Epidemiologi Veteriner
Pokok Bahasan:
Definisi, Ruang Lingkup &
Epidemiologi Deskriptif
Dosen Pengampu:
Windia Adnyana
Fakultas Kedokteran Hewan - Universitas Udayana
2015
Tujuan Pembelajaran:
Setelah usai mengikuti pembelajaran pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan:
1. Memahami konsep hubungan antara agen – inang – lingkungan, interaksi determinan penyakit,
imunitas kelompok, dan jejaring penyebab.
2. Mampu menggunakan terminologi dalam kejadian suatu penyakit infeksius, seperti infeksi, masa
inkubasi, reservoir, vektor, patogenisitas, dan virulensi.
3. Mampu membedakan antara rasio, proporsi dan laju (rates), serta terminologi lainnya yang relevan
dengan frekuensi kejadian penyakit
4. Memahami penggunaan istilah prevalensi dan insidensi
5. Memahami arti kemungkinan bertahan hidup (survival probability) dan laju kerusakan (hazard rate)
Pendahuluan
Masalah yang dihadapi dokter hewan masa kini berbeda dengan dokter hewan di masa lalu. Dokter
hewan di era modern ini, acapkali dihadapkan pada situasi dimana kejadian penyakit pada suatu
populasi atau suatu wilayah masih tetap eksis walaupun telah dikontrol dalam waktu lama.
Pertimbangan terhadap aspek ekonomi (analisis terhadap biaya dan keuntungan/manfaat) sangat
diperlukan ketika seorang dokter hewan memutuskan pilihan tindakan kontrol terhadap suatu kejadian
penyakit. Selain itu, dokter hewan juga harus berespon positif terhadap kemunculan penyakit –
penyakit beretiologi kompleks multi-faktorial berbiaya tinggi, penyebaran penyakit-penyakit seperti
Bovine Spongyform Encepalopathy (BSE) dan Penyakit Mulut dan Kuku, serta fenomena resistensi
terhadap antimikrobial akibat penggunaan yang tidak rasional. Semua masalah tersebut membutuhkan
identifikasi, kuantifikasi, dan pemeriksaan intensif terhadap penyebab kejadian penyakit, baik yang
langsung maupun tidak langsung, serta acapkali melibatkan determinan yang saling terkait. Dalam
konteks inilah diperlukan epidemiologi, suatu disiplin dengan fokus melakukan studi tentang distribusi
dan determinan suatu kejadian yang berhubungan dengan masalah kesehatan pada suatu populasi,
serta aplikasi dari hasil studi ini untuk mengontrol masalah kesehatan dimaksud.
Epidemiologi Veteriner
Investigasi kejadian penyakit, penurunan (gagal) produksi, dan kesejahteraan hewan dalam satu
populasi adalah arena utama epidemiologi veteriner. Disiplin ini dipergunakan untuk menggambarkan
frekuensi kejadian penyakit dan bagaimana kesehatan, produktivitas serta kesejahteraan hewan
dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor atau determinan yang berbeda. Melakukan karakterisasi
terhadap individu-individu dalam satu populasi dengan laju (rate) penyakit tinggi dan yang rendah
adalah pekerjaan utama seorang epidemiolog. Upaya tersebut kemudian akan dilanjutkan dengan
pengajuan pertanyaan-pertanyaan untuk menemukan faktor-faktor yang ada pada kelompok individu
dengan laju penyakit tinggi tapi tidak ada pada kelompok dengan laju penyakit rendah, dan sebaliknya,
hingga semua faktor yang mempengaruhi laju suatu penyakit bisa diidentifikasi. Informasi ini kemudian
digunakan untuk memanipulasi determinan atau faktor-faktor yang terlibat dalam kemunculan suatu
penyakit, menurunkan paparan terhadap faktor-faktor tersebut, hingga mengurangi laju penyakit pada
suatu populasi. Dengan cara ini, kejadian suatu penyakit akhirnya bisa dikontrol, bahkan acapkali
ketika agen penyebabnya belum diketahui.
Langkah – langkah dalam epidemiologi veteriner meliputi deskripsi kejadian penyakit (atau masalah
kesehatan), identifikasi penyebab dan faktor resiko, telaah pola klinis penyakit (identifikasi sindroma-
sindroma), serta perumusan tindakan kontrol dan pencegahan. Sejatinya, epidemiologi veteriner adalah
sains dasar dari kesehatan masyarakat, yang memungkinkan seseorang untuk memperoleh gambaran
umum mengenai sifat-sifat alamiah, penyebab, dan cakupan kejadian penyakit, serta menyediakan
informasi untuk perencanaan dan penentuan sumberdaya dengan tepat. Ini adalah pendekatan holistik
dengan tujuan melakukan koordinasi penggunaan berbagai disiplin sains dan teknik selama melakukan
investigasi suatu penyakit, gangguan produktivitas, dan kesejahteraan hewan. Secara skematis, ranah
kerjanya ditampilkan pada Gambar 1.
Sumber data
Gambar 1. Komponen-komponen atau ranah kerja epidemiologi veteriner. Hulu kegiatan adalah
pengumpulan data, diikuti dengan analisis kualitatif dan/atau kuantitatif yang akan dipergunakan
sebagai landasan membangun hipotesis kausal. Pengumpulan data ini dilakukan dengan investigasi
yang meliputi studi lapangan atau survai, serta kreasi model masalah epidemiologi. Tujuan akhir
epidemiologi adalah untuk mengontrol masalah penyakit, mengurangi kerugian produksi, serta
meningkatkan kesejahteraan hewan.
