Anda di halaman 1dari 9

BAB I

HAKIKAT PSIKOLOGI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN


Fransiskus De Gomes, S.Fil., M.Pd1

1.1 Pengantar

Filsuf Prancis Voltaire (Gunawan, dkk., 1992: 39) pernah berkata: “Jika kamu
ingin bercakap-cakap dengan saya, sebaiknya rumuskanlah dahulu istilah-istilah
yang akan kamu pakai”. Pernyataan ini mengajarkan pentingnya pemahaman yang
jelas tentang sesuatu yang dibicarakan atau yang ditulis agar tidak terjadi
miskonsepsi atau pemahaman yang sesat.
Buku ini secara spesifik membahas tentang psikologi belajar dan
pembelajaran. Rasanya sulit untuk menemukan suatu definisi yang utuh dan yang
bisa diterima oleh banyak orang berkenaan dengan psikologi belajar dan
pembelajaran. Dalam frase ‘Psikologi Belajar dan Pembelajaran’ terdapat tiga kata
kunci untuk didefiniskan terlebih dahulu sebelum melihat makna secara utuh, yakni
psikologi, belajar, dan pembelajaran. Atas dasar ini, bab 1 membahas tentang hakikat
psikologi belajar dan pembelajaran, yang maknanya diperoleh dari defnisi ketiga kata
tersebut.

1.2 Pengertian Psikologi


Secara etimologis, kata ‘psikologi’ berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata
‘psyche” yang berarti jiwa dan kata ‘logos’ yang berarti ilmu. Jadi secara literal,
psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau ilmu jiwa
(Latipah, 2012: 5). Versi lain juga menyatakan bahwa kata psikologi berasal dari
bahasa Perancis ‘psychologie’ atau bahasa Latin ‘psychologia’ yang juga bermakna
‘studi tentang jiwa’.
Secara historis, istilah psikologi mulai dikenal pada pertengahan abad ke-16.
Sekitar seabad kemudian muncul pemaknaan baru atas istilah psikologi, yakni studi
tentang pikiran. Selanjutnya, pada tahun 1895, istilah psikologi untuk pertama kali
dipakai dalam referensi ilmu-ilmu perilaku. Dengan demikian, muncul makna lain
atas istilah psikologi, yakni ilmu tentang perilaku (Danim dan Khairil, 2011: 1).

