Anda di halaman 1dari 26

1.5.

Model-Model Pembelajaran
1.5.1.Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi
Secara filosofis, model pembelajaran ini tergolong dalam pendekatan Psikologi Kognitif.
Sebenarnya perspektif kognitif adalah anggota tertua, tetapi juga salah satu anggota termuda
masyarakat psikologi. Perspektif ini dikatakan tua karena diskusi tentang sifat pengetahuan, nilai
penalaran, dan isi pikiran dapat dilacak mundur ke filsuf-filsuf Yunani kuno (Woolfolk, 2009;
Hersnaw, (2008). Akan tetapi sejak akhir tahun 1800-an sampai beberapa decade yang lalu, studi-
studi kognitif banyak ditinggalkan, dan behaviorisme berkermbang pesat. Setelah itu kemudian
penelitian selama Perang Dunia II tentang perkembangan berbagai keterampilan kompleks
manusia, revolusi computer, dan berbagai terobosan dalam memahami perkembangan bahasa,
semuanya menstimulasi bangkit kembalinya penelitian kognitif. Bukti-bukti yang terakumulasi
menunjukkan bahwa merencanakan responsnya, menggunakan strategi untuk membantunya
mengingat, dan mengorganisasikan materi pengetahuan yang mereka pelajari dengan cara uniknya
masing-masing (Miller, Galanter, dan Pribram, 1960; Shuel, 1986: 433). Psikologi pendidikan
menjadi tertarik dengan bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep, dan mengatasi masalah
(Ausubel, 1963; Bruner, Goodnow, & Austin, 1956).
Ketertarikan pada concept learning (pembelajaran konsep) dan problem solving inilah
yang memberi jalan bagi timbulnya ketertarikan pada bagaimana pengetahuan direpresentasikan
dalam pikiran dan khususnya bagaimana pengetahuan itu diingat. Ingat dan lupa menjadi topic-
topik utama dalam penelitian di bidang psikologi kognitif pada tahun 1970-an dan 1080-an, serta
model pemrosesan informasi untuk ingatan mendominasi penelitian saat itu.
Sekarang ini ketertarikan yang terbarukan dalam bidang pembelajaran, berpikir dan
problem solving. Pandangan kognitif tentang pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai sebuah
orientasi filosofis yang secara umum disepakati. Hal ini berarti bahwa para teoretisi kognitif
memiliki ggasan dasar yang sama tentang pembelajaran. Yang terpenting para ahli psikologi
kognitif berasumsi bahwa proses mental memang ada, bahwa mereka dapat dipelajari secara
ilmiah, dan bahwa manusia adalah partisipan aktif dalam tindakan kognisinya sendiri (Ashcraft,
2006). Secara keseluruhan Ormrod (2009: 270-274) mengidentifikasi asumsi-asumsi dasar
psikologi kognitif, yakni: (1) Proses-proses kognitif mempengaruhi apa yang dipelajari.
Maksudnya proses-proses spesifik dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Bahkan dalam
pernyataan yang lebih eksrtrem perubahan perilaku pembelajar itu disebabkan oleh perubahan

1
kognisi. (2) Orang selektif dengan apa yang mereka proses dan pelajari. Artinya stimuli yang
membombardir diri kita dengan penuh informasi, adalah sangat bermanfaat untuk membedakan
antara sensasi dan persepsi. Selain itu adalah mustahil semua stimuli kita indera untuk dipahami
dan ditafsirkan, pembelajar kemampuannya yang terbatas harus mampu menseleksi informasi
yang ada. (3) Makna dikonstruksi oleh pembelajar, bukan diambil langsung dari lingkungan. Hal
ini dapat dipahami karena proses konstruksi pada hakikatnya merupakan inti dari banyak teori
kognitif tentang belajar; di mana pembelajar mengambil sejumlah penggalan informasi yang
terpisah dan menggunakannya untuk menciptakan pemahaman atau tafsiran atas dunia di
sekelilingnya. (4). Pengetahuan dan keyakinan yang telah dimiliki memainkan peranan utama
dalam makna-makna yang dikonstruksi orang. Hal ini bisa dipahami karena semua siswa memiliki
riwayat pribadi mereka sendiri dan dapat berasal dari berbagai macam lingkungan yang memiliki
modal dasar yang beragam pula pengalamnnya. (5) Perubahan pematangan dalam otak,
memungkinkan proses kognitif yang semakin canggih seiring dengan bertambahnya usia.
Perubahan tersebut hampir pasti merupakan penyebab utama pribadi-pribadi menjadi lebih mampu
melakukan proses-proses kognitif yang semakin efektif. (6) Orang terlibat secara aktif dalam
pembelajaran mereka sendiri. Artinya kita percaya bahwa setiap orang tidak begitu saja menerima
dan menyerap pengetahuan secara pasif tanpa berpikir. Dengan berpikir orang dapat menjadi
pembelajar aktif dan konstruktif.
Sebagaimana dikemukakan oleh Atkinson dan Shiffrin (1968) dalam hasil penelitiannya
bahwa memori manusia setidaknya memiliki tiga komponen kunci; sensory register, memori kerja
(jangka pendek) dan memori jangka panjang. Penjelasan yang “terlalu menyederhanakan” ini
setidaknya memberikan cara yang baik untuk mengorganisasikan sebagian besar hal yang kita
ketahui tentang kerja memori, dan hal ini bisa dianalogikan kepada para siswa sebagai
pembelajar.Di mana para siswa disaksikan bagaimana informasi itu diproses, keputusan dibuat,
kapasitas intelektual dikembangkan, serta kreativitas, diekspresikan dan ditingkatkan. Mereka
berupaya memformat gagasan-gagasan dengan cara-cara yang berbeda. Beberapa di antaranya ada
yang membangun serta menguji konsep-konsep, sedangkan yang lain menghafal informasi yang
sudah ada, serta ada pula siswa yang berupaya membuat gagasan-gagasan baru (Joyce, Weil, &
Calchoun, 2009: 95).

2
Adapun yang tergabung dalam Model Pemrosesan informasi ini adalah Metode Pencapaian
Konsep (Concept Attainment), Metode Berfikir Induktif Model Taba, Model Induktif Kata
Bergambar, dan Metode Belajar Presentasi.

a. Landasan Teoretis dan Empiris Pembelajaran Concept Attainment


Landasan teoretis dan empiris untuk pembelajaran konsep sangat ekstensif dan mencakup beragam
topik. Hal ini disebabkan mengingat pengembangan dan hubungannya dengan cara kerja pikiran,
telah menarik minat teoretisi, filsuf, dan peneliti selama bertahun-tahun. Belakangan ini pekerjaan
tersebut terutama dipusatkan dalam bidang psikologi, di antaranya termasuk kontribusi Piaget,
Bruner, Ausubel, dan Gardner. Studi-studi mereka menunjukkan bagaimana berpikir konseptual
berkembang pada anak-anak dan remaja, dan bagaimana pendekatan pembelajaran konsep tertentu
mempengaruhi proses pembelajaran ini. Di bagian-bagian selanjutnya kita akan melihat; (1)
definisi konsep, (2) jenis-jenis konsep, (3) sifat-sifat konsep, (4) kategori-kategori konsep, (5)
contoh dan non-contoh, (6) pengaruh konteks sosial, dan (7) sampai bagaimana kita
merencanakan, serta (8) melaksanakan pembelajaran konsep.

b. Definisi Konsep

Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa istilah “konsep” mengacu sebagai abstraksi yang
luas, bisa bersifat konotatif maupun denotatif, dengan demikian ruang-lingkup “konsep” bisa
bersifat abstrak maupun konkrit ataupun real. Menurut Schwab (1962: i2-14) konsep merupakan
abstraksi, sutu konstruksi logis yang terbentuk dari kesan, tanggapan dan pengalaman-pengalaman
kompleks. Pendapat Schwab tersebut sejalan dengan Banks (1977: 85), bahwa “A concept is an
abstract word or phrase that is useful for classifying or categorizing a group of things, ideas, or
events”. (“Suatu konsep adalah suatu kata abstrak atau frase yang bermanfaat untuk
mengklasifikasikan atau menggolongkan suatu kelompok berbagai hal, gagasan, atau peristiwa”).
Dengan demikian pengertian konsep menunjuk suatu abstraksi, penggambaran dari sesuatu yang
konkrit maupun abstrak (nampak maupun tidak nampak) dapat berbentuk pengertian/definisi atau-
pun gambaran mental, atribut esensial dari suatu kategori yang memiliki ciri-ciri esensial relatif
sama.
Sebagai contoh “kursi”. Jika dilihat dari jenis, ketinggian dan bentuknya kursi itu sangat
beragam. Ada kursi tamu, yang berbeda dengan kursi makan maupun “kursi malas”. Ada

