik komodifikasi karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu
Widodo dan Muhamad Yusuf.
Guna menganalisa praktik komodifikasi karya cetak tinggi dan cetak
saring yang dilakukan seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf,
maka diperlukan peran serta ketiga seniman tersebut sebagai subjek dari
penelitian ini. Fokus dan konsentrasi penelitian ini diarahkan pada produk
merchandise dari hasil proses komodifikasi karya grafis konvensional yang
dijadikan sebagai objek utama dan beberapa konsumen yang membeli produk
hasil dari komodidikasi karya seni grafis seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo,
dan Muhamad Yusuf. Diperlukan beberapa pendekatan disiplin ilmu untuk
menganalisa praktik komodifikasi seni grafis yang terjadi di Yogyakarta.
Pertama, psikologi kepribadian terkait dengan faktor utama pendorong terjadinya
proses komodifikasi karya dari Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf.
Kedua, teori komodifikasi terkait dugaan perubahaan karya seni grafis pada aspek
ukuran, media, harga dan tujuan dari penciptaan karya Sri Maryanto, Bayu
Widodo dan Muhamad Yusuf. Ketiga, ekonomi mikro terkait dengan adanya
prilaku dari masing-masing pelaku ekonomi akibat munculnya permintaan dan
penawaran pada produk karya seni grafis yang membentuk sebuah mekanisme
harga sehingga menentukan keberlangsungan dari proses komodifikasi karya seni
grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

D. Perumusan Masalah
Ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Bentuk komodifikasi apa saja yang terjadi pada objek karya seni grafis di
Yogyakarta?
2. Mengapa terjadi komodifikasi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta?
3. Bagaimana terjadinya praktik komodifikasi pada objek karya seni grafis
commit
Sri Maryanto, Bayu Widodo to user Yusuf di Yogyakarta?
dan Muhamad
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

E. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan praktik
komodifikasi karya seni grafis seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
Muhamad Yusuf di Yogyakarta dalam fenomena perubahan bentuk, ukuran,
media, harga dan tujuan penciptaan karya. Secara khusus tujuan penelitian ini
adalah:
1. Menganalisis bentuk-bentuk komodifikasi yang terjadi pada objek karya
seni grafis yang terjadi di Yogyakarta.
2. Menganalisis faktor penyebab terjadinya komodifikasi pada objek karya
seni grafis di Yogyakarta.
3. Menganalisis proses terjadinya komodifikasi pada objek karya seni grafis
Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian
1. Civitas Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah
wawasan, pengetahuan, dan sebagai literatur ilmiah bagi penelitian
berikutnya yang terkait dengan permasalahan komodifikasi karya seni
khususnya pada seni grafis.
2. Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan
informasi mengenai bentuk-bentuk komodifikasi karya seni grafis di
Yogyakarta, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya komodifikasi
karya grafis, perubahan yang terjadi pada seni grafis di Yogyakarta, dan
proses terjadinya paktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta.
3. Industri Kreatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi
kepada pelaku industri kreatif untuk mengembangkan potensi pada karya
seni grafis yang dapat dijadikan sebagai sebuah produk massal yang
memiliki nilai ekonomi serta dapat dijadikan sebagai produk yang
memiliki nilai keunikan dan orisinalitas yang mampu bersaing dengan
commit
produk-produk seni maupuan to user
produk konsumer lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

4. Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi
pemerintah untuk lebih memperhatikan keberadaan seniman dan karya
seni grafis di Yogyakarta agar keberlangsungannya tetap terjaga. Hasil
penelitian ini pun diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan bagi
pemerintah dalam membuat program-program pengembangan potensi
masyarakat yang berbasis industri kreatif.

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdari dari lima bab. Masing-masing
bab dijelaskan secara singkat seperti berikut.
Bab I adalah “ Pendahuluan”. Bab ini menguraikan latar belakang masalah
penelitian ini dengan mengidentifikasi masalah, membatasi masalah, dan memberi
rumusan dalam masalah. Secara keseluruhan di dalam bab ini terdapat enam
bagian sub bab yaitu latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Melalui penguraian
masalah penelitian ini dapat digambarkan dengan jelas dasar argumentasi yang
berkaitan dengan komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta. Karya seni grafis
diposisikan menjadi objek penelitian di wilayah keilmuan kajian seni rupa sebagai
sebuah teks yang harus dibaca ulang sesuai dengan ruang dan waktu untuk
mengembangkan pengetahuan mengenai komodifikasi karya seni grafis di
Yogyakarta.
Bab II adalah “Orientasi Teoritik”. Bab ini menguraikan berbagai
penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan komodifikasi untuk membangun
sebuah konsep. Berdasarkan pada konsep yang telah dibangun dalam penelitian-
penelitian sebelumnya, hal ini dapat digunakan untuk menentukan posisi peneliti
dalam menggunakan teori yang tepat dalam penelitian komodifikasi seni grafis di
Yogyakarta ini. Penelitian ini bersifat holistik oleh karena itu digunakan berbagai
sudut pandang teori guna memecahkan masalah dalam penelitian ini. Landasan
teori penelitian ini terbagi menjadi deskripsi teoritik, penelitian yang relevan dan
kerangka berpikir. Deskripsi teoritik dalam penelitian ini dibagi kembali ke dalam
dua sub bab, yang pertama teoricommit to user
substansi yang terdiri dari teori komodifikasi,
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

teori psikologi kepribadian, teori ekonomi mikro, industri kreatif, fungsi politis
seni, art and craft movement, seni grafis dan nilai orisinalitas dalam seni grafis,
serta sejarah seni grafis dan perubahannya. Sub bab yang kedua terdiri dari teori
fenomenologi dan analisis hermeneutik. Kerangkang berfikir dalam penelitian ini
dijelaskan melalui sebuah bagan alur penelitian, yang memuat inti masalah,
alternatif pendekatan masalah, dan hasil penelitian.
Bab III adalah “Metode Penelitian”. Bab ini menguraikan proses kerja
dalam penelitian ini yang merupakan penelitian bidang ilmu kajian seni rupa.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data kualitatif
deskriptif dengan strategi studi khasus dan teknik analisis data model interaktif
yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Proses kerja penelitian ini terdiri
atas lima bagian, yaitu tempat dan waktu penelitian, jenis penelitian, data, sumber
data dan instrumen penelitian, teknik pengambilan/pemilihan informan teknik
pengumpulan data, teknik analisis dan validasi data.
Bab IV adalah “Pembahasan: Gambaran Umum, Sebab dan Proses
Komodifikasi Seni Grafis di Yogyakarta. Bab ini merupakan inti dari penelitian
yang terdiri dari sub bab besar. Pertama hasil penelitian yang menjelaskan tentang
bentuk komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta, Penyebab terjadinya
komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta dan proses terjadinya komodifikasi
karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Mahamad Yusuf di
Yogyakarta. Yogyakarta merupakan lokasi penelitian dan karya seni grafis
merupakan objek material kajian ini yang mengalami dugaan proses komodifikasi.
Ketiga hal tersebut penting untuk dijelaskan guna mendapatkan gambaran secara
umum dan khusus tentang terjadinya komodifikasi karya seni grafis di
Yogyakarta. Kedua analisis data dan pembahasan. Dalam sub bab ini penulis
menganalisi dan membahas data yang diperoleh dari hasil observasi lapangan
dalam proses kajian ini untuk membahasa tiga hal penting sesuai dengan tujuan
dalam penelitian ini, yaitu (1) menganalisa bentuk komodifiksi yang terjadi pada
objek karya seni grafis di Yogyakarta; (2) Menganalisa faktor penyebab terjadinya
komodifikasi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta; (3) Menganalisa proses
terjadinya komodifiakasi pada objek karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu
commit to user
Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

Bab V adalah “Kesimpulan dan Saran”. Bab ini menjelaskan kesimpulan


yang diperoleh penelitian ini melalui proses analisis. Kesimpulan yang diperoleh
penulis diuraikan dalam bab ini kedalam tiga hal yang sesuai dengan perumusan
masalah penelitian sebagai berikut: (1) Bentuk komodifikasi apa saja yang terjadi
pada objek karya seni grafis di Yogyakarta? (2) Mengapa terjadi komodifikasi
pada objek karya seni grafis di Yogyakarta? (3) Bagaimana terjadinya praktik
komodifikasi pada objek karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
Muhamad Yusuf di Yogyakarta? Kemudian saran yang diajukan dalam penelitian
ini diuraikan pada bab ini sesuai dengan manfaat penelitian. Kesimpulan dan
saran penelitian ini disajikan sebagai hasil penelitian ilmu Seni Rupa.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teoritik
1. Teori Substansi
a. Definisi Komodifikasi
Komodifikasi atau Commodification adalah sebuah istilah
yang awalnya populer pada kisaran tahun 1977. Komodifikasi
merupuakan sebuah konsep fundamental dari pemikiran Marxisme
tentang bagaimana kapitalisme berkembang. Kata komodifikasi
sendiri berasal dari kata komoditi yang artinya barang yang diperjual
belikan atau diperdagangkan. Marxisme melihat komoditas memiliki
nilai guna dan nilai tukar. Nilai guna suatu objek tidak lain merupakan
kegunaannya yang terkait dengan pengertian Marxisme tentang
pemenuhan kebutuhan tertentu, di sisi lain, nikai tukar akan terkait
dengan nilai produk itu di pasar, atau harga objek yang bersangkutan.
Menurut Baudrillard (dalam Barker, 2004: 200) komodifikasi
dalam masyarakat konsumen menjadi objek yang tidak lagi dibeli
sebagai nilai guna, tetapi sebagai komoditas-tanda. Munculnya proses
komodifikasi telah menghadirkan objek tiruan (simulacrum) yang
pada akhirnya membuat masyarakat hanya mengkonsumsi produk-
produk tersebut sebagai sebuah komoditas-tanda (Sutrisno dan
Putranto, 2005: 34). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami
bahwa komodifikasi merupakan sebuah proses perubahan nilai suatu
barang yang menghasilkan produk-produk tiruan sebagai indikasi
munculnya budaya seolah-olah dalam masayarakat konsumen. Hal ini
selaras dengan pandangan Mosco (2009:132), yang mendefinisikan
komodifikasi sebagai proses perubahan nilai pada suatu produk yang
tadinya hanya memiliki nilai guna kemudian menjadi nilai tukar (nilai
jual) dimana nilai kebutuhan atas produk ini ditentukan lewat harga
yang sudah dirancangcommit
oleh to user
produsen. Semakin mahal harga suatu

12
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

produk menunjukkan bahwa kebutuhan individu dan sosial atas


produk ini semakin tinggi.
Mengutip istilah Hesmondhalgh (2007:56) komodifikasi
merupakan proses transformasi objek dan layanan ke dalam sebuah
komoditas. Komodifikasi dalam hal ini lebih menekankan pada aspek
proses dibandingkan dengan aspek industrialisasi. Pada tingkatan
dasar, hal ini melibatkan proses produksi yang tidak hanya untuk
digunakan melainkan sebagai alat pertukaran (exchange). Sejalan
dengan perkembangan kapitalisme, pertukaran di pasar dilakukan
menggunakan media uang. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan
Piliang dalam bukunya yang berjudul “Dunia yang Dilipat, Tamasya
Melampaui Batas-batas Kebudayaan”, yang menjelaskan bahwa
komodifikasi adalah sebuah proses yang mengubah sebuah objek
benda atau kebendaan yang awalnya bukan untuk dimaharkan
kemudian menjadi komoditas yang memiliki nilai jual (Piliang, 2006:
152). Dalam hal ini terjadi apa yang disebutkan sebagai hilangnya
nilai-nilai manfaat asli yang hakiki dari benda-benda tersebut karena
dominasi nilai tukar dalam kapitalisme. Pandangan ini diperkuat oleh
pernyataan Walter Benjamin (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 34)
yang menyatakan bahwa dalam masyarakat industri telah terjadi
budaya reproduksi massal yang telah menghilangkan “aura” seni dan
kedalaman estetisnya atas dasar hanya untuk mengejar tujuan-tujuan
ekonomi.
Kemunculan praktik komodifikasi dalam masyarakat tentunya
dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, hal ini dijelaskan oleh Karl
Marx dan George Simnel, yang dikutip dalam Turner (1992: 115-132)
yang menyatakan bahwa komodifikasi muncul karena adanya proses
produksi massal dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya sesuai dengan prinsip dasar ekonomi dalam konteks
masyarakat industri. Pelaku komodifikasi melihat adanya peluang
dalam budaya masyarakat industri dan memanfaatkan peluang
commit sentuhan
tersebut dengan memberikan to user pada setiap benda budaya yang
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

dihasilkan dengan memproduksinya dalam jumlah yang besar agar


dapat dikonsumsi oleh para konsumen secara massal. Adorno (dalam
Pilliang 2010: 87) mengatakan bahwa komodifikasi tidak hanya
terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumer, tetapi juga telah
merambah pada bidang seni dan kebudayaan.
Sedangkan dampak dari adanya proses komodifikasi menurut
Lessing (dalam Hasan, 2009: 136-150) menjelaskan bahwa proses
komodifikasi tidak memakan ruang atau tidak mengikat budaya dan
menyebar secara lebih luas serta medalam dengan tampilan yang
natural. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan Lessing, proses
komodifikasi berjalan seolah-olah tidak merubah produk asli yang
telah mengalami komodifikasi. Tampilan produk massal hasil
komodifikasi yang nampak natural membuat orang dengan mudah
menerima tanpa ada penilaian kritis. Keaslian produk dalam wacana
komodifikasi telah menciptakan dikotomi padangan yang berbeda. Di
satu sisi, komodifikasi dianggap merusak dan mengorbankan produk
asli dan menciptakan produk masal untuk kepentingan kapital.
Sedangkan di sisi lain perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah
produk asli dimaknai sebagai pengembangan yang bersifat inovatif
dan memberi sumbangan pada kesejahteraan masyarakat.
Pendapat ini diperkuat oleh Ni Made Rai Sukmawati dalam
penelitiannya yang berjudul “Komodifikasi Kerajinan Seni Patung
Kayu di Desa Mas, Kecamatan Ubud, Giyanyar” yang
mengungkapkan bahwa munculnya proses komodifikasi berdampak
pada terjadinya perubahan-perubahan baik dari segi ukuran, bentuk
(tradisional menjadi moderen), dan penyederhanaan pada karya seni,
sesuai dengan pengaruh pasar dan permintaan konsumen (Sukmawati
2012: 219). Perubahan-perubahan pada karya asli ini kemudian
berdampak atau menjadi konsekuensi atas munculnya praktik
komodifikasi dalam karya seni.
Teori komodifikasi dalam konteks penelitian ini digunakan
untuk menganalisis commit to userbentuk dan proses terjadinya
perubahan
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

komodifikasi pada objek karya seni grafis dari seniman Sri Maryanto,
Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

b. Psikologi Kepribadian
Sigmund Freud menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki
dorongan kreatif dari mekanisme pertahanan (defence mechanisme)
dalam diri. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2009: 25) terdapat reaksi
kompromis (reaction compromise) dalam mekanisme pertahanan
manusia berupa sebuah proses sublimasi yang ditandai dengan
terjadinya kompromi antara tuntutan insting id dengan realitas ego.
Awilsol menjelaskan bahwa sublimasi merupakan sebuah proses
kompromi yang menghasilkan prestasi budaya yang lebih tinggi dan
dapat diterima masyarakat sebagai sebuah prestasi kultural kreatif
(Alwisol, 2009: 25). Hal ini dapat terlihat dari sosok Leonardo da
Vinci yang gemar melukis wanita sebagai sebuah sublimasi rasa rindu
terhadap Ibunya yang telah meninggalkan Ia sejak usia muda.
Berdasarkan hal tersebut terlihat kemunculan proses sublimasi
menjadi awal lahirnya imajinasi yang mampu mendorong seseorang
menjadi kreatif.
Hal ini selaras dengan pendapat Carl Gustav Jung (dalam
Alwisol, 2009: 41) yang menyatakan bahwa ketidaksadaran kolektif
telah menjadi pendorong besar bagi manusia untuk memunculkan
kreativitas. Di dalam ketidaksadaran kolektif terdapat sebuah arsetip
atau pola tingkah laku, dan di dalam arsetip ini terbagi kembali
menjadi tiga bagian yaitu persona, shadow dan self. Persona
merupakan sebuah topeng atau wajah yang dipakai manusia untuk
menghadapi publik (Alwisol, 2009:43). Dengan adanya persona
manusia dapat bertahan hidup, membantu mengontrol perasaan,
pikiran dan tingkah laku. Sedangkan shadow merupakan bayangan
arsetip yang mencerminkan insting kebinatangan (Semiun, 2013: 59).
Insting kebinatangan dalam manusia ini digunakan sebagai upaya
untuk bertahan hidup. Insting ini membuat manusia lebih bersemangat
commit to user
dalam menjalani kehidupan. Terakhir adalah self yang merupakan
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

arsetip yang memotivasi perjuangan orang menuju keutuhan (Alwisol,


2009:43). Melalui aspek self kreativitas dalam ketidaksadaran diubah
menjadi disadari dan disalurkan menuju aktivitas yang lebih produktif.
Semua arsetip tersebut dapat mendorong seseorang untuk bertindak
kreatif dan terarah. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa proses
sublimasi menurut Freud dan ketidaksadaran kolektif dari Jung dapat
menjadi pemicu munculnya praktik-praktik komodifikasi dalam
masyarakat sebagai akibat munculnya sifat kreatif dari dalam diri
seseorang.
Carl Rogers (dalam Alwisol, 2009: 275) menggunakan istilah
pribadi yang berfungsi utuh (fully functioning person) untuk
menggambarkan individu yang mampu merealisasi potensi bakatnya
menuju pemahaman yang lengkap mengenai dirinya sendiri dan
seluruh pengalaman yang dimilikinya. Menurut Alwisol ciri-ciri
pribadi yang berfungsi utuh adalah seperti berikut.
1) Memiliki keterbukaan terhadap pengalaman (opennes to
experience).
2) Kemampuan untuk beradaptasi terhadap situasi.
3) Kemampuan untuk bebas bereksperimen (experimental freedom)
sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya perasaaan tertekan
atau terhambat.
4) Kreativitas (creativity). Setiap orang yang memiliki pribadi yang
berfungsi utuh berkemungkinan besar untuk memunculkan produk
kreatif (idea, project, action) dan hidup kreatif.
Ciri-ciri pribadi yang berfungsi utuh diatas tidak menutup
kemungkinan dapat mendorong seseoroang untuk melakukan
munculnya praktik komodifikasi pada sebuah karya seni.
Abraham Maslow dalam konsep potensi kreatif (dalam
Alwisol, 2009: 201) menyatakan bahwa kreativitas merupakan ciri
universal manusia sejak dilahirkan dan hal tersebut merupakan potensi
setiap orang yang tidak memerlukan bakat dan kemampuan khusus
commit
dalam mewujudkannya. to user
Adanya kreativitas dalam diri manusia dapat
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

memotivasi timbulnya ekspresi-ekspresi yang bebas sehingga


memungkinkan terjadinya berbagai macam bentuk kreasi produk
ciptaan manusia untuk sebuah tujuan tertentu.
Selain hal tersebut, penulis menggunakan teori hirarki
kebutuhan manusia Abraham Maslow untuk mendukung dalam
mengungkapkan latar belakang terjadinya praktik komodifikasi karya
seni grafis di Yogyakarta. Maslow menyusun teori motivasi manusia,
dimana variasi kebutuhan manusia dipandang tersusun dalam bentuk
hirarki atau berjenjang. Maslow menggunakan piramida (gambar 1)
sebagai peraga untuk memvisualisasikan gagasannya mengenai teori
hirarki kebutuhan. Menurut Maslow, manusia selalu termotivasi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (Alwisol, 2009: 201).
Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai
yang paling rendah (bersifat dasar) sampai yang paling tinggi.
Kebutuhan yang memungkinkan mendorong terjadinya komodifikasi
adalah kebutuhan fisiologis, rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan
harga diri dan kebutuhan aktualiasasi diri.

Kebutuhan
Aktualisasi Diri
Kebutuhan
Harga Diri
Kebutuhan Sosial
Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan Fisiologis
Gambar 1. Piramida Hirarki Kebutuhan Manusia Abraham Maslow
(Sumber: Repro gambar dari buku Dariyo, 2008: 125)

Secara keseluruhan kebutuhan tersebut saling berkaitan satu


dengan yang lain dan jika semua kebutuhan tersebut tidak terpenuhi
maka dimungkinkan menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya
praktik komodifikasi commit to user benda ciptaan manusia. Praktik
pada semua
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

komodifikasi dalam hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu media
atau alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia menurut
hirarki kebutuhan Maslow.
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling
mendasar dan sangat penting untuk bertahan hidup. Diantaranya
adalah kebutuhan udara, air, makan, tidur, dan lain-lain. Maslow
percaya bahwa kebutuhan fisiologis sangat penting dan naluriah di
dalam hirarki kebutuhan karena kebutuhan yang lain menjadi
sekunder sampai kebutuhan ini terpenuhi (Awilsol, 2009: 204).
Kebutuhan ini dinamakan juga basic needs yang jika tidak terpenuhi
dalam keadaan yang sangat ekstrim maka manusia yang bersangkutan
kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh kapasitas
manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya itu. Praktik komodifikasi pada sebuah produk
yang dihasilkan manusia dimungkinkan terjadi bila sesorang tersebut
membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya.
Kebutuhan fisiologis adalah pertahanan jangka pendek,
sedangkan kebutuhan rasa aman adalah pertahanan jangka panjang
(Alwisol, 2009: 204). Sejak bayi kebutuhan rasa aman telah muncul,
dimana seorang bayi membutuhkan rasa aman seperti ketenangan,
keteraturan, dan kesetabilan. Pada masa dewasa kebutuhan rasa aman
ini kemudian terwujud dalam kebutuhan pekerjaan, gaji, tabungan,
asuransi dan jaminan masa depan (Alwisol, 2009: 205). Kebutuhan-
kebutuhan rasa aman pada masa dewasa ini memungkinkan terjadinya
komodifikasi pada sebuah produk. Terjadinya pertukaran nilai guna
menjadi nilai tukar pada sebuah produk membuat sesorang berfikir
untuk berlomba-lomba mendapatkan tabungan dan jaminan masa
depan yang lebih baik.
Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menjalin hubungan
dengan orang lain. Individu diberi kesempatan dan kebebasan tanpa
diskriminasi untuk menjalin interaksi sosial dengan siapa saja tanpa
commit
terkecuali (Dariyo, 2008: to user
124). Interaksi sosial sebagai salah satu
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

kebutuhan manusia berdampak pada munculnya sebuah komunikasi


diantara masyarakat dan bentuk-bentuk komunikasi ini dapat dilihat
dengan jelas pada praktik jual beli antara produsen dan konsumen.
Disinilah dimungkinankan terjadinya komodifikasi pada sebuah
produk dalam sebuah masyarakat.
Kebutuhan penghargaan dalam masyarakat sangat dibutuhkan
bagi manusia dalam sudut pandang psikis. Penghargaan dari orang
lain pada seseorang dapat memberikan rasa bangga dan berguna.
Kebutuhan penghargaan ini dapat diperoleh jika seseorang dapat
berguna bagi masyarakat (Dariyo, 2008: 124). Praktik komodifikasi
pada sebuah produk dapat dijadikan seseorang sebagai media untuk
memenuhi kebutuhan produk masyarakat sehingga dengan tidak
disadari penghargaan itu akan muncul dalam diri si pembuat produk
tersebut. Hal ini juga dapat memungkinkan munculnya praktik
komodifikasi dalam sebuah masyarakat.
Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan
dengan dirinya sendiri (Self fullfilment), untuk menyadari semua
potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat lakukan, dan
untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya
(Alwisol, 2009: 205). Manusia yang dapat mencapai tingkat
aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh, memperoleh kepuasan
dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan tidak menyadari
adanya kebutuhan semacam itu.
Proses pencapaian pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut
sangat berkaitan dengan kreativitas diri yang dimiliki setiap individu
dalam memperolehnya. Berdasarkan pandangan Maslow tersebut
terlihat bahwa manusia berlomba-lomba mencapai kepuasan-kepuasan
personal dengan memenuhi segala kebutuhan hidupnya sebagai akibat
munculnya dorongan nafsu selera dalam diri. Hal ini kemudian diduga
dapat memotivasi terjadinya komodifikasi pada produk seni yang
dihasilkan oleh seniman untuk memfasilitasi atau memenuhi
commitpenikmat
kepuasan-kepuasan personal to user seni atau masyarakat lain.
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Menurut Alfred Alder (dalam Alwisol, 2009: 64) manusia


terlahir dalam keadaan tubuh yang lemah dan tidak berdaya sehingga
menimbulkan persaan inferiorita dan ketergantungan kepada orang
lain. Kondisi lemah dan tidak berdaya ini pada akhirnya mendorong
manusia untuk melakukan berbagai hal sebagai cara menutupi segala
kekurangan yang dimilikinya. Hal-hal tersebut terangkum dalam enam
teori pokok Adler sebagai berikut.
1) Perjuangan untuk menjadi suskses atau superiorita (striving for
superiority).
Alder berpendapat bahwa setiap individu memulai kehidupannya
dengan berbagai macam bentuk kekurangan fisik yang pada
akhirnya menggerakkan perasaan inferioritas sang pribadi untuk
berjuang ke arah keberhasilan atau superioritas (Semiun, 2013:
238). Adler (dalam Alwisol, 2009: 67) menegaskan bahwa motif
utama setiap orang, pria, wanita, anak-anak dan dewasa adalah
untuk menjadi kuat, kompeten, berprestasi dan kreatif. Hal inilah
yang menjadikan manusia berjuang untuk meraih kesuksesannya
ditengan segala kekurangan yang dimiliki.
2) Persepsi subyektif (subjective preception)
Setiap orang menentukan segala tujuan-tujuan untuk diperjuangkan
atas dasar interpretasinya sendiri terhadap suatu fakta. Pendapat ini
diperkuat oleh pandangan Alwisol dalam bukunya yang berjudul
“Psikologi Kepribadian” yang menyatakan bahwa kepribadian
seseorang dibangun bukan karena realita, tetapi atas keyakinan
subjektif orang tersebut terhadap tujuannya untuk menjadi
superioritas atau tujuan menjadi sukses (Alwisol, 2009: 67).
Perspektif subjektif terhadap realita/fakta inilah yang pada akhirnya
mengarahkan setiap individu berjuang menuju sebuah kesempurna
hidup yang positif.
3) Kesatuan kepribadian (unity of personality)
Setiap manusia berusaha dengan keras untuk menyatukan segala
commit
pikiran, perasaan dan to user menuju satu arah, yaitu arah
tindakannya
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

tujuan superioritas atau keberhasilan (Semiun, 2013: 243-244). Hal


ini membuat setiap individu terlihat konsisten dan terarah sesuai
dengan tujuan utamanya untuk mencapai keberhasilan.
4) Minat sosial (social interest)
Minat sosial merupakan sikap keterikatan diri dengan kemanusiaan
secara umum, serta empati kepada setiap orang dengan tujuan
bekerja sama untuk mencari keuntungan pribadi (Alwisol, 2009:
70). Inferioritas alamiah yang dimiliki manusia mengharuskan
mereka bekerja sama dalam masyarakat. Tanpa perlindungan dan
pemeliharaan orang lain seorang individu akan menghadapi
kesulitan dalam kehidupannya (Semiun, 2013: 250). Dengan
demikian minat sosial merupakan suatu kebutuhan yang penting
dilakukan untuk mencapai suatu tujuan keberhasilan.
5) Gaya hidup (life of style)
Setiap orang memiliki tujuan sama dalam mencapai sebuah
superioritasnya, namun untuk mencapai tujuan tersebut setiap
manusia memiliki gaya masing-masing (Semiun, 2013: 258). Ada
sesorang yang mengejar superioritasnya dengan mengembangkan
kemampuan intelektualnya, namun ada juga orang yang mengejar
superioritasnya dengan mengembangkan kekuatan otot. Hal ini
dilakukan setiap manusia sesuai dengan gaya hidupnya masing-
masing. Gaya hidup adalah cara unik bagaimana sesorang berjuang
untuk mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan orang itu
dalam kehidupan tertentu dimana dia berada (Alwisol, 2009: 73).
Dengan kata lain gaya hidup merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi setiap individu dalam mencapai tujuan
keberhasilannya.
6) Kekuatan kreatif diri (creative power of the self)
Manusia dalam perspektif psikologi kepribadian dipandang sebagai
makhluk yang memiliki sifat alami kreatif. Sifat ini akan terlihat
ketika manusia menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Alfred
commit2013:
Alder (dalam Semiun, to user262) menjelaskan bahwa setiap
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

manusia memiliki daya kreatif, yang dimaksud daya kreatif adalah


kemampuan manusia dalam mengolah fakta-fakta dunia dan
mentransformasikan fakta-fakta tersebut menjadi kepribadian yang
bersifat subjektif, dinamik, menyatu, personal dan unik. Kekuatan
daya kreatif tersebut pada akhirnya membuat setiap manusia
menjadi manusia bebas, dan bergerak menuju tujuan yang terarah.
Mekanisme sublimasi Freud, ketidaksadaran kolektif Jung,
konsep pribadi yang utuh Rogers, potensi kreatif dan hirarki
kebutuhan Maslow, serta enam teori pokok Adler dalam konteks
penelitian ini dirasakan tepat digunakan dalam menganalisis faktor
pendorong terjadinya komodifikasi seni grafis pada karya cetak tinggi
dan cetak saring seniman dari sudut padang psikologis seniman Sri
Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf.

c. Ekonomi Mikro
Membicarakan persoalan jual beli barang dan jasa dalam
wilayah rumah tangga dan perusahaan tentunya akan membawa kita
masuk ke dalam pembahasan tentang ekonomi mikro. Teori ekonomi
mikro didefinisikan juga sebagai suatu bidang ilmu ekonomi yang
menganalisis bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan ekonomi
(Sukirno, 2006: 21). Kajian cabang ilmu ini dipelopori oleh Adam
Smith (...the Wealth of Nattion. 1776) yang berisi mengenai
bagaimana harga suatu komoditi secara individu terbentuk; mengkaji
bagaimana penentuan harga tanah, tenaga kerja dan modal, serta
meneliti kelemahan dan kekuatan mekanisme pasar, selain sifat-sifat
efesiensi pasar itu sendiri yang sangat mengagumkan dan manfaat
ekonomi yang berasal dari tindakan individual yang bersifat self-
intersted (Samuelson dan Nordhaus, 2001: 5). Dapat disimpulkan
bahwa ekonomi mikro merupakan sebuah cabang ilmu ekonomi yang
berada pada lingkup analisis perilaku dari masing-masing pelaku
ekonomi.
Pokok pembahasan ekonomi mikro terkait dengan transaksi
commit to user
suatu barang adalah adanya permintaan (demand) dan penawaran
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

(supply) yang saling bertemu dan membentuk satu titik pertemuan


dalam satuan harga dan kuantitas (jumlah barang). Setiap transaksi
perdagangan terdapat permintaan, penawaran, harga dan kuantitas
yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Sukirno (2005: 25) dalam bukunya yang berjudul
“Mikroekonomi: Teori Pengantar”, menyatakan bahwa permintaan
adalah teori yang menerangkan tentang ciri-ciri hubungan antara
jumlah permintaan dan harga. Disimpulkan bahwa teori permintaan
adalah suatu teori yang menjelaskan khusus tentang permintaan dan
tentang jumlah harga yang beredar di pasaran. Pada umumnya
semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin sedikit jumlah
permintaan atas suatu barang tersebut dan sebaliknya semakin rendah
harga suatu barang, maka semakin banyak jumlah permintaan atas
barang tersebut (Bangun, 2007: 30).
Penawaran adalah banyaknya barang yang ditawarkan oleh
penjual pada suatu pasar tertentu, pada periode tertentu, dan pada
tingkat harga tertentu (Sukirno, 2005: 25). Hukum penawaran pada
dasarnya mengatakan bahwa semakin tinggi harga suatu barang,
semakin banyak jumlah barang tersebut yang akan ditawarkan oleh
para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang, semakin
sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan (Marshall, 1890: 15).
Adanya penawaran dan permintaan ini mengindikasikan terjadinya
transaksi perdagangan antara seniman sebagai produsen pencipta
produk dan masyarakat sebagai konsumen yang mengkonsumsi
produk sehingga dapat mendorong munculnya praktik-praktik
komodifikasi pada karya seni dalam bentuk suatu komoditas barang.
Teori ekonomi mikro dalam konteks penelitian ini dipakai
untuk menganalisis jumlah produksi barang dan harga produk yang
secara langsung menjadi salah satu faktor keberlangsungan praktik
komodifikasi seni grafis pada karya cetak tinggi dan cetak saring
pegrafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf hingga saat
commit
ini. Kegiatan ekonomi to user tidak terlepas dari persoalan
ini tentunya
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

ekonomi seperti; apa dan berapa barang yang harus diproduksi,


bagaimana barang tersebut di produksi dan untuk siapa barang
tersebut diproduksi. Menjawab persoalan tersebut pasar membutuhkan
sebuah sistem ekonomi yang secara ekstrim keputusan ekonomi dapat
ditentukan langsung pada pasar seperti sistem ekonomi pasar atau
free-market capitlalist.
Meminjam istilah Adam Smith (dalam Sukirno, 2006: 64)
tentang sistem ekonomi pasar yang lebih dikenal dengan sebutan
laissez-faire, memiliki pemahaman setiap unit pelaku kegiatan
ekonomi diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
akan memberikan keuntungan pada dirinya, maka pada waktu yang
bersamaan masyarakat akan memperoleh keuntungan juga. Melalui
proses mekanisme pasar, pengusaha dan penjual memiliki kebebasan
untuk menentukan produksi barang yang dapat menghasilkan
keuntungan dengan demikian produsen dapat melakukan efesiensi
terhadap fator-faktor produksi yang terbatas dengan cara
mengeluarkan biaya serendah-rendahnya dan meningkatkan produksi
pada titik optimal.
Kebebasan sistem ekonomi pasar ini memungkinkan terjadinya
praktik komodifikasi dikarenakan masyarakat dalam hal ini produsen
diberi kebebasan dalam menciptakan bentuk-bentuk modifikasi
produk sesuai kemampuan individu untuk tujuan mencari laba dengan
sistem produksi yang efektif dan efisien sesuai dengan selera
masyarakat. Pendekatan teori sistem ekonomi pasar ini dirasakan
sesuai dalam menganalisis faktor penyebab terjadinya praktik
komodifikasi seni grafis di Yogyakarta.