1
Dosen Program Studi Pendidikan Guru PAUD STKIP St Paulus Ruteng, Lulusan Magister
Pendidikan dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang
Pergeseran makna psikologi dari ‘studi tentang jiwa’ menjadi ‘studi tentang
pikiran’, dan kemudian bermakna ‘studi tentang perilaku’ terjadi karena makna kata
‘jiwa’ sebagai objek studi bidang ini memiliki multi tafsir. Sebagian psikolog,
menyatakan bahwa ‘jiwa’ merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, dan karena itu
sulit dipelajari. Yang dapat dipelajari hanyalah tingkah laku sebab ia bersifat nyata
(observable) dan dapat diukur (measureable). Pemikiran seperti ini terwakili dalam
kelompok psikolog behavioristik.
Alasan lain, mengapa tingkah laku dilihat sebagai objek kajian psikologi
karena tingkah laku diyakini digerakkan oleh jiwa. Namun, apa itu tingkahlaku?
Sebagian psikolog memaknai tingkah-laku dengan dua makna, yakni tingkahlaku
yang tidak nyata (tertutup, implisit) dan tingkahlaku yang nyata (terbuka, eksplisit).
Tingkahlaku yang tidak nyata mencakup kemampuan berpikir, mengingat,
merasakan, menghendaki, dan sebagainya. Tingkahlaku yang tidak nyata sulit
diamati kecuali bila termanifestasi dalam bentuk gejala. Tingkahlaku yang nyata
berupa berjalan, duduk, tidur, berbicara, tertawa, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tingkahlaku manusia dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya.
Kajian psikologi mempelajari proses, motif, reaksi, perasaan, dan sifat dari pikiran
manusia. Kajian psikologi bertujuan untuk mencari, merumuskan, menjelaskan, dan
menjeneralisasikan fungsi mental dan perilaku individu. Hasil eksperimen psikologi
melahirkan penjelasan tentang fenomena psikis individu yang mencakup persepsi,
kognisi, atensi, emosi, motivasi, fungsi otak, kepribadian, perilaku, dan hubungan
interpersonal.
1.3 Hakikat Belajar
Ada banyak definisi belajar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 17)
mengartikan belajar sebagai usaha mendapatkan kepandaian atau ilmu. Arti leksikal
ini hanya menunjukkan bahwa dalam belajar terjadi proses disposisi diri terhadap
pengetahuan dan ilmu pengetahuan, namun tidak secara gamblang menjelaskan
manfaat kepandaian dan ilmu yang didapatkan melalui belajar.
Manusia senantiasa berinteraksi dengan dunianya. Interaksi dengan dunia
mendorong manusia untuk belajar. Oleh sebab itu, belajar merupakan usaha sadar
manusia untuk memahami dunianya. Pemahaman yang baik atas dunia sekitar
memampukan manusia untuk beradaptasi dan berkembang dengan baik. Ketika
menjumpai pengalaman tanah gersang, manusia belajar bagaimana mengolah tanah
tersebut agar menjadi subur sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi
hidupnya.
Dalam belajar, manusia menggunakan kemampuan yang dimilikinya, yakni
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan kemampuan kognitif, manusia
berpikir untuk memahami segala sesuatu; dengan kemampuan afektif, manusia
mengambil sikap tertentu (menerima atau menolak, percaya atau tidak percaya)
terhadap apa yang dipahaminya; dan dengan kemampuan psikomotorik, manusia
bertindak untuk melaksanakan segala sesuatu yang diinginkannya.
Hasil belajar tampak pada perubahan perilaku, baik yang bersifat nyata
maupun yang tidak nyata (Gagne dalam Thobroni dan Mustofa, 2012: 23).
Perubahan perilaku yang bersifat tidak nyata tampak dalam bentuk: pertama,
keterampilan intelektual, yakni kesanggupan mempresentasikan konsep dan
lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi,
membuat analisis-sintesis fakta-konsep, dan mengembangkan prinsip-prinsip
keilmuan. Hal itu berarti keterampilan intelektual pada dasarnya merupakan
kemampuan melakukan kegiatan kognitif secara khas. Kedua, strategi kognitif, yakni
kecakapan menyalurkan dan mengarahkan kegiatan kognitif. Kecakapan ini meliputi
penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah. Ketiga, sikap yaitu
kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek
tersebut. Sikap berwujud dalam kemampuan menginternalisasikan dan
mengeksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kapasitas menjadikan nilai-nilai
sebagai standar perilaku.
Perubahan perilaku yang nyata tampak dalam bentuk: pertama, informasi
verbal, yakni kemampuan mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik
lisan maupun tertulis. Kedua, keterampilan motorik, yakni kesanggupan melakukan
serangkaian gerak jasmani secara terkoordinatif sehingga terwujud otomatisme gerak
jasmani. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar bersifat relatif permanen,
sebagamana yang dinyatakan Morgan (Suprijono, 2012: 3), any relatively permanent
change in behavior that is a result of past experience.
Secara singkat, ada empat hal penting dalam belajar, yakni individu, proses,
