Anda di halaman 1dari 2

Berandal Kampung

Iqbal, itulah namaku. Anak dari keluarga yang dikenal miskin. Ayahku meninggal dunia
beberapa tahun lalu. Kini keseharianku bersama tiga sahabatku, Rahel, Hafis, dan Gita. Dan
rencanaya pagi ini kami akan bermain di tempat biasa kami bermain. Julukan kami di
kampung cukup seram. Kami di juluki dengan “Berandal Kampung”. Kami memiliki musuh
bebuyutan bernama Adam. Dia adalah seorang anak yang terlahir dari keluarga yang kaya
raya.
Cukup kesal ketika Adam mengacak-acak markas kami. Saat itu aku sangat marah pada
Adam. Aku langsung berlari ke markas Adam untuk memberinya hukuman yang harus dia
tanggung. Ternyata dia tak ada di markas, kata tetangganya, dia berada di pasar malam yang
cukup jauh dari tempatnya yang kutemui saat ini.
Tanpa berpikir panjang. Aku bergegas ke pasar malam. Aku marah, marah sekali, ketika
melihat dia sedang senang-senang bersama teman-temannya di sana. Aku berlari sekencang
mungkin menuju tempat berdirinya Adam. Aku melawan Adam dan menendangnya hingga
terjatuh. Di keramaian umum itu aku bertengkar dengannya.
Akupun pulang dengan lebam di muka usai berantem. Tapi sewaktu perjalanan pulang,
masih dalam komplek pasar malam, aku melihat tulisan “Festival Rakit Ciliwung” sebagai
peringatan ulang tahun desa kami, dan ada petugas membagikan brosur.
“Wah,, brosur apa ini om?”
“Brosur semarak gemilang Ciliwung merayakan ulang tahun desa.”
“Boleh diikuti oleh berapa orang dalam satu kelompok?”

“4 sampai 6 orang dek, dan ada yang boleh sendiri tidak berkelompok, tapi rakitnya harus
menepati ukuran, yaitu 50 cm pada setiap sisi.”
“Kalau berkelompok ada batasan gak?”
“Ada, semua itu agar tidak memakan banyak waktu, jika sangat besar berjalannya cukup
lama, jadi yang berkelompok ukuran rakitnya 100cm.”
Aku berfikir bagaimana jika Berandal Kampung mengikuti festival tersebut. Tapi hari ini
adalah hari terakhir mendaftar, untung saja aku masih mendapatkan nomor, yaitu nomor
urut 10, ya, itu nomor terakhir tapi tak apa-apa. Ternyata Adam juga ikut lomba rakit ini.
Aku tak mau bersaing dengan anak sombong itu. Tapi aku yakin kami akan menang.
Rakit tengah kami buat. Rakit ini harus dapat mengalahkan Adam dan gengnya. Sampai
akhirnya persiapan yang dimaksud tiba, dan kami pun hadir di festival rakit Ciliwung. Satu
per satu peserta mulai bergiliran dengan tema-temanya masing-masing.
Sampai akhirnya, giliran tim kami dengan tema Perbedaan Budaya Indonesia. Sampai
akhirnya, kita pun disebut sebagai salah satu pemenangnya. Namun ternyata tidak hanya
kami saja. Kami hanya pemenang tim beregu. Untuk individu dimenangkan Adam.
Panitia festival, dan juga tokoh masyarakat setempat, memanggil aku dan sahabat-
sahabatku, juga memanggil Adam. Ada banyak yang ingin ia sampaikan juga. Ia termasuk juri
pada festival kali ini.
“Kalian Berandal Kampung itu ya?” kata seorang tokoh masyarakat tersebut.
“Iya, kami,” jawab kami kompak dan singkat.
“Ah tak cocok kalian menyandang nama itu,” ujarnya.
“Bagaimana kalian menjadi Pasukan Ciliwung saja,” idenya kepada kami.
“Menjadi Pasukan Ciliwung?” Kami masih terkejut terheran-heran.
“Boleeehh,” jawab kami lagi serempak.
Sementara Adam sedari awal mengangguk-angguk saja. Sampai akhirnya, mulai detik itu
panggilan kami tidak menyeramkan lagi melainkan lebih baik dari sebelumnya. Dan
permusuhan dengan Adam berakhir. Adam menjadi bagian kami, menjadi bagian Pasukan
Ciliwung yang ditugaskan untuk menjaga kelestarian sungai dan alam sekitar Ciliwung.

Penulis: Iqbal

Anda mungkin juga menyukai