ABSTRAK
Profesi Akuntan Publik (auditor) ibarat "pedang bermata dua", di satu sisi auditor
harus memperhatikan kredibilitas dan etika profesinya, namun di sisi lain juga harus
menghadapi tekanan dari klien dalam berbagai pengambilan keputusan, namun di sisi lain
juga harus menghadapi tekanan dari klien dalam berbagai pengambilan keputusan auditor's
decision making. Jika auditor tidak mampu menahan tekanan dari klien seperti tekanan
personal, emosional atau finansial maka independensi auditor akan terganggu. tekanan
personal, emosional atau finansial maka independensi auditor sudah berkurang dan dapat
mempengaruhi kualitas audit. dan dapat mempengaruhi kualitas audit. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis dan membuktikan bukti empiris pengaruh pengalaman,
pengetahuan, lama kontak dengan klien, tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor, dan
jasa non audit yang diberikan KAP terhadap kualitas audit. yang diberikan KAP terhadap
kualitas audit. Sampel yang digunakan sebanyak 79 responden yaitu auditor pada 18 KAP
di Kota Semarang. Sedangkan untuk menjawab hipotesis penelitian menggunakan alat
analisis alat analisis regresi berganda, setelah sebelumnya dilakukan pengujian asumsi
klasik. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengalaman dalam melakukan
audit, pengetahuan seorang auditor dan telaah dari rekan auditor (peer review) berpengaruh
positif terhadap kualitas audit. Sehingga semakin dalam dan luas pengetahuan seorang
auditor dan semakin berpengalaman dalam bidang audit serta telaah dari rekan sesama
auditor (peer review). bidang audit serta telaah dari rekan sesama auditor, maka akan
semakin baik pula kualitas audit yang dilakukan. Sedangkan lama hubungan dengan klien,
tekanan dari klien, dan jasa non audit yang diberikan KAP.
PENDAHULUAN
Salah satu manfaat dari jasa akuntan publik adalah memberikan informasi yang
akurat dan dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan (Spathis & Ananiadis, 2005).
Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik lebih wajar dibandingkan
dengan laporan keuangan yang tidak atau belum diaudit (Okoye & Ofoegbu, 2006). Para
pemakai laporan audit mengharapkan bahwa laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik bebas dari salah saji yang material, dapat dipercaya untuk digunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi
yang berlaku di Indonesia (Boynton & Johnson, 2005) (Gray, 2008). Oleh karena itu,
jasa profesional yang independen dan obyektif (yaitu akuntan publik) diperlukan untuk
menilai kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen.
Banyaknya kasus perusahaan yang "jatuh" karena kegagalan bisnis yang
dikaitkan dengan kegagalan auditor, hal ini mengancam kredibilitas laporan keuangan
(Mangena & Pike, 2005). Ancaman ini selanjutnya mempengaruhi persepsi masyarakat,
khususnya pengguna laporan keuangan terhadap kualitas audit (Rezaee, 2004). Kualitas
audit ini menjadi penting karena dengan kualitas audit yang tinggi akan menghasilkan
laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. De
Angelo (1981) dalam (Watkins et al., 2004) mendefinisikan kualitas audit sebagai
kemungkinan bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran dalam
sistem akuntansi klien. Temuan pelanggaran yang mengukur kualitas audit berhubungan
dengan pengetahuan dan keahlian auditor. Sementara itu, pelaporan pelanggaran
tergantung pada dorongan auditor untuk mengungkapkan pelanggaran tersebut (Potoski
& Prakash, 2004). Dorongan ini akan tergantung pada independensi yang dimiliki
auditor. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor, diantaranya adalah
pengetahuan dan pengalaman. Untuk melaksanakan tugas pengauditan, auditor
memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan mengenai
bidang auditing, akuntansi, dan industri klien (Low, 2004). Hal-hal yang terutang dalam
Standar Umum ini nantinya akan dijadikan tolak ukur atau parameter seorang auditor
dapat dikatakan independen dan kompeten atau tidak dalam penelitian ini (Richard,
2006). Dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seorang yang ahli
dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan
formal, yang selanjutnya diperluas melalui pengalaman dan praktik audit (SPAP, 2001).