perubahan perilaku, dan interaksi dengan lingkungan atau pengalaman. Belajar selalu
berhubungan dengan individu, yakni manusia sebagai pribadi yang memiliki
kapasitas mendisposisikan dirinya terhadap sesuatu. Kemampuan mendisposisikan
diri memungkinkan manusia untuk berupaya memahami segala sesuatu yang
dihadapinya. Belajar selalu merupakan proses, artinya belajar terjadi dalam ruang
dan rentang waktu yang diisi dengan serangkain tindakan demi mencapai tujuan
tertentu. Tujuan yang hendak dicapai dalam belajar adalah perubahan perilaku. Hal
itu berarti setelah belajar, individu tersebut memeroleh hasilnya berupa perilaku baru
yang tidak dimiliki sebelumnya. Pada tataran ini, perubahan perilaku dimaknai
secara luas, yakni mencakup perubahan pengetahuan (kognitif), nilai dan sikap
(afektif), dan keterampilan (psikomotor). Perubahan perilaku dalam belajar bersifat
menetap dan bukan sesaat atau kebetulan. Selanjutnya, perubahan perilaku dalam
proses belajar terjadi karena individu melakukan interaksi dengan lingkungan. Pada
konteks ini, lingkungan dimaknai sebagai segala sesuatu, baik diri sendiri maupun di
luar diri.
Belajar bukanlah aktivitas yang bersifat kebetulan (tanpa disengaja). Inilah
yang membedakan belajar dengan pertumbuhan. Sebagai aktivitas yang disengaja,
belajar memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ini menjadi motivasi yang
menggerakkan seseorang untuk belajar. Tujuan belajar merupakan kebutuhan yang
menentut pembelajar melakukan aktivitas belajar.
Apa tujuan belajar? Siregar dan Nara (2011: 6-7) membeberikan beberapa
tujuan belajar, yakni: pertama, untuk memenuhi rasa ingin tahu (curiosity).
Eksistensi manusia in se mengandung dorongan rasa ingin tahu akan sesuatu. Rasa
ingin tahu akan sesuatu, biasanya diwujudkan dalam usaha mencaritahu apa yang
belum diketahuinya. Kedua, untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan manusia
didasari atas kebutuhan yang harus dipenuhi, dari kebutuhan biologis sampai
aktualisasi diri. Pada konteks ini, manusia belajar dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuahannya. Ketiga, untuk memiliki kemampuan bersosialisasi dan
beradapaptasi dengan lingkungan. Rupanya tidak semua orang mudah bersosialisasi
dan beradaptasi dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, sebagian orang belajar untuk
mempunyai dan meningkatkan kemampuan bersosialisasi dan beradapaptasi dengan
lingkungannya. Keempat, untuk meningkatkan intelektualitas dan potensi diri.
Intelektualitas merupakan salah satu modal dasar untuk bisa bersaing di zaman yang
sarat kompetisi seperti sekarang. Oleh sebab itu, belajar bagi sebagian orang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya. Selain itu, belajar juga
bertujuan untuk menggali potensi diri. Potensi diri individu yang tergali selanjutnya
diaktualisasikan sehingga ia dapat berkembang. Kelima, untuk mencapai cita-cita.
Cita-cita sebagai sasaran aktualisasi diri mendorong manusia untuk belajar. Keenam,
untuk mengisi waktu luang. Sebagian orang belajar untuk mengisi waktu luas
sehingga waktu tersebut dapat dilalui dengan kegiatan yang bermanfaat. Ketujuh,
untuk menguasai Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS) sebagai tuntutan
zaman dan lingkungan di sekitarnya. Manfaat IPTEKS bagi kehidupan manusia tak
dapat dipungkiri lagi. Oleh sebab itu, belajar untuk menguasai IPTEKS merupakan
keharusan bagi setiap orang.
Dalam konteks pembelajaran, tujuan belajar dibedakan atas: pertama, tujuan
yang diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional (instructional effects)
yang biasa berbentuk pengetahuan dan keterampilan; kedua, tujuan belajar sebagai
hasil yang menyertai tujuan belajar instruksional yang disebut nurturant effects.
Bentuknya berupa kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan
demokratis, menerima orang lain, dan sebagainya (Suprijono, 2012: 5).
Selanjutnya, belajar akan berlangsung dengan baik apabila ada situasi dan
kesiapan pembelajar. Situasi berkaitan dengan segala sesuatu yang memberikan
kesempatan dan memengaruhi kegiatan belajar. Situasi belajar mencakup tempat,
lingkungan sekitar, alat dan bahan yang dipelajari, guru, dan sumber serta media
belajar yang lainnya. Kesiapan berhubungan dengan kondisi pembelajar yang
mencakup fisik dan psikis yang baik. Tentu saja kemampuan belajar anak yang
fisiknya sehat berbeda dengan anak yang mengalami gangguan fisik seperti buta dan
tuli. Ketika pebelajar menghadapi objek atau subjek belajarnya, ia menggunakan
kemampuan reseptif-sensoris melalui inderanya untuk selanjutnya diproses oleh
kemampuan kognitifnya. Hasil proses kognitif adalah berupa makna yang berkaitan
dengan tujuan belajarnya. Makna yang diperoleh direspon yang tampak dalam
bentuk perilaku baik yang nyata maupun yang tidak nyata.

