Anda di halaman 1dari 35

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KANGKUNG DI

DESA BOJONG KECAMATAN KEMANG

KABUPATEN BOGOR

Nim : 2018-81-023

Jurusan /prodi : Agrisbisnis

Fakultas Pertanian

2018/2019

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Pendapatan Usahatani Kangkung di Desa Bojong
Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor .

Terima kasih penulis ucapkan kepada Maryono, SP MSc selaku dosen pembimbing yang
memberikan saran membangun dalam perbaikan makalah ini. Terimakasih penulis sampaikan
kepada orang tua dan keluarga yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian skripsi.
Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh kelompok tani yang tergabung dalam
gabungan kelompok tani Ragusta, dan penyuluh lapangan di Desa Bojong atas bantuan beserta
arahannya selama penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Ambon, Mei 2019

Dewi Latupeirissa

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pertanian menjadi salah satu sektor mata pencaharian utama masyarakat Indonesia. Pertanian
juga memiliki peran penting untuk menunjang kehidupan masyarakat baik untuk memenuhi
kebutuhan pangan maupun industri. Pertanian harus dijaga karena penting dalam
keberlangsungan hidup. Pertanian sendiri terdiri dari beberapa sektor yaitu perkebunan,
perikanan, peternakan, tanaman pangan, dan hortikultura. Umumnya petani di Indonesia adalah
petani rakyat atau petani kecil yang hanya memiliki modal terbatas dalam usahatani. Salah satu
sektor pertanian yang memungkinkan untuk dikelola oleh petani dengan keterbatasan modal
adalah subsektor hortikultura. Tanaman yang termasuk ke dalam hortikultura yaitu tanaman obat
atau biofarmaka, tanaman hias, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Tanaman hortikultura yang
merupakan komoditi unggulan dalam agribisnis adalah sayuran (BPS, 2014). Sayuran secara
ekonomis memiliki nilai tambah dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan apabila mampu dikelola dengan baik. Sayuran
mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dan banyak dikonsumsi
di masyarakat sehingga cukup potensial untuk dijadikan peluang usaha. Tanaman sayuran
dikelompokan menjadi dua yaitu sayuran semusim dan sayuran tahunan. Sayuran semusim
seperti selada, bayam, kangkung, buncis, kentang, dan kubis. Sedangkan sayuran tahunan seperti
jengkol, melinjo, dan petai. Tingkat konsumsi sayuran masih cukup fluktuatif namun cenderung
meningkat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Konsumsi beberapa jenis sayuran musiman di Indonesia (kg)

Jika dibandingkan dengan negara tetangga konsumsi sayuran masyarakat Indonesia masih
rendah. Konsusmsi sayuran masyarakat Indonesia rata-rata 41.9 kilogram per kapita per tahun.
Konsusmsi sayuran di Singapura rata-rata 125 kilogram per kapita per tahun. Konsusmsi sayuran
di Malaysia rata-rata 90 kilogram per kapita per tahun. Berdasarkan rekomendasi dari Food and
Agriculture Organization (FAO) rata-rata konsumsi sayuran sebaiknya 73 kilogram per kapita
per tahun.

Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu provinsi yang memiliki potensi dalam bidang
hortikultura. Salah satu komoditi hortikultura yang tumbuh dengan baik di Provinsi Jawa Barat
adalah kangkung. Produksi kangkung tertinggi di Indonesia tersebar di lima provinsi dengan
jumlah produksi yang cukup berfluktuasi. Kangkung memiliki dua jenis yaitu kangkung darat
dan kangkung air. Kangkung yang biasa untuk dikonsumsi adalah kangkung darat (Ipomoea
reptans). Menurut Muchtadi (2000) kangkung adalah sayuran yang tergolong sebagai sumber
serat makanan yang tinggi. Selain itu kangkung merupakan tanaman yang tumbuh cepat dan
tidak memerlukan perawatan khusus serta kangkung banyak diperdagangkan karena harganya
relatif murah. Umur panen kangkung relatif singkat yaitu 25 hingga 30 hari untuk sekali musim
tanam. Kangkung cukup populer di kalangan masyarakat karena mudah didapat dan merupakan
sebagai sumber vitamin, mineral, dan serat. Tanaman kangkung termasuk sayuran yang tahan
terhadap penyakit atau penyakitnya mudah dikendalikan. Tabel 3 menunjukkan jumlah produksi
kangkung tertinggi adalah Jawa Barat yang merupakan sentra produksi kangkung di Indonesia.

