Anda di halaman 1dari 103

1

= PENDAHULUAN =

A. PENGERTIAN
Istilah epidemiologi didahului dengan awalan “Epi” berarti “permukaan, diatas,
menimpa”, misalnya dalam istilah medis epidermis, yang berarti diatas “permukaan tubuh
(kulit)”. Kata dasarnya “Demo” berarti “orang, populasi, manusia, misalnya dalam istilah
demografi, yaitu studi tentang data statistic kependudukan. Akhirannya “-ologi” berarti “ilmu
tentang”. Dalam istilah medis yang sebenarnya, seseorang membacanya dengan cara akhiran
terlebih dahulu kemudian awalan, setelah itu baru kata dasarnya. Dengan demikian, istilah
epidemiologi jika diartikan kata per kata memiliki arti “sesuatu yang menimpa manusia”.

B. DASAR EPIDEMIOLOGI
Ada beberapa professional kesehatan masyarakat yang memandang epidemiologi
sebagai ilmu pengetahuan. Professional lainnya memandang epidemiologi lebih sebagai suatu
metode bukan sebagai ilmu murni karena ketidakjelasan defenisi mengenai bidang ilmunya.
Dalam buku ini epidemiologi diasumsikan sebagai suatu metode ilmiah. Epidemiologi adalah
metode investigasi yang digunakan untuk mendeteksi penyebab atau sumber dari penyakit,
sindrom, kondisi atau risiko yang menyebabkan penyakit, cedera, cacat atau kematian dalam
populasi atau dalam suatu kelompok manusia. Seorang ahli epidemiologi seringkali dianggap
sebagai seorang “detektif penyakit dan epidemi”.
Epidemiologi telah didefenisikan dengan berbagai cara. Salah satu defenisinya adalah
ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan, dan kematian dalam populasi
manusia. Epidemiologi juga meliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan, penyakit,
atau masalah kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, geografi,
agama, pendidikan, pekerjaan, perilaku, waktu, tempat, orang dan sebagainya. Karakterisasi ini
dilakukan guna menjelaskan distribusi suatu penyakit atau masalah yang terkait dengan
2

kesehatan jika dihubungkan dengan faktor penyebab. Epidemiologi berguna untuk mengkaji
dan menjelaskan dampak dari tindakan pengendalian kesehatan masyarakat, program
pencegahan, intervensi klinis, dan pelayanan kesehatan terhadap penyakit atau mengkaji dan
menjelaskan faktor lain yang berdampak pada status kesehatan penduduk. Epidemiologi
penyakit juga dapat menyertakan deskripsi keberadaannya di daam populasi dan faktor-faktor
yang mengendalikan ada atau tidaknya penyakit tersebut.
Selain berfokus pada tipe dan keluasan cedera, kondisi, atau penyakit yang menimpa
suatu kelompok atau populasi, epidemiologi juga menangani faktor risiko yang dapat
memberikan dampak, pengaruh, pemicu, dan efek pada distribusi penyakit, cacat.defek,
ketidakmampuan, dan kematian. Sebagai metode ilmiah, epidemiologi digunakan untuk
mengkaji pola kejadian yang mempengaruhi faktor-faktor diatas. Tugas seorang ahli
epidemologi adalah menentukan ada tidaknya kenaikan atau penurunan faktor-faktor tersebut
selama berbagai periode waktu – hari, minggu, bulan, tahun. Tugas yang harus dilakukannya
juga mencakup penentuan apakah suatu daerah atau lokasi tertentu mengalami peningkatan atau
penurunan yang lebih dibandingkan daerah atau lokasi lainnya. Fokusnya yang ketiga adalah
pada karakteristik manusia yang terlibat dan apakah karakteristik itu berbeda atau sama dalam
beberapa hal. Dengan kata lain, seorang ahli epidemiologi sangat berkepentingan dengan aspek
waktu, tempat, dan orang dari suatu kejadian penyakit, cacat/defek, ketidakmampuan, dan
kematian. Distribusi kondisi patologi dari populasi manusia atau faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi tersebut, semuanya menjadi subyek yang dibahas dalam epidemiologi.

C. DEFINISI AHLI EPIDEMIOLOGI


Ahli epidemiologi adalah seorang ilmuwan bidang kesehatan masyarakat yang
bertanggungjawab melakukan semua kegiatan yang berguna dan efektif yang diperlukan untuk
keberhasilan pelaksanaan kegiatan epidemiologi. Dia menggunakan penalaran deduktif dan
induktif untuk mendeskripsikan distribusi penyakit dan menempatkan observasi tentang
kejadian penyakit ke dalam pengetahuan medis dan ilmiah. Ahli epidemologi melakukan
serangkaian penalaran dan menarik keseimpulan dari beberapa hasil observasi tentang kejadian
penyakit, defek, ketidakmampuan, cedera atau kematian, dalam kelompok atau populasi. Di
dalam melakukan aktifitasnya, selain menggunakan pengetahuan medis, biologi, dan perilaku
3

(antropologi, psikologi, sosiologi, pendidikan), ahli epidemiologi juga menggunakan ilmu


statistik, demograsi, layanan kesehatan dan perawatan medis, serta ilmu komputer.
Latar belakang pendidikan seorang ahli epidemiologi bisa beragam, mulai dari dokter
yang menjalani pelatihan di bidang kesehatan masyarakat dan epidemiologi, program S3 di
dalam ilmu-ilmu kesehatan dan kesehatan masyarakat, program master, dan beberapa program
sarjana kesehatan masyarakat dan sarjana ilmu kesehatan. Ada beberapa professional yang
mengejar gelar sarjana dan master dengan kekhususan epidemiologi yang kemudian menjadi
pakar lapangan yang sangat ahli dan terlatih. Beberapa dokter pengobatan pencegahan khusus
pun mengambil spesialisasi jurusan epidemiologi. Ahli epidemiologi dapat bekerja di semua
tingkatan pemerintahan baik di pemerintahan propinsi, pemerintahan kabupaten/ kota maupun
pemerintahan lokal lainnya, di dalam badan-badan kesehatan yang sesuai. Mereka juga
mempunyai karier di organisasi perawatan kesehatan, organisasi kesehatan swadaya dan
nirlaba, rumah sakit, militer, dan industri swasta. Ahli epidemiologi juga dipekerjakan oleh
universitas dan fakultas kedokteran untuk mengajar mata kuliah atau untuk melakukan
penelitian epidemiologi.

D. TUJUAN EPIDEMIOLOGI
Menurut Lilienfeld dan Lilienfeld, ada tiga tujuan umum studi epidemiologi. Berikut
tiga tujuan epidemiologi yang sudah diperbaharui:
1. Untuk menjelaskan etiologi (studi tentang penyebab penyakit) satu penyakit atau
sekelompok penyakit, kondisi, gangguan, defek, ketidakmampuan, sindrom, atau
kematian melalui analisis terhadap data medis dan epidemiologi dengan menggunakan
manajemen informasi sekaligus informasi yang berasal dari setiap bidang atau disiplin
ilmu yang tepat, termasuk ilmu sosial/perilaku;
2. Untuk menentukan apakah data epidemiologi yang ada memang konsisten dengan
hipotesis yang diajukan dan dengan ilmu pengetahuan, dan ilmu biomedis yang terbaru;
3. Untuk memberikan dasar bagi pengembangan langkah-langkah pengendalian dan
prosedur pencegahan bagi kelompok dan populasi yang beresiko, dan untuk
pengembangan langkah-langkah dan kegiatan kesehatan masyarakat yang diperlukan;
4

yang kesemuanya itu akan digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan langkah-


langkah, kegiatan, dan program intervensi.

E. MANFAAT EPIDEMIOLOGI
Bidang kesehatan masyarakat telah membuktikan bahwa epidemiologi memang sangat
membantu dari segi pelaksanaan misi, tujuan, dan kegiatannya di dalam melindungi kesehatan
populasi maupun kelompok masyarakat.
Perlu diperhatikan bahwa diagnosis atau verifikasi suatu kondisi harus dilengkapi
sebelum memulai penelitian epidemiologi. Situasi ini mirip dengan situasi yang dihadapi
detektif saat menyelidiki pembunuhan. Dia harus memastikan bahwa kejahatan memang terjadi
sebelum penyelidikan di mulai.
Tujuh manfaat epidemiologi diantaranya sebagai berikut (meskipun tidak lengkap dan
rinci, namun daftar manfaat dibawah ini dapat mewakili manfaat dasarnya):
1. Untuk mempelajari riwayat penyakit
 Epidemiologi mempelajari tren penyakit untuk memprediksi tren penyakit yang
mungkin akan terjadi
 Hasil penelitian epidemiologi dapat digunakan dalam perencanaan pelayanan kesehatan
dan kesehatan masyarakat
2. Diagnosis masyarakat
 Penyakit, kondisi, cedera, gangguan, ketidakmampuan, defek/cacat apa sajakah yang
menyebabkan kesakitan, masalah kesehatan, atau kematian di dalam suatu komunitas
atau wilayah?
3. Mengkaji risiko yang ada pada setiap individu karena mereka dapat mempengaruhi
kelompok maupun populasi
 Faktor risiko, masalah dan perilaku apa sajakah yang dapat mempengaruhi kelompok
atau populasi
 Setiap kelompok dikaji dengan melakukan pengkajian terhadap faktor risiko dan
menggunakan teknik pemeriksaan kesehatan, misalnya: risiko kesehatan, pemeriksaan,
skrining kesehatan, tes kesehatan, pengkajian penyakit dan sebagainya.
4. Pengkajian, evaluasi dan penelitian
 Sebaik apa pelayanan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan dalam mengatasi
masalah dan memenuhi kebutuhan populasi atau kelompok
5

 Untuk mengkaji keefektifan; efisiensi; kualitas; kuantitas; akses; ketersediaan layanan


untuk mengobati, mengendalikan atau mencegah penyakit; cedera; ketidakmampuan;
atau kematian
5. Melengkapi gambaran klinis
 Proses identifikasi dan diagnosis untuk menetapkan bahwa suatu kondisi memang ada
atau bahwa seseorang memang menderita penyakit tertentu
 Menentukan hubungan sebab akibat, misalnya radang tenggorokan dapat menyebabkan
demam rematik
6. Identifikasi sindrom
 Membantu menyusun dan menetapkan criteria untuk mendefinisikan sindrom, misalnya:
sindrom down, fetal alcohol, kematian mendadak pada bayi, dan sebagainya.
7. Menentukan penyebab dan sumber penyakit
 Temuan epidemiologi memungkinkan dilakukan pengendalian, pencegahan dan
pemusnahan penyebab penyakit, kondisi, cedera, ketidakmampuan atau kematian

F. RUANG LINGKUP DAN PENERAPAN EPIDEMIOLOGI


Dalam sejarahnya, epidemiologi dikembangkan dengan menggunakan epidemic
penyakit menular sebagai suatu model studi. Landasan epidemiologi masih berpegang pada
model penyakit, metode, dan pendekatannya. Dahulu banyak metode dan pendekatan
epidemiologi yang dikembangkan seiring dengan pencarian terhadap penyebab terjadinya
berbagai penyakit menular dan epidemic yang sangat menghancurkan yang ada pada waktu itu.
Pengetahuan dan pendekatan yang digunakan pada awal perkembangan ilmu epidemiologi
ternyata berguna untuk ahli epidemiologi di masa modern ini.
Bahkan pada zaman dahulu, beberapa epidemic setelah ditelusuri ternyata berasal dari
penyebab-penyebab non-infeksius. Di tahun 1700, hasil penyelidikan James Lind terhadap
penyakit skorbut mengarah pada kekurangan vitamin C dalam makanan sebagai penyebabnya.
Penyakit defesiensi gizi lainnya dihubungkan dengan kekuarangan vitamin A dan vitamin D.
Beberapa studi telah menghubungkan keracunan timbal dengan beragam penyakit ringan, kolik,
gout, keterbelakangan mental, dan kerusakan saraf pada anak, pelukis, dan pengrajin tembikar.
Contoh, hasil pengamatan menunjukkan bahwa pelukis di zaman dahulu yang menggunakan cat
bertimbal dan sering menempelkan ujung kuas pada bibir dan lidahnya pada akhirnya akan
menderita gejala keracunan timbal, penyakit mental, dan penyakit kronis sejenis. Observasi
6

serupa juga dilakukan pada pengrajin tembikar yang menggunakan timbal untuk melapisi
tembikarnya. Dewasa ini, epidemiologi sudah terbukti efektif dalam mengembangkan
hubungan sebab akibat pada kondisi-kondisi non-infeksius seperti penyalahgunaan obat, bunuh
diri, kecelakaan lalu lintas, keracunan zat kimia, kanker, dan penyakit jantung. Area
epidemiologi penyakit kronis dan penyakit perilaku merupakan cabang ilmu epidemiologi yang
paling cepat berkembang.
Sebagai metode investigasi, epidemiologi merupakan landasan bidang kesehatan
masyarakat dan pengobatan pencegahan. Epidemiologi digunakan untuk menentukan
kebutuhan akan program-program pengendalian penyakit, untuk mengembangkan program
pencegahan dan kegiatan perencanaan layanan kesehatan, serta untuk menetapkan pola
penyakit endemik, epidemik, dan pandemik.
Endemi (awalan en- berarti “dalam atau di dalam”) adalah berlangsungnya suatu
penyakit pada tingkatan yang sama atau keberadaan suatu penyakit yang terus menerus di
dalam populasi atau wilayah tertentu – prevalensi suatu penyakit yang biasa berlangsung di satu
wilayah atau kelompok tertentu.
Hiperendemi (awalan hyper- berarti “diatas”) adalah istilah yang dihubungkan dengan
endemik, tetapi jarang digunakan. Istilah ini menyatakan aktifitas yang terus menerus melebihi
prevalensi yang diperkirakan, sering dihubungkan dengan populasi tertentu, populasi yang
kecil, atau populasi yang jarang seperti yang ditemukan di rumah sakit, klinik bidan, atau
institusi lain. Istilah ini juga menunjukkan keberadaan penyakit menular dengan tingkat
insidensi yang tinggi dan terus menerus melebihi angka prevalensi normal dalam populasi dan
ternyata menyebar merata pada semua usia dan kelompok. Kejadian endemik penyakit yang
berhubungan tetapi dengan tipe yang jelas berbeda, disebut holoendemi.
Holoendemi (awalan holo- berarti “keseluruhan atau semua”) menggambarkan suatu
penyakit yang kejadiannya dalam populasi sangat banyak dan umumnya didapat di awal
kehidupan pada sebagian besar anak dalam populasi. Prevalensi penyakit menurun sejalan
dengan pertambahan usia kelompok sehingga penyakit lebih sedikit muncul pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak. Penyakit yang sesuai untuk kategori ini adalah chickenpox dan
pada iklim Negara tropis, malaria.
7

Epidemi adalah wabah atau munculnya penyakit tertentu yang berasal dari satu sumber
tunggal, dalam satu kelompok, populasi, masyarakat, atau wilayah, yang melebihi tingkatan
kebiasaan yang diperkirakan. Epidemi terjadi jika kasus baru melebihi prevalensi suatu
penyakit. Kejadian luar biasa (KLB) akut – peningkatan secara tajam dari kasus baru yang
mempengaruhi kelompok tertentu - biasanya juga disebut sebagai epidemi. Keparahan dan
keseriusan penyakit juga mempengaruhi defenisi suatu epidemik. Jika penyakit sifatnya
mengancam kehidupan, hanya diperlukan sedikit kasus (seperti pada rabies) untuk
menyebabkan terjadinya epidemik.
Pandemi (awalan pan- berarti “semua atau melintasi”) adalah epidemi yang menyebar
luas melintasi negara, benua, atau populasi yang besar, kemungkinan seluruh dunia. AIDS
merupakan penyakit pandemi.

G. KNOWLEDGE AND SKILLS OF EPIDEMIOLOG

Pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang yang bekerja sebagai
profesional epidemiologi Kesehatan (Knowledge and Skills of Epidemiolog) diantaranya :

1. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam menentukan frekwensi, penyebaran


dan determinat penyakit yang terjadi pada kelompok masyarakat (Omran, 1974)
2. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan penyelidikan terhadap :
o penyakit infeksi, non infeksi, fisik dan mental
o pengobatan prophylaxe dan pengontrolan epidemiologi
3. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan kajian epidemiologi guna
menghasilkan keterangan mengenai proses terjadinya penyakit dan atau riwayat alamiah
terjadinya penyakit.
4. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan atau membuat keterangan
tentang klasifikasi penyakit dalam suatu masyarakat
5. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan usaha-usaha pengumpulan
keterangan dan data yang dibutuhkan dalam perencanaan dan evaluasi program
pencegahan penyakit dan masalah-masalah kesehatan
8

6. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan usaha-usaha pengumpulan


keterangan dan data yang dibutuhkan dalam penelitian dan pengembangan epidemiologi
kesehatan
7. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam menyusun dan melaksanakan program
surveilans dan pengendalian suatu penyakit yang terjadi pada kelompok masyarakat
8. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan pemberantasan wabah
penyakit
9. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan program screening
10. Mempunyai pengetahuan dan kemampuan melakukan penilaian manfaat suatu obat, diet
(makanan) dan bentuk pelayanan gizi dan kesehatan

Dari pengetahuan dan skil yang harus dimiliki oleh seseorang yang berminat terhadap
epidemiologi maka orang tersebut harus memiliki pengetahuan dasar tentang, biologi,
mkrobiologi, kedokteran dasar, kesehatan masyarakat, statistik, gizi, kefarmasian, manajemen
kesehatan dan lain-lain. Pengetahuan dasar ini tentunya bisa dipelajari secara otodidak, ini akan
mudah bila seseorang tersebut telah mempunyai tingkat pendidikan sarjana kesehatan.
9

= KONSEP SEHAT - SAKIT =

A. KEADAAN SEHAT

Sehat menurut WHO (1948) adalah keadaan baik yang lengkap secara fisik, mental, sosial
dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan. Dalam Undang-Undang No. 9/1960
tentang Pokok-Pokok Kesehatan, Pasal 2, dinyatakan: Yang dimaksud dengan kesehatan ialah meliputi
kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat
dan kelemahan.
Batasan kesehatan berkembang pada peraturan tentang pokok-pokok kesehatan berikutnya.
Dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 1, dikatakan bahwa Kesehatan
adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.

B. DEFINISI PENYAKIT
Sedangkan yang berhubungan dengan kejadian penyakit secara umum terdapat 5 hal utama yang
potensial untuk di ukur yang dikenal dengan 5 “D” yaitu Death, Disease, Disability, Discomfort, dan
Dissatisfaction. Ada yang menganjurkan untuk menambah dengan D yang keenam yaitu Destitution
(kemiskinan/ kemelaratan), hal ini berhubungan dengan konsekuensi financial dalam perawatan
kesehatan pasiennya. Dua diantara kelima D ini yaitu Death dan Disease mudah diukur, sedangkan tiga
lainnya memerlukan teknik dan prosedur yang lebih rumit yaitu disability, discomfort, dan
dissatisfaction.

Orang miskin akan membawa risiko lebih tinggi untuk jatuh sakit, selanjutnya orang
miskin yang sakit lebih susah berobat dan sembuh karena keterbatasan kemampuan
ekonominya mendapatkan pelayanan kesehatan.
10

Tabel 2.1.
Lima Hal Utama Berhubungan dengan Kejadian Penyakit

Death Suatu akibat dari keadaan sehat universal, yang merupakan batas waktu
(kematian) dari kelangsungan kejadian itu sendiri
Disease Suatu kombinasi dari gejala-gejala, tanda-tanda fisik dan hasil uji
(penyakit) Laboratorium
Dissability Suatu status fungsional pasien dalam arti agar mampu hidup dan
(kecacatan) melakukan kehidupan sehari-hari dirumah, ditempat kerja, atau rekreasi
tanpa tergantung kepada orang lain
Discomfort Gejala-gejala yang tidak enak misalnya nyeri, vertigo, atau fatigue
(kekurang- (kelelahan)
nyamanan)
Dissatisfaction Keadaan emosional dan mental, misalnya kegelisahan, kesusahan atau
(kekurang- Marah
puasan)

Ditinjau dari sudut epidemiologi, pemahaman tentang penyakit amatlah penting, oleh
karena itu perlu dimengerti dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan penyakit. Beberapa
defenisi penyakit adalah:
1. Penyakit adalah kegagalan dari mekanisme adaptasi suatu organisme untuk bereaksi
secara tepat terhadap rangsangan atau tekanan sehingga timbul gangguan pada fungsi/
struktur dari bagian organisasi atau system dari tubuh (Gold Medical Dictionary).
2. Penyakit adalah suatu keadaan dimana proses kehidupan tidak lagi teratur atau
terganggu perjalanannya (Van Dale’s Wordenboek der Nederlandse Tell).
3. Penyakit bukan hanya berupa kelainan yang dapat dilihat dari luar saja, akan tetapi juga
suatu keadaan terganggu dari keteraturan fungsi-fungsi dalam dari tubuh (Arrest Hof te
Amsterdam).

C. PERKEMBANGAN TEORI TERJADINYA PENYAKIT


Pada mulanya konsep terjadinya penyakit didasarkan pada adanya gangguan makhluk
halus atau karena kemurkaan dari yang maha pencipta. Berkembangnya ilmu pengetahuan turut
memberikan andil terhadap perkembangan teori terjadinya penyakit:
1. Contagion Theory; mengemukakan bahwa untuk terjadinya penyakit diperlukan adanya
kontak antara satu orang dengan orang lainnya. Teori ini dikemukakan sesuai dengan
keadaan pada saat itu, dimana penyakit yang melanda kebanyakan adalah penyakit menular
11

yang terjadi karena adanya kontak langsung. Teori ini dikembangkan berdasarkan
pengamatan terhadap epidemic penyakit lepra di Mesir.
2. Hippocratic Theory; teori ini lebih mengarahkan kausa pada suatu faktor tertentu.
Hippocrates menyatakan bahwa penyakit timbul karena pengaruh lingkungan terutama: air,
udara, tanah, cuaca (tidak dijelaskan kedudukan manusia dalam lingkungan). Teori ini
mampu menjawab masalah penyakit yang ada pada waktu itu dan dipakai hingga tahun
1800-an. Kemudian ternyata teori ini tidak mampu menjawab tantangan perbagai penyakit
infeksi lainnya yang mempunyai rantai penularan yang lebih rumit dan berbelit-belit.
3. Teori Humoral; menyatakan bahwa penyakit timbul akibat gangguan keseimbangan cairan
dalam tubuh manusia.
4. Teori Miasma; teori ini menyatakan penyakit timbul karena sisa-sisa mahkluk hidup yang
mengalami pembusukan sehingga meninggalkan pengotoran udara dan lingkungan. Teori ini
mempunyai arah yang cukup spesifik, namun kurang mampu menjawab pertanyaan tentang
penyebab berbagai penyakit.
5. Epidemic theory, teori ini menghubungkan terjadinya penyakit dengan cuaca dan factor
geografi (tempat). Suatu zat organik dari lingkungan dianggap sebagai pembawa penyakit,
misalnya air tercemar menyebabkan gastroenteritis. Teori ini diterapkan John Snow dalam
menganalisis terjadinya wabah kolera di London.
6. Teori jasad renik (Germ Theory); teori ini berkembang setelah ditemukannya mikroskop
sehingga konsep penyebab penyakit beralih ke jasad renik (mikro-organisme). Teori ini,
menganggap kuman sebagai penyebab tunggal penyakit. Namun dalam perjalannya ternyata
teori ini mendapat tantangan karena sulit diterapkan pada berbagai peyakit kronik, misalnya
penyakit jantung dan kanker yang penyebabnya bukan kuman.
7. Teori nutrisi dan resistensi; merupakan hasil pengamatan dari berbagai pengamatan
epidemiologis.
8. Teori ekologi lingkungan; bahwa penyakit timbul karena manusia berinteraksi dengan
berbagai faktor penyebab dalam lingkungan tertentu dan pada keadaan tertentu.
9. Teori multikausa, disebut juga sebagai konsep multifaktorial. Teori ini menekankan bahwa
suatu penyakit terjadi sebagai akibat dari interaksi berbagai faktor biologis, kimiawi, dan
social yang memegang peranan dalam terjadinya penyakit. Contoh, infeksi tuberculosis yang
terjadi bukan hanya disebabkan oleh invasi micobacterium tuberculosis pada jaringan paru,
12

tetapi secara multifaktorial berkaitan dengan faktor genetik, malnutrisi, kepadatan penduduk
dan derajat kemiskinan.

D. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT


Setiap penyakit mempunyai riwayat alamiah maisng-masing. Riwayat alamiah penyakit
terdiri dari empat fase (Gerstman, 1998 dalam Murti, 2003):
(1) Fase rentan;
(2) Fase subkilinis;
(3) Fase klinis; dan
(4) Fase penyembuhan, cacat & kematian (terminal)
Masing-masing fase dapat dilihat dalam kerangka teoritis dan uraian berikut ini:

Riset etiologis Riset Prognostik

Periode laten Durasi


(Inkubasi)
Induksi Promosi Ekspresi

Fase subklinis Fase klinis Fase terminal

Diperkenalkannya Dimulainya proses Penyakit terdeteksi Akibat penyakit


faktor penyebab patologis (penyakit secara klinis (tampak (perubahan status
penyakit pertama menjadi ireversibel tanda & gelaja atau kematian)

Pencegahan Pencegahan Pencegahan


primer Sekunder tersier
Riset intervensi

Gambar 2.1:
Riwayat alamiah penyakit

1. Fase Rentan
Fase rentan (susceptibility phase) adalah tahap berlangsungnya proses etiologis,
dimana “faktor penyebab pertama” untuk pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Dalam
tahap ini faktor penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi telah meletakkan
13

dasar untuk timbulnya penyakit nantinya. Contoh: kadar kolesterol LDL (Low Density
Lipoprotein) yang tinggi meningkatkan risiko kejadian penyakit jantung koroner, status
gizi buruk meningkatkan kemungkinan kejadian tuberculosis klinis, dan lain-lain.
“Faktor penyebab pertama” yang dimaksud diatas adalah merupakan faktor risiko.
Faktor risiko adalah faktor yang kehadiranya meningkatkan probabilitas kejadian penyakit
sebelum fase ireversibilitas (dimulainya proses patologis). Suatu faktor yang mempunyai
hubungan kausal dapat dikatakan faktor risiko, meskipun hubungan itu tidak langsung atau
belum diketahui mekanismenya. Karena hasil-hasil riset tentang penyebab penyakit
umumnya masih bersifat „mungkin‟, maka pada umumnya para epidemiolog lebih
menyukai menggunakan kata faktor risiko ketimbang kata faktor penyebab (kausa) untuk
menerangkan suatu variabel yang meningkatkan probabilitas individu untuk mengalami
penyakit (Kleinbaum, 1982 dalam Murti, 2003). Contoh: umur dan merokok dikenal luas
sebagai faktor risiko kanker paru, meskipun mekanisme faktor-faktor tersebut untuk
menyebabkan penyakit belum jelas.
2. Fase subkilinis
Fase subklinis (subclinical phase), disebut juga fase pre-simtomatis, adalah tahap
berlangsungnya proses perubahan patologis yang diakhiri dengan keadaan irreversibel
(yaitu, manifestasi penyakit tak dapat dihindari lagi). Disini belum terjadi manifestasi
penyakit, tetapi telah terjadi tingkat perubahan patologis yang siap untuk dideteksi tanda
dan gejalanya pada tahap berikutnya. Contoh: perubahan aterosklerosis arteria koronaria
sebelum seorang memperlihatkan tanda dan gejala PJK; perubahan malignasi jaringan yang
irreversibel; dan sebagainya.
3. Fase klinis
Fase klinis (clinical phase) adalah tahap dimana perubahan patologis pada organ telah
cukup banyak, sehingga tanda dan gejala penyakit mulai dapat dideteksi. Disini telah
terjadi manifestasi klinis penyakit. Tergantung pada faktor-faktor pejamu, akses terhadap
pelayanan kesehatan, dan kecermatan diagnosis klinisi yang menangani pasien, waktu
antara mulainya gejala dan diagnosis dapat beragam antara satu pasien dengan pasien
lainnya dengan penyakit sama. Tetapi, sekali lagi, mulainya simptom dan bukannya waktu
diagnosis yang menandai tahap klinis penyakit. Mausner dan Kramer (1985) menganjurkan
pembagian yang lebih rinci lagi tahap ini, agar manajemen kasus dan riset epidemiologi
14

dapat dilakukan dengan lebih akurat. Tergantung kepada jenis penyakitnya, subklasifikasi
dapat dilakukan berdasarkan aspek morfologis, fungsi, atau terapi.
Dewasa ini masih banyak penyakit yang belum diketahui dengan jelas riwayat
alamiahnya, terutama pada tahap klinis. Sebagai contoh, apa sebabnya ada orang yang
mempunyai sejumlah faktor risiko, tetapi tidak mengalami manifestasi klinis. Agar dapat
memahami sebabnya dengan lebih jelas, akhir-akhir ini banyak epidemiolog melakukan
riset prospektif (studi kohort) pada kelompok besar subyek penelitian selama beberapa
waktu. Dengan desain riset prospektif itu maka peneliti dapat mengamati dan mengukur
perubahan dan perkembangan penyakit yang terjadi dengan lebih baik.
4. Fase terminal
Fase terminal (recovery, disability, or death) adalah tahap dimana mulai terlihat akibat dari
penyakit: sembuh spontan, sembuh dengan terapi, remisi (kambuh), perubahan beratnya
penyakit, cacat, atau kematian. Contoh: poliomyetis tipe paralitik membawa akibat paralisi,
tipe bulber membawa akibat kematian, dan sebagainya.

E. KONSEP RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT


Sejumlah konsep perlu dikenal dalam riwayat alamiah penyakit: (1) faktor risiko; (2)
Masa inkubas (masa laten); (3) Fase induksi; (4) Fase promosi; (5) Promotor dan inhibitor; (6)
faktor prognostik; (7) Durasi penyakit; (8) Kronisitas; (9) Pencegahan.
1. Faktor Risiko
Faktor Risiko adalah faktor yang kehadirannya meningkatkan probabilitas kejadian
penyakit sebelum fase ireversibilitas. Terma factor risiko pertama kali diperkenalkan oleh
Dawber dan kawan-kawan (1960) dalam sejumlaah artikel mereka tentang faktor-faktor risiko
Penyakit Jantung Koroner dari Framingham Heart Study.
Faktor risiko mengikuti kerangka pikir probabilistik dalam mendefenisikan kausasi
penyakit, untuk menghindari penggunaan terma kausa yang berimplikasi kepastian
(deterministic) faktor sebagai penyebab penyakit, karena inferensi kausal dari hasil-hasil
penelitian empiris hampir selalu mengandung ketidakpastian (lack of certainty).
Tiga kriteria umum harus dipenuhi untuk mengatakan sebuah faktor merupakan faktor
risiko suatu penyakit (Kleinbum et al., 1982 dalam Murti, 2003). Pertama, faktor tersebut harus
secara statistik berhubungan dengan berkembangnya penyakit. Dengan kata lain, frekuensi
penyakit harus berbeda menurut kategori, level, atau nilai dari faktor. Kedua, kehadiran faktor
15

risiko harus mendahului kejadian penyakit. Artinya, hubungan faktor dan penyakit bukan
sekedar karena faktor itu lebih banyak dijumpai pada orang-orang yang mengalami penyakit
tersebut. Ketiga, hubungan yang teramati tidak boleh seluruhnya merupakan cerminan sumber
kesalahan, baik kesalahan pencuplikan (sampling error, chance error), keterlibatan faktor luar
(extraneous factors), maupun masalah lain berkaitan dengan desain studi dan analisis data.
Bukti-bukti untuk mendukung sebuah faktor sebagai faktor risiko berasal dari berbagai studi
epidemiologi maupun temuan-temuan dari para ilmuwan lainnya dan para klinisi.
2. Masa Inkubasi
Masa Inkubasi adalah periode waktu sejak masuknya penyebab awal pada pejamu
hingga timbulnya manifestasi klinis dari suatu penyakit infeksi. Masa inkubasi terdiri dari dua
fase: (1) fase induksi; dan (2) Fase promosi.
Masa inkubasi bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya. Sejumlah
penyakit memiliki masa inkubasi pendek (misalnya kolera 24 - 48 jam), penyakit lainnya
mempunyai masa inkubasi sedang (misalnya malaria falsiparum 12 hari), dan sejumlah
penyakit memiliki masa inkubasi panjang (misalnya median inkubasi AIDS kurang lebih 10
tahun). Bahkan masa inkubasi dapat bervariasi dalam sebuah penyakit. Sebagai contoh, masa
inkubasi HIV dan AIDS berkisar antara 3 hingga 20 tahun. Periode laten leukemia akibat
paparan bom atom Hiroshima berkisar antara 2 hingga 12 tahun. Variasi masa inkubasi dan
laten dapat terjadi karena perbedaan kerentanan pejamu, patogenesitas agen, dan dosis paparan.
3. Fase induksi
Fase induksi berlangsung sejak bertemunya faktor penyebab awal dengan penjamu,
hingga proses patologis yang ireversibel.
4. Fase promosi
Fase promosi berlangsung sejak proses patologis yang ireversibel hingga timbulnya
tanda dan gejalan klinis. Dalam praktek, perubahan-perubahan yang ireversibel berlangsung
dengan cepat dan sulit diketahui, sehingga kedua fase sering disatukan sebagai masa inkubasi.
Untuk penyakit menahun, masa inkubasi biasanya disebut masa laten. (Fox et al., 1970 dalam
Murti, 2003).
5. Promotor dan inhibitor
Promotor merupakan faktor yang memiliki peran etiologis dalam mempercepat
terdeteksinya penyakit. Inhibitor merupakan faktor yang memiliki peran etiologis dalam
memperlambat terdeteksinya penyakit.
16

6. Faktor prognostik
Faktor prognostik adalah faktor yang diyakini mempunyai hubungan dengan probabilitas
kasus yang berkembang menjadi bentuk terminal penyakit, baik sembuh, sekuel, tambah berat,
cacat, atau meninggal (Kleinbaum et al., 1982 dalam Murti, 2003). Riset yang mempelajari
peran faktor-faktor prognostik dan peramalan durasi penyakit disebut riset prognostik, misalnya
analisis kesintasan (survival analysis).
7. Durasi penyakit
Durasi penyakit adalah periode waktu sejak penyakit terdeteksi klinis hingga timbul akibat
penyakit.
8. Kronisitas
Kronisitas penyakit memiliki dua pengertian, yaitu panjangnya masa laten atau durasi
penyakit.
9. Pencegahan
Jika kita melakukan pengamatan terhadap populasi, maka akan didapati bahwa orang-orang
dalam populasi mengalami perubahan keadaan kesehatan dari satu keadaan ke keadaan lainnya.
Populasi dapat mengalami perubahan keadaan kesehatan sebagai berikut: (1) susceptible –
rentan tetapi saat ini tidak sakit; (2) imun – kebal terhadap penyakit; (3) sakit

Sakit

Insidensi Sembuh dengan


Sembuh tanpa
imunitas
imunitas

Pencegahan
Susceptible Imun
Kehilangan imunitas

Gambar 2.2:
Tiga keadaan kesehatan penyakit populasi pada suatu saat

Gambar diatas menyajikan tiga keadaan kesehatan populasi pada suatu saat. Dalam
pencegahan primer epidemiologi dikenal teori imunitas kelompok. Imunitas kelompok (herd
immunity) merujuk kepada resistensi kelompok terhadap serangan penyakit dimana sebagian
besar anggota kelompok itu imun, maka bias diharapkan seluruh populasi akan terlindungi,
tidak hanya mereka yang imun. Imunitas kelompok terjadi karena adanya orang-orang yang
17

imun dalam populasi akan memperkecil kemungkinan kontak antara orang yang terinfeksi
dengan orang yang rentan (tidak imun), sehingga penyakit tidak mudah menyebarluas. Konsep
imunitas kelompok dianggap penting karena konsep ini merupakan salah satu alasan bagi
program imunisasi, dimana program imunisasi dianggap tidak perlu memburu target cakupan
100% untuk melindungi seluruh populasi, karena perlindungan dianggap sudah efektif jika
dapat mencapai sebagian besar dari populasi sehingga dapat terbentuk imunitas kelompok
untuk melindungi seluruh anggota populasi yang ada.

F. KETERPAPARAN DAN KERENTANAN


Pada umumnya peralihan dari suatu keadaan sehat ke keadaan sakit mempunyai batas
yang tidak jelas, tetapi melalui suatu proses yang pada umumnya didahului dengan kondisi
keterpaparan (exposured) terhadap unsur tertentu, yang sekaligus disertai dengan keadaan
pejamu dalam kondisi kerentanan tertentu untuk menjadi sakit.
Menurut WHO, sehat diartikan sebagai keadaan kesempurnaan fisik, mental dan
kehidupan sosial, dan bukan berarti hanya bebas dari penyakit atau kelainan/ cacat. Sedangkan
sakit adalah suatu penyimpangan dari status penampilan yang optimal.
1. Keterpaparan
Keterpaparan adalah suatu keadaan dimana pejamu berada pada pengaruh atau
berinteraksi dengan unsur penyebab primer atau sekunder dan atau dengan unsur lingkungan
yang dapat mendorong proses terjadinya penyakit.
2. Kerentanan
Kerentanan adalah keadaan dimana pejamu mempunyai kondisi yang mudah
dipengaruhi unsur penyebab sehingga memungkinkan timbulnya penyakit.

G. KLASIFIKASI PENYAKIT
WHO sejak tahun 1948 telah menerbitkan beberapa revisi buku “Klasifikasi Penyakit
Internasional” (International Classification of Disease/ ICD). Klasifikasi ini berisi daftar
sistematis dari penyakit yang diketahui dan dikenal. Sebagian besar Negara anggota WHO
menggunakan ICD tersebut, yang kadang-kadang disertai dengan catatan dan suplemen
masing-masing.
Dalam klasifikasinya, ICD memasukkan 17 kelompok utama penyakit dengan berdasar
pada penyebab penyakit, sifat penyakit dan lokasi penyakit, sebagai berikut:
1. Penyakit infeksi dan parasit.
18

2. Neoplasma.
3. Penyakit endoktrin, nutrisi dan metabolik serta gangguan imunitas.
4. Penyakit darah dan organ pembentuk darah.
5. Gangguan mental.
6. Penyakit sistem saraf dan alat indera
7. Penyakit sistem peredaran darah.
8. Penyakit sistem pernafasan.
9. Penyakit sistem pencernaan.
10. Penyakit sistem kencing dan kelamin.
11. Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas.
12. Penyakit kulit dan jaringan bawah kulit.
13. Penyakit sistem otot rangka dan jaringan ikat.
14. Kelainan bawaan.
15. Keadaan tertentu yang berasal dari masa perinatal.
16. Gejala, tanda, dan keadaan yang tidak jelas.
17. Cedera dan keracunan.
Tiap penyakit selanjutnya dalam klasifikasinya mempunyai beberapa jenis penyakit
sesuai dengan kriteria gejala dan tandanya.

H. KONSEP PENULARAN PENYAKIT


Beberapa konsep epidemiologi tentang penularan penyakit yang berhubungan atau
mempengaruhi segitiga epidemiologi epidemiologi antara lain benda tak hidup (fomite), vektor,
reservoir, dan carrier.
Fomite atau benda mati adalah benda yang mempunyai peran dalam penularan penyakit.
Fomite dapat berupa pensil, pulpen, gelas, gagang pintu, mata pena, pakaian, atau benda mati
lainnya yang menghantarkan infeksi akibat terkontaminasi organisme penyebab penyakit yang
kemudian disentuh oleh orang lain.
Vektor adalah serangga, misalnya lalat, kutu, nyamuk, hewan kecil seperti mencit, tikus,
atau hewan pengerat lain. Vektor adalah setiap makhluk hidup selain manusia yang membawa
penyakit (carrier) yang menyebarkan dan menjalani proses penularan penyakit. Vektor
menyebarkan agen infeksi dari manusia atau hewan yang terinfeksi ke manusia atau hewan lain
19

yang rentan melalui kotoran, gigitan, dan cairan tubuhnya, atau secara tidak langsung melalui
kontaminsasi pada makanan.
Reservoir adalah manusia, hewan, tumbuhan, tanah, atau zat organik (seperti tinja dan
makanan) yang menjadi tempat tumbuh dan berkembang biak organisme infeksius. Sewaktu
organisme infeksius berkembang biak dalam reservoir, mereka melakukannya sedemikian rupa
sehingga penyakit dapat ditularkan pada pejamu yang rentan. Manusia sering berperan sebagai
reservoir sekaligus pejamu. Jika hewan menularkan penyakit pada manusia, inilah yang disebut
dengan zoonosis. Badan kesehatan dunia menyatakan bahwa zoonosis adalah penyakit dan
infeksi yang ditularkan antara hewan vertebrata dan manusia (WHO, 1967 dalam McKenzie
2007).
Satu istilah lain terkait yang menggambarkan proses yang berkontribusi dalam
penyebaran penyakit adalah carrier. Carrier mengandung, menyebarkan, dan merupakan
tempat persinggahan organisme penyebab infeksi. Orang yang terinfeksi organisme penyebab
infeksi seringkali tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit atau manifestasi klinis dari penyakit.
Akan tetapi, orang atau hewan juga dapat menjadi sumber infeksi dan penyebaran penyakit
yang potensial terhadap orang (atau hewan) lain. Kondisi carrier dapat berlangsung dalam
keseluruhan perjalanan penyakit atau selama perjalanan hidup manusia jika tidak diobati dan
bahkan tidak terlihat karena carrier mungkin tidak sakit (carrier yang sehat). Beberapa carrier
dari penyakit tertentu bisa terinfeksi dan manjadi carrier seumur hidup, seperti Typhoid Mary.
Tuberculosis adalah salah satu penyakit lain yang umumnya dikenal mempunyai carrier.
Beberapa carrier dapat dari kondisi ini. Typhoid Mary dapat disembuhkan dengan
pembedahan (pembuangan kandung empedu adalah pengobatan pada masa itu). Jika ia hidup di
zaman modern ini, antibiotik pasti digunakan dengan efektif.
Pada carrier ditemukan beberapa kondisi atau keadaan yang berlainan. Ada enam tipe
carrier yang diidentifikasi oleh bidang ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat, sebagai
berikut:
1. Active carrier, seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme
penyebab penyakit dan kondisi ini sudah berlangsung selama beberapa waktu walaupun
sudah sembuh dari penyakitnya, disebut carrier aktif.
2. Convalescent carrier, seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme
penyebab penyakit (pathogen) dan berada dalam masa pemulihan, tetapi masih dapat
menularkan penyakit ke orang lain disebut carrier konvalesen.
20

3. Healthy carrier, seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarang organisme
penyebab penyakit (patogen), tetapi tidak sakit atau tidak menunjukkan gejala sakit disebut
carrier sehat. Kasus seperti itu bias disebut sebagai kasus subklinis.
4. Incubator carrier, seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme
penyebab penyakit (pathogen), masih berada pada tahap awal penyakit serta menunjukkan
gejala dan kemampuan untuk menularkan penyakit disebut carrier incubator.
5. Intermittent carrier, seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme
penyebab penyakit (patogen) dan secara berulang dapat menyebarkan penyakit disebut
sebagai carrier intermittent, carrier ini dapat menyebarkan penyakit kapan saja dan dimana
saja.
6. Passive carrier, seseorang yang terpajan dan menjadi tempat bersarangnya organisme
penyebab penyakit (pathogen), tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda dan gejala penyakit
disebut carrier pasif, hal ini sama seperti carrier sehat.

I. CARA PENULARAN PENYAKIT


Beberapa cara penularan penyakit telah diidentifikasi. Ada bermacam metode yang
digunakan agen untuk berpindah dari pejamu yang satu ke pejamu lainnya, atau keluar dari
pejamu untuk menginfeksi pejamu lainnya yang rentan – baik manusia maupun hewan. Ada
dua cara umum penularan penyakit: penularan langsung dan penularan tidak langsung.
Penularan langsung, atau juga dikenal sebagai penularan dari orang ke orang, adalah
perpindahan patogen atau agens secara langsung dan segera dari pejamu/reservoir ke pejamu
yang rentan. Penularan langsung dapat terjadi melalui kontak fisik langsung atau kontak
langsung orang per orang, seperti bersentuhan dengan tangan yang terkontaminasi, sentuhan
kulit dengan kulit, berciuman, atau hubungan seksual.
Penularan tidak langsung terjadi ketika pathogen atau agen berpindah atau terbawa
melalui beberapa item, organisme, benda, atau proses perantara menuju pejamu yang rentan
sehingga menimbulkan penyakit. Fomite, vektor, udara yang beredar, partikel debu, droplet air,
air, makanan, kontak oral-fecal, dan mekanisme lain yang secara efektif menyebarkan
organisme penyebab penyakit adalah alat penularan tidak langsung. Penularan tidak langsung
dilakukan melalui salah satu atau beberapa cara penularan berikut: penularan airbone (melalui
droplet atau partikel debu), waterborne, vehicleborne, atau penularan vectorborne.
21

Penularan airborne terjadi ketika droplet atau partikel debu membawa patogen ke
pejamu dan menginfeksinya. Penularan waterborne terjadi ketika pathogen, misalnya kolera
atau shigella, terbawa dalam air minum, kolam renang, sungai, atau danau yang digunakan
untuk berenang. Penularan vehicleborne berhubungan dengan fomite (benda/barang), misalnya
peralatan makan, pakaian, peralatan cuci, sisir, botol air minum, dan sebagainya.
Penularan airborne terjadi ketika seseorang bersin, batuk, atau berbicara, memercikkan
patogen mikroskopik yang terbawa dalam droplet ke udara dan dihirup oleh seseorang yang
rentan yang berada di dekatnya. Cara lainnya adalah jika droplet terbawa melalui saluran
pemanas atau pendingin ruangan di dalam gedung atau disebarkan melalui kipas angin ke
seluruh bangunan atau kompleks bangunan.
Beberapa ahli epidemiologi mengelompokkan penyebaran melalui droplet sebagai
penularan langsung, karena biasanya berlangsung dalam jarak beberapa meter dari pejamu yang
rentan dan karena memang langsung. Bagaimanapun, secara logika droplet dari batuk atau
bersin disebarkan melalui mekanisme perantara untuk membawa patogen ke pejamu yang
rentan. Dengan demikian, penularan semacam ini adalah penularan tidak langsung. Penularan
ini juga merupakan penularan dari orang ke orang dan sangat umum teradi pada penularan
influenza dan pilek. Penyebaran droplet juga dapat terjadi melalui pengisap udara dan proses
sirkulasi udara (alat pemanas dan AC) dalam bangunan, yang membawa penyakit bawaan
droplet ke tempat yang jauh, seringkali ke tempat yang terpencil, dan menyebabkan penyakit.
Penyakit tuberculosis disebarkan melalui cara seperti ini.
Beberapa penularan penyakit secara vectorborne memiliki proses mekanisme yang
sederhana, seperti ketika patogen menggunakan pejamu (misalnya: lalat, pinjal, kutu, tikus)
sebagai mekanisme untuk menumpang, untuk memperoleh makanan, atau sebagai proses
perpindahan fisik untuk menyebar. Penularan ini disebut penularan mekanis. Saat patogen
menjalani perubahan sebagai bagian dari siklus hidupnya selama berada pada pejamu atau
vektor dan perubahan ini berlangsung sebelum disebarkan ke pejamu yang baru, maka
penularan ini disebut penularan biologis. Penularan biologis dengan mudah dapat dilihat pada
penyakit malaria; darah yang diisap nyamuk Anopheles betina diperlukan protozoa Plasmodium
untuk menyempurnakan siklus perkembangan seksualnya. Hal ini hanya dapat terjadi jika
nutrient darah yang dicerna ditemukan dalam usus nyamuk Anopheles.
22

J. MATA RANTAI INFEKSI


Ada hubungan yang erat antara segitiga epidemiologi dengan mata rantai infeksi.
Penularan penyakit terjadi ketika pathogen atau agens meninggalkan reservoir melalui jalan
keluar (portal of exit) dan disebarkan dengan salah satu cara penularan. Pathogen atau agens
penyebab penyakit memasuki tubuh melalui jalan masuk (portal of entry) dan menginfeksi
pejamu jika pejamu dalam keadaan rentan.
Rantai agen etiologis mencakup bakteri, virus, cacing, zat kimia, atau substansi hewan
atau tumbuhan atau faktor lain yang dapat menyebabkan penyakit, ketidakmampuan, kesakitan,
sindrom, atau kematian. Sumber/ reservoir adalah media atau habitat tempat pathogen atau agen
infeksius tumbuh subur, memperbanyak diri, dan berkembang biak dengan cepat. Reservoir
mencakup manusia, hewan, kondisi, atau substansi lingkungan tertentu, misalnya makanan,
tinja, atau bahan organik yang membusuk, yang kondusif untuk pertumbuhan pathogen. Banyak
penyakit infeksius atau menular yang mempunyai reservoir manusia dan beberapa reservoir
hewan. Ada dua jenis reservoir manusia dan hewan yang umum diketahui; orang sakit bergejala
(simptomatik) yang menderita penyakit, dan carrier, atau orang yang menjadi tempat
persinggahan pathogen, yang tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) sakit, tetapi dapat
menularkan penyakit.
Begitu agen atau pathogen meninggalkan reservoir, agen dengan menggunakan suatu
cara penularan akan berpindah ke pejamu yang rentan, baik melalui penularan langsung (kontak
orang ke orang) atau penularan tidak langsung (droplet atau partikel debu bawaan udara, vector,
fomite, substansi makanan). Rantai paling akhir dalam mata rantai infeksi adalah individu atau
pejamu yang rentan – biasanya manusia atau hewan. Pejamu umumnya dilindungi dari serangan
patogen oleh kulit, selaput lendir, dan respons fisiologis (misalnya, air mata untuk
membersihkan mata, asiditas dalam lambung, silia pada saluran pernafasan, batuk, dan respons
dari sistem imun tubuh). Jika patogen dapat masuk ke tubuh pejamu, akibatnya kemungkinan
besar adalah kesakitan apabila pejamu tidak memiliki imunitas terhadap patogen. Kerentanan
didasarkan pada tingkat imunitas tubuh terhadap patogen. Imunitas alami dapat berasal dari
susunan genetik seperti pada beberapa orang yang terlihat lebih kebal terhadap penyakit
dibandingkan lainnya. Imunitas aktif alami juga dapat terjadi jika tubuh mengembangkan
antibody dan antigen sebagai respons terhadap pathogen yang masuk ke dalam tubuh. Imunitas
aktif dikembangkan dari vaksin; dari pengalaman mendapatkan kasus penyakit baik ringan atau
berat; atau dari toksin bakteri. Imunitas pasif diperoleh dari masuknya antibody ke dalam tubuh
bayi dari plasenta ibunya atau dari antitoksin atau immuno globulin.
23

= KAUSASI =

Hubungan kausal sangat penting peranannya bagi kesehatan masyarakat dan


kedokteran. Perencana kesehatan merencanakan fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu
komunitas dengan asumsi bahwa fasilitas tersebut menyebabkan perbaikan status kesehatan
komunitas yang dilayani. Informasi epidemiologis yang mendasar tentang terjadinya penyakit
harus dikuasai oleh semua praktisi dibidang kesehatan, termasuk didalamnya pengelola
program dan administrator kesehatan, meskipun jumlah dan macam informasi yang dibutuhkan
bervariasi sesuai dengan tugas dari masing-masing praktisi.