1.4 Pengertian Pembelajaran


Dalam kegiatan pendidikan dikenal dua istilah yang acapkali digunakan
secara bergantian dengan arti yang sama, yakni pembelajaran dan pengajaran.
Namun jika dicermati dengan saksama, kedua istilah tersebut berbeda. Perbedaan
keduanya bukan saja dalam arti leksikal tetapi juga dalam praksis belajar mengajar.
Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris learning sedangkan
pengajaran adalah terjemahan dari kata teaching.
Secara literal, pengajaran diartikan sebagai proses, perbuatan, cara
mengajarkan. Makna seperti ini melahirkan konstruksi belajar mengajar yang
berpusat pada guru (teacher centered) sebagai sumber utama belajar (Miarso, 2005:
142). Hal ini berarti kegiatan pengajaran merupakan perbuatan guru ‘mengisi’
peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Peserta didik dilihat sebagai ‘tong’
atau tempat kosong yang dapat diisi dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
guru. Pola komunikasi pengajaran bersifat satu arah, yakni dari guru ke siswa.
Dengan demikian, siswa dilihat sebagai objek didik yang semata-mata bergantung
pada guru.
Konstruksi pengajaran menuai banyak kritikan. Pengajaran dapat melahirkan
siswa yang terasing dengan dirinya sendiri. Melalui pengajaran, siswa membentuk
kepribadiannya seturut format gurunya. Hal inilah yang sangat ditentang oleh Paulo
Freire. Freire (Suprijono, 2012: 12-13) menganalogikan pengajaran dengan
pendidikan gaya bank (banking concept of education). Dalam proses pendidikan
gaya bank, guru diandaikan sebagai investor, pengetahuan guru adalah sumber
invstasi, dan siswa adalah rekening yang berisi catatan-catatan investasi yang dibuat
oleh guru. Secara sederhana, Fraire menyusun antagonisme pendidikan gaya bank
sebagai berikut: (1) guru mengajar, siswa belajar; (2) guru tahu segalanya, siswa
tidak tahu apa-apa; (3) guru berpikir, siswa dipikirkan; (4) guru bicara, siswa
mendengarkan; (5) guru mengatur, siswa diatur; (6) guru memilih dan memaksakan
pilihannya, siswa menuruti; (7) guru bertindak, siswa membayangkan bagaimana
bertindak sesuai dengan tindakan gurunya; (8) guru memilih apa yang akan
diajarkan, siswa menyesuaikan diri; (9) guru mengacaukan wewenang ilmu
pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentangkannya
dengan kebebasan siswanya; (10) guru adalah subyek proses belajar, siswa
obyeknya.
Istilah pembelajaran digunakan untuk menggantikan pengajaran. Berbeda
dengan pengajaran, pembelajaran merupakan aktivitas belajar yang berfokus pada
kepentingan pembelajar (learner centered). Miarso (2005: 144) menyatakan bahwa
kegiatan pembelajaran tidak harus diberikan oleh pengajar. Kegiatan pembelajaran
dapat dilakukan oleh perancang dan pengembang sumber belajar, misalnya seorang
teknolog pembelajaran atau suatu tim yang terdiri dari ahli media dan ahli materi ajar
tertentu. Gagne, dkk. (Pribadi, 2011: 10) menyatakan bahwa pembelajaran memiliki
makna lebih luas dari pada istilah pengajaran. Pengajaran hanya merupakan upaya
mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa, sedangkan pembelajaran memiliki
makna yang lebih luas, yakni kegiatan yang dimulai dari mendesain,
mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan yang dapat
menciptakan terjadinya proses belajar.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa makna pengajaran
berbeda dengan pembelajaran. Pengajaran memiliki makna yang sempit, yaitu proses
transfer pengetahuan dari guru kepada siswa, sedangkan pembelajaran merupakan
proses yang sengaja didesain untuk menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam
diri siswa.