d. Industri Kreatif
Industri kreatif adalah sebuah industri masa depan yang
bertumpu pada daya kreasi manusia. Istilah industri kreatif pertama
kali dipopulerkan oleh Partai Buruh di Autralia paa awal tahun 1990-
commit
an sebagai upaya dalam to user
mencari format baru untuk memperoleh dana
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

bagi penciptaan lapangan pekerjaan, tetapi kemudian istilah ini


berkembang pesat di Inggris pada akhir tahun 1990-an. Pemerintah
Inggris secara khusus membentuk Unit dan Penanggung jawab
Industri Kreatif di bawah Departemen Budaya, Media dan Olah Raga
(Primorac, 2006: 25). Dapat dipahami bahwa industri kreatif
merupakan sebuah modal intelektual yang berkaitan erat dengan seni,
teknologi, budaya, dan bisnis.
Berdasarkan UK DCMS (Department of Culture, Media and
Sport) Task force 1998 (dalam Departemen Perdagangan RI, 2008: 4)
defenisi industri kreatif dijelaskan sebagai berikut.
“creatives Industries as those industries which have their
origin in individual creativity, skill & talent, and which have a
potential for wealth and job creation through the generation
and exploitation of intellectual property and content”

Definisi industri kreatif (dalam Departemen Perdagangan RI,


2008: 4) tersebut kemudian menjadi acuan bagi Departemen
Perdangangan Republik Indonesia pada tahun 2007 untuk
mendefinisikan industri kreatif di Indonesia sebagai berikut.
“Industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas,
keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan
pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut”

Peryataan tersebut diperkuat oleh Togar M Simatupang yang


menjelaskan Industri kreatif adalah industri yang berfokus pada kreasi
dan eksploitasi karya kepemilikan intelektual seperti seni rupa, film,
dan televisi, piranti lunak, permainan, atau desain fesyen, dan
termasuk layanan kreatif antar perusahaan seperti iklan, penerbitan
dan desain (2007: 4). Berdasarkan beberapa defenisi diatas terlihat
bahwa industri kreatif banyak bertumpu pada pemanfaatan kreatifitas,
keterampilan serta bakat seseorang untuk mewujudkan kesejahteraan
serta menyediakan lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan
selalu mengupayakan daya kreasi dan daya cipta. Dapat disimpulkan
bahwa industri kreatifcommit
adalahtoindustri
user yang unsur utamanya adalah
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

kreativitas, keahlian, dan talenta yang berpotensi meningkatkan


kesejahteraan melalui penawaran kreasi intelektual.
Terdapat 14 sektor industri kreatif berdasarkan pemetaan yang
telah dilakukan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia
yang meliputi sektor periklanan, arsitektur, pasar barang seni,
kerajinan, desain, feysen, video, film dan fotografi, permainan
interaktif, musik, seni pertujukan, penerbitan dan percetakan, layanan
komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, riset dan
pengembangan (Departemen Perdagangan RI, 2008: 6). Departemen
Perdagangan Indonesia memperinci sektor pasar barang seni sebagai
kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang
asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni tinggi melalui
lelang, galeri, toko, pasar swalayan dan internet.
Secara umum pengembangan industri kreatif sangat penting
dilakukan disuatu negara, hal ini disebabkan karena industri kreatif
memiliki kontribusi ekonomi yang signifikan bagi perekonomian,
menciptakan iklim bisnis yang positif, dapat memperkuat citra dan
identitas bangsa, mendukung pemanfaatan sumber daya terbarukan,
sebagai pusat penciptaan inovasi dan pembentukan kreativitas, serta
memiliki dampak sosial yang posisitf (Departemen Perdagangan RI,
2008: 23).
Pendekatan teori industri kreatif dalam konteks penelitian ini
digunakan untuk menganalisa penyebab dan proses terjadinya praktik
komodifikasi dari karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
Muhamad Yusuf sebagai pelaku usaha yang telah bergerak dibidang
industri kreatif.

e. Fungsi Politis Seni


Setiap karya seni yang diciptakan oleh seorang seniman selalu
memiliki fungsi, baik fungsi estetisnya maupun fungsi politisnya.
Walter Benjamin (dalam Husnan, 2013: 544) memiliki pandangan
commit
bahwa karya seni mampu to user
direproduksi secara massal, karena semua
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

artefak dari hasil tangan manusia akan dapat ditiru oleh manusia
lainnya dan reproduksi mekanis terhadap sebuah karya seni
dikemudian hari akan melahirkan sesuatu yang baru. Gregory Ulmer
(dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 34) berpendapat bahwa
munculnya reproduksi massal merupakan sebuah bentuk upaya
perubahan suatu karya atau penanda yang “dimotivasi ulang” dalam
konteks baru. Walter Benjamin kemudian menerbitkan sebuah esai
yang berjudul “The Work of Art in the Age of Mechanical
Reproduction”. Esai tersebut memaparkan bahwa adanya kemampuan
mereproduksi melalui teknologi berpotensi mengembangkan bentuk
dan praktik kreatif dari seni menjadi produksi yang bersifat massal
(Benjamin,1969: 218).
Munculnya aktivitas reproduksi mekanis ini tentunya memiliki
dampak tersendiri atas karya seni. Hilangnya “aura” dalam karya seni
menjadi konsekuensi atas lahirnya reproduksi mekanis. Konsep “aura”
yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa budaya reproduksi secara
masal dalam masyarakat industri kapitalisme telah menghilangkan
kekuatan “aura” seni dan kedalaman estetis dari hal-hal yang
diproduksi (Sutrisno dan Putranto, 2005: 34). “Aura” ini hilang akibat
kegiatan mereproduksi yang hanya dimaknai sebagai kegiatan teknis
saja untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomi. Karya seni dalam hal ini
telah berhenti berperan sebagai objek pemujaan keagamaan,
kehilangan nilai prosesnya, dan menempati posisi baru sebagai sebuah
nilai pertunjukan antara karya dengan penonton (Husnan, 2013: 538).
Posisi baru inilah yang dipahami oleh Walter Benjamin sebagai sebuah
sifat “orisinalitas” karya seni yang telah direproduksi dalam konteks
baru.
Kenyataan ini kemudian membuka ruang bagi “fungsi politis”
dari karya seni. Fungsi politis ini terlihat dengan munculnya praktik-
praktik komodifikasi pada karya seni. Pemahaman fungsi politis seni
dalam konteks penelitian ini digunakan untuk menganalisa proses
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

terjadinya praktik komodifikasi pada objek karya seni grafis Sri


Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

f. Art and Craft Movement


Art and Craft Movement adalah sebuah gerakan yang muncul
pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Inggris. Gerakan
ini muncul sebagai sebuah perlawanan untuk mengembalikan proses
manual atau buatan tangan (handmade) atas produksi benda-benda
seni dan kerajinan yang telah dihasilkan oleh manusia bertenaga
mesin pada masa Revolusi Industri (Adityawan S, 2010: 39). Masa
Revolusi Industri telah menggeser keterampilan tangan dan
kesenangan manusia dalam menciptakan produk-produk seni dan
kerajinan.
Tokoh pendiri gerakan Art and Craft Movement ini adalah
John Ruskin dan bersama muridnya yang bernama William Morris
pada tahun 1888 di Inggris (Adityawan S, 2010: 39). John Ruskin
memulai gerakannya melalui sebuah kritik dalam ide-ide tulisannya
yang sangat inspiratif. Ide-ide tersebut kemudian diwujudkan oleh
William Morris dalam sebuah produk logam, mebel, tekstil, dan
produk cetak. Ruskin dan Morris memiliki pemahaman sosialis, hal
ini terlihat dari ide-ide yang diusungnya sebagai berikut (Adityawan
S, 2010: 39).
1) Reformasi sosial (individu lebih rasional, masyarakat yang lebih
harmonis).
2) Penolakan metode kerja pabrik yang membuat buruh bekerja secara
mekanis tanpa kesenangan.
3) Berkiblat pada metode kerja abad pertengahan (setiap individu
memiliki ketrampilan tangan dan rasa senang ketika menciptakan
sebuah barang)
4) Menghasilkan barang yang indah dengan harga yang terjangkau
orang banyak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

Lahirnya gerakan Art and Craft Movement memberikan kesan


kembali pada abad pertengahan ketika munculnya aliran-aliran seni
seperti gothic, roccoco, dan renaissance. Salah satu ciri utamanya
yang menandakan kesan ini adalah karya seni dibuat secara individu
oleh seniman dengan sentuhan artistik yang khas dan setiap karya
diciptakan dengan serius dan teliti. Atas jasa William Morris dan John
Ruskin proses manual atau dengan tangan (handmade) pada
penciptaan benda seni telah kembali pada tradisi mulanya.
Berdasarkan ide-ide yang muncul pada gerakan Art and Craft
Movement di Inggris terlihat ada sebuah benang merah yang sama
dengan ide-ide munculnya gejala praktik komodifikasi karya seni
grafis yang dilakukan beberapa seniman di Yogyakarta.
Atas dasar persamaan pemahaman inilah gagasan gerakan Art
and Craft Movement digunakan dalam konteks penelitian ini untuk
menganalisa pemahaman dasar atau ideologi yang digunakan seniman
dalam melakukan proses komodifikasi objek karya seni grafis Sri
Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

g. Seni Grafis dan Nilai Orisinalitas dalam Karya Seni Grafis


Seni grafis dikenal sebagai medium eskpresi dua dimensional,
yang dimana pada proses kerjanya menggunakan prinsip teknik cetak.
Terdapat beberapa teknik cetak dalam seni grafis, diantaranya adalah
teknik cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, dan cetak saring. Kata
grafis sendiri berasal dari kata graphein sebuah kata yang memiliki arti
“menulis” atau “menggambar” dan graphein merupakan sebuah kata
yang berasal dari bahasa Yunani. Disimpulkan bahwa seni grafis
merupakan pengubahan gambar melalui proses cetak manual yang
menggunakan material tertentu dengan tujuan memperbanyak karya
(Susanto, 2011: 162). Hal ini selaras dengan pernyataan Nooryan
Bahari dalam bukunya yang berjudul “Kritik Seni Wacana, Apresiasi
dan Kreasi” menjelaskan bahwa seni grafis merupakan bagian dalam
commitwujud
seni murni yang memiliki to userdua dimensional yang dihasilkan
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

melalui proses cetak (Bahari, 2008: 83). Seni grafis merupakan sebuah
media ekspresi seni yang memiliki kecendrungan untuk direproduksi
secara masal dengan menggukan prinsip cetak pada pembuatan
karyanya.
Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang seni grafis,
tentunya kita harus terlebih dahulu memahami posisi seni grafis dalam
dunia seni rupa moderen. Dalam dunia seni rupa moderen kedudukan
seni grafis sejajar dengan seni-seni lainnya, seperti lukis, patung
maupun keramik dan kesemuanya masuk ke dalam bagian rumpun seni
murni (Santo, 2012: 104).
Seni grafis sebagai sebuah medium ekspresi yang memiliki
beberapa keistimewaan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pilihan
teknis cetak yang memiliki karakter visual berbeda-beda dan
disamping itu seni grafis memiliki sifat dasar dilipatgandakan atau
direproduksi secara masif dengan tetap tidak mengurangi nilai
orisinalitas dalam karyannya. Teknis cetak yang terdapat pada proses
kerja seni grafis meliputi cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, dan
cetak saring (Bahari, 2008: 83). Nilai orisinalitas dalam karya seni
grafis tetap terjaga walaupun karya tersebut dicetak puluhan maupun
ratusan kali oleh senimannya, hal ini telah jelas disepakati secara
internasional dalam Third International Congress of Plastic 1960 yang
diadakan di Wina. Dalam kongres tersebut dengan jelas dipaparkan
bahwa karya seni grafis pada prinsipnya adalah karya orisinal dengan
pertimbangan kerja tangan seniman berlaku di atas plat cetak dan hasil
cetakannya disetujui oleh seniman. Dalam seni grafis, setiap edisi
memiliki nilai orisinal yang ditandai melalui pembubuhan tanda tangan
seniman pada setiap hasil cetakan serta nomor urut cetakan (Siregar,
2009: 8).
Teori seni grafis dan nilai orisinalitas karya seni grafis dalam
penelitian ini digunakan untuk melihat apakah karya seni yang
diciptatakan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di
commit
Yogyakarta merupakan karya toseni
user
yang termasuk dalam rumpun seni
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

grafis. teori ini kemudian akan dijadikan sebagai acuan untuk


mengkaji apakah karya seni grafis konvensional yang telah
dikomodifikasi kehilangan nilai orisinalitasnya sesuai dengan kajian
komodifikasi karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan
Muhamad Yusuf yang terjadi di Yogyakarta.

h. Sejarah Seni Grafis di Yogyakarta dan Perubahannya


Keberadaan seni grafis di Eropa muncul pertama kali di
Jerman pada periode akhir abad bertengahan atau awal periode
renaissance yang ditandai dengan kehadiran karya-karya menarik dari
seniman terkenal Albercht Durer. Sedangkan di Asia seni grafis sangat
terkenal di Jepang dengan istilah cetak cukil Ukiyo-e dan salah satu
seniman yang terkenal pada massa itu adalah Hokusai (Santo dkk,
2012: 104). Kemudian seni grafis semakin menyebar keseluruh dunia
melalui proses kolonialisme bangsa Barat dan Asia hingga pada
akhirnya masuk ke wilayah nusantara.
Keberadaan seni grafis bagi aktivitas masyarakat di Indonesia
merupakan sebuah praktik kesenian yang telah muncul sejak lama.
Hal ini selaras dengan pernyataan Jakob Sumardjo dalam bukunya
yang berjudul “Asal-usul Seni Rupa Modern Indonesia” menyatakan
bahwa seni grafis merupakan salah satu praktik seni yang telah akrab
dan dekat dengan kehidupan masyarakat di Indonesia sejak abad 18
(Sumardjo, 2009:10). Masuknya seni grafis di Indonesia diiringi
dengan kedatangan bangsa-bangsa kolonial pada zaman pra
kemerdekaan. Pernyataan ini diperkuat oleh Jakob Sumardjo yang
menyatakan bahwa pratik seni grafis pertama kali diperkenalkan oleh
Johannes Rach seorang kebangsaan Denmark yang berkerja pada
VOC pada abad 18 (Sumardjo, 2009:10). Pada abad ke 19 dominasi
seni cetak semakin kuat di nusantara, hal ini ditujukan dengan
banyaknya seniman yang melakukan kerja sampingan mencetak untuk
keperluan kaum antropolog, botani, arkeologi dan etnografi
(Sumardjo, 2009: 39).commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

Berakhirnya penjajahan kolonialisme Belanda yang berganti


dengan datangnya bangsa Jepang pada tahun 1942 membawa sejarah
tersendiri terhadap perkembangan seni grafis di Indonesia (Sumardjo,
2009:73). Bangsa Jepang menjajah Indonesia dengan semangat anti
barat yang kemudian membina para seniman Indonesia untuk
melawan blok Barat. Bangsa Jepang memang terdidik khusus di
bidang seni propaganda di negeri Barat sebelum terjadinya perang
dunia kedua, dan tokoh mereka adalah Kolonel Machida, Mayor
Adachi dan Kolonel Takahasi (Sumardjo, 2009:74). Bangsa Jepang
pada waktu itu membentuk Keimin Bunka Shodosho (Pusat
Kebudayaan) dan Poesat Tenaga Rakjat (POETERA) sebagai
organisasi seni rupa Indonesia (Sumardjo, 2009:74). Tidak hanya itu
saja bangsa Jepang membagi lagi bagian propaganda seni kedalam
“bahagian lukisan dan ukiran” yang di pimpin oleh T. Khono yang
didampingi seniman Indonesia Agus Djaja. Seniman grafis Jepang
yang terlibat dalam Pusat Kebudayaan ini adalah Saseo Ono, dan
Khono yang merupakan seorang ahli desain poster. Pada zaman
pendudukan Jepang para seniman Indonesia bersatu menjadi satu dan
sebagai tonggak lahirnya seni rupa modern Indonesia (Sumardjo,
2009:47). Peran bangsa Jepang dalam pergerakan seni rupa di
nusantara kemudian berakhir akibat kekalahannya dengan bangsa
Sekutu dan sekaligus menjadi tonggak awal munculnya semangat
kemerdekaan di Indonesia.
Sejarah menunjukan bahwa fungsi awal seni grafis merupakan
sebuah alat propaganda politik untuk kemerdekaan Indonesia pada
tahun 1940-1950. Propaganda berbasis pemanfaatan seni grafis ini
dipelopori oleh Affandi, Abdul Salam, Suromo, Baharuddin
Marasutan dan Mochtar Apin (Santo dkk, 2012: 107). Para pelopor
kemerdekaan tersebut menciptakan berbagai macam bentuk poster-
poster perjuangan yang disebarkan keseluruh nusantara sebagai
sebuah media komunikasi atas kemerdekaan bangsa Indonesia.
commit
Keberadaan seni grafis to user mengalami fase-fase perubahan
kemudian
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

yang ditandai dengan lahirnya beberapa institusi pendidikan di


Inodensia. Tahap selanjutnya mencatat bahwa kemunculan institusi
seni di Indonesia seperti ITB (Institut Teknologi Bandung) dan ISI
(Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta membuat kedudukan seni
grafis di Indonesia semakin jelas. Kemudian keberadaan seni grafis
semakin terus berkembang dan berubah di beberapa kota di Indonesia
sesuai dengan karakteristik daerahnya.
Yogyakarta sebagai salah satu barometer kesenian di Inonesia
mampu menghadirkan tokoh, peristiwa, semangat, pemikiran, teknik,
gaya serta nilai-nilai penting bagi kesenian di Indonesia. Hal ini
terjadi karena dilatarbelakangi persoalan sosial, budaya, ekonomi,
politik dan ideologi yang berkembang di Yogyakarta dan salah satu
bagian kesenian yang lahir dari kota ini adalah seni grafis. Tokoh-
tokoh seniman yang mencetuskan dan membangun pencitraan seni
grafis Yogyakarta awal adalah seniman seperti Affandi, Suromo, dan
Abdul Salam. Pencitraan seni grafis yang dilakukan ketiga seniman ini
merupakan sebuah bentuk awal munculnya gejala praktik
komodifikasi seni grafis di Yogyakarta. Bentuk komodifikasi ini
ditunjukan dengan perubahan fungsi seni grafis yang awalnya sebagai
alat propaganda politik menjadi sebuah media ekspresi diri dengan
pertimbangan keindahan.
Membicarakan keberadaan seni grafis di Kota Yogyakarta,
tentunya tidak terlepas dari berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia
(ASRI) Yogyakarta pada tahun 1950. Salah satu jurusan yang menjadi
cikal bakal lahirya pendidikan seni grafis adalah jurusan REDIG yang
merupakan sebuah singakatan dari Reklame, Dekorasi dan Ilustrasi
Grafik (Adityawan S, 2010: 213). Kemudian pada tahun 1968
Akademi Seni rupa Indonesia (ASRI) berubah nama menjadi Sekolah
Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) dan REDIG dipecah menjadi
Jurusan Seni Reklame, Jurusan Seni Dekorasi serta Jurusan Seni
Grafis. Pada akhir perjalanannya nama STSRI kembali berubah
menjadi Institut Senicommit to user
Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1984
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

yang sekaligus mengubah Jurusan Seni Grafis menjadi sebuah


program studi seni grafis (Adityawan S, 2010: 213). Berdirinya ISI
Yogyakarta juga telah banyak melahirkan seniman-seniman grafis
yang memiliki kemampuan teknis dan tematik yang mumpuni di
eranya masing-masing seperti Y. Eka Suprihadi dengan cetak
saringnya, Sun Ardi SU dengan cetak saringnya, Herry Wibowo
dengan cetak tingginya, Edi Sunaryo dengan cetak tingginya, Agung
Kurniawan dengan cetak dalamnya, dan Yam Yuli Dwi Imam dengan
cetak tingginya. Para alumnus ISI yang memiliki kemampuan teknis
dan tematik yang mumpuni ini pada akhirnya memberikan ciri khas
tersendiri bagi keberadaan seni grafis di Yogyakarta yang lebih
dinamis dan terus mengalami perubahan-perubahan yang lebih kreatif.
Kehadiran akademisi seni di Yogyakarta sangat banyak
mempengaruhi perkembangan seni grafis di kota tersebut. Peran
penting ini sejalan dengan pandangan Sanento Yuliman dalam
bukunya yang berjudul “Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento
Yuliman” yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi mempunyai
dampak penting terhadap kesadaran di kalangan perupa. Hal ini
terlihat dengan semakin banyak dan mendalam informasi tentang seni
rupa internasional, terutama Barat pada dunia akademisi. Bersamaan
dengan itu, para perupa terdidik juga peka terhadap isu dan diskusi di
kalangan intelektual tentang masalah dunia dan negeri berkembang,
misalnya masalah lingkungan termasuk lingkungan sosial dan budaya.
Pendidikan seni rupa itu juga mendorong kesadaran yang lebih tajam
tentang kerja seni tentang bahan, proses, unsur-unsur bentuk dan
pengubahannya dan dari situ mendorong sikap menjelajah atau sikap
eksperimental, dan sikap kritis (Yuliman, 2001:59). Hal inilah yang
memicu berbagai kecenderungan baru dalam dunia seni rupa
khususnya seni grafis yang lekat dengan persoalan kreativitas dan
menjadi pendorong bagi perupa atau seniman untuk selalu ingin
menciptakan karya-karya baru dengan sikap menjelajah,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

eksperimental dan kritis yang dipengaruhi berbagai pemikiran,


kebutuhan ekonomi maupun perkembangan teknologi baru.
Kecendrungan-kecendrungan perubahan baru ini ditandai
dengan munculnya gejala praktik komodifikasi karya seni grafis yang
terjadi di Yogyakarta. Seperti yang dilakukan oleh seniman AT.
Sitompul, AC. Andre Tanama, Ariswan Adhitama dan Irwanto Lentho
dengan karya-karya grafis monoprint. Karya-karya grafis yang pada
awalnya dicetak dengan jumlah banyak menjadi karya-karya tunggal
dengan penggambungkan beberapa teknis dalam satu karya. Teknik
grafis kemudian dikolaborasikan dengan beberapa teknik seperti
drawing dan painting serta hanya dicetak ke dalam satu karya tunggal
dengan media cetak sebuah kanvas dan penyajian layaknya sebuah
karya seni lukis.
Kemunculan gejala praktik komodifikasi pada karya seni grafis
tidak hanya berhenti disini saja melainkan muncul sebuah fenomena
baru dari karya-karya grafis konvensional. Karya-karya seni grafis
konvensional dimodifikasi menjadi sebuah produk-produk benda
pakai yang memiliki nilai ekonomi dan di cetak secara masif dengan
berbagai jenis produk. Hal ini sejalan dengan pandangan Turner
(1992: 115-132) yang menyatakan bahwa komodifikasi muncul
karena adanya proses produksi massal dengan tujuan mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya sesuai dengan prinsip dasar
ekonomi dalam konteks masyarakat industri. Pelaku komodifikasi
melihat adanya peluang dan memanfaatkan peluang tersebut dengan
memproduksi suatu barang dalam jumlah besar dan dikonsumsi oleh
para konsumen secara massal. Perubahan-perubahan seni grafis di
Yogyakarta menuju ke arah seni massal diiringi dengan munculnya
beberapa komunitas seni seperti Lembaga Kerakyatan Taring Padi,
SURVIVE!garage, dan ORABER. Kehadiran kantung-kantung
komunitas ini membawa ekperimen seni baru, dimana sebuah karya
grafis konvensional dimodifikasi untuk dijadikan sebagai produk
commit
benda pakai yang dicetak to user
secara masif untuk kepentingan ekonomi
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

pribadi maupun komunitas. Hal ini didukung oleh industri pariwisata


yang mendorong hadirnya para turis-turis domestik maupun
internasional untuk datang ke Yogyakarta. Kehadiran para turis-turis
di Yogyakarta memiliki beragam motivasi dari hanya sekedar jalan-
jalan biasa, riset penelitian kota, hingga berburu benda-benda seni
yang unik dan kreatif di lingkungan pusat penjualan ataupun
“blusukan” ke kantung-kantung komunitas seni di kota tersebut.
Keberadaan Kota Yogyakarta yang sangat dinamis membuka peluang-
peluang baru bagi para seniman untuk berfikir kreatif mencari pasar
baru (segmentasi pasar bagi karya-karya mereka). Hal-hal tersebut
telah membawa perubahan pada karya grafis konvensional di kota
Yogyakarta menuju sebuah produk benda pakai yang dicetak secara
masif.
Proses perubahan seni grafis konvensional ini dapat dilihat
dalam studi kasus dugaan praktik komodifikasi seniman Sri Maryanto,
Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Ketiga seniman
tersebut merupakan pendiri dan pelaku dari komunitas ORABER,
SURVIVE!garage, dan Lembaga Kerakyatan Taring Padi. Ketiga
komunitas tersebut memproduksi sebuah merchandise dari karya-
karya grafis konvensional yang telah diciptakan senimannya. Sejarah
dan bentuk-bentuk perubahan seni grafis di Yogyakarta dirasakan
sangat penting untuk dijadikan landasan teori dalam penelitian
komodifikasi ini. Hal ini digunakan untuk melihat posisi dan
kedudukan seni grafis dari aspek sejarah dan perubahannya hingga
saat ini.

2. Fenomenologi dan Analisis Hermeneutik


a. Defenisi Fenomenologi
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh
Edmund Husserl (1859-1938). Salah satu arus pemikiran yang paling
berpengaruh pada abad ke-20. Ia memulai karirnya sebagai ahli
matematika, kemudiancommit
pindah to
keuser
bidang filsafat. Husserl membedakan
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia tempat kita hidup.
Selanjutnya ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian
terhadap dunia di mana kita hidup. Kata fenomenologi berasal dari
bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai / phainomai / phainein
yang artinya menampakkan, memperlihatkan (Dagun, 1990: 37).
Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala yang diartikan
sebagai suatu hal yang tidak nyata atau semu, kebalikan kenyataan,
serta dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati
melalui panca indera. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan
(logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi
itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri
atau yang disebut sebagai fenomena (Bertens, 1981: 100).
Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai sebuah aliran dalam
filsafat sekaligus sebagai metode berpikir yang mempelajari fenomena
manusiawi tanpa harus mempertanyakan penyebab dari fenomena
tersebut, realitas objektif dan penampakannya. Konsep fenomenologi
dalam pemikiran Edmund Husserl itu berpusat pada persoalan tentang
kebenaran. Baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi
juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi kita memperoleh
langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni (Bertens,
1981: 43). Fenomenologi digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar
filosofis untuk melihat fenomena baru tentang praktik komodifikasi
yang terjadi di Yogyakarta.

b. Defenisi Hermeneutik
Metode merupakan pondasi dan dasar penalaran bagi manusia.
Setiap manusia berfikir selalu menggunakan sebuah metode walaupun
dengan tingkatan kadar yang berbeda-beda. Salah satunya adalah
metode hermeneutik, yaitu metode yang ditawarkan oleh beberapa
ilmuan, untuk mencari kebenaran melalui penafsiran simbol berupa
teks atau benda konkret guna mencari arti dan maknanya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

Hermeneutik secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah


teori atau filsafat tentang sebuah interpretasi makna. Kata hermeneutik
berasal dari kata kerja hermeneuein dalam istilah Yunani yang berarti
“menafsirkan”, dan kata benda hermeneia yang beratri “interpretasi”
(Palmer, 2005: 14). Dengan demikian hermeneutik merupakan seni
menginterpretasikan (the art of interpretation). Hermeneutik berfungsi
sebagai pelengkap teori pembuktian validitas universal yang mampu
menuju pada pusat suatu karya seni, dan dapat melihat hal-hal yang
tidak disadari oleh seniman (Rizali, 2014: 235).
Dalam kaitanya dengan praktik komodifikasi seni grafis di
Yogyakarta, diperlukan pemahaman dan interpretasi yang bertujuan
untuk memahami makna kemunculan fenomena komodifikasi. Hal ini
dikarenakan komodifikasi merupakan sebuah proses yang memiliki
keterkaitan antar makna, sedangkan manusia membentuk, melakukan
dan terperangkap dalam makna tersebut.