Selain itu, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang memadai yang mencakup aspek
pendidikan teknis dan umum (Eraut et al., 2004) (Wessels, 2005). Asisten junior untuk
mencapai keahlian harus menerima supervisi dan review yang memadai atas pekerjaan
mereka dari atasan mereka yang lebih berpengalaman. Seorang auditor harus selalu
mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Seorang auditor
harus mempelajari, memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip
akuntansi dan standar auditing yang diterapkan oleh organisasi profesi. Dalam rangka
menunjang profesionalisme sebagai akuntan publik, auditor dalam melaksanakan tugas
audit harus berpedoman pada standar audit yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI), yaitu standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan.
Dimana standar umum merupakan cerminan dari mutu personal yang harus dimiliki
seorang auditor yang mengharuskan auditor memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang
cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan standar pekerjaan lapangan dan
standar pelaporan mengatur auditor dalam hal pengumpulan data dan kegiatan lain yang
dilakukan selama audit serta mewajibkan auditor untuk menyusun laporan atas laporan
keuangan yang diauditnya secara keseluruhan. Namun, selain standar audit, akuntan
publik juga harus mematuhi kode etik profesi yang mengatur perilaku akuntan publik
dalam menjalankan praktik profesinya baik dengan sesama anggota maupun dengan
masyarakat umum.
Kode etik ini mengatur tentang tanggung jawab profesi, kompetensi dan kehati-
hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional dan standar teknis bagi seorang
auditor dalam menjalankan profesinya (Cosserat & Rodda, 2009). Akuntan publik atau
auditor independen dalam tugasnya mengaudit perusahaan klien memiliki posisi yang
strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan perusahaan klien, yaitu ketika akuntan
publik mengemban tugas dan tanggung jawab dari pihak manajemen (Agent) untuk
mengaudit laporan keuangan perusahaan yang dikelolanya (Carmichael, 2004). Dalam
hal ini, pihak manajemen menginginkan kinerjanya selalu terlihat baik di mata pihak
eksternal perusahaan, terutama pemilik (principal). Namun, di sisi lain, pemilik
(principal) menginginkan agar auditor melaporkan secara jujur keadaan yang ada pada
perusahaan yang telah dibiayainya. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa terdapat
kepentingan yang berbeda antara manajemen dan pemakai laporan keuangan.
Kepercayaan yang besar dari para pemakai laporan keuangan yang telah diaudit dan
jasa-jasa lain yang diberikan oleh akuntan publik inilah yang pada akhirnya
mengharuskan akuntan publik untuk memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya.
Pertanyaan dari masyarakat mengenai kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan
publik semakin besar setelah banyaknya skandal yang melibatkan akuntan publik baik
di luar negeri maupun di dalam negeri. Skandal di dalam negeri dapat dilihat dari
tindakan yang diambil oleh Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
terhadap 10 Kantor Akuntan Publik yang terindikasi melakukan pelanggaran berat
saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi pada tahun 1998. Selain itu, adanya kasus-
kasus keuangan dan manajerial perusahaan publik yang tidak dapat dideteksi oleh
akuntan publik sehingga menyebabkan perusahaan tersebut didenda oleh Bapepam
(Winarto, 2002 dalam (Christiawan, 2002)). De Angelo dalam (Tjun et al., 2012)
Mendefinisikan kualitas audit sebagai suatu kemungkinan (joint probability) dimana
seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem
akuntansi kliennya. Probabilitas bahwa auditor akan menemukan salah saji tersebut
tergantung pada kualitas pemahaman (kompetensi) auditor sedangkan tindakan
melaporkan salah saji tersebut tergantung pada independensi auditor. (Tjun et al., 2012)
mengatakan bahwa untuk melaksanakan tugas pengauditan, auditor memerlukan
pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang auditing
dan akuntansi serta pemahaman atas industri klien. Dalam melaksanakan audit, auditor
harus bertindak sebagai seorang yang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing.