1.5 Hakikat Psikologi Belajar dan Pembelajaran

Berdasarkan pengertian psikologi, belajar, dan pembelajaran sebagaimana


diuraikan sebelumnya, maka psikologi belajar dan pembelajaran dapat dimaknai
sebagai disiplin ilmu yang secara khusus mengkaji perilaku belajar individu dan
upaya yang tepat untuk menstimulasi aktivitas belajarnya. Kajian tentang perilaku
belajar lebih berfokus pada bagaimana individu mengetahui atau memahami sesuatu
dan apa yang memungkinkan individu dapat memeroleh pengetahuan. Pada konteks
ini, kajian yang dibuat kerkaitan dengan kondisi dan kemampuan internal pembelajar
dalam memeroleh pengetahuan.
Kajian tentang upaya menstimulasi aktivitas belajar berkaitan dengan
bagaimana cara-cara efektif yang dapat dilakukan agar individu dapat memeroleh
dan memaknai pengetahuannya. Hal ini berarti kajian yang dibuat berfokus pada
upaya eksternal pebelajar dalam menemukan strategi yang efektif, mendesain,
melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan belajar.
1.6 Ruang Lingkup Psikologi Belajar dan Pembelajaran

Sebagai salah satu cabang psikologi, psikologi belajar dan pembelajaran


secara khusus mengkaji tentang masalah belajar dan pembelajaran. Secara umum,
ruang lingkup psikologi belajar dan pembelajaran mencakup kajian terhadap teori
belajar. Ada beberapa teori belajar yang dikaji antara lain teori belajar behaviorisme,
teori belajar kognitif, teori belajar kontruktivistik, teori belajar humanisme, dan teori
belajar neurosains.
Kajian terhadap teori-teori tersebut menghasilkan konsep tentang hakikat
belajar, prinsip-prinsip belajar, jenis-jenis belajar, aktivitas dan proses belajar, teknik
belajar efektif, karakteristik hasil belajar, faktor-faktor yang memengaruhi belajar,
motivasi belajar, tahapan belajar, perbedaan kemampuan pebelajar, situasi belajar,
desain pembelajaran, pengelolaan lingkungan belajar, strategi pembelajaran, metode
pembelajaran, teknik pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.

1.7 Manfaar Mempelajari Psikologi Belajar dan Pembelajaran

Pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap karakter peserta


didik dan cara belajarnya merupakan kunci kesuksesan bagi setiap orang yang
membaktikan dirinya dalam dunia pendidikan. Secara khusus bagi calon guru dan
guru, manfaat mempelajari psikologi belajar dan pembelajaran adalah untuk
memeroleh pengetahuan tentang:
1. Hakikat peserta didik dan bagaimana cara belajarnya sehingga dapat
menentukan syarat-syarat yang tepat agar mereka dapat belajar dengan baik
yang dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan pembelajaran.
2. Teori-teori belajar yang dapat digunakan dalam menemukan cara-cara atau
pendekatan belajar yang efektif bagi siswa sesuai dengan kemampuan
individualnya.
3. Faktor-faktor yang memengaruhi belajar yang dapat digunakan untuk
menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi terselaksananya kegiatan
belajar yang efektif.
4. Strategi yang tepat untuk meningkatkan motivasi belajar siswa.
5. Untuk memeroleh pengetahuan tentang kemampuan belajar siswa pada setiap
tahap usianya sehingga dapat menyesuaikannya dengan tingkat kesulitan
materi yang dipelajari.
6. Bentuk-bentuk kesulitan belajar siswa dan cara yang tepat untuk
mengatasinya.
7. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang transfer belajar yang dapat
digunakan dalam membantu siswa untuk mengaplikasikan pengetahuannya ke
dalam konteks riil kehidupannya.
8. Mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran sesuai
karakteristik siswa dan kondisi lingkungan belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan dan Khairil, H. 2011. Psikologi Pendidikan (Dalam Perspektif


Baru). Cet. ke-2. Bandung: Alfabeta.

Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.

Gunawan, Yusuf, dkk. 1992. Pengantar Bimbingan dan Konseling: Buku Panduan
Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Latipah, Eva. 2012. Pengantar Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pedagogia.

Miarso, Yusufhadi. 2005. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Pribadi, Benny A. 2011. Langkah Penting Merancang Kegiatan Pembelajaran yang


Efektif dan Berkualitas Model Desain Sistem Pembelajaran. Cet. ke-3.
Jakarta: Dian Rakyat.

Siregar, Eveline dan Nara, Hartini. 2011. Teori Belajar dan Pembelajaran. Cet ke-2.
Bogor: Ghalia Indonesia.

Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning Teori & Aplikasi PAIKEM. Cet. ke-8.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Thobroni, Muhammad dan Arif Mustofa. 2012. Belajar dan pembelajaran.Cet. ke-2.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Anda mungkin juga menyukai