Tabel 2 Jumlah produksi kangkung di Indonesia

Provinsi Jawa Barat memiliki delapan belas kabupaten yang berkontribusi sebagai penghasil
sayuran kangkung. Kabupaten Bogor menduduki posisi pertama sebagai penghasil kangkung
terbesar. Produksi kangkung cukup fluktuatif dan cenderung turun tiap tahunnya. Produksi
kangkung akan terus menurun apabila tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Berikut
produksi kangkung menurut Kabupaten di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3 Jumlah produksi kangkung menurut Kabupaten di Provinsi Jawa Barat tahun 2015

Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang cocok dan potensial untuk memproduksi tanaman
kangkung. Menurut data Jawa Barat dalam Angka dan Direktorat Jendral Hortikultura produksi
kangkung tahun 2014 di KabupatenBogor yaitu sebesar 18 199 ton. Produksi sayuran kangkung
tahun 2015 di Kabupaten Bogor sebesar 17 416 ton. Curah hujan yang cukup di Kabupaten
Bogor menjadikan Bogor penghasil kangkung terbesar. Selain itu kangkung mudah ditanam
sehingga perputaran modal petani lebih cepat dan hasil panen berkelanjutan.

Salah satu sentra daerah produksi kangkung di Kabupaten Bogor adalah Kecamatan Kemang
tepatnya Desa Bojong. Sebagian besar penduduk di Desa Bojong berprofesi sebagai petani
kangkung dan mengandalkan kangkung sebagai komoditas yang menghasilkan sumber
pendapatan bagi penduduk setempat. Namun seringkali dijumpai permasalahan dalam
pengembangan produksi sayuran kangkung di daerah ini. Beberapa isu utama diantaranya adalah
luas lahan yang beragam, kepemilikan usaha, dan serangan hama dan penyakit. Masalah-masalah
tersebut akan berpengaruh terhadap kemampuan para petani dalam meningkatkan
pendapatannya. Berdasarkan hasil penelitian Zakaria terdapat data sensus pertanian 1993 bahwa
rumah tangga petani yang menguasai lahan sempit (< 0.25 hektar), sebagian besar (56%) masih
menjadikan usahatani sebagai sumber pendapatan.

Rumusan Masalah

Kecamatan Kemang merupakan daerah sentra tanaman kangkung yang ada di Kabupaten
Bogor. Kecamatan Kemang memiliki potensi untuk mengembangkan usahatani kangkung. Luas
panen, produksi, dan produktivitas pada tiga kecamatan sentra produksi kangkung. Produksi
kangkung di Kecamatan Kemang berada di posisi pertama dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas panen, jumlah produksi, dan produktivitas tanaman kangkung berdasarkan tingkat
kecamatan tahun 2015.

Kecamatan Kemang terdiri dari beberapa desa yang merupakan penghasil kangkung. Desa
Bojong yang menjadi daerah sentra produksi kangkung dapat menjadi salah satu indikator
keberhasilan usahatani bagi petani di Kecamatan Kemang akan tetapi belum mampu
menggambarkan pendapatan keluarga petani secara keseluruhan. Indikator lain yang diperlukan
untuk menilai keberhasilan usahatani adalah tingkat pendapatan petani. Pendapatan tersebut
dapat diperoleh oleh para petani melalui keragaman usahatani maupun pendapatan lain di luar
usahatani.

Desa Bojong adalah salah satu desa yang mengembangkan usahatani kangkung. Desa Bojong
merupakan sentra produksi kangkung di Kecamatan Kemang. Salah satu alasan Desa Bojong
menjadi sentra produksi kangkung karena didukung dengan adanya pembentukan Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan). Sebagian besar petani di Desa Bojong menanam komoditas
kangkung karena sudah menjadi kegiatan rutin dan didukung dengan iklim yang sesuai selain itu
dilihat dari adanya peluang pasar yang ada. Petani di Desa Bojong selain menanam komoditas
kangkung juga menanam tanaman lain berdasarkan luas tanam dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas panen sayur-sayuran (Ha) di Kecamatan Kemang tahun 2015


Data pada tahun 2011 menunjukkan produksi kangkung di Desa Bojong paling tinggi yaitu
sebesar 1 140 kg, produksi kangkung terbesar kedua di Desa Semplak Barat dan Desa Kemang
sebesar 780 kg, serta produksi terbesar ketiga adalah Desa Parakan Jaya sebesar 240 kg. Menurut
data dari Badan Pusat Statistik dalam buku Kecamatan Kemang dalam Angka Tahun 2017 luas
panen tanaman kangkung tertinggi adalah Desa Bojong yaitu seluas 379 Ha. Penelitian Dewi
(2014) mayoritas petani mengusahakan sayuran di lahan sempit (berukuran kecil), yaitu lahan
kurang dari 0.25 hektar dan tidak cukup banyak petani yang mengusahakan kangkung pada lahan
luas. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap besar kecilnya pendapatan yang akan diterima
petani. Selain itu dari segi biaya, biaya input yang dikeluarkan oleh petani lahan luas lebih murah
dibandingkan petani lahan sempit.

