Pendekatan Penghitungan Laba Maksimum Dalam Produksi Pertanian Organik Dan An-Organik
Pendekatan Penghitungan Laba Maksimum Dalam Produksi Pertanian Organik Dan An-Organik
LAPORAN PENELITIAN
PENUNJANG PROSES PEMBELAJARAN
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS UDAYANA
OLEH :
1
BAB I. PENDAHULUAN
Dalam seminar nasional pertanian organik di Bogor pertengahan Juni lalu, terungkap data
bahwa setiap tahun pasar organik dunia tumbuh 20 persen. Pada tahun 2009 nilai bisnis organik
mencapai 22 miliar US$. Tiga tahun kemudian, 2012, bisnis organik mengalami peningkatan
hampir tiga kali lipat yaitu 65 miliar US$. Namun di Indonesia, perkembangannya belum
menggembirakan. Padahal jika dilakukan secara serius dan tekun, pertanian organik memiliki
nilai ekonomis dan eksternalitas positif kepada lingkungan. Pertanian organik yang dilakukan
secara berkelanjutan dan masal akan memiliki peluang bisnis yang menjanjikan, mulai dari
sarana produksi, budidaya, pengolahan, hingga perdagangan.
Pentingnya peranan pertanian organik juga sangat penting dalam kaitannya dengan
ketahanan pangan di Indonesia. Ketahanan pangan telah menjadi tantangan dan prioritas
perekonomian nasional sejak tahun 2007. Indikasinya terlihat pada kebijakan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada tahun 2007, melalui Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional.
Beberapa pengejawantahan kebijakan tersebut antara lain melalui pemberian bantuan benih
unggul bermutu baik hibrida maupun non hibrida serta subsidi benih dan pupuk termasuk pupuk
organik, pemberian bantuan sarana dan prasarana berupa alat dan mesin pertanian, perbaikan
pengairan dalam usaha tani, penambahan tenaga penyuluh pertanian, penentuan harga beras,
hingga pengendalian organisme penganggu tanaman dan pembiayaan usaha tani.
Pemerintah Provinsi Bali dengan intervensinya dalam peningkatan jumlah petani organik,
melalui program Simantri, juga masih belum mampu diterima secara luas. Beberapa kendala
yang dihadapi antara lain pada belum banyaknya partisipasi petani, kondisi petani yang sebagian
besar menjadikan pekerjaan petani sebagai sampingan sehingga waktu yang dialokasikan untuk
bertani terbatas. Keterbatasan waktu ini membuat petani enggan kembali ke metode kearifan
lokal dalam pertanian organik. Pertanian an-organik yang mempergunakan bahan kimia dalam
pupuk dan obat-obatan dinilai lebih praktis dan hemat waktu. Sebagian beralasan pada kendala
2
ketersediaan pupuk yang dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan petani, dan mahalnya biaya
pengolahan tanah yang terlanjur dicemari pupuk dan obat-obatan kimia.
Pada tanggal 22 April 2010, Presiden RI mencanangkan Bali sebagai provinsi hijau
pertama di Indonesia, yang ditindaklanjuti dengan program “Bali Clean and Green” dengan tiga
pilar yaitu Green economy, Green Cultural, dan Clean & Green. Khusus bidang Green economy,
pemerintah Bali memprogramkan Bali sebagai pulau organik, yang ditindaklanjuti dengan
pelaksanaan kegiatan sistem pertanian terintegrasi yang disingkat Simantri. Kegiatan Simantri ini
merupakan keterpaduan kegiatan tanaman pangan, peternakan, perkebunan dan perikanan
kelautan. Pada tahun 2012, tercatat telah dibangun 325 unit Simantri yang tersebar di seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Bali, sebagaimana tercantum dalam tabel 1.1.