3
kursinyang berkaki empat, berkaki satu, tidak berkaki. Tetapi apa yang membuat mereka yang
berbeda-beda itu namun tetap disebut kursi? Tentu saja karena mereka memiliki persamaan
sebagai ciri esensialnya, yang berbeda dengan bangku yang memanjang. Dalam hal ini anda dapat
mengidentifikasi tentang nama-nama danau, sungai, benua, meja, dan sebagainya. Coba cari
masing-masing nama benda itu dan jabarkan ciri-ciri esensialnya yang relatif sama itu.
Jadi berbeda dengan fakta yang menekankan kekhususan, sedangkan konsep memiliki ciri-
ciri umum (common characteristics) yang sudah barang tentu konsep lebih luas daripada fakta.
Menurut Jack R. Fraenkel dalam Helping Students Think and Value Strategies for Teaching the
Social Studies, dikatakan bahwa sebenarnya konsep-konsep itu dalam kenyataannya tidak ada.
Konsep itu berada dalam ide atau pikiran manusia. Semua relitas yang berada di sekeliling kita
memasuki atau menyentuh indera-indera manusia sebagai informasi dari berbagai pengalaman.
Kemudian, masukan-masukan indera (sensory input) tersebut diatur dan disusun dengan
mengenakan simbol-simbol (label kata-kata) berdasarkan persamaan-persamaan esensial tersebut
(Fraenkel, 1980: 58).

c. Jenis-Jenis Konsep
Fraenkel (1980: 57) mengklasifikasi jenis-jenis konsep terbagi menjadi 6 macam: Pertama,
konsep konjungtif; yaitu konsep yang berfungsi untuk menghubungkan (connective) dari
keberadaan dua atau lebih atribut yang semuanya harus ada (Fraenkel, 1980: 58). Kedua, konsep
disjungtif; mencerminkan adanya alternatif-alternatif yang beragam. Ketiga, konsep relasional;
yang memiliki arti mengandung suatu hubungan khusus antara dua atribut maupun lebih yang
dinyatakan secara eksplisit dengan bilangan tertentu. Keempat, konsep deskriptif; adalah konsep
yang menuntut jawaban tentang gambaran sesuatu benda. Konsep deskriptif ini juga menuntut
pemahaman karakteristik ataupun ciri-ciri esensial yang sama dalam mengemukakan pendapat..
Kelima, konsep valuatif; yaitu konsep yang berhubungan dengan pertimbangan baik ataupun
buruk, salah ataupun benar, cantik ataupun jelek rupa, dan sebagainya. Keenam atau terakhir
adalah konsep campuran antara deskriptif dan konsep valuatif; yaitu suatu konsep yang tidak
hanya memberikan penjelasan tentang sesuatu karakteristik yang dimiliki oleh benda tersebut,
tetapi juga sekaligus memberikan sikap ataupun penilaian terhadap pernyataan tersebut. Menurut
Fraenkel (1980: 59) konsep ini merupakan yang paling banyak ditemui, contohnya; pembunuhan
sadis, pemerintah otoriter, kolonialisme, imperialisme, sadisme, dan sebagainya.

4
Untuk apa kita belajar mengenal konsep-konsep? Jawabannya adalah: Pertama, konsep itu
berguna untuk melakukan efisiensi dan efektivitas bagi manusia. Hal ini bisa kita fahami karena
informasi-informasi itu kian terus bertambah banyak dan semuanya harus diidentifikasi dalam
simbol-simbol yang dapat disepakati. Kedua, melalui konsep itu juga adanya klasifikasi atas
beberapa individu, karakteristik yang serupa kemudian diidentifikasi dicari perbedaan-
pebedaannya. Sehingga dalam klasifikasi (kategorisasi) tersebut begitu nampak persamaan dan
perbedaannya. Sebut saja umpamanya “gunung”, walaupun dari sekian gunung itu berbeda-beda
tetapi “gunung” mempunyai ciri-ciri yang sama yaitu suatu bentuk daratan yang menjulang tinggi,
kekar dan sangat besar serta mempunyai ketinggian sampai ribuan meter dari permukaan air laut.
Ketiga, konsep dapat berfungsi untuk mereduksi keperluan yang sering dikatakan berulang-ulang
terhadap sesuatu kajian yang serupa dan sudah diketahui (Fraenkel, 1980: 65).
Keempat, konsep dapat berfungsi memudahkan kita untuk memecahkan masalah. Dengan
menempatkan objek-objek, individu-individu, peristiwa-peristiwa, atupun ide-ide ke dalam
kategori-kategori yang benar, kita dapat memperoleh beberapa wawasan bagaimana menangani
sesuatu masalah tertentu yang dihadapi (Fraenkel, 1980: 65). Kelima, konsep juga berguna untuk
menjelaskan (eksplanasi) sesuatu yang dianggap rumit ataupun memerlukan keterangan yang
cukup panjang dan rinci. Banyak konsep-konsep yang kita ketahui sekarang diperoleh melalui
proses pembelajaran ataupun pengenalan dari konsep-konsep sebelumnya yang dianggap baru.
Dengan demikian konsep bisa dijadikan alat (tools) yang mengandung karakteristik-karakteristik
umum untuk dinalisis sekalipun rumit. Keenam, konsep berguna untuk mengkonseptualisasikan
sesuatu secara cermat melalui simbol-simbol. Itulah kelebihan insan manusia sebagai mahluk
yang suka berpikir (homo sapiens). Tidak ada filsuf modern yang telah menjadikan simbol lebih
sentral dalam pengembangan penafsiran tentang realitas selain Ernst Cassirer yang tertuang dalam
karyanya The Philosophy of Simbolic Forms dan An Essay on Man bahwa manusia adalah “homo
symbolicum”, karena manusia mahluk yang suka menggunakan simbol-simbol (Cassirer: 1951).
Sedikit berbeda dengan sejarawan Belanda Johan Huizinga di mana manusia sering juga disebut
“homo luden” atau mahluk yang suka bermain. Kemudian menurut Erik Fromm manusia adalah
“homo esperans” dan “homo negans” (Fromm: 1959). Begitu juga “homo significan” atau mahluk
pencari makna, sebuah sebutan yang diberikan Frankl dalam karyanya Man’s Search for Meaning
(1959), “homo significans” atau makhluk pemberi makna, “homo mechanicus” atau makhluk
mekanik, “homo faber” atau makhluk pembuat alat. Tetapi terdapat pula predikat yang

5
mencemaskan di mana Thomas Hobbes (1561) menyebutnya “homo homini lupus” atau mahluk
serigala bagi sesamanya.
Ketujuh, sesuatu konsep juga mengandung konotasi “negatif” adalah apa yang dinamakan
“stereotip” (Frankel, 1980: 66-68). Konsep “stereotip” ini demikian melekat pada diri setiap etnis
maupun individu, hanya kadar atau derajatnyalah yang membedakannya. Walter Lippman seorang
wartawan senior Amerika Serikat, sampai sekarang ini dianggap orang pertama yang merumuskan
stereotip dan membahasnya secara ilmiah dalam buku “Public Opinion” (1922). Ia berpendapat
bahwa stereotipe adalah “gambaran di kepala” yang merupakan rekonstruksi dari keadaan
lingkungan untuk menggambarkan keadaan sebenarnya (1922: 1), dan stereotip berfungsi sebagai
cara “penyederhanaan” untuk memberikan gambaran itu. Tetapi sekarang ini stereotipe
didefinisikan oleh para ahli merupakan “informasi yang salah” sebagai lawan dari “sosiotip yang
ilmiah” (Hayakawa (1950: 209). Kedelapan, konsep berguna sebagai mata rantai penghubung
ataupun katalisator antar berbagai disiplin ilmu baik itu yang sifatnya interdisipliner,
multidisipliner, maupun lintas disipliner. Sebagai contoh dalam hal ini konsep “kerjasama” bukan
saja ditemukan dalam bidang sosial (sosiologi), tetapi juga budaya (antropologi), kemudian
ekonomi (terdapat koperasi), maupun psikologi terutama dalam kajian empati dan solidaritas.
Dalam bidang politik konsep “kerjasama” tersebut akan nampak pada kajian integrasi bangsa yang
dibangun oleh solidaritas dan kesetiakawanan.