B. Penelitian yang Relevan


Penelitian komodifikasi seni grafis di Yogyakarta sangat penting
dilakukan untuk mengungkapkan proses terjadinya produksi massal pada karya
cukil kayu dan cetak saring yang mengarah pada sistem ekonomi kreatif.
Penelitian yang relevan dengan komodifikasi dalam sebuah produk seni juga telah
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya sesuai dengan fokus kajian masing-
masing. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh David Lanagan (2002),
Andy Adcroft dan Robert Willis (2004), Samuel Slater (2005), William Anderson
(2006), Kasiyan (2007), Agata Maccarrone-Eaglen (2009), Sumantri Raharjo
(2011), Dal Yong Jin dan Soochul Kim (2011), Ni Made Rai Sukmawati (2012),
Oki Rahadianto Sutopo (2012), Andhika Dwi Yulianto (2013) dan Davide Ponzini
(2014).
Pertama, penelitian yang berjudul “Surfing in the Third Millennium:
Commodifying the Visual Argot”, oleh David Lanagan (2002: 293-291). David
Lanagan dalam penelitian ini membahas tentang komodifikasi bahasa visual
olahraga berselancar di Australia.commit
Praktiktoberselancar
user di Australia pada mulanya
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

sangat bertentangan dengan adat istiadat setempat, karena adanya pemahaman


masyarakat yang buruk terhadap para peselancar akibat adanya pengaruh
informasi media setempat. Peselancar diidentikan dengan sesorang yang buruk,
berambut panjang, pecandu narkoba dan pengangguran. Namun, dalam beberapa
tahun terakhir terjadi peningkatan popularitas berselancar dan kegiatan
berselancar. Peningkatan ini sebagian besar dipengaruhi adanya promosi
berselancar dalam bentuk sebuah gambar yang ditampilkan ke masyarakat untuk
kepentingan sebuah bisnis dan pada akhirnya dapat berkembang pesat sebagai
sebuah komoditas yang menguntungkan. Hasil penelitian ini menujukan telah
terjadi proses komodifikasi dalam olahraga berselancar di Australia. Munculnya
proses komodifikasi ini berdampak terjadinya pergeseran nilai dalam berselancar
dari wilayah pantai ke dalam konteks yang sangat berbeda dan praktik
komodifikasi atas kepentingan bisnis telah mengalihkan persepsi simbolis
olahraga berselancar menjadi sebuah komoditas bisnis berselancar. Komodifikasi
dalam penelitian ini digunakan sebagai sebuah pencitraan kembali olahraga
berselancar menjadi sebuah komoditas bisnis yang menguntungkan.
Kedua, penelitian yang berjudul “Commodification or Transformation
(Measuring Performance in the Public Sector)”, oleh Andy Adcroft dan Robert
Willis (2004: 244-252). Andy Adcroft dan Robert Willis dalam penelitian ini
membahas tentang apakah reformasi manajerial dalam sektor pelayanan publik
yang terjadi di Inggris termasuk kedalam bentuk komodifikasi atau transformasi
kinerja. Reformasi manajerial yang terjadi dalam fokus sektor pelayanan publik
Inggris dengan sistem pengukuran kinerja bertujuan untuk meningkatkan
akuntabilitas, nilai uang dan penggunaan sumber daya yang terbatas. Berdasarkan
proses pemeriksaan di National Health Service dan Perguruan Tinggi, hasil
penelitian ini menunjukan bahwa reformasi manajerial merupakan bentuk
komodifikasi dari sebuah kinerja sektor pelayanan publik dan hal ini bukan
merupakan suatu proses transformasi kinerja. Komodifikasi dalam penelitian ini
merupakan sebuah bentuk reformasi sistem atau pembaharuan manajerial untuk
meningkatkan nilai kinerja pada sektor pelayanan publik.
Ketiga, penelitian Samuel Salter (2005:1-71) yang berjudul “THE
commitON
COMMODIFICATION OF VIOLENCE to user
THE INTERNET: An analysis of 166
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

websites containing commodified violence”. Samuel Salter dalam penelitian ini


membahas tentang komodifikasi video kekerasan di media internet. Komodifikasi
video kekerasan di situs internet telah terjadi cukup lama hingga muncul sebuah
pemahaman bahwa kekerasan di dunia internet adalah sebuah komoditas yang
sangat populer, menghibur dan menguntungkan bagi pemilik situs. Komodifikasi
video kekerasan ini dianalisa berdasarkan 166 situs internet yang mengandung
unsur kekerasan. Berdasarkan hasil analisa dari 166 situs kekerasan internet
ditemukan adanya kecendrungan potensi situs bermasalah dan belum adanya
sistem pengaturan pendirian situs yang jelas. Hal ini terjadi karena adanya sifat
dasar akses internet yang tidak terbatas dan kesulitan dalam menentukan dampak
kekerasan video di situs internet yang berpengaruh bagi masyarakat secara
langsung. Komodifikasi dalam penelitian ini dipahami sebagai sebuah pengalihan
sudut pandang terhadap video kekerasan di internet sebagai sebuah komoditas
yang sangat populer, menghibur dan menguntungkan secara ekonomi.
Keempat, penelitian yang berjudul “Commodifying Culture: Ownership of
Cambodia’s Archaeological Heritage”,oleh William Anderson (2006: 103-112).
William Anderson dalam penelitian ini membahas tentang komodifikasi yang
terjadi pada benda warisan arkeologi dari negara Kamboja. Komodikasi warisan
arkeologi Kamboja ini terjadi akibat adanya perpindahan kepemilikian secara
pribadi dari beberapa benda arkeologi yang disebabkan adanya penjarahan situs
sejarah. Perpindahan kepemilikan ini kemudian yang menjadikan benda-benda
sejarah ini dikomodifikasi secara fisik dan konseptual untuk kepentingan
penjualan pasar barang antik. Hal ini ditunjukan dengan munculnya khmer (benda
arkeologi Kamboja) yang menjadi sebuah barang antik dan telah mengalami
perubahan persepsi dan pemahaman benda tersebut dari masa lalunya.
Komodifikasi dalam penelitian ini dilihat sebagai sebuah proses perubahan nilai
yang terjadi dari benda arkeologi bersejarah menjadi sebuah barang antik bernilai
ekonomi.
Kelima, penelitian yang berjudul “Komodifikasi Seks dan Pornografi
dalam Representasi Estetika Iklan Komersil di Media Massa”, oleh Kasiyan
(2007: 1-20). Kasiyan dalam penelitian ini dengan pendekatan teori estetika
commit
mencoba menelusuri komodifikasi seks to user
dan pornografi pada iklan komersil di
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

media massa. Hasil penelitian ini menemukan adanya motivasi menjual nilai-nilai
seksualitas dan pornografi untuk mempengaruhi daya beli masyarakat dan
memaksimalkan promosi produk yang dihasilkan. Sehinga iklan pada media
massa hanya memunculkan citra estetika yang terjadi akibat dorongan seksual
penikmatnya tanpa melihat etika pada iklan yang dipromosikan tersebut.
Keenam, penelitian Agata Maccarrone-Eaglen (2009: 1-11) yang berjudul
“An Analysis Of Culture As A Tourism Commodity”. Agata Maccarrone-Eglen
dalam penelitian ini membahas tentang peran penting budaya dalam fungsi
pariwisata sebagai sebuah komoditas yang dipasarkan secara internasional.
Namun proses komodifikasi budaya sebagai nilai jual pariwisata menimbulkan
kontroversi dikarenakan budaya akan berubah dan kehilangan nilai-nilai
intrinsiknya dan berganti pada sebuah pemahaman yang relatif bergantung pada
pemahaman pribadi individu, wisatawan dan pemasarnya. Komodifikasi dalam
penelitian ini digambarkan sebagai sebuah strategi pariwisata budaya yang
memiliki dampak negatif bagi budaya itu sendiri.
Ketujuh, penelitian yang berjudul “Komodifikasi Budaya Lokal Dalam
Televisi: Studi Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI
Yogyakarta”, oleh Sumantri Raharjo (2011: 63-139). Penelititan ini mengambil
analisis wacana kritis komodifikasi Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta,
karena TVRI merupakan lembaga penyiaran publik dimana berdasarkan UU
Penyiaran No. 32 Tahun 2002 merupakan lembaga yang independen, netral dan
tidak komersial sedangkan komodifikasi biasanya hanya terjadi pada televisi
swasta. Hasil penelitian ini menunjukan terjadinya komodifikasi isi dalam
tayangan Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta, komodifikasi isi terjadi melalui
proses penyesuaian isi tanyangan dan genre acara, ideologi dibalik proses
komodifikasi adalah kapitalisme, kekuasan dibalik komodifikasi adalah kekuatan
pasar, dan ideologi kapitalis telah masuk dalam TVRI yang notabene lembaga
pemerintahan yang independen, netral dan tidak komersial. Penelitian ini
mempunyai implikasi secara teoritis dan praktis.
Kedelapan, penelitian yang berjudul “Sociocultural Analysis of the
Commodification of Ethnic Media and Asian Consumers in Canada”, oleh Dal
commit
Yong Jin dan Soochul Kim (2011: to user
551-565). Penelitian ini menggunakan analisa
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

sosial budaya untuk mengungkap komodifikasi yang terjadi pada media etnis dan
konsumen Asia di Kanada. Pendekatan teori ekonomi politik dan studi budaya
menjadi pisau bedah dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
komodifikasi media etnis dan pemasaran etnis pada perusahaan iklan di Kanada
dapat meningkatkan daya beli orang Asia dan jumlah imigran Asia di Kanada.
Komodifikasi media etnis dan pemasaran etnis telah menciptakan pasar baru yang
dimana para media dan biro iklan di Kanada mengalihkan perhatian mereka ke
penonton Asia yang berkembang dan telah melakukan upaya bervariasi untuk
menjangkau khalayak Asia di Kanada. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan
Kanada dan pengiklan bersama Media etnis sengaja membangun strategi
pemasaran etnis individu berdasarkan bahasa dan budaya yang berbeda. Penelitian
ini memberikan pemahaman bahwa komodifikasi adalah sebuah strategi dalam
memodifikasi iklan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Kesembilan, penelitian Ni Made Rai Sukmawati (2012: 216-219) yang
berjudul “Komodofikasi Kerajinan Seni Patung Kayu di Desa Mas, Kecamatan
Ubud, Kabupaten Gianyar”. Ni Made Rai Sukmawati dengan pendekatan teori
komodifikasi mencoba menelusuri praktik komodifikasi dalam kerajinan seni
patung di desa Mas. Hasil penelitian ini mengungkapakan dampak adanya proses
komodifikasi akan menciptakan produk seni kerajinan patung kayu yang baru.
Dalam proses produksi massal ini akan terjadi pemanfaatan sumber daya manusia
yang kreatif agar mampu menciptakan produk-produk yang inovatif dalam artian
produk tersebut bisa diterima oleh pasar. Selain itu departemen produksi tidak
hanya mengelola manusia tetapi juga mengelola peralatan yang nantinya bisa
menunjang proses produksi itu agar sesuai dengan target yang telah ditetapkan,
sebagai akibat dari adanya perubahan pola konsumsi. Penelitian ini memberikan
pemahaman bahwa komodifikasi adalah suatu proses memodifikasi suatu produk
dengan mengalami perubahan-perubahan baik dari segi ukuran, bentuk, dan
penyederhanaan bentuk bahan yang lebih mudah karena faktor permintaan pasar.
Kesepuluh, penelitian Oki Rahadianto Sutopo (2012: 65-84) yang berjudul
“Transformasi Jazz Yogyakarta: Dari Hibriditas menjadi komoditas”, penelitian
dengan pendekatan sejarah sosial ini menguraikan tentang transformasi yang
commit
terjadi dalam ranah jazz Yogyakarta to user
dengan menggunakan cerita baik dari musisi,
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

pengamat, praktisi, maupun penikmat jazz. Hasil penelitian ini menunjukan


transformasi dalam ranah jazz Yogyakarta menunjukkan bagaimana kapital
mampu merasuk hingga aspek yang paling esensial yaitu pemaknaan akan sebuah
produk budaya. Lokalitas yang dianggap akan mendatangkan makna justru
menjadi komoditas yang semakin dijauhkan dari makna subtansialnya.
Kesebelas, penelitian Andhika Dwi Yulianto (2013: 5-10) yang berjudul
“Komodifikasi Pertunjukan Festival Reog Ponorogo: Dinamika Perubahan
Pertunjukan Reog Ponorogo dalam Industri Pariwisata”, penelitian dengan
metode kualitatif dan pendekatan studi kasus ini menguraikan proses
komodifikasi pertunjukan Reog untuk kegiatan festival sebagai akibat adanya
industri pariwisata. Hasil penelitian ini menunjukan komodifikasi di Kabupaten
Ponorogo telah menjadikan keberadaan reog menjadi semakin dikenal dan dapat
diterima oleh masayarakat luas, komodifikasi dalam pertunjukan reog telah
memunculkan penyederhanaan versi besar reog dari reog Suryongalam menjadi
reog versi Bantarangin dalam format festival, keberlangsungan pertunjukan reog
semakin terlindungi dengan adanya komodifikasi, proses industri pariwisata
dalam reog telah mengangkat derajat para pemain reog lokal menjadi pemain
festival tingkat nasional dan internasional, munculnya industri pariwisata
memunculkan krasi-kreasi baru antar kelompok reog sehingga dalam setiap
pertunjukan reog semakin menarik dan dapat dikenal secara luas oleh masyarakat
luas.
Keduabelas, penelitian Davide Ponzini (2014: 10-18) yang berjudul “The
Values of Starchitecture: Commodification of Architectural Design in
Contemporary Cities” penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang
menguraikan tentang komodifikasi nilai arsitektur spektakuler dalam desain
arsitektur dua kota kontemporer yang berbeda antara Abu Dhabi dan New York.
Sudah banyak diketahui bahwa nilai bangunan-bangunan arsitek masa lalu telah
menginspirasi banyak arsitek dunia dalam menciptakan bagunan yang unik dan
spektakuler. Nilai-nilai arsitektur spektakuler ini menjadi sebuah bentuk
komodifikasi dari para arsitek dunia untuk memasarkan segala hasil desain yang
mereka ciptakan. Penelitian ini mengkritik pandangan para arsitek yang
commit to user
menggunakan nilai-nilai arsitek spektakuler dunia atas dugaan penambahan nilai
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

ekonomi semata pada kota Abu Dhabi dan New York. Hasil penelitian ini
menujukan bahwa pandangan para arsitek di Abu Dhabi dan New York tidak
sesuai dengan motivasi yang sebenarnya dalam pengambilan keputusan, namun
hal ini tetap saja dilakukan dan dijadikan sebagai sarana untuk memberikan
keyakinan dalam menciptakan desain aritektur yang unik dan spektakuler atas
dasar mendapatkan keuntungan ekonomi. Komodifikasi dalam penelitian ini
digunakan sebagai alat untuk menambah nilai ekonomi sebuah desain arsitektur
kota.
Berdasarkan uraian penelitian diatas menunjukan kajian tentang
komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta yang memusatkan pada karya seni
grafis di wilayah Yogyakarta sebagai objek penelitian, ternyata belum pernah
dilakukan sebelumnya. Hal ini juga diperkuat dengan penggunaan tiga pendeketan
teori secara bersamaan seperti; teori komodifikasi, teori psikologi dan teori
ekonomi mikro yang belum pernah dilakukan sebagai pisau bedah dalam
mengungkapkan dugaan terjadinya komodifikasi pada karya seni dalam penelitian
sejenis. Hal ini yang pada akhirnya dijadikan penulis sebagai salah satu dasar
perlunya dilakukan penelitian tentang komodifikasi karya seni grafis di
Yogyakarta dengan penggunaan tiga pendeketan teori secara bersamaan seperti;
teori komodifikasi, teori psikologi dan teori ekonomi mikro.

C. Kerangka Berfikir
Kerangka berpikir adalah sintesis atau abstraksi yang dirumuskan
berdasarkan teori-teori terpilih yang dikorelasikan dengan masalah dalam
penelitian. Kerangka berpikir dalam penelitian komodifikasi karya seni grafis di
Yogyakarta ini dibuat dalam bentuk alur bagan pemikiran yang merupakan sebuah
kerangka berpikir sekaligus memuat arah penelitian yang jelas sesuai dengan tema
atau objek yang dibahas. Gambaran dan penjelasan penelitian ini disajikan dalam
bentuk bagan kerangka berfikir dengan tujuan dapat digunakan sebagai panduan
dalam melihat dasar pemikiran peneliti terhadap munculnya praktik komodifikasi
pada objek karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di
Yogyakarta. Secara skematis bagan kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

SENI GRAFIS INDONESIA

FAKTOR EKSTERNAL FAKTOR INTERNAL

Karya Seni Grafis


Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf

 Budaya Reproduksi Massal  Psikologis Seniman (Kebutuhan


 Munculnya Benda Seni Ekonomi Homeastatik, Aktualisasi diri, dan
 Pemenuhan Nafsu Selera Kreativitas)
Masyarakat Moderen atas Karya  Kebutuhan Ekonomi Seniman.
Seni  Keistimewaan Karya Seni Grafis yang
 Budaya Seolah-olah (munculnya dapat dilipatgandakan.
karya miniatur, reprlika, duplikasi,  Fungsi Politis Seni (fungsi ganda pada
imitasi) karya seni).
 Budaya Instan (serba cepat dan  Mengembalikan proses tangan (hand
praktis) made) pada penciptakaan produk seni.
 Adanya Permintaan dan Penawaran  Pemahaman seniman terhadap program
terhadap karya seni Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025
Departemen Perdagangan RI

Komodifikasi Karya Seni Grafis


Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf
di Yogyakarta

Bentuk-bentuk Faktor Penyebab Komodifikasi Proses Komodifikasi


Komodifikasi Karya Seni Karya Seni Grafis Karya Seni Grafis
Grafis di Yogyakarta di Yogyakarta Sri Maryanto, Bayu Widodo
dan Muhamad Yusuf
di Yogyakarta

Gambar 2. Kerangka Berpikir

Keterangan:

Input dan Output Kajian Objek Kajian

Fokus Kajian Faktor yang Mempengaruhi

Hubungan Pengaruh Langsung Hubungan (pengaruh) timbal balik


commit to user
Hubungan yang menggambarkan sifat dari umum ke khusus
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

Kemunculan seni grafis di Indonesia pada awalnya merupakan sebuah alat


yang digunakan sebagai media propaganda untuk menyapaikan berita
kermerdekaan pada tahun 1945 yang dipelopori oleh Affandi, Abdul Salam,
Suromo, Mochtar Apin dan Baharuddin Marasutan. Seni grafis diakui sebagai
sebuah proses kerja kreatif ketika Affandi, Abdul Salam dan Suromo melakukan
proses modifikasi ulang seni grafis di Yogyakarta sebagai media berekspresi seni.
Kedudukan seni grafis semakin jelas dalam rumpun seni rupa moderen ketika
berdirinya institusi seni di Indonesia. Di Yogyakarta lahir sebuah Akademi Seni
Rupa Indonesia (ASRI) yang sekarang dikenal dengan nama Institut Seni
Indonesia Yogyakarta (ISI) sebagai sebuah lembaga pendidikan seni yang
memberikan edukasi ilmu tentang seni grafis.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat moderen di Yogyakarta karya
seni grafis mengalami berbagai macam perubahan dari aspek fisik maupun non
fisik. Kehadiran faktor eksternal seperti budaya reproduksi massal, munculnya
benda-benda seni bernilai ekonomi, meningkatnya nafsu selera konsumen
terhadap karya seni, munculnya produk-produk duplikasi (budaya seolah-olah),
gaya hidup masyarakat yang serba cepat dan praktis, serta munculnya permintaan
dan penawaran terhadap karya seni. Ditambah faktor internal kebutuhan
psikologis seniman, dorongan ekonomi seniman, keistimewaan seni grafis,
mengembalikan proses tangan (hand made) pada penciptakaan produk seni, dan
pemahaman seniman terhadap industri kreatif telah memunculkan gejala
komodifikasi pada karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad
Yusuf di Yogyakarta.
Fenomena di atas akan dikaji secara kritis melalui kajian ilmu seni rupa
dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah
sebagai berikut: (1) Bentuk komodifikasi apa saja yang terjadi pada objek karya
seni grafis di Yogyakarta?, (2) Mengapa terjadi komodifikasi pada objek karya
seni grafis di Yogyakarta?, (3) Bagaimana proses terjadinya komodifikasi pada
objek karya Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta?.
Data akan dianalisa dengan teknik kualitatif deskriptif dengan strategi studi kasus
kemudian dikaji lebih mendalam, detail, intensif dan komperehensif dengan
pendekatan hermeneutik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di beberapa wilayah Yogyakarta dan sekitarnya
seperti, di kediaman seniman Bayu Widodo di Jalan Bugisan Selatan no 11.
Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta, kemudian di kediaman Sri Maryanto di
Jalan Ki Ageng Gribig no 56a Klaten Utara, serta di kediaman Muhamad Yusuf di
Dusun Sembungan RT 02 Bangunjiwo, Kasihan Bantul Yogyakarta .
Waktu penelitian dilakukan dalam setiap minggu yang disesuaikan dengan
jadual narasumber dari bulan Oktober hingga pertengahan Desember 2014. Proses
wawancara di lapangan membutuhkan kurang lebih satu hingga satu sengah jam
dalam satu hari untuk satu narasumber. Penulis dimungkinkan dapat kembali ke
lapangan melebihi waktu penelitian apabila data yang diperoleh dirasakan kurang
mencukupi atau terjadi kerusakan data yang bersifat non teknis.

B. Jenis Penelitian
Penulis dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Bentuk
penelitian kualitatif memungkinkan penulis dapat menggambarkan objek
penelitian secara holistik berdasarkan realitas sosial yang ada di lapangan. Bogdan
dan Taylor (1957: 5) mendefenisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendapat ini diperkuat oleh
pernyataan Sutopo (2002: 89) dalam bukunya yang berjudul “Metodologi
Penelitian Kualitatif” penelitian kualitatif adalah suatu kegiatan untuk menjawab
berbagai pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa (proses dan makna) dalam
pernyataan nyatanya meliputi sejauh mana.
Karakterisitik penelitian kualitatif adalah sebagai berikut. (1) Sumber data
dalam penelitian kualitatif adalah situasi yang wajar atau ”natural setting” dan
peneliti merupakan instrumen kunci, (2) riset kualitatif bersifat deskriptif, (3) riset
commitketimbang
kualitatif lebih memperhatikan proses to user hasil atau produk semata, (4)

47
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

peneliti kualitatif cenderung menganalisa data secara induktif, (5) makna


merupakan persoalan yang esensial bagi pendekatan kualitatif (Bogdan dan
Biklen, 1992: 29-32). Penelitian ini menggunakan teknis analisis data kualitatif
deskriptif dengan strategi studi kasus agar dapat menangkap fenomena-fenomena
di lapangan yang kemudian dikaji lebih mendalam, detail, intensif dan
komperehensif dengan pendekatan hermeneutik. Model studi kasus yang penulis
gunakan adalah studi kasus Explanatory. Penelitian ini akan tercapai dengan
menggunakan pendekatan Pattern-matching, situasi dimana beberapa bagian
informasi dari beberapa kasus dikorelasikan dengan beberapa proporsi teori (Yin,
2008: 29).

C. Data, Sumber Data dan Instrumen Penelitian


Data dalam penelitian ini dikategorikan dalam data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh di lapangan ketika melakukan
survei dengan menggunakan instrumen. Data primer diperoleh dari karya seni
grafis konvensional dan produk yang telah mengalami bentuk komodifikasi serta
narasumber utama Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf sebagai
informan (key informan) yang memberikan informasi baik secara lisan ataupun
tulisan yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam penelitian ini, dan
bukti-bukti informasi lisan konsumen/pembeli produk yang mampu memperkuat
dugaan terjadinya praktik komodifikasi seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo
dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Data sekunder adalah data-data yang sudah
diolah menjadi data setengah jadi atau sudah jadi yang berhubungan dengan
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari
beberapa referensi kepustakaan baik buku, jurnal maupun media masa yang
memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, hal ini memiliki
pemahaman bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti merupakan bagian dari
instrumen penelitian sehingga penulis dalam konteks ini harus bersifat kritis,
sensitif, dan berintegrasi dengan objek penelitian. Instrumen pendukung, penulis
menggunakan aplikasi perekam suara HP Nokia C3, kamera digital poket Sony
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

Cyber-shot DSC W320, kamera DSLR Canon EOS 550D dan buku catatan yang
digunakan pada saat proses pengumpulan data di lapangan.

D. Teknik Pengambilan/Pemilihan Informan


Teknik pengambilan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik Purposive Sampling (sampling bertujuan) dan Snowball Sampling.
“Purposive sampling adalah dimana peneliti cenderung memilih informan yang
dianggap tahu mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat
dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap” (HB. Sutopo, 2002: 56).
Teknik purposive sampling dalam penelitian ini tidak menjadikan semua orang
sebagai informan, tetapi informan yang dipilih dirasakan cukup mengetahui dan
cukup memahami tentang komodifikasi pada karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu
Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta serta orang-orang dapat diajak
bekerja sama seperti orang yang bersikap terbuka dalam manjawab semua
pertanyaan yang diajukan penulis.
Informan yang dipilih dalam penelitian ini bersumber dari anggota
komunitas seni di Solo seperti Tugitu United dan SAYAP (Surakarta Young Artist
Project) sebagai jembatan informasi awal. Informan pertama adalah Agus Susato
dari Tugitu United dan Wahyu Eko P dari komunitas SAYAP. Selanjutnya
berdasarkan dari penjelasan-pejelasan yang disampaikan oleh Agus Susanto dan
Wahyu Eko P kemudian penulis direkomendasikan kepada dua seniman grafis di
Yogyakarta yang merupakan anggota dari komunitas grafis. Seniman tersebut
adalah Deni Rahman dan Alexander Nawangseto M dari komunitas Seni Grafis
Minggiran Yogyakarta. Berdasarkan informasi dari saudara Agus Suanto, Wahyu
Eko P, Deni Rahman dan Alexander Nawangseto M diperoleh informasi data
jumlah seniman yang melakukan praktik komodifikasi pada karya seni grafis
konvensional. Terdapat 25 nama seniman di Yogyakarta yang melakukan praktik
komodifikasi karya seni grafis yang diaplikasikan dalam bentuk produk benda
pakai. Penulis kemudian melakukan proses observasi awal di lapangan untuk
memastikan praktik komodifikasi karya seni grafis yang dilakukan oleh duapuluh
lima seniman tersebut. Setelah observasi pertama itu selesai kemudian penulis
commit dan
melakukan proses klasifikasi, reduksi to user
pengolah data mentah yang telah
perpustakaan.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id

disesuaikan dengan data primer dan sekunder. Berdasarkan proses tersebut


kemudian penulis memutuskan untuk memilih tiga seniman sebagai informan
utama. Ketiga seniman yang dipilih tersebut adalah Sri Maryanto, Bayu Widodo
dan Muhamad Yusuf. Ketiga seniman tersebut dipilih atas dasar konsistensi
mereka dalam melakukan proses komodifikasi pada karya seni grafis dan mereka
juga merupakan seniman pertama yang melakukan praktik komodifikasi karya
seni grafis yang diaplikasikan kedalam sebuah produk pakai (merchandise) di
Yogyakarta.

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.

1. Observasi, proses observasi merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan


data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang
berlangsung (Sukmadinata, 2005: 220). Penjelasan tersebut diperkuat oleh S.
Nasution dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Naturalistik
Kualitatif”, bahwa observasi adalah sebagai alat pengumpul data dengan cara
melihat dan mendengarkan objek yang diamati (Nasution, 1992: 66). Hal ini
selaras dengan pendapat Haris Herdiansyah yang menyatakan observasi
adalah suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan
kesimpulan atau diagnose (Herdiansyah, 2010: 131). Observasi dalam
penelitian ini dilakukan secara langsung dikediaman seniman Sri Maryanto,
Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf untuk mendapatkan hasil pengamatan
terhadap kegiatan komodifikasi yang sedang berlangsung.
2. Wawancara, menurut S. Nasution dalam bukunya yang berjudul “Metode
Research” menjelaskan bahwa wawancara adalah suatu bentuk komunikasi
atau percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi dalam keadaan
saling berhadapan atau melalui telepon (Nasution, 2010: 113). Pendapat
tersebut diperkuat oleh Nazir dalam bukunya yang berjudul “Metode
Penelitian” yang menjelaskan bahwa wawancara adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap
commit to user
muka antara si pewawancara atau penanya dengan si responden atau
perpustakaan.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

penjawab dengan menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara


(interview guide), yaitu panduan pertanyaan yang ditanyakan mengikuti
panduan yang telah dibuat sebelumnya (Nazir, 2011: 193). Adapun teknik
wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi
terstruktur dalam rangka memperoleh informasi yang lebih terbuka dengan
cara meminta pendapat dan ide-ide dari subjek yang diwawancarai. Subjek
utama dalam wawancara ini adalah Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
Muhamad Yusuf yang terkait dengan praktik komodifikasi yang telah
dilakukan ditambah dengan subjek penguat seorang akademisi dan praktisi
seni bernama Deni Rahman dan Alexander Nawangseto M terkait dengan
sudut pandang mereka terhadap apa yang dilakukan oleh ketiga senima yang
melakukan proses komodfikasi tersebut.
3. Studi dokumen, menurut Arikunto dalam bukunya yang berjudul Prosedur
Penelitian menjelaskan bahwa dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-
hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 2002: 206).
Menurut Sugiyono dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan
dokumen, yaitu catatan peristiwa yang sudah berlalu yang dapat berbentuk
tulisan, gambar, sejarah kehidupan, biografi, peraturan, kebijakan, dan lain-
lain (Sugiyono, 2010: 329). Sedangkan menurut Herdiansyah dokumentasi
merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti kualitatif untuk
mendaptkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis
dan dokumen lainya yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang
bersangkutan (Herdiansyah, 2011: 143). Berdasarkan penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa, dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk
mengumpulkan data-data berupa tulisan ataupun gambar yang berkaitan
dengan praktik-praktik komodifikasi karya seni grafis. Studi dokumentasi
penulis lakukan dibeberapa tempat seperti UPT Perpustakaan Pusat UNS,
Perpustakaan Pusat ISI Yogyakarta, Perpustakaan Pascasarjana UNS, IVVA
Indonesian Visual Art Archive Yogyakarta, Indonesian Art News, Cemeti Art
House, Survive!garage, dan Lembaga Kerakyatan Taring Padi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id

F. Teknik Analisis dan Validasi Data


Guna memahami sejumlah data penelitian yang telah diperoleh, maka
perlu dilakukan pengolahan terhadap data-data yang telah didapat. Bodgan dan
Biklen (1992: 153) dalam bukunya yang berjudul “Qualitative Research for
Education”menyatakan bahwa.

“Data analysis is the process of systematically searching and arraging


the interview transcript, filednotes, and other materials that you
accumulate to increase your own understanding of them and to enable
you to present what you have discovered to others”.

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain.
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya
kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana
yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat
diceritakan kepada orang lain.
Teknis analisis data yang dirasakan tepat digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis data model interaktif menurut Miles dan Hubberman (dalam
Tjetjep Rohendi Rohidi, 2011: 233), seperti pada (Gambar 2) berikut.

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Penyajian Data

Penarikan
Kesimpulan

Gambar 3. Analisis Data Model Interaktif


(Sumber: Reproduksi dari buku Metodelogi Penelitian Seni Rohidi, 2011: 234)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id

1. Pengumpulan Data
Guna mendapatkan sejumlah data yang diperlukan, maka penulis
melakukan pengumpulan data sesuai dengan pedoman teknis
pengumpulan data yang telah dipersiapkan. Data-data yang diambil
meliputi segala bentuk informasi dari nara sumber terkait dengan dugaan
praktik komodifikasi pada karya seni grafis khususnya pada teknik cetak
tinggi dan cetak saring, dokumentasi bentuk karya konvensional asli dan
produk karya yang telah mengalami proses komodifikasi pada berbagai
media seperti kaos, tas, kartu pos, dan emblem.
2. Reduksi Data
Data lapangan yang diperoleh dari lokasi penelitian direduksi
dengan cara melakukan penggabungan dan pengelompokkan data-data
sejenis menjadi satu dan dituangkan dalam uraian laporan tertulis yang
lengkap dan terperinci. Reduksi data dilakukan terus menerus selama
proses penelitian berlangsung. Pada tahap ini setelah data dipilah
kemudian disederhanakan, data yang tidak diperlukan disortir agar
memberikan kemudahan dalam penampilan, dan penyajian.
3. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan guna mempermudah bagi penulis dalam
melihat gambaran secara menyeluruh atau bagian-bagian tertentu dari data
penelitian. Penyajian data pada prinsipnya merupakan pengolahan data-
data setengah jadi yang sudah dikelompokkan dan menjadi alur tema yang
jelas.
4. Penarikan Kesimpulan
Tahap akhir dari seluruh kegiatan analisis data kualitatif model
Miles dan Huberman adalah kesimpulan. Kesimpulan yang disajikan harus
merujuk pada pertanyaan penelitian yang mengungkapkan “apa”,
“mengapa” dan “bagaimana”. Penarikan kesimpulan dilakukan secara
terus menerus sepanjang proses analisa sehingga mendapatkan hasil yang
paling benar. Peneliti dalam penarikan kesimpulan berusaha menganalisis
dan mencari makna dari data yang telah dianalisa dan selanjutnya
commit
dituangkan ke dalam bentuk to userakhir.
kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id 54
digilib.uns.ac.id

Validitas data adalah sebuah kegiatan yang dilakukan agar hasil penelitian
dapat dipertangungjawabkan dari segala sisi. Berdasarkan hal tersebut maka
penelitian ini menggunakan Trustworthiness dan Persetujuan Intersubjektivitas.
Trustworthiness yaitu menguji kebenaran dan kejujuran subjek dalam
mengungkap realitas menurut apa yang dialami, dirasakan atau dibayangkan
(Wibowo, 2013: 38). Trustworthiness ini mencakup dua hal yaitu sebagai berikut.
1. Autentikasi, disini peneliti memberi kesempatan subjek untuk bercerita
panjang lebar tentang apa yang dialamainya dalam konteks wawancara
yang informal dan santai.
2. Triangulasi, yaitu menganalisis jawaban subjek dengan meneliti
kebenarannya dengan data empiris (sumber data lainnya) yang tersedia.
Disini jawaban subjek di cross-check dengan dokumen yang ada
(Kriyantono, 2006: 71). Analisis triangulasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah triangulasi sumber. Triangulasi sumber dilakukan
dengan membandingkan derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh. Menurut Moleong (Moleong, 2006: 78) cara yang dilakukan
adalah sebagi berikut.
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi
penelitian dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain.
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang lain.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.