Tabel 1.1 Sebaran Jumlah Unit Simantri di Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun 2012
No Kabupaten/Kota Jumlah Unit
1 Buleleng 62
2 Jembrana 27
3 Tabanan 42
4 Badung 17
5 Denpasar 8
6 Gianyar 44
7 Bangli 45
8 Klungkung 36
9 Karangasem 44
Total 325
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov.Bali
Kegiatan Simantri adalah kegiatan tanpa limbah (zero waste) yang mana semua limbah
tersebut diolah menjadi pupuk organik padat maupun cair, bio urine maupun biogas. Kegiatan ini
merupakan pendukung utama pelaksanaan program organik di Bali. Sejak dilaksanakannya
Simantri di Bali, telah banyak diperoleh sertifikat organik di subsektor tanaman pangan dan
perkebunan yaitu di sub sektor tanaman pangan sebanyak 22 sertifikat untuk komoditas padi dan
hortikultura serta sub sektor perkebunan 9 sertifikat pada komoditas kopi arabika, kopi robusta,
kakao dan jambu mete.
Meskipun banyak kelompok petani organik di Provinsi Bali, namun tidak semua mampu
untuk memperoleh sertifikat. Terutama kelompok petani kecil yang dengan kesadaran sendiri
menerapkan pertanian organik. Mengingat biaya sertifikasi produk organik cukup mahal hingga
Rp 15 juta. Sertifikasi itu sendiri merupakan prasyarat utama petani untuk memasarkan
3
produknya ke luar negeri maupun untuk mendapatkan harga premium di pasaran domestik.
Beberapa kelompok petani yang mendapat label produk organik tercantum dalam tabel 1.2
Tabel 1.2 Nama-nama Gapoktan/Kelompok yang Telah Disertifikasi Pangan Organik
Tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012
No Kabupaten Nama Gapoktan Lokasi Komoditi Luas
lahan (ha)
Tahun 2009
1 Tabanan Somya Pertiwi Penebel Padi 26
2 Karangasem Mekar Sari Bebandem Salak 11
Tahun 2010
3 Buleleng Golden Leaf Farm Banjar Sayuran 5
4 Tabanan Beras Merah Jatiluwih Penebel Beras Merah 24
5 Gianyar Subak Selat Payangan Padi 46
6 Buleleng Lila Cita Karya Seririt Anggur 2.6
Tahun 2011
7 Jembrana Subak abian Merta Sari Mendoyo Manggis 15
8 Tabanan Klp tani Manggis Sari Pupuan Manggis 10
9 Gianyar Sekar Bumi Payangan Tan. Hias 12
10 Bangli Amerta Lestari Kintamani B.Merah 11,2
11 Jembrana Subak semanggong Mendoyo Padi 25
12 Tabanan Giri Kerta Lestari Baturiti Sayuran 13
13 Jembrana Sari Bumi Pekutatan Manggis 43
14 Tabanan Pala Sari Selemadeg Barat Manggis 30
15 Tabanan Mesari Penebel Jamur tiram 0,15
16 Badung Mekar Sari Nadi Mengwi Jamur tiram 0,37
17 Badung Bali Organik Mushroom Abiansemal Jamur tiram 0,43
18 Gianyar Sarwa Ada Tegallalang Jahe 15
19 Gianyar Tegal Sari Tegallalang Pepaya 25
20 Gianyar Gunung Sari Tegallalang Jahe 15
21 Bangli Subak Eka Dwi Buana Kintamani Padi 54
22 Klungkung Wira Bakti Nusa Penida Pisang 15
Tabel 1.2 menunjukkan luas lahan pertanian organik yang telah disertifikasi sebanyak 398,75
hektar. Sertifikasi produk pertanian organik memberikan masalah sekaligus tantangan bagi
kelompok pertanian organik lain. Terutama bagi kelompok petani skala mikro, yang
keberadaannya harus mendapat perhatian dari pemerintah dan pihak yang berkompeten. Selain
masalah sertifikasi, pertanian organik juga masih memiliki kendala terutama pada minimnya
kesadaran dan pengetahuan petani akan keuntungan pertanian organik.
4
Hasil penelitian pembelajaran pengantar ekonomi mikro (2013), menunjukkan pada
analisa komparasi antara biaya produksi pertanian organik dan an-organik, secara keseluruhan
biaya produksi organik lebih murah dibandingkan pertanian konvensional. Pada awal penerapan,
pertanian organik memang kelihatan lebih mahal. Terutama untuk mengembalikan kesuburan
lahan yang sudah pernah terkontaminasi dengan pupuk kimia. Sehingga harus dilakukan tahapan
pembersihan tanah dari sisa-sisa residu akibat penerapan pertanian an-organik. Pemupukan
dengan bahan organik harus dilakukan dua kali disertai pembersihan tanah. Namun untuk
penanaman berikutnya, biaya yang diperlukan dalam pertanian organik menjadi lebih murah,
mengingat pembuatan pupuk dilakukan dengan mempergunakan bahan-bahan alami yang
diperoleh dari alam. Kualitas tanah menjadi lebih bagus, dan mudah ditanami. Pertanian organik
juga memerlukan lebih banyak tenaga kerja, sehingga menyebabkan biaya tenaga kerja menjadi
lebih mahal. Namun secara keseluruhan, biaya produksi pertanian organik lebih murah
dibandingkan pertanian an-organik.