d.Sifat-sifat Konsep
Dalam kehidupan sehari-hari istilah ‘konsep’ penggunaan istilah konsep dipakai dalam berbagai
istilah. Pertama, seing istilah ini digunakan untuk penyebutan ide-ide seseorang. Misalnya ia
memiliki konsep yang cukup bagus dalam pengajuan proposalnya. Kedua, istilah konsep sering
digunakan sebagai rancangan. Misalnya ia telah mengonsep surat yang akan diberikan kepada
Gubernur Provinsi Jawa Barat. Ketiga, istilah konsep sering digunakan sebagai hipotesis. Sebagai
contoh; Konsep saya adalah kita memerlukan perdebatan yang kritis, mengingat masalah ini
membutuhkan kajian yang hati-hati dan mendalam.
Sedangkan dalam istilah pembelajaran, Concept Learning (belajar konsep) pada dasarnya
adalah “meletakkan berbagai macam hal ke dalam golongan-golongan dan setelah itu mampu
mengenali anggota-anggota golongan tersebut. Dengan demikian mengharuskan individu untuk
mampu mengambil kasus tertentu secara rinci. Sebab segala sesuatunya dibahas, harus diuraikan

6
secara rinci dalam bagian-bagian/atribut-atribut yang tergolong jenis anggotanya. Selanjutnya
konsep-konsep itu dikelompokkan dalam berbagai kategori-kategori yang diberi nama atau label
yang sesuai.
Suatu hal yang penting lagi adalah bahwa pembelajaran konsep harus dipelajari antara
contoh dan bukan contoh (Arends, 2008: 325). Sebagai misal konsep “kambing”, adalah contoh
untuk hewan menyusui, tetapi bukan contoh untuk reptile. “Amerika” adalah contoh benua yang
tepat, tetapi bukan bukan contoh untuk nama “pulau”.

e. Melaksanakan Pembelajaran Concept Attainment


Terdapat empat fase dalam pembelajaran Concept Attainment (Joyce, Weil, Calchoun, 2009: 137;
Arends, 2008: 338). Tahap pertama, mengklarifikasikan maksud dan establishing set. Pada tahap
ini Guru menjelaskan maksud dan prosedur untuk pelajaran itu serta menyiapkan siswa untuk
belajar.
Tahap kedua, member masukan contoh dan bukan contoh. Untuk penyajian pendekatan
direct (presentasi langsung) guru menamai berbagai konsep, mengidentifikasi atribut-atribut kritis,
dan member ilustrasi dengan contoh dan bukan contoh. Dalam pendekatan concept attainment
(pencapaian konsep) contoh dan bukan contoh diberikan untuk mengklarifikasi sesuatu konsep
yang diajukan. Dalam hal ini siswa secara induktif sampai pada konsep itu dan atribut-atributnya.
Tafap ketiga, menguji pencapaian. Guru mempresentasikan contoh dan bukan contoh
tambahan untuk menguji pemahaman siswa tentang konsep itu. Siswa diminta memberikan contoh
dan bukan contoh untuk konsep itu. Sedangkan tahap keempat, menganalisis proses berpikir dan
integrasi pembelajaran siswa. Dalam hal ini guru membawa siswa untuk memikirkan tentang
proses berpikirnya sendiri. Siswa diminta menelaah keputusannya sendiri dan konsekuensi
keputusannya sendiri. Selanjutnya guru membantu siswa untuk mengintegrasikan pembelajaran
baru dengan menghubungkan konsep itu dengan konsep-konsep lain dalam sebuah unit pelajaran.

1.5.2.Model Pembelajaran Sosial


Dalam model pembelajaran social, bertolak dari asumsi-asumsi yang menurut Jarviss (2000: 171)
sebagai berikut: (1) Psikologi sosial menaruh perhatian pada semua hal yang menyangkut
pengaruh manusia terhadap manusia lainnya. Hal ini bisa diambil contoh tentang studi Milgram
(1963) tentang partisipan yang diperintah untuk memberikan kejutan listrik yang menyakitkan

7
terhadap orang lain yang tidak dikenalnya guna melihat apakah mereka akan taat pada perintah
orang yang memiliki kekuasaan. (2) Pengaruh utama pada perilaku seseorang adalah situasi
sosial, tempat orang tersebut berada. Partisipan dalam studi Milgram tersebut misalnya
menemukan diri mereka berada dalam situasi sosial yang dirasakan tidak ada pilihan lain, kecuali
harus mentaati sosok figur yang berkuasa. (3) Pendekatan sosial tidak terikat pada metode
penelitian tertentu. Sementara pada penelitian psikologi perilaku hampir semuanya terdiri atas
eksperimen yang dilakukan di laboratorium psikologi, dan mayoritas penelitian psikoanalisis
maupun psikodinamika mencakup studi kasus terhadap pasien-pasien yang sedang menjalani
terapi, ahli psikologi sosial menggunakan beraneka ragam pendekatan dalam melakukan penelitian
untuk mengenal tabiat dasar sebagai makhluk sosial dan termasuk cara-cara mereka belajar.
Model sosial sebagaimana namanya, menitikberatkan pada tabiat sosial kita, bagaimana
kita mempelajari perilaku sosial, dan bagaimana interaksi sosial tersebut dapat
mempertinggi hasil capaian pembelajaran akademik. Hampir semua penggagas teori model
sosial percaya bahwa peran utama pendidikan adalah untuk mempersiapkan warganegara
yang akan mengembangkan tingkah laku demokratis yang terpadu, baik dalam tataran
pribadi maupun sosial serta meningkatkan taraf kehidupan yang berbasis demokrasi sosial
yang produktif. Mereka juga percaya bahwa sebuah usaha yang dilakukan bersama pada
dasarnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan, mendatangkan kebahagiaan dan
semangat serta supel dan mencegah adanya konflik sosial yang dekonstruktif. Selain itu
usaha yang dilakuan bersama-sama tidak hanya mendorong peningkatan aspek sosial,
namun juga mendorong aspek intelektual (Joyce, Weil, & Calchoun, 2009: 295).

Oleh karena itu beberapa tugas akademik yang dikerjakan dengan mengandalkan interaksi
sosial bisa disiasati sedemikian rupa untuk meningkatkan hasil pembelajaran. Hanya dengan
meningkatkan satu formula ini, perkembangan tingkah laku sosial yang produktif, skill akademik,
serta pengetahuan akan sama-sama dicapai.

a. Landasan Teoretik dan Empirik Model


Para penggagas teori sosial telah mengembangkan dasar-dasar pemikiran model-model yang telah
mereka rancang, tetapi juga telah mengemukakan beberapa pertanyaan terkait dengan pola yang
biasanya dipakai dalam beberapa sekolah. Sebab tidak sedikit, interaksi guru dan siswa hanya
terbatas pada model pembacaan atau hafalan, di mana garu akan menanyakan apa saja yang telah
dipelajari, meminta salah seorang siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian
membenarkan atau memperbaiki jawaban siswa itu (Sirotnik, 1983: 20). Pola-pola evaluasi yang
demikian menjadikan kelas semata-mata sebagai ruang kompetisi antar siswa. Sebaliknya

8
beberapa penggagas teori pembelajaran sosial berpandangan bahwa pembelajaran individualistik
yang digabung dengan hafalan yang dikuasai seorang guru, sebenarnya merupakan suatu hal yang
kontraproduktif, baik dalam tataran individu maupun sosial (Joyce, Weil, & Calhoun, 2009: 296).
Hal ini didikarenakan model yang demikian hanya menekan angka pembelajaran, menciptakan
sebuah interaksi yang tidak alamiah, bahkan menjelma menjadi sebuah iklim yang jauh dari
prososial atau tidak mementingkan serta melatih bekerjasama, berdebat, berdiskusi dan seolah-
olah selalu berupaya menyaingi kompetensi yang dimiliki lawan debat atau diskusinya (Jhonson,&
Jhonson, 1999: 12; Sharan, 1990: 132; dan Thelen, 1960: 45).
Pengembangan kerjasama dalam mempelajari hal-hal yang sifatnya akademis dan beberapa
upaya untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, serta membentuk
sebuah kehidupan yang memuaskan senyatanya adalah ide yang telah lama ada. Realitas tersebut
nampak dari beberapa tulisan Plato, Aristoteles, pada masa Yunani kuno serta beberapa pendidik
Thomas Aquinas pada masa Abad Pertengahan, serta Johan Amos Comenius, pada masa
Renaissance. Sedangkan pada jaman modern muncul nama-nama John Locke dari Inggris, J.J.
Rousseau dari Prancis, dan Thomas Jefferson serta Benjamin Franklin sampai Horace Mann
maupun Henry Barnard dari Amerika Serikat. Pada umumnya mereka sangat menganjurkan
adanya sebuah sekolah yang berbasiskan praktik-praktik secara aktif tentang pembelajaran
kooperatif.
Adapun asumsi-asumsi yang mendasari pengembangan pembelajaran kooperatif
(cooperative learning) ini adalah sebagai berikut:
Pertama, sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi
yang lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetitif individual. Sebagaimana
dinyatakan Bandura (1978:132), Milgram (1974:15) bahwa kelompok-kelompok sosial integrative
memiliki pengaruh yang lebih besar daripada kelompok yang dibentuk secara berpasangan.
Perasaan-perasaan saling berhubungan (feelings of connectedness) menghasilkan energi yang
positif. Kedua, anggota-anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu sama lain. Setiap
pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam sebuah struktur
pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan siswa lainnya. Ketiga,
interaksi antaranggota, akan menghasilkan aspek kognitif semisal kompleksitas social,
menciptakan sebuah aktivitas intelektual yang dapat mengembangkan pembelajaran ketika
dibenturkan pada pembelajaran tunggal.