A. DEFINISI KAUSASI
Kausasi merupakan konsep sentral dalam epidemiologi. Berbagai pernyataan kausal
misalnya “Merokok mengakibatkan kanker” atau “Human papilloma Virus mengakibatkan
kanker leher rahim”. Kata kausa merupakan kata benda abstrak yang memiliki arti berbeda
untuk kontek yang berbeda, contoh: pernyataan “merokok adalah kausa kanker”, dapat
ditafsirkan seorang perokok akan mengalami kanker, dapat juga diartikan sebagai setiap
perokok akan mengalami kanker. Terdapat dua pendekatan dalam mendefinisikan kausasi
penyakit: 1) Pendekatan determinisme; dan 2) pendekatan probabilitas.
Pedekatan determinisme menganggap, hubungan antara variabel dependen (penyakit)
dan variabel independen (faktor risiko) berjalan sempurna. Pendekatan ini mengasumsikan
tidak terdapat satu jenis kesalahanpun yang mempengaruhi sifat hubungan kedua variable itu.
Contoh: definisi kausasi menurut Postulat Henle-Koch menggunakan kerangka hubungan “satu
lawan satu” – satu kausa diperlukan dan mencukupi untuk terjadinya satu akibat (penyakit).
Pendekatan probabilitas, di lain pihak, memberikan ruang terhadap kemungkinan
terjadinya kesalahan-kesalahan, baik kesalahan random (random error) maupun kesalahan
sistematis (bias dan kerancuan/confounding), yang dapat mempengaruhi hasil kausal dari faktor
kausal.
24

Definisi deterministic kausa tunggal pertama kali diperagakan oleh Jacob Henle pada
tahun 1840, kurang lebih 40 tahun sebelum para mikrobiolog berhasil mengisolasi dan
menumbuhkan bakteri dalam kultur untuk pertama kalinya. Ia membuat model kausasi yang
melibatkan relasi antara sebuah agen sebagai penyebab dan sebuah hasil sebagai akibat.
Definisi kausa tunggal Henle kemudian dimodifikasi oleh muridnya bernama Robert Koch pada
tahun 1882, untuk menyatakan hubungan basil tuberculosis dengan terjadinya penyakit
tuberculosis.
Definisi kausalitas ini dinyatakan dalam tiga postulat yang terkenal sebagai Postulat
Henle-Koch. Suatu agen adalah penyebab penyakit apabila ketiga syarat berikut dipenuhi:
(1) Agen tersebut selalu dijumpai pada setiap kasus penyakit yang diteliti (necessary
cause), pada keadaan yang sesuai
(2) Agen tersebut hanya mengakibatkan penyakit yang diteliti, tidak mengakibatkan
penyakit lain (specificity of effect)
(3) Jika agen diisolasi sempurna dari tubuh, dan berulang-ulang ditumbuhkan dalam
kultur yang murni, ia dapat menginduksi terjadinya penyakit (sufficient cause)
Peran faktor-faktor penyebab dalam model kausalitas dicontohkan pada penyakit TBC,
bersifat kumulatif dimana keadaan yang mencukupi terjadinya TBC klinik hanya bisa
diciptakan secara bersama-sama. Jadi, masing-masing faktor merupakan necessary cause, tetapi
tidak sufficient (keadaan yang dibutuhkan untuk terjadinya penyakit, disebut necessary
condition, sedangkan keadaan yang cukup membuat terjadinya penyakit disebut sufficient
condition).

Infeksi Micobacterium
tuberculosis

Gizi buruk
Reaksi pada Tuberkulosis
Umur tingkat seluler paru

Faktor genetic ?

Keadaan lingkungan

Gambar 3.1.
Model kausasi kumulatif
25

Telah banyak bukti empirik dan keyakinan teoritik bahwa pada umumnya penyakit
memiliki lebih dari satu penyebab, bukan bersifat tunggal. Faktor-faktor penyebab ini
dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu :
1. Faktor Presdiposisi, seperti: umur, jenis kelamin, riwayat penyakit terdahulu, dll.
2. Faktor Pencetus, seperti: pemaparan oleh agen penyakit yang spesifik.
3. Faktor Pendorong, seperti: paparan yang berulang, beban kerja yang berat.
4. Faktor Pemberat, seperti: pendapatan rendah, status gizi, kondisi perumahan, dll.
Model lainnya adalah model kausasi alternatif, yaitu suatu penyakit disebabkan oleh
berbagai faktor tetapi secara sendiri-sendiri. Artinya masing-masing faktor itu bersifat
necessary cause, sekaligus sufficient cause.

Merokok

Atau

Reaksi pada
Serat asbes Ca. Paru
tingkat seluler

Atau

Gas radon
Gambar 3.2:
Model kausasi alternatif

B. MODEL-MODEL KAUSASI
Sejumlah ahli epidemiologi membuat klasifikasi tentang faktor penyebab penyakit, dan
membuat model yang menggambarkan relasi faktor – faktor tersebut dengan penyakit.
Beberapa model yang terkenal adalah:
a). Segitiga epidemiologi;
b). Model roda;
c). Model jala-jala kausasi/ Jaring-jaring sebab-akibat.
Pada penjelasan ini, ditekankan pada model segitiga epidemiologi, model roda, dan jaring-
jaring sebab akibat.
26

I. MODEL SEGITIGA EPIDEMIOLOGI (THE EPIDEMIOLOGY TRIAGLE)

Menurut John Gordon, model ini menggambarkan interaksi tiga komponen penyebab
penyakit, yaitu manusia (host), penyebab (agent), dan lingkungan (environment). Untuk
memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-
masing komponen. Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara ketiga
komponen tersebut. Model ini lebih dikenal dengan model triangle epidemiologi atau trial
epidemiologi, dan cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi. Sebab peran agent
(mikroba) mudah diisolasikan dengan jelas dari lingkungannya.
Menurut model ini perubahan salah satu komponen akan mengubah keseimbangan
interaksi ketiga komponen yang akhirnya berakibat bertambah atau berkurangnya penyakit.
Hubungan antara host, agent, dan environment dalam menimbulkan suatu penyakit amat
kompleks. Hubungan antara ketiga komponen tersebut digambarkan seperti tuas pada
timbangan. host dan agent berada di ujung masing-masing tuas, sedangkan environment sebagai
penumpunya.
KLB penyakit dalam populasi seringkali melibatkan sekumpulan atau beberapa faktor.
Banyak orang, benda, cara penularan, dan organisme yang dapat terlibat dalam penyebaran
penyakit. oleh karena itu, model epidemiologi sangat membantu di dalam mempelajari dan
mengkaji lebih dalam fenomena yang memiliki beragam aspek ini.
Untuk menimbulkan suatu penyakit infeksius, satu faktor tunggal harus ada dan faktor
tunggal itu disebut agens. Pada penyakit menular misalnya, spirochaeta merupakan agens
penyakit sifilis sementara bakteri merupakan agens kolera. Pada penyakit yang berkaitan
dengan pekerjaan, timbal merupakan agens keracunan timbal dan asbestos merupakan agens
dari asbesitosis.
Epidemiologi menggunakan cara pandang ekologi untuk mengkaji interaksi berbagai
elemen dan faktor dalam lingkungan dan implikasi yang berkaitan dengan penyakit. Ekologi
merupakan hubungan organisme, antara satu dengan lainnya. Organisme berbagi lingkungan
yang serupa dan berkontribusi pada lingkungan tersebut. Semua penyakit atau kondisi tidak
selalu dapat dikaitkan hanya pada satu faktor atau penyebab tunggal. Jika diperlukan lebih dari
satu penyebab untuk menimbulkan satu penyakit, hal ini disebut sebagai penyebab ganda
(multiple causation). Satu bakteri tunggal yang hidup dalam isolasi tidak cukup untuk
menimbulkan KLB penyakit dan dengan sendirinya tidak dapat bertanggungjawab terhadap
terjadinya KLB maupun dinyatakan sebagai penyebab. Cara penularan harus dipertimbangkan,
27

tingkat sanitasi di dalam masyarakat, kemampuan organisme untuk tumbuh dan berkembang
biak, lingkungan atau media yang sesuai untuk perkembangbiakan, daya tular
(communicability) organisme, tingkat imunitas dalam populasi, kepadatan populasi atau
kedekatan kasus antara satu dengan yang lain juga berkontribusi ke dalam tingkatan atau
intensitas KLB yang terjadi.
Ketika koloni Inggris menetap di benua Amerika, mereka menularkan penyakit
smallpox kepada penduduk asli Amerika. Epidemi kemudian merajalela dan menyebabkan
kematian seluruh anggota sebuah suku. Pada tahun 1500-an, seluruh penduduk asli Kepulauan
Jamaika meninggal bergitu smallpox masuk ke kepulauan tersebut. Tidak adanya pajanan,
tingkat imunitas dalam populasi, berbagai cara penularan, kurangnya sanitasi, kurangnya
pengetahuan, dan kondisi lingkungan menyebabkan epidemi menjadi tidak terkendali dan
memusnahkan seluruh populasi. Situasi epidemiologi yang bertumpuk seperti itu menyebabkan
terjadinya epidemi. Keterkaitan antara empat faktor epidemiologi sering berkontribusi dalam
terjadinya KLB suatu penyakit. Keempat faktor tersebut meliputi (1) peran pejamu, (2) agens
atau organisme penyebab penyakit, (3) keadaan lingkungan yang dibutuhkan penyakit untuk
berkembang pesat, bertahan, dan menyebar, dan (4) permasalahan yang berkaitan dengan
waktu.
Keterkaitan antara berbagai faktor yang berkontribusi dalam KLB penyakit akan lebih
dipahami jika disajikan dalam bentuk model. Gambar dibawah ini memperlihatkan segitiga
epidemiologi. Model ini berguna untuk memperlihatkan interaksi dan ketergantungan satu sama
lainnya antara lingkungan, pejamu, agen, dan waktu seperti yang digunakan dalam investigasi
penyakit dan epidemi. Segitiga epidemiologi ini didasarkan pada model penyakit menular.
Segitiga epidemiologi digunakan untuk menganalisis peran dan keterkaitan setiap faktor dalam
epidemiologi penyakit menular, yaitu pengaruh, reaktivitas, dan efek yang dimiliki setiap faktor
terhadap faktor lainnya.

HOST AGEN

Waktu

Lingkungan
Gambar 3.3:
Segitiga Epidemiologi
28

Untuk memahami model segitiga epidemiologi ini, seseorang harus memahami istilah
yang digunakan dalam segitiga tersebut. Agen adalah penyebab penyakit. bakteri, virus, parasit,
jamur, atau kapang merupakan berbagai agen yang ditemukan sebagai penyebab penyakit
infeksius. Pada penyakit, kondisi, ketidakmampuan, cedera, atau situasi kematian lain, agen
dapat berupa zat kimia seperti pelarut/ solven, faktor fisik seperti radiasi atau panas, defisiensi
gizi, atau beberapa substansi lain seperti racun ular berbisa. Satu atau beberapa agens dapat
berkontribusi pada satu penyakit.
Pejamu adalah organisme, biasanya manusia atau hewan yang menjadi tempat
persinggahan penyakit. Pejamu bisa saja terkena atau tidak terkena penyakit. Pejamu
memberikan tempat dan penghidupan kepada suatu patogen. (Patogen merupakan
mikroorganisme penyebab penyakit atau substansi terkait lainnya). Tingkat imunitas, susunan
genetik, tingkat pajanan, status kesehatan, dan kebugaran tubuh pejamu dapat menentukan efek
yang ditimbulkan organisme penyakit terhadap tubuh. Kondisi tubuh pejamu dan kemampuan
organisme untuk menerima lingkungan yang baru juga menjadi faktor penentu, karena beberapa
organisme hanya dapat tumbuh subur pada kondisi yang ideal dan terbatas. Contohnya, banyak
organisme penyakit infeksius yang hanya dapat hidup dalam rentang suhu yang sempit.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan juga kondisi luar manusia atau
hewan yang menyebabkan atau memungkinkan penularan penyakit. Faktor-faktor lingkungan
dapat mencakup aspek biologis, sosial, budaya, dan aspek fisik lingkungan. Sekitar tempat
hidup organisme dan efek dari lingkungan terhadap organisme itu juga merupakan bagian dari
lingkungan. Lingkungan dapat berada di dalam pejamu atau diluar pejamu (dalam masyarakat).
Waktu dapat mempengaruhi masa inkubasi, harapan hidup pejamu atau patogen (agen),
dan durasi perjalanan penyakit atau kondisi. Permasalahan lain yang berkaitan dengan waktu
mencakup menyebabkan kematian atau sampai melewati ambang bahaya menuju kesembuhan.
Penundaan waktu dari infeksi sampai munculnya gejala, durasi, dan ambang epidemi dalam
populasi (kurva epidemi) merupakan elemen waktu yang harus diperhatikan seorang ahli
epidemiologi.
Misi seorang ahli epidemiologi adalah mematahkan salah satu kaki segitiga
epidemiologi, yang mengganggu hubungan antara lingkungan, pejamu, dan agen untuk
menghentikan KLB yang tengah berlangsung. Demikian pula dengan bidang kesehatan
29

masyarakat, sasaran bidang ini adalah mengendalikan dan mencegah penyakit. Dengan
mematahkan salah satu kaki segitiga epidemiologi, intervensi kesehatan masyarakat dapat
memenuhi sebagian sasaran ini dan menghentikan epidemi. Epidemi dapat dihentikan jika salah
satu elemen dalam segitiga epidemiologi diubah atau dibuang sehingga penyakit tidak lagi
meneruskan penularan dan rute infeksinya.

Gambar 3.4:
Keadaan ketidakseimbangan antara Host, Agent, Environment

Penjelasan gambar:
a. Sehat, keadaan seimbang antara host, agent dan environment.
b. Sakit, karena adanya peningkatan agent infeksius. Contoh mutasi influenza virus.
c. Sakit, karena peningkatan susceptibility pada populasi. Contoh: peningkatan jumlah anak
yang rentan terhadap campak.
d. Sakit, karena adanya perubahan lingkungan yang mempermudah/menguntungkan
penyebaran agent. Contoh: akibat banjir.
e. Sakit, karena terjadinya perubahan lingkungan yang merugikan/menyebabkan menurunnya
daya tahan tubuh. Contoh: polusi udara.
30

HOST, AGEN DAN ENVIRONMENT

Host (Pejamu)
Hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya penyakit pada manusia:
a. Umur, jenis kelamin, ras, kelompok etnik/suku, hubungan keluarga.
b. Bentuk anatomis tubuh.
c. Fungsi fisiologis atau faal tubuh.
d. Status kesehatan, termasuk status gizi.
e. Keadaan imunitas dan respon imunitas.
f. Kebiasaan hidup dan kehidupan social.
g. Pekerjaan, dll.

Agent
Penyebab/ bibit penyakit, terdiri dari Biotis dan Abiotis.
a. Biotis, khususnya pada penyakit-penyakit menular, yaitu terdiri dari lima golongan:
1). Protozoa: Plasmodium, Amoeba.
2). Metazoa: Arthropoda, Helminthes.
3). Bakteri: Salmonella, Meningitis.
4). Virus: Dengue, Polio, Measles.
5). Jamur: Candida, Tinia algae, Hystoplasmosis.
Agent biotis mempunyai sifat :
1). Patogenisitas, adalah kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada penjamu
sehingga timbul penyakit (disease stimulus). Jika kemampuan ini tidak dimiliki, penyakit
tidak akan muncul dan bibit penyakit ini disebut apathogen.
2). Virulensi, adalah ukuran keganasan/derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh bibit
penyakit. Jika kerusakan yang ditimbulkan hebat, maka agent tersebut termasuk dalam
golongan bibit penyakit yang virulen.
3). Antigenisiti, adalah kemampuan bibit penyakit merangsang timbulnya mekanisme
pertahanan tubuh (antigen) pada diri pejamu/host. Apabila antigen ini banyak dihasilkan,
maka bibit penyakit tersebut memiliki antigenisiti yang tinggi.
4). Infektiviti, adalah kemampuan bibit penyakit mengadakan invasi dan menyesuaikan diri,
bertempat tinggal dan berkembang biak dalam diri pejamu.
31

b. Abiotis terdiri dari:


1). Nutrient Agent : kekurangan/ kelebihan gizi (karbohidrat, lemak, mineral, protein dan
vitamin).
2). Chemical Agent : pestisida, logam berat, obat-obatan, dll.
3). Physical Agent : suhu, kelembaban, panas, radiasi, kebisingan, dll.
4). Mechanical Agent : pukulan tangan, kecelakaan, benturan, gesekan, getaran.
5). Psychis Agent : gangguan psikologis, stress, depresi.
6). Physiologis Agent : gangguan faali tubuh.
7). Genetic Agent : gangguan genetic.

Environment (Lingkungan)
Lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisme. Faktor lingkungan sangat
menentukan dalam hubungan interaksi antara pejamu dan faktor agent. Lingkungan dapat
dibagi dalam 3 bagian utama:
a. Lingkungan biologis (fauna dan flora di sekitar manusia), bersifat biotik:
1). Mikroorganisme penyebab penyakit.
2). Reservoir penyakit infeksi (binatang, tumbuhan).
3). Vektor pembawa penyakit.
4). Tumbuhan dan binatang sebagai sumber bahan makanan, obat dan lainnya.
b. Lingkungan fisik, bersifat abiotik:
1). Udara, keadaan tanah, geografi.
2). Air.
3). Zat kimia, polusi, dll.
c. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah semua bentuk kehidupan sosial politik dan sistem organisasi
serta institusi yang berlaku bagi setiap individu yang membangun masyarakat tersebut, antara
lain:
1). Sistem ekonomi yang berlaku.
2). Bentuk organisasi masyarakat.
3). Sistem pelayanan kesehatan setempat.
4). Keadaan kepadatan penduduk dan kepadatan rumah.
5). Kebiasaan hidup masyarakat, dll.
32

II. MODEL RODA (The Wheel)


Model ini menggambarkan bahwa penyakit timbul akibat hubungan manusia dan
lingkungannya sebagai roda. Terlihat pada gambar, roda tersebut terdiri atas manusia dengan
substansi genetik pada bagian intinya dan komponen lingkungan biologi, sosial, fisik
mengelilingi manusia. Ukuran komponen model roda bersifat relatif, tergantung problem
spesifik penyakit bersangkutan. Contoh: pada penyakit herediter proporsi inti genetik relatif
besar, sedang pada penyakit campak status imunitas pejamu serta lingkungan biologik lebih
berperan daripada faktor genetik. Peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya pada
stress mental, dan peranan lingkungan biologis lebih besar dari yang lainnya pada penyakit
malaria.

Gambar 3.5:
Model Roda Hubungan Interaktif Manusia-Lingkungan

1. Model Jaring-jaring Sebab-Akibat (The Web of Causation)


Menurut model ini, sesuatu penyakit tidak tergantung pada satu sebab yang berdiri
sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses “sebab” dan “akibat”. Dengan
demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan dengan memotong rantai
pada berbagai titik.
33

Gambar 3.6:

Model Jaring-jaring Sebab-Akibat Penyakit Jantung Koroner

Iskemia
Karakteristik pasien
 Jenis kelamin Karakteristik
 Pendidikan jantung &
 Pekerjaan Infark miokard akut
arteri koroner

Umur
Jenis angina

Merokok
Jaminan
pembayaran Hipertensi

Obesitas

Asal daerah/
kawasan PJK Diabetes melitus

Riwayat keluarga

Dislipidemia
Riwayat PJK
Asupan asam sebelumnya
lemak omega 3

C. KRITERIA KAUSASI
Pendekatan model penyebab penyakit tersebut diatas masih membutuhkan
pertimbangan yang mendalam untuk sampai pada keputusan hubungan kausal. Penentuan
kausalitas harus didasarkan pada bukti-bukti yang ada. Pada tahun 1965 ahli statistic Inggris
(Austin Bradford Hill) membuat kriteria yang dapat digunakan sebagai panduan menentukan
apakah faktor lingkungan merupakan penyebab penyakit. Cara meringkas bukti-bukti untuk
kausalitas telah dipakai secara luas, yang kadangkala dengan sedikit modifikasi.
34

Tabel 3.1
Hubungan Kausal Menurut Kriteria Hill

No Kriteria Keterangan

1 Kekuatan asosiasi Risiko relatif yang besar


2 Konsistensi Kejadian berulang pada pengamatan orang lain
3 Spesifitas Satu penyebab menimbulkan satu efek
4 Hubungan Temporal Kausa mendahului efek
5 Efek dosis-respon Makin besar pajanan terhadap kausa diikuti peningkatan
kejadian penyakit
6 Biologic plausibility Sesuai dengan pengetahuan biologi pada waktu itu
7 Koherensi Bukti yang tersedia tentang riwayat alamiah, biologi,
epidemiologi penyakit harus koheren satu dengan yang lain
8 Bukti eksperimen Bukti hasil eksperimen setelah dikontrol faktor
pengganggunya (tidak tepat diterapkan dalam kenyataan)
9 Analogi Hubungan sebab dan akibat sudah terbukti untuk penyebab/
penyakit serupa

Uraian mengenai hubungan sebab-akibat berdasarkan Kriteria Hill:


1. Kekuatan.
Dengan “kekuatan hubungan”, Hill memaksudkan besarnya Rasio Odds (OR) atau Risiko
Relatif (RR). Makin kuat hubungan paparan dan penyakit, makin kuat pula keyakinan bahwa
hubungan tersebut bersifat kausal. Persoalannya adalah, bahwa hubungan kuat sebagaimana
yang dilaporkan tidak dapat diterima begitu saja sebagai hubungan yang terbebas dari
kesalahan sistematis dan kesalahan random. Asosiasi yang kuat, dapat saja non kausal dan
hanya merupakan hasil distorsi oleh pengaruh factor risiko lainnya yang berkorelasi kuat
dengan paparan yang diteliti. Contoh, kebiasaan membawa korek api bukan kausa kanker
paru, meskipun temuan menunjukkan asosiasi kuat. Kebiasaan membawa korek api
berkorelasi kuat dengan kebiasaan merokok yang memberikan efek sesungguhnya bagi
terjadinya kanker paru.
35

2. Konsistensi.
Konsistensi menunjuk kepada pengamatan berulang-ulang suatu hubungan pada populasi-
populasi yang berbeda dalam keadaan-keadaan yang berbeda memberikan bukti lebih kuat
daripada studi tunggal. Makin konsisten dengan riset-riset lainnya yang dilakukan pada
populasi dan lingkungan berbeda, makin kuat pula keyakinan hubungan kausal. JIka
ditemukan inkonsistensi berbagai temuan studi, maka harus dijelaskan mengapa terjadi
inkonsistensi. Akan tetapi, tidak adanya konsistensi tidak meniadakan hubungan kausal
karena beberapa akibat disebabkan oleh penyebab-penyebabnya hanya dalam keadaan-
keadaan yang luar biasa. Lebih tepat lagi, akibat dari suatu agen kausal tidak dalam timbul
kecuali penyebab komponen pelengkapnya berpengaruh, atau sudah berpengaruh, untuk
melengkapi suatu penyebab sufisien. Persyaratan ini tidak selalu akan dipenuhi. Lagi pula,
penelitian-penelitian dapat diharapkan berbeda hasilnya karena mereka berbeda dalam
metodologinya.
3. Spesifisitas
Kriteria spesifisitas menegaskan bahwa faktor kausal menghasilkan hanya sebuah penyakit,
demikian pula sebaliknya bahwa sebuah penyakit dihasilkan hanya oleh kausa tunggal.
Makin spesifik efek paparan, makin kuat kesimpulan hubungan kausal. Begitupula, makin
spesifik “penyebab”, makin kuat kesimpulan hubungan kausal.
Patokan spesisitas menuntut bahwa suatu penyebab menimbulkan satu akibat, dan bukan
banyak akibat. Namun kriteria spesifisitas mendapat sanggahan dari hubungan sebab akibat
merokok dengan terjadinya ca. Paru, dikatakan bahwa merokok juga dapat mengakibatkan
berbagai penyakit lain seperti, PJK, ca.mulut, ca. Nasofaring, esofagus, emfisema, bronchitis
kronik, dan sebagainya. Argumen ini sebenarnya tidak kuat, karena asap rokok dan
partikulat rokok tembakau terdiri dari puluhan komponen seperti nikotin, tar, benzipiren,
karbon monooksida dan lain-lain, sehingga spesifisitas hubungan harus dianalisis per
komponen tersebut. Akan tetapi, penyebab-penyebab dari suatu akibat tertentu tidak dapat
diharapkan ada tanpa akibat-akibat lain berdasarkan alasan-alasan yang masuk akal apapun.
Menurut kenyataan dan pengalaman sehari-hari, berulang-ulang mengajarkan kepada kita
bahwa kejadian tunggal dapat mempunyai banyak akibat. Pembahasan Hill mengenai
patokan inferensi ini penuh dengan keberatan dan tampaknya tidak berguna serta
menyesatkan.
36

4. Hubungan temporal
Temporalitas menunjuk kepada ketentuan bahwa penyebab harus mendahului akibat dalam
hal waktu, untuk mempercayai bahwa paparan terhadap faktor itu berlangsung sebelum
terjadinya penyakit.

Faktor kausal Penyakit

Waktu

Gambar 3.7:
Hubungan temporal kausalitas

5. Efek dosis respon


Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh perubahan frekuensi penyakit,
menguatkan kesimpulan hubungan kausal. Contoh, apabila risiko terkena Ca. Paru
meningkat dengan bertambahnya jumlah batang sigaret yang diisap perhari, maka keyakinan
hubungan kausal antara merokok dengan ca.paru makin kuat pula. Sebaliknya, tidak
terpenuhinya efek dosis respon tidak menyingkirkan kemungkinan hubungan kausal, sebab
adanya konsep nilai ambang batas. Selama nilai ambang batas belum dicapai oleh dosis yang
diberikan, maka perubahan dosis tidak akan diikuti oleh perubahan kejadian penyakit.
6. Biologic Plausibility.
Kriteria ini merujuk kepada koherensi hasil studi dengan pengetahuan biologi saat ini.
Keyakinan hubungan kausal makin kuat apabila dapat dijelaskan dengan masuk akal dalam
kerangka mekanisme biologi. Namun demikian, ketiadaan dukungan pengetahuan biologi
tidak dapat dengan sendirinya menyingkirkan hubungan kausal, karena bias saja
pengetahuan biologi yang ada, masinh tertinggal dibandingkan dengan kemajuan
pengamatan epidemiologi. Sehingga tidak jarang hasil pengamatan epidemiologi yang sudah
benar belum dapat diterangkan melalui mekanisme biologi.
7. Koherensi.
Kriteria koherensi menekankan bahwa berbagai bukti yang tersedia tentang riwayat alamiah,
biologi dan epidemiologi penyakit harus koheren satu dengan lainnya, membentuk satu
kesatuan pemahaman. Hubungan kausal yang dihipotesiskan hendaknya tidak menunjukkan
kontradiksi dengan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber pengetahuan lainnya,
37

baik eksperimen (manusia dan hewan), laboratorium, hasil studi klinis, patologis dan
epidemiologis (baik deskriptif maupun analitik). Diambil dari laporan Surgeon General
tentang Merokok dan Kesehatan (1964), istilah Koherensi menunjukkan bahwa penafsiran
sebab dan akibat untuk suatu hubungan tidak bertentangan dengan apa yang sudah diketahui
mengenai riwayat alamiah dan biologi dari penyakit tersebut. Contoh merokok merupakan
kausa kanker paru didukung koherensi berbagai perspektif temuan penelitian, pertama,
peningkatan kebiasaan merokok dinegara-negara barat pada abad ke-20 diikuti dengan
meningkatnya kematian karena kanker paru. Kedua, pengaruh merokok lebih jelas pada pria
dibanding wanita sesuai dengan perbedaan dalam kebiasaan merokok pada keduanya.
Ketiga, risiko terkena kanker paru meningkat, dengan meningkatnya durasi kebiasaan
merokok. Keempat, akhir-akhir ini ditunjukkan kecenderungan penurunan angka kematian
karena kanker dengan memperhitungkan perbedaan umur sesuai dengan penurunan
kebiasaan merokok. Kelima, dari eksperimen binatang ditemukan factor-faktor karsinogenik
dalam asap rokok. Keenam, bukti-bukti histopatologi menunjukkan efek sitotoksik merokok
terhadap epitel bronkus perokok.
8. Bukti eksperimental.
Eksperimen terandomisasi dengan double-blinding, dengan melakukan perlakuan tanpa
sepengetahuan subjek penelitian dan pemberi perlakuan agar tidak diketahui status
perlakuan. Jika hal ini dilakukan, dapat member bukti kuat hubungan kausal. Hubungan
kausal dapat diyakinkan melalui bukti-bukti eksperimental, jika perubahan variable
dependen (factor risiko) selalu diikuti oleh perubahan variable dependen (penyakit).
Problemanya adalah bukti seperti ini jarang ada untuk populasi-populasi manusia.
Pengontrolan yang ketat variabel-variabel dan situasi dalam eksperimen menyebabkan hasil
studi tidak cocok diterapkan pada keadaan nyata sehari-hari.
9. Analogi.
Pada beberapa situasi, kriteria analogi kurang dapat dipakai sebagai pendukung hubungan
kausal. Pemahaman yang didapat dari analogi tampaknya dirintangi oleh imajinasi para
ilmuan yang dapat saja menemukan dan mencetuskan berbagai gagasan analogis sehingga
analogi menjadi tidak spesifik lagi untuk dipakai sebagai dasar dukungan hubungan kausal.
Namun demikian, analogi-analogi sederhana yang dikemukakan Hill – jika satu obat
(thalidomide) dapat menyebabkan cacat lahir, maka mungkin obat yang lain yang
38

mempunyai sifat farmakologi serupa juga dapat memberikan akibat serupa – mungkin dapat
meningkatkan kredibilitas bahwa suatu hubungan itu kausal.