Beberapa penelitian terdahulu yang melakukan komparasi pertanian organik dan
anorganik, seperti Mayrowani (2012), Rubiyanti (2013), Hildayanti (2013), dan Aero Widiarta
(2011) menemukan penerapan pertanian organik tidak hanya memberikan manfaat bagi
kesuburan tanah dalam jangka panjang, manfaat kesehatan, biaya produksi yang relatif lebih
murah, namun juga memberikan keuntungan secara ekonomis. Penerapan pertanian organik
jangka panjang memberikan produksi yang berlipat ganda dan harga jual gabah yang lebih tinggi
dibandingkan padi konvensional (an-organik). Kelompok petani organik di Bogor, misalnya,
setelah menerapkan pertanian organik selama 12 tahun, produksi padi yang dihasilkan mencapai
8 ton/ha, lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi padi nasional yang mencapai 5,8 ton/ha.
Jumlah produksi yang meningkat dan harga jual yang lebih tinggi memberikan keuntungan atau
laba yang lebih tinggi juga, mengingat biaya produksi pertanian organik yang lebih murah.
Berdasarkan keunggulan ekonomis dan lingkungan tersebut, pemerintah melalui gerakan
go organic yang dirintis tahun 2010, memberikan banyak insentif dan kondisi yang kondusif
untuk meningkatkan minat petani mempergunakan pertanian organik. Tidak hanya pemerintah,
beberapa pihak swasta, individu yang bekerja sama dengan pihak asing, ikut serta dalam upaya
meningkatkan minat petani di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Provinsi Bali. Pemerintah
5
Provinsi Bali melalui gerakan simantri, yayasan trikaya di Lebih Gianyar, yayasan padi di Ubud
Gianyar, hingga Bali Organic Agriculture (BOA) di Mambal dan Desa Perean Tabanan. Hingga
saat penelitian berlangsung, sebagian besar hasil produksi kelompok petani organik dibeli
langsung dan disubsidi biaya produksinya. Namun ketergantungan pada subsidi yayasan tersebut,
membuat keberlanjutan pertanian organik menjadi lemah. Indikatornya terlihat pada berhentinya
satu subak di Lebih mempergunakan pertanian organik, yang disebabkan karena terhambatnya
pembayaran subsidi dan pembelian gabah (wawancara ketua kelompok pertanian organik di
Lebih Gianyar). Kesadaran akan pentingnya pertanian organik sangat penting untuk lebih
disosialisasikan di kalangan petani padi di Provinsi Bali. Untuk itulah pembuktian manfaat
ekonomis pertanian organik, terutama pendekatan perhitungan laba, sangat penting untuk
dilakukan.
Keuntungan yang dihasilkan pertanian organik sebenarnya tidak hanya dari segi
ekonomis semata, namun juga bagi aspek sosial budaya terutama pada pemberdayaan
masyarakat (prinsip-prinsip pertanian organik). Secara ekonomis, pembuktian keunggulan
pertanian organik perlu dilakukan melalui pendekatan laba maksimum. Petani umumnya akan
sangat tertarik jika ditunjukkan laba atau keuntungan ekonomis yang dihasilkan pertanian
organik, yang menurut penelitian terdahulu, memberikan keuntungan yang lebih tinggi.
Untuk mengetahui perbandingan nilai keuntungan ekonomis yang dihasilkan, maka salah
satu materi pengantar ekonomi mikro mengenai penghitungan laba maksimum bisa diterapkan.