Validitas data yang terakhir menggunakan metode persetujuan


intersubjektivitas. Persetujuan intersubjektivitas adalah semua pandangan,
pendapat atau data dari subjek yang didialogkan dengan pendapat, pandangan dan
data dari subjek lainnya untuk menghasilkan titik temu antar data (Wibowo, 2013:
commit topenulis
38). Proses validitas data yang dilakukan user adalah mendialogkan pendapat,
perpustakaan.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id

pandangan dan data dari seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad
dengan pendapat, pandangan dan data dari akademisi dan praktisi seni yang
bernama Deni Rahman dan Alexander Nawangseto M untuk menghasilkan sebuah
titik temu antar data.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

HASIL PENELITIAN: BENTUK, SEBAB, DAN PROSES KOMODIFIKASI


KARYA SENI GRAFIS DI YOGYAKARTA

A. Hasil Penelitian
1. Bentuk Komodifikasi pada Objek Karya Seni Grafis di Yogyakarta
Yogyakarta sebagai sebuah kota yang menjadi barometer kesenian
dan rumah bagi para seniman rupa Indonesia telah banyak mengalami
perubahan dinamika kehidupan sosial yang sangat kompleks. Berbagai
ilmu pengetahuan umum, seni dan teknologi telah membaur menjadi satu
yang khas dan unik di Yogyakarta, dinamika ini pada akhirnya menjadi
daya tarik tersendiri bagi para turis internasional dan domestik untuk
sekedar menikmati keindahan kota Yogyakarta sebagai daerah tujuan
wisata dunia. Di tengah membaurnya berbagai ilmu pengetahuan umum,
seni dan teknologi ternyata muncul sebuah kecendrungan baru dalam
dunia seni rupa Yogyakarta khususnya pada bidang seni grafis. Kehadiran
seni grafis di Indonesia pada awal mulanya hanya digunakan para
seniman dan tokoh-tokoh pejuang sebagai alat propaganda politik dalam
bentuk poster-poster perjuangan. Sejalan dengan perkembangan dinamika
sosial di Yogyakarta seni grafis mengalami perubahan yang sangat
signifikan yang ditandai dengan berdirinya institusi seni seperti Akademi
Seni Rupa Indonesia Yogyakarta (saat ini dikenal dengan nama Institut
Seni Indonesia Yogyakarta) yang telah membawa seni grafis masuk
dalam wilayah keilmuan seni rupa dengan paham seni moderen. Seni
grafis kemudian menjadi sebuah medium berekspresi para seniman-
seniman akademisi di Yogyakarta. Perubahan seni grafis dari media
propaganda menjadi media ekpresi pribadi dengan pertimbangan artistik
ini menandakan munculnya proses komodifikasi pertama pada karya seni
grafis konvensional di Yogyakarta. Terlihat adanya perubahan aspek
tujuan pembuatan dan pesan yang ingin disampaikan seniman grafis dari
karya-karyanya. Praktik commit to user karya seni grafis ini kemudian
komodifikasi

56
perpustakaan.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id

muncul kembali sekitar tahun 2008 yang dipelopori oleh seniman grafis
AT. Sitompul, AC. Andre Tanama, Ariswan Adhitama dan Irwanto
Lentho yang menciptakan sebuah karya monoprint. Keempat seniman
tersebut melakukan proses komodifikasi pada karya seni grafis dalam
aspek teknis cetak. Setiap karya yang diciptakan mengalami perubahan
jumlah hasil cetakan menjadi satu edisi cetak/tunggal dengan
pencampuran berbagai macam teknis seperti printing, drawing, dan
painting dalam satu karya. Praktik komodifikasi pada karya seni grafis ini
ditandai dengan sebuah fenomena kemunculan karya-karya monoprint di
wilayah Yogyakarta. Munculnya proses komodifikasi ini telah
memperlakukan seni grafis layaknya sebuah karya lukis yang diciptakan
dengan jumlah tunggal dengan tujuan mencapai nilai eksklusifitas
sehingga meningkatkan nilai tawar dari karya grafis tersebut.
Kemunculan-kemunculan praktik komodifikasi ini masih terus berjalan
dengan berbagai aspek bentuk perubahan yang berbeda-beda.
Sejalan dengan masuknya pengaruh-pengaruh informasi baru di
Yogyakarta membuat keberadaan seni grafis mengalami metamorfosa
baru, dimana para seniman grafis melakukan inovasi-inovasi yang bersifat
ekperimental dari karya-karya grafis konvensional yang telah mereka
ciptakan sendiri. Inovasi-inovasi ini memunculkan sebuah ide baru untuk
memodifikasi ulang karya-karya seni grafis konvensional mereka
keadalam sebuah medium baru seperti kaos, tas, emblem, kartu pos serta
kalender yang dicetak secara masif. Bentuk-bentuk modifikasi yang
dilakukan para seniman meliputi wilayah fisik dan non fisik dari karya
grafis konvensionalnya. Secara fisik terjadi perubahan atau
penyederhanaan dari aspek bentuk, warna dan ukuran sedangkan dari
aspek non fisik terjadi perubahan tujuan penciptaan dan pesan dari karya
seni grafis tersebut. Perubahan yang terjadi akibat adanya proses
komodifikasi dari karya seni grafis di Yogyakarta dapat diamati secara
detail dalam studi kasus beberapa karya-karya cetak tinggi dan cetak
saring yang telah diciptakan oleh seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo
dan Muhamad Yusuf ke commit to userbenda pakai. Karya-karya ketiga
dalam media
perpustakaan.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id

seniman ini kemudian dipilih dan direduksi dari beberapa karya


berdasarkan objek penelitian yang dapat mewakili permasalahan dalam
komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta. Secara detail hal ini dapat
dilihat dalam tabel 1, 2 dan 3 berikut.
Tabel 1. Perubahan Karya Grafis Sri Maryanto
Sebelum dan Sesudah Proses Komodifikasi.
No Sebelum Proses Komodifikasi Sesudah Proses Komodifikasi
1

Judul: Kissboy
Judul: Kissboy Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi)
Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi) Media: Kaos
Media: Kertas Ukuran: 30cm x 20cm
Ukuran: 30cm x 20cm Tahun: 2008
Tahun: 2008 Harga: Rp 120.000 – Rp 150.000
Harga: Rp 1.000.000 – Rp 2. 000.000 Tujuan Pembuatan:
Tujuan Pembuatan: Pemenuhan kebutuhan hidup dari karya
Media berekspresi seni, media komunikasi sendiri, memperluas jangkauan publik
untuk menyampaikan pesan idealisme Sri terhadap keberadaan karya Sri Maryanto dan
Maryanto, sebagai media untuk menjaga memenuhi rasa keinginan publik terhadap
eksistensi dalam berkarya dan pameran. karya Sri Maryanto dengan harga yang relatif
lebih murah dari karya aslinya.
2

Judul: Malaikat Maut Judul: Malaikat Maut


Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi) Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi)
Media: Kertas commit to Media:
user Kaos
Ukuran: 30cm x 20cm Ukuran: 30cm x 20cm
perpustakaan.uns.ac.id 59
digilib.uns.ac.id

Tahun: 2008 Tahun: 2008


Harga: Rp 1.000.000 – Rp 2. 000.000 Harga: Rp 120.000 – Rp 150.000
Tujuan Pembuatan: Tujuan Pembuatan:
Sebagai media berekspresi seni, media Pemenuhan kebutuhan hidup dari karya
komunikasi pesan idealisme Sri Maryanto, sendiri, memperluas jangkauan publik
dan sebagai media untuk menjaga terhadap keberadaan karya Sri Maryanto dan
eksistensi dalam berkarya dan Pameran. memenuhi rasa keinginan publik terhadap
karya Sri Maryanto dengan harga yang relatif
lebih murah dari karya aslinya.
3

Judul: Tan Malaka Judul: Tan Malaka


Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi) Teknik: Silk screen (Cetak Saring)
Media: Kertas Media: Kaos
Ukuran: 100cm x 80cm Ukuran: +/- 35cm x 20cm
Tahun: 2008 Tahun: 2008
Harga: Rp 1.000.000 – Rp 2. 000.000 Harga: Rp 120.000 – Rp 150.000
Tujuan Pembuatan: Tujuan Pembuatan:
Media berekspresi seni, menyampaikan Pemenuhan kebutuhan hidup dari karya
pesan tentang jasa-jasa tokoh-tokoh sendiri, memperluas jangkauan publik
pejuang Indonesia yang menjadi inspiasi terhadap keberadaan karya Sri Maryanto dan
Sri Maryanto, menjaga eksistensi dalam memenuhi rasa keinginan publik terhadap
berkarya dan pameran. karya Sri Maryanto dengan harga yang relatif
lebih murah dari karya aslinya.
4

Judul: Tirto Suyo Adi Judul: Tirto Suryo Adi


Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi) Teknik: Silk screen (Cetak Saring)
Media: Kertas Media: Kaos
commit to Ukuran:
user +/- 25cm x 25cm
Ukuran: 100cm x 80cm
perpustakaan.uns.ac.id 60
digilib.uns.ac.id

Tahun: 2008 Tahun: 2008


Harga: Rp 1.000.000 – Rp 2. 000.000 Harga: Rp 50.000 – Rp 75.000
Tujuan Pembuatan: Tujuan Pembuatan:
Media berekspresi seni, menyampaikan Pemenuhan kebutuhan hidup dari karya
pesan tokoh-tokoh pejuang indonesia yang sendiri, memperluas jangkauan publik
menjadi inspiasi Sri Maryanto, menjaga terhadap keberadaan karya Sri Maryanto dan
eksistensi dalam berkarya dan pameran. Memenuhi rasa keinginan publik terhadap
karya Sri Maryanto dengan harga yang relatif
lebih murah dari karya aslinya.

Berdasarkan tabel diatas pada poin nomor satu dan dua terlihat
adanya perubahan fisik karya berupa media cetak, serta perubahan non
fisik karya yang meliputi harga dan tujuan dari penciptaan karya seni
grafis dari Sri Maryanto. Media cetak yang digunakan pada awalnya
sebuah kertas berubah menjadi media kaos, sedangkan harga satu karya
grafis yang awalnya sebesar Rp.1.000.000-Rp.2.000.000 menjadi berubah
sebesar Rp.120.000-Rp.150.000. Perubahan harga ini mengacu pada
sumber pernyataan Sri Maryanto (dalam wawancara 11/12/2014) di media
sosial yang menyatakan sebagai berikut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 61
digilib.uns.ac.id

Kemudian tujuan penciptaan karya yang awalnya hanya sebagai


media berekspresi, dan media komunikasi untuk menyampaikan pesan
idealime, sebagai media untuk menjaga eksistensi dalam berkarya
kemudian berubah menjadi alat pemenuhan kebutuhan hidup, memperluas
jangkauan publik terhadap keberadaan karya Sri Maryanto dan memenuhi
rasa keinginan memiliki publik terhadap karya Sri Maryanto. Disimpulkan
bahwa karya-karya grafis Sri Maryanto pada poin satu dan dua telah
mengalami perubahan dalam aspek fisik dan non fisik yang dapat
diidentifikasi sebagai munculnya gejala komodifikasi.
Pada poin tiga dan empat dalam karya Sri Maryanto terlihat adanya
perubahan fisik karya yang meliputi aspek teknik, media, dan ukuran.
Sedangkan pada aspek non fisik karya terjadi perubahan yang meliputi
harga dan tujuan dari penciptaan karya. Secara detail terlihat teknik cetak
yang pada awalnya menggunakan teknik cetak tinggi berubah menjadi
teknik cetak saring sedangkan media cetak yang pada awalnya
menggunakan sebuah kertas berubah menjadi media kaos dan ukuran awal
karya berkisar 100cm x 80cm kemudian berubah menjadi +/- 25cm x
25cm. Harga awal karya sebesar Rp.1.000.000-Rp.2.000.000 kemudian
berubah menjadi Rp.120.000-Rp.150.000 untuk kaos sedangkan untuk tas
berubah menjadi Rp.50.000-Rp.75.000. Tujuan penciptaan karya yang
awalnya hanya sebagai media berekspresi, media komunikasi untuk
menyampaikan pesan idealime dan media untuk menjaga eksistensi dalam
berkarya kemudian berubah sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup,
memperluas jangkauan publik terhadap keberadaan karya Sri Maryanto
dan memenuhi rasa keinginan publik terhadap karya Sri Maryanto.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam poin tiga dan empat pada tabel 1
menandakan adanya bentuk-bentuk komodifikasi pada objek karya seni
grafis Sri Maryanto. Berdasarkan uraian pada tabel 1 diatas dapat
disimpulkan bahwa bentuk-bentuk perubahan yang terjadi pada poin satu,
dua, tiga, dan empat, yang meliputi aspek fisik dan non fisik merupakan
sebuah indikasi terjadinya gejala praktik komodifikasi pada objek karya
commit
seni grafis konvensional Sri to user
Maryanto di Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id 62
digilib.uns.ac.id

Tabel 2. Perubahan Karya Grafis Bayu Widodo


Sebelum dan Sesudah Proses Komodifikasi.
No Sebelum Proses Komodifikasi Sesudah Proses Komodifikasi
1

Judul: last Tree


Judul: last Tree
Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi)
Teknik: Silk screen (Cetak Saring)
Media: Kertas
Media: Kaos
Ukuran: 30cm x 45cm
Ukuran: +/-25cm x 35cm
Tahun: 2012
Tahun: 2012
Harga: Rp 1.000.000 – Rp 5. 000.000
Harga: Rp 65.000.000
Tujuan Pembuatan:
Tujuan Pembuatan:
Media berekspresi seni, media kritik dan
Pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi dan
komuikasi idealisme Bayu Widodo
komunitas SURVIVE!garage, Memperluas
terhadap kondisi lingungan sekitar,
jangkauan publik terhadap keberadaan
menjaga eksistensi dalam berkarya dan
karakter visual Bayu Widodo, media
pameran.
komuikasi langsung dengan masyarakat luas
dan memenuhi rasa keinginan publik terhadap
karya Bayu Widodo dengan harga yang relatif
lebih murah dari karya aslinya.
2

Judul: “Less Hotel More Park” Judul: “Less Hotel More Park”
Teknik: Silk screen (Cetak Saring) Teknik: Silk screen (Cetak Saring)
Media: Kertas Media: Kaos
Ukuran: 40cm x 55cm Ukuran: 33cm x 16cm
Tahun: 2014 Tahun: 2014
Harga: Rp 1.000.000 – Rp 5. 000.000 Harga: Rp 120.000
Tujuan Pembuatan: commit to Tujuan
user Pembuatan:
perpustakaan.uns.ac.id 63
digilib.uns.ac.id

Media berekspresi Seni, menyampaikan Pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi dan


pesan tentang kritik sosial atas komunitas, memperluas jangkauan publik
pembangunan hotel, mall dan gedung- terhadap keberadaan karakter visual Bayu
gedung di Yogyakarta, serta dalam rangka Widodo, memperkenalkan produk kaos
pameran di Australia pada bulan november SURVIVE!garage di Australia dan Memenuhi
2014. rasa keinginan publik terhadap karya Bayu
Widodo dengan harga yang relatif lebih
murah dari karya aslinya.
3

Judul: “Owl” Judul: “Owl”


Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi) Teknik: Silk screen (Cetak Saring)
Media: Kertas Media: Emblem
Ukuran: 25cm x 10cm Ukuran: 16cm x 10cm
Tahun: 2012 Tahun: 2012
Harga: Rp 1.000.000 – Rp 5. 000.000 Harga: Rp 15.000
Tujuan Pembuatan: Tujuan Pembuatan:
Media berekspresi seni, sebagai media Pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi,
komunikasi idealisme Bayu Widodo, memperluas jangkauan publik terhadap
menjaga eksistensi dalam berkarya dan keberadaan karakter visual Bayu Widodo,
pameran. memperkenalkan produk emblem dari
SURVIVE!garage dan memenuhi rasa
keinginan publik terhadap karya Bayu
Widodo dengan harga yang relatif lebih
murah dari karya aslinya.
4

Judul: “Less Hotel More Park”


Judul: “Less Hotel More Park”
Teknik: Silk screen (Cetak Saring)
Teknik: Silk screen (Cetak Saring)
Media: Emblem
Media: Kertas
Ukuran: 12,5cm x 17cm
Ukuran: 40cm x 55cm
Tahun: 2014
Tahun: 2014
Harga: Rp 20.000
Harga: Rp 1.000.000 – Rp 5. 000.000
commit to Tujuan
user Pembuatan:
Tujuan Pembuatan:
perpustakaan.uns.ac.id 64
digilib.uns.ac.id

Media berekspresi seni, menyampaikan Pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi dan


pesan tentang kritik sosial atas komunitas, memperkenalkan produk emblem
pembangunan hotel, mall dan gedung- terbaru SURVIVE!garage dan memenuhi
gedung di Yogyakarta, serta dalam rangka rasa keinginan publik terhadap karya Bayu
pameran di Australia pada bulan november Widodo dengan harga yang relatif lebih
2013. murah dari karya aslinya.

Judul: “Way of living #2” Judul: “Way of living #2”


Teknik: Silk screen (Cetak Saring) Teknik: Digital print
Media: Kertas fabriano Media: Kertas Cetak (Ivory)
Ukuran: 50cm x 70cm Ukuran: 15,5cm x 11,5cm
Tahun: 2009 Tahun: 2009
Harga: Rp 1.000.000 – Rp 5. 000.000 Harga: Rp 20.000
Tujuan Pembuatan: Tujuan Pembuatan:
Media berekspresi seni, menyampaikan Pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi dan
pesan idelaisme Bayu Widodo, serta dalam komunitas, memperkenalkan produk kartu
rangka pameran hasil karya residensi di pos SURVIVE!garage dan memenuhi rasa
Australia pada tahun 2009. keinginan publik terhadap karya Bayu
Widodo dengan harga yang relatif lebih
murah dari karya aslinya.

Judul: “Human Building” Judul: “Human Building”


Teknik: Silk screen (Cetak Saring) Teknik: Digital print
Media: Kertas fabriano Media: Kertas Cetak (Ivory)
Ukuran: 60cm x 95cm Ukuran: 15,5cm x 11,5cm
Tahun: 2009 Tahun: 2009
Harga: Rp 1.000.000 – Rp 5. 000.000 Harga: Rp 20.000
Tujuan Pembuatan: commit to Tujuan
user Pembuatan:
perpustakaan.uns.ac.id 65
digilib.uns.ac.id

Media berekspresi seni, menyampaikan Pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi dan


pesan idealisme Bayu Widodo, serta dalam komunitas, memperkenalkan produk kartu
rangka pameran hasil karya residensi di pos SURVIVE!garage dan memenuhi rasa
Australia pada tahun 2009. keinginan publik terhadap karya Bayu
Widodo dengan harga yang relatif lebih
murah dari karya aslinya.

Berdasarkan tabel 2 dapat diuraikan pada poin nomor satu, tiga,


lima, dan enam terdapat sebuah bentuk perubahan fisik dari karya yang
meliputi aspek teknik, media, dan ukuran serta terjadi perubahan non fisik
dari karya yang meliputi aspek harga dan tujuan dari penciptaan karya seni
grafis dari Bayu Widodo. Teknik awal pencitaan karya meliputi teknik
cetak tinggi dan cetak saring kemudian berubah menjadi teknik cetak
saring dan digital print, media yang awalnya berupa kertas kemudian
berubah menjadi media kaos, emblem dan kartu pos sedangkan pada
ukuran awal karya yang awalnya berdimensi 30cm x 45cm, 25cm x 10cm,
50cm x 70cm dan 60cm x 95cm kemudian berubah menjadi +/-25cm x
35cm, 16cm x 10cm dan 15,5cm x 11,5cm. Harga karya yang pada
awalnya Rp.1.000.000-Rp.5.000.000 per buah kemudian berubah menjadi
Rp.65.000.000 per buah untuk kaos, dan Rp.15.000 per buah untuk
emblem serta Rp 20.000 untuk satu paket kartu pos. Perubahan harga ini
mengacu pada sumber pernyataan Bayu Widodo (dalam wawancara
6/12/2014) yang menyatakan sebagai berikut.
“Kalau karya grafisku kan dijual sekitar satu setengah juta sampai
lima juta rupiah per edisi tapi kalo kaoskan masyarakat bisa beli
dengan harga antara delapan puluh ribu sampai seratus duapuluh
ribu per kaos dan mereka bisa memiliki selamanya”.

Aspek tujuan awal penciptaan karya meliputi media berekspresi


seni, media kritik dan komunikasi pesan terhadap kondisi lingungan di
sekitar Yogyakarta serta sebagai hasil karya dari residensi seni Bayu
Widodo di Australia pada tahun 2009, kemudian berubah menjadi alat
pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi dan komunitas, memperluas
jangkauan publik terhadap keberadaan karakter visual Bayu Widodo,
memperkenalkan produk kaos SURVIVE!garage di Australia dan
commit to user
memenuhi rasa keinginan publik terhadap karya Bayu Widodo.
perpustakaan.uns.ac.id 66
digilib.uns.ac.id

Karya Bayu Widodo dalam tabel 2 yang terlihat pada poin ke dua
dan empat mengalami proses perubahan bentuk dari aspek fisik yang
meliputi media dan ukuran sedangkan pada aspek non fisik terjadi
perubahan pada tujuan penciptaan karya. Media awal yang digunakan
Bayu Widodo berupa kertas kemudian berubah menjadi kaos dan emblem,
sedangkan ukuran awal karya mengalami perubahan dari 40cm x 55cm
menjadi 33cm x 16cm dan 12,5cm x 17cm. Harga awal karya berubah dari
Rp.1.000.000-Rp.5.000.000 per buah berubah menjadi Rp.120.000 per
buah untuk kaos dan Rp.20.000 per buah untuk emblem, sedangkan tujuan
penciptaan karya yang pada awalnya sebagai media berekspresi seni,
media kritik dan komunikasi pesan terhadap kondisi lingungan sekitar,
pembangunan hotel, mall dan gedung-gedung di Yogyakarta berubah
menjadi alat pemenuhan kebutuhan ekonomi pribadi dan komunitas,
memperluas jangkauan publik terhadap keberadaan karakter visual Bayu
Widodo, memperkenalkan produk kaos SURVIVE!garage di Australia dan
memenuhi rasa keinginan publik terhadap karya Bayu Widodo.
Berdasarkan uraian pada tabel 2 diatas dapat disimpulkan bahwa
bentuk-bentuk perubahan yang terjadi pada poin satu, dua, tiga, empat,
lima dan enam yang meliputi aspek fisik dan non fisik merupakan sebuah
indikasi terjadinya gejala praktik komodifikasi pada objek karya seni
grafis konvensional Bayu Widodo di Yogyakarta.
Tabel 3. Perubahan Karya Grafis Muhamad Yusuf
Sebelum dan Sesudah Proses Komodifikasi.
No Sebelum Proses Komdifikasi Sesudah Proses Komodifikasi
1

Judul: Kretek Butuh Korek Judul: Kretek Butuh Korek


Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi) Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi)
Media: Kertas commit to Media:
user Kaos
perpustakaan.uns.ac.id 67
digilib.uns.ac.id

Ukuran: 21cm x 30cm Ukuran: 21cm x 30cm


Tahun: 2014 Tahun: 2014
Harga: Rp 2.000.000 Harga: Rp 100.000
Tujuan Pembuatan: Tujuan Pembuatan:
Media berekspresi seni, media komunikasi Membuat produk murah tapi artistik,
untuk menyampaikan pesan idealime pemenuhan kebutuhan hidup dari karya
Muhamad Yusuf, sebagai media untuk sendiri, memperluas jangkauan publik
menjaga eksistensi dalam berkarya dan terhadap keberadaan karakter visual
pameran. Muhamad Yusuf, dan menyampaikan pesan
pribadi

Judul: Dewi Saraswati Judul: Dewi Saraswati


Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi) Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi)
Media: Kertas Media: Kaos
Ukuran: 42cm x 30cm Ukuran: 42cm x 30cm
Tahun: 2014 Tahun: 2014
Harga: Rp 2.000.000 Harga: Rp 100.000
Tujuan Pembuatan: Tujuan Pembuatan:
Media berekspresi seni, media komunikasi Membuat produk murah tapi artistik,
untuk menyampaikan pesan idealime pemenuhan kebutuhan hidup dari karya
Muhamad Yusuf, sebagai media untuk sendiri, memperluas jangkauan publik
menjaga eksistensi dalam berkarya dan terhadap keberadaan karakter visual
pameran. Muhamad Yusuf, dan menyampaikan pesan
pribadi

Judul: Matinya Seorang Petani


Judul: Matinya Seorang Petani
commit to Teknik:
Teknik: Hardboard Cut (Cetak Tinggi)
user Hardboard Cut (Cetak Tinggi)
Media: Kaos
perpustakaan.uns.ac.id 68
digilib.uns.ac.id

Media: Kertas Ukuran: 30cm x 25cm


Ukuran: 30cm x 25cm Tahun: 2014
Tahun: 2014 Harga: Rp 100.000
Harga: Rp 2. 000.000 Tujuan Pembuatan:
Tujuan Pembuatan: Membuat produk murah tapi artistik,
Media berekspresi seni, Media komunikasi pemenuhan kebutuhan hidup dari karya
untuk menyampaikan pesan idealime sendiri, Memperluas jangkauan publik
Muhamad Yusuf, sebagai media untuk terhadap keberadaan karakter visual
menjaga eksistensi dalam berkarya dan Muhamad Yusuf, dan menyampaikan pesan
pameran. pribadi

Karya-karya Muhamad Yusuf yang telah dimodifikasi hanya


mengalami perubahan fisik pada aspek media dan perubahan non fisik
yang meliputi aspek harga dan tujuan penciptaan. Media awal yang
digunakan Muhamad Yusuf berupa kertas yang kemudian berubah
menjadi kaos dan harga awal karya sebesar Rp.2.000.000 berubah
menjadi Rp.100.000, sedangkan tujuan awal penciptaan sebagai media
berekspresi seni, media komunikasi pesan idealime dan sebagai media
untuk menjaga eksistensi dalam berkarya berubah menjadi menciptakan
produk dengan harga murah namun tetap artistik, alat pemenuhan
kebutuhan hidup, memperluas jangkauan publik terhadap keberadaan
karakter visual Muhamad Yusuf, dan menyampaikan pesan-pesan pribadi.
Berdasarkan beberapa analisa dari perubahan-perubahan karya
tersebut istilah yang tepat untuk menandakan munculnya praktik
ekperimental yang dilakukan para seniman adalah sebuah bentuk gejala
komodifikasi karya seni grafis. Berkaitan dengan seni grafis dapat
disimpulkan bahwa komodifikasi karya seni grafis merupakan sebuah
proses memodifikasi ulang bentuk fisik dan non fisik karya seni grafis
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan nilai yang awalnya hanya
sekedar memiliki nilai guna menjadi sebuah produk pakai yang memiliki
nilai jual tinggi yang ditentukan melalui sebuah mekanisme harga. Secara
fisik proses komodifikasi ini telah merubah wujud karya seni grafis
konvensional menjadi beberapa produk pakai seperti, kaos, tas, emblem,
kartu pos serta kalender yang dicetak secara masif.
Praktik komodifikasi karya seni grafis yang diaplikasikan ke benda
commit to user
pakai (merchandise) pertama kali muncul dan terlihat di wilayah
perpustakaan.uns.ac.id 69
digilib.uns.ac.id

Yogyakarta pada tahun 1999. Kemunculan ini didukung pula dengan


lahirnya kantung-kantung komunitas seni yang didalamnya menjual
produk dari proses hasil komodifikasi karya-karya grafis konvensional
para seniman. Komunitas-komunitas tersebut diantaranya ORABER yang
didirikan oleh seniman Sri Maryanto pada tahun 2003, SURVIVE!garage
yang didirikan oleh seniman Bayu Widodo pada tahun 2009 dan Lembaga
Kerakyatan Taring Padi yang didirikan oleh seniman Muhamad Yusuf
pada tahun 1989 akhir. Prakatik komodifiki pada karya seni grafis ini
masih tetap dilakukan hingga saat ini oleh ketiga seniman tersebut, dan
dengan aktif mereka mendistribusikan produknya melalui beberapa event
seperti Festival Kesenian Yogyakarta, Pasar Seni, Carf Carnival, Carft
Party dan Pasar Kangen serta membuat art shop dan situs-situs online
seperti ORABER Total Produk Grafis, SURVIVE!garage dan Lembaga
Kerakyatan Taring Padi untuk menjual produk-produk yang telah mereka
ciptakan.

2. Penyebab Terjadinya Komodifikasi Karya Seni Grafis di Yogyakarta


Kemunculan praktik komodifikasi pada karya seni grafis di
Yogyakarta tentunya tidak muncul secara tiba-tiba melainkan terdapat
faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Faktor penyebab yang
melatarbelakangi terjadinya komodifikasi seni grafis di Yogyakarta dapat
terlihat dari beberapa studi kasus yang terjadi pada karya seni grafis
konvensionl seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf
berikut ini. Untuk melihat munculnya praktik ini maka akan diuraikan
faktor penyebab yang melatarbelakangi terjadinya komodifikasi seni
grafis dari karya-karya mereka.
a. Sebab Terjadinya Komodifikasi pada Karya Seni Grafis Sri
Maryanto

Sri Maryanto sebagai seniman telah memproduksi benda


pakai dari visual karya-karya grafisnya. Sebab terjadinya
komodifikasi pada karya seni grafis Sri Maryanto (wawancara pada
commit to user
8/11/2014) dijelaskan sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id 70
digilib.uns.ac.id

“Awal mulanya membuat sebuah produk merchandise dari


karya seni grafis saya karena keinginan untuk bertahan
hidup dari hasil karya sendiri”. “Ditambah dengan
kenyataan menjual karya seni, apalagi masih menjadi
mahasiswa yang tidak dikenal,...tidaklah semudah
membalikan tangan”, .....“jadi saya pun berfikir terbalik”.
“Kalau biasanya produk merchandise di ciptakan setelah
karya aslinya terkenal, justru saya memproduksi
merchandise sebelum karya saya terkenal”.
“Ternyata....setelah karya saya diaplikasikan pada benda
fungsional justru karya saya dapat tampil dimana saja
karena pemakai produk saya dalam media kaos bergerak
dan banyak orang melihat karya saya, sehingga jangkauan
publiknya lebih luas dibandingkan ruang pamer
konvensional”. “Sebelum saya memproduksi kaos, saya
telah membuat produk kartu pos, poster dan akhirnya
kemana-mana, dimana ada tempat menaruh desain karya
disitu pula bisa dijadikan produk seni”.

Pada tahun 2003 Sri Maryanto pada akhirnya mendirikan


sebuah usaha bernama ORABER Total Produk Grafis yang
bergerak pada penjualan produk-produk dengan teknik grafis yang
merupakan hasil dari modifikasi karya grafis konvensional Sri
Maryanto. Produk yang dijual berupa kaos, tas, emblem dan
kalender.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
latar belakang terjadinya komodifikasi pada karya seni grafis Sri
Maryanto dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut
adalah adanya dorongan untuk bertahan hidup, adanya
kekhawatiran tidak memperoleh penghasilan yang tetap dan adanya
perasaan inferioritas dalam diri.
Selain faktor-faktor tersebut ditambah dengan sulitnya
menjual karya grafis konvensional waktu itu akhirnya mendorong
Sri Maryanto berfikir kreatif dengan melakukan praktik
komodifikasi di tahun yang sama ketika kary aslinya dibuat hal ini
dilakukan agar Ia tetap dapat bertahan hidup dan menghidupi
proses berkeseniannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 71
digilib.uns.ac.id

b. Sebab Terjadinya Komodifikasi pada Karya Seni Grafis Bayu


Widodo

Sebab terjadinya komodifikasi pada karya seni grafis Bayu


Widodo (wawancara pada 6/12/2014) dijelaskan sebagai berikut.

“Awal mulanya memproduksi merchandise waktu awal


kuliah di ISI, aku masuk ISI tahun 1999, dan memulai
menciptakan produk sekitar tahun 2000an”. “Sebetulnya
di ISI aku ambil lukis, tapi aku belajar grafis ini sebagai
salah satu teknik yang dapat menghidupi aku sendiri dan
bisa menyampaikan keisenganku sendiri”. “Tahun 2000
aku mulai mempelajari teknik cukil dan sablon untuk
memenuhi kebutuhanku sebagai seorang seniman, dan
berfikir bagaimana karyaku itu bisa semua orang pakai”.
“Kalau karya grafisku kan dijual sekitar satu setengah juta
sampai lima juta rupiah per edisi tapi kalo kaoskan
masyarakat bisa beli dengan harga antara delapan puluh
ribu sampai seratus duapuluh ribu per kaos dan mereka
bisa memiliki selamanya”. “Hal ini aku lakukan atas dasar
bagaimana aku bisa bertahan dengan karyaku dan dalam
seni grafis memiliki keuinikan tersendiri dibandingkan
dengan lukis”. “Lukis itu bagiku sebuah karya yang
mengekspresikan idealismeku tapi di grafis aku merasa
bisa mengkomunikasikan idealismeku ditambah dapat
memenuhi kebutuhan hidupku sebagai seorang seniman”.
“Hal itu menjadi sejarah awal kenapa aku membuat
SURIVE!garage”.

Tahun 2009 Bayu Widodo bersama kawan-kawan


mendirikan sebuah komunitas yang bernama SURIVE!garage.
SURIVE!garage merupakan sebuah komunitas seni yang
mengelola ruang seni dan bersinergi dengan berbagai
kecendrungan fenomena seni rupa secara umum. SURIVE!garage
memiliki konsep art shop yang bertujuan ingin membantu
mempercepat proses pembentukan kelompok sosial secara
mandiri melalui apresiasi kerja seni dan program edukasi seni.
Produk yang dijual SURIVE!garage berupa kaos, kartu pos,
emblem dan poster.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
commit to user
latar belakang terjadinya komodifikasi pada karya seni grafis
perpustakaan.uns.ac.id 72
digilib.uns.ac.id

Bayu Widodo dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor


tersebut adalah adanya motivasi untuk bertahan hidup, munculnya
dorongan pemikiran untuk bermanfaat bagi masyarakat, adanya
pemikiran memasyarakatkan karya pribadi yang telah diciptakan,
dan memanfaatkan keistimewaan karya seni grafis sebagai media
komunikasi yang dapat menghasilkan uang. Faktor-fator tersebut
yang pada akhirnya mendorong Bayu Widodo melakukan proses
komodifikasi pada tahun yang sama ketika karya seni grafis
konvensionalnya diciptakan.

c. Sebab Terjadinya Komodifikasi pada Karya Seni Grafis


Muhamad Yusuf

Muhamad Yusuf menjelaskan sebab dan proses terjadinya


komodifikasi pada karya seni grafisnya yang diungkapkan
sebagai berikut (wawancara pada 22/11/2014).

“Awal membuat produk pakai dari karya grafis sekitar


tahun 1999”. “Semuanya bermulai dari sebuah keisengan
saja, ketika Taring Padi mencetak poster dan ada kaos
nganggur kemudian aku cetak”. “Setalah dilihat ternyata
menarik, lalu aku produksilah kaos tersebut secara masal
dan hal itu dilakukan sebelum Sri Maryanto dan Bayu
Widodo memproduksi merchandise”. “Setelah itu aku
kembangkan desain-desainnya, aku cukil sendiri, aku
cetak sendiri dan aku jual sendiri”. “Kemudian
berkembanglah, tidak hanya produk kaos dari karya
grafisku tapi aku mulai membuat emblem, stiker,
postcard, cover buku dan bandana dengan visual cukil”.
“Konsep awal mebuat produk pakai yang pertama adalah
membuat kaos dengan harga murah dan artistik agar
semua orang bisa memakai dan mengkonsumsinya”.
“Kedua, aku membuat kaos itu memiliki konten pesan
yang ingin aku sampaikan kepada masyarakat, karena aku
berfikir bahwa kaos itu juga sebagai media kampanye
bagiku untuk mensosialisasan ide-ide dan gagasanku
secara lebih luas, masif, mobile dan dapat menyalurkan
kesenanganku selain sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhan hidupku”. “Selebihnya dengan membuat
produk maka kita akan lebih dikenal secara personal dan
karater karya kita juga akan semakin luas dikenal
commit to user
masyarakat”.
perpustakaan.uns.ac.id 73
digilib.uns.ac.id

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa


latar belakang terjadinya komodifikasi pada karya seni grafis
Muhamad Yusuf dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut adalah adanya potensi ekonomi dari karya seni grafis,
keistimewaan karya seni grafis yang dapat dilipatgandankan,
memperluas jangkauan publik terhadap karya yang diciptakan,
adanya dorongan untuk menyampaikan pesan idealisme seluas
mungkin kepada masyarakat, dapat menyalurkan hobi berkarya,
serta ingin mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari
masyarakat sebagai seorang seniman. Adanya pernyataan
Muhamad Yusuf yang menjelaskan bahwa dengan menciptakan
sebuah produk yang dapat berguna bagi masyarakat akan
membantu mengenalkan diri dan karakter karyanya secara lebih
luas dan masif, hal ini yang kemudian mendorongnya untuk
melakukan proses komodifikasi pada tahun yang sama ketika
karya grafis konvensionalnya diciptakan.