D. Konsep Henrik L. Blum


Henrik L. Blum mengemukakan bahwa keadaan sehat secara psiko, social dan somatic
dipengaruhi oleh 4 faktor besar, yang masing-masing berbeda derajat pengaruhnya. Berturut-
turut dari yang terkecil adalah keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan, seperti
terlihat pada bagan berikut:

Gambar 3.8:
Faktor yang Mempengaruhi Derajat Kesehatan Menurut Henrik L. Blum

Keadaan sehat menurut Henrik L. Blum, adalah keadaan yang baik (well being) dari
unsur somatik, sosial dan psikis. WHO (1957), keadaan sehat adalah suatu keadaan tubuh
manusia yang menggambarkan berfungsinya tubuh secara memuaskan dalam lingkungan dan
sifat keturunan tertentu. Pada dasarnya kondisi derajat kesehatan suatu masyarakat yang berada
dalam keadaan sehat optimum sampai dengan masyarakat yang berada dalam keadaan sakit
39

berat yang menjelang ajal, dapat dikategorikan dalam empat golongan spektrum sebagai
berikut:
1. Stage of optimum health/ tahap sehat optimum
Yaitu kondisi optimum, dimana fungsi-fungsi unsur somatik, psikis dan sosial dapat
berjalan secara optimal
2. Stage of suboptimum health atau incipient illness/ tahap sehat sub optimum atau sakit
ringan. Kondisi kesehatan yang menurun dan terdapat gangguan fungsi yang ringan dari
unsur somatik, psikis dan sosial
3. Stage over illness atau disability/ tahap sakit atau terganggu. Kondisi kesehatan yang
menurun dan terdapat gangguan fungsi yang jelas serta menunjukkan gejala
ketidakmampuan/ gangguan kegiatan dan kecakapan sehari-hari
4. Stage of very serious illness atau approaching death/ tahap sakit berat/ dekat kematian.
Kondisi kesehatan yang sangat menurun dan telah mengancam eksistensi kehidupan/
vitalitas seseorang
Agar derajat kesehatan masyarakat dapat dicapai, maka ke empat spektrum tersebut di
atas harus dicegah, dijaga dan diperbaiki, sehingga masyarakat senantiasa berada dalam
keadaan sehat optimum. Sehat menurut WHO (1984) adalah keadaan baik yang lengkap
secara fisik, mental, sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan.
Untuk bisa mengerti suatu proses perencanaan terhadap kesehatan masyarakat, perlu
dimengerti tentang dua paradigma, yaitu:
1. The force field paradigm/ paradigma kekuatan lapangan: yaitu pengaruh faktor-faktor
dilapangan terhadap derajat kesehatan masyarakat. Dimana terdapat empat faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan suatu masyarakat, yaitu:
a. Faktor lingkungan/ Environment
b. Faktor perilaku/ Life Styles
c. Faktor Pelayanan Kesehatan/ Medical Care Services
d. Faktor herediter atau kependudukan/ heredity
2. The Well Being paradigm/ paradigma keadaan sehat: yaitu keadaan derajat kesehatan
masyarakat yang menyatakan tingkat derajat baiknya status kesehatan masyarakat. Tinggi
rendahnya derajat kesehatan ini dapat di ukur dari 12 aspek/ indikator yang dapat diukur,
seperti dalam tabel berikut:
40

Tabel 3.2:
Model Konsep Tingkatan Pencegahan Terhadap Derajat Kesehatan Masyarakat
Menurut Leavell & Clark

Prephatogenesis phase Pathogenesis phase


Primary prevention Secondary prevention Tertiary prevention
Pencegahan Early
General &
Primary diagnosis &
specific Disability limitation Rehabilitation
prevention prompt
protection
treatment
Uraian - Health - Imunisasi - Early case - Penyempurnaan - Health
kegiatan education - Higiene finding dan intensifikasi education
- Gizi perorangan - General - Terapi lanjutan lanjutan
- Growth & - Perlindungan check up - Pencegahan - Work therapy
developmet dari - Mass komplikasi - Perkampungan
monitoring lingkungan screening - Perbaikan rehabilitasi
- Rumah sehat - Accidental - Survey: fasilitas sosial
- Hiburan sehat safety contact, kesehatan - Penyadaran
- Marriage - Occupational school, - Penurunan beban masyarakat
counseling health household sosial penderita - Lembaga
- Sex - Perlindungan - Case - dll rehabilitasi dan
education dari holding partisipasi
- Pengendalian carcinogen, - Adequate masyarakat
lingkungan toxin, treatment - Dll
- dll allergen - Dll
- Pengendalian
sumber
pencemaran
- Dll
Pencegahan 1 stage of optimum health 2. Stage of incipient illness
terhadap 3. Stage of over illness of dissability limitation
jejang 4. Stage of very serious illness
Sumber: Prayitno, 2005

Keempat faktor tersebut (keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan)


disamping berpengaruh langsung terhadap status kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama
lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal bilamana keempat faktor tersebut secara
bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam
keadaan yang tidak optimal, maka status kesehatan akan bergeser kearah dibawah optimal.
41

= EPIDEMI/ KEJADIAN LUAR BIASA =

A. PENGGOLONGAN EPIDEMI/ KLB


Pertanyaan yang paling sering diajukan mengenai epidemi adalah, berapa banyak kasus
yang diperlukan sebelum KLB penyakit dapat dikatakan sebagai suatu epidemi? 10 kasus? 100
kasus? Atau 1000 kasus? Jawabannya tentu saja tergantung pada penyakit dan populasi, tetapi
dapat dipastikan bahwa jika terjadi sejumlah besar kasus penyakit apapun yang terjadinya tidak
terduga pada populasi tertentu dan pada waktu dan tempat tertentu dapat dikategorikan sebagai
epidemi.
Epidemi digolongkan secara berbeda-beda bergantung pada cara penyebarannya di
masyarakat atau populasi. Ada tiga klasifikasi yang paling umum, yaitu common source,
propagated dan mixed epidemic.
Common source epidemic terjadi jika sekelompok orang terpajan pada infeksi atau
sumber kuman (agen patogen) yang biasa/ umum, misalnya anak sekolah terpajan anak lain
yang sedang sakit campak. Common source epidemic biasanya dibagi menjadi tiga subkategori
yaitu point source, intermittent, dan continous epidemic. Jika agens atau patogennya berasal
dari sumber tunggal seperti makanan, ini disebut point source epidemic. Contoh, sekelompok
orang yang menghadiri piknik remaja masjid mengambil salad kentang dari satu mangkuk besar
yang sama. Mayoritas dari mereka yang memakan salad kentang jatuh sakit karena salad
terkontaminasi bakteri stafilokokus. Pada point source epidemic, orang terpajan di satu tempat
pada satu waktu, menjadi sakit selama masa inkubasi agens (patogen) yang didapat dari satu
sumber.
Akan tetapi, pada beberapa KLB penyakit, orang yang rentan terkadang terpajan
penyakit dan terkadang tidak selama satu periode waktu – hari, minggu, atau lebih lama.
Tuberculosis seringkali menular dengan cara seperti ini, melalui penularan bawaan udara yang
berasal dari batuk penderita lain. Karena tuberculosis disebarkan dengan cara kontak langsung
dari orang ke orang dan karena orang berpindah dan berinteraksi dengan orang yang lain,
42

penyebaran penyakit ini tidak teratur dan sulit ditebak, dan polanya juga tidak teratur
mengakibatkan epidemik yang berulang atau disebut intermittent epidemic.
Jika tingkat penyebaran epidemi cukup tinggi di masyarakat atau populasi, dan
menyerang sejumlah besar orang di dalam populasi tanpa pengecualian, hal ini termasuk dalam
epidemic yang berkelanjutan. Jika pajanan bertambah dan meluas, dan orang yang menjadi
sakit tetap seperti biasa, atau bahkan meningkat selama beberapa waktu, KLB ini disebut
epidemi yang berkelanjutan atau continuous epidemic.
Jika common source tunggal sulit untuk diidentifikasi, tetapi epidemi atau KLB
penyakit tetap menyebar dari orang ke orang, memperbanyak jumlah yang sakit dan biasanya
membentuk pola pertumbuhan eksponensial/ sangat mencolok, hal ini disebut propagated
epidemic. Pada epidemi tipe ini, kasus terjadi terus menerus, melampaui satu masa inkubasi.
Kurva epidemi tipe ini biasanya memiliki serangkaian puncak yang berurutan, yang
mencerminkan peningkatan jumlah kasus di setiap generasi jika epidemic tidak dapat
dikendalikan atau dihentikan. Epidemi dapat mereda setelah beberapa generasi. Pada beberapa
penyakit, imunitas alami atau kematian dapat menyebabkan kerentanan menurun. Resistensi
terhadap penyakit dapat terjadi bersamaan dengan pengobatan atau pemberian semua jenis
imunisasi yang dapat menurunkan kerentanan. Penularan penyakit biasanya terjadi secara
langsung, dari orang ke orang, atau melalui fomiteborne, vehicleborne, maupun melalui vektor.
Sifilis dan penyakit menular seksual (PMS) lainnya merupakan contoh penularan secara
langsung. Hepatitis B dan AIDS/HIV pada pecandu narkoba pengguna jarum suntik bersama
merupakan contoh penularan vehicleborne. Malaria yang disebarkan oleh nyamuk merupakan
contoh penularan melalui vektor.
Beberapa KLB penyakit mungkin memperlihatkan ciri common source maupun
propagated epidemic. Mixed epidemic terjadi jika common source epidemic berlanjut melalui
kontak orang ke orang dan penyakit menyebar seperti KLB propagated. Pada beberapa kasus
sangat sulit untuk menentukan epidemic mana yang muncul pertama kali. Selama pertengahan
tahun 1980-an, yaitu saat permulaan epidemic AIDS di San Fransisco, HIV menyebar dengan
cepat di tempat-tempat pemandian. Akan tetapi, tempat pemandian akan dianggap sebagai
aspek common source dari epidemik, dan penularan dari orang ke orang melalui hubungan
seksual menjadi sumber penularan langsung. Penularan penyakit secara langsung melalui
kontak dari orang ke orang terjadi pada beberapa individu sebelum dan secara langsung melalui
kontak dari orang ke orang terjadi pada beberapa individu sebelum dan sesudah memasuki
43

tempat pemandian. Common source tempat pemandian sudah jelas merupakan suatu titik yang
akan dikenakan tindakan pengendalian dan intervensi kesehatan masyarakat sehingga tempat
pemandian kemudian ditutup untuk memperlambat perkembangan epidemik penyakit ini.

Tabel 4.1
Perbedaan common-source dan Propagated Epidemics

Ciri Common-source Propagated


Onset Cepat, kenaikan insidens tajam Lambat, kenaikan landai
Kurun waktu Selesai dalam satu masa inkubasi, Beberapa masa inkubasi
(berlarut-larut, dapat lebih lama) batas
waktunya tegas
Penurunan Cepat, bila sumber dihilangkan kasus Lambat, penularan menjadi
insidens hilang dalam satu masa inkubasi terbatas karena proporsi
susceptible menjadi lebih kecil
untuk dapat menjamin penularan
lebih lanjut
Periode infektif Berkaitan dengan adanya aktifitas yang Terus menerus berlangsung di
dari agent jangka waktunya pendek masyarakat (misal: pesta)
Masa inkubasi Sebagian besar kasus lebih pendek dari Lebih panjang
rata-ratanya
Dosis dari agent Yang ditularkan banyak Sedikit
Berlangsungnya Penderita sakit dalam waktu yang Penderita sakit berturut-turut
kejadian (hampir) bersamaan (satu kejadian) dengan beda waktu yang jelas
Penanggulangan Penemuan penderita & hilangkan Isolasi penderita aktif & sumber,
bila mungkin imunisasi

B. SEGITIGA EPIDEMIOLOGI MUTAKHIR


Segitiga epidemiologi seperti yang digunakan dalam penyakit menular merupakan dasar
dan landasan untuk semua bidang epidemiologi. Namun, penyakit infeksi tidak lagi menjadi
penyebab utama kematian di negara industri. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu model segitiga
epidemiologi yang lebih mutakhir. Model yang baru ini mencakup semua aspek dalam model
44

penyakit menular, dan agar dapat dipakai bersama penyebab kematian, kondisi, gangguan,
defek, dan kematian saat ini, model tersebut harus dapat mencerminkan penyebab penyakit dan
kondisi saat ini. Dengan demikian, perilaku, faktor-faktor gaya hidup, penyebab di lingkungan,
unsur ekologi, faktor fisik, dan penyakit kronis harus ikut diperhitungkan. Pada gambar
dibawah ini menyajikan model segitiga epidemiologi mutakhir, yang mencerminkan dengan
lebih baik masalah-masalah perilaku, gaya hidup dan penyakit kronis yang ditemukan di zaman
modern ini.

Faktor Penyebab

Waktu

Kelompok atau Lingkungan


populasi dan Perilaku
karakteristiknya Budaya
Faktor fisiologis
Unsur ekologi

Gambar 4.1:
Model Segitiga Epidemiologi Mutakhir

Model mutakhir dari segitiga epidemiologi ini, seperti segitiga epidemiologi tradisional,
tidak menyeluruh dan lengkap. Namun, model mutakhir tersebut memperlihatkan bahwa
kondisi dan status penyakit yang mempengaruhi populasi memang kompleks dan bahwa
penyebab penyakit terdiri dari banyak faktor. Selain itu, model ini juga memperlihatkan bahwa
banyak faktor dan elemen yang berkontribusi dalam kejadian penyakit dan kesakitan di
masyarakat. Konsep agen digantikan dengan faktor penyebab, yang menyiratkan perlunya
dilakukan identifikasi terhadap faktor penyebab atau faktor etiologi penyakit, ketidakmampuan,
cedera, dan kematian.
45

C. SASARAN EPIDEMIOLOGI
Jika sudah memahami kedua segitiga epidemiologi tersebut, kita akan memahami tujuan
epidemiologi dengan lebih jelas. Selain tiga manfaat epidemiologi yang diajukan oleh
Lilienfeld dan Lilienfeld, ada beberapa tujuan epidemiologi yang harus dipertimbangkan dan
dikaji.
Satu lagi tujuan dari epidemiologi adalah mengembangkan landasan dan membuktikan
keefektifan tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit, kondisi,
ketidakmampuan, cedera dan kematian yang mempengaruhi kelompok masyarakat tetapi belum
dikembangkan atau ditemukan. Epidemiologi juga bertujuan mengembangkan hipotesis untuk
memperlihatkan pola penyebaran penyakit berdasarkan karakteristik manusia. Studi yang
didesain khusus digunakan untuk membuktikan atau mementahkan suatu hipotesis. Tujuan
lainnya adalah untuk menguji validitas dan reliabilitas konsep dan asumsi yang menjadi dasar
dibentuknya metode pencegahan dan pengendalian. Selain itu, epidemiologi juga bertujuan
untuk membantu klasifikasi kondisi, kesakitan, dan penyakit ke dalam kelompok-kelompok
yang memiliki karakteristik etiologi, faktor, dan gambaran klinis yang sama.

D. KONSEP KASUS DALAM EPIDEMIOLOGI


Epidemiologi didasarkan pada pengujian, penelitian, dan pengkajian terhadap efek suatu
penyakit, kesakitan, dan cedera di dalam kelompok dan populasi. Akan tetapi, ahli
epidemiologi jangan sampai menutup mata terhadap fakta bahwa masyarakat atau kelompok
memang terdiri atas individu-individu. Status penyakit setiap individu inilah yang membentuk
kasus-kasus penyakit. Setiap kasus atau orang yang berpenyakit menjadi sangat penting dalam
investigasi epidemiologi, karena setiap kasus merupakan satu potongan puzzle yang dibutuhkan
untuk menyusun gambar epidemiologis.
Ada beberapa konsep epidemiologi berkaitan dengan kasus, yang penting untuk
penelitian dan investigasi KLB penyakit. Jika epidemi sudah dipastikan dan investigasi
epidemiologi dimulai, salah satu kegiatan ahli epidemiologi adalah mencari dan mengkaji
setiap kasus penyakit. Kasus adalah seseorang yang terdiagnosis mengalami penyakit. Setiap
individu dalam kelompok masyarakat, yang diidentifikasi mengalami suatu penyakit,
ketidakmampuan, cedera, atau suatu kondisi, juga dinyatakan sebagai kasus. Catatan klinis
individu, seseorang yang teridentifikasi setelah melalui proses skrining, seseorang yang
teridentifikasi melalui survei penduduk, atau data registrasi umum bisa juga menjadi satu kasus
46

epidemiologi. Dengan demikian, defenisi kasus dalam epidemiologi tidak sama dengan defenisi
secara klinis karena ada beragam criteria yang digunakan untuk mengidentifikasi kasus dalam
epidemiologi.
Saat menetapkan terjadinya suatu epidemi, ahli epidemiologi harus mencari kasus
pertama dari penyakit yang masuk dalam kelompok populasi, dan orang itu disebut sebagai
kasus primer. Kasus pertama yang menjadi perhatian dari seorang ahli epidemiologi disebut
kasus indeks. Kasus indeks tidak harus selalu kasus primer, tetapi juga bisa menjadi kasus
primer. Mereka yang terjangkit dan menjadi sakit begitu penyakit menyerang masyarakat dan
mereka yang terjangkit akibat kontrak dengan kasus primer disebut kasus sekunder.
Kasus baru adalah bagian dari insidensi dan diperlakukan demikian. Kasus baru dapat
merupakan kejadian pertama kali atau bias juga merupakan kasus baru untuk penyakit yang
sama. Lihat defenisi dari insidensi dan angka insidensi untuk lebih memahami pentingya kasus
baru dalam angka insidensi.
Kasus sangkaan (suspek) adalah individu atau sekelompok individu yang
memperlihatkan semua tanda dan gejala penyakit atau kondisi walaupun belum terdiagnosis
sebagai orang yang berpenyakit dan juga tidak memiliki penyebab gejala yang dikaitkan
dengan pathogen tertentu. Contoh, KLB kolera bisa jadi sedang berkembang jika seseorang
mengalami muntah-muntah dan diare, gejala yang sesuai dengan kasus kolera. Walaupun
begitu, bakteri kolera belum dapat dinyatakan ada di dalam tubuh seseorang dan penyakit pun
belum dipastikan sebagai kolera karena penyakit tersebut bisa jadi salah satu dari penyakit
gastrointestinal lain seperti keracunan makanan akibat salmonella.
Karena epidemi dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, setiap kasus harus
dideskripsikan dengan cara yang tepat sama setiap kali menstandarisasi investigasi penyakit.
Karena terjadi pada setiap epidemi yang berbeda, setiap kasus harus dideskripsikan dan di
diagnosis secara konsisten dengan menggunakan kritera diagnosis yang sama. Proses itu
disebut defenisi kasus, atau penggunaan sekumpulan kriteria standard untuk menentukan
apakah seseorangyang terpajan penyakit tertentu memiliki penyakit/kondisi tersebut. Saat
criteria standard untuk diagnosis penyakit dipakai oleh semua dokter yang membantu
investigasi wabah, ahli epidemiologi dapat membandingkan jumlah kasus penyakit yang
muncul dalam satu wabah (jumlah kasus baru pada tempat dan waktu tertentu) dengan jumlah
kasus baru yang terjadi dalam wabah penyakit yang sama di tempat lain (jumlah kasus dari
epidemic yang berbeda di waktu dan tempat yang berbeda). Analisis laboratorium
47

terkomputerisasi yang ada saat ini, bahkan di tempat terpencil sekalipun, semakin memperbesar
kemampuan untuk membuat defenisi yang spesifik tentang suatu kasus. Dengan dukungan
komputer canggih yang cepat dan langsung dari Center for Desease Control and Prevention
(CDC), defenisi kasus pada hampir semua penyakit menjadi sangat akurat dan spesifik.
Berbagai tingkatan diagnosis 1). tersangka (probable); 2). yang mungkin (suspek); dan 3). yang
pasti (confirm), umumnya digunakan oleh dokter yang membantu investigasi epidemi. Semakin
banyak informasi (misalnya hasil pemeriksanaan laboratorium) yang tersedia untuk dokter,
maka dokter umumnya akan memperbaharui diagnosisnya. Jika semua kriteria sudah terpenuhi
dan kriteria itu sesuai dengan defenisi kasus, kasus dikelompokkan sebagai kasus yang sudah
dipastikan. Jika defenisi kasus tidak sesuai, orang yang terpajan tidak termasuk kasus dan
kemungkinan penyakit lain harus dipertimbangkan sampai defenisi kasus yang tepat didapat.
Diagnosis yang rumit tidak selalu dibutuhkan pada beberapa epidemik yang gejalanya jelas
dapat dilihat dengan cepat, misalnya cacar dan campak.
Begitu kasus meninggal akibat penyakit atau cedera, jumlah kematian dari penyakit
tertentu atau penyebab lain pada periode tertentu per-100 kejadian penyakit itu yang terjadi
dalam periode yang sama dihitung. Penghitungan itu disebut rasio fatalitas kasus (Case Fatality
Ratio). Disini yang dipakai adalah rasio bukan rate karena beberapa kematian mungkin terjadi
akibat serangan yang dimulai di awal sebelumnya. Jika kasus meninggal, berarti epidemi
berkurang.
Jika seseorang berada dalam kondisi sakit yang membutuhkan perawatan di rumah
sakit, tingkat keparahan penyakit harus diperhatikan. Tingkat keparahan kasus didapatkan
dengan mengkaji beberapa variabel yang merupakan ukuran efektif untuk tingkat keparahan
tersebut. Salah satu contoh ukuran adalah rata-rata lama rawat di rumah sakit atau average
length of stay (ALOS). Semakin lama ALOS semakin parah penyakit yang diderita. Intinya,
keparahan juga diukur berdasarkan kemampuan penyakit menyebabkan ketidakmampuan atau
membatasi gerakan, peluang untuk sembuh, lama seseorang itu sakit, dan banyaknya perawatan
yang dibutuhkan untuk mengurus penderita atau kasus tersebut.
48

SOAL LATIHAN/ KUIS

Nama :
NIM :
Kelas :
Catatan penting:
Tugas dikerjakan sendiri-sendiri, bila hasil pekerjaannya sama, tidak akan mendapatkan
nilai

Jelaskan tentang segitiga epidemiologi dan bandingkan dengan segitiga


epidemiologi mutakhir. Apa persamaan dan perbedaan segitiga tersebut? Jelaskan
masing-masing komponen dan keterkaitan antar komponen dalam segitiga tersebut?
Potong di sini
49

= UPAYA PENCEGAHAN =

A. TINGKAT PENCEGAHAN
Salah satu kegunaan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit adalah untuk
digunakan dalam merumuskan tindakan dan melakukan upaya pencegahan. Artinya, dengan
mengetahui perjalanan penyakit dari waktu ke waktu serta perubahan-perubahan yang terjadi
dalam setiap masa/ fase, dapat diupayakan tindakan pencegahan yang sesuai dan dapat
dilakukan sehingga tidak menjadi lebih berat, bahkan dapat disembuhkan. Upaya pencegahan
yang dapat dilakukan akan sesuai dengan perkembangan patologis penyakit itu dari waktu ke
waktu, sehingga upaya pencegahan itu dibagi atas berbagai tingkat sesuai dengan perjalanan
penyakit.
Dalam mendeskripsikan dan menentukan karakter berbagai tingkat pelayanan perawatan
kesehatan, ada tiga tingkatan yang telah ditentukan. Perawatan primer adalah tingkatan pertama
perawatan dan merupakan tingkatan untuk masuk ke dalam sistem pelayanan kesehatan seperti
kunjungan ke puskesmas, dokter keluarga, ruang gawat darurat, atau klinik. Perawatan
sekunder biasanya diberikan dalam lingkungan rumah sakit, perawatan di panti wreda atau
perawatan biasa yang diberikan oleh home health agency. Perawatan tingkat sekunder juga
meliputi bedah minor atau bedah umum, dan asuhan keperawatan rutin dan tingkat lanjut.
Perawatan tersier adalah perawatan tingkat ketiga dan merupakan tingkatan tertinggi.
Perawatan tingkat ini ditemukan di rumah sakit besar yang canggih yang menggunakan
teknologi paling mutakhir, seperti bedah jantung, bedah otak, dan unit perawatan intensif
khusus, misalnya unit perawatan intensif bayi baru lahir. Dari model klinis yang menggunakan
tiga kelas perawatan medis, ada tiga tahapan pencegahan yang muncul. Tiga tahapan tersebut
adalah : pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier.
Ide dibalik tiga tahapan pencegahan itu adalah pelaksanaan deteksi dan intervensi
terhadap penyebab, faktor risiko dan precursor (pemicu) penyakit. Landasan dari semua
pemikiran epidemiologi adalah pencegahan dan pengendalian penyakit dalam populasi. Bidang
50

epidemiologi lebih berfokus pada pencegahan dan pengendalian penyakit bukan pada teknik
pengobatan sekunder dan tersier yang ada dalam ilmu pengobatan tradisional. Deteksi dan
intervensi terhadap masing-masing maupun keseluruhan penyakit yang menyerang manusia
merupakan salah satu pembahasan utamanya. Pencegahan, walaupun sulit diukur dan
didemonstrasikan secara empiris tidak terlalu menyusahkan baik dalam hal penderitaan
manusia maupun penghematan dana dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk intervensi
krisis dan pengobatan terhadap penyakit dan kondisi setelah kejadian. Upaya yang paling
sedikit hasilnya dan mengeluarkan banyak biaya untuk meningkatkan status kesehatan
penduduk adalah upaya pengobatan penyakit pada saat penyakit itu berada dalam tahap lanjut
dengan terbatasnya harapan untuk dapat pulih seperti sedia kala.
Tujuan dari pencegahan adalah menghalangi perkembangan penyakit dan kesakitan
sebelum sempat berlanjut. Konsep pencegahan meluas, mencakup langkah-langkah untuk
mengganggu atau memperlambat penyakit atau kelainan. Dari perluasan ide inilah tiga tahapan
pencegahan dikembangkan.
Ada empat tingkat utama pencegahan penyakit yang dikenal, yaitu:
1. Pencegahan tingkat awal (primordial prevention)
2. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention)
3. Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)
4. Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention)
Pencegahan tingkat awal dan pertama berhubungan dengan keadaan penyakit yang
masih dalam tahap pre-patogonesis, sedangkan pencegahan tingkat kedua dan ketiga sudah
berada dalam keadaan pathogenesis atau penyakit sudah tampak.
Bentuk-bentuk upaya pencegahan yang dilakukan pada setiap tingkat itu meliputi 5
bentuk upaya pencegahan sebagai berikut:
- Pencegahan tingkat awal, berupa :
I. Pemantapan Status Kesehatan (Underlying condition)
- Pencegahan tingkat pertama (Primary prevention), berupa :
II. Promosi Kesehatan (Health promotion)
III. Pencegahan Khusus
- Pencegahan tingkat kedua (Secondary prevention)
IV. Diagnosis awal dan pengobatan tepat (Early diagnosis and prompt treatment)
V. Pembatasan Kecacatan (Disability limitation)
51

- Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary prevention)


VI. Rehabilitasi (Rehabilitation).
Lebih lanjut pada setiap bentuk upaya pencegahan itu dapat diberikan beberapa contoh.
Contoh-contoh upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada setiap bentuk upaya pencegahan
adalah:
I. Pemantapan status kesehatan (Underlying condition):
a.Pemakaian makanan bergizi rendah lemak jenuh.
b.Pengendalian pelarangan merokok
II. Promosi Kesehatan (Health promotion):
a. Pendidikan kesehatan, penyebaran informasi kesehatan
b. Konsultasi gizi
c. Penyediaan air bersih
d. Pembersihan lingkungan/sanitasi
e. Konsultasi genetic
III. Pencegahan Khusus:
a. Pemberian imunisasi dasar
b. Pemberian vitamin A, tablet penambah zat besi
c. Perlindungan kerja terhadap bahan berbahaya (hazard protection)
IV. Diagnosis Awal dan Pengobatan Tepat:
a. Screening (Penyaringan)
b. Penjejakan kasus (case finding)
c. Pemeriksaan khusus (laboratorium dan tes)
d. Pemberian obat yang rasional dan efektif
V. Pembatasan Kecacatan (Disability limitation):
a. Operasi plastik pada bagian/organ yang cacat
b. Pemasangan pin pada tungkai yang patah
VI. Rehabilitasi:
a. Rehabilitasi fisik: rehabilitasi cacat tubuh dengan pemberian alat bantu/protese
b. Rehabilitasi social : rumah perawatan wanita tua/jompo
c. Rehabilitasi kerja (vocational services): rehabilitasi masalah ke tempat kerja
sebelumnya, mengaktifkan optimum organ yang cacat.
52

1. Pencegahan Tingkat Awal


Pencegahan tingkat awal (primordial prevention) diperkenalkan oleh WHO sebagai
salah satu bentuk upaya pencegahan yang didapatkan berdasarkan pengalaman epidemiologis
dalam menangani masalah penyakit kardiovaskuler. Ditemukan bahwa terjadinya penyakit
jantung pada masyarakat luas hanya jika terdapat kausal dasar (basic underlying cause) yang
berupa makanan tinggi lemak jenuh. Jika bentuk penyebab dasar ini tidak ada, seperti di China
dan Jepang, penyakit jantung jarang ditemukan, meskipun banyak factor risiko lainnya seperti
merokok dan tekanan darah tinggi.
Pencegahan tingkat awal, diarahkan kepada mempertahankan kondisi dasar atau status
kesehatan masyarakat yang bersifat positif yang dapat mengurangi kemungkinan suatu penyakit
atau faktor risiko dapat berkembang atau memberikan efek patologis. Upaya awal ini
merupakan upaya mempertahankan kondisi kesehatan yang positif yang dapat melindungi
masyarakat dari gangguan kondisi kesehatannya yang sudah baik.
Upaya pencegahan ini diarahkan kepada masyarakat sesuai dengan kondisi atau masalah
masyarakat masing-masing dan biasanya dibagi menurut kelompok target tertentu. Gambaran
arah pencegahan sesuai dengan targetnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.1
Tingkat Pencegahan dan Kelompok Targetnya Menurut Fase Penyakit

Tingkat Pencegahan Fase Penyakit Kelompok Target


Primordial Kondisi normal kesehatan Populasi total dan kelompok
terpilih
Primary Keterpaparan factor penyebab Populasi total dan kelompok
khusus terpilih dan individu sehat
Secondary Fase pathogenesis awal Pasien
Tertiary Fase Lanjut penyakit (pengobatan Pasien
dan rehabilitasi)
53

Tabel 5.2
Hubungan Kedudukan Riwayat Perjalanan Penyakit,
Tingkatan Pencegahan dan Upaya Pencegahan

Riwayat Penyakit Tingkatan Pencegahan Upaya Pencegahan


Pre-patogenesis Primordial Prevention Underlying Condition
Primary Prevention Health Promotion
Specific Protection
Patogenesis Secondary Prevention Early Diagnosis and Prompt Treatment
Disability Limitation
Tertiary Prevention Rehabilitation

2. Pencegahan Tingkat Pertama (primary prevention)


Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) dilakukan dengan 2 cara: (1)
menjauhkan agen untuk dapat kontak atau memapar pejamu, dan (2) menurunkan kepekaan
pejamu (host susceptibility). Intervensi ini dilakukan sebelum perubahan patologis terjadi (fase
prepatogenesis). Jika suatu penyakit lolos dari pencegahan primordial, maka giliran pencegahan
tingkat pertama ini digalakkan terhadapnya. Kalau lolos dari upaya maka penyakit itu akan
segera dapat timbul yang secara epidemiologi tercipta sebagai suatu penyakit yang endemis
atau yang lebih berbahaya kalau timbul dalam bentuk KLB.
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan kejadian suatu
penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Promosi kesehatan, pendidikan kesehatan, dan
perlindungan kesehatan adalah tiga aspek utama di dalam pencegahan primer. Perubahan gaya
hidup; penyuluhan kesehatan masyarakat; skrining kesehatan; pendidikan kesehatan di sekolah;
kegiatan kesehatan; perawatan prenatal yang baik; pilihan prilaku hidup yang baik, gizi yang
cukup; kondisi keamanan; dan kesehatan di rumah, sekolah atau tempat kerja, semuanya
termasuk dalam aktivitas pencegahan primer. Langkah-langkah dan kegiatan pokok di dalam
kesehatan masyarakat seperti sanitasi; pengendalian infeksi; imunisasi; perlindungan makanan,
susu, dan sumber air; pengamanan lingkungan, dan perlindungan terhadap bahaya dan
kecelakaan kerja merupakan kegiatan dasar di dalam pencegahan primer. Hygiene perorangan
dan langkah-langkah kesehatan masyarakat memiliki dampak yang besar terhadap epidemic
penyakit menular. Imunisasi, pengendalian infeksi (misalnya cuci tangan), penyimpanan
54

makanan dalam lemari pendingin, pengumpulan sampah, pengelolaan limbah padat dan cair,
perlakuan dan perlindungan persediaan air, dan sanitasi umum telah menurunkan ancaman
penyakit infeksius di masyarakat. Dengan demikian, penyebab kematian utama penyakit di
negara-negara industri bukan lagi penyakit menular. Penyakit kronis, gaya hidup, dan perilaku
manusia saat ini merupakan faktor kontribusi utama penyebab kematian di Amerika Serikat dan
negara industri lain. Faktor utama yang berkontribusi dalam penyebab kematian antara lain
konsumsi rokok dan tembakau, penyalahgunaan alcohol dan zat lain, kecelakaan, diet, kurang
olahraga, masalah kesehatan mental dan emosi, serta masalah kesehatan lingkungan. Langkah-
langkah pencegahan di tingkat dasar saat ini harus dioerientasikan pada pengaturan perilaku
dan gaya hidup. Aktifitas dasar kesehatan masyarakat seperti promosi dan pencegahan tidak
boleh diabaikan, dilalaikan, atau dikurangi. Jika kegiatan tersebut tidak dipertahankan pada
tingkat yang tinggi, penyakit menular dapat kembali menjadi penyebab utama penderitaan,
penyakit dan kematian. Dengan tetap memelihara kegiatan masyarakat, upaya di tingkat
pencegahan primer harus difokuskan pada perubahan perilaku individu dan perlindungan
lingkungan. Dengan demikian, di masa mendatang, focus terhadap pengobatan dan perawatan
kesehatan yang diberikan dokter akan berkurang dan harus digantikan dengan upaya
pencegahan primer termasuk dukungan ekonomi yang cukup untuk kegiatan dan program
pencegahan.

3. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)


Dilakukan dalam fase patologis dengan cara mengetahui perubahan klinik atau
fisiologis yang terjadi dalam awal penyakit (early symptom) atau semasa masih dalam
presymptomatic, masa sangat awal kelainan klinik. Pencegahan ini ditujukan untuk mendeteksi
penyakit sedini mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian
pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat progresifitas
penyakit, mencegah komplikasi, dan membatasi kemungkinan kecacatan.
Bentuk utama pencegahan tingkat kedua adalah penyaringan (screening). Dengan
skrening diharapkan dapat dideteksi indicator fisiologi awal (early physiological indicator)
yang ada sebelum orang menunjukkan keluhannya. Contoh skrening adalah hapusan Pap (Pap
55

smear) untuk kanker serviks, tes pendengaran untuk kerusakan ketulian, skin test untuk
phenylketonuria, (PKU) untuk retardasi mental bayi.
Pencegahan sekunder lebih ditujukan pada kegiatan skrining kesehatan dan deteksi
untuk menemukan status patogenik setiap individu di dalam populasi. (Patogenik adalah status
atau keadaan yang diakibatkan oleh penyakit, kata patolologis yang berarti disebabkan oleh
penyakit, juga umum digunakan). Jika status patogenik ditemukan lebih dini, diagnosis dan
pengobatan dini yang dilakukan dapat mencegah kondisi untuk berkembang, menyebar didalam
populasi, dan dapat menghentikan atau paling tidak memperlambat perkembangan penyakit,
ketidakmampuan, gangguan, atau kematian. Pencegahan sekunder bertujuan untuk
menghentikan perkembangan penyakit atau cedera menuju suatu perkembangan kea rah
kerusakan atau ketidakmampuan.
Salah satu area promosi kesehatan yang menarik bagi masyarakat dan efektif untuk
pencegahan adalah program skrining kesehatan, yang sering ditemukan pada acara-acara
kesehatan. Program semacam itu baik jika dilaksanakan dalam cara-cara kesehatan atau sebagai
satu program khusus di dalam perusahaan atau di kompleks perumahan lansia, dan tujuannya
tetap sama –deteksi dini, perujukan, dan pengobatan segera baik untuk menyembuhkan maupun
menghentikan penyakit di tahap perkembangan yang sedini mungkin. Pada akhirnya, deteksi
dini dapat memperlambat perkembangan penyakit, mencegah komplikasi, membatasi
ketidakmampuan, dan menghentikan atau mengurangi daya tular penyakit infeksius. Intervensi
dini dan pengobatan penyakit pada satu kasus tunggal dapat mencegah kelompok atau populasi
terkena penyakit menular. Intervensi dini dan pengobatan penyakit pada satu kasus tunggal
dapat mencegah kelompok atau populasi terkena penyakit menular. Intervensi semacam ini
berperan sebagai langkah-langkah pencegahan primer bagi orang yang tidak terpajan dan
pencegahan sekunder untuk mereka yang sudah tertular. Selain itu, pencegahan sekunder dapat
mempertahankan perilaku sehat dan mengubah gaya hidup yang tidak sehat melalui pendidikan
kesehatan dan program perubahan perilaku seperti berhenti merokok, penurunan berat badan,
penurunan stress, konseling kesehatan, atau perujukan dini ke dalam program perawatan
kecanduan obat-obatan.
56

4. Pencegahan Tingkat Ketiga (Rehabilitasi)

Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi


perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap
lanjut yang membutuhkan perawatan intensif. Pencegahan tersier juga mencakup pembatasan
terhadap segala ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi saat penyakit, cedera, atau
ketidakmampuan sudah terjadi dan menimbulkan kerusakan. Pada tahapan ini, sasarannya
adalah membantu mereka yang menderita penyakit dan mengalami cedera atau
ketidakmampuan untuk menghindari penggunaan sia-sia layanan kesehatan dan agar tidak
menjadi tergantung pada praktisi kesehatan dan institusi perawatan kesehatan. Diagnosis dan
pengobatan segera yang diikuti dengan rehabilitasi yang tepat dan pemulihan pasca pengobatan,
sekaligus pendidikan pasien yang sesuai, perubahan perilaku, dan perubahan gaya hidup,
semuanya diperlukan agar penyakit atau ketidakmampuan tidak terjadi lagi. Setidak-tidaknya,
perkembangan penyakit, gangguan, atau cedera harus diperlambat dan dikaji.
Rehabilitasi adalah setiap upaya yang dilakukan untuk memulihkan seseorang yang
sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif, mengikuti gaya hidup yang
memuaskan, dan untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin, sesuai tingkatan
penyakit dan ketidakmampuannya. Rehabilitasi adalah salah satu komponen dalam pencegahan
tersier. Pendidikan pasien setelah perawatan sekaligus konseling kesehatan dan beberapa aspek
promosi kesehatan juga dapat menjadi komponen yang penting dari pencegahan tersier.
Upaya rehabilitasi ditujukan untuk membatasi kecacatan sehingga tidak menjadi tambah
cacat, dan melakukan rehabilitasi dari mereka yang punya cacat, dan melakukan rehabilitasi
dari mereka yang punya cacat atau kelainan akibat penyakit. Pada keadaan ini kerusakan
patologis sudah bersifat irreversible, tidak bisa diperbaiki lagi. Karena itu, upaya-upaya
rehabilitasi yang dapat dilakukan misalnya, terapi latihan untuk mempertahankan kondisi otot,
pergerakan, mencegah kontraktur bagi penderita paralise akibat stroke.

B. KEMUNGKINAN PENCEGAHAN
Kemungkinan suatu penyakit dapat dicegah sehingga tidak mampu mengganggu
kesehatan masyarakat besarnya sangatlah terbatas. Besarnya kemungkinan ini antara lain
tergantung kepada alamiah penyakit yang ingin dicegah, disamping kedalaman pengetahuan
57

dan kemajuan teknologi kedokteran pada umumnya. Terdapat penyakit yang relatif dapat dan
mudah dicegah dan sebaliknya ada penyakit yang sulit bahkan tidak dapat dicegah.
Gambaran besarnya kemungkinan pencegahan diuraikan oleh Dever.

Tabel 5.3
Besarnya Tingkat Kemungkinan Pencegahan Berbagai Penyakit

Sepenuhnya Tidak diketahui


===================================>
dapat dicegah sulit dicegah
Smallpox, Kanker paru, Kelainan Pembunuhan Tumor otak,
Measless, polio asbesitosis, congenital bunuh diri, rheumatoid
karies gigi penyakit kanker leher arthritis, trauma/
kardiovaskuler, rahim kecelakaan
stroke

Pengetahuan tentang besarnya kemungkinan pencegahan penyakit akan sangat


bermanfaat dalam menentukan pilihan prioritas penyakit yang akan diberantas. Penyakit yang
sepenuhnya dicegah, misalnya polio, mendapat prioritas utama untuk diberantas untuk
memperbaiki status kesehatan masyarakat. Walaupun semua penyakit adalah masalah
kesehatan yang penting, pilihan memang selalu harus dilakukan. Penyakit yang lebih mudah
dicegah, mudah dilakukan. Penyakit yang lebih mudah dicegah, mudah menular dan mengenai
banyak populasi tentu akan didahulukan. Disamping itu, pendekatan atau strategi pencegahan
itu bisa dalam bentuk pendekatan populasi (population strategy) dan pendekatan individual
berdasarkan kelompok risiko tinggi. Pendekatan populasi melakukan penekanan pencegahan
penyakit berdasarkan banyaknya penduduk yang terpapar. Sedangkan pendekatan risiko tinggi
menekankan pentingnya pencegahan berdasarkan kelompok yang beresiko tinggi. Antara kedua
pendekatan ini, secara umum masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Variasi
pilihan akan banyak ditentukan oleh keadaan masing-masing penyakit.
58

Tabel 5.4
Kebaikan dan Kekurangan Strategi Pencegahan Populasi dan Risiko

Population strategy High-risk individual strategy


Kelebihan
a. Radikal a. Cocok untuk individu
b. Potensi besar untuk seluruh populasi b. Motivasi subjek
c. Layak diterima tingkah laku c. Motivasi dokter
d. Lebih baik rasio benefit-risiko ratio
Kekurangan
a. Benefit kecil untuk individu a. Sulit identifikasi risiko tinggi
b. Motivasi subjek rendah b. Efek sementara
c. Motivasi dokter rendah c. Efek terbatas
d. Benefit-risiko mungkin rendah d. Dari segi behaviour kurang layak

C. BENTUK PROGRAM PENCEGAHAN


Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, berbagai bentuk upaya
pencegahan telah diprogramkan dan dilakukan. Beberapa contoh yang dapat diajukan disini
adalah:
- Program Imunisasi Dasar (Universal Child Immunization-UCI)
- Program Pemberantasan Penyakit Menular melalui Binatang
- Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS)
- Program Eradikasi Polio
- Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah
- Pemberian Konseling AIDS
- Pemeriksaan Screening AIDS
- Penyuluhan Kesehatan Lingkungan
Setiap bentuk upaya ini memerlukan identifikasi masalah, perencanaan, kegiatan dan
evaluasi dimana penekanannya diarahkan kepada pencegahan terjadinya penyakit. Pencegahan
secara terbatas disini biasanya dimaksudkan sebagai upaya-upaya preventif tingkat pertama.
Salah satu landasan penekanan penting dan utamanya upaya pencegahan ini mengingat aspek
biaya (cost benefit), yang dalam peribahasa umum dinyatakan dengan “lebih baik, mudah dan
murah untuk mencegah dari pada mengobati”. Biaya pengobatan memang cukup tinggi dan
sulit terjangkau. Tidak ada istilah kaya bagi penyakit.
59

SOAL LATIHAN/ KUIS

Nama :
NIM :
Kelas :
Catatan penting:
Tugas dikerjakan sendiri-sendiri, bila hasil pekerjaannya sama, tidak akan mendapatkan
nilai

Dengan menggunakan tiga tahapan pencegahan, bagaimana cara anda


menerapkannya pada wanita usia 45 tahun yang memiliki faktor risiko berikut:
mempunyai kebiasaan merokok sejak berumur 25 tahun, pecandu alcohol, suka
makan junkfood yang berkadar lemak tinggi, tidak berolahraga karena harus bekerja
12 jam sehari sebagai sekretaris pada perusahaan asing dengan tingkat stress kerja
yang tinggi, dan sekarang ini tengah menjalani terapi fisik untuk pemulihan dari
serangan stroke yang menyerang salah satu sisi tubuh dan wicaranya
Potong di sini
60

= PENYARINGAN (SCREENING) =

A. PENGERTIAN PENYARINGAN
Penyaringan (screening) merupakan suatu upaya untuk menyeleksi orang-orang yang
tampak sehat, tidak menderita terhadap suatu penyakit tertentu, dari suatu populasi tertentu.
Penyaringan ini merupakan suatu usaha untuk mendeteksi penderita penyakit tertentu yang
tanpa gejala (tidak tampak) dalam suatu masyarakat atau suatu kelompok tertentu dengan
melakukan suatu tes/pemeriksaan yang secara singkat dan sederhana dapat memisahkan mereka
yang sehat terhadao mereka yang kemungkinan besar menderita. Mereka yang dianggap positif
selanjutnya diproses melalui diagnosis selengkapnya dan akan mendapat pengobatan yang
sesuai.
Untuk suatu penyaringan diperlukan suatu alat uji saring, biasanya berupa suatu alat uji
laboratorium yang mempunyai validitas yang tinggi. Validitas disini meliputi sensitivitas dan
spesifitas yang tinggi sehingga mereka yang dinyatakan positif adalah mereka yang benar-benar
sakit (sensitifitas tinggi). Dilain pihak mereka yang dinyatakan negatif oleh uji periksa memang
benar-benar tidak sakit (spesivitas tinggi). Penyaringan skrening adalah upaya terorganisasi
pada masyarakat yang tampaknya sehat untuk mendeteksi kelainan ataupun faktor risiko yang
tidak disadari keberadaannya.

B. TUJUAN PENYARINGAN
Adapun tujuan dilakukannya penyaringan adalah:
1 Untuk mendapatkan mereka yang menderita sedini mungkin sehingga dapat dengan
segera memperoleh pengobatan.
2 Untuk mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.
3 Untuk mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan dini sedini mungkin.
4. Untuk mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang sifat
penyakit dan untuk selalu waspada melakukan pengamatan terhadap gejala dini.
61

5. Untuk mendapatkan keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinisi dan peneliti.
Sebagai contoh, suatu penyakit bisa meluas melalui transfusi darah. Secara teoritis
berbagai kuman penyakit dapat ikut serta berpindah dalam proses transfusi darah itu adalah:
1). Virus: Hepatitis B, C, dan D, Human Immunodefeciency Virus (HIV/AIDS), Human T cell
Leukemia Virus-1 (HTLV-1), Cyrtomegalovirus (CMV), Epstein Barr Virus (EBV), Herpes
Virus.
2). Bakteri: treponema pallidum, mycobacterium leprae, salmonella pyphosa, brucella abortus,
borrelia burgdoferi, rickettsia rickettsii.
3). Parasit: plasmodium vivax, malariae, falcifarum, ovale; try-panasoma cruzi, African
trypanomiasis, microfilariae, toxoplamsa gondii, babesia microti, leishmania donovani.

C. PERLUNYA PENYARINGAN
Kemungkinan penularan penyakit lewat darah dimungkinkan oleh berbagai faktor yang
terjadi dalam proses transfusi darah. Faktor-faktor itulah yang mendorong perlunya
penyaringan, antara lain:
1). Darah merupakan media yang sangat baik untuk kehidupan kuman.
2). Tidak dapat dipercaya bahwa seorang donor yang sehat fisik tidak mengandung kuman
penyakit menular. Berbagai kuman bias berada dalam darah namun tidak menyebabkan
orang donor nyata sakit.
3). Seorang penerima darah (recipient) tidak hanya terpapar oleh satu donor tetapi
umumnya lebih dari satu donor. Rasio pemakaian darah sekitar 3 unit per orang, artinya
untuk satu penderita rata-rata menerima 3 unit atau tida orang donor. Makin berat
penyakit seorang resepien tentu akan semakin banyak darah yang dibutuhkannya.

D. PELAKSANAAN UJI SARING


Berbagai bentuk pelaksanaan penyaringan yang dapat dilakukan adalah:
1). Dapat dilakukan secara massal pada suatu penduduk tertentu. Cara ini tentu
merupakan beban yang cukup berat baik dari segi operasional di lapangan maupun
untuk biayanya.
2). Dilakukan secara selektif maupun random terutama mereka dengan risiko yang lebih
besar. Misalnya pemeriksaan HIV yang hanya dilakukan pada golongan waria dan
pekerja seks yang dianggap mempunyai risiko tinggi HIV.
62

3). Dilakukan untuk suatu penyakit atau serentak untuk lebih dari satu penyakit.
Cara mana yang dipilih akan tergantung kepada berbagai macam faktor, termasuk jenis

penyakitnya sendiri.

E. KRITERIA PENYARINGAN

Tidak semua penyakit dapat dilakukan penyaringan. Suatu penyakit perlu mendapat

tindakan penyaringan jika:

1). Penyakit itu harus merupakan masalah kesehatan yang berarti.

2). Telah tersedia obat yang potensial atau pengobatan yang memungkinkan bagi mereka yang

positif.

3). Tersedia fasilitas dan biaya untuk diagnosis dan pengobatan.

4). Penyakitnya dapat diketahui dengan pemeriksaan/tes khusus.

5). Hasil perhitungan uji saring memenuhi syarat untuk tingkat sensitivitas dan spesifitas.

6). Sifat perjalanan penyakit diketahui dengan pasti. Misalnya untuk bidang transfuse darah

maka perlu diketahui bahwa penyakit itu memang menular melalui transfusi darah. HIV,

misalnya mempunyai risiko penularan sebesar lebih 90 persen. Bandingkan dengan

penularan seksual yang besarnya hanya sekitar 0,1 persen.

7). Diperlukan standard yang disepakati tentang mereka yang menderita.

8). Biaya yang digunakan harus seimbang dengan risiko biaya bila tanpa skrining.

9). Harus dimungkinkan untuk diadakan follow-up dan kemungkinan pencarian penderita

secara berkesinambungan.