Pencapaian keahlian diawali dengan pendidikan formal, yang kemudian melalui
pengalaman dan praktik audit (SPAP, 2001). Selain itu, auditor harus menjalani
pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek pendidikan teknis dan umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Frederick (1990) dalam (Tjun et al., 2012)
menemukan bahwa auditor yang berpengalaman memiliki pemahaman yang lebih baik
atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberikan penjelasan yang masuk
akal atas kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan
berdasarkan tujuan audit dan struktur sistem akuntansi yang mendasarinya (Libby et al,
1985) dalam (Mayangsari, 2000).
Tubbs (1990) dalam (Mayangsari, 2000) berhasil menunjukkan bahwa semakin
berpengalaman auditor, maka semakin peka terhadap salah saji laporan keuangan dan
semakin memahami hal-hal yang berhubungan dengan kesalahan yang ditemukan.
Namun, sesuai dengan tanggung jawabnya untuk meningkatkan tingkat keandalan
laporan keuangan suatu perusahaan, akuntan publik tidak hanya perlu memiliki
kompetensi atau keahlian saja tetapi juga harus bersikap independen dalam melakukan
audit. Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak
percaya dengan hasil audit dari auditor sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa
pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, eksistensi seorang auditor ditentukan
oleh independensinya (Supriyono, 1988). Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam
SPAP, 2001) menyebutkan bahwa "Dalam semua hal yang berhubungan dengan
perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor". Standar
ini mengharuskan auditor harus bersikap independen (tidak mudah dipengaruhi), karena
ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak
diperkenankan memihak kepada kepentingan siapapun, karena bagaimanapun
sempurnanya keahlian teknis yang dimilikinya, ia akan kehilangan sikap tidak memihak
yang justru sangat penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya.
Independensi yang dimaksud di atas tidak sama maknanya dengan sikap seorang jaksa
dalam suatu perkara pengadilan, tetapi dapat disamakan dengan sikap tidak memihak
dari seorang hakim. Auditor mengakui kewajiban tidak hanya kepada manajemen dan
pemilik perusahaan, tetapi juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan
kepercayaan atas laporan auditor independen, seperti calon pemilik dan kreditor
(Staubus, 2005). Hal inilah yang menarik untuk diperhatikan bahwa profesi akuntan
publik bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, auditor harus memperhatikan
kredibilitas dan etika profesi, namun di sisi lain, auditor juga harus menghadapi tekanan
dari klien dalam berbagai pengambilan keputusan. Jika auditor tidak mampu menahan
tekanan dari klien seperti tekanan pribadi, emosional atau keuangan maka independensi
auditor telah berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit. Salah satu faktor lain
yang mempengaruhi independensi tersebut adalah jangka waktu auditor memberikan
jasa kepada klien (tenure auditor). Di Indonesia, masalah audit tenure untuk masa kerja
auditor dengan klien diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 423/KMK.02/2008
tentang jasa Akuntan Publik. Keputusan Menteri tersebut membatasi masa kerja auditor
maksimal 3 tahun untuk klien yang sama, sedangkan untuk Kantor Akuntan Publik
(KAP) bisa sampai 5 tahun. Pembatasan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
skandal akuntansi. Penelitian yang dilakukan oleh Gash dan Moon (2003) dalam (Tjun
et al., 2012) menghasilkan temuan bahwa kualitas audit meningkat seiring dengan
lamanya audit tenure. Temuan ini menarik karena ternyata mendukung pendapat yang
menyatakan bahwa pertimbangan auditor antara auditor dan klien menjadi berkurang.