9
Keempat, kerjasama meningkatkan perasaan positif terhadap satu sama lain,
menghilangkan pengasingan dan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan
sebuah pandangan positif mengenai orang lain. Kelima, kerjasama meningkatkan penghargaan
diri, tidak hanya melalui pembelajaran yang terus berkembang, namun juga melalui perasaan
dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah lingkungan. Keenam, siswa yang mengalami
dan menjalani tugas serta merasa harus bekerjasama dapat meningkatkan kapasitasnya untuk
bekerjasama secara produktif. Dalam arti semakin banyak siswa mendapat kesempatan untuk
bekerjasama, maka mereka akan semakin mahir bekerjasama, dan hal ini akan sangat berguna bagi
skill sosial mereka secara umum. Ketujuh, siswa, termasuk juga anak-anak, bisa belajar dari
beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bekerjasama.
Belakangan ini banyak banyak penelitian yang muncul membahas model pembelajaran
kooperatif setelah diperkenalkan John Dewey dengan aktivitas Progressive Association pada
pertengahan abad XX.. Salah satunya dikemukakan oleh Roger Johnson dari University of
Minnesota (Johnson dan Johnson, 1981, 1990), yang dalam tulisan buku ini akan membahas model
pembelajaran investigasi kelompok Kemudian Robert Slavin (1983, 1990) dari John Hopkins
University mengembangkan model pembelajaran satu rangkaian investigasi kelompok yang
secara langsung menguji asumsi mengenai model pembelajaran sosial keluarga. Secara khusus
mereka telah meneliti; apakah tugas kerjasama dan struktur penghargaan telah dapat
mempengaruhi hasil pembelajaran secara positif atau tidak? Selain itu mereka juga
merekomendasikan ditingkatkannya kesatuan kelompok, tingkah laku bersama, dan relasi antar
kelompok melalui prosedur pembelajaran yang kooperatif. Dalam beberapa investigasinya,
mereka menguji pengaruh tugas kelompok dan struktur penghargaan dalam gtugas pembelajaran
yang “tradisional” di mana siswa diwajibkan menguasai beberapa macam materi (Joyce, Weil, &
Calchoun, 2009: 303).

b. Langkah-langkah Pembelajaran Investigasi Kelompok


Di bawah ini akan disajikan model pembelajaran investigasi kelompok. Yang merupakan karya
Johnson, Slavin, dan Sharan, termasuk salah satu jenis pembelajaran kolaboratif. Perlu diketahui
terdapat banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh para ahli
maupun praktisi pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team Learning pada John Hopkins
University. Tetapi hanya sekitar sepuluh macam yang mendapatkan perhatian secara luas, yaitu:

10
* Learning Together. Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-siswa
yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas.
Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
* Teams-Games-Tournament (TGT). Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota
suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat
kemampuan masing-masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.
* Group Investigation (GI). Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu
penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa
saja yang akan dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana
perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil
kerja kelompok.
* Academic-Constructive Controversy (AC). Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya
untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar
masing-masing, baik bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain.
Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan
masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan
keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok
mempertahankan posisi yang dipilihnya.
* Jigsaw Proscedure (JP). Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas
yang berbeda-beda tentang suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami
keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian
didasarkan pada rata-rata skor tes kelompok.
* Student Team Achievement Divisions (STAD). Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi
beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok saling belajar dan
membelajarkan sesamanya. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh
terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh
terhadap keberhasilan individu siswa. Penilaian didasarkan pada pencapaian hasil belajar
individual maupun kelompok.
* Complex Instruction (CI). Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu proyek yang
berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika dan pengetahuan

11
sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota kelompok
terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat
bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para siswa yang sangat heterogen. Penilaian
didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
* Team Accelerated Instruction (TAI). Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara
pembelajaran kooperatif/ kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap
anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah
itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah
diselesaikan dengan benar, setiap siswa mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika
seorang siswa belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus
menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan tingkat
kesukaran soal. Penilaian didasarkan pada hasil belajar individual maupun kelompok.
* Cooperative Learning Stuctures (CLS). Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk
dengan anggota dua siswa (berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain
menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee
benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu
yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.
* Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Model pembelajaran ini mirip dengan
TAI. Sesuai namanya, model pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis
dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para siswa saling menilai kemampuan membaca,
menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.
Untuk menerapkan model pembelajaran Investigasi Kelompok, urutan-urutannya sebagai
berikut. Tahap Pertama, sebagai langkah awal dalam pembelajaran ini adalah dengan menyajikan
sebuah masalah yang memancingperhatian dan kehebohan siswa yang penuh teka-teki. Penyajian
masalah tersebut bisa dilakukan secara verbal, atau mungkin merupakan pengalaman yang nyata;
baik pengalaman yang benar-benar terjadi maupun yang direkayasa guru. Tahap Kedua, Siswa
mengeksplorasi reaksi terhadap situasi. Dalam hal ini jika siswa bereaksi, maka guru akan
menggiring perhatian mereka terhadap reaksi mereka masing-masing yang berbeda-beda, yakni
sikap yang akan mereka tunjukkan, apa yang dirasakan, serta bagaimana mereka mengatur sesuatu.
Saat siswa mulai tertarik pada perbedaan reaksi tersebut, guru lalu menggiring mereka ke langkah
ketiga yakni siswa merumuskan tugas dan mengatur pelajaran (masalah, definisi, peran, tugas, dan

12
lain-lain). Kemudian siswa menganalisis beberapa peran yang dibutuhkan, merupakan langkah
keempat dalam pembelajaran ini. Pada langkah kelima siswa menganalisis kemajuan dan proses,
dalam hal ini masing-masing kelompok mengevaluasi solusi permasalahan yang dicocokkan
dengan maksud dan tujuan utama mereka. Sedangkan sebagai langkah keenam, mendaur ulang
aktivitas dengan baik dalam penyajian masalah serupa maupun memunculkan maaslah baru yang
merangsang adanya investigasi.
Dalam hal ini sistem sosial harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan diatur oleh
suatu kesepakatan yang diperkembangkan. Atau paling tidak divalidasi oleh pengalaman
kelompok—dalam batas hubungan terhadap fenomena rumit yang kemudian dijelaskan oleh
seorang guru sebagai sebuah objek pembelajaran. Aktivitas kelompok muncul dalam jumlah
struktur eksternal minimalis yang diberikan oleh seorang guru. Dalam hal ini seolah-olah siswa
dan guru memiliki status sosial yang sama, namun peran yang berbeda. Selain itu atmosfer
merupakan salah satu alasan dan negosiasi.
Begitu juga tentang peran guru, dalam investigasi kelompok ini terkadang serupa dengan
konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang ramah dan konstruktif. Guru harus membimbing serta
merefleksikan pengalaman kelompok dalam tingkat-tingkat berikut; Pertama, memecahkan
masalah atau level tugas (Apakah masalah yang sebenarnya muncul? Apa sajakah faktor-faktor
dan elemen-elemen yang terlibat?) Kedua, level manajemen kelompok (Informasi apakah yang
dibutuhkan saat ini?) dan Ketiga, tingkat makna pribadi (Apa tanggapan Anda mengenai
kesimpulan tersebut? Langkah lain apa yang akan dilakukan setelah mengetahui hal itu? (Thelen,
1954: 52-53).