Merujuk pada penelitian sebelumnya Cempaka (2013) petani dengan lahan yang lebih luas
seringkali membeli input pertanian seperti benih, pupuk, pestisida, herbisida, dalam jumlah
banyak (borongan) sehingga petani dengan lahan luas menerima harga yang lebih murah. Hal ini
berbeda dengan petani yang memiliki lahan sempit, petani membeli input pertanian dalam
jumlah sedikit atau eceran sehingga harga input yang dibayarkan petani lahan sempit menjadi
lebih mahal. Hal ini sesuai dengan teori economy of scale dimana semakin besar skalanya biaya
yang dikeluarkan menjadi lebih efisien. Maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui pendapatan dan efisiensi petani kangkung yang memiliki lahan sempit dan petani
yang memiliki lahan luas.

Desa Bojong sebagai produksi kangkung terbesar dianggap memiliki pendapatan yang besar
pula. Produksi yang besar dalam usahatani menjadi tidak berarti jika total biaya produksi besar
pula, sehingga dibutuhkan pengelolaan usahatani yang tertata dengan baik. Hal yang harus
dilakukan oleh para petani adalah memperoleh rasio yang cukup besar antara pendapatan
usahatani dibandingkan total biaya produksi yang dikeluarkan petani. Semakin besar rasio yang
didapatkan petani maka semakin tepatlah pemilihan dalam menggunakan sumberdaya pada
usahatani yang dilakukan para petani. Selain itu apabila petani menerima imbalan terhadap
faktor produksi usahatani kangkung seperti modal dan tenaga kerja yang lebih tinggi daripada
biaya imbangannya maka pilihan petani untuk melakukan usahatani kangkung sudah tepat.

Produksi yang tinggi tidak menjamin pendapatan petani tinggi pula, dan berdasarkan uraian
tersebut maka perlu dilakukan analisis pendapatan usahatani kangkung dengan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah usahatani sayuran kangkung menguntungkan bagi petani lahan luas dan petani lahan
sempit di Desa Bojong?

2. Bagaimana imbalan tenaga kerja (return to family labour) dan imbalan modal (return to total
capital) petani kangkung lahan luas dan petani kangkung lahan sempit di Desa Bojong?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diuraikan, maka tujuan penelitian ini
adalah :

1. Menganalisis tingkat pendapatan dan efisiensi usahatani sayuran kangkung petani lahan luas
dan petani lahan sempit di Desa Bojong

2. Menganalisis imbalan tenaga kerja (return to family labour) dan imbalan modal (return to total
capital) petani kangkung lahan luas dan petani kangkung lahan sempit di Desa Bojong

TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Pendapatan Usahatani

Analisis pendapatan usahatani sebelumnya telah dilakukan oleh Dewi (2014), Yusuf (2015),
Hasan (2013), Palaudi dkk (2015), Sianturi dkk (2010), Lubis (2011), Cempaka (2013), dan
Adhifa (2016). Delapan peneliti tersebut sama-sama membahas mengenai analisis pendapatan
usahatani khususnya komoditas sayuran. Alat analisis yang digunakan juga sama yaitu
menghitung pendapatan usahatani, selisih antara penerimaan petani dan biaya yang dikeluarkan
untuk usahatani tersebut. Alat analisis lain yang digunakan untuk menghitung efisiensi usahatani
adalah R/C rasio. Analisis R/C rasio tidak digunakan oleh semua peneliti, peneliti yang
menggunakan analisis R/C rasio adalah Lubis (2011), Dewi (2014), Hasan (2013), Sianturi dkk
(2010), dan Yusuf (2015). Hasil R/C rasionya menunjukkan kesamaan yaitu > 1, artinya usaha
ini efisien untuk dijalankan dilihat dari penerimaan dan biayanya. Sedangkan penelitian Palaudi
dkk (2015) memilih menggunakan BCR hasilnya pun sama yaitu > 1, usahatani layak dijalankan
dilihat dari pendapatan dan biayanya.

Beberapa peniliti mengunakan alat analisis lain untuk mendukung penelitiannya yaitu dengan
menghitung return to labour dan return to capital. Peneliti yang menggunkan alat analisis return
to labour dan return to capital adalah Dewi (2014), Cempaka (2013), dan Adhifa (2016).
Hasilnya sama-sama menunjukkan bahwa usahatani yang dilakukan petani sudah tepat jika
hasilnya dibandingkan dengan upah yang diterima ketika menjadi buruh di daerah tersebut
maupun jika petani hanya menyimpan uangnya di bank.

Penelitian Dewi (2014), menunjukkan komponen biaya produksi terbesar yang dikeluarkan
pada petani bayam luas adalah pengeluaran biaya untuk tenaga kerja luar keluarga (TKLK) baik
untuk musim kemarau maupun musim hujan yaitu sebesar 32.81 persen dan 26.81 persen untuk
masing-masingnya terhadap biaya total. Begitu pula dengan petani sempit yaitu sebesar 19.50
persen saat musim kemarau dan 16.91 persen sasat musim hujan. Penelitian ini menunjukkan
bahwa komoditas bayam lebih baik ditanam di musim hujan karena akan mengurangi biaya input
tenaga kerja luar keluarga, jika ditanam saat musim kemarau akan memerlukan biaya input
tenaga kerja yang lebih banyak untuk melakukan perawatan. Berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya menurut Yusuf (2015) biaya terbesar adalah biaya penggunaan pupuk.