Terkait dengan lamanya masa kerja antara auditor dan klien, kegagalan auditor
tampaknya lebih banyak terjadi pada masa kerja yang pendek dan terlalu lama
(Wooten, 2003) dalam (Tjun et al., 2012). Setelah auditor menerima penugasan klien
baru, pada penugasan pertama auditor membutuhkan waktu untuk memahami klien
sehingga ada kemungkinan auditor menemukan salah saji yang material. Selain itu,
auditor belum begitu akrab dengan lingkungan bisnis klien dan sistem akuntansi klien
sehingga sulit untuk mendeteksi salah saji. Namun, semakin lama masa kerja ini dapat
membuat auditor terlalu nyaman dengan klien dan tidak menyesuaikan prosedur audit
untuk merefleksikan perubahan bisnis dan risiko yang terkait (Khalifa et al., 2007).
Auditor menjadi kurang skeptis dan kurang waspada dalam memperoleh bukti. Terdapat
beberapa penelitian mengenai kualitas audit yang telah dilakukan baik dari segi topik
maupun metode penelitian (Tjun et al., 2012). Dari sisi metode penelitian, saat ini masih
sedikit penelitian yang dilakukan terhadap pengembangan kerangka konseptual yang
dapat menangkap konstruk kualitas audit. Perlu dikembangkan suatu model yang
komprehensif mengenai kualitas audit sehingga model tersebut dapat menangkap
kompleksitas yang terdapat dalam penelitian kualitas audit.
Penelitian yang dilakukan oleh Gash dan Moon (2003) dalam (Tjun et al., 2012)
menghasilkan temuan bahwa kualitas audit meningkat seiring dengan lamanya audit
tenure. Temuan ini menarik karena ternyata mendukung pendapat yang menyatakan
bahwa pertimbangan auditor antara auditor dan klien berkurang. Terkait dengan
lamanya masa kerja antara auditor dan klien, kegagalan auditor tampaknya lebih banyak
terjadi pada masa kerja yang pendek dan terlalu lama (Wooten, 2003) dalam (Tjun et
al., 2012). Setelah auditor menerima penugasan dari klien baru, pada penugasan pertama
auditor membutuhkan waktu untuk memahami klien sehingga ada kemungkinan auditor
menemukan salah saji yang material. Selain itu, auditor belum begitu mengenal
lingkungan bisnis klien dan sistem akuntansi klien sehingga sulit untuk mendeteksi salah
saji. Namun, semakin lama masa perikatan ini dapat membuat auditor terlalu nyaman
dengan klien dan tidak menyesuaikan prosedur audit untuk mencerminkan perubahan
bisnis dan risiko yang terkait. Auditor menjadi kurang skeptis dan kurang waspada
dalam hal memperoleh bukti. Terdapat beberapa penelitian mengenai kualitas audit yang
telah dilakukan baik dari segi topik maupun metode penelitian (Tjun et al., 2012). Dari
sisi metode penelitian, saat ini masih sedikit penelitian yang dilakukan terhadap
pengembangan kerangka konseptual yang dapat menangkap konstruk kualitas audit.
Perlu dikembangkan suatu model yang komprehensif mengenai kualitas audit sehingga
model tersebut dapat menangkap kompleksitas yang terdapat dalam penelitian kualitas
audit.