Pendekatan klinis fokus pada individu hewan, dan bertujuan untuk mendiagnosis suatu penyakit serta
mengobatinya. Kegiatannya meliputi pemeriksaan fisik dan penentuan diagnosis banding (differential
diagnosis). Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan lebih lanjut, uji-uji laboratorium dan respon
terhadap pengobatan yang telah dilakukan, akan dipergunakan untuk mempersempit differential
diagnosis menjadi diagnosis tunggal. Keberhasilan pendekatan ini tergantung dari dua hal. Pertama,
diagnosis yang sebenarnya mesti ada dalam daftar differential diagnosis. Kedua, tanda-tanda klinis
yang diamati pada suatu individu mesti muncul dari suau proses penyakit (berpenyebab) tunggal.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa diagnosis final selalu diambil dari daftar differential diagnosis.
Jika penyakit yang sedang menyerang suatu individu tak ada di daftar tersebut, maka jelas hal yang
dicari tak akan pernah menjadi diagnosis final. Suatu penyakit mungkin saja dicoret dari daftar karena
sang dokter hewannya tidak familiar dengan penyakit tersebut (misalnya penyakit eksotik atau penyakit
yang tak biasa), atau bisa juga karena penyakit tersebut baru alias belum pernah diidentifikasi
sebelumnya.
Ide tentang suatu penyakit berpenyebab tunggal bisa jadi benar pada kasus – kasus tertentu (misalnya
virus parvo menyebabkan tanda klinis tertentu pada anjing). Namun demikian, pada kebanyakan kasus,
akan terdapat banyak faktor penyebab yang berinteraksi dalam suatu jejaring yang kompleks, yang
bisa memunculkan suatu tanda klinis atau sebaliknya tanpa tanda klinis.
Pendekatan epidemiologi dalam megelola suatu kejadian penyakit, secara konseptual berbeda dengan
pendekatan klinis. Dalam epidemiologi, tidak ada ketergantungan atau keharusan untuk secara tepat
menemukan agen etiologik. Aktivitas yang dilakukan berdasarkan pada pengamatan terhadap
perbedaan dan persamaan antara kelompok hewan terserang penyakit dan yang tidak, untuk
memahami faktor-faktor apa saja yang mungkin menyebabkan peningkatan atau penurunan resiko
terhadap suatu penyakit. Dalam prakteknya, seorang klinikus akan menggunakan kombinasi antara
pendekatan klinis dan epidemiologis dalam kegiatannya sehari-hari. Jika masalah yang dihadapi relatif
jelas (clear-cut). Maka pendekatan epidemiologi tak diperlukan. Jika kondisi yang dihadapi adalah baru
atau kompleks, maka pendekatan epidemiologis akan mendapatkan arenanya. Pendekatan
epidemiologi akan membuat pelaku lebih memahami alasan kenapa suatu individual rentan terhadap
suatu penyakit, sementara yang lainnya relatif tahan. Jika faktor-faktor ini diketahui, maka tindakan
yang dibutuhkan untuk melakukan kontrol terhadap penyakit tersebut bisa dirumuskan dengan baik.
Secara ringkas, beda antara klinikus dan epidemiolog ditampilkan pada Tabel-1.
Investigasi epidemiologi fokus pada populasi, aspek penyakit, serta penyebab. Dalam konteks ini,
dimensi ruang dan waktu dari suatu kejadian penyakit sangat penting. Parameter populasi yang harus
diinvestigasi meliputi status kesehatan (populasi) serta faktor-faktor yang berhubungan dengan status
kesehatan dimaksud (misalnya fertilitas, fekunditas, imigrasi dan emigrasi). Parameter ini tidak hanya
mempengauhi populasi secara numerik, namun juga mempengaruhi imunitas kelompok (herd
immunity) dan karakteristik dasar seperti struktur umur. Kejadia penyakit dalam satu populasi
diinvestigasi secara mendalam dan mesti meliputi semua keadaan kesehatan hewan (mati, klinis, sub-
klinis, dan sehat). Pada level individu, penyakit didefinisikan sebagai keadaan fungsi atau bentuk tubuh
yang gagal memenuhi harapan pemilik hewan atau masyarakat. Pada level populasi, penyakit
umumnya bermanifestasi defisit produktivitas atau kurangnya kualitas daya tahan hidup. Perbedaan
kuantitatif manifestasi penyakit infeksius dalam populasi digambarkan menggunakan analogi fenomena
gunung es atau iceberg (Gambar 2). Hewan yang terpapar agen infeksi namun tetap sehat pasti
berjumlah sangat banyak. Kelompok inilah yang ada didasar gunung es. Hewan-hewan ini bisa menjadi
peka terhadap suatu infeksi dimasa mendatang, atau akan memiliki antibodi akibat paparan dimasa
lalu. Kelompok hewan yang lain akan terinfeksi, namun tidak menunjukkan tanda klinis. Kelompok
hewan ini akan tetap berada di kategori ini, atau bisa juga menunjukkan tanda klinis dikemudian hari
tergantung dari pengaruh faktor lain (misalnya stres dan lingkungan). Ujung gunung es meliputi hewan
terinfeksi dengan berbagai manifestasi klinis. Kemampuan hewan dalam berbagai kelompok ini untuk
menularkan infeksi menjadi faktor yang sangat penting dalam epidemiologi penyakit infeksius.
Pola waktu umumnya ditampilkan secara grafikal menggunakan kurva epidemik; suatu grafik balok (bar
charts) yang menunjukkan kasus baru pada axis vertikal dan komponen waktu di axis horizontal
(Gambar 3). Bentuk kurva dapat digunakan untuk merumuskan suatu hipotesis yang berhubungan
dengan kemungkinan penyebab dan/atau karakteristik penyakit dimaksud. Kejadian penyakit yang
bersifat cluster dapat dideskripsikan sebagai variasi jangka pendek (short-term variation) pada kasus
epidemi klasik, periodik atau variasi musiman seperti pada kasus leptospirosis pada sekelompok
masyarakat di USA (Gambar 4), serta variasi jangka panjang seperti kejadian rabies pada satwa liar
dan anjing di USA (Gambar 5). Gambar 6 menunjukkan contoh keempat jenis kurva standar suatu
kejadian penyakit. Pola propagating epidemic menunjukkan bahwa penyakit mungkin diintroduksi
melalui sumber tunggal, dan kemudian akan menyebar dari hewan peka satu ke - hewan lainnya dalam
satu populasi. Pola sporadik menunjukkan bahwa hanya sejumlah kecil kasus terjadi dalam waktu yang
singkat. Pola ini mengindikasikan bahwa penyakit dimaksud tidak bersifat infeksius dalam kondisi
tersebut. Pola point epidemic menunjukkan adanya kasus yang sangat tinggi dalam waktu yang relatif
singkat, namun penyakit hilang setelah waktu tersebut. Pola endemik menunjukan terjadinya kasus
secara menerus sepanjang tahun (at all times).