Beberapa referensi pengantar ekonomi mikro yang dipergunakan, akan lebih mudah dan
menginspirasi mahasiswa jika diberikan kasus yang dekat dengan keseharian mahasiswa. Topik
ini juga sangat penting untuk dipergunakan sebagai materi tambahan studi kasus, mengingat
pertanian organik dalam produksinya sangat kaya akan nilai-nilai kearifan lokal, sehingga sangat
strategis untuk mengenalkan kekayaan kearifan lokal secara tidak langsung kepada peserta mata
kuliah pengantar ekonomi mikro. Penelitian ini juga akan membuat mahasiswa lebih memahami
teori secara intelektual, dan terasah pada kepekaan emosional dalam mengenal kearifan lokal
dalam pertanian organik.
7
Pendekatan rata-rata (average approach) mempergunakan perbandingan antara biaya
produksi rata-rata dengan harga jual output. Keputusan untuk memproduksi atau tidak
didasarkan perbandingan besarnya P dengan AC. Bila P lebih kecil atau sama dengan AC,
perusahaan tidak mau memproduksi. Implikasi pendekatan rata-rata adalah perusahaan atau unit
usaha harus menjual sebanyak-banyaknya (maximum selling) agar laba (π) makin besar.
Pendekatan marginal dilakukan dengan membandingkan biaya marginal (MC) dan pendapatan
marginal (MR). Laba maksimum akan tercapai pada saat MR = MC.
2.2 Penelitian Terdahulu
Sinaga (2008) meneliti tentang laba pada sebuah perusahaan yang mengembangkan
produk pertanian organik. Dalam penelitian yang dilakukan terungkap bahwa sebenarnya
pertanian organik memiliki pangsa pasar yang sangat potensial. Salah satu produsen sayuran
organik, khususnya sayuran Jepang organik adalah PT Anugerah Bumi Persada (PT ABP) “RR
Organic Farm. Sebagai perusahaan yang menghasilkan sayuran organik secara berkelanjutan
maka diperlukan penetapan harga untuk penjualan kepada konsumen agar dapat menutupi biaya
produksi atau tidak mengalami kerugian dan dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain
yang sejenis.
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengkaji metode harga pokok yang tepat dan cocok
diterapkan pada PT Anugerah Bumi Persada dan menghitung besar harga pokok produksi dan
harga pokok penjualan sayuran Jepang organik yang dihasilkan oleh PT Anugerah Bumi
Persada, (2) menganalisis kondisi nilai titik impas pada PT Anugerah Bumi Persada; (3)
menghitung nilai Marginal Income Ratio (MIR), Margin of Safety (MOS), profitabilitas usaha
serta struktur pasar yang dihadapi oleh PT ABP.
Penelitian dimulai pada bulan Maret hingga April 2008. Lokasi penelitian adalah pada
PT Anugerah Bumi Persada (PT ABP) di Desa Galudra, Kecamatan Cugenang, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat. Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data
sekunder. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis dengan studi kasus. Data yang
dikumpulkan diolah dengan program microsoft excel. Hasil yang diperoleh PT ABP belum
melakukan perhitungan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan dengan benar. Metode
penetapan harga jual yang dilakukan oleh perusahaan berdasarkan hasil perkiraan pihak
manajemen yang menangani pemasaran. Harga jual sayuran Jepang organik PT ABP mengikuti
8
harga sayuran organik di pasaran high market yaitu sekitar Rp 20.000,00-50.000,00 per
kilogram, karena sayuran organik yang dihasilkan oleh PT ABP berada pada level high market
dan disukai konsumen. Harga sayuran organik ini cenderung konstan setiap tahun.
Struktur pasar yang dihadapi oleh PT ABP adalah pasar oligopoli karena produsen sayuran
organik masih sedikit sedangkan konsumen relatif banyak.
Penelitian ini juga merupakan penelitian lanjutan dari penelitian pembelajaran jurusan
ekonomi pembangunan (2013), yang hanya meneliti perbandingan biaya produksi pertanian
organik dan an-organik. Penelitian juga dilakukan hanya pada 10 petani yang sebagian besar
baru belajar menerapkan pertanian organik.
