Anda di halaman 1dari 7

TUGAS BAHASA INDONESIA TEKS

ULASAN

Oleh :
Alexander Kent 8F/2
Andro Trifandri Armanda Putra 8F/4
Aulia Putri Saraswati 8F/6
Hyasintus Satrya Ranggadewa 8F/16
Keisha Nala Tania Diaz 8F/19
Yovita Rahma Nurzelanti 8F/37

KELAS 8F TAHUN PELAJARAN 2015-2016


A. Identitas Buku
Judul : Jagoan Cilik
Tahun Terbit : 2008
Pengarang : Terbit Chairil
Penerbit : PT Era Adicitra Intermedia
Jumlah Halaman : 88 Halaman
Ukuran buku : 21 cmx18cm
Tebal buku : 1 cm

Kembali Ke Desa
Ditengah dinginnya tetesan embun pagi, sekelompok anak desa
sedang berlarian melewati kebun singkong. Sesekali, mereka
melompati parit-parit kecil dengan lincah. Tangan-tanagn ,ereka
bergerak kesana kemari menyibak dedaunan berembun yang lebat
dan menghijau.

“Rojab, hati-hati, annti kena marah Kakek Yusuf kalau ada yang
rusak!” seru seorang anak yang bertubuh paling gemuk.

“Jangan khawatir, Mar!”jawab Rohab diikuti beberapa teman lain


hampir bersamaan.

Rojab dan teman-temannya tahu benar sifar Kakek Yusuf. Beliau


tidak segan menghukum siapapun yang berbuat salah. Tapi,
meskipun begitu, anak-anak sangat suka kepadanya. Kalau panen
singkong tiba, Kakek Yusuf sering mengajak mereka makan cimplung
singkong selepas mengaji di mushala. Pada waktu panen rambutan,
Kakek Yusuf pasti menyisakan sebatang pohon agar buahnya dapat
dinikmati mereka.
“Hii… dingin,” gigil seorang anak saat mereka sampai di teras
sebuah rumah.

“Aku juga, Will,” sambung Rojab. Ia menggerak-gerakkan badan


untuk mengusir dingin.

“Wal… wil… wal… wil…! Namaku Umar, bukan Kriwil!” gerutu anak
itu yang tidak mau disebut Kriwil.

“Tapi benar, kan, rambutmu kriwel-kriwel alias kriwil?!” Rojab


hendak mengelus kepala Umar.

“Eit, tidak boleh!” Umar berkelit kesamping.


“Sudah…sudah! Kita nggak boleh saling mengejek!” teman lain
berusah menengahi.

“Iya, iya! Ampun, Mar! Ampunilah kesalahan hamba!”Rojab kembali


bercada. Kedua tangannya kini ditangkupkan didepan dada seperti
menyembah sang raja.

Umar hanya tersenyum. Ia sebenarnya tidak benar-benar marah


karena sudah paham dengan sifat Rojab. Dari dulu dia memang suka
bercanda.

“Kuterima maafmu, asal kau yang panggil Hamid!”

“Baiklah, Tuanku!”Rojab menarik napas untuk mengumpulkan


tenaga agar suaranya menjadi keras.

“Ham… mep… pep!”

Belum selesai memanggil nama Hamid, tiba-tiba tangan umar


sudah membungkam mulut Rojab.

“Apa-apaan, sih? Kok, malah ditutup!” Rojab kesal merasa


dipermainkan.

“Memangnya kita di lapangan sepak bola?! Kalau mau bertamu


harus sopan.”
“Eh, iya, lupa” Rojab menutup mulut sendiri dengan jari tangan.
Matanya melirik ke kanan-kiri, memerhatikan teman-teman yang
tertawa cekikikan menyaksikan tingkahnya.

“Assalamu’alaikum!” Rojab memperbaiki kesalahannya.

“Wa’alaikum salam!”

Anak-anak terdiam, menunggu orang yang akan keluar


menyambut mereka.

“Eh, kalian. Mari masuk!” ajak wanita berumur lanjut yang muncul
setelah daun pintu terbuka.
“Terima kasih, Nek!” Anak-anak menjawab serempak. “Kami mau
mengajak Hamid main bola di lapangan,” terang mereka sopan.

“Oh, tunggu sebentar, ya, nenek panggilkan Hamid dulu,” ucap


nenek sembari melangkah ke dalam rumah.