Pola ruang (spatial) adalah konsekuensi dari perbedaan lingkungan antara lokasi satu dan lainnya.
Pola ruang bisa berbeda antara wilayah berukuran luas relatif sempit (lokal), atau bahkan antar negara.
Kemajuan teknologi (komputer) memungkinkan seseorang memetakan pola ruang suatu penyakit
dengan geographic information system (GIS), dengan luaran, misalnya, berupa gambar tiga dimensi.
Gambar 7 menunjukan pola lokasi yang digunakan oleh possum liar (Trichosurus vulpecula Kerr) yang
terinfeksi Mycobacterium bovis. Gambar tersebut mengindikasikan bahwa lokasi yang yang
dipergunakan oleh possum terinfeksi relatif clustered.
Gambar 7. Pemetaan kejadian Tuberkulosis pada possum liar yang diperoleh dari studi longitudinal.
Konsep causation menghubungkan faktor resiko dengan kejadian suatu penyakit. Pengetahuan tentang
faktor-faktor ini akan memungkinkan seeorang untuk mengontrol atau mengeradikasi suatu penyakit
atau meningkatkan produktivitas. Investigasi tentang hubungan sebab-akibat menjadi sangat berguna
pada satu populasi ketika tidak setiap individu terserang suatu penyakit. Tujuannya adalah mengukur
faktor-faktor yang menggambarkan variasi dalam sistem peternakan/pemeliharaan, yang kemudian
dihubungkan dengan parameter ekonomis, sosial, fisik dan biologis. Faktor-faktor ini juga disebut
dengan istilah determinan kesehatan dan penyakit. Determinan penyakit meliputi faktor atau variabel
yang dapat mempengaruhi frekuensi suatu kejadian penyakit dalam satu populasi. Faktor ini bisa
bersifat intrinsik seperti karakteristik fisik atau fisiologis dari inang atau agen penyakit, atau ekstrinsik
seperti pengaruh lingkungan atau intervensi oleh manusia. Faktor intrinsik meliputi agen penyakit
berupa mahluk hidup (virus, bakteria dll) atau non-hidup (panas dan dingin, air dll). Determinan intrinsik
dari suatu organisme hidup meliputi infeksi; yang berarti invasi dari suatu organism hidup ke suatu
organism hidup lainnya. Infektivitas adalah kemampuan suatu agen untuk mengajegkan dirinya pada
satu inang (infectivity dose 50 atau ID50 adalah jumlah agen yang dibutuhkan untuk menginfeksi 50%
hewan peka terpapar dalam kondisi terkontrol). Patogenisitas (atau virulensi) adalah kemampuan agen
untuk memproduksi penyakit pada berbagai inang dalam bermacam situasi kondisi lingkungan.
Virulensi adalah pengukuran keparahan penyakit akibat suatu agen (virus), dan biasanya dikuantifikasi
menggunakan LD50 (lethal dose 50 = jumlah agen dibutuhkan untuk membunuh 50% hewan peka
terpapar dalam kondisi terkontrol).
Komponen utama dalam epidemiologi proses penyakit infeksius adalah hubungan antara inang dan
agen. Hubungan ini acapkali sangat dinamis, namun selalu akan ada keseimbangan antara mekanisme
pertahanan inang, infektivitas, serta virulensi agen penginfeksi. Secara teoritis, suatu agen penginfeksi
akan meningkatkan sirvivabilitasnya dengan meningkatkan infektivitas dan menurunkan patogenisitas,
serta mempersingkat jeda generasi (through shorter generation intervals).
Suatu inang akan disebut carrier jika inang tersebut terinfeksi suatu agen, kemudian dapat
menyebarkannya pada hewan lain, namun tidak menunjukkan tanda klinis yang berarti. Incubatory
carriers, adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan adanya hewan atau inang terinfeksi
pada stadium pre-klinis, dan menyebarkan penyakit dimaksud pada inang lain. Convalescent carriers
adalah hewan terinfeksi dan ada pada stadium pasca-klinis, yang menyebarkan penyakit pada inang
lainnya.
Variasi antigenik adalah situasi biologis dimana suatu agen bisa menembus pertahanan tubuh inang
dengan cara mengubah karakteristik antigeniknya. Contohnya adalah trypanosomiasis, dimana dalam
satu infeksi, terjadi parasitemia berulang (multiple) oleh antigen trypanosoma yang berbeda.
Periode inkubasi adalah waktu antara infeksi dan penampakan pertama tanda klinis. Periode prepatent
merujuk pada waktu antara infeksi dan saat agen pertama kali dideteksi. Period of communicability
adalah waktu dimana inang terinfeksi dapat menularkan agen. Agen penyakit dapat ditularkan melalui
berbagai mekanisme. Keberhasilan dalam mengidentifikasi mekanisme ini akan membantu dalam
pencegahan penularan penyakit dimaksud. Contact transmission dapat terjadi melalui kontak langsung
(biasanya penyakit-penyakit veneral) atau tidak langsung (via ekskresi, sekresi, ekshalasi). Hal tersebut
tergantung dari survival agen penyebab di alam (lingkungan) dan intensitas kontak antara inang
terinfeksi dan yang terancam (peka) dalam satu populasi. Vehicular transmission merujuk pada transfer
suatu agen melalui substansi non-hidup (misalnya muntah). Kejadian ini membutuhkan masa survival
agen yang relatif panjang, namun bisa menularkan penyakit dalam jarak jauh dan dalam periode yang
relatif lama. Dalam konteks ini, acapkali beberapa jenis agen penyebab akan berbiak selama masa
transmisi (misalnya Salmonella). Kehadiran vektor atau inang antara (intermediate host) sangat
dibutuhkan oleh suatu agen infeksius agar dapat bertahan dalam suatu ekosistem. Dalam situasi
tersebut, inang definitif (biasanya vertebrata) akan menjadi tempat perkembangan fase seksual agen
penginfeksi. Inang antara (intermediate host) bisa berupa vertebrata maupun invertebrata. Disini agen
akan mengalami perkembangan a-seksual. Vector adalah invertebrata yang menyebarkan agen
infeksius antara vertebrata terinfeksi dan yang peka melalui transmisi mekanis atau biologis.