Syarat-syarat ini merupakan syarat-syarat umum yang tampaknya tidak mudah untuk

memenuhinya atau menerapkannya pada semua kondisi atau penyakit. Untuk perihal uji saring

terhadap AIDS misalnya maka tampak syarat-syarat tersebut tidak bisa terpenuhi semuanya.
63

Tabel 5.5
Kriteria Pelaksanaan Penyaringan

Aspek Penyaringan Kriteria Penyaringan


Penyakit Serius
Prevalensi tinggi pada fase pre-klinik
Riwayat alamiah diketahui
Periode panjang antara gejala pertama dengan onset penyakit
Tes diagnostic Sensitif dan spesifik
Sederhana dan murah
Aman dan dapat diterima (acceptable)
Nyata (reliable)
Diagnosis dan pengobatan Tersedia fasilitas yang memadai
Efektif, diterima dan aman
Tersedia pengobatan
Sumber: Beaglehole, WHO 1993 dana Bustan, 2006

F. BENTUK PENYARINGAN
Dikenal dua jenis penyaringan, dapat bersifat seri dan parallel. Penyaringan seri berupa
dua penyaringan dimana mereka dinyatakan positif bila memberikan hasil positif pada
pemeriksaan pertama dan pemeriksaan kedua yang dilakukan menyusul. Bentuk inilah misalnya
yang diterapkan pada uji saring HIV. Sedangkan penyaringan parallel yakni dua penyaringan
dilakukan bersamaan dimana hasil tes penyaringan biasa dinyatakan positif berdasarkan hasil
positif pada salah satu tes. Masing-masing bentuk penyaringan ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan, tergantung pada tujuan penyaringan, jenis penyakit dan ketersediaan biaya dan
fasilitas.

G. KESIMPULAN
Secara keseluruhan, fungsi pokok epidemiologi adalah untuk memastikan bahwa
didalam suatu populasi, terdapat kelompok yang memiliki angka penyakit, ketidakmampuan,
cedera, atau bahkan angka kematian yang tinggi dan kelompok dengan angka kematian yang
rendah. Ahli epidemiologi mengajukan pertanyaan yang akan membantu menemukan apa yang
dilakukan oleh kelompok orang sehat, yang tidak dilakukan kelompok yang sakit, atau hal
64

berbeda apa yang dilakukan oleh populasi yang sakit dengan yang dilakukan oleh populasi yang
sehat. Hal itu dilakukan agar penyebab penyakit dapat dipastikan. Keefektifan metode
epidemiologi modern bergantung pada hubungan penyakit kronis dengan gaya hidup dan
perilaku kelompok yang berbeda. Dengan melakukan hal itu, epidemiologi dapat menguraikan
begitu banyak penyebab penyakit sehingga program pencegahan dan pengendalian dapat
dikembangkan.
Selain berfokus pada metode pengendalian dan pencegahan untuk mengkaji penyebab
dan penyebaran penyakit, epidemiologi juga terbukti efektif, tidak hanya di area perilaku dan
gaya hidup, tetapi juga berguna pada tahap awal pemahaman terhadap penyakit yang tidak
terkendali. Kegiatan pencegahan termasuk pengacauan pola penyebab penyakit. Walaupun
belum semua aspek penyakit dapat diketahui dan dipahami, epidemiologi dapat membantu
menetapkan apakah penyebab penyakit hanya satu atau banyak. Epidemiologi telah menjadi
penyumbang yang kuat didalam bidang kedokteran pencegahan dan dalam menurunkan angka
kesakitan dan kematian. Dengan biaya perawatan kesehatan yang meningkat, epidemiologi
memiliki peran yang pasti di dalam kegiatan pengendalian dan pencegahan bukan saja penyakit
menular, tetapi juga penyakit kronis sekaligus penyakit dan kondisi yang berkaitan dengan gaya
hidup dan perilaku.
65

= RANCANGAN PENELITIAN =

A. PENDAHULUAN

Pada dasarnya semua jenis penelitian dilakukan karena adanya masalah. Demikian pula
dengan penelitian epidemiologis, tetapi karena jumlah masalah epidemiologi sangat banyak dan
tidak semua masalah memerlukan penelitian, masalah-masalah tersebut harus diidentifikasi
untuk menetukan masalah-masalah yang perlu dan dapat dilakukan penelitian.

Setelah mengidentifikasi dan menentukan masalah yang akan diteliti, masalah tersebut
dirumuskan dengan jelas kemudian ditentukan tujuan penelitian secara jelas. Sebelum tujuan
dapat dirumuskan dengan jelas, sebaiknya tidak melakukan kegiatan tahap selanjutnya karena
tujuan ini akan menetukan latar belakang masalah dan metodologi yang akan digunakan,
menentukan criteria subyek studi, populasi studi, sampel, variabel yang dicari, jadwal kegiatan
dan lain-lain.

B. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH

Secara garis besar, masalah adanya ketidakpuasan terhadap apa yang ada atau adanya
kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan yang ada. Masalah yang akan
diteliti harus diidentifikasi karena masalah epidemiologi sangat banyak dan tidak semua
masalah perlu dan dapat diteliti. Untuk menentukan suatu masalah penelitian terdapat tiga
ketentuan berikut :
1. Terdapat kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang ada.
2. Adanya pertanyaan mengapa kesenjangan tersebut terjadi.
3. Minimal terdapat dua alternatif jawaban yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan
penelitian.
Walaupun pada umumnya tidak sulit untuk menemukan masalah penelitian, tetapi tidak
jarang kita mengalami kesulitan untuk menentukan masalah yang perlu dan dapat diteliti.
66

Setelah masalah penelitian dapat diidentifikasi, masalah tersebut harus dirumuskan berdasarkan
ketentuan berikut :
1. Masalah yang telah diidentifikasi sampai saat ini masih merupakan masalah.
2. Intensitas masalah/besarnya masalah.
3. Luasnya masalah.
Disamping itu, masalah tersebut masih harus dijustifikasi untuk meyakinkan
penyandang dana bahwa masalah yang akan diteliti masih merupakan masalah dan bila tidak
diselesaikan akan mengakibatkan kerugian yang besar.

C. TUJUAN DAN HIPOTESIS


Setelah identifikasi dan perumusan masalah, tindakan selanjutnya adalah menetukan
tujuan dengan kalimat yang singkat dan jelas yang meliputi apa yang dituju, waktu penelitian,
lokasi penelitian, sasaran dan lain-lain. Dalam menuliskan tujuan sering dinyatakan sebagai
tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum merupakan harapan peneliti yang ingin dicapai,
tetapi hendaknya ditulis secara realistis, sedangkan tujuan khusus merupakan janji peneliti
untuk melaksanakan hal-hal yang berkaitan langsung dengan masalah penelitian.
Hipotesis penelitian hanya dibutuhkan pada penelitian analitis dan eksperimen yang
dimaksudkan untuk membandingkan dan mengungkap sebab-akibat. Hipótesis merupakan
pernyataan sementara yang harus diuji. Dalam hal ini harus ditentukan dengan jelas variabel-
variabel independen dan variabel dependen untuk diukur hasilnya.

D. POPULASI STUDI DAN SUBYEK STUDI


Populasi studi dan subyek studi perlu ditentukan dengan jelas untuk mengetahui
terhadap siapa dan dimana keberhasilan atau kegagalan hasil penelitian. Subyek perlu dirinci
ciri-cirinya untuk menentukan kondisi awal penelitian dan menentukan rancangan penelitian
serta metode yang digunakan.

E. MACAM RANCANGAN PENELITIAN


Dalam praktek, banyak metode penelitian epidemiologi yang dapat digunakan. Secara
garis besar, penelitian epidemiologi dapat dibagi berdasarkan tujuan, proses pendekatan, dan
keterlibatan peneliti dalam intervensi.
Masalah bidang epidemiologi sangat beraneka ragam karena itu metode penelitian yang
dapat digunakan juga beraneka ragam. Berdasarkan hal ini, metode penelitian epidemiologis
67

dapat dibagi berdasarkan berbagai sudut pandang, antara lain berdasarkan tujuan, pendekatan
dan keterlibatan peneliti.
1. Pembagian Berdasarkan Tujuan
Secara garis besar, penelitian epidemiologis berdasarkan tujuan adalah sebagai berikut:
1.1 Penelitian eksploratif, bertujuan mengadakan penelusuran mendalam untuk menggali
berbagai faktor yang mungkin berkaitan dengan timbulnya penyakit. Hasil penelitian ini
berupa hipotesis yang digunakan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.
1.2 Penelitian deskriptif, bertujuan menguraikan ciri-ciri subyek studi dalam populasi untuk
mencari prevalensi suatu penyakit. Oleh karena itu, penelitian ini disebut juga penelitian
prevalensi. Hasil penelitian ini berupa hipotesis spesifik yang perlu diuji dengan penelitian
analitis.
1.3 Penelitian analitis bertujuan menguji hipotesis spesifik untuk menentukan adanya
hubungan sebab akibat antara variabel independen dengan variabel dependen.
1.4 Penelitian eksperimental, bertujuan menentukan adanya hubungan sebab akibat timbulnya
suatu penyakit atau mencari efektifitas dan efesiensi obat atau prosedur pengobatan.
2. Pembagian Berdasarkan ”Pendekatan” (Approach)
Penelitian epidemiologis yang dilakukan berdasarkan pendekatan dapat dibagi menjadi
cross sectional dan longitudinal.
2.1 Cross sectional
Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan cross sectional merupakan pengamatan
yang dilakukan dalam satu saat atau satu periode tertentu dengan ciri setiap subyek studi hanya
diamati atau diperiksa satu kali dalam suatu penelitian. Penelitian ini dilakukan tanpa mengikuti
proses perjalanan penyakit hingga seolah-olah merupakan suatu penampang melintang.
Penelitian ini disebut juga penelitian prevalensi walaupun dalam hal-hal tertentu dapat
digunakan untuk penelitian analitis.
2.2 Longitudinal
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti proses perjalanan penyakit alamiah yang
dapat dilakukan ke depan yang disebut penelitian prospektif atau kohort dan mengikuti
perjalanan penyakit ke belakang yang disebut retropestif atau kasus-kontrol atau ”trohok” yang
merupakan kebalikan dari kohort. Penelitian prospektif dapat berupa penelitian atau
eksperimental.
68

3. Pembagian Berdasarkan Keterlibatan Peneliti


Pada umumnya, metode penelitian yang dilakukan berdasarkan keterlibatan peneliti
adalah penelitian observasional dan penelitian intervensional.
3.1 Penelitian Observasional
Suatu penelitian dikatakan observasional bila peneliti tidak terlibat secara aktif dalam
melakukan intervensi dan hanya secara pasif mengadakan pengamatan terhadap perjalanan
penyakit. Yang termasuk penelitian observasional adalah penelitian eksploratif, deskriptif dan
analitis.
3.2 Penelitian Intervensional
Penelitian intervensional ialah penelitian yang penelitinya terlibat secara aktif dan
terencana serta mengendalikan intervensi yang dilakukan untuk mengubah perjalanan penyakit
alamiah dengan maksud memperkuat adanya hubungan sebab akibat antara variable
independent dan variable dependen.
Penelitian ini dapat dilakukan dilapangan (field trial) atau di rumah sakit (clinical trial).
Pembagian penelitian diatas tidak mutlak dan dalam praktik sering digunakan bersama.
Penelitian eksploratif retrospektif dilakukan pada penyakit yang belum pernah ada sebelumnya
sehingga tidak dapat dibuat hipotesis spesifik dan pengetahuan tentang perjalanan penyakit juga
tidak diketahui sehingga tidak mungkin dilakukan penelitian analitis.
Rancangan Penelitian Intervensional
Selain berbagai metode penelitian yang telah diuraikan diatas, penelitian intervensional
dapat pula dibagi menjadi dua kelompok yaitu :
3.2.1 Penelitian non-eksperimental dan
3.2.2 Penelitian eksperimental.
Rancangan penelitian ini banyak digunakan pada penelitian operasional (operations
research) dalam bidang program pelayanan kesehatan dan keluarga berencana.
69

= VARIABEL EPIDEMIOLOGI =

A. PENGERTIAN
Variabel-variabel epidemiologi adalah cirri-ciri atau faktor risiko yang terdapat pada
kelompok penduduk pada suatu waktu dan tempat tertentu serta agent yang menyebabkan
terjadinya penyakit. Penggunaan variabel epidemiologi untuk menganalisis pola distribusi
penyakit dalam masyarakat. Disini akan dijelaskan variabel epidemiologi pada model Time-
Place-Person.
Analisis data epidemiologis berdasarkan variabel diatas digunakan untuk memperoleh
gambaran yang jelas tentang morbiditas dan mortalitas yang dihadapi. Dengan demikian,
memudahkan untuk mengadakan penanggulangan, pencegahan atau pengamatan.
Untuk menentukan adanya peningkatan atau penurunan insidensi atau prevalensi
penyakit yang timbul, harus diperhatikan kebenaran perubahan tersebut. Perubahan yang terjadi
dapat disebabkan perubahan semu sebagai akibat perubahan dalam teknologi diagnostik,
perubahan klasifikasi, atau kesalahan dalam perhitungan jumlah penduduk.
Sebagai contoh, dilaporkan adanya kecenderungan penurunan prevalensi karsinoma
hepatis dinegara-negara maju dalam beberapa dasawarsa terakhir, tetapi setelah dilakukan
penelitian secara seksama ternyata perubahan tersebut disebabkan kemajuan teknologi untuk
mendeteksi penyakit kanker hepatis hingga ditemukan karsinoma primernya yang berarti
laporan sebelumnya termasuk juga karsinoma sekunder sebagai metastase. Laporan insidensi
dan prevalensi karsinoma hepatis yang dilakukan berdasarkan karsinoma primernya tampaknya
seolah-olah terjadi penurunan insidensi.
Bila hal in tidak diperhatikan, kesimpulan yang ditarik akan bias. Kini akan dibahas
ketiga variabel tersebut satu demi satu dan akan diawali dengan variabel ”orang” karena
”orang” merupakan variabel yang terpenting di antara ketiga variabel tersebut.
70

B. PERSON (VARIABEL ORANG)


Untuk mengindentifikasi seseorang terdapat variabel yang tak terhingga banyaknya,
tetapi hendaknya dipilih variabel yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan
ciri seseorang. Untuk menetukan variabel mana yang dapat digunakan sebagai indikator,
hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan serta sarana yang ada. Secara
umum, variabel penting yang akan dibahas adalah umur, jenis kelamin, dan suku bangsa.
a. Variabel Umur
Variabel umur merupakan hal yang penting karena semua rate morbiditas dan rate
mortalitas yang dilaporkan hampir selalu berkaitan dengan umur.
1) Hubungan Umur dengan Mortalitas
Walaupun secara umum kematian dapat terjadi pada setiap golongan umur, tetapi dari
berbagai catatan diketahui bahwa frekuensi kematian pada setiap golongan umur berbeda-
beda, yaitu kematian tertinggi pada golongan umur 0-5 tahun dan kematian terendah terletak
pada golongan umur 15-25 tahun dan akan meningkat lagi pada umur 40 tahun ke atas. Dari
gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa secara umum kematian akan meningkat dengan
meningkatnya umur. Hal ini disebabkan berbagai faktor yaitu pengalaman terpapar oleh faktor
penyebab penyakit, faktor pekerjaan, kebiasaan hidup atau terjadinya perubahan dalam
kekebalan.
2) Hubungan Umur dengan Morbiditas
Kita ketahui bahwa pada hakekatnya suatu penyakit dapat menyerang setiap orang pada
semua golongan umur, tetapi ada penyakit-penyakit tertentu yang lebih banyak menyerang
golongan umur tertentu. Penyakit-penyakit kronis mempunyai kecenderungan meningkat
dengan bertambahnya umur, sedangkan penyakit-penyakit akut tidak mempunyai suatu
kecenderungan yang jelas.
Anak berumur 1-5 tahun lebih banyak terkena infeksi saluran pernapasan bagian atas
(ISPA). Ini disebabkan perlindungan kekebalan yang diperoleh dari ibu yang melahirkannya
hanya sampai pada 6 bulan pertama setelah dilahirkan, sedangkan setelah itu kekebalan
menghilang dan ISPA mulai menunjukkan peningkatan. Sebelum ditemukan vaksin, imunisasi
penyakit-penyakit seperti morbili, varisela, dan parotitis, banyak terjadi pada anak-anak
berumur muda, tetapi setelah program imunisasi dijalankan, umur penderita bergeser ke umur
yang lebih tua. Walaupun program imunisasi telah lama dijalankan di Indonesia, tetapi karena
sering kali target cakupan imunisasi tidak tercapai yang berarti masih banyak anak atau bayi
71

yang tidak mendapatkan imunisasi. Gambaran ini tidak hanya terjadi pada negara-negara
berkembang seperti Indonesia, tetapi terjadi juga pada negara maju.
Penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan karsinoma lebih
banyak menyerang orang dewasa dan lanjut usia, sedangkan penyakit kelamin, AIDS,
kecelakaan lalu lintas, penyalahgunaan obat terlarang banyak terjadi pada golongan umur
produktif yaitu remaja dan dewasa.
Hubungan antara umur dan penyakit tidak hanya pada frekuensinya saja, tetapi pada
tingkat beratnya penyakit, misalnya staphilococcus dan escheria coli akan menjadi lebih berat
bila menyerang bayi daripada golongan umur lain karena bayi masih sangat rentan terhadap
infeksi.
3) Hubungan Tingkat Perkembangan Manusia dengan Morbiditas
Dalam perkembangan secara alamiah, manusia mulai dari sejak dilahirkan hingga akhir
hayatnya senantiasa mengalami perubahan baik fisik maupun psikis. Secara garis besar,
perkembangan manusia secara alamiah dapat dibagi menjadi beberapa fase bayi dan anak-
anak, fase remaja dan dewasa muda, fase dewasa dan lanjut usia.
Dalam setiap fase perkembangan tersebut, manusia mengalami perubahan dalam pola
distribusi dan frekuensi morbiditas dan mortalitas yang disebabkan terjadinya perubahan
dalam kebiasaan hidup, kekebalan dan faal.
b. Variabel jenis kelamin
1) Hubungan Penyakit dengan Jenis Kelamin
Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup, genetika
atau kondisi fisiologis. Penyakit-penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan daripada
laki-laki antara lain :
1. tireotoksikosis
2. diabetes melitus
3. obesitas
4. kolesistitis, dan
5. rematoid artritis
Selain itu, terdapat pula penyakit yang hanya menyerang perempuan yaitu penyakit
yang berkaitan dengan organ tubuh perempuan seperti karsinoma uterus, karsinoma mamae,
72

karsinoma serviks, kista ovarii, dan adneksitis. Penyakit-penyakit yang lebih banyak
menyerang laki-laki daripada perempuan antara lain : penyakit jantung koroner, infark
miokard, karsinoma paru-paru, dan hernia inguinalis. Selain itu, terdapat pula penyakit yang
hanya menyerang laki-laki seperti karsinoma penis, orsitis, hipertrofi prostat dan karsinoma
prostat.
c. Suku Bangsa
Walaupun klasifikasi penyakit berdasarkan suku bangsa sulit dilakukan baik secara
praktis maupun secara konseptula, tetapi karena terdapat perbedaa yang besar dalam frekuensi
dan beratnya penyakit diantara suku bangsa maka dibuat klasifikasi walaupun terjadi
kontroversi.
Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku bangsa berkaitan dengan
faktor genetik atau faktor lingkungan, misalnya:
1. penyakit sickle cell anemia,
2. hemofilia,
3. kelainan biokimia seperti glucosa 6 fosfatase, dan
4. karsinoma lambung.
Disamping ketiga faktor yang telah diuraikan diatas terdapat pula faktor-faktor lain yang
berkaitan dengan variabel “orang” yaitu:
1. social ekonomi,
2. budaya/agama,
3. pekerjaan,
4. status marital
5. golongan darah,
6. infeksi alamiah, dan
7. kepribadian.
d. Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi frekuensi distribusi
penyakit tertentu, misalnya TBC, infeksi akut gastrointestinal, ISPA, anemia, malnutrisi, dan
penyakit parasit yang banyak terdapat pada penduduk golongan sosial ekonomi rendah.
Penyakit jantung koroner, hipertensi, obesitas, kadar kolesterol tinggi dan infark miokard yang
banyak terdapat pada penduduk golongan sosial ekonomi yang tinggi.
73

e. Budaya/ Agama
Dalam beberapa hal terdapat hubungan antara kebudayaan masyarakat atau agama
dengan frekuensi penyakit tertentu, misalnya :
1. Balanitis, karsinoma penis banyak terdapat pada orang yang tidak melakukan sirkumsisi
disertai dengan higiene perorangan yang jelek;
2. Trisinensis jarang terdapat pada orang Islam dan orang Yahudi karena mereka tidak
memakan daging babi.
3. Kebiasaan makan makanan yang berlemak dan pedas orang padang meningkatkan risiko
untuk menderita gastritis.
f. Pekerjaan
Berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit. Hal
ini disebabkan sebagian hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan dengan berbagai suasana
dan lingkungan yang berbeda. Misalnya, pekerjaan yang berhubungan dengan bahan fisika,
panas, bising, dan kimia seperti pekerja pabrik asbes yang banyak menderita karsinoma paru-
paru dan gastrointestinal serta mesotelioma, sedangkan fibrosis paru-paru banyak terdapat
pada pekerja yang terpapar oleh silikon bebas, atau zat radioaktif seperti petugas dibagian
radiologi dan kedokteran nuklir.
g. Status Marital
Adanya hubungan antara status marital dengan frekuensi distribusi morbiditas telah
lama diketahui, tetapi penyebab pastinya belum diketahui. Ada yang berpendapat bahwa
hubungan status marital dengan morbiditas dikatikan dengan faktor psikis, emosional dan
hormonal atau berkaitan dengan kehidupan seksual, kehamilan, melahirkan dan laktasi. Secara
umum ditemukan bahwa insidensi karsinoma mammae lebih banyak ditemukan pada
perempuan yang tidak menikah dibandingkan dengan perempuan yang menikah, sebaliknya
karsinoma serviks lebih banyak ditemukan pada perempuan yang menikah daripada yang
tidak menikah atau menikah pada usia yang sangat muda atau sering berganti pasangan.
Kehamilan dan persalinan merupakan faktor resiko terjadinya eklamsia dan praeklamsia yang
dapat menyebabkan kematian ibu. Angka kematian ibu di Indonesia masih cukup tinggi
dibandingkan dengan negara lain.
74

h. Golongan Darah ABO


Golongan darah juga dapat mempengaruhi insidensi suatu penyakit, misalnya orang-
orang dengan golongan darah A meningkatkan risiko terserang karsinoma lambung,
sedangkan golongan darah O lebih banyak terkena ulkus duodeni.

C. VARIABEL WAKTU (TIME)


Variabel waktu merupakan faktor kedua yang harus diperhatikan ketika melakukan
analisis morbiditas dalam studi epidemiologi karena pencatatan dan laporan insidensi dan
prevalensi penyakit selalu didasarkan pada waktu, apakah mingguan, bulanan atau tahunan.
Laporan morbiditas ini menjadi sangat penting artinya dalam epidemiologi karena
didasarkan pada kejadian yang nyata dan bukan berdasarkan perkiraan atau estimasi. Selain itu,
dengan pencatatan dan laporan mobiditas dapat diketahui adanya perubahan-perubahan
insidensi dan prevalensi penyakit hingga hasilnya dapat digunakan untuk menyusun
perencanaan dan penanggulangan masalah kesehatan.
Mempelajari morbiditas berdasarkan waktu juga penting untuk mengetahui hubungan
antara waktu dan insidensi penyakit atau fenomena lain, misalnya penyebaran penyakit saluran
pernafasan yang terjadi pada waktu malam hari karena terjadinya perubahan kelembaban udara
atau kecelakaan lalu lintas yang sebagian besar terjadi pada waktu malam hari.
Bila suatu penyakit diamati berdasarkan saat terjadinya (jam, tanggal, bulan atau tahun),
maka data yang terkumpul dapat dikelompokkan atau dibandingkan menurut kurun waktu
kejadiannya. Hasil pengamatan umumnya menunjukkan adanya variasi kejadian penyakit
dalam dimensi waktu.
Pengetahuan tentang penyakit berdasarkan variabel waktu berguna untuk:
1. Meramalkan puncak kejadian penyakit/ insidens.
2. Merencanakan upaya penanggulangannya.
3. Melakukan evaluasi dampak penanggulangan yang sudah dikerjakan dengan
membandingkan tinggi puncak insidens sebelum dan sesudah penanggulangan.
Berdasarkan pola variasinya maka dikenal:
a. Variasi jangka pendek:
1). Sporadis
Kejadian ini relatif berlangsung singkat, umumnya berlangsung di beberapa tempat,
dan pada waktu pengamatan masing-masing kejadian tidak saling berhubungan, misalnya
dalam proses penyebarannya. Contoh: penyebaran penyakit DHF.
75

2). Endemis
Penyakit menular yang terus menerus terjadi di suatu tempat atau prevalensi suatu
penyakit yang biasanya terdapat di suatu tempat.
3). Pandemis
Penyakit yang berjangkit/menjalar ke beberapa Negara atau seluruh benua. Misalnya:
Flu (1914), Kholera (1940), AIDS (1980), SARS (2003).
4). Epidemis
Kenaikan kejadian suatu penyakit yang berlangsung cepat dan dalam jumlah yang
secara bermakna melebihi jumlah insidens yang diperkirakan. Jenis epidemi yang dikenal:
a). Common source (exposure) epidemics, karena adanya satu sumber penularan.
(1) Point – source (exposure)
(2) Continous common-source (exposure)
Penyebab: biologis (Agent penyakit menular), non biologis (pencemaran
lingkungan karena zat kimia, dan lain-lain). Exposure yang berlangsung dalam waktu
pendek pada sekelompok penduduk akan terlihat adanya sejumlah penderita dalam
suatu kurun waktu sepanjang range dari masa inkubasi penyakit yang bersangkutan
(range merupakan selisih waktu antara masa inkubasi terpanjang dan terpendek).
Kenaikan insidens tersebut dengan cepat mencapai satu puncak dalam waktu yang
singkat, tetapi segera diikuti dengan penurunan insidens. Apabila penurunan
common-source (exposure) berlangsung terus menerus (continous) maka puncak
insidens berlangsung untuk waktu yang lebih lama sebelum diikuti penurunan
insidens.
b). Propagated (progressive) epidemics, karena adanya banyak sumber penularan akibat
person to person transmission.
Apabila penularan wabah berlangsung secara person to person diantara kelompok
penduduk yang susceptible maka wabah baru berhenti setelah jumlah susceptible sangat
berkurang sehingga kelangsungan penularan menjadi bertambah sulit.
Kecepatan penularan dalam mencapai puncak insidens dan lamanya wabah
berlangsung tergantung:
(1). Jumlah kasus pada awal wabah.
(2). Panjangnya masa inkubasi dan efektivitas penyebab penyakit.
(3). Proporsi susceptible dalam kelompok penduduk pada permulaan wabah.
76

(4). Kesempatan kontak secara person to person (kepadatan penduduk).