Penelitian ini akan menggunakan model kualitas De Angelo (1981) dalam Deis
dan Giroux (1992), yaitu kualitas yang terdiri dari dua variabel. Berkaitan dengan hal
tersebut, pembahasan akan difokuskan pada "dua dimensi" kualitas audit, yaitu keahlian
(kompetensi) dan independensi. Selanjutnya, keahlian diproksikan dengan pengalaman
dan pengetahuan. Sedangkan independensi diproksikan dengan lama kontak dengan
klien, tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor, jasa non audit.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, variabel yang akan diteliti adalah kompetensi, independensi,
dan kualitas audit (Khalifa et al., 2007). Kompetensi akan diproksikan dengan
pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan independensi akan diproksikan dengan
lamanya hubungan dengan klien, tekanan dari klien, telaah dari auditor sejawat (peer
review), jasa non audit yang diberikan oleh KAP. Variabel independen dalam penelitian
ini adalah pengalaman, pengetahuan, hubungan dengan klien, tekanan dari klien,
telaah dari rekan auditor (peer review), jasa non audit yang diberikan KAP. Sedangkan
kualitas audit sebagai variabel dependen.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh auditor independen yang bekerja di Kantor
Akuntan Publik (KAP) yang berada di Semarang (Direktori IAI Kompartemen Akuntan
Publik, 2003). Alasannya karena kota Semarang merupakan salah satu kota besar di Jawa
Tengah yang terdapat banyak akuntan publik besar maupun kecil, yang menuntut
keberadaan auditor independen dalam melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan
dalam memberikan opini atas dasar hasil pemeriksaannya, sehingga keterlibatannya dalam
menentukan kualitas audit. Sampel yang dipilih dari populasi dianggap mewakili
keberadaan populasi. Adapun teknik pengambilan sampel menggunakan purposive
sampling, hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dengan tujuan penelitian dan relatif
dapat dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya (Sheu et al., 2009) (Guarte &
Barrios, 2006) (Tongco, 2007) (Noy, 2008). Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data primer, data primer adalah data yang diperoleh secara langsung yang
bersumber dari jawaban kuesioner dari responden yang akan dikirimkan langsung kepada
auditor dari beberapa akuntan publik di Semarang ( HOX boeije, 2005).
Data dikumpulkan melalui metode kuesioner, yaitu menyebarkan daftar pertanyaan
(kuesioner) yang akan diisi atau dijawab oleh responden auditor pada Kantor Akuntan
Publik di Semarang (Gosling et al., 2004). Kuesioner terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama berisi sejumlah pertanyaan yang bersifat umum. Bagian kedua, berisi sejumlah
pertanyaan yang berkaitan dengan keahlian dan independensi auditor. Kuesioner diberikan
secara langsung kepada responden. Responden diminta untuk mengisi daftar pertanyaan
tersebut, kemudian memintanya untuk mengembalikannya melalui peneliti yang akan
langsung mengambil kuesioner yang telah diisi pada Kap yang bersangkutan. Kuesioner
yang telah diisi oleh responden kemudian diseleksi terlebih dahulu sehingga kuesioner
yang tidak lengkap pengisiannya tidak diikutsertakan dalam analisis. Pengukuran variabel
menggunakan instrumen pertanyaan tertutup. Instrumen tersebut berjumlah 31 pertanyaan
yang berkaitan dengan variabel independen yang diteliti dan diukur dengan menggunakan
skala likert dari 1 sampai 5. Responden diminta untuk memberikan pendapat pada setiap
butir pertanyaan, mulai dari sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju.
METODE ANALISIS
Pertama, instrumen (kuesioner) yang digunakan dalam penelitian ini harus diuji
validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu. Uji validitas dimaksudkan untuk mengukur
sejauh mana ketepatan alat ukur penelitian atau arti sebenarnya yang diukur (Imam,
2005). Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis butir.
Korelasi yang digunakan adalah Person Product Moment. Jika koefisien korelasi (r)
bernilai positif dan lebih besar dari r tabel, maka dinyatakan butir pernyataan tersebut
valid atau sahih. Jika sebaliknya, bernilai negatif, atau positif tetapi lebih kecil dari r
tabel, maka butir pernyataan tersebut dinyatakan tidak valid dan sebaiknya dihapus. Uji
reabilitas dimaksudkan untuk menguji konsistensi suatu kuesioner dalam mengukur
suatu kontruk yang sama atau kestabilan suatu kuesioner jika digunakan dari waktu ke
waktu (Imam, 2005). Uji reabilitas dilakukan dengan metode Internal consistency.
Reliabilitas instrumen penelitian dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan
koefisien Cronbach's Alpha. Jika nilai koefisien alpha lebih besar dari 0,6 maka
disimpulkan bahwa instrumen penelitian tersebut reliabel atau handal (Nunnaly dalam
(Imam, 2005)).