Penyebaran secara biologis bisa secara trans-ovarial yang memungkinkan terpeliharanya infeksi
didalam populasi vektor, atau transtadial yang meliputi transmisi antara berbagai stadium
perkembangan vektor.
Intrinsic host determinants meliputi faktor-faktor seperti spesies, breed, umur dan jenis kelamin.
Cakupan atau kisaran jenis inang peka akan bervariasi untuk setiap agen infeksius. Beberapa agen
penyakit, misalnya Mycobacterium bovis dapat menginfeksi berbagai spesies hewan. Suatu species
akan disebut sebagai reservoir alami suatu infeksi jika infeksi tersebut bisa “dipelihara” didalam suatu
populasi spesies dimaksud tanpa membutuhkan re-introduksi periodik. Jenis skenario epidemiologi
seperti ini akan sangat menyulitkan upaya kontrol maupun eradikasi suatu kejadian penyakit yang
terjadi pada hewan domestik, jika reservoir-nya adalah satwa liar. Kepekaan inang (host susceptibility)
acapkali bervariasi antar breed, misalnya seperti yang terjadi antara Bos indicus and Bos taurus dalam
konteks ketahanannya terhadap infeksi oleh trypanosomiasis atau pinjal (tick). Kepekaan juga
dipengaruhi oleh variasi umur. Hewan muda, misalnya, akan kurang peka terhadap penyakit tickborne
dibandingkan dengan yang sudah dewasa. Namun demikian, mesti diperhatikan adanya faktor perancu
seperti immunitas pada hewan yang lebih tua akibat pernah terpapar saat masih muda. Resistensi pasif
pada hewan baru lahir akan menyebabkan rendahnya insidensi infeksi pada hewan muda. Kepekaan
bisa bervariasi antar jenis kelamin akibat berbedanya struktur anatomi maupun fisiologis. Contohnya
adalah kejadian mastitis dan metritis. Determinan ekstrinsik suatu penyakit akan mempengaruhi
interaksi antara inang dan agen. Contohnya adalah musim, jenis tanah dan manusia.
Penyebab Penyakit
Penyebab suatu penyakit adalah suatu kejadian, kondisi, atau karakteristik yang berperan esensial
dalam munculnya penyakit. Pengetahuan tentang hubungan sebab-akibat ini sangat mendasar pada
manuver terapi diranah medik klinik. Situasinya akan sulit jika penyebabnya kompleks. Postulat Henle –
Koch yang dikembangkan pada tahun 1840 (Henle) dan 1884 (Koch) adalah kumpulan kriteria yang
diterima sebagai kerangka-kerja dalam menentukan penyebab penyakit. Menurut postulat tersebut,
suatu agen bisa dikatakan sebagai penyebab penyakit jika memenuhi hal-hal berikut ini.
1. Agen harus ada pada setiap kasus penyakit.
2. Agen harus bisa diisolasi dan ditumbuhkan dalam biakan murni.
3. Agen harus menyebabkan penyakit jika diinokulasikan pada hewan peka dan dapat diisolasi serta
diidentifikasi kembali dari hewan dimaksud.
Asumsi dasar dari penerapan postulat Henle-Koch adalah “suatu penyakit harus terjadi dari satu
penyebab, dan satu penyebab harus mengakibatkan satu penyakit”. Asumsi tersebut hampir mustahil
bisa ditemukan dalam kondisi riil, mengingat adanya banyaknya kejadian penyakit beretiologi
kompleks, adanya kejadian penyakit berpenyebab tunggal dengan manifestasi penyakit bervariasi,
adanya status carrier, adanya faktor-faktor non-agen (misalnya umur dan breed) serta faktor-faktor
kausal kuantitatif. Dalam rangka mengatasi semua masalah tersebut, maka berdasarkan hukum
argumentasi induktif John Stuart Mill yang dicetuskan tahun 1856, Evan mengembangkan suatu
konsep penyebab universal, yang hingga kini masih menjadi pijakan bagi disiplin epidemiologi dalam
mengidentifikasi hubungan sebab-akibat. Konsep tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Proporsi individu yang sakit harus lebih tinggi pada yang terpapar oleh penyebab dibandingkan
dengan yang tidak terpapar.
2. Paparan terhadap penyebab harus lebih banyak terjadi pada kasus penyakit dibandingkan dengan
yang tanpa penyakit.
3. Jumlah kasus baru harus lebih banyak pada yang terpapar penyebab dibandingkan dengan yang
tak terpapar, seperti ditunjukkan dalam studi prospektif.
4. Secara temporer, kejadian penyakit harus mengikuti paparan terhadap penyebab.
5. Spektrum biologis respon inang terhadap penyakit dimaksud harus bisa diukur.
6. Respon inang harus bisa diulang ketika terpapar kembali oleh penyebab.
7. Penyakit harus bisa direproduksi secara eksperimental.
8. Pencegahan atau modifikasi dari respon inang harus menurunkan menurunkan atau
menghilangkan ekspresi penyakit.