Pada penyakit yang menular melalui vektor, maka juga dipengaruhi oleh :
(1). Keadaan yang mempengaruhi kepadatan vektor.
(2). Lamanya masa inkubasi ekstrinsik.
Perjalanan wabah propagated menurut waktu terlihat adanya beberapa puncak
insidens yang makin rendah karena rangkaian penularan pada kelompok susceptible
yang satu akan menimbulkan rangkaian penularan pada kelompok lain dengan
susceptible yang semakin kecil.
b. Variasi berkala
1). Musiman
Sifat musiman yang ada pada insidens beberapa penyakit umumnya disebabkan oleh
faktor-faktor penularan (faktor risiko) yang berubah-ubah menurut musim, misalnya kepadatan
vector, perubahan perilaku penduduk (buruh musiman). Sifat musiman ini berlangsung setiap
tahun. Contoh: malaria (variasi kepadatan vector) meningokokus (variasi perilaku, lebih banyak
kontak person to person).
Apabila faktor risiko dapat dikurangi misalnya melalui program pemberantasan vector,
maka inseidens pada musim berikutnya tidak akan setinggi puncak pada musim yang lalu.
2). Siklis
Perubahan berkala yang terjadi dengan interval lebih panjang dari satu tahun. Perubahan
jumlah insidens ini banyak dipengaruhi oleh faktor risiko, berupa perubahan imunitas
kelompok karena bertambahnya kelompok penduduk yang susceptible karena kelahiran.
Tergantung jenis penyakit, ada perubahan berkala yang berlangsung setiap 2 - 3 tahun, ada
yang lebih panjang intervalnya. Apabila imunitas kelompok penduduk dapat ditingkatkan,
misalnya dengan mengurangi jumlah susceptible melalui program imunisasi maka akan terlihat
penurunan insidens dan perubahan berkala yang terjadi berlangsung dengan interval yang
panjang.
3). Secular trend
Kecenderungan yang terlihat pada insidens atau prevalens suatu penyakit akibat
perubahan yang terjadi dalam waktu yang lama (satu atau beberapa dasawarsa). Perubahan ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko berupa jumlah susceptible ataupun exposure (baik
kuantitas maupun kualitas). Kelompok faktor tersebut biasanya bersifat biologis, misalnya:
77

a). Perubahan imunitas kelompok karena adanya mig rasi dalam jumlah besar, program
imunisasi, gizi lebih baik.
b). Pengobatan lebih baik.
c). Perubahan kebiasaan yang mengakibatkan perubahan exposure.
d). Perubahan exposure karena perubahan lingkungan (pencemaran lingkungan, perbaikan
lingkungan), atau yang bersifat non biologis, misalnya perbaikan UU, pelayanan kesehatan
yang lebih baik, peningkatan surveilans.

D. VARIABEL TEMPAT (PLACE)


Variabel tempat/ lokasi dimana terjadinya penyakit merupakan hal yang sangat penting
dengan memperbandingkan kejadian suatu penyakit tertentu dari berbagai lokasi, daerah dapat
memberikan atau membantu dalam menentukan faktor penyebab penyakit atau sumber
penularan. Tempat adalah suatu konsep geografis yang melukiskan suatu daerah dibatasi garis
lintang dengan garis bujur timur dengan ketinggian dari muka laut. Tempat dapat juga dibatasi
neos geopolitics (administrasi pemerintahan), Negara, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
desa dan dusun.
Tempat dapat juga dibatasi hanya kepada kompleks, asrama, tempat kerja, sekolah, dll.
Diluar itu juga dapat dibedakan atas rural dan urban antara daerah pantai dengan daerah
pegunungan, tingkat sosial-ekonomi, sehingga ada penyakit-penyakit yang sering terdapat pada
daerah-daerah tertentu saja (dengan kasus tinggi). Sebagai contoh:
a. Yellow fever: Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Afrika.
b. TBC: pada daerah penduduk padat dengan social ekonomi rendah.
c. Campak: lebih tinggi di daerah rural.
d. Cholera : daerah penduduk padat dengan lingkungan jelek.
e. Asbestosis: pada pekerja pabrik asbes.
78

= PENELITIAN EPIDEMIOLOGI =

A. PERANAN PENELITIAN EPIDEMIOLOGI

Penelitian epidemiologi bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor epidemiologis


yang berkaitan dengan distribusi penyakit/ masalah kesehatan dalam masyarakat yang hasilnya
dipergunakan membuat perencanaan intervensi atau upaya pencegahan yang sesuai.
Beberapa karakteristik umum penelitian epidemiologi ini adalah:
1. Ditujukan pada suatu populasi/ komuniti tertentu
2. Umumnya bersifat observasional
3. Berusaha mencari hubungan kausa-efek
Salah satu tugas utama epidemiologi adalah untuk menentukan factor kausa. Penelitian
epidemiologis semacam inilah yang mengemban tugas ini. Dalam suatu penelitian
epidemiologis, suatu hubungan disebut bersifat kausal jika memenuhi beberapa criteria. Sir
Austin Bradford Hill (1965) mengajukan 9 (Sembilan) criteria hubungan kausal sebagai
berikut:
1. Kekuatan asosiasi, hubungan antara factor harus kuat, hal ini dapat dilihat dari risiko relatif
yang besar
2. Konsistensi, hubungan dapat dikonfirmasikan bersifat konsisten (kejadian berulang pada
pengamatan orang lain) pada keadaan, populasi dan waktu yang berbeda. Hal ini bias dilihat
dari hasil yang sama atau serupa dari berbagai penelitian terhadap suatu isu
3. Spesifik, satu penyebab tertentu menyebabkan penyakit tersendiri
4. Runut (temporality), faktor penyebab hendaknya mendahului akibat
5. Efek dosis respon, makin besar pajanan terhadap kausa diikuti peningkatan kejadian
penyakit
79

6. Biologic plausibility, sesuai dengan pengetahuan biologi pada waktu itu


7. Coherence, bukti yang tersedia tentang riwayat alamiah, biologi, epidemiologi penyakit
harus koheren (bertalian) satu dengan yang lain
8. Terbukti (hasil eksperimen), bukti yang ada harus dapat dibuktikan dengan percobaan baik
percobaan pada hewan percobaan, klinik maupun lapangan.
9. Analogi, hubungan sebab dan akibat sudah terbukti untuk penyebab/ penyakit serupa

B. JENIS PENELITIAN EPIDEMIOLOGI


Beberapa jenis penelitian epidemiologi yang utama sebagai berikut:
1. Penelitian cross sectional (potong-melintang)
2. Penelitian case control study (penelitian kasus-kelola)
3. Penelitian kohor (cohort study)
Pembagian lain dapat berupa penelitian deskriptif san eksperimental. Setiap jenis
penelitian diterapkan sesuai masalah yang diteliti, dan mempunyai peranan tersendiri sesuai
masalah yang diteliti. Masing-masing jenis penelitian mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Tabel 9.1
Jenis-Jenis Penelitian Epidemiologi

Jenis Penelitian Nama Lain Unit Penelitian


1. Penelitian observasional - -
a. Penelitian Deskriptif - -
b. Penelitian analitik: - -
o Ekologis - Korelasi - Populasi
o Cross sectional - Prevalensi - Individu
o Kasus control - Case-reference - Individu
o Kohor - Follow-up - Individu
2. Penelitian eksperimental Penelitian intervensi -
a. Randomized controlled trial a. Percobaan klinik a. Pasien
b. Field trials b. Community b. Populasi sehat
c. Community trial intervention study c. Komunitas
80

Tabel 9.2
Kelayakan Penerapan Berbagai Jenis Penelitian Observasional
Menurut Berbagai Keadaan Penyakit

Cross Case
Ekologi Kohor
sectional control
1. Investigasi penyakit yang jarang ++++ - ++++ -
2. Investigasi penyebab langka ++ - - ++++
3. Pengujian efek ganda kausa + ++ - ++++
4. Studi eksposure ganda dan determinan ++ ++ ++++ +++
5. Pengukuran hubungan waktu ++ - + ++++
6. Pengukuran langsung insiden - - + ++++
7. Investigasi masa laten yang panjang - - +++ -
Keterangan: tanda + hingga ++++ menunjukkan tingkat kecocokan
Tanda (-) berarti tidak cocok
Sumber: Beaglehole, WHO, 1993 dalam Bustan, 2003

Tabel 9.3
Kelebihan dan Kekurangan Penelitian Observasional

Ekologi Cross sectional Kasus Kontrol Kohor


1. Probabilitas
- Bias seleksi Tidak cocok Sedang Tinggi Rendah
- Bias recall Tidak cocok Tinggi Tinggi Rendah
- Loss to follow- Tidak cocok Tidak cocok Rendah Tinggi
up
- Confounding Tidak Tinggi Sedang Sedang Rendah
2. Waktu Rendah Sedang Sedang Tinggi
dibutuhkan
3. Biaya Rendah Sedang Sedang Tinggi
Sumber: Beaglehole, WHO, 1993 dalam Bustan, 2003

C. PENELITIAN CROSS SECTIONAL (POTONG MELINTANG)


Sesuai namanya penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengamatan sepintas,
gambaran sesaat dari situasi yang diamati. Penelitian ini melakukan potongan melintang situasi
dalam populasi penelitian sehingga yang ditemukan hanyalah keadaan pada saat itu. Dengan
demikian penelitian cross sectional dipakai untuk menguraikan distribusi dan frekuensi
karakteristik kesehatan dalam masyarakat dan asosiasi karakteristik itu dengan variable lainnya.
Dari sini dapat diperoleh informasi yang dapat menjadi petunjuk lanjut tentang penyebab suatu
masalah kesehatan.
81

Penelitian ini biasa juga disebut penelitian prevalensi. Biasanya dilakukan dalam bentuk
yang dikenal dengan nama survey (survey) dan penelitian korelasi (ecological study =
penelitian ekologi).
Penelitian ini mempunyai kelebihan dan kelemahan, masing-masing sebagai berikut:
a. Kelebihan
1. Cepat, dapat dilakukan dengan hanya sekali pengamatan atau interview
2. Murah, bahkan dapat termurah dibandingkan dengan penelitian lainnya
3. Berguna untuk informasi bagi perencanaan misalnya untuk menentukan lokasi rumah
sakit, penganggaran obat dan peralatan medis, dan jenis-jenis pelayanan yang
diperlukan
4. Untuk mengamati kemungkinan hubungan berbagai variabel yang ada
b. Kelemahan
1. Tidak dapat memberikan gambaran hubungan kausal. Hanya memberikan informasi
tentang hubungan antara karakteristik epidemiologis dengan masalah kesehatan yang
diamati
2. Umumnya hanya menemukan kasus yang selamat. Tidak dapat menemukan mereka
yang mati karena penyakit yang diteliti
3. Sulit dilakukan terhadap penyakit atau masalah yang jarang dalam masyarakat
4. Sulit dipakai untuk penyakit yang akut, pendek masa inkubasi dan masa sakitnya. Point
prevalence kemungkinan tidak dapat menemukan kasus kalau kejadian penyakit telah
berlangsung

D. PENELITIAN KASUS KONTROL


Disebut juga penelitian retrospektif, case history study, case referent studi karena
penjajakan hubungan kausal yang dilakukan (arah pengusutan) dimulai dengan pendefinisian
individu-individu sebagai kasus atau kontrol, kemudian “menoleh ke belakang” untuk
mengamati riwayat karakteristik atau paparan yang diduga mengakibatkan terjadinya penyakit.
Studi kasus control merupakan studi observasional yang menilai hubungan paparan penyakit
dengan cara menentukan sekelompok orang-orang yang sakit (disebut kasus) dan sekolompok
orang-orang yang tidak sakit (disebut kontrol), lalu membandingkan frekuensi paparan (atau
jika diukur kuantitatif, level paparan) pada kedua kelompok. Jika terlihat perbedaan frekuensi
atau level paparan antara kasus dan kontrol, maka dapat ditarik kesimpulan terdapat asosiasi
82

antara penyakit dan paparan dan dapat ditafsirkan temuan itu konsisten dengan hipotesis yang
menyatakan hubungan kausatif.
Timing pengumpulan data memang menuju ke dapan (prospektif), namun studi kasus
kontrol disebut sebagai studi retrospektif sebab arah pengamatan mundur ke belakang dari
penyakit (variabel hasil/ outcome) menuju paparan (faktor risiko) yang dihipotesiskan sebagai
kausa.
Penelitian ini menghasilkan perhitungan hubungan antara faktor keterpaparan dengan
kasus-kontrol yang disebut dengan odds ratio yang mempunyai nilai nol (netral) sebesar satu.
Bentangan nilai odds ratio (OR) adalah antara nol sampai tak terhingga. Jika nilainya kurang
dari satu maka faktor keterpaparan (faktor risiko) disebut protektif, jika nilai OR lebih besar
dari satu maka faktor keterpaparan disebut sebagai faktor risiko.
Gambar berikut akan menyajikan skema desain studi kasus kontrol.

Populasi Sumber

Sampling

Kasus Kontrol
(berpenyakit) (tidak berpenyakit)

Terpapar Tidak Terpapar Terpapar Tidak Terpapar

Gambar 9.1:
Desain studi kasus kontrol

Kelemahan dan kekuatan studi kasus kontrol adalah sebagai berikut:


a. Kekuatan
1. Kasus biasanya tersedia dan mudah didapatkan. Karena itu jenis penelitian ini cocok
untuk penyakit yang jarang atau untuk mempelajari perihal klinik.
2. Dapat dilakukan dengan cepat dan murah dan dapat dilakukan di tempat fasilitas klinik.
3. Hasil penelitian sudah menunjang ke arah dukungan hipotesis kausal dengan
menegakkan adanya asosiasi.
4. Data historis biasanya tersedia pada catatan medik pasien sehingga memungkinkan
memakai data sekunder.
83

5. Jumlah subyek lebih kecil dibanding kebutuhan sampel untuk penelitian cross-sectional
dan kohor.
b. Kelemahan
1. Peka terhadap recall bias, karena informasi mengenai peristiwa-peristiwa yang lalu
tergantung kepada memori (daya ingat) subyek.
2. Data yang diperoleh, secara sekunder, dari rumah sakit sering tidak lengkap atau tidak
dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan.
3. Kriteria diagnosis yang dipakai berbeda antar petugas kesehatan sehingga terjadi
perbedaan dalam hasil diagnosis kasus maupun kontrol.
4. Kasus yang diperoleh adalah kasus yang selamat (selective survivor) karena tidak bisa
menemukan kasus yang telah meninggal. Dengan demikian kasus yang diperoleh
mungkin tidak representatif.
5. Kasus yang diperoleh di rumah sakit mungkin tidak representatif dari populasi sakit
(selection bias).
Contoh penelitian kasus-kontrol:
Penelitian mengenai Baldness and Heart Attack dimana dihopotesiskan bahwa pola
kebotakan pria berhubungan dengan serangan infark miokard. Dilakukan suatu hospital-based
penelitian kasus kontrol yang melibatkan pria usia 55 tahun ke bawah. Kasusnya adalah pria
yang masuk rumah sakit karena serangan pertama infark miokard dan kontrol adalah pria yang
masuk rumah sakit yang sama karena penyakit jantung yang lain. Dengan menghitung odds
ratio setelah adjusting dengan umur ditemukan bahwa OR kebotakan frontal dibanding dengan
kepala normal adalah 0,9 (95% CI 0,6-1,3), sedangkan kebotakan belakang kepala mempunyai
OR = 1,4 (95% CI 1,2-1,9). Risiko serangan jantung meningkat sesuai dengan beratnya
kebotakan belakang kepala dimana kebotakan belakang kepala berat mencapai OR = 3,4 (95%
CI 1,7-7,0).

E. PENELITIAN KOHOR
Studi Kohor adalah desain studi observasional yang mempelajari hubungan antara
paparan dan penyakit, dengan memilih dua (atau lebih) kelompok-kelompok studi berdasarkan
perbedaan status paparan, kemudian mengikuti sepanjang suatu periode waktu untuk melihat
berapa banyak kesudahan tertentu lainnya. Pada awal penelitian, semua subyek bebas dari
84

penyakit yang diteliti. Jika terdapat subyek yang berpenyakit pada awal penelitian, maka ia
harus di eksklusi dari penelitian.

Populasi

Kasus Non kasus

Terpapar Tidak terpapar


(E +) (E -)_

Follow-up Follow-up

Terpapar, Terpapar, Tidak Tak Terpapar, Tak Terpapar, Tidak


Berpenyakit Berpenyakit Berpenyakit Berpenyakit
(E+ D+) (E+ D+) (E- D+) (E- D-)

Gambar 9.2
Skema Studi Kohor

Gambar diatas menyajikan skema studi kohor. Perhatikan bahwa perbandingan


kelompok-kelompok terpapar dan tak terpapar merupakan “hallmark” studi kohor (pembaca
mungkin lebih mudah mengingatnya sebagai “trademark”).
Pengamatan kohor dapat dilakukan secara kontinyu atau intermiten. Periode waktu
follow-up umumnya beberapa tahun atau bahwa dasawarsa (seperti studi Doll, Hill, dan Peto),
untuk memberi waktu yang cukup kepada sebagian besar penyakit (terutama kanker) untuk
memanifestasikan diri secara klinis (masa laten). Tetapi waktu follow-up bisa juga dalam
beberapa hari, minggu, atau bulan (masa inkubasi), misalnya studi kohor yang meneliti
hubungan infeksi rubella selama kehamilan dan malformasi congenital bayi, atau mengamati
akibat langsung paparan menahun gas beracun di antara pekerja pompa bensin.
Studi kohor menyandang banyak nama. Karena mengikuti kelompok penelitian
sepanjang waktu, maka ia disebut juga studi follow-up atau studi longitudinal. Karena selama
periode follow-up peneliti melakukan re-eksaminasi atau surveilans tentang kejadian baru
85

penyakit, maka studi kohor disebut juga studi insidensi. Karena dimulai dengan status paparan
subyek lalu diikuti maju ke depan untuk melihat status penyakit, maka studi kohor juga disebut
studi prospektif, atau studi panel.

Jenis Studi Kohor


Berdasarkan timing kronologis antara kejadian fenomena sesungguhnya dan waktu
penelitian, studi kohor dibagi menjadi dua jenis: (1) Studi Kohor prospektif (studi kohor
“concurrent”); dan (2) studi kohor historis (studi kohor retrospektif, studi prospektif “non-
concurrent).
Pada studi kohor prospektif, status paparan diukur pada awal penelitian dan kohor
diikuti untuk melihat kejadian penyakit di masa akan datang. Kejadian penyakit atau kesudahan
lainnya ditentukan melalui wawancara dengan anggota kohor, anggota keluarganya, atau
memeriksa catatan medik.
Pada studi kohor historis, paparan dan penyakit sudah terjadi di masa lampau sebelum
dimulainya penelitian, sehingga variable-variabel tersebut diukur melalui catatan historis.
Gambar dibawah menyajikan studi kohor prospektif dan studi kohor historis.

Masa Lalu Sekarang Masa Mendatang

Kejadian fenomena penyakit (D) Kejadian fenomena penyakit (D)

Studi kohor Retrospektif Studi kohor prospektif

Mulai penelitian

Gambar 9.3
Studi Kohor Prospektif dan Retrospektif

Berdasarkan tujuannya, studi kohor dapat dibagi dua jenis: (1) riset etiologi; (2) riset
prognosis. Sebagai riset etiologi, studi kohor meneliti faktor-faktor risiko dan etiologi penyakit
atau kesudahan tertentu lainnya. Pada awal penelitian (dus sebelum terpapar faktor penelitian)
semua kelompok-kelompok yang dibandingkan harus dipastikan bebas dari penyakit yang
diteliti.
86

Kelebihan utama penelitian ini adalah metodenya yang memungkinkan mengamati


bagaimana suatu faktor keterpaparan berlangsung hingga memungkinkan terjadinya efek
(penyakit). Hasilnya memberikan nilai perhitungan assosiasi yang disebut Relative Risk (risiko
relatif) yang mempunyai nilai netral sebesar 1. Arti risiko relatif (RR) adalah tidak ada
hubungan jika nilaiya 1, sama halnya dengan nilai nol untuk Odds ratio dari suatu penelitian
kasus kontrol.
a. Kekuatan studi kohor
1. Studi kohor merupakan desain yang terbaik dalam menentukan insidensi dan perjalanan
penyakit atau efek yang diteliti.
2. Dapat dipakai untuk mengetahui ada tidaknya asosiasi antara faktor risiko dan penyakit.
3. Memberikan keterangan yang lengkap mengenai faktor risiko yang dialami oleh
individu dan riwayat alamiah perjalanan penyakit.
4. Dapat sangat mereduksi bias informasi. Tidak akan terjadi masalah recall atau memori.
5. Masalah etika lebih sedikit dibandingkan dengan studi eksperimental.
6. Dapat dipakai langsung untuk mengukur incidence rate dari penyakit dan risiko relatif
dari faktor risiko yang sedang diteliti.
7. Informasi mengenai studi mudah dimengerti oleh orang yang bukan ahli epidemiologi.
8. Karena pengamatan dilakukan secara kontinu dan longitudinal, maka studi kohor
memiliki kekuatan yang andal untuk meneliti berbagai masalah kesehatan yang semakin
meningkat.
b. Kelemahan studi kohor:
1. Memerlukan ukuran sampel yang besar, terutama untuk jenis penyakit yang sedikit
dijumpai di masyarakat. Hendaklah dihindari dengan memilih kasus yang sering terjadi,
atau penyakit yang tidak komplek.
2. Memerlukan waktu follow-up yang cukup lama. Untuk itu perlu dipilih penyakit-
penyakit yang mempunyai masa inkubasi singkat.
3. Biaya yang diperlukan selama studi cukup besar dan mahal.
4. Follow-up kadang-kadang sulit dilaksanakan dan loss of follow-up dapat mempengaruhi
hasil penelitian.
5. Studi kohor seringkali rumit. Untuk menghindarinya pilihlah populasi yang stabil, dan
tidak berpindah-pindah tempat.
6. Kurang efesien segi waktu maupun biaya untuk meneliti kasus yang jarang terjadi.
87

7. Terancam terjadinya drop out atau terjadinya perubahan intensitas paparan atau faktor
risiko akan dapat mengganggu analisis.
8. Dapat menimbulkan masalah etika oleh karena peneliti membiarkan subyek terkena
paparan yang dicurigai atau dianggap dapat merugikan subjek. Hendaknya memilih
faktor risiko atau eksposure yang tidak berbahaya.
Contoh penelitian kohor:
Penelitian mengenai pengaruh distribusi lemak tubuh dan risiko kematian pada wanita.
Untuk mengukur distribusi lemak dipakai ukuran BMI (body mass index) dan waist/hip
circumference ratio (WH ratio). Dilakukan pengamatan berlanjut selama 5 tahun terhadap
41.837 wanita di Iowa usia 55-69 tahun. Ditemukan 154 yang mati dalam masa observasi
follow-up 5 tahun. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan J-shaped antara BMI dengan
kematian, dimana yang sering sedikit tinggi kematiannya lalu kembali mendatar pada mereka
yang normal berat badannya, kemudian meningkat pada BMI tinggi. Sedangkan hasil WH rasio
menunjukkan hubungan positif linear kuat dengan kematian. Peningkatan 0,15 unit WH rasio
memberikan peningkatan risiko sebesar 60% kematian. Dengan demikian disimpulkan bahwa
WH rasio merupakan pengukuran yang lebih tepat untuk prediksi kematian, dan kaum ibu
dianjurkan untuk mengontrol berat badannya dengan mengukur WH rasionya.
88

= UKURAN-UKURAN EPIDEMIOLOGI =

A. PENGUKURAN DAN HAL-HAL YANG DIPERTIMBANGKAN


Dalam pengukuran (measurement), terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu:
1. Ketepatan pengukuran (precision of Measurement)
Meskipun pengukuran pada subyek yang luas berpotensi terjadinya variasi acak, cara-cara
pengukuran yang tepat diharapkan dapat mengurangi risiko ketidaktepatan hasil pengukuran. Contoh,
pengukuran tekanan darah dengan menggunakan sphignomanometer air raksa. Hasil pengukuran
umumnya berbeda jika dilakukan berulang terhadap subyek yang sama jika cara pengukuran tidak
standar (sambil duduk, berbaring atau berdiri). Oleh karena itu harus ditetapkan metode standar yang
reliable untuk menjamin agar hasil pengukuran valid.
2. Pentingnya suatu pengukuran
Pengukuran suatu outcome berupa kematian bukanlah hal yang dianjurkan oleh karena prinsip
dari ilmu kedokteran adalah mencegah terjadinya kematian akibat penyakit. Dengan demikian tentu
diperlukan outcome antara seperti misalnya tekanan darah, kadar gula darah, kadar Hb dan lain-lain.
3. Isu Etika (Ethical Issues)
Tidak semua pengukuran dapat dibenarkan secara etika, disamping pertimbangan keselamatan
dan risiko, pertimbangan biaya juga tidak dapat diabaikan.
4. Sensitivitas
Cara pengukuran harus cukup sensitive untuk mengukur suatu outcome. Contoh, mengukur
fungsi paru pada penderita saluran pernapasan bagian bawah akibat formaldehid, pengukuran fungsi
paru dapat dilakukan secara obyektif juga relative murah dan ketepatannya dapat dijamin, yang menjadi
masalah adalah setelah eksposure formaldehid tidak segera terjadi outcome.

B. POPULATION AT RISK
Dalam epidemiologi, bagian dari polulasi yang memiliki risiko untuk terjadinya suatu penyakit
disebut population at risk atau sekumpulan individu yang belum/ tidak menderita tetapi mempunyai
risiko untuk menderita. Contoh, jika ingin mengetahui dampak konrasepsi oral, maka yang menjadi
population at risk adalah wanita usia subur yang telah menikah. Demikian juga jika ingin melihat efek
89

samping pemberian imunisasi campak maka population at risk adalah anak usia balita yang telah
mendapatkan imunisasi campak.