PENGUJIAN ASUMSI KLASIK
Karena alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
regresi berganda, maka perlu dilakukan pengujian asumsi-asumsi yang diisyaratkan
dalam analisis regresi berganda untuk memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbias
Estimate) seperti yang disarankan oleh Gujarti (1999). Uji asumsi klasik dalam
penelitian ini meliputi uji normalitas, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas.
kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus
diagonal, dan plotting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi
data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan
mengikuti garis diagonalnya (Imam, 2005). Hasil scatter plot untuk uji normalitas
adalah sebagai berikut:
Histogram Variabel Dependen : kualitas Normal P-P Plotn of
regression standarized residual variabel
dependen : kualitas audit
Jika dilihat berdasarkan grafik di atas, maka data dari semua data terdistribusi secara
normal. Hal ini dikarenakan semua garis normalitas ditunjukkan oleh titik-titik yang
berada tidak jauh dari garis diagonal.
UJI MULTIKOLINERITAS
Multikolinearitas berarti adanya hubungan linear yang "sempurna" atau pasti,
antara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan model regresi. Istilah
multikolinearitas berkaitan dengan adanya lebih dari satu hubungan linear yang pasti, dan
istilah kolinearitas dengan derajat satu hubungan linear (Gujarati, 1999;157). Menurut
(Imam, 2005) multikolinearitas juga dapat dilihat dari nilai Tolerance dan lawannya
Variance Inflation Factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel bebas
manakah yang dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Dalam pengertian sederhana
setiap variabel bebas menjadi variabel terikat dan diregresikan terhadap variabel bebas
lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel bebas yang terpilih yang tidak dapat
dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan
nilai VIF yang tinggi (karena VIF = 1/tolerance) dan menunjukkan adanya
kolinearitas yang tinggi. Nilai cutoff yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0,10 atau
sama dengan nilai VIF di atas 10. Setiap analisis harus menentukan tingkat kolinearitas
yang masih dapat ditolerir. Pengujian multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan
nilai VIF. Hasil pengujian diperoleh sebagai berikut:
Model Statistik Kolinearitas
Toleransi VI
F
1 Pengalaman .757 1.321
Pengetahuan .724 1.381
Hubungan dengan klien .817 1.223
Tekanan dari klien .857 1.166
Penelaahan terhadap .927 1.078
sesama
auditor
Layanan non-audit .943 1.060
Dari hasil tersebut menunjukan bahwa semua variabel bebas memiliki nilai V yang jauh
dibawah angka 10 sehingga dapat dikatakan bahwa semua konsep pengukuiran variabel
yang digunakan tiddak mengandung masalah multikolinearitas. Maka model
regresi yang ada layak digunakan dalam memprediksi kualitas audit.
UJI HETEROSKEDASITAS
(Imam, 2005) juga berpendapat bahwa uji heteroskedastisitas bertujuan untuk
menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut
heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak
terjadi heteroskedastisitas. Mendeteksi heterokedastisitas dengan melihat ada tidaknya
pola tertentu pada grafik, dimana sumbu X adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu
X adalah residual (Y prediksi - Y) yang telah di-studentized. (Singgih Santoso, 2000),
grafik hasil uji heteroskedastisitas adalah sebagai berikut:
Dari grafik tersebut terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak, tidak membentuk
suatu pola tertentu yang jelas, serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0
(nol) pada sumbu Y. Hal ini berarti tidak terjadi heteroskedastisitas pada model
regresi. Hal ini berarti tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga
model regresi layak dipakai untuk memprediksi Y. Pengujian Hipotesis
Alat statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah regresi berganda.