Menurut penelitian Hasan (2013) biaya tetap usahatani kangkung sebesar Rp 748 348 dan
biaya variabelnya sebesar Rp 1 311 872 per hektar per musim tanam atau rata-rata biaya total
sebesar Rp 2 060 220 yang artinya biaya produksi kangkung organik relatif lebih besar
dibandingkan kangkung yang ditanam secara anorganik. Perbedaan biaya total rata-rata yang
dikeluarkan cukup besar. Pendapatan yang diterima petani kangkung di Desa Limehe Kabupaten
Gorontalo sebesar Rp 6 917 472 per hektar per musim tanam. Selisih pendapatan produksi
kangkung organik dengan kangkung anorganik cukup signifikan. Penelitian analisis usahatani
petani kangkung organik binaan ADC oleh Yusuf (2015) menunjukkan rata-rata biaya total
selama satu tahun dengan luas lahan per 575 m2 sebesar Rp 17 985 220 atau total biaya
usahatani sebesar Rp 1 498 768 per satu kali musim tanam.

Dewi (2014) pendapatan total petani bayam lahan sempit musim kemarau per hektar adalah Rp
7 293 169 dan Rp 10 759 355 pada musim hujan, sedangkan petani luas memperoleh pendapatan
total yaitu sebesar Rp 8 742 289 untuk musim kemarau dan Rp 13 817 479 untuk musim hujan.
Jadi pendapatan petani baik lahan luas maupun lahan sempit cenderung meningkat saat musim
hujan dari pada saat musim kemarau. Penelitian lain yang dilakukan oleh Palaudi dkk (2015)
menunjukkan rata-rata pendapatan usahatani sayuran kangkung, sawi, bayam, tomat, dan terong
petani lahan sempit sebesar Rp 45 686 640 per tahunnya, pendapatan rata-raata petani lahan
sedang Rp 48 332 500 dan untuk petani lahan luas pendapatan rata-ratanya Rp 51 778 775.
Penelitian Sianturi dkk (2010) memperoleh pendapatan Rp 466 239 322 per hektar per tahun
untuk tanaman sawi, bayam, kangkung. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, menurut Yusuf
(2015) rata-rata pendapatan petani kangkung organik Rp 45 802 280 per tahun atau Rp 3 816 857
per bulan.

Menurut Lubis (2011) analisis R/C rasio usahatani kangkung darat menunjukkan nilai R/C > 1
artinya usahatani kangkung darat layak untuk diusahakan dan efisien. Sama seperti penelitian
yang lain, hasil penelitian Dewi (2014) menunjukkan nilai rata-rata R/C rasio petani bayam
sempit pada musim kemarau adalah 1.67 pada musim hujan sebesar 2.09 untuk petani luas nilai
R/C rasio sebesar 1.74 pada musim kemarau dan 2.32 pada musim hujan. Petani lahan luas lebih
efisien dalam menjalankan usahatani bayam dari pada petani sempit untuk setiap musim tanam.
Hasan (2013) juga melakukan analisis R/C rasio dengan hasil 2.35 dan menurut penelitian Paludi
dkk (2015) analisis BCR sebesar 1.49 artinya usahatani sayuran menguntungkan dan layak untuk
diusahakan karena BCR >1. Penelitian Sianturi dkk (2010) menunjukkan R/C rasio terbesar pada
usahatani monokultur sawi sebesar 2.81. Sejalan dengan kedua penelitian tersebut, menurut
penelitian Yusuf (2015) menunjukkan R/C rasio usahatani kangkung sebesar 3.55. Nilai R/C
rasio menunjukkan seberapa besar pendapatan yang diperoleh dbandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan. Belum ada yang menyatakan berapa nilai R/C rasio yang optimal atau benar-benar
efisien, namun nilai R/C rasio pada penelitian ini cukup besar dan dapat dikatakan usaha ini
cukup efisien untuk dijalankan. Kekurangan dari perhitungan penelitian ini adalah luas lahan
tidak dikonversikan kedalam satu hektar serta perhitungan bukan per musim tanam tapi per
tahun. Berdasarkan analisis R/C rasio penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
usahatani sayuran menguntungkan, efisien, dan layak untuk dikembangkan. Sehingga para petani
mampu memperoleh pendapatan dari kegiatan usahatani terlebih lagi bila usahatani merupakan
mata pencaharian utama bagi petani. Iklim yang mendukung di wilayah Indonesia memberikan
keuntungan bagi petani dalam melakukan kegiatan usahatani berbagai jenis sayuran termasuk
sayuran kangkung. Sayuran merupakan high value comodity, meskipun biaya produksi tinggi
namun dapat menciptakan pendapatan yang tinggi pula.