9
Sedangkan sumber data adalah data primer (data yang dikumpulkan langsung dari petani
dan informan terkait), dan data sekunder (data yang telah diteliti atau dikumpulkan pihak terkait
yang dapat menunjang hasil penelitian lapangan)
10
Tabel. Jumlah usahaPertanian menurut Kabupaten/Kota dan pelaku usaha tahun 2003 dan 2013
11
7. Karangasem 5 020 67.01 33 639 12 505 59.73 74 687
Jumlah / Total : 52 034 62.33 324 326 149 832 58.80 880 982
2012 52 084 60.30 314 091 149 000 58.09 865 554
2011 51 297 57.38 294 337 152 585 56.25 858 316
2010 55 122 57.46 316 730 152 190 57.11 869 160
2009 48 040 57.52 276 350 150 283 58.47 878 764
Responden dalam penelitian ini terdiri dari 30 petani dengan perincian 15 petani yang menerapkan
pertanian organic dan 15 petani menerapkan pertanian konvensional (an-organik). Kelompok petani
konvensional, semuanya merupakan anggota subak wahem 2 Singapadu Gianyar. Sedangkan kelompok
petani organic berasal dari kelompok petani padang jerak Desa Penebel Kabupaten Tabanan, dan
kelompok pertanian organic subak purna Jaya Lebih Kabupaten Gianyar. Pemilihan responden kelompok
organic dilakukan dengan pertimbangan lamanya penggunaan pertanian organic yang telah diterapkan
kelompok petani.
20 – 30 2
31 – 40 1
41 – 50 5
51 – 60 4
61 - 70 3
Jumlah 15
12
4.2.2 Kelompok petani berdasarkan lamanya menjadi petani
Kelompok petani konvensional; 1 (6,7% menjadi petani selama 2 tahun, 46,7% menjadi petani lebih dari
50 tahun, sisanya antara 10 – 50 tahun
Pembahasan Organik
No.Resp Luas lahan Produksi (kg gabah) Total Cost Total Π (Rupiah)
(are) (Rupiah) Revenue
(Rupiah)
13
8 30 1300 2.033.000 5.460.000 3.427.000
Profit atau keuntungan rata-rata kelompok petani organik adalah Rp 57.776.740/444 = Rp 130.127,8/are
atau Rp 13.012.779/ha. Total produksi mencapai 20.095 kg. Rata-rata produksi = 20.095/444 = 45,258
kg/are atau 4526 kg atau 4,5 ton/ha.
14
Pembahasan an-organik
No.Resp Luas lahan Produksi (kg Total Cost (Rupiah) Total Π (Rupiah)
(are) gabah) Revenue
(Rupiah)
15
Setelah dikomparasikan, biaya rata-rata pertanian organik adalah Rp 5.995.720,7/ha. Biaya rata-
rata pertanian an-organic sebesar Rp 6.973.048,9/ha. Perbandingan biaya produksinya kelompok
petani organic mengeluarkan biaya yang lebih murah sebanyak Rp 9.773,28/are atau Rp
977.328/ha. Perbandingan biaya ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Tisnawati, 2013)
yang menemukan perbedaan biaya produksi pertanian organic lebih murah Rp 11.989/are atau
Rp 1.198.850/ha.
Jika diterapkan dalam jangka waktu yang panjang, pertanian organic dapat memberikan
hasil produksi yang berlipat ganda. Salah satu petani organic dari Tasikmalaya Jawa Barat
berhasil membuktikan (Helmy, 2014). Selama 12 tahun mempergunakan sistem pertanian
organic, dengan luas sawah 0,9 hektar berhasil mendapatkan 7,5 ton- 8 ton padi dalam sekali
panen dan hanya mengeluarkan biaya produksi 2 juta. Produksi tersebut jauh di atas rata-rata
produksi nasional yaitu 5,8 ton/ha. Pertanian organic yang ditekuninya mempergunakan olahan
buah busuk, ikan asin dan air cucian beras untuk pengganti pestisida kimia. Sedangkan pupuk
dari kotoran hewan terbukti membuat tanaman padi menjadi sangat subur. Varietas padi local
16
pun dipilih sebagai bibit seperti sintanur, padi hitam dan aek sibundong. Metode menanamnya
pun hanya satu tangkai pada satu lubang di tanah untuk memaksimalkan nutrisi yang diberikan
kepada masing-masing bibit padi. Peranan penyuluh pertanian dari Dinas pertanian dan tanaman
pangan awal tahun 2000 telah menginspirasi petani organik.
Helmy, Cornelius (2014). Pesan Sejahtera bagi Para Petani. KOMPAS, 9 September 2014.
17