3. Proses Terjadinya Komodifikasi Seni Grafis di Yogyakarta

Terdapat sebuah proses yang panjang dalam praktik komodifikasi


seni grafis yang terjadi di Yogyakarta. Proses panjang ini dapat diamati
dan dianalisa berdasarkan modifikasi yang dilakukan oleh seniman Sri
Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf terhadap karya-karya grafis
konvensional mereka.

a. Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Pada Seni Grafis Sri


Maryanto

Titik awal munculnya ide utntuk mengkomodifikasikan karya


seni grafis Sri Maryanto adalah ketika Ia mendirikan sebuah usaha
yang bernama ORABER Total Produk Grafis. Hal ini terlihat dari
sejarah nama “ORBER Total Produk Grafis” dan proses awal
munculnya ide untuk mengkomodifikasikan karya-karya grafis
konvensionalnya yang tertulis dalam situs online resmi milik Sri
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 74
digilib.uns.ac.id

Maryanto yang beralamatkan di http://oraber.blogspot.com/ (di akses


pada 8/11/2014) yang isinya menjelaskan sebagai berikut.

“Akhir tahun 2003, masih kuliah di Institut Seni Indonesia


(ISI) Yogyakarta, semester V, keluar ide untuk membuat
merchandise dari karya seni murni”. “Sambil menyelam
minum air, selain menghasilkan dapat pula berpameran setiap
saat, tanpa ruang pamer yang konvensional!”. “Untuk itu, aku
perlu nama merek produk”. “Ternyata sulit cari istilah yang
pas, karena buntu”. “Akhirnya keluar ucapan ora bermerek”
saja!’(dalam bahasa Indonesia: tidak bermerek). “Eureka!
ketika suku kata terakhir dihapus, muncul kata
oraber...aha..!!”. “Sebuah kata baru yang terasa akrab di
telinga!”. “Kata oraber ternyata cocok juga dengan sikapku
pribadi tentang persoalam label dan sekitarnya”. “Kemudian
tambahan kalimat total produk grafis, sebagai penjelasan
wilayah eksplorasi produk akhir, karena teknik grafis adalah
menggandakan karya namun tetap asli!”.

Berdasakan pernyataan tersebut memperlihatkan keseriusan


Sri Maryanto dalam melakukan proses komodifikasinya, hal ini
ditunjukan dengan menciptakan sebuah brand ORABER Total Produk
Grafis untuk setiap produk yang diciptakannya. Sri Maryanto dalam
proses komodifikasi karya grafisnya banyak menggunakan teknik
cetak tinggi dan cetak saring, hal ini dilakukan karena beberapa alasan
(wawancara pada 8/11/2014) sebagai berikut.

“Karena pertimbangan kepraktisan saja!”...“pada awalnya saya


cetak langsung hardboard di atas kaos”, “tapi karena kualitas
tinta cetak yang gampang pudar di atas kaos, lalu desain cukil
kayu dipindah ke sablon”. “Belakangan...karakter “cukil” yang
lebih kuat pada produk-produk saya”, “Mungkin? karena lebih
tampak kesan manualnya”
Tidak hanya persoalan teknis saja, namun dalam menjaga
minat konsumen serta keberlangsungan proses produksinya Sri
Maryanto pun telah melalukan beberapa strategi ekonomi (wawancara
pada 8/12/2014) yang dijelaskan sebagai berikut.

“Harga produk yang dipasarkan sama dengan benda yang ada


di pasaran, terkadang agak lebih mahal sedikit karena produk
commit to user
yang dibuat terbatas (limited edition)”. “Prinsip ekonomi
perpustakaan.uns.ac.id 75
digilib.uns.ac.id

seperti jumlah modal dan tenaga juga menjadi faktor harga


jual, agar bisa produksi lagi!”
Beberapa jenis produk pakai (merchandise) dari hasil
komodifikasi karya seni grafis konvenisonal Sri Maryanto meliputi
kaos, tas dan kalender. Wujud dan bentuk dari karya grafis Sri
Maryanto sebelum dan sesudah proses komodifikasi tersebut dapat
diamati dan di analisa secara visual sebagai berikut.
Karya Sri Maryanto (lihat gambar 4 dan 5) tersebut merupakan
sebuah karya grafis dengan teknik cetak tinggi, di dalam prosesnya
master plat karya tersebut dicukil sampai habis secara bertahap untuk
memunculkan gradasi warna pada setiap hasil cetakannya. Setelah
dicukil, master plat tersebut kemudian dibubuhi oleh tinta cetak
dengan menggunakan rol karet dan pada akhirnya dicetak/transfer
pada media kertas. Secara fisik kedua karya tersebut memiliki dimensi
ukuran sebesar 30 cm x 20 cm dan kedua karya tersebut diciptakan Sri
Maryanto pada tahun 2008.

Gambar 4. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “KissBoy” dan Sisi Kanan Hasil
Produk Kaos dari Sri Maryanto yang Dicetak Langung pada Kaos dengan Teknik
Cetak Tinggi , Tahun Pembuatan 2008
(Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2008)

Karya yang berjudul “Kissboy” menggambarkan seorang anak


laki-laki mengenakan kaos bergaris-garis horisontal yang sedang
tersenyum diantara rerumputan dengan unsur warna biru yang sangat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 76
digilib.uns.ac.id

dominan. Pada mata kanan laki-laki tersebut terlihat seperti tatto


berbentuk biomorfik berwarna biru tua dengan sudut yang runcing.
Sedangkan pada karya yang berjudul “Malaikat Maut” (lihat
gambar 5) tergambar sebuah kepala yang pada bagian atasnya terlihat
sesosok seperti manusia dengan jubah berwarna hitam dan pada
background karya tersebut terdapat tulisan ORABER berwarna hijau.

Gambar 5. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “Malaikat Maut” dan Sisi Kanan
Produk Kaos dari Sri Maryanto yang Dicetak Langung pada Kaos dengan Teknik
Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2008
(Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2008)

Sosok kepala tersebut dikalungi dengan berbagai bunga pada


bagian lehernya dan dengan bentuk bintang pada bola mata. Warna
merah dan hitam menjadi sangat dominan pada karya “Malaikat
Maut” tersebut. Komposisi yang digunakan pada karya “Kissboy” dan
“Malaikat Maut” adalah tertutup atau memusat pada bagian tengah
dan terlihat sebuah tekstur semu dari kedua karya tersebut yang
muncul akibat adanya efek dari cukilan-cukilan yang membentuk
sebuah garis lengkung, zig-zag dan lurus. Kesan dimensi ruang sangat
terlihat pada karya tersebut sehingga visual yang ditampilkan terkesan
hidup dan dinamis.
Jika diamati secara lebih detail pada karya “Kissboy” terlihat
sosok laki-laki yang misterius dengan senyumnya dan sorot matanya
yang penuh ancaman. Kedinginan dan ketenangan figur laki-laki
tersebut didukung oleh penggunaan
commit to userwarna biru yang secara qualisign
perpustakaan.uns.ac.id 77
digilib.uns.ac.id

merupakan tanda ketenangan, kedalaman dan sesuatu yang dingin.


Garis-garis lurus dan tajam pada rumput memberikan intepretasi
sebuah ketegasan dan sifat yang kaku. Secara konsep visual Sri
Maryanto telah berhasil memberikan kesan dingin dan kaku dari sosok
laki-laki dalam karyanya. Hal ini diperkuat dengan pengolahan warna,
komposisi, dimensi ruang dan teknis penggarapan yang sempurna.
Sedangkan pada karya “Malaikat Maut” dominasi warna hitam pada
latar belakang karya dan jubah yang digunakan figur yang berdiri
diatas kepala secara qualisign memberikan tanda kesedihan,
kesuraman, kematian, kekejaman dan teror. Hal ini memperkuat judul
yang diangkat dalam karya sebagai malakat pencabut maut. Sri
Maryanto dalam hal ini telah berhasil memunculkan kesan-kesan
mencekam dalam karyannya.
Proses penciptaan pada karya ini (lihat Gambar 3 dan 4)
dilakukan secara bersamaan dengan proses komodifikasi dari karya
grafis Sri Maryanto yang kemudian ditransformasi kedalam bentuk
sebuah kaos dengan visual, ukuran dan teknik yang sama dari kedua
karya konvensional tersebut. Dalam prosesnya master plat yang telah
dicukil dan dibubuhi tinta cetak ternyata tidak hanya ditransfer pada
media kertas melainkan dilakukan juga pada media kaos.
Proses ini harus dilakukan secara bersamaan karena teknik
cukil yang dilakukan oleh Sri Maryanto adalah dengan sistem
pewarnaan reduksi/cukil habis. Sistem reduksi/cukil habis merupakan
proses pewarnaan dalam teknik cukil kayu yang dapat menghasilkan
banyak warna atau gradasi warna dalam satu karya, dimana dalam
prosesnya master plat kayu/hardboard yang telah dibuat rancangan
gambarnya dicukil habis dan dibubuhi tinta cetak secara bertahap
sesuai dengan rancangan warna yang akan dimunculkan, kemudian
ditransfer/dicetak pada media cetak seperti kertas maupun kaos dan
proses ini dilakukan secara terus menerus higga karya tersebut
menghasilkan warna secara gradasi atau telah dianggap selesai oleh
commit ini
senimannya. Sistem reduksi to user
mengakibatkan rusaknya master plat
perpustakaan.uns.ac.id 78
digilib.uns.ac.id

kayu sehingga dalam proses pembuatan karya grafis konvensional dan


produknya dilakukan secara bersamaan oleh Sri Marnyanto.

Gambar 6. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “Tan Malaka” dan Sisi
Kanan Hasil Produk Kaos Sri Maryanto, Dicetak Pada Kaos dengan Teknik
Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2008
(Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2008)

Karya berikutnya (lihat Gambar 6 dan 7) adalah sebuah karya


grafis konvensional dengan teknik cetak tinggi yang memvisualkan
tokoh-tokoh pahlawan bangsa Indonesia seperti Tan Malaka dan Tirto
Suryo Adi. Kedua karya tersebut memiliki dimensi ukuran 100cm x
80cm yang dicetak pada media kertas pada tahun 2008. Warna yang
dominan dalam karya tersebut adalah hitam, putih dan merah. Pada
gambar 5 terihat sosok potret wajah pejuang Tan Malaka dengan
unsur garis putih yang dihasilkan oleh efek cukilan dengan latar
belakang karya berwarna hitam. Dibagian belakang potret Tan Malaka
terlihat tulisan “Tan Malaka” dan keterangan Tahun “1897-1999”
berwarna merah yang sekaligus mengontraskan objek utama yang
berwarna putih. Karater wajah dibentuk melalui penumpukan-
penumpukan unsur garis lurus, melengkung, dan zig-zag. Format
komoposisi yang digunakan adalah tertutup dan rata tengah dengan
bentuk wajah yang sedikit condong kearah kiri. Gelap terang pada
karya ini sangat terlihat sehingga menghasilkan kesan dimensi dan
hidup pada sosok Tan Malaka. Secara semiotika, warna merah dan
commit portret
hitam pada latar belakang to user wajah Tan Malaka bukan saja
perpustakaan.uns.ac.id 79
digilib.uns.ac.id

sebagai unsur kontras untuk membedakan objek utama dengan latar


belakangnya, tetapi juga merupakan qualisign yang menandakan
kedalaman bidang. Warna hitam pada latar belakang secara qualisign
menyiratkan kekokohan, keagungan, keabadian, dan kebijaksaan.
Sedangkan warna putih pada potret wajah Tan Malaka menandakan
kejujuran, kesucian, kemurnian, ketulusan, kehormatan dan
kedamaian. Secara keseluruhan karya Sri Maryanto telah berhasil
menyampaikan pesan perjuangan dal diri Tan Malaka yang penuh
kejujuran, ketegasan dan kedamaian.

Gambar 7. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “Tirto Suryo Adi” dan
Sisi Kanan Hasil Produk Tas Sri Maryanto, Dicetak pada Tas dengan
Teknik Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2008
(Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2008)

Sedangkan pada gambar 7 terlihat sesosok pahlawan Tirto


Suryo Adi yang mengenakan “belangkon” pada kepalanya. Dari aspek
warna karya ini memiliki persamaan pada karya “Tan Malaka”
dimana latar belakang karya ini berwarna hitam, merah dan putih pada
sosok Tirto Suryo Adi. Pada bagian belakang sosok Tirto Suryo Adi
terlihat sebuah tulisan “Tirto Suryo Adi dan keterangan tahun 1880”
yang diberi warna merah. unsur garis lengkung sangat dominan pada
potret wajah Tirto Suryo Adi. Gelap terang pada bagian wajah sangat
terlihat sehingga memberikan kesan berdimensi ruang dan hidup.
Secara keseluruhan karya ini juga telah berhasil memberikan kesan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 80
digilib.uns.ac.id

keagungan dan kesucian pada sosok Tirto Suryo Adi yang merupakan
seorang pahlawan bangsa.
Kedua karya ini kemudian dicetak ulang dalam bentuk produk
kaos dan tas, namun dalam proses komodifikasinya sedikit berbeda
dengan produk sebelumnya. Ia melakukan proses pengolahan kembali
pada karya grafis konvensionalnya untuk menyesuaikan proses cetak
yang tepat pada bidang media kaos dan tas. Proses pengolah ulang ini
dilakukan secara digital untuk menciptakan master film yang nantinya
akan digunakan dalam proses cetak saring. Proses pengolahan tersebut
tidak hanya berhenti pada pembuatan master film untuk cetak saring,
namun sebelum itu telah dilakukan terlebih dahulu penyesuaian
ukuran visual dengan luas bidang produk pakai yang akan dicetak
secara masif. Teknis cetak yang dilakukan oleh Sri Maryanto dalam
produk ini (lihat gambar 6 dan 7) adalah dengan menggunakan teknik
cetak saring karena dianggap paling efektif dan efisien dalam proses
pengaplikasiannya pada media kaos dan tas.
Sedangkan pada produk kalender (lihat gambar 8) yang dibuat,
master plat telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan ukuran media cetak yang akan diproduksi. Dalam hal ini
master plat cukil yang telah dicukil langsung dicetak pada media
kertas tanpa proses pengolahan ulang.

Gambar 8. Sisi Kiri Proses Produksi Kalender dan Sisi Kanan Hasil Produk
Kalender dari Sri Maryanto yang Dicetak Langsung Pada Kertas dengan
Teknik Cetak Tinggi dan Dibuat pada Tahun 2010
(Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2010)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 81
digilib.uns.ac.id

Produk ini (lihat gambar 8) memiliki perbedaan dibandingkan


dengan produk-produk lainnya yang telah diciptakan oleh Sri
Maryanto sebelumnya, sebab master plat yang diciptakan telah
dimodifikasi dan disesuaikan dengan keperluan cetak produk
kalender. Visual yang ditampilakan pada karya ini adalah sesok wajah
yang menggunakan topeng berwarna hitam dengan senyum lebar.
Pada karya ini telihat tulisan tahun “2011” berwarna hitam dan tulisan
“Calendar” berwarna coklat yang menandakan bahwa karya ini
diciptakan untuk produk kalender pada tahun 2011. Secara
keseluruhan karya ini memiliki kualitas garis, warna dan teknik cetak
yang baik sehingga memberikan kemudahan bagi pembaca untuk
melihat konten tanggal pada produk kalener ini.

b. Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Seni Grafis Bayu Widodo

Berbeda dengan Sri Maryanto, munculnya ide untuk


melakukan praktik komodifikasi seni grafis pada Bayu Widodo
berawal dari sebuah kekagumannya terhadap seni grafis. Hal ini
terlihat dalam pernyataan Bayu Widodo (wawancara pada 6/12/2014)
yang dijelaskan sebagai berikut.

“Karena dengan teknik grafis aku bisa bereksperimen,


mencoba metode yang baru serta dapat memenuhi kebutuhan
hidupku dan grafis memiliki modal produksi yang lebih murah
dibandingkan dengan karya seni lainnya”.
Tidak hanya rasa kekagumannya terhadap seni grafis Bayu
Widodo pun melalukan beberapa strategi dalam menciptakan berbagai
inovasi dalam rangka menjaga minat konsumen serta keberlangsungan
produksi dari produk-produk merchandise yang Ia ciptakan. Hal ini Ia
jelaskan seccara detail (wawancara pada 6/12/2014) sebagai berikut.

“Aku selalu berfikir bagaimana menciptakan sesuatu visual


yang sederhana, unik, kreatif dan tidak boleh sama dengan
orang lain”. “Tidak dipungkiri bahwa sesungguhnya karya seni
merupakan sebuah pengulangan-pengulangan dari karya-karya
sebelumnya dari tahun
commit ke tahun, tapi kita harus mampu
to user
mengumpulkan dan menyatukan semua yang ada menjadi satu
perpustakaan.uns.ac.id 82
digilib.uns.ac.id

yang baru dan berbeda”. “Dan aku rajin mengikuti beberapa


event di Jakarta, Bandung, Timor Leste dan Australia agar
produk merchandiseku dapat berjalan dan terus
menghidupiku”.
Bayu Widodo memiliki beberapa kriteria dalam menentukan
harga produk merchandise yang Ia produksi. Kriteria tersebut Bayu
Widodo jelaskan sebagai berikut (wawancara pada 6/12/2014).

“Pertimbanganya adalah modal produksi yang kita keluarkan,


jumlah barang yang yang diproduksi terbatas (limited
edition)”. “Terkadang aku juga melihat kemampuan daya beli
konsumenku, seperti ketika aku kemarin ke Australia tentu
harga produkku akan lebih mahal dibandingkan di Indonesia
tetapi aku tetap menyesuaikan harga pasaran merchandise di
Australia yang berada di sekitar harga duapuluh dolar disetiap
produknya”.

Beberapa jenis produk merchandise dari hasil komodifikasi


karya seni grafis konvensional Bayu Widodo berupa sebuah kaos,
emblem dan kartu pos. Wujud dan bentuk Karya Bayu Widodo
sebelum dan sesudah proses komodifikas mengalami beberapa
perubahan-perubahan secara fisik. Proses dan perubahan-perubahan
ini dapat diamati sebagai berikut.

Gambar 9. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “The Last Tree” dan Sisi
Kanan Produk Kaos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan Teknik Cetak
Saring, Tahun Pembuatan 2012
(Sumber: Dokumentasi Bayu Widodo, 2012).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 83
digilib.uns.ac.id

Karya tersebut (lihat gambar 9) dibuat pada tahun 2012 dan


dalam karya tersebut divisualkan sebuah pohon berkepala tengkorak
dengan bagian bola mata dan gigi yang menonjol keluar serta pada
bagain bawah terlihat sebuah akar yang bertuliskan survive dan karya
tersebut dicetak sebanyak 30 edisi dengan menggunakan satu warna
hitam. Komposisi bidang yang digunakan adalah tertutup dan
memusat pada posisi tengah dengan permainan unsur garis lengkung
dan lurus. Makna kata survive dalam karya ini adalah memperkuat
pesan tentang sebatang pohon yang mencoba untuk tetap bertahan
hidup dari ancaman kematian. Visual tengkorak pada karya tersebut
menyiratkan sebuah ancaman atau kematian yang sekaligus
memperkuat pesan dalam karya ini. Secara keseluruahan visual dalam
karya ini Bayu widodo telah berhasil dengan baik menyampaikan
pesannya, karena karya ini dapat dipahami secara nyata dan jelas oleh
publik.
Kemudian setelah karya tersebut diciptakan, Bayu Widodo
melakukan proses modifikasi dengan mencetak ulang karya tersebut
menjadi sebuah produk merchandise, dalam wujud sebuah kaos
berwarna putih. Secara detail desain visual dari hasil karya “The Last
Tree” tersebut diolah secara digital untuk menciptakan master film
untuk keperluan proses cetak saring dan kemudian dicetak ulang
melalui proses teknik cetak saring. Produk kaos yang diciptakan Bayu
Widodo ini telah mengalami beberapa proses perubahan. Perubahan
ini dapat dilihat dari sisi visual, seperti warna yang berubah, ukuran
karya yang berubah dan penghilangan unsur background dari karya
asli yang berjudul “The Last Tree”.
Karya berikutnya (lihat Gambar 10) merupakan karya grafis
dengan teknik cetak saring. Karya ini memiliki dimensi ukuran 40cm
x 55cm yang dicetak sebanyak 10 edisi. Karya ini memvisualkan
sebuah bentuk potongan tangan yang diisi dengan gedung-gedung
bertingkat seperti hotel dan mall berwarna coklat tua dan coklat muda
commitgedung-gedung
serta pada sisi terluar objek to user diselimuti oleh tumbuhan-
perpustakaan.uns.ac.id 84
digilib.uns.ac.id

tumbuhan yang merambat keseluruh bagian dari bawah hingga


menuju ke atas. Karya ini diciptakan pada tahun 2014 dengan judul
“Less Hotel More Park”. Unsur warna coklat tua, coklat muda sangat
dominan pada karya ini dengan perpaduan warna hijau yang
menyelimuti di seluruh visual gedung-gedung.

Gambar 10. Sisi Kiri Karya Cetak Saring Berjudul “Less Hotel More Park”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan
Teknik Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2014
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Garis melengkung vertikal keats sangat dominan terlihat pada


karya ini dengan perpaduan tulisan-tulisan mall dan hotel. Bagian
ujung gedung terlihat visual bentuk pemancar satelit, piramida dan
bendera. Komoposisi bidang yang digunakan adalah tertutup dan rata
pada bagaian tengah. Unsur warna coklat berasosiasi dengan tanah,
warna tanah atau warna natural dan hijau secara qualisign
memperlihatkan sifat segar, hidup, dan tumbuh. Pesan yang inin
disampaikan Bayu Widodo adalah sebuah kritik atas hilangnya lahan-
lahan subur bagi tumbuh-tumbuhan yang kemudian berganti dengan
gedung-gedung tinggi pencakar langit. Secara keseluruhan visual
dalam karya ini telah berhasil dengan baik membawa pesan sosial
terhadap kondisi lingkungan di Yogyakarta saat ini.
Bayu Widodo kemudian menciptakan produk kaos dari visual
karya grafis tersebut commit
dengantoteknis
user cetak, dan ukuran visual yang
perpustakaan.uns.ac.id 85
digilib.uns.ac.id

sama, namun Ia melakukan pengolahan ulang dari sisi visuaal dengan


menambahkan sebuah kata “Less Hotel More Park” yang merupakan
judul dari karya tersebut pada bagian bawah dari visual karyannya.

Gambar 11. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “Owl” dan Sisi Kanan
Hasil Produk Emblem dari Bayu Widodo, Dicetak dengan Teknik Cetak
Saring, Tahun Pembuatan 2012
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Bayu Widodo pada tahun 2012 membuat sebuah karya cukil


yang berjudul “Owl” (lihat Gambar 11). Karya ini berukuran 25cm x
10cm dengan visual burung hantu yang sedang berdiri pada sebuah
batang pohon dan pada sisi sebelah kanan burung hantu tersebut
terdapat tulisan SURVIVE!. Karya ini dicetak pada selembar kertas
sebanyak 30 edisi dengan satu unsur warna hitam. Garis yang
digunakan dalam karya ini adalah lengkung dengan keseimbangan
asimetris. Format penempatan objek burung hantu pada sisi kiri
memberikan kesan yang dinamis. Secara keseluruhan karya ini
memiliki objek visual, warna dan garis yang minim. Sehingga karya
ini terlihat lemah dan sulit untuk dipahami secara visual.
Visualisai karya “Owl” ini kemudian dijadikan inspirasi untuk
menciptakan sebuah produk emblem. Proses pembuatan produk
emblem ini mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan pada karya
“Owl”, perubahan ini terlihat dari sisi visual, seperti warna yang
berubah, ukuran yang berubah, dan teknik cetak yang digunakan.
Produk emblem ini memiliki ukuran lebih kecil dari karya aslinya, dan
Ia menggunakan teknik cetak saring dalam hal ini sablon untuk
menciptakan produk emblem ini. Karya “Owl” ini secara visual
nampak berubah, dimana pada produk emblem tersebut hanya
menampilkan outline dari keseluruhan karya tersebut sedangkan pada
commit
bagian background telah to user
dihilangkan dan karya tersebut berubah
perpustakaan.uns.ac.id 86
digilib.uns.ac.id

menjadi warna merah. Jika dibandingkan dengan karya aslinya, visual


burung hantu digambarkan dalam bentuk outline saja dan memiliki
background berwarna hitam.

Gambar 12. Sisi Kiri Karya Cetak Saring Berjudul “Less Hotel More Park”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Emblem dari Bayu Widodo
Dicetak dengan Teknik Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2014
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Karya sablon yang berjudul “Less Hotel More Park” (lihat


Gambar 12) oleh Bayu Widodo kembali dijadikan sebuah produk
dengan jenis lain atau berbeda, yaitu berupa produk emblem. Karya
ini mengalami proses perubahan yang diolah secara digital dan dicetak
kembali pada sebuah kain dengan satu unsur warna hijau saja dan
secara ukuran mengalami proses pengecilan menjadi 12,5cm x 17cm.
Proses cetak pada produk ini masih sama seperti karya aslinya, yaitu
dengan teknik cetak saring.
Produk berikutnya (lihat Gambar 13) yang telah di ciptakan
berupa kartu pos. Sejarah karya asli dari produk ini adalah terdiri dari
delapan karya grafis yang dicetak dengan kertas cetak jenis fabriano
dan teknik cetak yang digunakan adalah silk screen (cetak saring)
yang dibuat oleh Bayu Widodo ketika melakukan residensi seni di
Megalo Print Studio Canbera, Australia pada tahun 2009. Karya ini
banyak mengangkat persoalan-persoalan sosial yang divisualkan
secara sederhana oleh Bayu Widodo. Kesederhanaan ini dapat pula
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 87
digilib.uns.ac.id

dilihat dari aspek judul-judul yang diciptakan oleh Bayu Widodo dari
kedelapan karya grafisnya tersebut.

Gambar 13. Sisi Kiri Karya Cetak Saring dan Sisi Kanan Hasil Produk
Kartu Pos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan Teknik Cetak Digital,
Tahun Pembuatan 2009
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Kedelapan karya tersebut berjudul “City of Nightmare”


dengan ukuran 50cm x 70cm, “Way of Living #2” dengan ukuran
50cm x 70cm, “Way of Living #1” dengan ukuran 50cm x 70cm,
“Human Building” dengan ukuran 60cm x 95cm, “Soft Drink”
dengan ukuran 60cm x 84cm, “Outsider” dengan ukuran 60cm x
90cm, “Clownsumerism” dengan ukuran 50cm x 70cm, “Trafficjam”
dengan ukuran 55cm x 88cm. Pada karya “City of Nightmare” terlihat
sesosok wajah manusia paruh baya berwarna oranye dengan kerut
wajah yang kuat. Pada bagian bawah sosok manusia itu terdapat
sebuah gedung-gedung yang terbentuk dari penggalan-penggalan
kepala tengkorak berwarna hijau tua dan hijau muda. Unsur garis
lurus, zig-zag dan melengkung sangat kuat terlihat dalam karya ini.
Garis-garis yang rumit mengesankan suasana yang tidak nyaman dan
mencekam ditambah ekspresi wajah manusia yang sedang merintih.
Secara keseluuhan visual karya ini memiliki kualitas garis dan warna
yang baik sehingga konten pesan yang disampaikan dapat terasa
dengan baik.
Visual karya yang berjudul “Way of Living #1” yang dibuat
pada tahun 2009 ini berisikan sosok manusia berwarna hitam yang
sedang berdiri di atas permukaan berwarna coklat dan berdiri di sudut
kanan dengan mengangkatkan tangan terbuka keatas. Di atas sosok
commit to user
manusia itu terlihat rumah berwarna-warni melayang-layang. Unsur
perpustakaan.uns.ac.id 88
digilib.uns.ac.id

garis yang muncul dalam karya ini adalah garis lurus dang lengkung
dengan perpaduan warna hijau, oranye, coklat, biru, merah, dan hitam
pada objek. Sedangkan latar belakang karya ini berwarna putih.
Pencampuran berbagai warna dalam satu bidang karya ini
memberikan kesan yang membingungkan. Hal ini kemudian diperkuat
oleh gestur dari sosok manusia mengangkat tangan yang memiliki
asosiasi menyerah dan pasrah. Jika kedua hal ini dikaitkan dengan
judul yang diangkat maka akan bertemu satu benang merah berupa
sebuah kebingunan terhadap kondisi lingkungan yang telah berubah.
Karya ini telah berhasil dengan baik menyampaikan pesan itu dengan
senderhana dan jelas. Kesan dan pesan ini pun sama terlihat pada
karya yang berjudul “Way of Living #1”, hanya saja ekspresi wajah
manusia pada karya ini lebih kuat dan diposisikan pada bagian sisi kiri
karya sedangkan pada sisi kanan terlihat objek rumah kecil yang
berwarna hijau. Kritik terhadap berubahnya kondisi lingkungan dalam
karya ini menjadi pesan yang utama untuk disampaikan kepada publik
secara luas.
Karya berikutnya berjudul “Human Building” yang dicetak
pada tahun 2009 ini memvisualkan sebuah sosok manusia bertubuh
gedung besar berwarna hitam yang berdiri diantara objek-objek
gedung lainnya yang berukuran kecil. Latar belakang karya ini
berwarna kuning tua dengan permukaan pada bagaian bawah
berwarna oranye. Unsur garis-garis lurus vertikal berwarna hitam pada
karya ini sangat dominan. Warna hitam secara qualisign menyiratkan
kekokohan, kekuatan dan ketegasan. Sedangkan warna kuning pada
latar belakang karya memberikan kesan sakit, penakut, iri dan luka.
Hal ini kemudian diperkuat dengan ekspresi raut wajah yang
meberikan kesan termenung, sedih dan kecewa. Secara keseluruhan
karya ini telah berhasil menyampaikan pesan kekecewan dari
senimannya.
Secara visual karya yang berjudul “Soft Drink” yang
diciptakan pada tahuncommit to user
2009 ini menggabarkan susunan repetisi gelas
perpustakaan.uns.ac.id 89
digilib.uns.ac.id

berjumlah 36 buah yang berisikan potongan-potongan tengkorak dan


sebatang sedotan berwarna kuning. Latar belakang karya ini berwarna
kuning. Susunan repetisi gelas-gelas tersebut membetuk sebuah garis
ilusif yang berbentuk vertikal dan horisontal. Kualitas garis yang
ditampilkan cukup baik untuk mempertegas objek gelas beserta
isinya, hal ini diperkuat dengan penggunaan warna objek gelas yang
kontras terhadap warna latar belakang dalam karya ini. Kumpulan
tengkorak dalam gelas ini meberikan kesan bahwa minuman ini
sangat berbahaya dan beracun, karena gambar tengkorak dapat
berasosiasi dengan sebuah kematian atau sesuatu yang
membahayakan. Secara sederhana karya ini telah mampu
menyampaikan pesan kepada publik tentang bahaya minuman “soft
drink” yang selama ini kita konsumsi.
Karya “Outsider” menampilkan sebuah visual garis-garis
melengkung membentuk sebuah figur manusia yang menggunakan
sebuah topeng wajah berwarna hijau. Bagian dalam pada figur
tersebut terisi sebuah objek berwarna merah dengan latar belakang
karya berwarna putih. Unsur garis melengkung pada karya ini sangat
dominan dengan perpaduan keseimbangan asimetris yang
memberikan kesan dinamis. Secara keseluruhan kualitas garis, warna
dan keseimbangan pada karya ini cukup baik. Karya berikutnya
berjudul “Clownsumerism”, yang memvisualkan sesosok badut
bermata besar berwarna kuning, berhidung bulat dan berbibir lebar
dengan warna merah. latar belakang keseluruhan karya ini berwarna
biru muda. Figur badut tersusun dari unsur garis tunggal yang
memiliki karakter melengkung dengan perpaduan isi dalam tubuh
badut tersebut berupa kumpulan merk dari beberapa produk benda
buatan negara asing. Konotasi badut dalam karya ini menyiratkan
sesuatu yang lucu, menarik dan meyenangkan. Apabila beberapa
objek dalam karya ini disatukan maka akan menghasilkan sebuah
kritik terhadap pemahaman manusia yang terjebak oleh budaya
commit to userdan sekaligus membodohi karena
konsumerisme yang mengasyikan
perpustakaan.uns.ac.id 90
digilib.uns.ac.id

kita semakin pasif dan tidak berfikir kreatif untuk menciptakan


sesuatu yang baru.
Karya terakhir pada seri ini berjudul “Trafficjam” yang
memperihatkan sebuah kemacetan kedaraan roda empat yang
diberikan warna coklat. Tidak hanya suasana kemacetan tetapi
terdapat figur-figur manusia yang dihasilkan dari sebuah garis hitam
yang terkurung dalam pusaran merah yang melayang terbang. Terlihat
sebuah garis ilusif yang terbentuk dari deretan kemacetan kendaraan
roda empat yang mengarah vertikal. Dimensi ruang pada karya ini
sangat terlihat karna adanya repetisi pusaran-pusaran merah yang
menyelimuti figur manusia dari ukuran terkecil hingga yang terbesar.
Karya ini mencoba memberikan sebuah kritik atas situasi kemacetan
kota yang sudah membuat setiap manusia terkurung oleh sesuatu yang
tidak pasti. Kualitas warna, garis dan dimensi ruang pada karya ini
sangat baik dan jelas terlihat sehingga dapat menyampaikan pesan
dengan nyata kepada publik.
Semua karya tersebut kemudian dicetak kembali secara digital
menjadi sebuah produk kartu pos dengan ukuran yang lebih kecil.
Ukuran kartu pos tersebut berdimensi 11,5cm x 15cm dan di cetak
pada kertas print berjenis ivory dan dicetak pada tahun yang sama.

c. Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Seni Grafis Muhamad


Yusuf
Muhamad Yusuf dalam praktik komodifikasinya menggunakan
proses manual dengan teknik cetak tinggi berupa cukil kayu, hal ini
dilakukan karena beberapa alasan (wawancara pada 22/11/2014)
sebagai berikut.