Return to Labour dan Return to Capital

Return to Labor atau imbalan bagi tenaga kerja dihitung berdasarkan penerimaan atau nilai
total produksi dari usahatani dikurangi dengan semua biaya produksi kecuali biaya tenaga kerja.
Menurut hasil penelitian Dewi (2014) ratarata return to labour petani sempit saat musim kemarau
Rp 174 246 dan saat musim hujan Rp 260 257 sedangkan petani luas saat musim kemarau
sebesar Rp 719 565 dan saat musim hujan Rp 1 092 997. Jadi nilai rata-rata return to labor petani
sempit maupun petani luas pada musim kemarau dan musim hujan lebih tinggi daripada nilai
upah rata-rata tenaga kerja di Desa Ciaruteun Ilir yaitu sebesar Rp 50 000 per hari artinya
usahatani bayam sudah tepat daripada menjadi buruh tani. Hasil penelitian Cempaka (2013)
menunjukkan bahwa nilai rata-rata return to labor petani luas maupun petani sempit lebih tinggi
daripada nilai upah rata-rata tenaga kerja di Desa Panundaan yaitu sebesar Rp 30 000 per hari.
Pilihan petani responden untuk melakukan kegiatan usahatani sayuran sudah tepat daripada
menjadi buruh tani. Nilai return to capital lebih besar dari nilai suku bunga pinjaman yang
berlaku, yakni 15.97 persen. Penelitian lain yang dilakukan Adhifa (2016) menyatakan return to
labour pada KSU Lestari sebesar Rp 30 328 dan di ADS sebesar Rp 86 900. Imbalan terhadap
tenaga kerja keluarga petani mitra ADS lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat upah
tenaga kerja yang berlaku yaitu Rp 60 000. Sehingga dapat dikatakan keputusan petani mitra
ADS sudah tepat untuk mengerjakan usahatani bayam organik sudah tepat. Sedangkan nilai
return to labour petani mitra KSU Lestari menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan
dengan tingkat upah yang berlaku sebesar Rp 50 000,sehingga dapat dikatakan keputusan petani
mitra KSU Lestari untuk mengerjakan usahatani bayam organik belum tepat. Return to capital
atau imbalan bagi modal dihitung berdasarkan penerimaan atau nilai total produksi dari usahatani
dikurangi dengan semua biaya produksi kecuali biaya modal. Menurut hasil penelitian Dewi
(2014) rata-rata return to capital menunjukkan bahwa pilihan petani responden untuk
menginvestasikan modalnya pada kegiatan usahatani sudah tepat. Nilai rata-rata return to capital
yang diperoleh lebih besar dari nilai suku bunga pinjaman yang berlaku yaitu 13.53 persen
artinya petani benar memilih menginvestasikan uangnya untuk melakukan usahatani. Penelitian
lain yang mendukung adalah Cempaka (2013) yang menganalisis usahatani sayuran di Desa
Panundaan Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat. Rata-rata return to labor atau
imbalan bagi tenaga kerja petani sayuran lahan luas sebesar Rp 84 200 dan petani lahan sempit
adalah sebesar Rp 75 623. Rata-rata return to capital atau imbalan bagi modal pada petani lahan
luas adalah sebesar 148.02 persen dan petani lahan sempit adalah sebesar 90.43 persen.
Usahatani sayuran secara ekonomis menguntungkan karena mampu memberikan imbalan yang
besar bagi faktor produksi tenaga kerja dan modal yang telah digunakan dalam usahatani
sayuran. Sejalan dengan penelitian diatas Adhifa (2016) menganalisis menganai usahatani bayam
organik di KSU Lestari dan ADS di Kabupaten Bogor. Hasilnya menunjukkan return to capital
KSU Lestari sebesar 9.05 persen dan pada ADS sebesar 59.67 persen. Nilai suku bunga dasar
kredit mikro Bank Rakyat Indonesia pada September 2015 sebesar 19.25 persen (Bank
Indonesia, 2015). Berdasarkan hasil nilai return to capital petani mitra KSU Lestari menunjukkan
nilai yang lebih rendah dibandingkan tingkat suku bunga yang berlaku, sehingga keputusan
petani untuk menginvestasikan modalnya pada kegiatan usahatani bayam organik belum tepat.
Lain halnya dengan petani mitra ADS, menunjukkan keputusan petani sudah tepat dalam
menginvestasikan modalnya pada kegiatan usahatani bayam organic.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritik

Konsep Fungsi Produksi

Fungsi produksi merupakan hubungan fisik antara masukan dan produksi. Masukan seperti
lahan, pupuk, modal, tenaga kerja, dan sebagainya mempengaruhi besar-kecilnya produksi yang
diperoleh (Soekartawi et al. 2002). Informasi harga dan biaya dapat dimanfaatkan jika bentuk
fungsi produksi diketahui untuk menentukan kombinasi masukan terbaik maupun mengetahui
pengaruh kebijakan pemerintah terhadap penggunaan masukan dan terhadap produksi. Namun
hal ini sulit dilakukan oleh petani karena adanya faktor ketidaktentuan terkait cuaca, hama, dan
penyakit tanaman. Data yang digunakan untuk pendugaan fungsi produksi mungkin tidak benar,
pendugaan fungsi produksi hanya dapat diartikan sebagai gambaran rata-rata suatu pengamatan,
data harga, dan biaya yang diluangkan (opportunity cost) mungkin tidak dapat diketahui secara
pasti, serta setiap petani pada usahataninya mempunyai sifat yang khusus.

Pada dasarnya fungsi produksi dapat dinyatakan secara sistematis maupun dengan kurva
produksi. Kurva produksi menggambarkan hubungan fisik faktor produksi dan hasil
produksinya, dengan asumsi hanya satu produksi yang berubah dan faktor produksi lainnya
dianggap tetap (cateris paribus). Terdapat produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal
pada kurva produksi. Produk total (TP) adalah jumlah total yang diproduksi selama periode
waktu tertentu. Jika jumlah semua input kecuali satu faktor bernilai konstan, maka produksi total
akan berubah menurut jumlah faktor variabel yang digunakan. Sementara itu, jika produk total
dibagi dengan jumlah unit faktor variabel yang digunakan untuk memproduksinya, maka akan
dihasilkan produk rata-rata (AP). Produk marjinal (MP) adalah perubahan dalam produk total
sebagai akibat penambahan penggunaan input variabel sebanyak satu unit (Lipsey et al. 1995).
Adapun kurva produksi total digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1 Kurva produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal

Gambar 1 menunjukkan bahwa kurva produk total pada saat penggunaan input sebesar 0
sampai dengan x1 akan meningkat dengan laju peningkatan yang meningkat, dimana
penggunaan input sebesar x1 akan menyebabkan produktivitas rata-rata maksimum. Sementara
itu, kurva produk total pada saat penggunaan input sebesar x1 sampai dengan x2 juga akan
meningkat tetapi laju peningkatannya semakin menurun. Kemudian penggunaan input yang lebih
besar dari x2 justru akan menyebabkan kurva produk total menurun sehingga produk marjinal
bernilai negatif. Oleh karena itu, penggunaan input yang akan menghasilkan produksi optimum
adalah sebesar antara x1 dan x2, dimana jumlah penggunaan input sebesar x2 akan menghasilkan
produksi yang maksimum.

Konsep Usahatani

Menurut Soekartawi et al (2011), ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana
seseorang mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh
keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam usahatani
sebagai berikut :

1. Faktor Alam

Faktor alam dalam usahatani merupakan faktor penting, sehingga dalam batas tertentu petani
sebagai pelaku usahatani harus menyesuaikan kegiatan usahataninya dengan kondisi alam. Hal
ini disebabkan oleh karakteristik usaha pertanian yang sangat peka terhadap pengaruh alam.
Faktor alam dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan alam sekitarnya dan faktor tanah.
Faktor alam sekitar yaitu iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan lain sebagainya.
Iklim menjadi faktor penentu komoditas yang ditanam di suatu daerah karena setiap komoditas
pertanian memiliki spesifikasi yang berbeda untuk dapat tumbuh, salah satunya kecocokan
dengan iklim di lokasi usahtani. Selain itu, iklim juga berpengaruh terhadap cara mengusahakan
serta teknologi yang akan digunakan. Faktor alam yang lain adalah tanah. Tanah juga merupakan
faktor produksi yang penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman, ternak, dan
usahatani keseluruhannya. Jenis-jenis tanah yang terkait dengan kesuburan, lokasi, luas, dan
kemiringan akan mempengaruhi produktivitas tanaman. Tentu saja faktor tanah tidak terlepas
dari pengaruh alam sekitarnya.

2. Faktor Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usahatani keluarga (family farms), khususnya
tenaga kerja petani beserta anggota keluarganya. Rumah tangga tani yang umumnya sangat
terbatas kemampuannya dari segi modal, sangat ditentukan oleh peranan tenaga kerja keluarga.
Baik pada usahatani keluarga maupun perusahaan pertanian, peranan tenaga kerja belum
sepenuhnya dapat diganti dengan teknologi yang menghemat tenaga. Hal ini dikarenakan selain
mahal, juga terdapat hal-hal tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga kerja manusia dan
tidak dapat digantikan oleh teknologi.