9. Eliminasi penyebab harus mengakibatkan penurunan insidensi penyakit.
10. Hubungan harus masuk akal (plausible) secara biologis maupun epidemiologis
Jejaring penyebab acapkali diterapkan untuk menggambarkan masalah penyakit ketika ada/tidaknya
penyakit tidak semata-mata akibat ada/tidaknya agen penyebab. Seringkali kejadian penyakit
ditentukan oleh jejaring faktor agen - inang – lingkungan yang saling berinteraksi. Gambar 8
mengilustrasikan jejaring penyebab tuberkulosis pada orang.
Gambar 8. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kejadian tuberculosis pada orang
Istilah triad epidemiologi (Gambar 9) mengacu pada tiga komponen sistem berpikir secara
epidemiologis, yang terdiri dari agen, inang dan lingkungan. Gambar 10 adalah contoh yang
menunjukkan berbagai parameter yang mempengaruhi kemungkinan kejadian penyakit dalam konteks
triad epidemiologi.
Gambar 11 menggambarkan daftar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian rhinitis pada
babi. Gambar tersebut adalah ilustrasi yang menunjukkan betapa kompleksnya sistem yang terlibat
pada kejadian rhinitis. Kebanyakan faktor akan berinteraksi satu sama lain dan menghasilkan efek
berbeda pada berbagai tingkat paparan. Postulat Henle/Koch tidak menyediakan mekanisme yang
tepat untuk menginvestigasi jenis masalah seperti ini.
Gambar 11. Jejaring penyebab pada kejadian rhinitis pada babi
Dalam konteks penyebab, ada istilah keharusan (necessary) dan kecukupan (sufficient). Necessary
adalah keadaan dimana suatu penyebab wajib ada agar dapat menimbulkan penyakit (misalnya, virus
distemper virus pada penyakit canine distemper). Sufficient adalah rangkaian kondisi dan kejadian
yang minimal harus ada agar suatu penyakit terjadi. Selain itu, faktor-faktor dimaksud bisa sebagai
penyebab langsung maupun tidak langsung. Kekuatan penyebab dan interaksi antar penyebab akan
mempengaruhi kemungkinan terjadinya suatu penyakit. Gambar 12 menunjukkan contoh faktor
sufficient, dimana masing-masing faktor seperti stres akibat cuaca, adanya virus serta Pasteurella
secara bersama-sama memproduksi kondisi minimal untuk menimbulkan penyakit pernafasan pada
sapi. Kehadiran Pasteurella adalah necessary untuk terjadinya pasteurellosis, tapi tidak necessary
untuk terjadinya pneumonia.
Dari perspektif matematika, frekuensi kejadian penyakit bisa diekspressikan dengan cara melakukan
pengukuran statis atau dinamis. Pengukuran statis meliputi proporsi dan rasio. Proporsi adalah suatu
fraksi dimana numerator (pembilang) dimasukan dalam denominator (penyebut). Misalnya, ada suatu
populasi sapi berjumlah 100 ekor. Sejumlah 58 diantaranya diketahui terinfeksi suatu penyakit. Dengan
demikian, proporsi sapi yang terinfeksi dalam populasi ini adalah 58 /100 = 0.58 = 58%.
Rasio adalah suatu fraksi dimana numerator tidak termasuk dalam denominator, dan data ini bisa
dengan atau tanpa dimensii. ini adalah ukuran relatif dari dua kuantitas yang diekspresikan dengan
membagi satu (numerator) dengan lainnya (denominator). Misalnya ada satu populasi sapi yang
berjumlah 100 ekor, dan 58 ekor diketahui menderita suatu penyakit. Dengan begitu, rasio sapi yang
menderita penyakit dalam populasi ini adalah 58:42 atau 1,4 : 1.
Pengukuran dinamis meliputi laju (rates), yang mewakili terjadinya perubahan instan dalam satu
kuantitas per-unit perubahan dalam kuantitas yang lain (biasanya waktu). Suatu laju diperoleh dari tiga
jenis informasi: (1) numerator (total individu sakit atau mati), (2) denominator (jumlah hewan atau
animal time dalam kelompok studi dan/atau periode), serta (3) periode waktu tertentu. Melanjutkan
contoh yang diberikan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa laju kejadian penyakit pada
kelompok sapi dimaksud selama periode 12 bulan adalah 58 kasus per 100 sapi.
Istilah morbiditas menunjukan sejauh mana suatu penyakit atau frekuensi penyakit ada dalam suatu
populasi. Dua cara mengukur morbiditas adalah prevalensi dan insidensi. Epidemiolog harus dapat
menggunakan kedua terminologi ini dengan benar.
Prevalensi
Secara harfiah prevalensi merujuk pada jumlah kasus suatu penyakit atau suatu attribute yang ada
dalam suatu populasi dalam waktu tertentu. Resiko prevalensi atau prevalence risk adalah proporsi
suatu populasi yang memiliki penyakit tertentu atau attribute dalam satu titik waktu tertentu. Banyak
epidemiolog menggunakan istilah “prevalensi” ketika yang dimaksudkan adalah resiko prevalensi.
Tulisan ini akan mengikuti konvensi tersebut.
Prevalensi menunjukkan kemungkinan suatu individu dari satu populasi terserang penyakit pada kurun
waktu tertentu. Prevalensi titik (point prevalence) adalah jumlah kasus penyakit dalam satu populasi
pada satu titik waktu tertentu saja. Prevalensi periode (period prevalence) menunjukkan terjadinya
penyakit pada periode waktu tertentu, prevalensi periode ini sama dengan prevalensi titik di awal
periode studi plus jumlah kasus baru yang terjadi pada sisa waktu periode studi. Numeratornya meliputi
kasus baru dan lama. Tidak ada sekuens waktu dimasukkan dalam kalkulasi ini. Artinya, tidak mungkin
untuk diketahui kapan suatu hewan terserang penyakit. Prevalensi periode sangat jarang digunakan.