1.5.3. Model Pembelajaran Perilaku


a. Landasan Teoretis dan Empiris
Model pembelajaran perilaku, dalam sejarahnya diilhami oleh eksperimentasi conditioning
klasik yang dilakukan oleh Pavlov (1928:28) tentang refleks psikis atau refleks yang dikondisikan
dengan membawa bubuk makanan, anjing merespons dengan mengeluarkan air liur. Begitu juga
ketika saat mendengar langkah kaki eksperiemnter, si anjing juga mengeluarkan air liur
(Hergenhahn dan Olson, 2009: 183). Selanjutnya kajian Thorndike (1911, 1913, 1930) tentang
koneksionisme bahwa aktivitas belajar adalah trial-and error learning (belajar dengan uji coba)
atau yang menyebutnya selecting and connecting atau pemilihan dan pengaitan (Hergenhahn dan

13
Olson, 2009: 60). Dilanjutkan penelitian Watson dan Rayner (1921) yang menerapkan prinsip-
prinsip Plavovian bahwa perilaku manusia dapat dibentuk lewat proses pengkondisian klasik.
Berikutnya yang tidak kalah penting adalah karya B.F. Skinner dalam Science and Human
Behavior (1953) terkenal teorinya dengan sebutan Operant Conditioning (pengkondisian operan)
maupun behaviorisme radikal. Karya tersebut merupakan sumber utama dari literatur-literatur
mengenai teori dan aplikasinya dalam pembelajaran. Beberapa tipe pembelajar tertentu dapat
mencapai kesuksesan akademik dengan menggunakan model ini. Misalnya beberapa remaja yang
sebelumnya sama sekali tidak pernah mengalami perkembangan dan kemajuan dalam pelajaran
bahasa maupun social, namun sekarang ia sudah begitu terlatih dan bahkan hingga mampu
mempelajari materi akademik dengan baik. Bentuk-bentuk yang digagas Molder mengenai
masalah dalam pembelajaran telah memberikan tanggapan pada model perilaku ini dengan baik
pula (Becker, 1977; Becker dan Carnine, 1980; Englemnn, Carnine, dan Rhine, 1981).
Beberapa puluh tahun ke belakang, sejumlah penelitian telah memaparkan efektivitas
perilaku yang dapat merancang pengajaran dan bantuan dengan ruang lingkup masalah-masalah
pendidikan yang cukup luas, dari bentuk phobia terhadap mata pelajaran tertentu hingga ke
kecemasan menghadapi ujian. Penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa beberapa
prosedur ini bisa digunakan secara efektif dalam format kelompok dan individual. Penulis
meyakini bahwa teori-teori pembelajaran berbasis perilaku menawarkan deretan model yang
sangat bermanfaat bagi guru, prencana kurikulum, dan pembuat kebijakan pendidikan. Hal ini
bisa diambil contoh munculnya sederetan teori-teori pembelajaran perilaku dari Pavlov,
(Kondisioning Klasik), teori Koneksionisme/Asosianisme Thorndike, teori Behaviorisme Watson,
teori Kondisioning Operant Skinner, teori Kontiguitas Edwin Guthrie, teori Stimulus Sampling
Estes, teori Signal & Belajar Latent Tolman, teori Drive Reduction Hull, teori belajar social
Bandura, sampai teori Belajar Diskrimasi Spence (Supardan, 2011: 1-5), sudah lama digunakan
oleh para pakar dengan merujuk pada model-model tersebut di atas. Mengingat masing-masing
istilah tersebut umumnya dihubungkan dengan bentuk teori dasar tertentu, kami lebih memilih
menggunakan istilah yang lebih netral, yakni teori perilaku, agar lebih inklusif terhadap beberapa
prosedur yang memunculkjan operant dan prinsip counterconditioning (Joyce, Weil, dan
Calchoun, 2009: 402).
Adapun jenis-jenis model pembelajaran perilaku ini mencakup pengembangan
Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning) yang digagas oleh Benjamin Bloom (1971) dan John

14
B.Carol (1993), Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction Model ) oleh Good, Grouws,
Ebmeier, (1983), Hunter (1982) dan Rosenshine dan Stevens (1986

b.Landasan Teoretis dan Empiris Pembelajaran Langsung


Di bawah ini hendak disajikan model pembelajaran langsung (direct instruction) yang dalam
berbagai pandangan para ahli agak berbeda istilahnya. Model ini kadang-kadang disebut Active
Learning (Good, Grouws, & Ebmeier, 1983). Hunter (1982) menyebutnya pendekatan Mastery
Teaching Model. Rosenshine dan Stevens (1986) menyebutnya pendekatan Explicit Instruction.
Sedangkan label direct instruction juga telah digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan
tertentu untuk mengajar membaca, dan meskipun pendekatan membaca itu memiliki banyak
kesamaan dengan tipe pengajaran langsung yang dideskripsikan di sini. Tetapi model yang
dideskripsikan pada bagian ini lebih generik dan cocok untuk pembelajaran apapun, mulai
daripembelajaran Seni, IPS, sampai Zoologi (Arends, 2008: 294).
Secara sederhana model ini banyak digunakan untuk melatih seperti; menyetir mobil,
gosok gigi, membuat pukulan backhand dalam badminton, menulis makalah yang akan disajikan,
maupun mengerjakan bilangan persamaan dalam aljabar. Prinsip-prinsip behavioral yang menjadi
dasar model ini mungkin pernah digunakan untuk menterapi fobia terbang Anda dan menghentikan
kebiasaan merokok Anda. Model pembelajaran langsung agak mudah dan dapat dikuasai dalam
waktu pendek. Metode ini merupakan suatu keharusan repertoar semua guru, karena sifatnya yang
generik.
Menurut Arends (2008: 295), seperti halnya model-model lainnya, model pembelajaran
langsung ini dapat dideskripsikan dalam kaitannya dengan tiga fitur: (1) tipe hasil belajar yang
dihasilkannya; (2) sintaksis atau aliran kegiatan instruksionalnya secara keseluruhan; dan (3)
lingkungan belajarnya. Secara singkat pembelajaran langsung dirancang untuk meningkatkan
penguasaan berbagai keterampilan (pengetahuan procedural) dan pengetahuan factual yang dapat
diajarkan secara langkah demi langkah. Model ini tidak dimaksudkan untuk mencapai hasil belajar
sosial atau kemampuan hasil berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran langsung adalah sebuah model
yang berpusat pada guru, yang memiliki lima langkah sebagai berikut: (1) establishing set; (2)
penjelasan dan atau demonstrasi; (3) guided practice; (4) umpan balik; (5) extended practice.
Sebuah pembelajaran dengan model pembelajaran langsung membutuhkan orkestrasi yang cermat
oleh guru dan lingkungan belajar yang praktis, efisien, dan berorientasi terhadap tugas.

15
Lingkungan untuk pembelajaran langsung terutama difokuskan pada tugas-tugas akademis, dan
dimaksudkan untuk mempertahankan keterlibatan siswa secara aktif.
Beberapa aspek model ini diambil dari prosedur-prosedur pelatihan yang dikembangkan
dalam lingkup industri dan militer. Barak Rosenshine dan Robert Stevens (1986) misalnya
melaporkan bahwa mereka menemukan sebuah buku “How Instruct yang diterbitkan tahun 1945
telah memasukkan banyak ide yang terkait dengan pembelajaran langsung. Akan tetapi untuk
maksud kita di sini, akan mendeskripsikan tiga tradisi teoretis yang menjadi dasar pemikiran untuk
penggunaan pembelajaran langsung kontemporer, yakni behaviorisme, teori belajar social, dan
penelitian tentang efektivitas guru.
Dalam teori behaviorisme, bahwa belajar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pembelajaran langsung. Teoretisi-teoretisi awal behaviorisme seprti Pavlov, dan psikolog Amerika
John Watson, Edward Thorndike, dan yang lebih mutakhir B.F.Skinner. Teorinya memfokuskan
meneliti tentang perilaku manusia yang dapat diobservasi. Yang sangat penting terutama teori
Skinner, bahwa manusia belajar dan bertindak dengan cara yang spesifik sebagai hasil dari
bagaimana perilaku-perilakunya didorong melalui reinforcement (penguatan). Dalam pandangan
behavioral, konsep penguatan memiliki makna khusus yakni konsekuensi yang memperkuat
perilaku tertententu, secara positif dengan memberikan reward tipe tertentu. Atau secara negatif
dengan menghilangkan stimulus tertentu yang bersifat mengiritasi. Sebagaimana guru mengajar,
ia menggunakan prinsip-prinsip behaviorisme, seperti; menetapkan tujuan berbasis perilaku,
memberikan pengalaman belajar, spt latihan, pemberisn pengustan, umpan balik, dan sebagainya.
Begitu juga teori belajar sosial—sebagaimana dikembangkan oleh Albert Bandura, di mana
belajar juga terjadi pada aspek yang tidak terobservasi, seperti pikiran dan kognisi. Social learning
theory, membedakan antara belajar (bagaimana pengetahuan diperoleh) dan performance (perilaku
yang dapat diobservasi). Teori ini juga mengatakan bahwa banyak yang dipelajari manusia terjadi
melalui observasi terhadap orang lain. Para teoretisi belajar sosial percaya bahwa sesuatu itu
dipelajari bila si observer secara sadar memperhatikan perilaku tertentu, dan kemudian meletakkan
observasi itu ke dalam ingatan jangka panjangnya. Selama si observer belum melakukan perilaku
yang diobservasinya itu, maka belum ada konsekuensi perikau (penguatan), yang oleh kaum
behavioris dikatakan perlu agar pembelajaran terjadi. Sekalipun demikian, selama ingatan itu
masih tersimpan, si observer pasti tahu cara menyalakan korek api, terlepas dari apakah ia pernah
memilih untuk melakukannya atau tidak. Klaim yang sama diutarakan untuk ribuan perilaku