Hal ini sesuai dengan rumusan masalah, tujuan dan hipotesis yang diusung dalam
penelitian ini. Regresi berganda mengkorelasikan satu variabel dependen dengan
beberapa variabel independen dalam satu modal prediksi. Model regresi berganda yang
digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam persamaan berikut:
Y = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β7 X7 +e ............................... (1)
Dimana:
Y : Kualitas Audit, X1 : Pengalaman, X2 : Pengetahuan, X3 : Hubungan dengan klien,
X4 : Telaah dari rekan auditor, X5 : Jasa non-audit yang diberikan KAP, X6 : Intrecept,
β1, : Koefisien variabel pengalaman, β2, : Koefisien variabel pengetahuan, β3:
Koefisien variabel hubungan dengan klien, β4 : Koefisien variabel tekanan dari klien,
β5 : Koefisien variabel telaah dari rekan auditor, β6 : Koefisien variabel jasa non audit
yang diberikan KAP, e : Error.
Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen diuji pada tingkat
signifikansi 5%. Kriteria pengambilan keputusan dalam menerima dan menolak setiap
hipotesis adalah dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel untuk masing-
masing koefisien regresi. Apabila t hitung lebih kecil dari t tabel, maka hipotesis nol
(Ho) tidak dapat ditolak. Dan jika t hitung lebih besar dari nilai t tabel, maka Ho ditolak.
Selain kriteria perbandingan t hitung dengan t tabel, digunakan juga kriteria p value
(kekuatan koefisien regresi dalam menolak Ho). Jika p value = 0,05 maka Ho ditolak
dan jika p value > 0,05 maka Ho tidak dapat ditolak.
(Konstan)
Pengalaman
Pengetahuan
UJI F (F-test)
Uji F (F-test) dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh variabel independen
yaitu Pengalaman, Pengetahuan, Lamanya Hubungan dengan Klien, Tekanan dari
Klien, Telaah dari Rekan Auditor dan Jasa Non Audit secara simultan (bersama-sama).
Kriteria yang digunakan adalah:
Ho: Tidak ada pengaruh Pengalaman, Pengetahuan, Lamanya Hubungan dengan
Klien, Tekanan dari Klien, Telaah dari Rekan Auditor dan Jasa non audit
terhadap kualitas audit.
Ha: Terdapat pengaruh Pengalaman, Pengetahuan, Lama Hubungan dengan
Klien, Tekanan dari Klien, Telaah dari Rekan Auditor dan jasa non audit
terhadap kualitas audit.
a. Prediktor: (Constant), Jasa non audit, Pengalaman, Tekanan dari klien, Telaah dari
rekan auditor,
Hubungan dengan klien, Pengetahuan
(Konstan)
Pengalaman
Pengetahuan
REFERENSI
Boynton, W. C., & Johnson, R. N. (2005). Audit modern: Jasa asurans dan integritas pelaporan keuangan.
John Wiley & Sons.
Carmichael, D. R. (2004). PCAOB dan tanggung jawab sosial auditor independen. Accounting
Horizons, 18(2), 127.
Choo, F., & Trotman, K. T. (1991). Hubungan antara struktur pengetahuan dan pertimbangan untuk
auditor yang berpengalaman dan tidak berpengalaman. Accounting Review, 464-485.
Christiawan, Y. J. (2002). Kompetensi dan independensi akuntan publik: refleksi hasil penelitian
empiris. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 4(2), 79-92.
Cosserat, G., & Rodda, N. (2009). Modern auditing. John Wiley & Sons.
Deis Jr, D. R., & Giroux, G. A. (1992). Faktor penentu kualitas audit di sektor publik. Accounting Review,
462- 479.
Eraut, M., Steadman, S., Furner, J., Maillardet, F., Miller, C., Ali, A., & Blackman, C. (2004).
Pembelajaran di tempat kerja profesional: hubungan antara faktor pembelajaran dan faktor
kontekstual. Makalah Konferensi AERA, San Diego, 12.
Gosling, SD, Vazire, S., Srivastava, S., & John, OP (2004). Haruskah kita mempercayai penelitian
berbasis web?
Analisis komparatif dari enam prasangka tentang kuesioner internet. American Psychologist, 59(2), 93.