“Proses cetak yang aku lakukan masih manual,...dimana


master plat yang telah aku cukil aku cetak pada kaos, emblem,
kalender, cover buku dan kartu pos secara langsung”.
...“Proses cetak yang manual ini aku tetap pertahankan karena
aku hidup banyak dari proses itu, dan hal itu dapat memenuhi
kebutuhan hidupku sampai sekarang”. “Teknik cukil ini pun
commit
memiliki karakter to user yang tidak bisa dicapai dengan
tersendiri
perpustakaan.uns.ac.id 91
digilib.uns.ac.id

teknis lainnya dalam seni grafis dan hal ini pun aku sadari
sudah menjadi karakter dari produkku yang berbeda dengan
produk-produk orang lain”. “Walapun daya tahan warna pada
produkku tidak sekuat sablon, akan tetapi tidak akan
menghilang keseluruhan gambarku, hanya mungkin
memudar,...itupun tergantung dengan intensitas pemakaian”.
“Terkadang konsumen yang suka dengan gambar kaosku
dipakai terus”,...“Ya tetap saja akan lebih cepat memudar!”.
“Teknik cukil ini bagiku lebih efektif dan efisien secara
pengerjaan, karena master platku masih tetap ada dan masih
bisa produksi kapan saja berbeda dengan sablon, ketika proses
produksi selesai maka master film dalam screen akan
dibersihkan dan tidak bisa untuk memproduksi kembali”.

Secara sadar Muhamad Yusuf pun tidak selalu memikirkan


persoalan teknis memproduksi dari produknya tetapi Ia juga
melalukan beberapa strategi ekonomi guna menarik daya beli
masyarakat dan menjaga minat konsumen terhadap produk yang
diciptakannya. Hal ini dijelaskan Muhamad Yusuf (wawancara pada
22/11/2014) sebagai berikut.

“Aku sering terjun ke masyarakat untuk bikin acar di


masyarakat tersebut dan aku selalu bawa isu tentang
masyarakat itu dengan membuat desain kaos....dengan
cukilanku”....“Aku memberikan free cetak kepada masyarakat
itu yang membawa kaos, dan setelah acara tersebut selesai aku
memiliki hak atas desainku itu dan kemudian dicetaklah
kembali untuk memenuhi kebutuhan hidupku”. “Produk
merchandise aku buat unlimited dan sangat tidak terbatas, dan
konsumen dapat memilih desainku sesukanya dengan sistem
made to order”, “mereka pesan dan aku buatkan!”. “Pada
awalnya aku memulai menjual produk-produkku dengan harga
yang termurah, seperti kaos aku jual Rp 15.000 per
buah,...emblem Rp 2000 per buah, dan penentuan harga itu aku
lakukan bertahap”....
Muhamad Yusuf memiliki beberapa kriteria dalam
menentukan harga produk merchandise yang Ia produksi. Kriteria
tersebut Muhamad Yusuf jelaskan sebagai berikut (wawancara pada
3/12/2014).

“Faktor yang pengaruhi harga produkku itu,...proses kerjanya


commit to user
yang meliputi:...kualitas bahan, tingkat kerumitan, lama
perpustakaan.uns.ac.id 92
digilib.uns.ac.id

pengerjaan, dan ukuran karya”. ....“Faktor lainnya


adalah...refrensi harga lama dan kemampuan daya beli
masyarakat terhadap produkku”....

Jenis produk merchandise Muhamad Yusuf dari hasil proses


komodifikasi karya seni grafis berupa sebuah kaos, emblem, kalender
dan kartu pos. Wujud dan bentuk Karya Muhamad Yusuf Sebelum
dan sesudah proses komodifikasi dapat diamati sebagai berikut.

Gambar 14.Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “Kretek Butuh Korek”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Muhamad Yusuf yang Dicetak
Langsung dengan Teknik Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2014
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Karya Muhamad Yusuf ini (lihat gambar 14) merupakan


sebuah karya grafis dengan teknik cetak tinggi yang dicetak pada
media kertas. Karya ini diciptakan Muhamad Yusuf pada tahun 2014
dengan ukuran 21cm x 30cm dan dicetak dengan unsur warna hitam.
Secara visual karya ini menggambarkan sebuah kemasan rokok
dengan figur jari pada bagaian isi kemasan serta bertuliskan beberapa
kata-kata seperti “Kretek butuh korek”, “Benci boleh asal santun”, dan
“Maaf Saya Perokok Tapi Bukan Pembunuh Seperti Philip Morris”.
Bojek dalam karya ini merupakan penggabungan dari unsur geometris
dan sedikit unsur bidang organik. Perspektif objek dalam karya ini
sangat terlihat sehingga menimbulkan kesan dimensi ruang. Unsur
garis lurus dan melengkung sangat mendominasi karya ini. Konten
pesan dalam karya ini sangat terlihat dari tulisan-tulisan yang di
commit
sisipkan oleh Muhamad to user
Yusuf pada karya ini. Secara menyeluruh
perpustakaan.uns.ac.id 93
digilib.uns.ac.id

karya ini memiliki kualitas garis, bidang, warna dan teknis


penggarapan yang baik.
Karya yang berjudul “Kretek Butuh Korek” ini kemudian di
aplikasikan pada sebuah media kaos berwarna biru dengan teknis yang
sama yaitu cetak tinggi. Secara visual pada produk ini tidak
mengalami perubahan namun master plat hardboard pada produk ini
telah disesuaikan atau dengan kata lain telah mengalami proses
kmodifikasi sehingga dapat dicetak pada media kaos secara masif.
Karya berikutnya adalah sebuah karya grafis dengan teknik
cetak tinggi yang dicetak pada media kertas berukuran 42cm x 30cm
(lihat Gambar 15). Karya ini berjudul “Dewi Saraswati” yang dibuat
pada tahun 2014. Karya ini menggabarkan sosok Dewi Saraswati yang
sedang memegang beberapa alat musik dengan sebuah tulisan “God of
Art” pada bagaian belakang kepalanya. Karya ini dicetak dengan
unsur warna merah dan pada bagaian bawah dari kaki Dewi Saraswati
terdapat tulisan “Saraswati Devi”. Karya ini dibuat oleh Muhamad
Yusuf dengan cukup detail hal ini dapat terlihat dengan banyaknya
cukilan-cukilan garis yang membentuk sebuah ornamen bunga.
Kekuatan unsur garis pada karya ini sangat menonjol karena
semua objek yang hadir merupakan kolaborasi dari bebrapa unsur
garis lengkung, lurus, zig-zag dan garis gabungan bebas. Dimensi
ruang dalam karya ini pun terlihat jelas sehingga memberikan kesan
hidup pada sosok Dewi Sraswati. Pesan yang tersirat dalam karya ini
adalah ingin menujukan bahwa
Dewi Saraswati adalah seorang dewi yang mencintai kesenian
dan dengan kesenian kita akan serupa dengan Dia. Secara keseluruhan
karya ini memiliki unsur garis, warna, dimensi ruang dan teknik cetak
yang baik. Karya Muhamad Yusuf ini kemudian diaplikasikan pada
sebuah media kaos berwarna putih dengan perubahan visual Dewi
Saraswati yang dicetak dengan warna hitam. Proses cetak pada kaos
tersebut sama seperti pada karya aslinya, dimana Muhamad Yusuf
commit to user
mencetak visualnya menggunakan teknik cetak tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id 94
digilib.uns.ac.id

Gambar 15. Karya Cetak Tinggi Berjudul “Dewi Saraswati” dan Produk
Kaos dari Muhamad Yusuf yang Dicetak Langsung dengan Teknik Cetak
Tinggi, Tahun Pembuatan 2014
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Secara visual poduk kaos ini tidak mengalami perubahan


bentuk yang signifikan, hanya saja warna yang digunakan dirubah dari
warna merah menjadi warna hitam. Pada produk ini master plat
hardboard telah mengalami proses komodifikasi sama seperti master
plat karya sebelumnya sehingga tidak diperlukan pengolahan ulang
dari aspek ukuran.
Karya selanjutnya masih sama seperti karya-karya sebelumnya
dimana karya ini merupakan karya grafis dengan teknik cetak tinggi
yang diaplikasikan pada media pada media kertas berukuran 30cm x
25cm (lihat gambar 16).
Karya ini berjudul “Matinya seorang petani” yang
digambarkan oleh Muhamad Yusuf dengan munculnya penodongan
senapan pada sosok seorang petani laki-laki bertopikan camping yang
sedang memikul sebuah cangkul pada bahu kanannya. Di bagian
belakang dari sosok pentani laki-laki tersebut terdapat pula sosok
wanita berkerudung yang sedang menggendong seorang anak kecil,
wanita tersebut memegang sebuah bendera yang bertuliskan “Tanah
dan darah memutar sebuah sejarah, dari sini nyala api, dari sini damai
abadi”. Pada bagian sisi bawah dari sosok tersebut terdapat pula
tulisan yang berbunyi “Kami beri makan kamu balas dengan senapan,
commit to user
darah yang tumpah menyuburkan tanah kami berlipat ganda”.
perpustakaan.uns.ac.id 95
digilib.uns.ac.id

Gambar 16. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “Matinya Seorang
Petani” dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Muhamad Yusuf yang
Dicetak Langsung dengan Teknik Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2014
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Keseluruhan objek dalam karya ini dikemas dalam satu warna


hitam. Unsur garis melengkung dan berbentuk horisontal sangat
terlihat dalam karya ini. Efek cukilan yang membentuk garis lurus,
lengkung, dan zig-zag menghasilkan sebuah tekstur semu pada
permukan kulit kedua petani tersebut sehingga memberikan kesan
hidup. Warna hitam pada karya ini menyiratkan sebuah kedukaan,
ancaman dan kematian. Hal ini diperkuat dengan tulisan-tulisan yang
bernada sebuah kekecewaan, kemarahan dan perasaan cemas. Karya
yang diciptakan Muhamad Yusuf ini syarat dengan pesan sosial
tentang tidak keadilan yang menimpa kehidupan para petani saat ini.
Tidak hanya karya konvesional namun Muhamad Yusuf pun
mengaplikasikan karya ini pada media kaos dengan teknik cetak yang
sama seperti karya aslinya.
Karya emblem dan kartu pos ini (lihat gambar 17 dan 18)
memvisualkan sesosok pria yang sedang menggendong wanita lemah
dengan dominasi warna hitam. Garis yang digunakan dalam karya ini
adalah unsur garis lurus, diagonal dan lengkung dengan sudut-sutu
garis yang berbentuk runcing. Karya ini menampilkan sebuah tulisan
yang berbunyi “demi keamanan dan ketertiban umum” pada bagian
atas dua sosok manusia tersebut sedangkan pada sisi bawah teselip
aebuah kalimat “senjata dan kekerasan bukan alat kuasa atas nilai
perdamaian”. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 96
digilib.uns.ac.id

Gambar 17. Sisi Kiri Master Plat Cetak Tinggi dan Produk Embelm Manual
dari Muhamad Yusuf yang Dicetak Langsung dengan Teknik Cetak Tinggi
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Kualitas garis yang lurus dengan sudut-sudut lancip


menyiratkan sebuah ketegasan dan peringatan. Hal ini selaras dengan
kalimat-kalimat yang tertulis pada karya ini. Secara utuh karya ini
ingin menegaskan bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang wajib
di lakukan dan senjata api bukan sebuah alat dalam mencapai
kedamaian dan ketertiban umum.

Gambar 18. Sisi Kiri Master Plat Cetak Tinggi dan Produk Katu Pos
Manual dari Muhamad Yusuf yang Dicetak Langsung dengan Teknik Cetak
Tinggi
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Kedua desain dari produk tersebut telah mengalami proses


pengolahan dari aspek ukuran
commit to usersehingga dapat diproduksi pada
perpustakaan.uns.ac.id 97
digilib.uns.ac.id

bidang cetak yang telah diinginkan seperti emblem dan kartu pos.
Proses pencetakan produk ini dilakukan secara manual dimana
master plat yang telah di cukil kemudian dicetakan secara langsung
tanpa sebuah proses pengolahan ulang dari sisi bentuk, ukuran
maupun warna.
Hal ini pun sama terjadi pada produk kalender yang
diciptakan Muhamad Yusuf pada tahun 2010, dimana kalender ini
diciptakan menggunakan sebuah desain yang meggunakan master plat
hardboard yang telah di cukil sedemikian rupa dan di cetak langsung
pada media kalender tersebut tanpa dilakukan proses pengolahan
ulang dari sisi bentuk, ukuran maupun warna.
Dalam produk kalender Muhamad Yusuf ini master plat
hardboard telah mengalami proses komodifikasi, dimana ukuran plat
cetak telah disesuaikan dengan media cetak kertas yang digunakan.
Karya ini memvisualkan dua sosok wanita dan satu pria dengan latar
belakang kerumulan orang dan sebuah ular seperti naga yang keluar
dari sebuah lubang.

Gambar 19. Produk Kalender Manual dari Muhamad Yusuf yang Dicetak
Langsung dengan Teknik Cetak Tinggi pada Tahun 2010
commit
(Sumber: to user
Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)
perpustakaan.uns.ac.id 98
digilib.uns.ac.id

Sosok wanita pertama merupakan seorang petani yang


membawa cangkul dan bertopikan camping, sedangan sosok wanita
kedua adalah seorang gadis berpakaian seragam dan bertopikan
pramuka dengan model rambut dikepang di sisi kanan dan kiri
wajahnya. Sedangkan sosok ketiga adalah seorang peria pekerja
tambang yang menggunakan helm dan baju kerja sambil memegang
sebuah perkakas kerja. Terdapat berbagai macam kalimat yang di
sisipi dalam karya ini seperti pada sudut kiri atas “tragedi negara
dibawah ketergantungan modal company” sedangkan pada bagian
bawah kalimat tersebut tertulis “bayar rugi ganti lunas” dan kalimat
selanjutnya yang berada di bawah tulisan tersebut berbunyi “soro
bareng seneng bareng”. Sudut kanan atas pada karya ini tertulis
sebuah kalimat “lapindo bersalah mengorbankan tanah, jiwa, raga,
rakyat 16 desa” dan pada bagian tengah karya dibawah sosok ular
terdapat kalimat bertuliskan “solidaritas korban lumpur menolak
lupa”. Berbagai kalimat dalam karya ini mencoba memberikan
pemahaman sekaligus sebuah kritik bahwa bencana lumpur lapindo
harus segera diselesaikan secara tuntas karna mengancam masa depan
anak-anak, petani dan para pekerja disana. Seacar keseluruhan visual,
dan teknik dalam karya ini dibuat dengan baik sehingga mampu
menyampaikan konten pesan seniman dengan sempurna.

B. Analisis Data dan Pembahasan


Guna mempermudah proses analisis data dan pembahasan hasil, maka
penulis melakukan proses identifikasi dan klasifikasi berdasarkan data lapangan
yang telah diolah dan diuraikan pada bab sebelumnya terhadap dugaan terjadinya
komodifikasi seni grafis di Yogyakarta, penyebab terjadinya komodifikasi seni
grafis di Yogyakarta dan proses terjadinya komodifikasi seni grafis di
Yogyakarta.
Berdasarkan proses analisa dan reduksi data, maka bentuk komodifikasi
pada objek karya seni grafis di Yogyakarta dapat dinarasikan sebagai berikut.
Sejarah seni grafis di Indonesia seperti yang telah dijelaskan oleh Tris Neddy
commit to user
Santo dan kawan-kawan menyatakan bahwa karya seni grafis pertama kali
perpustakaan.uns.ac.id 99
digilib.uns.ac.id

digunakan sebagai sebuah alat propaganda politik untuk kemerdekaan Indonesia


pada tahun 1940-1950 (Santo dkk, 2012: 104). Karya seni grafis pada masa ini
diposisikan sebagai karya terapan (applied art). Teknik dalam seni grafis
dimanfaatkan oleh beberapa seniman untuk menciptakan poster-poster
propaganda politik kemerdekaan.

Gambar 20. Poster Propaganda Politik Kemerdekaan Indonesia


Karya dari Affandi, Suromo, Abdul Salam dan Mochtar Apin
(Sumber: Repro dari Majalah Visual Arts, edisi Juni 2010, halaman 23-26.
Penerbit Jakarta: PT Media Visual Arts)

Propaganda berbasis pemanfaatan seni grafis ini dipelopori oleh Affandi,


Abdul Salam, Suromo, Baharuddin Marasutan dan Mochtar Apin. Namun
munculnya institut seni di Yogyakarta seperti ASRI (Akademi Seni Rupa
Indonesia) yang sekarang dikenal sebagai ISI Yogyakarta (Institut Seni Indonesia
Yogyakarta) telah membuat kedudukan seni grafis di Indonesia berubah.
Tokoh-tokoh seniman yang mencetuskan dan membangun pencitraan
baru seni grafis di Yogyakarta adalah seniman seperti Affandi, Suromo, dan
Abdul Salam. Pencitraan seni grafis yang dilakukan ketiga seniman ini merupakan
sebuah bentuk awal munculnya gejala praktik komodifikasi seni grafis di
Yogyakarta. Bentuk komodifikasi ini ditunjukan dengan adanya perubahan pada
aspek non fisik yaitu fungsi seni grafis yang awalnya sebagai alat propaganda
politik menjadi sebuah media ekspresi diri dengan pertimbangan keindahan.
Affandi, Suromo, dan Abdul Salam dalam hal ini telah memposisikan karya seni
grafis keluar dari posisi awalnya sebagai seni terapan (applied art) dan
merubahnya menjadi sebuah seni murni (fine art) dua dimensional yang
memanfaatkan proses cetak pada penciptaan karyanya. Hal ini serupa dengan
pernyataan Nooryan Bahari yang menjelaskan bahwa seni grafis merupakan
bagian dalam rumpun seni murni yang memiliki wujud dua dimensional yang
commit to user
dihasilkan melalui sebuah proses cetak (Bahari, 2008: 83).
perpustakaan.uns.ac.id 100
digilib.uns.ac.id

Kehadiran institusi seni di Yogyakarta sangat banyak mempengaruhi


keberadaan seni grafis di kota tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya
sekelompok seniman dari Institut Seni Indonesia yang telah merubah karya seni
grafis seperti sebuah karya seni lukis. Sekelompok seniman tersebut adalah AT.
Sitompul, AC. Andre Tanama, Ariswan Adhitama dan Irwanto Lentho dengan
karya-karya grafis monoprint. Grafis monoprint merupakan sebuah fenomena
baru yang menyatukan teknik cetak grafis dengan beberapa teknik seperti drawing
dan painting yang kemudian dicetak pada media kanvas dengan jumlah tunggal
layaknya sebuah karya lukis yang eksklusif. Hal yang dilakukan oleh sekelompok
seniman ini merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan dalam ranah seni
grafis seperti adanya pencampuran teknis drawing dan painting, penghilangan
identitas konvensi seni grafis dalam karya serta karya yang dicetak dalam jumlah
tunggal pada media kanvas.

Gambar 21. Karya Monoprint AT. Sitompul, AC. Andre Tanama,


Ariswan Adhitama, dan Irwanto Lentho
(Sumber: Repro gambar dari Katalog Trienal Seni Grafis III, Katalog Pameran Tunggal AC.
Andre Tanama “Agathos”, Katalog Pameran Tunggal Ariswan Adhitama “In Repair, dan Katalog
Pameran Tunggal Irwanto Lentho “Sang Pencukil”)

Perubahan-perubahan yang dilakukan sekelompok seniman ini


merupakan sebuah bentuk komodifikasi pada karya seni grafis yang bertujuan
membawa karya seni grafis masuk kedalam sebuah eksklusifitas karya tunggal
seperti sebuah karya lukis. Praktik komodifikasi karya seni grafis ini
dimungkinkan terjadi karena munculnya dunia akademisi seni seperti yang
dijelaskan oleh Sanento Yuliman bahwa pendidikan seni rupa telah mendorong
kesadaran yang lebih tajam tentang kerja seni, tentang bahan, proses, unsur-unsur
bentuk serta pengubahannya dan adanya dorongan tersebut memunculkan sikap
menjelajah atau sikap eksperimental, dan sikap kritis bagi seniman akademisi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 101
digilib.uns.ac.id

Keberadaan seni grafis di Yogyakarta kembali dimotivasi ulang kedalam


sebuah format baru. Format baru ini mencoba mengaplikasikan karya seni grafis
kedalam bentuk baru berupa benda-benda pakai/merchandise seperti kaos, tas,
kartu pos dan emblem. Perubahan baru ini dapat dilihat pada karya-karya grafis
konvensional dari seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan Muhamad Yusuf
yang telah diaplikasikan ke media pakai. Perubahan ini merupakan sebuah bentuk
komodifikasi lanjutan yang terjadi pada seni grafis di Yogyakarta. Bentuk
perubahan yang terjadi pada karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
Muhamad Yusuf meliputi aspek fisik karya dan aspek non fisik karya. Perubahan
fisik dan non fisik ini terbagi kedalam beberapa kategori, hal ini dapat dilihat pada
tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Identifikasi dan Klasifikasi Karya Seni Grafis
Atas Dugaan Munculnya Praktik Komodifikasi di Yogyakarta.
Perubahan Fisik Karya Perubahan Non Fisik Karya
1. Terjadi perubahan unsur bentuk, 1. Terjadinya perubahan jumlah karya
warna dan ukuran karya seni. yang dicetak menjadi sangat masif.
2. Terjadi perubahan media cetak. 2. Munculnya nilai tambah ekonomi
3. Hilangnya identitas konvensi seni dan nilai fungsi dari karya tanpa
grafis dalam karya, seperti nomor kehilangan pesan-pesan idealis
edisi cetakan, tandatangan seniman, seniman, nilai keindahan serta nilai
teknik cetak dan tahun pembuatan keuinikan visual.
karya. 3. Berubahnya nilai harga pada karya.
4. Karya semakin mudah didapat,
4. Dicetak dalam berbagai benda pakai diterima dan dikonsumsi masyarakat
seperti kaos, tas, emblem, kartu pos,
secara luas.
dan kalender.

Berdasarkan identifikasi dan klasifikasi pada tabel 4 diatas ditemukan


beberapa perubahan yang menandakan terjadinya paktik komodifikasi pada karya
seni grafis di wilayah Yogyakarta. Terlihat poin satu dan dua dalam kategori
perubahan fisik karya yang mengidentifikasi adanya proses modifikasi ulang
dengan cara melakukan perubahan bentuk, warna, ukuran, media dan
penghilangan identitas konvesi pada karya seni grafis.
Seperti pemahaman yang diungkapkan oleh Adorno bahwa praktik
komodifikasi tidak hanya terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumer, tetapi
telah merambah pada bidang seni dan kebudayaan. Proses komodifikasi ini pun
ternyata terjadi pada karya seni grafis di Yogyakarta yang dapat diidentifikasi
berdasarkan fakta-fakta perubahan yang terlihat pada aspek fisik yang meliputi
commit to user
bentuk, warna, ukuran, media dan identitas konvensi seni grafis. Secara otentik
perpustakaan.uns.ac.id 102
digilib.uns.ac.id

fakta-fakta perubahan ini dapat diamati dengan jelas pada tabel analisis perubahan
fisik beberapa karya grafis berikut (lihat tabel 5).

Tabel 5. Analisis Perubahan Fisik Karya Seni Grafis.


No Perubahan Unsur Bentuk, Warna, Ukuran, Media Cetak Karya dan Identitas
Konvensi Seni Grafis
Sebelum Proses Komodifikasi Sesudah Proses Komodifikasi
1

Media cetak yang digunakan berupa Media cetak berubah menjadi kaos dan
kertas dan memiliki identitas konvensi hilangnya identitas konvensi seni grafis.
seni grafis dibagian bawah karya.
2

Memiliki background berwarna hitam, Tidak memiliki background, objek karya


objek karya berwana hitam, ukuran berwana merah, ukuran +/- 25cm x
30cm x 45cm, dicetak pada media 35cm, dicetak pada media kaos, dan
kertas, dan memiliki identitas konvensi tidak memiliki identitas konvensi seni
seni grafis. grafis.
3

Memiliki background berwarna hitam, Memiliki background berwarna hitam,


objek karya berwana coklat muda, objek karya berubah bentuk menjadi
ukuran 25cm x 10cm, dicetak commit to user
pada outline dengan warna merah, ukuran
media kertas, dan memiliki identitas 30cm x 45cm, dicetak pada media kain,
perpustakaan.uns.ac.id 103
digilib.uns.ac.id

konvensi seni grafis. dan tidak memiliki identitas konvensi


seni grafis.
4

Objek gedung pada karya berwana Muncul penambahan objek baru berupa
coklat tua dan coklat muda, objek daun tulisan MORE PARK LESS HOTEL
berwarna hijau muda, ukuran 40cm x dibagian bawah karya, Objek gedung
55cm, dicetak pada media kertas, dan dan daun berwarna hijau tua, ukuran
memiliki identitas konvensi seni grafis. 12,5cm x 17cm, dicetak pada media
kertas, dan tidak memiliki identitas
konvensi seni grafis.
5

Objek visual berwarna merah dan di Warna objek visual berubah menjadi
cetak pada media kertas. hitam dan di cetak pada media kaos.

Poin tiga dalam kategori perubahan fisik (lihat tabel 4) dapat diuraikan
bahwa pada karya-karya yang telah mengalami proses komodifikasi telah
kehilangan identitas konvensi seni grafis. Proses modifikasi produk-produk benda
pakai ini sudah tidak lagi mencantumkan edisi cetak dan tandatangan seniman,
sehingga memunculkan sebuah produk baru yang berbeda dari karya aslinya.
Disimpulkan bahwa produk hasil proses komodifikasi pada karya seni grafis Sri
Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf ini adalah sebuah bentuk karya
baru dan bukan merupakan sebuah karya seni grafis konvensional lagi. Hal ini
commit
diperjelas oleh pandangan Aminudin THtoSiregar
user yang menyatakan bahwa seni
perpustakaan.uns.ac.id 104
digilib.uns.ac.id

grafis konvensional memiliki ciri/identitas yang kuat yaitu sebuah “identitas


konvesi” yang selalu melekat pada setiap hasil cetakan (Siregar, 2009: 8). Artinya,
sebuah karya seni dapat dikategorikan kedalam sebuah karya seni grafis apabila
memiliki ciri-ciri identitas konvensi seni grafis, dan jika tidak memiliki identitas
konvensi tersebut maka karya tersebut bukanlah sebuah karya seni grafis
konvensional.
Komodifikasi merupakan sebuah proses yang memiliki fokus pada
perubahan nilai pada suatu objek benda atau kebendaan. Perubahan nilai ini
dipahami oleh Yasraf Amir Piliang sebagai sebuah proses perubahan objek benda
yang tadinya tidak untuk dimaharkan kemudian menjadi barang komoditas yang
memiliki nilai jual. Poin empat dalam kategori perubahan fisik dalam tabel 4 ini
membuktikan bahwa karya grafis dicetak atau diaplikasikan pada benda pakai
seperti kaos, tas, emblem, kartu pos dan kalender yang notabene merupakan
sebuah komoditas bernilai komersil.

Gambar 22. Contoh Produk Benda Pakai Hasil Komodifikasi Karya Seni Grafis
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro P, 2014)

Walter Benjamin memiliki pandangan bahwa karya seni mampu


direproduksi secara massal, karena semua artefak dari hasil tangan manusia dapat
ditiru oleh manusia lainnya dan reproduksi mekanis terhadap sebuah karya seni
dikemudian hari akan melahirkan sesuatu yang baru. Hal tersebut sesuai dengan
fakta bahwa produk-produk tersebut direproduksi secara masal kedalam berbagai
macam jenis bentuk komoditas produk pakai (lihat gambar 20). Dalam gagasan
Turner, hal ini menandakan bahwa komodifikasi seni grafis muncul karena
adanya proses produksi massal dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besaarnya sesuai dengan prinsip dasar ekonomi dalam konteks
masyarakat industri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 105
digilib.uns.ac.id

Perubahan pada karya seni grafis tidak hanya terjadi pada aspek fisik
saja, melainkan terjadi pula pada aspek non fisik. Pada poin satu dalam kategori
perubahan non fisik dipaparkan bahwa telah terjadi perubahan jumlah karya yang
semakin masif. Dalam hal ini terlihat bahwa karya seni telah mengalami
reproduksi secara massal. Walter Benjamin dalam pandangannya memaparkan
bahwa adanya kemampuan mereproduksi melalui sebuah teknologi berpotensi
mengembangkan bentuk dan praktik kreatif dari seni menjadi produksi yang
bersifat massal. Hal ini selaras dengan pandangan Karl Marx dan George Simnel,
yang menyatakan bahwa komodifikasi muncul karena adanya proses produksi
massal dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besaarnya sesuai
dengan prinsip dasar ekonomi dalam konteks masyarakat industri (Turner, 1992:
115-132). Artinya, adanya kesempatan untuk melakukan proses reproduksi masal
dalam karya seni grafis telah mendorong munculnya sebuah praktik komodifikasi
pada karya tersebut.
Poin dua dalam kategori perubahan non fisik memaparkan telah
munculnya nilai tambah ekonomi dan nilai fungsi dari karya tanpa menghilangkan
pesan-pesan idealis seniman, nilai keindahan serta nilai keuinikan karya itu
sendiri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Tina Rou yang merupakan
konsumen pembeli produk dari Bayu Widodo (dalam wawancara 3 Maret 2015)
yang menyatakan sebagai berikut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 106
digilib.uns.ac.id

Pernyataan Tina Rou ini menegaskan bahwa produk yang dihasilkan oleh
Bayu Widodo masih tetap memiliki “aura” yang mampu menarik perhatiannya
sebagai konsumen/penikmat seni. Disimpulkan bahwa pandangan Walter
Benjamin tentang budaya reproduksi massal yang dapat menghilangkan “aura”
dan kedalaman estetis pada sebuah karya, ternyata tidak sepenuhnya berlaku di
semua karya/produk yang mengalami reproduksi massal.
Poin tiga dalam kategori perubahan non fisik terlihat adanya perubahan
nilai harga pada karya yang telah mengalami proses komodifikasi. Hal ini
dilakukan oleh seniman sebagai sebuah politik dagang untuk mendapatkan respon
konsumen sebanyak-banyaknya terhadap produk yang dihasilkan olehnya.
Gagasan Wilson Bangun dalam hal ini menjelaskan jika harga suatu produk
diturunkan, maka semakin banyak jumlah permintaan atas barang tersebut
(Bangun, 2007: 30). Artinya, pelaku komodifikasi karya seni grafis di
Yogyakarta memanfaatkan efek domino dari penurunan harga ini, sehingga
strategi penurunan harga ini mampu meningkatkan jumlah penjualan yang
berdampak pula pada meningkatnya keuntungan seniman atas penjualan
produknya. Fakta inilah yang kemudian disebut sebagai sistem ekonomi pasar
oleh Adam Smith, yang memiliki pemahaman disetiap unit pelaku kegiatan
ekonomi diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang akan
memberikan keuntungan pada dirinya (produsen), maka pada waktu yang
bersamaan masyarakat (konsumen) akan memperoleh keuntungan juga (Sukirno,
2006: 64). Melalui proses mekanisme pasar pengusaha dan penjual memiliki
kebebasan untuk menentukan produksi barang yang dapat menghasilkan
“keuntungan”, dengan demikian produsen dapat melakukan efesiensi terhadap
fator-faktor produksi yang terbatas dengan cara mengeluarkan biaya serendah-
rendahnya dan meningkatkan produksi pada titik optimal.
Kemudian pada poin empat dalam kategori perubahan non fisik terlihat
bahwa karya semakin mudah didapat, diterima dan dikonsumsi masyarakat secara
luas. Dalam hal ini terlihat bahwa karya-karya seni grafis semakin tersebar secara
masif dan sangat mudah untuk didapatkan dengan harga yang relatif terjangkau.
Pandangan Lessing dalam hal ini menjelaskan bahwa proses komodifikasi tidak
commit
memakan ruang atau tidak mengikat to user
budaya dan menyebar secara lebih luas serta
perpustakaan.uns.ac.id 107
digilib.uns.ac.id

medalam dengan tampilan yang natural (Hasan, 2009: 136-150). Artinya,


tampilan produk masal hasil komodifikasi yang nampak natural membuat orang
dengan mudah menerima tanpa adanya penilaian kritis pada karya tersebut.
Berdasarkan proses analiasia data di atas, dapat disimpulkan bahwa telah
terjadi gejala komodifikasi pada karya-karya grafis dari seniman di Yogyakarta.
Hal ini terlihat dengan banyaknya perubahan yang terjadi dari aspek fisik dan non
fisik dari karya grafis konvensional yang mengarah pada tujuan-tujuan dari
komodifikasi seperti perubahan nilai guna sebuah produk menjadi nilai jual.
Dapat dikatakan bahwa gejala praktik komodifikasi telah merambah pada benda-
benda seni seperti karya seni grafis konvensional di wilayah Yogyakarta.
Kemunculan praktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta tentunya
tidak hadir secara tiba-tiba melainkan memiliki latarbelakang yang panjang
sehingga hal tersebut dapat terjadi dan berkembang sampai saat ini. Pada bab ini
akan diuraikan dengan jelas alur terjadinya komodifikasi karya seni dari berbagai
pandangan yang kemudian dielaborasikan pada fakta-fakta yang terjadi.
Dalam perspektif Simel, sejatinya manusia tidak pernah terlepas dari
sturuktur dan kultur. Didalam kultur terdapat sebuah fenomena budaya yang
berkaitan dengan karya grafis. Karya grafis terbuat dari proses cetak yang
menggunakan papan kayu dari pohon sebagai desain awal. Karya grafis memiliki
nomena sebuah potongan papan kayu dari pohon yang mendapat sentuhan
seniman yang kemudian menjadi sebuah karya seni. Karya seni grafis memiliki
sifat dasar dapat dilipatgandakan sebanyak mungkin. Sifat dasar dalam karya seni
grafis ini kemudian dimanfaatkan beberapa orang untuk menciptakan produk
pakai seperti kaos, tas, kartu pos, emblem dan kalender yang diproduksi secara
massal dan menghasilkan keuntungan secara finansial. Produk pakai yang telah
diciptakan ini bukan merupakan karya seni lagi melainkan telah berubah menjadi
benda ekonomi.
Hal ini dilakukan atas dasar memenuhi kebutuhan masyarakat moderen
terhadap benda bernilai seni. Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (Awilsol, 2009: 201). Termasuk dalam
hal ini adalah kebutuhan manusia akan sesuatu yang indah dan menyenangkan.
commitoleh
Hal ini yang kemudian dimanfaatkan to user
beberapa orang untuk menciptakan
perpustakaan.uns.ac.id 108
digilib.uns.ac.id

produk yang memiliki nilai keindahan dan menyenangkan bagai pembelinya.