16
sederhana seperti mengerem mobil, makan dengan sendok, dan membuka botol (Arends, 2008:
297).
Bagi Bandura (1986), belajar obseravasional adalah sebuah proses tiga langkah; (1)
pembelajar harus memperhatikan aspek-aspek kritis dari apa yang akan dipelajari, (2) pembelajar
harus meretensi/menyimpan atau mengingat perilaku itu, dan (3) pembelajar harus mampu
mereproduksi atau melakukan perilaku itu. Praktik atau latihan mental yang digunakan dalam
pembelajaran langsung adalah proses-proses yang membantu siswa menyimpan dan mereproduksi
perilaku yang diobservasi.

c. Langkah-langkah Pembelajaran Langsung


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam implementasi pembelajaran
langsung memiliki lima tahapan secara berurutan, yakni; (1) memberikan tujuan dan establishing
set, (2) melaksanakan demonstrasi; (3) memberikan guided practice, (4) memeriksa pemahaman
dan memberikan umpan balik, (5) memberikan praktik independen yang lebih luas.
Pertama, memberikan tujuan dan establishing set: Guru yang baik pasti memulai
pelajarannya dengan dengan menjelaskan tujuannya, establishing learning set, dan mendapatkan
perhatian siswa. Boleh dicatat dipapan tulis tujuan itu atau dijelaskan secara verbal oleh guru. Hal
ini memberikan isyarat (cues) tentang apa yang akan terjadi. Selain itu seharusnya siswa diberi
tahu bagaimana keterkaitan antara tujuan pembelajaran dengan hari itu dengan pembelajaran
sebelumnya, dan pada kebanyakan kasus bagaimana pembelajaran itu merupakan bagian dari
tujuan atau tema jangka panjang. Siswa seharusnya juga diberi tahu tentang alur pelajaran tertentu
dan berapa banyak waktu yang diharapkan untuk menyelesaikan pembelajaran itu.
Di samping itu memberikan garis-garis besar pelajaran juga penting, terutama yang
berorientasi pada keterampilan. Pelajaran semacam itu biasanya difokuskan pada keterampilan-
keterampilan diskret yang mungkin tidak dipersepsi penting oleh siswa, tetapi membutuhkan
motivasi dan komitmen yang substansial untuk mempraktikannya.
Kedua, melaksanakan demonstrasi: Model pembelajaran langsung banyak menyandarkan
diri pada proposisi-proposisi, bahwa banyak di antara apa yang diupelajari dan banyak di antara
repertoar behavioral pembelajar yang berasal dari mengamati orang lain. Dalam teori belajar
social, bahwa dari mengamati perilaku tertentu siswa belajar melakukan perilaku tersebut dan
mengantisipasi konsekuensinya (Arends, 2008: 304). Perilaku orang lain baik atau buruk menjadi

17
pedoman perilaku si pembelajar itu sendiri. Bentuk belajar melalui imitasi ini menghemat banyak
waktu dan energi untuk trial and error. Maka untuk mendemonstrasikan sebuah keterampilan
tertentu, guru harus mencapai tingkat menguasai keterampilan yang akan diajarkan itu. Karena itu
tidak aneh jika dalam semboyan demonstrasi pembelajaran ini “Do as I say, not as I do” (kerjakan
seperti yang saya katakana, bukan seperti yang saya lakukan) itu dianggap tidak lengkap. Karena
itu pula mutlak diperlukan latihan yang intensif terlebih dahulu bagi guru untuk bisa memastikan
demonstrasi dan modeling yang benar-benar akurat.
Ketiga, memberikan guided practice. Hal ini tidak keliru jika common sense mengatakan
“practice makes perfect”walaupun tidak sepenuhnya benar, karena banyak juga pengemudi angkot
yang rutin, tetapi tetap saja merupakan pengemudi yang buruk. Namun demikian pernyataan itu
juga tidak salah mengingat praktik/latihan terbimbing adalah hal utama kalau bukan yang pertama
dalam pembelajaran ini. Sebab praktik secara aktif dapat meningkatkan retensi, membuat belajar
lebih otomatis, dan memungkinkan pembelajar lebiik h menstarnsfer pembelajarannya itu ke
situasi baru atau situasi yang stressful. Prinsip-prinsip berikut ini dapat memberikan kesempatan
yang berguna bagi pembelajar, seperti: berikan praktik singkat/pendek dan bermakna; berikan
praktik untuk meningkatkan overlearning; mengetahui keuntungan dan kerugian massed practice
dan distributed practice, dan memperhatikan tahap-tahap awal praktik.
Keempat, pemahaman dan memberikan umpan balik. Hal ini mirip dengan apa yang
kadang-kadang disebut recitation (resitasi atau Tanya jawab). Biasanya dimulai dari tindakan guru
yang mengajukan berbagai pertanyaan kepada siswa, atau guru memanggil siswa untuk
mendemonstrasikan keterampilan-keterampilan yang diharapkan. Kalaupun salah demonstrasi
siswa, menjadi kewajiban guru untuk memberikan feed-back yang benar. Sebab tanpa memberikan
umpan balik yang akurat, “student will not learn to write well by writing, read well by reading, or
run well by running” (Arends, 2008: 308).
Kelima, memberikan praktik independen yang lebih luas. Hal ini penting karena dapat
dilakukan melalui seatwork dan/atau homework (pekerjaan rumah atau PR). Apakah itu dilakukan
di di dalam atau luar kelas, praktik independen memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melakukan sendiri keterampilannya. Walaupun hasil PR menurut banyak peneliti (Cooper, 1989;
Cooper, Jackson, Nye, & Lindsey, 2001) menyimpulkan: (1) PR tampaknya memiliki efek sangat
kecil pada pembelajaran anak SD di kelas; (2) ada efek negatif antara banyaknya PR dan sikap
siswa SD terhadap belajar; (3) PR lebih menghasilkan lebih banyak belajar untuk siswa kelas enam

18
ke atas. Temuan lain yang lebih penting dalam kaitannya denga PR adalah memiliki efek di luar
pembelajaran akademis saja melainkan yang lebih luas. Sebagai contoh, Lyn Corno melihat bahwa
PR melibatkan isu-isu sosial, kultural, dan edukatif penting…PR bukan hanya sekedar tugas
akademis, PR merembes masuk ke dinamika keluarga dan sebaya dan sifat pengakaran di dalam
organisasi –organisasi kemasyarakatan maupun sekolah (Corno, 2001: 529). Pekerjaan Rumah
(PR) memberikan sarana komunikasi sosial antarsiswa dan sebagai sumber interaksi antara siswa
dan orang tua siswa.