Contoh perhitungan prevalensi adalah sebagai berikut. Sampel darah diambil dari 173 sapi perah untuk
mendeteksi frekuensi infeksi Neospora caninum. Jika 15 dari sapi – sapi ini menunjukan hasil positif,
maka prevalensinya adalah 15/173 = 0.09 (9%). Artinya, tiap-tiap sapi perah dalam kelompok ini
memiliki peluang 9% untuk menjadi terinfeksi pada titik waktu ini.
Insidensi
Insidensi mengukur seberapa sering suatu individu hewan menjadi sakit ketika diobservasi dalam kurun
waktu tertentu Kasus insidensi terjadi ketika status seekor hewan berubah dari terancam menjadi
terserang penyakit. Hitungan kasus insidensi adalah jumlah kasus yang terjadi pada suatu populasi
selama periode tertentu. Ada dua cara untuk mengekspresikan insidensi, yaitu incidence risk dan
incidence rate.
Periode waktu yang dimaksud dalam konteks ini umumnya tetap (arbitrarily fixed), misalnya 5-tahun
resiko insidensi arthritis, atau bisa bervariasi antara individu satu dan lainya, misalnya seumur hidup
resiko insidensi arthritis. Dalam investigasi suatu epidemi lokal, definisi periode waktu adalah identik
dengan durasi epidemi bersangkutan.Hewan yang diobservasi mesti tak mati oleh penyakit lain selama
masa pengamatan. Kata kuncinya adalah hewan harus sehat diawal periode pengamatan agar bisa
dimasukan kedalam numerator dan denominator. Interpretasinya adalah: resiko suatu individu untuk
memperoleh penyakit dalam suatu periode terancam. Kuantitasnya tidak berdimensi, berkisar antara 0
– 1, dan selalu membutuhkan referensi periode. Contohnya adalah sebagai berikut. Tahun lalu
seseorang memiliki satu kelompok sapi berjumlah 121 ekor. Semua sapi menunjukan hasil negatif
ketika diuji tuberkulin. Tahun ini, uji tuberkulin dilakukan kembali, dan 25 ekor diantaranya dinyatakan
positip. Dengan demikian, incidence risk selama periode 12 bulan adalah 25/121 = 0,21 (atau 21 kasus
per 100 sapi dalam periode 12 bulan.. Interpretasinya adalah: setiap individu sapi dalam kelompok ini
memiliki peluang 21% untuk terjangkit Tuberkulosis selama periode 12 bulan. Ini adalah ekspresi resiko
rata-rata bagi satu individu, namun diestimasi dari populasi
Populasi terancam bisa bersifat “tertutup” atau “terbuka”. Tertutup artinya tidak ada penambahan dan
tidak ada (atau hanya sedikit) hewan yang “hilang” selama periode pengamatan. “Terbuka” artinya ada
penambahan individu baru (misalnya karena kelahiran atau dari membeli) dan pengurangan (misalnya
karena kematian atau dijual) selama periode studi. Resiko insidensi dapat diukur langsung ketika
populasi bersifat tertutup dan semua subyek bisa diikuti hingga akhir periode studi. Ketika populasi
bersifat terbuka, resiko insidensi tidak bisa diukur langsung, namun bisa diestimasi dengan melakukan
penyesuaian terhadap denominatornya. Caranya adalah sebagai berikut.
Denominator = jumlah populasi pada pertengahan periode studi.
Denominator = [Nawal + ½Nbaru] − [½Nhilang]
Denominator = [Nawal + ½Nbaru] − [½ (Nhilang + Nkasus)]. Asumsi pendekatan ini adalah hanya satu
kasus penyakit yang terjadi per-individu
Ada dua metode yang biasanya digunakan untuk menghitung laju insidensi. Pertama adalah dengan
menggunakan denominator yang sebenarnya (exact denominator) yang dikalkulasi sebagai total unit-
unit waktu selama hewan tersebut berstatus terancam. Kedua adalah dengan menggunakan
denominator perkiraan (approximate denominator) berdasarkan jumlah hewan bebas penyakit di awal
periode pengamatan dikurangi ½ jumlah yang sakit dan ½ jumlah yang dikeluarkan dari observasi.
Sebagai laju instan, nilai ini mengekspresikan potensi kejadian penyakit per unit waktu. Dibawah ini
diberikan cara menduga laju insidensi.
Denominator = jumlah populasi di awal studi × panjang periode studi.
Denominator = [Nawal + ½ Nbaru] − [½Nhilang] × panjang periode studi.
Denominator = [Nawal + ½ Nbaru] − [½ (Nhilang+Nkasus)] × panjang periode studi. Asumsi
pendekatan ini adalah hanya satu kasus penyakit terjadi per individu.
Ini adalah ilustrasi cara menghitung laju insiden. Suatu studi dilakukan selama periode 12 bulan untuk
mengidentifikasi mortalitas sapi-sapi di suatu desa. Jumlah sapi diawal studi adalah 100 ekor.
5 sapi mati setelah 2 bulan (artinya: 5 x 2 = 10 bulan-sapi terancam atau animal-months at risk)
2 sapi mati setelah 5 bulan (artinya: 2 x 5 = 10 bulan-sapi terancam)
3 sapi mati setelah 8 bulan (artinya: 3 x 8 = 24 bulan-sapi terancam)
→ Total 10 sapi mati dalam 44 (10 + 10 + 24) bulan-sapi terancam. Sisanya (90 sapi) bertahan dalam
seluruh periode studi (artinya: 90 x12 bulan = 1080 bulan-sapi terancam). Dengan demikian, densitas
insidensi atau laju insidensi mortalitas sapi-sapi di desa ini adalah 10 / 1124 = 0.009 kasus per bulan-
sapi terancam (atau cukup dengan mengatakan: 10 kasus kematian per 1124 bulan sapi terancam).
Jika menggunakan pendekatan denominator perkiraan, maka hasilnya adalah [10/(100 -½ * 10 - ½ * 0)]
= 10/95 = 0.11 kasus kematian per 12 bulan – sapi terancam..