Maka diciptakanlah sebuah produk yang seolah-olah menyerupai karya seni grafis
yang dijual dengan harga relatif lebih terjangkau bagi masyarakat.
Proses penciptaan produk yang menyerupai karya seni grafis ini disebut
sebagai gejala komodifikasi. Menurut Baudrillard (dalam Barker, 2004: 200)
komodifikasi dalam masyarakat konsumen menjadi objek yang tidak lagi dibeli
sebagai nilai guna, tetapi sebagai komoditas-tanda. Munculnya proses
komodifikasi telah menghadirkan objek tiruan (simulacrum) yang pada akhirnya
membuat masyarakat hanya mengkonsumsi produk-produk tersebut sebagai
sebuah komoditas-tanda (Sutrisno dan Putranto, 2005: 34). Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa komodifikasi merupakan sebuah
proses perubahan nilai suatu barang yang menghasilkan produk-produk tiruan
sebagai indikasi munculnya budaya seolah-olah dalam masayarakat konsumen.
Paktik komodifikasi ini secara nyata terjadi pada objek karya seni grafis
konvensional yang diciptakan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad
Yusuf di Yogyakarta.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan
Muhamad Yusuf dalam wawancara yang dilakukan pada bulan November dan
Desember pada tahun 2014 maka dilakukan proses identifikasi dan klasifikasi.
Hal ini dilakukan guna melihat faktor penyebab terjadinya praktik komodifikasi
karya seni grafis di Yogyakarta dalam perspektif seniman sebagai pelaku dan
kemudian akan dielaborasikan dengan beberapa teori, pernyataan seniman lain
serta konsumen yang membeli produk hasil komodifikasi ini.

Tabel 6. Identifikasi
Penyebab Terjadinya Komodifikasi Seni Grafis di Yogyakarta.
Nama No Pernyataan dalam Keterangan Interpretasi
Seniman Wawancara Waktu
Wawancara
1 “Awal mulanya membuat Menunjukan adanya
sebuah produk merchandise dorongan untuk
dari karya seni grafis saya, bertahan hidup.
karena keinginan untuk
bertahan hidup dari hasil karya Adanya kenyakinan
Sri Maryanto 8/11/2014
sendiri”. dapat hidup mandiri
dengan kemampuan
sendiri.
2 commit
“Ditambah dengan to user
kenyataan Menunjukan adanya
menjual karya seni, apalagi rasa kekhawatiran
perpustakaan.uns.ac.id 109
digilib.uns.ac.id

masih menjadi mahasiswa yang dalam memperoleh


tidak dikenal,...tidaklah penghasilan tetap
semudah membalikan tangan”
Adanya rasa tidak
berdaya atau lemah
dalam diri untuk
mencapai tujuan
hidup.
3 “jadi saya pun berfikir Menunjukan adanya
terbalik”. “Kalau biasanya pola berfikir kreatif
produk merchandise di ciptakan dalam menghadapi
setelah karya aslinya terkenal, masalah.
justru saya memproduksi
merchandise sebelum karya
saya terkenal”.
1 “Tahun 2000 aku mulai Menunjukan adanya
mempelajari teknik cukil dan motivasi hidup
sablon untuk memenuhi dengan cara
kebutuhanku sebagai seorang memampukan diri
seniman, dan berfikir mempelajari sebuah
bagaimana karyaku itu bisa ilmu untuk untuk
semua orang pakai” bertahan hidup.

Munculnya
pemikiran dalam
diri untuk
bermanfaat bagi
masyarakat luas
2 “Kalau karya grafisku kan Adanya strategi
dijual sekitar satu setengah juta ekonomi dengan
sampai lima juta rupiah per menurunkan harga
Bayu Widodo
edisi tapi kalo kaoskan 6/12/2014 asli karya agar
masyarakat bisa beli dengan perrmintaan
harga antara delapan puluh ribu masyarakat/konsume
sampai seratus duapuluh ribu n terhadap produk
per kaos dan mereka bisa semakin banyak.
memiliki selamanya”.
3 “Lukis itu bagiku sebuah karya Adanya fungsi
yang mengekspresikan politis dalam karya
idealismeku tapi di grafis aku seni grafis yang
merasa bisa dapat dijadikan alat
mengkomunikasikan untuk
idealismeku ditambah dapat mengkomunikasikan
memenuhi kebutuhan hidupku pesan yang lebih
sebagai seorang seniman”. efektif dan dapat
memenuhi
kebutuhan hidup
sebagai seniman.
1 “Semuanya bermulai dari Melihat adanya
sebuah keisengan saja, ketika potensi ekonomi dari
Taring Padi mencetak poster produk yang
Muhamad dan ada kaos nganggur diciptakan dapat
kemudian aku cetak”. “Setalah 22/11/2014 direproduksi ke
Yusuf dilihat ternyata menarik, lalu media baru sehingga
aku produksilah kaos tersebut mendorong produksi
secara masal” barang secara masif.
2 “Konsep awal commit to user
mebuat produk Adanya dorongan
pakai yang pertama adalah menciptakan strategi
perpustakaan.uns.ac.id 110
digilib.uns.ac.id

membuat kaos dengan harga ekonomi untuk


murah dan artistik agar semua menarik minat pasar
orang bisa memakai dan dengan menciptakan
mengkonsumsinya”. produk seni dengan
harga murah namun
tetap memiliki nilai
keindahan tinggi.
“Kedua, aku membuat kaos itu Adanya pemikiran
memiliki konten pesan yang bahwa media baru
ingin aku sampaikan kepada tidak menghilangkan
masyarakat, karena aku berfikir esensi pesan dalam
bahwa kaos itu juga sebagai karya.
media kampanye bagiku untuk
mensosialisasan ide-ide dan Menunjukan adanya
3 gagasanku secara lebih luas, fungsi ganda
masif, mobile dan dapat terhadap sebuah
menyalurkan kesenanganku produk seni yang
selain sebagai alat untuk telah diciptakan.
memenuhi kebutuhan hidupku”.
Adanya dorongan
untuk menyalurkan
potensi dalam diri.
4 “Selebihnya dengan membuat Adanya motivasi
produk maka kita akan lebih untuk mendapatkan
dikenal secara personal dan penghargaan dan
karater karya kita juga akan pengakuan sebagai
semakin luas dikenal seorang seniman
masyarakat”. dimata masyarakat.

Berdasarkan identifikasi pada tabel 6 diatas ditemukan beberapa penyebab


yang menjadi faktor terjadinya paktik komodifikasi pada karya seni grafis di
wilayah Yogyakarta. Terlihat poin satu dalam pernyataan Sri Maryanto
menunjukan adanya dorongan untuk bertahan hidup dan adanya kenyakinan
dalam diri bahwa Ia dapat hidup mandiri dengan kemampuan sendiri. Pernyataan
ini ditunjukan oleh Sri Maryanto (dalam wawancara 8/11/2014) sebagai berikut.
“Awal mulanya membuat sebuah produk merchandise dari karya seni
grafis saya, karena keinginan untuk bertahan hidup dari hasil karya
sendiri”.

Pernyataan tersebut dalam pemikiran Abraham Maslow dipahami sebagai


sebuah munculnya dorongan terhadap individu/manusia untuk memenuhi segala
kebutuhan fisiologisnya seperti kebutuhan akan udara, air, makan, tidur dan lain-
lain (Awilsol, 2009: 201). Artinya, setiap manusia yang terlahir ke dunia selalu
memiliki cara untuk memenuhi segala kebutuhan fisiologisnya sebagai upaya
untuk betahan hidup. Sedangkan gagasan Alwisol dalam pernyataan Sri Maryanto
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 111
digilib.uns.ac.id

tersebut dipahami sebagai sebuah proses “Aktualisasi diri”. Sri Maryanto dalam
hal ini memiliki keinginan untuk memperoleh kepuasan dari dirinya sendiri (Self
fullfilment), menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia
dapat lakukan, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi atas
potensi yang dimilikinya. Pernyataan ini diperkuat kembali oleh sudut pandang
Deni Rahman sebagai seoroang seniman grafis dari komunitas Grafis Minggiran
Yogyakarta yang menjelaskan sebagai berikut (wawancara pada 21/11/2014).
“Zaman berubah, teknologi berubah, tuntutan orang berubah, karya seni
bukan sebuah dogma dan pada akhirnya sah-sah saja ketika setiap orang
merubah cara berkaryannya, dan sekarang tinggal dikembalikan pada
tujuan utama dari senimannya, kalo tujuan berkarya untuk mencari uang...
“ya tidak apa-apa yang penting mereka sadar dengan apa yang mereka
lakukan”.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa setiap manusia selalu dihadapkan


oleh perubahan zaman, kemajuan teknologi sehingga tuntutan hidup semakin
tinggi dan berakibat adanya perubahan dalam pola berkesenian yang mengarah
pada satu titik untuk menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Pernyataan ini
selaras dengan gagasan Walter Benjamin yang menjelaskan adanya kemampuan
mereprosuksi melalui “teknologi” berpotensi mengembangkan bentuk dan praktik
kreatif dari seni menjadi produksi yang bersifat massal. Artinya, setiap seniman
memiliki hak yang utuh untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya melalui
sebuah penjualan produk seni sebagai akibat adanya tekanan perkembangan
zaman dan teknologi yang secara tidak langsung dapat memicu munculnya praktik
komodifikasi pada karya seni grafis.
Poin dua dalam pernyataan Sri Maryanto menujukan adanya rasa khawatir
atas penghasilan kerja yang tidak menentu serta munculnya sikap merasa lemah
dan tidak berdaya mencapai tujuan hidup. Pernyataan ini ditunjukan oleh Sri
Maryanto (dalam wawancara 8/11/2014) sebagai berikut.
“Ditambah dengan kenyataan menjual karya seni, apalagi masih menjadi
mahasiswa yang tidak dikenal,...tidaklah semudah membalikan tangan”

Alwisol berpendapat bahwa hal ini merupakan bagaian dari sebuah


kebutuhan akan rasa aman yang terwujud dalam bentuk jaminan pekerjaan layak,
gaji yang tetap, dan jaminan masa depan. Pendapat Alwisol ini memperkuat
commit to user
pernyataan Sri Maryanto bahwa setiap individu membutuhkan rasa aman yang
perpustakaan.uns.ac.id 112
digilib.uns.ac.id

terwujud dalam jaminan atas pekerjaan, gaji dan masa depan. Sedangkan
pandangan menurut Alfred Alder dalam hal ini adalah manusia terlahir dalam
keadaan tubuh yang lemah dan tidak berdaya sehingga menggerakan persaan
inferioritas pribadi untuk berjuang ke arah keberhasilan atau superioritas (semiun,
2013: 238). Pendapat Alfred Alder ini selaras dengan pernyataan Sri Maryanto
bahwa setiap individu terlahir dengan keadaan yang lemah dan tidak berdaya
sehingga menimbulkan rasa inferioritas dalam diri. Artinya, pernyataan Alwisol
dan Alder ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki dorongan kebutuhan
atas rasa aman dan memiliki sikap inferioritas dalam diri yang dapat memicu
munculnya praktik komodifikasi pada karya seni grafis sebagai sebuah kopensasi
terhadap pemuasan kebutuhan dan menutupi sikap inferioritas tersebut.
Pernyataan Sri Maryanto dalam poin tiga menunjukan adanya pola berfikir
yang kreatif dalam menghadapi masalah dan strategi ekonomi dalam menarik
minat konsumen terhadap produknya. Pernyataan ini ditunjukan oleh Sri
Maryanto (dalam wawancara 8/11/2014) sebagai berikut.
“jadi saya pun berfikir terbalik”. “Kalau biasanya produk merchandise di
ciptakan setelah karya aslinya terkenal, justru saya memproduksi
merchandise sebelum karya saya terkenal”.

Gagasan Alfred Alder dalam hal ini yang menjelaskan bahwa daya kreatif
adalah kemampuan manusia dalam mengolah fakta-fakta dunia dan
mentransformasikan fakta-fakta tersebut menjadi kepribadian yang bersifat
subjektif, dinamik, menyatu, personal dan unik (Semiun, 2013: 262). Artinya, Sri
Maryanto memiliki daya kreatif yang memungkinkan Ia untuk mengolah fakta-
fakta yang dihadapinya untuk menjadi pribadi yang dinamik, personal dan unik.
Pandangan Carl Rogers dalam hal ini menjelaskan bahwa Sri Maryanto memiliki
ciri-ciri pribadi yang utuh mampu merealisasi potensi bakatnya menuju
pemahaman yang lengkap mengenai dirinya sendiri dan seluruh pengalaman yang
dimilikinya. Sedangakan menurut Alwisol setiap orang yang memiliki pribadi
yang berfungsi utuh berkemungkinan besar untuk memunculkan produk kreatif
(idea, project, action) dan hidup kreatif (Alwisol, 2009: 275). Dapat disimpulkan
bahwa pola berfikir terbalik yang dilakukan oleh Sri Maryanto dapat memicu
munculnya praktik komodifikasi pada sebuah karya seni.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 113
digilib.uns.ac.id

Pernyataan mengenai penyebab terjadinya praktik komodifikasi seni grafis


berikutnya diungkapakan oleh Bayu Widodo dalam beberapa poin. Poin satu
dalam tabel 5 dijelaskan Bayu Widodo bahwa adanya motivasi hidup dengan cara
memampukan diri mempelajari sebuah ilmu untuk bertahan hidup dan berfikir
bagaimana dirinya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Pernyataan ini dijelaskan
oleh Bayu Widodo (dalam wawancara 8/11/2014) sebagai berikut.
“Tahun 2000 aku mulai mempelajari teknik cukil dan sablon untuk
memenuhi kebutuhanku sebagai seorang seniman, dan berfikir bagaimana
karyaku itu bisa semua orang pakai”

Semiun dalam gagasannya memaparkan bahwa setiap manusia berusaha


dengan keras untuk menyatukan segala pikiran, perasaan dan tindakannya menuju
satu arah, yaitu tujuan superioritas atau keberhasilan (Semiun, 2013: 243-244).
Gagasan tersebut memperkuat penjelasan Bayu Widodo yang terlihat sebagai
sebuah kesatuan kepribadian (unity of personality) yang menyatukan segala
pikiran, perasaan dan tindakannya menuju tujuan superioritas atau keberhasilan.
Pandangan Alwisol tentang minat sosial memperlihatkan sikap keterikatan diri
dengan kemanusiaan secara umum, serta empati kepada setiap orang dengan
tujuan bekerja sama untuk mencari keuntungan pribadi (Alwisol, 2009: 70).
Artinya, apa yang dilakukan oleh Bayu Widodo menunjukan adanya minat sosial
yang terlihat dalam penjelasan bagaimana dirinya dapat bermanfaat bagi
masyarakat.
Poin dua dalam pernyataan Bayu Widodo menjelaskan adanya strategi
ekonomi dengan menurunkan harga barang untuk meningkatkan permintaan
konsumen terhadap produk yang telah diciptakan olehnya. Hal ini dijelaskan oleh
Bayu Widodo (dalam wawancara 8/11/2014) sebagai berikut.
“Konsep awal mebuat produk pakai yang pertama adalah membuat kaos
dengan harga murah dan artistik agar semua orang bisa memakai dan
mengkonsumsinya”.

Gagasan Wilson Bangun dalam hal ini menjelaskan jika harga suatu
produk diturunkan, maka semakin banyak jumlah permintaan atas barang tersebut
(Bangun, 2007: 30). Artinya, Bayu Widodo memanfaatkan efek domino dari
strategi penurunan harga ini, sehingga mampu meningkatkan jumlah penjualan
commit to user
yang berdampak pula pada meningkatnya keuntungan seniman atas penjualan
perpustakaan.uns.ac.id 114
digilib.uns.ac.id

produknya. Fakta inilah yang kemudian disebut sebagai sistem ekonomi pasar
oleh Adam Smith, yang memiliki pemahaman disetiap unit pelaku kegiatan
ekonomi diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang akan
memberikan keuntungan pada dirinya (produsen), maka pada waktu yang
bersamaan masyarakat (konsumen) akan memperoleh keuntungan juga (Sukirno,
2006: 64). Melalui proses mekanisme pasar pengusaha dan penjual memiliki
kebebasan untuk menentukan produksi barang yang dapat menghasilkan
“keuntungan”, dengan demikian produsen dapat melakukan efesiensi terhadap
fator-faktor produksi yang terbatas dengan cara mengeluarkan biaya serendah-
rendahnya dan meningkatkan produksi pada titik optimal.
Poin tiga dalam pernyataan Bayu Widodo melihatkan adanya fungsi ganda
dari seni grafis yang dapat dijadikan sebagai media komunikasi pesan idealisme
sekaligus sebagai alat pemenuh kebutuhan hidup. Pernyataan ini diungkapkan
oleh Bayu Widodo (dalam wawancara 8/11/2014) sebagai berikut.
“Lukis itu bagiku sebuah karya yang mengekspresikan idealismeku tapi di
grafis aku merasa bisa mengkomunikasikan idealismeku ditambah dapat
memenuhi kebutuhan hidupku sebagai seorang seniman”.

Ungkapan Bayu Widodo ini menunjukan bahwa ada keistimewaan pada


karya seni grafis jika dibandingkan dengan karya seni lainnya. Seperti yang telah
dijelaskan diawal bahwa karya seni grafis merupakan sebuah proses kreatif yang
digunakan seniman untuk mengungkapkan segala pengalaman estetisnya melalui
sebuah proses cetak. Seni grafis juga merupakan sebuah karya seni yang memiliki
ciri dapat dilipatgandakan/reproduksi secara masif (Bahari, 2008: 83). Pandangan
ini yang kemudian dijadikan Bayu Widodo dalam memilih seni grafis sebagai
media ekspresi seni dan sekaligus sebagai alat pemenuh kebutuhan hidupnya.
Gagasan Turner dalam hal ini memberikan pemahaman bahwa seni grafis dapat
dilipatgandakan/diproduksi secara massal dengan tujuan mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya sesuai dengan prinsip dasar ekonomi dalam konteks
masyarakat industri telah mendorong munculnya proses komodifikasi pada karya
seni. Ada hal yang menarik dari pernyataan Bayu Widodo ini. Bayu Widodo
menjelaskan bahwa “...di grafis aku merasa bisa mengkomunikasikan
idealismeku...” hal ini menegaskan bahwa reproduksi massal dalam karya seni
commit to user
grafis tidak menghilangkan pesan idealisme atau aura dari produk yang
perpustakaan.uns.ac.id 115
digilib.uns.ac.id

dihasilkannya. Dalam kasus ini pandangan Walter Benjamin yang menjelaskan


bahwa budaya reproduksi secara masal dalam masyarakat industri kapitalisme
telah menghilangkan kekuatan “aura” seni dan kedalaman estetis dari hal-hal yang
diproduksi tidak sepenuhnya tepat.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Antonius Ipur yang merupakan
konsumen pembeli produk dari Bayu Widodo (dalam wawancara 3 Maret 2015)
yang menyatakan sebagai berikut.

Pernyataan Antonius Ipur ini menegaskan bahwa produk yang dihasilkan


oleh Bayu Widodo masih memiliki “aura” yang mampu menarik perhatiannya
sebagai konsumen/penikmat seni. Hal ini menunjukan bahwa pesan idealisme
dalam produk Bayu Widodo tidak hilang dan dapat ditangkap oleh publik dengan
baik. Dapat disimpulkan bahwa budaya reproduksi pada karya seni tidak
selamanya menghilangkan kekuatan “aura” seni dan kedalaman estetis.
Penyebab terjadinya praktik komodifikasi seni grafis selanjutnya
diungkapakan oleh Muhamad Yusuf dalam
commit beberapa poin. Poin pertama adalah
to user
perpustakaan.uns.ac.id 116
digilib.uns.ac.id

adanya potensi ekonomis dari barang ciptaan yang dapat direproduksi ke dalam
media baru sehingga menimbulkan pemikiran untuk memproduksi secara masif.
Pernyataan ini diungkapkan secara lisan oleh Muhamad Yusuf (dalam wawancara
22/11/2014) sebagai berikut.
“Semuanya bermulai dari sebuah keisengan saja, ketika Taring Padi
mencetak poster dan ada kaos nganggur kemudian aku cetak”. “Setalah
dilihat ternyata menarik, lalu aku produksilah kaos tersebut secara masal”

Gagasan Walter Benjamin dalam esainya yang berjudul “The Work of Art
in the Age of Mechanical Reproduction” memaparkan bahwa adanya kemampuan
mereproduksi melalui teknologi berpotensi mengembangkan bentuk dan praktik
kreatif dari seni menjadi produksi yang bersifat massal (Benjamin,1969: 218).
Pendapat Walter Benjamin ini memperkuat bahwa adanya kemampuan
mereproduksi sebuah karya seni berpotensi mengembangkan praktik kreatif seni
menjadi sebuah produksi massal. Poin dua adalah munculnya dorongan
menciptakan strategi ekonomi untuk menarik minat pasar dengan menciptakan
produk seni dengan harga murah namun tetap memiliki nilai keindahan tinggi.
Pernyataan ini diungkapkan secara lisan oleh Muhamad Yusuf (dalam wawancara
22/11/2014) sebagai berikut.
“Konsep awal mebuat produk pakai yang pertama adalah membuat kaos
dengan harga murah dan artistik agar semua orang bisa memakai dan
mengkonsumsinya”.

Hal ini menunjukan bahwa Muhamad Yusuf mencoba menurunkan harga


untuk meningkatkan permintaan atas produk yang diciptakan. Terlihat dengan
jelas bahwa Muhamad Yusuf memanfaatkan efek domino dari strategi
menurunkan harga produknya untuk meningkatkan permintaan konsumen atas
produknya. Selain itu Muhamad Yusuf memiliki pemahaman yang sama dengan
pandangan John Ruskin dan William Morris dalam gerakan Art and Craft
Movement yang menjelaskan bahwa bahwa seniman menghasilkan barang yang
indah dengan harga yang terjangkau orang banyak (Adityawan S, 2010: 39).
Kemudian poin tiga Muhamad Yusuf menjelaskan adanya pemikiran
bahwa media baru tidak menghilangkan esensi pesan dalam karya. Pernyataan ini
diungkapkan secara lisan oleh Muhamad Yusuf (dalam wawancara 22/11/2014)
sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 117
digilib.uns.ac.id

“Kedua, aku membuat kaos itu memiliki konten pesan yang ingin aku
sampaikan kepada masyarakat, karena aku berfikir bahwa kaos itu juga
sebagai media kampanye bagiku untuk mensosialisasan ide-ide dan
gagasanku secara lebih luas, masif, mobile dan dapat menyalurkan
kesenanganku selain sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidupku”.

Pernyataan Muhamad Yusuf ini bertentangan juga dengan pandangan


Walter Benjamin (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 34) yang menyatakan
bahwa dalam masyarakat industri telah terjadi budaya reproduksi massal yang
telah menghilangkan “aura” seni dan kedalaman estetisnya atas dasar hanya untuk
mengejar tujuan-tujuan ekonomi. Muhamad Yusuf menjelaskan bahwa produk
hasil proses komodifikasi tetap diposisikan sebagai sebuah karya yang memiliki
konten pesan dan dapat dijadikan sebagai media kampanye untuk mensosialisasan
gagasannya secara lebih luas, masif, dan mobile. Hal ini di perkuat oleh
penryataan Didit Haryo W yang merupakan konsumen pembeli produk dari
Muhamad Yusuf (dalam wawancara 3/02/2015) yang menyatakan sebagai berikut.

Pernyataan Didit Haryo W ini menegaskan bahwa produk yang dihasilkan


oleh Muhamad Yusuf dari Taring Padi memiliki kesamaan ideologi, produk yang
dihasilkan sangat mencerminkan ideologi yang diusung oleh komunitasnya dan
produk yang dihasilkan memiliki keunikan yang khas karena adanya efek cukilan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 118
digilib.uns.ac.id

grafis. Adanya proses komodifikasi pada karya Muhamad Yusuf ternyata tidak
menghilangkan esensi pesan melainkan justru menambah nilai baru dalam
karyanya. Pendapat ini diperkuat oleh Alexander Nawang Seto seorang seniman
grafis dari Yogyakarta dan staf pengajar seni grafis di Institut Seni Indonesia
Surakarta yang menjelaskan (dalam wawancara pada 28/11/2014) sebagai berikut.
“Ketika seniman membuat sebuah produk pasti memiliki pesan dan
gagasan dan tidak hanya semata-mata menjual produk yang memiliki nilai
estetik saja”.
Disimpulkan bahwa budaya reproduksi pada karya seni tidak selamanya
menghilangkan kekuatan “aura” seni dan kedalaman estetis melainkan dapat
menambah nilai baru pada karya seni.
Pernyataaan berikutnya dari Muhamad Yusuf dalam poin yang sama
menunjukan adanya fungsi ganda terhadap sebuah produk seni yang telah
diciptakan. Hal ini selaras dengan pendapat Husnan yang menyatakan bahwa
reproduksi mekanis terhadap sebuah karya seni, dikemudian hari akan melahirkan
sesuatu yang baru (Husnan, 2013: 544). Gagasan Gregory Ulmer dalam hal ini
memberikan pemahaman bahwa munculnya reproduksi massal merupakan sebuah
bentuk upaya perubahan suatu karya atau penanda yang “dimotivasi ulang” dalam
konteks baru. Sesuatu yang baru dalam konteks ini menjelaskan bahwa karya seni
memiliki fungsi sebagai media komunikasi pesan, media berekspresi seni
sekaligus sebagai alat pemenuh kebutuhan hidup dari seniman. Pernyataan
terakhir dalam poin ini adalah adanya motivasi untuk menyalurkan potensi dalam
diri. Pendapat ini selaras dengan pandangan Abraham Maslow dalam hirarki
kebutuhan manusia menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki dorongan untuk
melakukan proses aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah keinginan untuk
memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri (Self fullfilment), untuk menyadari
semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat lakukan, dan untuk
menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya (Awilsol, 2009:
205). Hal ini memperlihatkan bahwa apa yang dilakukan oleh Muhamad Yusuf
merupakan proses aktualisasi diri seperti apa yang digambarkan oleh Maslow
dalam hirarki kebutuhan manusia.
Poin empat adalah adanya motivasi untuk mendapatkan penghargaan dan
commit todimata
pengakuan sebagai seorang seniman user masyarakat. Pernyataan ini
perpustakaan.uns.ac.id 119
digilib.uns.ac.id

diungkapkan secara lisan oleh Muhamad Yusuf (dalam wawancara 22/11/2014)


sebagai berikut.
“Selebihnya dengan membuat produk maka kita akan lebih dikenal secara
personal dan karater karya kita juga akan semakin luas dikenal
masyarakat”.

Penghargaan yang diperoleh seseorang dari pihak lain dapat memberikan


rasa bangga dan berguna. Kebutuhan penghargaan ini dapat diperoleh jika
seseorang dapat berguna bagi masyarakat (Dariyo, 2008: 124). Pendapat tersebut
memperkuat pernyataan Muhamad Yusuf yang membutuhkan sebuah
penghargaan dari masyarakat untuk memberikan rasa bangga dalam dirinya. Hal
ini kemudian menjadi penyebab sesorang melakukan proses komodifikasi agar
produk yang dihasilkan dapat berguna bagi masyarakat dan menimbulkan rasa
kebanggaan secara pribadi.
Berdasarkan proses analiasia data di atas, dapat disimpulkan bahwa
terdapat berbagai penyebab terjadinya praktik komodifiksi seni grafis di
Yogyakarta yang meliputi faktor psikologis, ekonomi, fungsi politis seni, dan
adanya kesempatan untuk mereproduksi karya seni grafis konvensional secara
massal. Keempat faktor ini menjadi sesuatu yang kuat sebagai dasar atas
terjadinya praktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta hingga saat ini.
Kemudian bagaimana proses terjadinya komodifikasi karya seni grafis Sri
Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta dapat berjalan
hingga saat ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka akan dilakukan proses
identifikasi dan klasifikasi dalam sebuah tabel berdasarkan pernyataan dari Sri
Maryanto, Bayu Widodo, dan Muhamad Yusuf dalam wawancara berikut.

Tabel 7. Identifikasi
Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Seni Grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
Muhamd Yusuf di Yogyakarta.
Seniman No Urut Proses Terjadinya
Proses
1 Ketika semester V muncul ide untuk membuat produk
merchadise dari karya murni yang telah diciptakan
sebelumnya.
2 Akhir tahun 2003 membuat sebuah brand/merk untuk
Sri Maryanto produknya bernama ORABER Total Produk Grafis. ORABER
merupakan singkatan dalam bahasa Jawa “Ora Bermerek”
yang artinya tidak bermerek sedangkan “Total Produk Grafis”
commit
sebagai tandatobahwa
user produk yang dihasilkan merupakan
produk dari karya seni grafis.
perpustakaan.uns.ac.id 120
digilib.uns.ac.id

3 Tekniks produksi awal yang digunakan untuk memproduksi


merchadise adalah teknik cetak tinggi dalam hal ini cukil kayu
yang diaplikasikan langsung pada setiap jenis produk. Kemudia
beralih ke teknik cetak saring dalam hal ini sablon, dikarenakan
tinta cetak pada teknik cukil kayu mudah pudar dan proses
cetaknya dirasakan kurang praktis
4 Karakter cukilan lebih menonjol disetiap produk yang
dihasilkan dan sebagai identitas dari produk Sri Marayanto
5 Produk yang diproduksi setiap jenisnya dicetak terbatas
(limited edition). Namun satu desain visual dapat
diaplikasikan/dicetak lebih dari satu jenis produk.
6 Harga produk ditentukan berdasarkan biaya produksi, tenaga
dan jumlah produk yang dicetak.
7 Promosi yang dilakukan dengan mengikuti berbagai event
festival seni dan dipromosikan melalui media online
8 Produk yang dihasilkan berupa kaos, tas, dan kalender.
1 Berawal dari sebuah eksperimen kemudian memilih teknis
grafis untuk memenuhi kebutuhan hidup
2 Kemudian memulai memproduksi merchadise yang sederhana,
unik, kratif dan berbeda dengan produk lainnya dari karya-
karya grafis konvensional yang telah diciptakan sebelumnya.
3 Sistem promosi yang dilakukang dengan dipromosikan melalui
media online dan rutin mengikuti berbagai event seperti di
Bayu Widodo
Jakarta, Bandung, Timor Leste, dan Autralia untuk
memperkenalkan produk yang diciptakan.
4 Pertimbangan menentukan harga adalah modal produksi,
jumlah barang yang diproduksi dan daya beli konsumen
5 Teknik yang digunakan dalam proses produksi adalah cetak
saring dalam hal ini sablon dan cetak digital.
6 Produk yang dihasilakan berupa kaos, emblem dan kartu pos.
Muhamad 1 Berawal dari ketidak sengajaan ketika kawan-kawan Taring
Yusuf Padi mencetak karya grafis, kemudian muncul ide untuk
mencetak di kaos karena melihat ada kaos polos yang terjatuh
dilantai pada waktu itu. Ternyata setelah dicetak terlihat
menarik dan kemudian dikembangkan sebagai produk sampai
saat ini.
2 Teknik produksi yang digunakan adalah cetak tinggi dalam hal
ini cukil kayu karena pertimbangan kepraktisan dan dapat
dicetak dalam tempo waktu singkat dan berulang kali.
3 Kemudian desain-desain tersebut dicukil, dicetak, dan dijual
sendiri oleh Muhamad Yusuf.
4 Produk yang dihasilkan berupa kaos, emblem, kartu pos, cover
buku, stiker, dan bandana.
5 Strategi promosi yang dilakukan dengan cara memberikan
gratis pada awal produksi, produk yang dicetak tidak terbatas
(unlimited edition) , dipromosikan melalui media online dan
konsumen dapat memilih desain visual yang ingin dicetak
dengan sistem made to order “mereka pesan, aku buatkan”
6 Penentuan harga produk berdasarkan kualitas bahan, tingkat
kerumitan, waktu pengerjaan, ukuran desain, refrensi harga
lama dan kemampuan daya beli konsumen (adanya proses nego
harga secara langsung).