1.5.4. Model Pembelajaran Personal


a.Landasan Teoretis dan Empiris Model
Model pembelajaan personal/kepribadian, yang merupakan penuntun siswa kearah pemilikan
mental yang lebih baik dengan cara mengembangkan kepercayaan diri dan perasaan realistis serta
menumbuhkan empati pada orang lain. Mengapa hal ini penting dalam pembelajaran? Jawabannya
karena sebagai manusia sejak lahir kita sudah dibentuk oleh dunia, di mana lingkungan sosial
berbahasa, berperilaku, dan memberikan kasih sayang. Namun diri kita sendiri dapat membentuk
perilaku dan bahasanya terus-menerus dan menciptakan ciri-ciri khas kita sendiri (Joyce, Weil,
dan Calchoun, 2009: 365). Dengan bermodal kata-kata, kita sudah dapat identitas pribadi yang
dibentuk melalui proses dan waktu yang panjang dari kecil hingga sekarang (White, 1980: 113).
Namun kita juga memiliki kapasitas yang cukup memadai untuk sedikit berubah dan menjadi
“berbeda” serta “unik”. Kita bisa menyesuaikan diri dengan iklim yang jangkauannya lebih luas,
bisa mencntai dan dicintai, memiliki impian dan berupaya meningkatkan taraf hidup.
Dalam hidup terkadang kita mengalami beberapa hal yang sifatnya paradox. Misalnya
ketika disebabkan keberadaan kita yang memiliki daya untuk berpegang erat pada beberapa
tingkah laku yang sebenarnya kurang begitu disukai walaupun hal itu jelas positif—sebagai misal
perilaku suka mematuhi nasihat orang lain—kadang-kadang kita seskali keras kepala, kadang-
kadang kita tetap ingin berjalan secara konsisten. Kemenangan pergulatan inilah yang secara
konsisten berhubungan dengan kepribadian. Inilah kepribadian—yang merupakan karakteristik
seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku (Pervin,
Cervone, dan John, 2010: 5). Model pengajaran personal memiliki beberapa tujuan. Dalam hal ini
Joyce, Weill, dan Calchoun (2009:366-367), mengemukakan berapa tujuan pembelajaran
Personal. Pertma, menuntun siswa untuk memiliki kekuatan yang lebih baik dan kesehatan emosi

19
yang lebih memadai dengan cara mengembangkan kepercayaan diri dan perasaan realistis serta
menumbuhkembangkan empati pada orang lain. Kedua, meningkatkan proporsi pendidikan yang
berasal dari kebutuhan dan aspirasi siswa sendiri, melibatkan semua siswa dalam proses
menentukan apa yang akan dikerjakannya atau bagaimana cara ia mempelajarinya. Ketiga,
mengembangkan jenis-jenis pemikiran kualitatif tertentu, seperti krreativitas diri, ekspresi pribadi,
dan sebagainya.
Joyce, Weil, dan Calchoun (2009: 366) mengidentifikasi dalam pembelajaran personal
tersebut terdapat empat model tujuan pembelajarn.
Pertama, model pembelajaran personal yang digunakan untuk pembelajaran umum,
bahkan untuk merancang sebuah sekolah yang mengadopsi filosofi tidak terarah
(nondirective philosophy) sebagai intisari pendekatan dalam pembelajaran.
Kedua, model tersebut dapat digunakan untuk menambah suasana lingkungan
pembelajaran yang dirancang di tengah beberapa model lain. Misalnya kita bisa
memfokuskan slogan “mendekat dan bergabunglah bersama kami”… Dengan kata lain
kita bisa menggunakan model ini pada fungsi yang kedua.
Ketiga, kita bisa menggunakan hal-hal yang unik dalam model pembelajaran personal
untuk menasihati siswa saat kita ingin membantu mereka belajar menjangkau dunia
secara utuh, dan dengan jalan positif.
Keempat, kita bisa membuat sebuah kurikulum akademik untuk para siswa. Metode-
metode “pengalaman” dalam pembelajaran membaca, misalnya, menggunakan cerita
yang didikte dan disampaikan oleh siswa sebagai bahan bacaan awal serta literatur yang
dipilih sendiri oleh para siswa sebagai bahan inti setelah menetapkan kompetensi awal.
Selain itu model ini dapat digunakan untuk merancang pembelajaran mandiri, termasuk
juga program yang berbasis sumber daya.

Di bawah ini akan disajikan dua model pembelajaran. Pertama, membahas model
pembelajaran non-direktif dari Carl Rogers, mengiliustrasikan filosofi dan teknik yang dimiliki
beberapa penggagas utama dalam kelompok model pembelajaran ini. Sedangkan yang kedua,
memaparkan pengelolaan kelas sebagai sebuah komunitas pembelajaran yang memiliki disiplin
diri.
Kuarang lebih setengah abad yang lalu Abraham Maslow (1962) dan Carl Rogers (1961)
mengembangkan rumusan terhadap pertumbuhan personal dan fungsinya untuk membimbing
prosesb memahami dan menghadapi perbedaan-perbedaan individu sebagai respons terhadap
lingkungan social serta fisik. Teori mereka lebih memfokuskan pada pandangan mengenai
mengenai diri (view of self) atau konsep diri (self concept) para individu dalam focus sikap dan
perkembangan intelektual. Mereka berpendirian bahwa kompetensi kita untuk berhubungan
dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh sikap dan penilaian kita terhadap diri kita sendiri.

20
Konsep diri yang kuat harus dibarengi dengan perilaku aktualisasi diri, suatu capaian
menuju lingkungan dengan kepercayaan diri yang kuat bahwa interaksi yang terjadi akan
produktif. Dalam hal ini mereka berpandangaan bahwa orang yang menerapkan aktualisasi diri ini
melakukaninteraksi yang sarat nilai dengan lingkungan sekitarnya, menemukan kesempatan untuk
tumbuh dab berkembang, dan yang tidak terbantahkan, memberikan sumbangan berarti terhadap
proses perkembangan orang lain. Orang yang memiliki perkembangan dalam level rendah (less-
developed person) akan merasa memiliki sedikit kompetensi untuk menghadapi lingkungan dan
berupaya menerimanya,apa-pun lingkungan yang mereka dapatkan. Selain itu mereka cenderung
kurang suka hubungan yang memancing pertumbuhan dan produktivitas yang berasal dari inisiatif
mereka sendiri. Mereka lebih memilih beraktivitas dalam lingkungan yang sudah ada dibanding
mengembangkan kesempatan dari dan dengan lingkungan tersebut. Selain itu ia lebih sulit
berhubungan dengan orang di sekeliling mereka. Ia kurang begitu yakin terhadap kemampuan
yang mereka miliki terutama untuk menghadapi masalah-masalah yang yang terjadi. Enerjinya
kebanyakan dibuang hanya untuk meyakinkan bahwa ia masih bisa bertahan dalam dunia yang tak
begitu bersahabat dengannya. Maka bukanlah hal yang mengejutkan jika dalam tulisan ini didapat
hubungan antara kondisi pertumbuhan orang yang penulis amati dan konsep diri yang mereka
miliki. Omnivor adalah mereka yang menerapkan konsep aktualisasi diri. Mereka merasa nyaman
dengan diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Sedangkan pemakai pribadi yang pasif
(passive consumer) merasa memiliki kompetensi namun masih bergantung pada lingkungan untuk
memperoleh kesempatan agar bisa produktif dan tumbuh berkembang. Dan, pemakai pribadi yang
segan (reticent consumer) merasa bahwa mereka hidup di tengah dunia yang menakutkan dan
rawan masalah. Kesalahan-kesalahan yang maereka temukan di sekeliling mereka, merupakan
produk dari sesuatu yang tidak berkembang dan tidak mampu melihat sisa-sisa malah yang tidak
bisa kita lihat, malahan hal ini sebenarnya suatu usaha untuk merasionalisasikan kebutuhan mereka
demi melindungi diri mereka sendiri, dari suatu dunia yang mereka takuti (Joyce, Weil, dan
Calchoun, 2009: 397).
Sekarang tiba saatnya berintrospeksi diri. Bagaimana Anda mendeskripsikan diri Anda
sendiri, ternyata bukan pekerjaan mudah. Apakah Anda sebagai siswa yang pandai? Apakah Anda
siswa yang baik dalam arti bermoral, sopan, dan menyenangkan? Dan, apakah Anda siswa yang
menarik kepribadiannya? Suka murung? Terbuka? Beberapa dari jawaban Anda barangkali
mencerminkan sifat-sifat kepribadian tertentu. Namun semua jawaban Anda menjadi jendela untuk

