Anda di halaman 1dari 1

Robohnya Surau Kami

A.A. Navis

Di sebuah kampung hiduplah seorang penjaga surau yang oleh orang-orang setempat
dipanggil Kakek. Ia dikenal sangat taat dalam ibadah. Hampir-hampir seluruh waktunya
dihabiskan untuk mengagungkan nama Allah. Kakek diketahui pandai mengasah pisau, tetapi
itu bukanlah pekerjaannya. Ia hidup dari sedekah jemaah dan panen ikan mas yang dipelihara
di kolam depan surau. Sepenuh hidupnya ia baktikan untuk beribadah dan merawat surau.
Tiada ia beranak-istri. Rumah pun tidak. “Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan
kepada Allah Subhanahu wataala. Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu
ada dan pengasih penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-
Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya,” demikian
menurut kata-kata Kakek sendiri.
Kakek begitu yakin dengan iman dan ibadahnya sampai Ajo Sidi datang dengan
sebuah cerita yang menggoyahkan semua itu. Ajo Sidi memang tukang cerita. Pembual lebih
tepatnya. Tetapi bualannya selalu memikat orang dan sering jadi pameo. Kepada Kakek, Ajo
Sidi bercerita tentang seorang bernama Haji Saleh saat dihisab Tuhan di akhirat. Hanya satu
pertanyaan Tuhan kepadanya, “Apa kerjamu di dunia?” Dan bagi Haji Saleh itu adalah
pertanyaan mudah. Dijawabnya pertanyaan Allah itu dengan rincian amal ibadah yang telah
dilakukannya semasa hidup. Setiap Haji Saleh selesai menyebut amal ibadahnya, selalu Allah
bertanya, “Lain lagi?” Hingga ia kehabisan kata. Tetapi, bukan surga yang akhirnya ia
masuki, melainkan neraka.
Di neraka ia bertemu dengan orang-orang yang diketahuinya tak kalah darinya soal
ibadah. Maka itu, mereka merasa Allah berlaku tak adil. Lalu proteslah Haji Saleh dan orang-
orang itu kepada Allah. Mereka merasa telah melakukan segala perintah dan menjauhi
larangan Allah sehingga semestinya surgalah tempat mereka. Atas protes makhluk-makhluk-
Nya itu, Tuhan balik bertanya, “Kalian tinggal di mana di dunia?” Mereka menjawab:
Indonesia, suatu negeri kaya sumber daya tetapi melarat penduduknya. Negeri yang lama
dijajah dan kacau oleh konflik sesama warganya, sehingga anak-cucu mereka ikut melarat.
Kepada para pendemonya, Tuhan berkata, “kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga
anak cucumu teraniaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.
Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-
muji dan menyembahku saja.” Pada akhirnya mereka semua tetap masuk neraka. Tetapi, Haji
Saleh masih juga sempat bertanya, “Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah
Tuhan di dunia?”
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau
takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan
anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun,” jawab
Tuhan. Bagi Kakek, cerita Ajo Sidi itu adalah sebuah ejekan yang menyakitkan. Seakan-akan
jalan hidupnya selama ini adalah kesia-siaan. Sialnya, karena tak tahan atas sindiran itu,
Kakek bunuh diri esok harinya.

Anda mungkin juga menyukai