C. PENGUKURAN EPIDEMIOLOGI
1. Mengukur Frekuensi
Setiap penyakit atau efek yang ditimbulkan harus dapat diukur frekuensinya, misalnya:
kekambuhan dan kematian. Namun yang paling penting adalah jika dapat memperkirakan jumlah
populasi yang potensial untuk menderita suatu penyakit. Contoh, jika ingin menghitung frekuensi
penderita ca. cervix/ kanker leher rahim, maka populasi yang harus dipertimbangkan hanyalah wanita.
Pernyataan frekuensi penyakit dalam epidemiologi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
b) Menggunakan angka absolut/ angka mutlak (ukuran absolut), yaitu jumlah kejadian kesakitan
sesungguhnya. Contoh: jumlah penderita AIDS di Makassar 12.000 orang, maka angka absolut
adalah 12.000. Penggunaan pengukuran ini lebih banyak pada keperluan administratif pencatatan.
c) Menggunakan angka perbandingan (ukuran relatif) yaitu dengan memproyeksikan angka absolut
tersebut kepada populasi berisiko atau group di dalam populasi berisiko. Dilihat dari jenisnya,
ukuran relatif ini dibagi dua, yaitu mortalitas (mengukur kejadian kematian) dan morbiditas
(mengukur kejadian kesakitan).
Ukuran relatif lebih obyektif dan dapat membandingkan dua populasi atau dua sub group.
Ukuran ini sering digunakan untuk keperluan analisis. Ada beberapa angka perbandingan/ ukuran relatif
yang banyak dipergunakan dalam epidemiologi, yaitu: rate, ratio, dan proportion.
Formula Umum:
X
Y

X = Numerator/ Pembilang  Kasus


Y = Denominator/ Penyebut  Populasi Berisiko

1.1. Rate

Rate adalah bentuk perbandingan yang mengukur kemungkinan terjadinya peristiwa/ kejadian
tertentu. Rate memenuhi unsur-unsur berikut:
1. X = Pembilang, adalah jumlah kasus penyakit yang terdapat di dalam populasi atau dalam subgroup
suatu populasi
2. Y = penyebut, adalah populasi atau subgroup di dalam populasi yang mempunyai risiko untuk
mendapatkan penyakit yang bersangkutan.
90

3. Waktu, misalnya pukul 12.00, tanggal 23 Juli 1995, atau jarak waktu, misalnya: 1 hari, 1 bulan, 1
tahun dan lain-lain.
Contoh:
Pada tanggal 23 Juli 1995 di Yogyakarta yang berpenduduk 5.000.000 orang terdapat 50.000

kasus DBD. Rate kasus DBD di Yogyakarta adalah:

50.000
Rate = = 0,01
5.000.000

Di Klaten terdapat 5.000 kasus DBD dengan jumlah penduduk 1.000.000 pada tanggal yang
sama, maka rate kasus DBD di Klaten adalah:

5.000
Rate = = 0,05
1.000.000

Ini berarti penduduk Yogyakarta mempunyai kemungkinan (probability) untuk menderita DBD
adalah seperseratus, dan penduduk Klaten hanya seperduaratus.
Populasi dalam Rate tidak selalu populasi dalam arti demografi, tetapi bisa dalam bentuk lain,
misalnya jumlah kematian ibu pada ibu-ibu yang melahirkan di rumah sakit. Maka yang menjadi
populasinya adalah ibu-ibu yang datang melahirkan dirumah sakit.

1.2. Rasio

Rasio merupakan istilah yang sangat umum. Ratio dapat diterjemahkan sebagai “disbanding
dengan”. Rasio merupakan perbandingan antara 2 kuantitas, yaitu kuantitas pembilang (numerator) dan
kuantitas penyebut (denominator)

Rasio = Kuantitas Numerator : Kuantitas Denominator

Contoh:
Dalam suatu kejadian KLB penyakit Hepatitis, jumlah penderita laki-laki sebanyak 20 orang dan
jumlah penderita perempuan sebanyak 10 orang. Maka rasio penderita laki-laki : perempuan = 20 : 10 =
(2 : 1)
91

1.3. Proporsi

Suatu bentuk khusus dalam perhitungan rasio adalah proporsi. Apabila pembilang (numerator)
merupakan bagian dari penyebut (denominator), maka bentuk perbandingan tersebut dinamakan
proporsi.
Proporsi dapat diartikan sebagai jumlah/ frekuensi dari suatu sifat tertentu dibandingkan dengan
seluruh populasi di mana sifat tersebut didapatkan, rumus proporsi yaitu:

X
Proporsi = x 100%
X+Y

Contoh:
Pada soal diatas, berapa proporsi penderita laki-laki?

20
Proporsi = x 100% = 66,67%
20 10

2. Insidens dan Prevalensi


Bagaimana KLB penyakit mempengaruhi populasi dan apakah penyakit itu termasuk
endemik atau epidemik di dalam populasi dideskripsikan dan ditetapkan dalam suatu cara yang
spesifik. Insidensi merupakan salah satu ukuran untuk menetapkan terjadinya KLB. Insidensi
menjelaskan sampai sejauh mana seseorang – didalam populasi yang tidak menderita penyakit
– terserang penyakit selama periode waktu tertentu. Kunci untuk mengukur insidensi adalah
dengan melihat jumlah kasus baru satu penyakit dalam populasi tertentu selama periode waktu
tertentu. Fokus mengukur insidensi adalah pada kasus baru dalam periode waktu tertentu pada
sekelompok orang tertentu. Derajat insidensi yang tinggi menandakan bahwa epidemi telah
terjadi. Insidensi dapat diobservasi dengan cara membuat kurva epidemi.
Prevalensi adalah jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan,
atau kondisi tertentu pada satu titik waktu. Prevalensi sepadan dengan insidensi, dan tanpa
insidensi penyakit tidak akan ada prevalensi penyakit. Kunci untuk mengukur insidensi adalah
dengan melihat jumlah kasus baru satu penyakit dalam populasi tertentu selama periode waktu
tertentu. Fokus mengukur insidensi adalah pada kasus baru dalam periode waktu tertentu pada
sekelompok orang tertentu. Derajat insidensi yang tinggi menandakan bahwa epidemi telah
terjadi. Insidensi dapat diobservasi dengan cara membuat kurva epidemi.
92

Prevalensi adalah jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan,
atau kondisi tertentu pada satu titik waktu. Prevalensi sepadan dengan insidensi, dan tanpa
insidensi penyakit tidak aka nada prevalensi penyakit. kunci untuk mengukur prevalensi adalah
dengan melihat populasi dari berbagai sudut pandang, pada satu titik waktu. Hal ini bagaikan
menghentikan putaran jarum jam sejenak dan menanyakan berapa kasus penyakit tertentu yang
terjadi dalam sekelompok orang pada saat itu. Ini yang disebut dengan point prevalence.
Insidensi memberitahukan kita tentang kejadian kasus baru. Prevalensi memberitahukan
tentang derajat penyakit yanbg sedang berlangsung dalam populasi pada satu titik waktu.
Prevalensi berpegang pada dua faktor: (1) berapa banyak orang yang telah mendapatkan
penyakit itu sebelumnya (berdasarkan insidensi terdahulu) dan (2) durasi atau lamanya kejadian
penyakit itu dalam populasi. Angka insidensi, angka prevalensi, point prevalence. Penjelasan
dan contoh masing-masing dapat dilihat dibawah ini:
2.1. Insidens Rate
Insidensi adalah jumlah seluruh kasus baru pada suatu populasi pada suatu saat atau periode
waktu tertentu. Biasanya insidens rate digunakan untuk ukuran penyakit yang sifatnya akut.
Pengamatan harus bersifat dinamis dimana ukuran disini menggambarkan kecepatan/ kekuatan
perubahan keadaan karena pengaruh lingkungan. Insidens bukan merupakan ukuran probabilitas, nilai
dapat berkisar dari 0 sampai hampir tak terhingga. Ukuran ini tidak dapat diinterpretasikan kepada
individu yang ada di populasi.
Kelemahan insidens adalah susah menentukan waktu serangan suatu penyakit dengan jelas,
beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1) kapan mulainya gejala, 2) waktu diagnose, 3) tanggal masuk
rumah sakit/ pelayanan kesehatan.

Jumlah kasus baru suatu penyakit selama periode tertentu


Insidens Rate = x 1000
Populasi yang mempunyai risiko

Contoh :
Pada bulan Desember 2008 di Kecamatan X terdapat penderita campak 80 anak balita. Jumlah
anak yang mempunyai risiko penyakit tersebut (anak balita) di Kecamatan X = 8.000. Maka incidence
rate penyakit campak tersebut adalah :

80 10
x 1.000  atau 0,01
8.000 1000
93

Catatan:
 Dalam mempelajari insidens diperlukan penentuan waktu saat timbulnya penyakit. Bagi penyakit-
penyakit yang akut seperti influenza, infeksi stapilococcus, gastroenteritis, acut myocardial infarction
dan cerebral hemorhage, penentuan insidens rate ini tidak begitu sulit karena waktu terjadinya
penyakit dapat diketahui secara pasti atau mendekati pasti. Lain halnya dengan penyakit yang waktu
timbulnya tidak jelas, biasanya waktu diagnosis ditegakkan diartikan sebagai waktu mulai terjadinya
penyakit.
 Incidens rate selalu dinyatakan dengan periode waktu tertentu seperti bulan dan tahun. Insidens rate
pada suatu epidemic disebut sebagai attack rate.

2.2. Prevalens Rate


Prevalens rate mengukur jumlah seluruh kejadian penyakit atau jumlah kasus pada suatu populasi
pada suatu waktu tertentu. Ukuran prevalensi banyak digunakan untuk merencanakan pelayanan
kesehatan dan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan.
Tingkat prevalensi seringkali diekspresikan sebagai jumlah kasus per 1000 atau per 100 populasi.

Jumlah kasus penyakit yang ada pada suatu waktu


Prevalence Rate Jumlah penduduk seluruhnya X 1000

Contoh :
Kasus penyakit TBC paru di Kecamatan C pada waktu dilakukan survei pada Oktober 2007
adalah 48 orang dari 24.000 penduduk di kecamatan tersebut. Maka prevalence rate TBC di Kecamatan
tersebut adalah :

96 4
x 1.000  atau 0,004
24.000 1.000

Bila data tersebut dikumpulkan pada waktu tertentu, maka digunakan Point Prevalence Rate.

2.2.1. Point Prevalensi Rate

Jumlah seluruh kasus (lama dan baru) pada saat tertentu


Point Prevalence x 1000
Jumlah population at risk pada saat yang sama
94

2.2.2. Period Prevalensi Rate

Jumlah keseluruhan dari orang-orang yang diketahui sudah mempunyai (terkena) penyakit pada
waktu tertentu selama suatu periode waktu tertentu.

Jumlah kasus penyakit suatu periode


Period Prevalence (jangka waktu tertentu) x 1000
Jumlah population at risk dalam jangka
waktu tertentu

Contoh :

Pada periode tahun 1988 (Januari-Desember) di Kelurahan A terdapat 75 penderita malaria.


Pada pertengahan tahun 1988 penduduk kelurahan A tersebut berjumlah 5.000 orang. Maka
period prevalence malaria di kelurahan A adalah :

75 15
x 1.000  atau 0,015
5.000 1.000

2.3. Attack Rate

Biasanya dinyatakan dengan persen (%) dan dipergunakan dalam jumlah populasi yang relative
sedikit dan waktu yang relatif singkat. Proses perhitungan sama dengan insidens rate.

Jumlah kasus selama epidemi


Attack Rate = x 1000
Populasi yang mempunyai risiko

Contoh :
Pada waktu terjadinya wabah morbili di Kelurahan Y pada tahun 2007, terdapat 18 anak yang
menderita morbili. Jumlah anak yang mempunyai risiko di kelurahan tersebut = 2000 anak.

Attack rate penyakit tersebut adalah :

18 9
x 1.000  atau 0,009
2.000 1.000
95

2.3.1. Secondary Attack Rate (SAR)


Kasus sekunder adalah kasus-kasus yang terkena penyakit di dalam suatu lingkungan setelah
datangnya satu atau lebih kasus primer dari lingkungan yang lain.

Jumlah kasus sekunder


Secondary Attack Rate (SAR) =
Populasi yang mempunyai risiko

Contoh:
Dalam suatu asrama terdapat 30 anak, tanggal 1 juli 2008, 2 orang anak asrama berlibur
ke rumah yang ada penderita campaknya, tanggal 3 juli 2008 kedua anak tersebut menderita
campak dan menularkannya ke anak lain. Dalam waktu 3 minggu telah menulari 22 orang anak
asrama. Berapa Secondary Attack Rate?
Jawab:
Kasus primer = 2 orang,
Kasus sekunder 22 orang,
Anak yang suspek = 30 – 2 = 28 anak

22
Secondary Attack Rate (SAR) = 0,786
28
96

SOAL LATIHAN/ KUIS

Nama :
NIM :
Kelas :
Catatan penting:
Tugas dikerjakan sendiri-sendiri, bila hasil pekerjaannya sama, tidak akan mendapatkan
nilai

Acara perkemahan selama sepekan dilaksanakan di bumi perkemahan


limbung kabupaten Gowa, pada tanggal 1 s.d 7 April 2009 melibatkan 151 orang
anak yang terdiri dari 100 orang anak perempuan dan 51 orang anak laki-laki. 3
orang diantara 151 orang anak di diagnosis menderita influenza, jika pada hari
ke 4 ke tiga orang yang menderita influenza ini menularkan pada 20 orang
lainnya, maka:
1. Hitunglah secondary attack rate-nya
Potong di sini

2. Berapa ratio anak perempuan dibandingkan laki-laki dalam acara perkemahan


tersebut?
97

= ISTILAH-ISTILAH EPIDEMIOLOGI =

Acute disease (penyakit akut), penyakit yang berlangsung selama 3 (tiga) bulan atau kurang
Age adjusted rate (angka menurut usia) angka yang digunakan untuk membuat perbandingan
risiko relatif antar kelompok dan seiring perjalanan waktu jika kelompok berbeda dalam
struktur usianya
Analitical study (studi analitis) studi epidemiologi yang ditujukan untuk menganalisis
(menguji) hipotesis
Angka (rate) adalah jumlah peristiwa yang terjadi dalam populasi tertentu dan pada periode
waktu tertentu
Attack rate (angka serangan), angka insidensi dihitung pada populasi tertentu untuk suatu
KLB penyakit tertentu dan dinyatakan dalam persen
Case Fatality Rate (angka fatalitas kasus) persentase kasus penyakit tertentu yang
menyebabkan kematian
Carrier manusia atau hewan yang membawa agen penyakit menular tertentu, tetapi tidak
memperlihatkan gejala klinis penyakit yang khas dan berperan sebagai sumber potensial
infeksi bagi manusia atau hewan lain
Cause specific mortality rate (angka kematian menurut penyebab) adalah angka kematian
menurut penyakit tertentu
Chronic disease (penyakit kronik) penyakit atau kondisi kesehatan yang berlangsung lebih
dari 3 (tiga) bulan
Crude rate (angka kasar) angka yang pembilangnya mencakup total populasi
Crude birth rate (angka kelahiran kasar) jumlah kelahiran hidup per 1.000 dalam suatu
populasi pada periode waktu tertentu
Communicable disease/ infectious disease (penyakit menular/ penyakit infeksi) suatu
kesakitan yang disebabkan oleh beberapa agen biologis tertentu atau produk toksiknya
yang dapat ditularkan dari orang, binatang ataupun benda mati yang terinfeksi pada
pejamu yang rentan
Dirrect transmission (penularan langsung) perpindahan langsung agen infeksi melalui kontak
langsung antara individu yang terinfeksi dan individu yang rentan
Disability Adjusted Life Years (DALY), tahun-tahun kehidupan menurut disabilitas adalah
suatu ukuran untuk beban penyakit yang juga mempertimbangkan kematian dini serta
kehilangan kehidupan yang sehat akibat disabilitas
Disability Adjusted Life Axpectancy (DALE), harapan hidup menurut disabilitas adalah
jumlah tahun yang sehat dalam kehidupan yang dapat diperkirakan secara rata-rata pada
suatu populasi tertentu
Disinfection pembunuhan agen penyakit menular di luar tubuh pejamu
Descriptive study (studi deskriptif), studi epidemiologi yang menjelaskan suatu epidemic yang
dikaitkan dengan orang, tempat dan waktu
98

Endemi adalah berlangsungnya suatu penyakit pada tingkatan yang sama atau keberadaan
suatu penyakit yang terus menerus di dalam populasi atau wilayah tertentu – prevalensi
suatu penyakit yang biasa berlangsung di satu wilayah atau kelompok tertentu.
Epidemi adalah wabah atau munculnya penyakit tertentu yang berasal dari satu sumber
tunggal, dalam satu kelompok, populasi, masyarakat, atau wilayah, yang melebihi
tingkatan kebiasaan yang diperkirakan. Epidemi terjadi jika kasus baru melebihi
prevalensi suatu penyakit. Kejadian luar biasa (KLB) akut – peningkatan secara tajam
dari kasus baru yang mempengaruhi kelompok tertentu - biasanya juga disebut sebagai
epidemi. Keparahan dan keseriusan penyakit juga mempengaruhi defenisi suatu
epidemik. Jika penyakit sifatnya mengancam kehidupan, hanya diperlukan sedikit kasus
(seperti pada rabies) untuk menyebabkan terjadinya epidemik.
Eradication (pemberantasan/ eradikasi) pembasmian atau pemusnahan penyakit secara total
(misalnya pemberantasan cacar dan atau polio)
Etiologi (etiology) penyebab penyakit
Hiperendemi adalah istilah yang dihubungkan dengan endemik, tetapi jarang digunakan.
Istilah ini menyatakan aktifitas yang terus menerus melebihi prevalensi yang
diperkirakan, sering dihubungkan dengan populasi tertentu, populasi yang kecil, atau
populasi yang jarang seperti yang ditemukan di rumah sakit, klinik bidan, atau institusi
lain. Istilah ini juga menunjukkan keberadaan penyakit menular dengan tingkat insidensi
yang tinggi dan terus menerus melebihi angka prevalensi normal dalam populasi dan
ternyata menyebar merata pada semua usia dan kelompok.
Holoendemi menggambarkan suatu penyakit yang kejadiannya dalam populasi sangat banyak
dan umumnya didapat di awal kehidupan pada sebagian besar anak dalam populasi.
Prevalensi penyakit menurun sejalan dengan pertambahan usia kelompok sehingga
penyakit lebih sedikit muncul pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak. Penyakit
yang sesuai untuk kategori ini adalah chickenpox dan pada iklim negara tropis adalah
malaria.
Host (pejamu) manusia atau organisme hidup lain yang „menyediakan ruang‟ atau tempat
hidup bagi suatu agen menular dalam kondisi yang normal
Isolation (isolasi) pemisahan orang yang terinfeksi dari mereka yang rentan
Incidence Rate, jumlah kasus baru suatu penyakit pada populasi berisiko selama periode waktu
tertentu, dibagi dengan jumlah total populasi yang sama
Incubation period (masa inkubasi) selang waktu antara pajanan terhadap suatu penyakit
hingga awal timbulnya gejala
Indirrect transmission (penularan tidak langsung) penularan penyakit menular yang
melibatkan tahapan perantara (airborne, vectorborne, vechicleborne)
Infectifity (infektifitas) kemampuan suatu agen biologi untuk menetap dan berkembang dalam
pejamu
Intervention (intervensi) usaha untuk mengontrol penyakit yang sedang menyerang
Kasus (case) adalah manusia yang terkena suatu penyakit
Morbidity rate, angka kesakitan di dalam populasi
Mortality rate/ fatality rate, jumlah kematian dalam suatu populasi dibagi dengan total populasi
Necessary condition: keadaan yang dibutuhkan untuk terjadinya penyakit, harus mendahului
akibat (penyakit)
Noncommunicable disease/ non-infectious disease (penyakit tidak menular/ penyakit non
infeksi, suatu penyakit yang tidak dapat ditularkan dari orang yang sakit pada orang yang
sehat
99

Notifiable disease (penyakit yang harus dilaporkan), penyakit infeksius yang wajib atau
harus dilaporakn oleh tenaga kesehatan karena alasan kesehatan masyarakat
Pandemi adalah epidemi yang menyebar luas melintasi negara, benua, atau populasi yang
besar, kemungkinan seluruh dunia. AIDS merupakan penyakit pandemi.
Phatogenicity (patogenisitas) kemampuan suatu agen penyakit menular untuk menimbulkan
penyakit pada pejamu yang rentan
Primary prevention (pencegahan primer) langkah-langkah pencegahan yang menghambat
terjadinya penyakit atau cedera selama masa prepatogenesis
Prevalence rate (angka prevalensi), jumlah kasus lama dan kasus baru suatu penyakit pada
suatu populasi dalam periode waktu tertentu dibagi dengan jumlah total populasi
Prevention (pencegahan) perencanaan dan pelaksanaan tindakan untuk menghambat terjadinya
penyakit atau masalah kesehatan yang lain
Proportionate Mortality Ratio (rasio kematian proporsional) persentase keseluruhan
kematian dalam suatu populasi yang disebabkan oleh penyebab tertentu
Population at Risk, mereka dalam populasi yang rentan terhadap penyakit atau kondisi tertentu
Quarantine (karantina) pembatasan kebebasan bergerak pada mereka yang terpajan penyakit
dan yang mungkin dalam masa inkubasi
Risk factor (faktor risiko) faktor-faktor yang meningkatkan probabilitas penyakit, cedera atau
kematian
Secondary prevention (pencegahan sekunder) tindakan pencegahan yang mengacu pada
diagnosis dini dan pengobatan segera suatu penyakit atau cedera untuk membatasi
disabilitas dan mencegah patogenesis yang lebih parah
Specific rate (angka spesifik) angka yang mengukur kesakitan atau kematian untuk populasi
atau penyakit tertentu
Sufficient condition: keadaan yang sudah pasti memberikan akibat/ penyakit.
Tertiary prevention (pencegahan tersier) tindakan yang ditujukan untuk rehabilitasi
patogenesis signifikan yang akan terjadi
Vector (Vektor) organisme hidup, biasanya serangga (misalnya nyamuk, tungau, kutu busuk,
pinjal) yang dapat menularkan agen menular ke pejamu yang rentan
Vehicle (media/sarana) benda atau objek mati yang dapat berfungsi sebagai sumber infeksi
Zoonosis adalah penyakit infeksi yang ditularkan dalam kondisi normal dari binatang
vertebrata kepada manusia
100

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, Eko., Dewi Anggraeni, 2003, Pengantar Epidemiologi, Edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta

Bustan, M.N., 2000, 101 Tanya Jawab Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin, Umitoha Ukhuwah Grafika, Makassar

Kasjono, Heru Subaris., Heldhi B. Kristiawan, 2008, Intisari Epidemiologi, Mitra Cendikia,
Jogjakarta

McKenzie, James F., Robert R. Pinger., Jerombe E. Kotecki, 2007, Kesehatan Masyarakat
Suatu Pengantar, Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Murti, Bhisma, 2003, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta

Rothman, Kenneth J., 1995 Epidemiologi Modern, Yayasan Pustaka Nusatama, Yayasan
Essentia Medica

Rothman, Kenneth J., 2002, Epidemiologi Inferensi Kausal, Yayasan Essentia Medica,
Yogyakarta

Timmreck, Thomas C., 2004, Epidemiologi Suatu pengantar, Edisi 2, Penerbit buku
kedokteran EGC
101

BUKU AJAR

Editor:

Edisi Pertama

Untuk Kalangan
Sendiri

Program Pendidikan
Strata Satu FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2009
102

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Pengertian............................................................................................................. 1
B. Dasar Epidemiologi.............................................................................................. 1
C. Definisi Ahli Epidemiologi.................................................................................. 2
D. Tujuan Epidemiologi............................................................................................ 3
E. Manfaat Epidemiologi.......................................................................................... 4
F. Ruang Lingkup dan Penerapan Epidemiologi...................................................... 5
G. Knowlodge and Skills of Epidemiolog.................................................................. 7

BAB II KONSEP SEHAT SAKIT........................................................................ 9


A. Keadaan Sehat....................................................................................................... 9
B. Definisi Penyakit.................................................................................................... 9
C. Perkembangan Teori Terjadinya Penyakit............................................................. 10
D. Riwayat Alamiah Penyakit..................................................................................... 12
E. Konsep Riwayat Alamiah Penyakit........................................................................ 12
F. Keterpaparan dan Kerentanan................................................................................. 17
G. Klasifikasi Penyakit................................................................................................. 17
H. Konsep Penularan Penyakit..................................................................................... 18
I. Cara Penularan Penyakit.......................................................................................... 20
J. Mata Rantai Infeksi................................................................................................. 22

BAB III KAUSASI................................................................................................... 24


A. Definisi Kausasi....................................................................................................... 24
B. Model-Model Kausasi.............................................................................................. 26
C. Kriteria Kausasi........................................................................................................ 34
D. Konsep Henrik L. Blum........................................................................................... 39

BAB IV EPIDEMI/ KEJADIAN LUAR BIASA...................................................... 42


A. Penggolongan Epidemi/ KLB................................................................................... 42
B. Segitiga Epidemiologi Mutakhir............................................................................... 44
C. Sasaran Epidemiologi............................................................................................... 46
D. Konsep Kasus dalam Epidemiologi.......................................................................... 46
SOAL LATIHAN.......................................................................................................... 49

BAB V UPAYA PENCEGAHAN.......................................................................... 50


A. Tingkat Pencegahan................................................................................................. 50
B. Kemungkinan Pencegahan....................................................................................... 58
C. Bentuk Program pencegahan................................................................................... 59
103

SOAL LATIHAN......................................................................................................... 60

BAB VI PENYARINGAN (SCREENING) ............................................................. 61


A. Pengertian Penyaringan............................................................................................ 61
B. Tujuan Penyaringan.................................................................................................. 61
C. Perlunya Penyaringan............................................................................................... 62
D. Pelaksanaan Uji Saring............................................................................................. 62
E. Kriteria Penyaringan................................................................................................. 63
F. Bentuk Penyaringan................................................................................................. 64
G. Kesimpulan.............................................................................................................. 66

BAB VII RANCANGAN PENELITIAN................................................................... 66


A. Pendahuluan............................................................................................................. 66
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah........................................................................ 66
C. Tujuan dan Hipotesis................................................................................................. 67
D. Populasi Studi dan Subyek Studi.............................................................................. 67
E. Macam Rancangan Penelitian................................................................................... 67

BAB VIII VARIABEL EPIDEMIOLOGI................................................................... 70


A. Pengertian................................................................................................................. 70
B. Person (Variabel Orang) ........................................................................................... 71
C. Variabel Waktu (Time) ............................................................................................. 75
D. Variabel Tempat (Place) ........................................................................................... 78

BAB IX PENELITIAN EPIDEMIOLOGI................................................................. 79


A. Peranan Penelitian Epidemiologi............................................................................... 79
B. Jenis Penelitian Epidemiologi.................................................................................... 80
C. Penelitian Cross Sectional (Potong Melintang) ........................................................ 81
D. Penelitian Kasus Kontrol........................................................................................... 82
E. Penelitian Kohor........................................................................................................ 84

BAB X UKURAN-UKURAN EPIDEMIOLOGI.................................................... 89


A. Pengukuran dan Hal-Hal yang Diperhatikan............................................................. 89
B. Population at Risk...................................................................................................... 89
C. Pengukuran Epidemiologi.......................................................................................... 90
SOAL LATIHAN........................................................................................................... 97

BAB XI ISTILAH-ISTILAH EPIDEMIOLOGI....................................................... 98

Anda mungkin juga menyukai