21
masuk ke dalam perasaan di ri (sense of self) Anda—persepsi, keyakinan, penilaian dan perasaan
Anda tentang siapa Anda sebagai seorang pribadi. Banyak para ahli membedakan antara dua aspek
perasaan diri: konsep diri (self concept)—penilaian terhadap karakter, kekuatan, dan kelemahan
diri seseorang—dan rasa harga diri (self esteem)—penilaian dan perasaan tentang nilai dan harga
diri seseorang. Namun dalam pemakaian istilah sehari-hari bahwa kedua istilah itu saling
melengkapi dan seringkali digunakan secara bergantian (Byrne, 2002: 115; Harter, 1999: 54).
Para siswa cenderung memiliki perasaan harga diri yang bersifat umum: Mereka meyakini
diri mereka entah sebagai individu yang baik, yang cakap, ataukah pribadi yang tidak layak atau
tidak bernilai. Pada saat yang sama, mereka biasanya menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan
maupun kelemahan—bahwa mereka melakukan beberapa hal dengan baik, dan beberapa hal lain
dengan buruk. Anak-anak pada kelas pertama sekolah dasar membuat distingsi yang umum antara
dua aspek tentang diri mereka., yaitu seberapa kompeten mereka mengerjakan tugas-tugas harian,
dan seberapa disukai mereka oleh keluarga dan teman-teman. Mereka membuat distingsi-distingsi
yang lebih tajam lagi tatkala semakin beranjak dewasa. Pada kelas-kelas akhir sekolah dasar
mereka mungkin menyadari bahwa mereka sekurang-kurangnya berkompeten atau meraih hasil
yang ‘baik’ dalam bidang akademis, aktivitas-aktivitas olah raga, perilaku di kelas, penerimaan
oleh rekan sebaya, dan ketertarikan fisik (Ormrod, 2009: 98). Menjelang remaja mereka juga
membuat asesmen-diri tentang kemampuan mereka dalam berteman, kompetensi mereka dalam
mengerjakan tugas-tugas orang dewasa, dan daya tarik romantic mereka (Davis-Kean & Sandler,
2001; Harter, 1999).
Gambar 3.1 meringkas delapan komponen yang pada akhirnya muncul, yang masing-
masingnya sedikit banyak berpengaruh terhadap perasaan diri para siswa secara umum adalah
mungkin. Bagi beberapa siswa pencapaian akademis mungkin terjadi factor yang utama, sementara
bagi siswa-siswa yang lain popularitas di antara teman-teman sebaya munkin menjadi factor yang
lebih penting. Bagi banyak anak muda di berbagai belahan dunia, daya tarik fisik paling banyak
berkontribusi terhadap rasa harga diri (self esteem) secara keseluruhan (Hart, 1995; Harter, 1999).

22
Gambar 1-16
Pemahaman Diri

Seberapa Seberapa besar


menarik saya orang lain
secara fisik? menyukai saya?
Apakah saya
Seberapa baik memiliki banyak
saya berperilaku? teman yang
baik?

Seberapa Seberapa
terampil saya romantis
dalam olah raga? penampilan saya

Seberapa cerdas Seberapa sukses


saya di sekolah? nanti saya dlm
berkarir?

Pemahaman
diri

23
Sumber: Diadaptasi dari Jeane Ellis Ormroad, Educational Psychology Developing
Learners, Sixth Edition, by Pearson (Merril Prentice Hall), 2008, halm. 99.
Anak-anak dan para remaja cenderung berperilaku dengan cara-cara yang mencerminkan
keyakinan mereka tentang diri mereka sendiri. Walaupun pada umumnya para siswa memiliki
persepsi diri yang positif, mereka cenderung berhasil secara akademis, social, dan fisik (Caldwell,
Rudolph, Troop-Gordon, & Kim, 2004). Misalnya jika memandang diri mereka sendiri sebagai
siswa yang baik, mereka lebih mudah memberi perhatian pada objek yang dianjurkan, mengikuti
petunjuk, bekerja secara individu maupun kelompok, mengerjakan tugas yang diberikan dan
sebagainya.
Namun demikian tidak sedikit para siswa yang memiliki asesmen diri yang berlebihan
(negatif), apakah yang merasa superior yang bersangutan dihadapan teman-temannya dan
memungkinkan mereka melakukan bullying ataupun tindakan-tindakan agresif lainnya terhadap
teman-temannya (Baumeister et al, 2003; Baumeister, Smart, & Booden, 1996), dan sebagian lain
adalah asesmen diri yang terlalu condong ke bias negatif (dengan merendahkan diri sendiri)
menyebabkan siswa menghindari berbagai tantangan yang sesungguhnya mampu meningkatkan
pertumbuhan kognitif, sosial-afektif, dan psikomotor-sosial mereka lebih positif (Assor & Connel,
1992; Schunk & Pajares, 2004). Di bawah ini akan disajikan model pembelajaran secara sederhana
untuk para siswa yang dicontohkan memiliki asesmen diri pola yang terakhir tersebut.

b.Langkah-langkah Pembelajaran Peningkatan Harga Diri


Para peneliti menyarankan; terdapat empat kata kunci untuk meningkatkan rasa harga diri anak
(Santrock, 2010: 114; Bednar, Wells, & Peterson, 1995; Harter, 1999).
1. Identifikasi penyebab rendah diri dan bidang-bidang kompetensi yang penting bagi seseorang
individu.. Hal ini penting; apakah rasa rendah diri anak itu karena prestasi sekolahnya yang
buruk? Ataukah karena sering konflik keluarga? Ataukah karena kemampuan social-ekonomi

24
keluarga yang lemah? Perlu diketahui bahwa siswa memiliki harga diri yang yang cukup positif
ketika mereka bisa kompeten dan sukses dalam melakukan sesuatu di bidang yang mereka
anggap penting. Dalam riset Susan Harter (1990; 1996; 1999) penampilan fisik dan penerimaan
sosial teman sekelasnya merupakan kontributor amat penting bagi rasa harga diri. Penerimaan
sosial teman sekelas lebih penting bagi rasa harga diri remaja ketimbang penerimaan sosial dari
gurunya. Meskipun demikian, guru masih memainkan peran penting dalam meningkatkan
perasaan harga diri remaja yang orang tuanya tidak peduli (Santrock, 2010: 114).
2. Beri dukungan emosional dan penerimaan social. Setiap kelas pasti ada yang sering
memperoleh nilai buruk di kelasnya. Jika ditelusuri faktor penyebabnya, terdapat berbagai
kemungkinan. Bisa terjadi karena anak ini berasal dari keluarga yang suka menghina dan
merendahkan dirinya yang terus-menerus membuat si anak tidak berdaya, atau mungkin mereka
sebelumnya menjadi siswa di kelas yang terlalu banyak member penilaian negatif. Dukungan
emosional dan sosial Anda bisa sangat membantu mereka menghargai diri mereka sendiri.
Konselor sekolah atau guru BK bisa membantu anak semacam ini dengan. Bagi anak dari
keluarga single parent, dapat diberi program Big Brother atau Big Sister yang menyediakan
orang dewasa member dukungan emosional dan penerimaan sosial. Perlu diketahui bahwa
penerimaan teman sebaya menjadi amat penting dalam masa sekolah menengah ini. Dalam
suatu penelitian yang dilakukan Robinson (1995: 278) ternyata dukungan orang tua maupun
teman sebaya akan mempengaruhi perasaan remaja dalam memandang martabat dirinya. Jadi
rekomendasi untuk meningkatkan keahlian social anak yang telah diuraikan di awal bab ini,
mungkin juga bisa meningkatkan perasaan harga diri anak.
3. Bantu anak dalam mencapai tujuan untuk berprestasi. Prestasi bisa menaikkan perasaan harga
diri seseorang siswa. Hasil belajar siswa yang meningkat dalam pembelajaran secara langsung
atau bisa menaikkan prestasi anak, dan akibatnya bisa menaikkan rasa harga diri mereka. Sering
kali tidak cukup hanya memberitahu siswa bahwa mereka bisa mencapai sesuatu yang
diinginkan, tetapi sebagai guru juga harus membantu agar siswa tersebut untuk meraih dan
mengembangkan keahlian akademik mereka. Hal ini terbukti dari kajian Henry Gaskins yang
menjadi seorang relawan dalam menjalankan program tutorialnya setelah jam-jam sekolah
untuk para siswa di Washington DC. Selama empat jam pada waktu malam dan di sepanjang
hari Sabtu, 80 siswa menerima bantuan langsung satu-satu dari Ginskins, istrinya, dua relawan
dewasa, dan anak yang berbakat secara akademik. Selain diajarkan mata pelajaran tertentu,

25
anak-anak juga menentukan tujuan pribadinya dan menyususun rencana sendiri untuk mencapai
tujuan itu. Banyak orang tua dari para siswa tersebut yang dahulunya drop-out dari sekolah
maupun yang tidak termotivasi sekolah, ternyata hasil usaha Gaskins tersebut dapat membantu
para siswa untuk kembali bergairah dalam mengikuti pelajaran di sekolah secara antusias. Pada
umumnya mereka merasa bangga dan percaya diri untuk melanjutkan sekolah kembali.
4. Kembangkan keterampilan mengatasi masalah. Ketika anak menghadapi problem dan bisa
mengatasinya, bukan menghindarinya, maka rasa harga diri anak akan menaik. Siswa yang mau
mengatasi masalah kemungkinan akan menghadapi problem secara realistis, jujur, dan
nondefensif. Ini menghasilkan pemikiran positif tentang diri mereka sendiri yang akibatnya bisa
meningkatkan perasaan harga dirinya. Di lain pihak, siswa yang rendah diri biasanya
mengevaluasi diri secara negative dan menyebabkan sikap penolakan, penipuan, dan
penghindaran. Tipe penolakan ini membuat siswa merasa tidak mampu secara personal.

26

Anda mungkin juga menyukai