Skema berikut ini menunjukan contoh pengukuran dari ketiga hal dimaksud. Jumlah ternak (populasi)
adalah 10 ekor, yang semuanya sehat diawal masa observasi. Semua ternak kemudian diamati dalam
periode 1 tahun. Status penyakit diperiksa dalam interval 1 bulan. Ternak A sakit pada bulan Mei,
dengan demikian berstatus terancam dari Januari - April. Ternak C dikeluarkan dari populasi pada
bulan Agustus, dengan demikian berstatus terancam dari Januari - Juli. Kalkulasi prevalensi titik (point
prevalence) di bulan Desember menghasilkan estimasi 50% dan pada bulan Juni 33%. Jika proses
penyakit dipengaruhi oleh efek musim dan durasinya pendek, maka estimasi point prevalence akan
bervariasi, tergantung dari kapan populasi terancam diperiksa. Pengeluaran ternak akan menimbulkan
masalah ketika menghitung dugaan insiden. Pada kasus resiko insiden, ternak yang dikeluarkan tak
ikut dihitung, dan dalam kasus laju insiden, kalkulasi perkiraan serta kalkulasi pasti akan memberikan
hasil yang hampir sama. Interpretasi gambaran insiden harus mempertimbangkan periode terancam,
yang dalam kasus ini adalah 1 tahun (12 bulan).
Periode
terancam
Hewan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Sakit Populasi Sensor
dalam
bulan
1 Sakit 4 Ya 1 Tidak
2 12 Tidak 1 Tidak
3 Sensor 7 Tidak 1 Ya
4 Sakit 1 Ya 1 Tidak
5 12 Tidak 1 Tidak
6 Sakit 5 Ya 1 Tidak
7 Sakit 10 Ya 1 Tidak
8 12 Tidak 1 Tidak
9 12 Tidak 1 Tidak
10 Sensor 5 Tidak 1 Ya
Total 80 4 10 2
5. Mortalitas proporsional
Seperti sebutannya, proportional mortality adalah proporsi semua kematian oleh penyebab
tertentu, pada populasi dan periode tertentu. Mortalitas proporsional adalah total kematian dari
penyakit dibagi dengan total kematian dari semua kasus
Jika kita mengamati dua koloni tikus, dalam sehari ditemukan laju kematian 10 per-1000 pada koloni
pertama dan 20 per-1000 pada koloni kedua. Sepintas, kita akan berpikir bahwa penyebab perbedaan
ini adalah masalah pengelolaan/manajemen (koloni I lebih baik dibanding koloni II). Namun sebenarnya
bisa saja populasi koloni I terdiri dari lebih banyak tikus-tikus muda, sedangkan koloni II mayoritas tikus
tua. Penyesuaian umur akan menghilangkan perbedaan variabel komposisi umur dalam populasi yang
berbeda. Dengan demikian, perbedaan antar populasi bisa dilakukan bebas dari pengaruh struktur
umur.
Ada dua cara melakukan penyesuaian: langsung dan tak langsung. Namun demikian, sebelum
melakukan penyesuaian, perhatikan hal yang disebut dengan stratum-specific rates.
Kalkulasi stratum-specific rates sebelum melakukan penyesuaian suatu laju (rates). Jika pola tak
konsisten, lebih baik pergunakan stratum-specific rates dibanding penyesuaian laju.
Stratum-specific rates digunakan untuk membedakan sub-group tertentu antar atau dalam populasi
ketika suatu laju diketahui tergantung dari stratum.
Stratum-specific rates digunakan jika penyebab atau faktor protektif terhadap suatu kejadian
penyakit berbeda pada tiap-tiap tingkatan strata.
Laju hanya dibandingkan jika numerator dan denominator (kejadian dan populasi) terdefinisi secara
konsisten dalam waktu dan tempat tertentu. Perhatikan hal-hal:
Konsistensi dalam definisi kejadian.
Konsistensi intensitas surveillance dalam konteks waktu.
Konsistensi surveillance antar area.
Jika membandingkan laju stratum yang telah disesuaikan (stratum-adjusted rates), bandingkan laju
yang telah disesuaikan terhadap standar populasi yang sama.
Ketika membandingkan laju umur spesifik (age-specific rates), jika kategori umur relatif besar,
penting mempertimbangkan kemungkinan perancu residual (residual confounding) oleh umur.
Nilai laju berdasarkan jumlah kejadian yang kecil (sedikit) akan berfluktuasi dari tahun ke tahun oleh
hal-hal diluar penyebab kejadian penyakit itu sendiri. Kalkulasi suatu laju tak direkomenasikan jika
jumlah kejadian (numerator) KURANG DARI LIMA. Dalam konteks ini, biasanya, hasil kalkulasi akan
labil dan akan memberikan selang kepercayaan yang sangat lebar. Hasil perhitungan absolut,
walaupun kecil (small counts) harus dimasukan (jika memungkinkan), bahkan ketika laju tak dilaporkan.
Dengan demikian, perhitungan dapat dikombinasikan kedalam total yang lebih besar (misalnya rata-
rata tiga atau lima tahun) yang akan lebih stabil.
Penyesuaian langsung atau tak langsung suatu laju direkomendasikan ketika membandingkan laju
suatu kejadian penyakit berdasarkan umur (age-related health events) antara populasi berbeda
atau membandingkan kecenderungan (trends) yang terjadi dalam suatu populasi dalam waktu
tertentu.
Laju dengan penyesuaian umur adalah esensial untuk kejadian-kejadian yang bervariasi dalam hal
umur (misalnya kematian oleh kanker), ketika membandingkan populasi-populasi dengan distribusi
umur berbeda.
Laju yang telah disesuaikan secara langsung dan tak langsung harus dipergunakan hanya untuk
tujuan membandingkan. Karena laju yang telah disesuaikan didasarkan pada standar populasi
eksternal, maka hal ini tak merefleksikan frekuensi absolut suatu kejadian penyakit dalam suatu
populasi.