Berdasarkan identifikasi tabel 7 diatas, terlihat bagaimana proses


commit
terjadinya praktik komodifikasi karya senitografis
user Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
perpustakaan.uns.ac.id 121
digilib.uns.ac.id

Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Proses ini diawali dengan beberapa cara seperti
munculnya ide menciptakan produk dari karya seni murni, proses eksperimen
media, sampai dari sebuah ketidak sengajaan. Teknis yang digunakan dalam
proses produksipun beragam dari mulai teknik cetak tinggi, cetak saring hingga
proses cetak digital. Produk yang dihasilkan dari proses komodifikasi ini berupa
kaos, tas, kartu pos, emblem, dan kalender. Sedangkan proses penentuan harga
dilakukan berdasarkan biaya produksi, jumlah barang yang dicetak, proses
produksi, refrensi harga lama dan daya beli konsumen. Strategi promosi yang
dilakukan diantaranya promosi langsung keberbagai event, jumlah poduk yang
dicetak terbatas dan tidak terbatas, melakukan promosi di media online dan
konsumen dapat memilih desain terlebih dahulu sesuai keinginan sebelum
dilakukan proses cetak atau dengan sistem made to order.
Praktik komodifikasi yang dilakukan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo
dan Muhamad Yusuf merupakan bagian dalam proses Industri Kreatif. Hal ini
terlihat dengan adanya pemanfaatan kreativitas individu dalam proses kreasi dan
eksplorasi benda seni untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan
yang merupakan karakteristik dari proses Indutri Kreatif.
Pernyataan ini diperkuat dengan defenisi Industri Kreatif dari Departemen
Perdagangan Republik Indonesia yang menjelaskan sebagai berikut (Departemen
Perdagangan RI, 2008: 4).
“Industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta
bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan
melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu
tersebut”.

Hal ini menegaskan bahwa fenomena praktik komodifikasi pada karya


seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta
merupakan salah satu bagian dalam Industri Kreatif dalam sektor perdagangan
pasar barang-barang seni yang memiliki nilai keaslian, keunikan, dan estetika
tinggi. Selain itu pandangan seniman terhadap industri kreatif telah memposisikan
karya seni dengan standar-standar tertentu, seperti diciptakannya karya idealisme
dengan standar lebih tinggi dari aspek ukuran, teknik, media, harga, fungsi dan
konsep penciptaan, namun ada juga karya yang diciptakan atas dasar ekonomi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 122
digilib.uns.ac.id

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan kualitas konsep, fungsi, ukuran,


media, dan harga yang lebih rendah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Komodifikasi merupakan sebuah proses perubahan nilai guna suatu barang


menjadi sebuah nilai tukar, dimana barang tersebut direproduksi ulang dengan
berbagai macam pengolahan menjadi sebuah benda pakai yang dapat dikonsumsi
secara masif. Dalam konteks ini karya seni grafis konvensional di Yogyakarta
merupakan sebuah objek yang digunakan seniman untuk memenuhi segala
kebutuhan masyarakat dan pribadinya sendiri sebagai masyarakat moderen yang
haus dengan segala kebutuhan akan keindahan dan ekonomi. Sehingga proses
komodifikasi ini muncul untuk menciptakan produk yang serupa dengan karya
seni grafis yang kemudian diaplikasikan secara nyata dalam bentuk suatu produk
benda pakai (merchandise) yang diproduksi secara masif. Dalam hal ini, proses
komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta harus dipandang sebagai sebuah
proses yang diawali dengan mengidentifikasi bentuk komodifikasi apa saja yang
terjadi pada objek karya seni grafis, kemudian apa penyebab yang
melatarbelakangi terjadinya proses komodifikasi tersebut dan bagaiman proses
komodifikasi tersebut dapat terjadi di Yogyakarta.
Berdasarkan pada paparan dan analisa pembahasan yang merujuk pada
rumusan permasalahan dalam penelitian ini, dapat diuraikan kedalam tiga pokok
simpulan berikut.
Komodifikasi seni grafis di Yogyakarta adalah sebuah proses perubahan
nilai guna karya seni grafis konvensional menuju pada nilai tukar atas tujuan
komersil yang ditandai dengan adanya perubahan fisik dan non fisik dari karya
tersebut. Perubahan fisik karya tersebut meliputi warna, ukuran, media, teknik,
dan hilangnya identitas konvesi dalam karya seni grafis tersebut. Sedangkan
perubahan non fisik meliputi jumlah karya yang dicetak, munculnya nilai tambah
ekonomi dalam karya, perubahanya nilai harga karya dan kemudahan dalam
memperoleh karya tersebut. Hal commit
ini menujukan
to user bahwa perubahan karya dalam

123
perpustakaan.uns.ac.id 124
digilib.uns.ac.id

proses komodifikasi tidak hanya terjadi pada aspek nilai guna yang menjadi nilai
jual namun telah berdampak pada terjadinya perubahan struktur bentuk, wujud
dan latarbelakang penciptaan dari karya seni grafis itu sendiri.
Kemudian faktor penyebab yang melatarbelakangi terjadinya proses
komodifikasi seni grafis di Yogyakarta adalah adanya kesadaran seniman untuk
memenuhi segala kebutuhan masyarakat terhadap benda seni yang artistik namu
memiliki harga yang murah. Selain itu faktor psikologi seniman, faktor dorongan
ekonomi dari seniman dan adanya kesempatan untuk melakukan proses
reproduksi massal pada karya seni grafis menjadi penyebab yang kuat untuk
melakukan proses komodifikasi pada karya seni grafis di Yogyakarta. Faktor
dorongan ekonomi menjadi hal pokok penyebab terjadinya praktik komodifikasi
seni grafis di Yogyakarta dan hal ini diperkuat dengan faktor-faktor dasar yang
dimiliki seniman secara psikologis seperti kebutuhan fisologis, kebutuah
aktualisasi diri, kebutuhan rasa aman, adanya potensi kreatif dalam diri, adaya
perasaan inferioritas yang mendorong menuju superioritas dan kebutuhan akan
minat kemasyarakatan ditambah dengan adanya kesempatan untuk mereproduksi
karya seni grafis konvesional secara massal. Hal ini menujukan bahwa faktor yang
mempengaruhi terjadinya komodifikasi tidak hanya disebabkan oleh munculnya
industrialisasi dalam masyarakat melainkan disebabkan dari beberapa faktor
seperti faktor psikologi seniman, faktor dorongan ekonomi dari seniman dan
adanya kesempatan untuk melakukan proses reproduksi massal pada karya seni
grafis.
Proses terjadinya komodifikasi seni grafis di Yogyakarta meliputi
beberapa tahapan seperti awal munculnya ide menciptakan produk, menentukan
teknis yang digunakan dalam proses produksi, menentukan jenis produk yang
akan dicetak, menentukan jumlah produk yang dicetak, melakukan proses
produksi, menentukan harga produk yang dipasarkan, menentukan strategi
pemasaran dan proses penjualan kepada konsumen. Kesimpulan proses
komodifikasi ini menujukan adanya sistem dan runtutan yang panjang untuk
menciptakan bentuk baru dari karya seni grafis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 125
digilib.uns.ac.id

B. Saran

Terdapat empat saran dalam penelitian ini yang disesuaikan dengan


sasaran yang dituju. Pertama, ditujukan kepada civitas akademik bahwa
penelitian komodifikasi dapat dilakukan dengan pendekatan teori komodifikasi,
psikologis kerpibadian, dan ekonomi mikro secara bersamaan untuk mendapatkan
hasil dari proses terjadinya praktik komodifikasi pada sebuah karya seni dan
merupakan alat analisis yang layak digunakan dalam penelitian-penelitian sejenis
serta memberikan pemahaman bahwa praktik komodifikasi telah merambah pada
sektor benda seni seperti yang terjadi pada komodifikasi karya seni grafis
konvensional di Yogyakarta.
Kedua, ditujukan kepada masyarakat umum bahwa telah terjadi proses
komodifikasi pada karya seni grafis di Yogyakarta akibat adanya dorongan
ekonomi dan psikologi dalam diri seniman. Proses komodifikasi karya seni grafis
ini terdiri dari beberapa tahapan yang diawali dari ide penciptaan produk hingga
proses penjualan produk. Seni grafis memiliki peluang untuk dijadikan sarana
berekspresi dan bereksperimen seni yang dapat sekaligus dijadikan alat untuk
memenuhi kebutuhan hidup dengan pemanfaatan produk seni yang memiliki nilai
artistik, unik dan konten pesan yang kuat.
Ketiga, ditujukan kepada industri kreatif bahwa munculnya komodifikasi
karya seni grafis dapat mendorong lahirnya sebuah produk seni yang memiliki
nilai ekonomi dan keunikan tradisi. Hal ini dapat dijadikan peluang bisinis
barang/produk seni yang memiliki daya saing secara nasional maupun
internasional bagi pengusaha yang bergerak dalam dunia industri kreatif sekaligus
dapat dijadikan sebagai pengembangan citra dan identitas produk bangsa.
Keempat, ditujukan kepada Pemerintah untuk menciptakan sebuah regulasi
kebijakan yang mendukung keberadaan seniman dan karya seni grafis agar
keberlangsungannya tetap terjaga. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
rujukan Pemerintah dalam membuat program-program penigkatan potensi
kesejahteraan masyarakat yang berbasis industri kreatif.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Adityawan S, Arief dan Tim Libang Concept. 2010. Tinjauan Desain Grafis: Dari
Revolusi Industri Hingga Indonesia Kini. Jakarta: PT Concept Media.

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Pers.

Ardika, Wayan. 2008. “Pusaka Budaya dan Nilai-nilai Religiusitas” Pariwisata


dan Komodifikasi Kebudayaan Bali. Denpasar : Seri Penerbitan Ilmiah
Jurusan Arkeologi Fakultas sastra Universitas Udayana.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Penerbit PT. Rineka


Cipta.

Bahari, Nooryan. 2008. Kritik Seni Wacana, Apresiasi, dan Kreasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Bangun, Wilson. 2007. Teori Ekonomi Mikro. Bandung: Penerbit Refika Aditama.

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

Bertens, K. 1981. Filsafat Barat Abad XX Jerman. Jakarta: PT. Gramedia,


Anggota IKAPI.

Benjamin, Walter. 1969. Illuminations: Essays and Reflections. (Translated by


Hannah Arendt). New York: Schocken Books.

Bogdan, R.C. dan Biklen, S.K. 1992. Qualitative Research for Education. United
States of America: Allyn and Bacon.

Bogdan, R.C. and Taylor, S.J. 1975. Introduction to Qualitative Research


Methode. New York : John Willey and Sons.

Dagun, Save M., 1990, Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta .Cet. 1.
commit to user

126
perpustakaan.uns.ac.id 127
digilib.uns.ac.id

Dariyo, Agoes. 2008. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT


Gramedia Widiasarana Indonesia.

Departemen Perdagangan RI, 2008. Studi Industri Kreatif Indonesia. Sumber:


http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2009/05/buku-1-rencana-
pengembangan-ekonomi-kreatif-indonesia-2009.pdf diakses 08/02/2015
pukul 19.00 WIB.

Hasan, Noorhaidi. “The Making of Public Islam: Piety, Agency and


Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere,”
Journal Contemporary Islam, Vol. 3, No. 3: 229-250.

Herdiansyah, Haris. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu


Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hesmondhalgh, David. 2007. The Cultural Industries. Singapore: SAGE


Publications Asia-Pasific Pte. Ltd.

Husnan, Khudori. 2013. Merosot Aura Kebangkitan Seni Politik: Sketsa Falsafat
Walter Benjamin. Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 6.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana


Prenada Group

Marianto, M. Dwi. 1988. Seni Cetak Cukil Kayu. Yogyakarta: Kanisus.

Marshall, Alfred. 1890. Principles of Economics. London: Macmillan and Co.,


Ltd.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. 2nd. London:


Sage Publications.

Nasution, S. 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 128
digilib.uns.ac.id

Nazir, Moh. 2009. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Oktanio, Fery. 2010. In repair: Imaginantion of Resistance, and Idea of


Superhuman.Yogyakarta: Srisasanti Gallery.

Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: teori baru mengenai interpretasi.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas
batas Kebudayaan. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra

_____________. 2010. Semiotika dan Hipersemiotika Kode, Gaya dan Matinya


Makna. Bandung: Matahari.

Primorac, Jaka. 2006. The position of cultural workers in creative industries: the
south-eastern European perspective. European Cultural Foundation.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2011. Metodelogi Penelitian Seni. Semarang: Cipta


Prima Nusantara Semarang.

Rizali, Nanang S. 2014. Nafas Islami dalam Batik Nusantara. Solo: UNS Press.

Samuelson, Paul A dan Wiliam D. Nordhaus. 2001. Makro-Ekonomi, Edisi


Keempatbelas. Jakarta: Erlangga.

Santo, Tris Neddy dkk. 2012. Menjadi Seniman Rupa. Solo: PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri.

Semiun, Yustinus. 2013. Teori-teori Kepribadian Psikoanalitik Kontemporer-1.


Yogyakarta: Kanisius.

Simatupang, Togar. 2007. Industri Kreatif Jawa Barat. Bandung: Sekolah Bisnis
dan Manajemen Institut Teknologi Bandung.

Siregar, Aminudin TH. 2009. Menuju Perspektif Baru Seni Grafis Kita. Jakarta:
Bentara Budaya.

_____________. 2011. “Sang Pencukil: Catatan-catatan dan Pemaknaan”.


Jakarta: Bentara Budaya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 129
digilib.uns.ac.id

Sri Wulandari, Wiwik. 2008. Seni Grafis Yogyakarta dalam Wacana Seni
Kontemporer. Jurnal Visual Art & Desain ITB, Vol. 2, No 1, hal 99-111.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D). Bandung: CV. Alfabeta.

Sukirno, Sadono. 2005. Mikroekonomi: Teori Pengantar, Edisi Ketiga, Jakarta:


Raja Grafindo Persada.

_____________. 2006. Mikro Ekonomi: Teori Pengantar, Edisi Ketiga, Jakarta:


Rajawali Perss.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Sukmawati, Ni Made Rai. 2012. Komodifikasi Kerajinan Seni Patung Kayu di


Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Jurnal Sosial dan
Humaniora, Vol. 2, No 3, hal 211-220.

Sumardjo, Jakob. 2009. Asal-usul Seni Rupa Modern Indonesia. Bandung:


Penerbit Kelir.

Susanto, Mikke. 2011. Diksi Rupa: Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa.
Yogyakarta dan Bali: DictiArt Lab & Djagad Art House.

_____________. 2008. Abstrak. Yogyakarta: Tembi House of Culture.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.

Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendra. Teori-Teori Kebudayaan.Yogyakarta:


Kanisius.

Turner. Bryan. S. 1992. Max Weber: From History to Modernity. London :


Routledge.

Wibowo, Indiwan. 2013. Semiotika Komunikasi- aplikasi praktis bagi peneliti dan
skripsi komunikasi.Jakarta:commit to user Media.
Mitra Wacana
perpustakaan.uns.ac.id 130
digilib.uns.ac.id

Yin, Robert K. 2008. Case Study Research: Design and Methods (Applied Social
Research Methods). Illinois : Sage Publications, Inc.

Yuliman, Sanento. 2001. DUA SENI RUPA, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman.
Jakarta: Penerbit Yayasan Kalam.

Sumber Lain

Majalah Visual Arts, terbit Juni 2010, halaman 23-26. Jakarta: PT Media Visual
Arts.

Katalog Pameran “Trienal Seni Grafis Indonesia II Tahun” Tahun 2009. Jakarta:
Bentara Budaya.

Katalog Pameran Tunggal AT. Sitompul “Monoprint Psycho-Visual” Tahun


2008.Yogyakarta: Tembi Houes of Culture.

Katalog Pameran Tunggal AC. Andre Tanama “Agatos” Tahun 2012.


Yogyakarta: Langgeng Galery.

Katalog Pameran Tunggal Ariswan Adhitama “In Repair” Tahun 2010.


Yogyakarta: Srisasanti Syndicate.

Katalog Pameran Tunggal Irwanto Lentho “Sang Pencukil” Tahun 2011. Jakarta:
Bentara Budya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

LAMPIRAN

A. Biodata Penulis

Nama : Emmanuel Putro Prakoso, S.Sn


Tempat, tanggal lahir : Serang, 02 Agustus 1990
Profesi/jabatan : Mahasiswa
Alamat rumah : Griyaku Widoro Asri 2, RT 41/ RW 12
Kel. Sragen Wetan, Kec. Sragen-Jawa Tengah
Tel : 085328985040 BB 25C8E907
e-mail : emmanuel.putro@rocketmail.com

Riwayat pendidikan di Perguruan Tinggi

No. Institusi Bidang Ilmu Tahun Gelar


1. FSSR UNS Surakarta Seni Rupa Murni 2012 S.Sn

Daftar Karya Ilmiah

No. Judul Penerbit/Forum Ilmiah Tahun

1. Aktivitas Keseharian dan TA FSSR UNS 2012


Teknologi Tepat guna Masyarakat
Suku Baduy Dalam visual Cetak
Tinggi

Surakarta 24 Februari 2014

Emmanuel Putro Prakoso, S.Sn

commit to user

131
perpustakaan.uns.ac.id 132
digilib.uns.ac.id

B. Biografi Narasumber Utama dan Narasumber Penguat

1. Sri Maryanto
Sri Maryanto adalah seniman akademisi kelahiran Klaten, 13 Mei
tahun 1976 yang aktif berkesenian di Yogyakarta. Ia merupakan penggiat seni
grafis yang penuh dedikasi, meskipun memiliki dasar disiplin ilmu seni lukis
selama belajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan seni grafis menjadi
pilihannya dalam mengekspresikan segala gagasan dan konsep pemikirannya.
Sri Maryanto aktif berpameran baik secara kelompok maupun tunggal sejak
tahun 1999 hingga 2014 dengan sekala nasional maupun internasional.
Pameran tunggal terakhirnya dilakukan pada bulan Agustus tahun 2014 di
Bentara Budaya Jakarta yang bertajuk Sprechender Stein (Batu yang
Berbicara), dalam pameran tesebut Sri Maryanto memamerkan karya-karya
seni grafis dengan teknis cetak datar/lithography. Beberapa penghargaan
dalam bidang senipun telah beliau dapatkan seperti, pada tahun 2001 Karya
Drawing Terbaik ISI Yogyakarta, kemudian pada tahun 2003 mendapat juara
tiga pada Trienal Seni Grafis Indonesia, dan pada tahun 2009 mendapat juara
dua untuk stand terbaik pada Festival Seni di Yogyakarta. Aktivitas terkahir
Sri Maryanto selain pameran tunggal adalah melanjutkan studi di Akademie
der Bildenden Künsten München-Jerman mengambil jurusan sejarah seni
hingga saat ini.

2. Bayu Widodo
Bayu widodo adalah seorang seniman akademisi kelahiran 7 Januari
1979 yang berasal dari Yogyakarta. Bayu Widodo menyelesaikan pendidikan
seni di Universitas Tamansiswa Yogyakarta pada tahun 1999 dan
melanjutkan jenjang master seninya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia
adalah seniman yang memiliki banyak bidang keahlian, diantaranya adalah
lukis, grafis, mural, performer, kurator dan menjadi salah satu pendiri dari
SURVIVE!Garage. Bayu Widodo dalam aktivitas berkeseniannya telah
banyak memiliki pengalaman berpameran baik sekala nasional maupun
internasional, seperti pada pada pameran yang bertajuk “No Hold Barred”, di
galeri Artipoli Amsterdam commit
pada tahun
to user2011, kemudian “KULISA”, di
perpustakaan.uns.ac.id 133
digilib.uns.ac.id

Stankovice, Usti Nad Labem Republik Ceko pada tahun 2011, “TRANS-
FIGURATIONS” Mythologies in Indonesia, di Espace Culturel Louis Vitton,
Paris Perancis pada tahun 2011 dan pameran bertajuk “In Residence” di
Megalo Print Studio, Canberra-Australia pada tahun 2010. Tidak hanya
berpameran sekala internasional namun Bayu Widodo pun aktif melakukan
residensi seni di beberapa negara seperti Perancis, Ceko, Australia dan Timor
leste. Aktivitas terakhir yang dilakukan adalah pameran, diskusi seni,
kolaborasi dan eksperimen studio di Megalo Print Studio Canbera-Australia
pada tanggal 22 November 2014.

3. Muhamad Yusuf
Muhamad Yusuf adalah seorang seniman akademisi kelahiran
Lumajang 6 Agustus 1975 yang aktif berkeseni dan bertempat tinggal di
Yogyakarta. Ia menempuh pendidikan seni di Institut Seni Indonesia
Yogyakarta dengan minat utama seni lukis akan tetapi Muhamad Yusuf
dengan berjalannya waktu justru lebih memperdalam seni grafis sebagai
media berekspresinya. “Ucup” nama sapaan populer Muhamad Yusuf ini
dikenal sebagai salah satu pendiri Lembaga Kerakyatan Taring Padi yang
bergerak untuk menyuarakan rasa keprihatinannya atas ketidakadilan sosial,
ha-hak komunitas minoritas dan termarginalkan melalui medi seni cukil,
poster, street theater, musik, festival seni dan workshop yang melibatkan
berbagai komunitas berbeda. Muhamad Yusuf sebagai seniman sangat
konsisten dalam berkarya dan menggunakan media seni grafis dengan teknik
cetak tinggi. Karya-karya cukil Muhamad Yusuf sudah menjadi karakter kuat
identitas dalam visualnya. Pada tahun 2010 Muhamad yusuf
menyelenggarakan pameran tunggalnya yang bertajuk “Aku dan You” di
Tembi Contemporary Jogja dan “Indonesia and I” di Valentine Wllie Art
Singapore. Selain berpameran sekala nasional maupun internasional
Muhamad Yusuf pernah melakukan residensi seni di Australia pada tahun
2002 dan Amsterdam pada tahun 2004. Aktivitas terakhir yang dilakukan
Muhamad Yusuf adalah mengikuti pameran ARTJOG 14 yang bertajuk
“Legacies of Power pada tahun 2014.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 134
digilib.uns.ac.id

4. Deni Rahman

Deni Rahman adalah seorang seniman akademisi kelahiran Cilacap


18 Juni 1979 yang aktif berkeseni dan bertempat tinggal di Yogyakarta. Ia
menempuh pendidikan seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan
minat utama seni grafis dari tahun 1998-2006. Deni Rahman juga dikenal
sebagai salah satu anggota dari komunitas Grafis Minggiran Yogyakarta
sekaligus sebagai staf pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta. Sebagai
seorang seniman grafis, Deni Rahman cukup aktif berpameran hal ini terlihat
dari aktifitas berkeseniannya selama lima tahun terakhir.

Tahun 2014 “500 Seniman Nandur Srawung”, pameran seni rupa,


Taman Budaya Yogyakarta.

Tahun 2013 “Print Parade #1”, pameran seni cetak grafis, Studio Grafis
Minggiran, Yogyakarta.

“Krack”, Printmaking Exhibition, Yogyakarta.


Tahun 2012 “Blaze of Glory”, a visual project Dani & Deni, Survive
Garage, Yogyakarta.
Printmaking Exhibition “ HATNAT”, Langgeng Art
Foundation, Yogyakarta.
Tahun 2011 Jakarta Biennale 14 “Maximum City”.

Crossing Sign Exhibition (Indonesia-Germany artist


Project), TBY Yogyakarta, Galeri Nasional Jakarta.
Pameran Seni Rupa After Effect, bersama mahasiswa Pasca
Sarjana ISI Yogyakarta. Tujuh Bintang Art Space,
Yogyakarta.
Tahun 2010 U(DYS)TOPIA, project Seniman Indoneia-Jerman HFBK
Dresden & Freis Museum Berlin, Jerman.

Aktivitas terakhir yang dilakukan oleh Deni Rahman selain


berpameran dan melakukan workshop seni grafis di komunitas Grafis
Minggiran adalah melanjutkan studi master penciptaan seninya di Institut
Seni Indonesia Yogyakarta.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 135
digilib.uns.ac.id

5. Alexander Nawangseto M

Alexander Nawangseto M adalah seorang seniman akademisi kelahiran


Yogyakarta 7 Juli 1975 yang aktif berkeseni dan berdomisili di Yogyakarta.
Ia menempuh pendidikan seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan
minat utama seni grafis. Alexander Nawangseto M juga dikenal sebagai salah
satu anggota dari komunitas Grafis Minggiran Yogyakarta yang memiliki
profesi sebagai staf pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta. Sebagai
seorang seniman grafis, Alexander Nawangseto M juga cukup aktif dalam
berkesenian hal ini terlihat dari aktifitas pameran dan workshop seni yang
dilakukannya.
Tahun 2014 “500 Seniman Nandur Srawung”, pameran seni rupa,
Taman Budaya Yogyakarta.
Tahun 2013 “Print Parade #1”, pameran seni cetak grafis, Studio Grafis
Minggiran, Yogyakarta.
“Ngebut Benjut”, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta
Tahun 2012 Trienal Seni Grafis Indonesia IV, Bentara Budaya Jakarta,
Yogyakarta, Denpasar, Balai Soedjatmoko Surakarta.
Printmaking Exhibition “ HATNAT”, Langgeng Art
Foundation, Yogyakarta.
Tahun 2011 Festival Kesenian Indonesia VII ”Voice Of The
Archipelago”, ISI Surakarta.
Ekspressive” , Drawing Exhibition, Galeri Biasa,
Yogyakarta.

Pameran Seni Rupa After Effect, bersama mahasiswa Pasca


Sarjana ISI Yogyakarta. Tujuh Bintang Art Space,
Yogyakarta.
Workshop seni grafis (collagraph), Paralel Event Jogja
Biennale XI, SLB Negeri I Bantul, Yogyakarta.
Tahun 2010 Sin City”,(karya kolaborasi studio Grafis Minggiran) Galeri
Nasional, Jakarta.
Tahun 2009 Pemateri Workshop seni grafis cukil kayu ( hardboard cut )
dalam Pameran Exposigns 25 tahun ISI Yogyakarta, Jogja
Expo Center.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 136
digilib.uns.ac.id

C. Dokumentasi Penelitian

Gambar Lampiran 1. Sri Maryanto yang menjual produknya di Festival Kafe Kunts Jerman.
(Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2010)

Gambar Lampiran 2. Sri Maryanto yang menjual produknya di Festival Kesenian Yogyakarta.
(Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2011)

Gambar Lampiran 3. Wawancara bersama Bayu Widodo seorang seniman yang membuat produk
merchanidise dari karya seni grafis konvensionalnya sekaligus pendiri SURVIVE!garage.
(Sumber: Dokumentasi Wahyu Eko Prasetyo, 2014)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 137
digilib.uns.ac.id

Gambar Lampiran 4. SURVIVE!garage sebuah galeri alternatif yang berfungsi sebagai ruang
pamer dan menjual produk-produk merchandise dari Bayu Widodo.
(Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014)

Gambar Lampiran 5. Wawancara bersama Muhamad Yusuf seorang seniman yang membuat
produk merchanidise dari karya seni grafis konvensionalnya sekaligus pendiri dari Lembangga
Kerakyatan Taring Padi.
(Sumber: Dokumentasi Wahyu Eko Prasetyo, 2014)

Gambar Lampiran 6. Ketika Muhamad Yusuf menunjukan master plat cetak, hasil karya grafis
konvensional dan produk emblemnya.
(Sumber: Dokumentasi Wahyu Eko Prasetyo, 2014)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 138
digilib.uns.ac.id

Gambar Lampiran 7. Wawancara bersama Deni Rahman seorang seniman grafis Yogyakarta, staf
pengajar di ISI Surakarta dan sekaligus anggota dari komunitas Grafis Minggiran.
(Sumber: Dokumentasi Wahyu Eko Prasetyo, 2014)

Gambar Lampiran 8. Wawancara bersama Alexander Nawangseto M seorang seniman grafis


Yogyakarta, staf pengajar di ISI Surakarta dan sekaligus anggota dari komunitas Grafis Minggiran.
(Sumber: Dokumentasi Wahyu Eko Prasetyo, 2014)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 139
digilib.uns.ac.id

D. Daftar Pertanyaan Untuk Menggali Data dari Narasumber Utama

1. Sejak tahun berapa anda menciptakan produk benda pakai (merchandise)


dari karya grafis konvensional?
2. Bagaimana sejarah awal menciptakan produk benda pakai (merchandise)
dari karya grafis konvensional anda?
3. Motivasi apa yang mendorong anda untuk memproduksi benda pakai
(merchandise) dari karya grafis konvensional?
4. Sejauh mana pengaruh lingkungan terhadap keberadaan praktik seni dan
produksi bendai pakai (merchandise) yang anda lakukan?
5. Jenis produksi benda pakai (merchandise) apa yang anda ciptakan?
6. Mengapa anda memilih jenis produk benda pakai tersebut yang
diciptakan?
7. Teknik apa saja yang digunakan anda untuk menciptakan karya grafis
konvensional dan memproduksi benda pakai (merchandise)?
8. Bagaimana proses menciptakan produk benda pakai (merchandise) dari
karya grafis konvensional anada?
9. Bagaimana menetukan harga dari produk benda pakai (merchandise) yang
telah diciptakan anda?
10. Berapa harga setiap edisi karya grafis konvensional dan satu jenis produk
benda pakai (merchandise) yang anda ciptakan?
11. Bagaimana cara menjual dan mempromosikan produk benda pakai
(merchandise) yang telah anda ciptakan?
12. Bagaimana respon konsumen terhadap produk benda pakai (merchandise)
yang anda ciptakan?
13. Sejauh mana pengaruh konsumen terhadap rancangan visual produk benda
pakai (merchandise) yang anda ciptakan?
14. Tujuan apa yang ingin dicapai dari penjualan produk benda pakai
(merchandise) yang anda ciptakan selain mendapatkan keuntungan?
15. Dampak positif apa yang dirasakan anda dari masyarakat dengan
menciptakan produk benda pakai (merchandise) dari karya-karya grafis
konvensional?
commit to user
E. DAFTAR NAMA SENIMAN YOGYAKARTA YANG MELAKUKAN PRAKTIK KOMODIFIKASI KARYA SENI
MENJADI SEBUAH PRODUK PAKAI ( MERCHANDISE ) RENTANG TAHUN 1999-2014

NO NAMA SENIMAN JENIS JENIS PRODUK BENTUK VISUAL PRODUK HASIL KOMODIFIKASI
KARYA SENI YANG HASIL
DIKOMODIFIKASIKAN KOMODIFIKASI

1 ADIT HEREHERE Mural Kaos

2 AGUNG Drawing Kaos


KURNIAWAN

140
3 AHMAD OKA Drwaing Kaos dan Boneka

4 ALFIN ANUGBA Cetak Saring Kaos

5 ANUSAPATI Drawing Bantal

141
6 BAYU WIDODO Cukil Kayu, Cetak Saring Kaos dan Kartu Pos

7 DJUAWADI Cukil Kayu Kaos


AHWAL

8 EDDIE HARA Lukis Kaos

142
9 EKO NUGROHO Mural Kaos, Tas, Top, dan
Toys (Mainan)

10 FARID STEVY Lukis Kaos


ASA

11 HENDRA HEHE Lukis Kaos

143
12 INDIEGUERILLA Lukis Kaos dan Tas
S

13 IWAN EFFENDI Drawing Kaos

14 ISROL Mural Kaos


“MEDIALEGAL”

144
15 KRISNA Drawing Kaos
WIDIATHMA

16 KURMA ELDA Drawing Kaos dan Tas


GUSTRIYANTO

17 MUHAMAD Cukil Kayu Kaos, Emblem,


YUSUF Kalender

145
18 RESTU Lukis Boneka
RATNANINGTIY
AS

19 SANTI Lukis Kaos, topi dan Tas


ARIESTYOWATI
DAN
DYAYTMIKO
BAWONO

20 SATRIA RIFAI Cukil Kayu Kaos dan Tas

146
21 SINTA Drawing Tas, Bantal dan
CAROLINA Tempat Pensil

22 SRI MARYANTO Cukil Kayu Kaos dan Tas

23 TAMIMI BOX Drawing Kaos, Cover Buku,


Tempat Pensil

147
24 UJI HANDOKO Drawing Kaos
EKO S

25 WEDHAR RIYADI Lukis dan Drawing Kaos, Bantal dan Tas

148

Anda mungkin juga menyukai