Gray, D. (2008). Akuntansi dan audit forensik: Dibandingkan dan dikontraskan dengan akuntansi dan audit
tradisional. American Journal of Business Education, 1(2), 115-126.
Guarte, J. M., & Barrios, E. B. (2006). Estimasi di bawah pengambilan sampel purposif.
Communications in Statistics - Simulation and Computation, 35(2), 277-284.
Harhinto, T. (2004). Pengaruh keahlian dan independensi terhadap kualitas audit studi empiris pada KAP
di Jawa Timur. Semarang. Tesis Maksi: Universitas Diponegoro.
Hox, J. J., & Boeije, H. R. (2005). Pengumpulan data, primer versus sekunder.
Imam, G. (2005). Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Khalifa, R., Sharma, N., Humphrey, C., & Robson, K. (2007). Wacana dan perubahan audit:
Transformasi dalam metodologi di bidang audit profesional. Jurnal Akuntansi, Auditing &
Akuntabilitas.
Low, K. (2004). Pengaruh spesialisasi industri terhadap penilaian risiko audit dan keputusan perencanaan
audit. The Accounting Review, 79(1), 201-219.
Mangena, M., & Pike, R. (2005). Pengaruh kepemilikan saham komite audit, keahlian keuangan dan
ukuran pada pengungkapan keuangan interim. Riset Akuntansi dan Bisnis, 35(4), 327-349.
Mayangsari, S. (2000). Pengaruh Keahlian Audit dan Independensi terhadap Pendapat
Audit: Sebuah Kuasieksperimen. Universitas Gadjah Mada.
Noy, C. (2008). Pengetahuan pengambilan sampel: Hermeneutika pengambilan sampel bola salju dalam
penelitian kualitatif. Jurnal Internasional Metodologi Penelitian Sosial, 11(4), 327-344.
Okoye, E. I., & Ofoegbu, G. N. (2006). Relevansi standar akuntansi dan audit dalam pelaporan keuangan
perusahaan di Nigeria; Penekanan pada kepatuhan. Akuntan Nigeria, 39(4).
Potoski, M., & Prakash, A. (2004). Dilema regulasi: Kerja sama dan konflik dalam tata kelola
lingkungan. Public Administration Review, 64(2), 152-163.
Rezaee, Z. (2004). Mengembalikan kepercayaan publik terhadap profesi akuntan dengan
mengembangkan pendidikan, program, dan audit anti kecurangan. Jurnal Pengauditan
Manajerial.
Richard, C. (2006). Mengapa seorang auditor tidak d a p a t menjadi kompeten dan independen: Sebuah
studi kasus di Perancis. European Accounting Review, 15(2), 153-179.
Sheu, S., Wei, I., Chen, C., Yu, S., & Tang, F. (2009). Menggunakan metode snowball sampling dengan
perawat untuk memahami kesalahan pemberian obat. Jurnal Keperawatan Klinis, 18(4), 559-569.
Spathis, C., & Ananiadis, J. (2005). Menilai manfaat penggunaan sistem enterprise
dalam informasi akuntansi dan manajemen. Jurnal Manajemen Informasi
Perusahaan.
Staubus, G. J. (2005). Kegagalan etika dalam pelaporan keuangan perusahaan. Jurnal Etika
Bisnis, 57(1), 5-15.
Tjun, L. T., Marpaung, E. I., & Setiawan, E. (2012). Pengaruh kompetensi dan
independensi auditor terhadap kualitas audit.
Watkins, A. L., Hillison, W., & Morecroft, S. E. (2004). Kualitas audit: Sebuah sintesis
teori dan bukti empiris.
Jurnal Literatur Akuntansi, 23, 153.
Yiing, L. H., & Ahmad, K. Z. Bin. (2009). Efek moderasi budaya organisasi pada
hubungan antara perilaku kepemimpinan dan komitmen organisasi dan antara
komitmen organisasi dan kepuasan kerja dan kinerja. Jurnal Kepemimpinan &
Pengembangan Organisasi.