Penyesuaian langsung
Dengan penyesuaian langsung, stratum-specific rates yang diobservasi diketahui dan estimasi
distribusi populasi digunakan sebagai basis penyesuaian. Struktur populasi standar dipergunakan: jika
kita melakukan stratifikasi berdasarkan kelamin, kita mesti katakan bahwa dalam suatu populasi
standar 50% populasi akan dialokasikan dalam strata jantan dan 50% lainnya betina. Namun demikian,
pilihan populasi standar untuk penyesuaian langsung tidak krusial. Jika memungkinkan, dibutuhkan
untuk menyeleksi suatu standar yang secara demografi masuk akal. Hitungan penyesuaian langsung
untuk strata ke-i adalah:
Data kasar ini menunjukkan bahwa prevalensi leptospirosis di kota B lebih tinggi dibanding kota A.
Bagaimana jika ternyata struktur kelamin populasi anjing di kedua kota tak sama?. Anjing jantan
diketahui memiliki laju insidensi leptospirosis lebih tinggi dibanding betina (karena perilaku seksualnya).
Bagaimana jika ternyata di Kota B lebih banyak anjing jantan dibanding betina? Tabel dibawah ini
adalah elaborasi untuk menghilangkan pengaruh strata tersebut.
Penyesuaian langsung meliputi penyesuaian nilai kasar untuk menghasilkan estimasi yang diharapkan
jika potensi karakteristik perancu terdistribusi sama di kedua populasi. Penyesuaian langsung meliputi
penyebutan frekuensi masing-masing perancu potensial (misalnya kelamin) untuk menghasilkan satu
‘population standar”. Dalam contoh ini, kita menggunakan populasi standar yang terdiri dari 250 jantan
dan 250 betina. Nilai-nilai dari tiap-tiap kelompok studi kemudian dikalikan dengan frekuensi dari
masing-masing level perancu.
Kita ketahui bahwa prevalensi suatu penyakit di seluruh wilayah suatu negara adalah 0.01%. Jika kita
dihadapkan pada suatu wilayah dengan 20,000 ternak, maka total kasus penyakit yang diharapkan dari
wilayah ini adalah 0.01% × 20,000 = 2. Jika kasus penyakit yang diobservasi (yang sebenarnya) di
wilayah ini ternyata adalah 5, maka SMR-nya adalah 5 ÷ 2 = 2.5. Artinya, kasus penyakit di wilayah ini
2.5 kali lebih tinggi dibanding dengan yang diharapkan.
Gambar diatas adalah contoh penggunaan standarisasi tak langsung untuk menggambarkan
perubahan dalam distribusi spatial resiko runut waktu suatu penyakit. Peta Choropleth dari level area
SMR bovine spongiform encephalopathy pada sapi di Inggris tahun 1986 – 1997. Peta (a) adalah sapi
yang lahir sebelum 18 Juli 1988, dilarang makan daging dan tulang ruminansia, serta (b) sapi yang lahir
antara 18 Juli 1988 - 30 Juni 1997. Peta diatas menunjukkan pergeseran runut waktu level area resiko
(area-level risk over time) (walaupun insidensi BSE menurun drastis dari 1988 - 1997) (Stevenson et al.
2005).
Teknik yang paling sesuai untuk jenis data seperti ini adalah kalkulasi berbasis survivor dan hazard
function. Fungsi survivor (=kemungkinan survival kumulatif) adalah representasi fungsional dari
proporsi individu yang tidak mati atau sakit dalam periode terancam. Ini diinterpretasikan sebagai
kemungkinan suatu kelompok hewan untuk tetap hidup dalam periode waktu yang ditentukan. The
survival function acapkali diringkas menggunakan the median survival time; yang merupakan waktu
dimana 50% dari populasi terancam dinyatakan gagal/fail untuk bertahan hidup/tidak sakit. The hazard
function (instantaneous failure rate, force of mortality, conditional mortality rate, age specific failure rate)
dikalkulasi dengan membagi kemungkinan kondisional suatu individu mengalami kematian (atau sakit)
selama interval waktu tertentu dengan interval waktu tertentu. Parameter ini merepresentasikan suatu
laju, dan mengekspresikan potensi gagal pada waktu t per unit waktu ketika survival naik hingga waktu
t. Dalam konteks survival data, censoring adalah konsep yang penting. Dalam hal ini, karena berbagai
alasan, suatu individu hewan “dibuang” dari pengamatan, sehingga di-eksklusi dari denominator pada
perhitungan selanjutnya. Berikut adalah contoh penghitungannya.
Ada 10 hewan kemampuan bertahan hidupnya diamati selama 12 bulan. Hewan A mampu bertahan
(survive) selama 4 bulan. Hewan B bertahan selama periode pengamatan (12 bulan). Hewan C
dipindahkan dari kelompok yang diobservasi setelah 7 bulan, dan seterusnya seperti ditampilkan pada
Tabel berikut. Total survivor adalah jumlah aktual hewan yang masih hidup pada kurun waktu yang
ditentukan. Nilai cohort dipergunakan sebagai denominator untuk kalkulasi cumulative survival. Nilainya
disesuaikan berdasarkan ada/tidak hewan yang dipindahkan (disensor) dari populasi. The failures
adalah total hewan yang mati selama interval waktu tertentu. The hazard rate adalah kemungkinan
terjadinya kematian per unit waktu (1 bulan pada contoh kasus ini).
Baham bacaan:
1. An Introduction to Veterinary Epidemiology. Mark Stevenson (2005). EpiCentre, IVABS Massey
University, Palmerston North, New Zealand, 90 pp.
2. Veterinary Epidemiology - An Introduction. Dirk U Pfeiffer (2002). Epidemiology Division
Department of Veterinary Clinical Sciences, The Royal Veterinary College, University of London, 62
pp
3. Veterinary Epidemiology. Thrusfield M (1995). Blackwell Science LTD, 2 nd Ed.