Hamid yangs edangd ipanggil adalah kawan baru bagi Umar dan
kawan-kawan laun di Desa Majasem. Walaupun sebenarnya ia juga
lahir di desa itu, tetapi ketika berumur setengah tahun, Hamid dibawa
keluarganya yang pindah tugas ke Jakarta. Dan atas permintaan
Kakek Yusuf, kini dia tinggal di Desa Majasem kembali. Tentu saja
tanpa kehadiran orang tuanya karena keduanya tetap bekerja di
Jakarta.

Memang, tidak mudah bagi Hamid untuk menyesuaikan diri


dengan suasana desa. Apalagi telah hampir sebelas tahun ia berpisah
dengan desa tersebut. Di desa, dia tidak lagi bebas menonton telefisi.
Kakek Yusuf juga melarangnya bermain Play Station.

“Di sini tidak ada begituan. Adanya Cuma di kota!” ujar Kakek
Yusuf waktu Hamid merengek minta bermain seperti saat di Jakarta.

Mendengar jawaban kakeknya, Hamid diam tak berkutik. Perlahan


kemarahan Hamid hilang sama sekali. Sekarang, dia mau berkawan
dengan anak-anak desa, lalu kembali melanjutkan sekolah di kelas
enam.

Tanpa diduga sebelumnya, ternyata di MI Al-Islam, Hamid bertemu


dengan kawan-kawan yang sangat kompak. Persahabatannya dengan
anak-anak itu sangat berbeda dibandingkan dengan teman-teman di
kota. Semua terasa begitu dekat. Bahkan sampai-sampai keluarga
sahabatnya mengenal Hamid seperti keluarganya sendiri.

Lebih gembira lagi saat keinginannya bermain bola dapat


terwujud. Jadi,tidak hanya main bola di Play Station saja.
Hamid juga sudah mau ke mushala untuk mengaji. Walaupun
semula ia malu karena harus mulai dari awal denhgan menggunakan
iqra bersama anak-anak kecil, tapi kawan-kawannya bukannya
mengejek. Mereka malah membanti Hamid dalam belajar membaca
Al-Quran.

Setelah menunggu sekitar lima menit, muncullah seorang anak dari


balik pintu. Ia tampak bongsor dan berkulit putih bersih, berbeda
dengan Rojab dan kawan-kawannya yang kulitnya agak legam
terkena sinar matahari. Dialah Hamid.

“Wah, kalian sudah siap rupanya,” sambut Hamid saat melihat


serombongan anak sedang menunggu di teras.

“Iya, dooong….!” Rojab memonyongkan mulut hingga


mengundang tawa.

“Ah, kamu bisa saja.” Hamid tak bisa menahan senyum. “Basiran
kok tidak ada? Di mana dia?” Hamid menanyakan teman lainnya.

“Pagi-pagi begini, Basiran sedang membantu emaknya


mengantarkan tempeke langganan.”

“Oh ya, aku lupa.” Hamid memegang dahinya saat teringat


kegiatan Basiran setiap pagi.
“Sayang sekali dia tidak ikut.”

“Tenang saja. Dian anti pasti menyusul ke lapangan,” kata Umar


berusaha menghibur.

“Dari mana kau tahu?”

“Habis shalat Subuh berjamaah pagi tadi, dia bilang kepadaku.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Sebaiknya kita segera berangkat.” Rojab sekarang tidak sabar


untuk datang ke lapangan. “Penonton pasti sudah menunggu aksi
kita.”

“Sebentar, aku masuk dulu!” Hamid kembali masuk ke rumah


dengan tergesa. Dan, begitu keluar, dia sudah menyandang tas
ransel.

“Apa isinya?” Tanya seorang anak penasaran.

“Pasti doping!”

“Wah… enak, dong. Habis main bola, kita makan doping!” Rojab
kelihatan gembira sekali.

“Eih, doping bukan makanan!” sergah teman lain sambil menahan


geli.

“Doping itu kalau di tivi, artinya curang. Iya, kan?!”

“Kita ‘kan dilarang main curang,” potong Rojab cepat, “kalau


begitu, aku tidak ikut saja!”

“Sudahlah, ini bukan doping! Kita juga tidak akan main curang,”
sela Hamid melihat Rojab kian bingung. “Di tas ini hanya ada buah
jeruk, pemberian kakekku waktu ke pasar.”

“Asyiiik, mmm… sedaaap!” sorak anak-anak kegirangan setelah


Hamid memberitahukan isi tas ransel di punggungnya.
Mereka segera berhamburan menuju lapangan untuk bertanding
melawan kesebelasan dari Desa Pancasan.
Sumber : Chairil Terbit, 2008. Jagoan Cilik. Solo:Era Adicitra Intermedia.

Anda mungkin juga menyukai