3. Faktor Modal dan Peralatan

Tanah serta alam sekitarnya dan tenaga kerja adalah faktor produksi asli, sedangkan modal dan
peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan tenaga kerja. Dengan modal dan
peralatan, faktor produksi tanah dan tenaga kerja dapat memberikan manfaat yang jauh lebih
baik bagi manusia. Selain itu dengan modal dan peralatan, penggunaan tanah dan tenaga kerja
dapat dihemat.

4. Faktor Manajemen

Faktor produksi usahatani pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya, tenaga kerja, modal,
serta peralatan. Akan tetapi, harus ada yang mengatur penggunaan faktor-faktor produksi
tersebut agar dapat bersinergi dengan baik sehingga mencapai tujuan usahatani. Manajemen
sebenarnya melekat pada tenaga kerja dan petani merupakan pihak yang berperan sebagai
manajer. Untuk meraih keberhasilan usahatani sangat ditentukan oleh pengambilan keputusan
yang berdasarkan pada tujuantujuan usahatani, permasalahan, serta kondisi yang jelas, fakta dan
data yang aktual, serta analisis yang tepat dan akurat. Oleh karena itu, kemampuan, pengetahuan
sedangkan modal dan peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan tenaga kerja.
Dengan modal dan peralatan, faktor produksi tanah dan tenaga kerja dapat memberikan manfaat
yang jauh lebih baik bagi manusia.

Konsep Biaya Usahatani

Menurut Soekartawi et al (2011) biaya dibagi menjadi dua yaitu biaya yang langsung
dikeluarkan dan biaya diperhitungkan :

1. Biaya tunai adalah semua biaya yang dikeluarkan selama proses usahatani.
Biaya tunai (biaya variabel) meliputi pembelian bibit, pembelian peralatan, pembelian pupuk.
Biaya tunai (biaya tetap) meliputi sewa lahan, biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK), serta
biaya-biaya lain yang dikeluarkan selama proses produksi

2. Pengeluaran tunai (farm payment) adalah jumalh biaya yang dikeluarkan untuk pembelian
barang dan jasa bagi usahatani, dan tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman
pokok.

3. Pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow) adalah selisih antara penerimaan tunai
usahatani dengan pengeluaran tunai usahatani.

4. Penerimaan total usahatani (total farm revenue) adalah penerimaan dari semua sumber
usahatani yang meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil dan nilai
penggunaan untuk konsumsi keluarga.

5. Pengeluaran total usahatani (total farm expensive) adalah semua biayabiaya operasional
dengan tanpa menghitung bunga dari modal usahatani dan nilai kerja dari pengelolaan usahatani.
Pengeluaran ini meliputi pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris
dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar atau tenaga kerja keluarga. Analisis pendapatan pada
kegiatan usahatani dilakukan untuk menilai dua hal, yaitu untuk menggambarkan keadaaan yang
terjadi saat ini serta menggambarkan keadaan di masa datang pada usahatani yang dijalankan.
Pendapatan usahatani dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan usahatani yang dijalankan.

Konsep Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C rasio)

Analisis imbangan penerimaan dan biaya atau biasa dikenal dengan analisis R/C rasio
merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai keuntungan usahatani. R/C
rasio menunjukkan besarnya penerimaan usahatani yang diperoleh petani untuk setiap satuan
biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Nilai R/C rasio yang dihasilkan dapat bernilai
lebih satu atau kurang dari satu. Apabila nilai R/C lebih dari satu maka penerimaan yang
diperoleh lebih besar dari unit biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut,
sementara itu apabila nilai R/C kurang dari satu menunjukkan bahwa tiap unit biaya yang
dikeluarkan akan lebih besar dari penerimaan yang diperoleh. Apabila R/C sama dengan satu
maka penerimaan yang diperoleh sama besarnya dengan biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh penerimaan tersebut. Pada dasarnya semakin besar nilai R/C rasio yang didapat
menggambarkan semakin besarnya penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap satuan
biaya yang dikeluarkan.

Konsep Return to Labor dan Return to Capital

Menurut Soekartawi et al. (2011) imbalan kepada tenaga kerja dan imbalan kepada modal
merupakan patokan yang baik untuk mengukur penampilan usahatani. Keuntungan merupakan
keberhasilan pengelolaan usahatani secara menyeluruh, maka untuk mengukur keberhasilan
pengelolaan usahatani secara parsial (per bagian) perlu dihitung imbalan bagi faktor-faktor
produksi yaitu imbalan bagi tenaga kerja (return to labor) dan imbalan bagi modal (return to
capital).

Imbalan terhadap tenaga kerja keluarga (return to labor) menghitung seberapa besar
penghasilan yang dihasilkan terhadap penggunaan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga.
Imbalan terhadap seluruh modal (return to capital).merupakan ukuran imbalan terhadap modal
untuk menilai keuntungan investasi, nilainya dapat dihitung dalam bentuk jumlah imbalan dan
juga persentase imbalan terhadap total modal. Jika nilai return to capital lebih tinggi daripada
nilai suku bunga kredit yang berlaku maka pilihan petani untuk menginvestasikan modalnya di
sektor pertanian sudah tepat dibandingkan menginvestasikan modalnya di Bank.

Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional analisis pendapatan usahatani kangkung di Desa


Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Provinsi
Jawa Barat. Penenetuan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut
merupakan sentra produksi tanaman kangkung di Kabupaten Bogor. Pelaksanaan pengambilan
data dilakukan pada bulan Maret sampai April 2017.

Jenis dan Sumber Data

Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara kepada petani kangkung
menggunakan kuisioner. Data primer yang dikumpulkan antara lain identitas petani, luas lahan,
teknis budidaya penanaman, pekerjaan, dan pendapatan lain selain bertani. Hal ini untuk melihat
gambaran umum mengenai petani di lokasi tempat penelitian. Data primer mengenai jumlah dan
jenis input usahatani, biaya produksi, penggunaan tenaga kerja, serta harga jual berguna untuk
menganalisis pendapatan usahatani. Data sekunder diperoleh dari literatur dan instansi yang
terkait dengan topik penelitian, seperti penelitian terdahulu, jurnal, Dinas Pertanian,
Hortikulturan, dan Perkebunan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal
Hortikultura serta dinas yang terkait.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan survey dan wawancara langsung kepada petani.
Wawancara menggunakan teknik individual. Teknik mengumpulkan data kuisioner dilakukan
dengan menemui responden secara langsung di sawah maupun tempat tinggal responden. Metode
penarikan sampel dilakukan dengan simple random sampling sebanyak 60 petani sayuran
kangkung. Informasi mengenai jumlah petani kangkung di Desa Bojong didapatkan dari catatan
gabungan kelompok tani Ragusta. Dari data tersebut responden diklasifikasikan menjadi dua
kategori berdasarkan luas lahan yaitu petani lahan sempit (< 0.25 Ha) dan petani lahan luas (≥
0.25 Ha). Kemudian dibuat kocokan seperti arisan untuk menentukan sample secara random
untuk masing - masing klasifikasi.

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik secara primer maupun sekunder diolah dan dianalisis dengan
metode deskriptif maupun metode kuantitatif. Metode deskriptif dilakukan untuk
menggambarkan karakteristik petani, sedangkan metode kuantitatif dilakukan untuk mengetahui
pendapatan, efisiensi usahatani, return to total capital dan return to labour. Analisis dilakukan
dengan program Microsoft Excel 2010.

Analisis Usahatani

Analisis usahatani kangkung bertujuan untuk mengetahui penerimaan usahatani, biaya


usahatani dan pendapatan usahatani yang diperoleh. Data yangdiperoleh meliputi jumlah
penggunaan input, harga input, jumlah output dan hargaoutput. Selanjutnya data diolah dalam
bentuk tabulasi data menggunakan software Microsoft Excel 2010. Analisis pendapatan
usahatani meliputi :

1.Penerimaan usahatani kangkung

Penerimaan usahatani merupakan hasil perkalian antara harga kangkung dengan jumlah
kangkung yang dihasilkan.

TR = Py x Y

dimana:
TR = Total penerimaan usahatani kangkung (Rp)

Py = Harga kangkung (Rp)

Y = Output kangkung (kg)

2. Biaya usahatani kangkung

Biaya usahatani terdiri dari biaya tunai dan non tunai. Biaya tunai merupakan biaya yang
dikeluarkan secara tunai, sedangkan biaya non tunai merupakan biaya yang dikeluarkan petani
secara tidak tunai. Total cost (TC) merupakan penjumlahan dari biaya tunai dan non tunai.

TC = Biaya tunai + Biaya non tunai

dimana:

TC = Total biaya usahatani kangkung (Rp)

Biaya tunai = Biaya tunai usahatani kangkung (Rp)

Biaya non tunai = Biaya non tunai usahatani kangkung (Rp)

3. Pendapatan usahatani

Pendapatan usahatani merupakan penerimaan bersih yang diperoleh petani baik tunai maupun
diperhitungkan. Pendapatan atas biaya tunai yaitu biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh
petani, sedangkan pendapatan atas biaya total yaitu semua input milik keluarga yang juga
diperhitungkan sebagai biaya (Soekartawi et al, 2011). Pendapatan usahatani merupakan selisih
antara penerimaan dan pengeluaran, yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

π total = TR – TC

π tunai = TR– Biaya tunai

dimana :

π = Pendapatan usahatani kangkung (Rp)

TR = Total penerimaan total usahatani kangkung (Rp)

TC = Total biaya usahatani kangkung (Rp)

Biaya tunai = Biaya tunai usahatani kangkung (Rp)


Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio)

Analisis R/C rasio dalam usahatani bertujuan untuk mengetahui kelayakan dari usahatani yang
dilaksanakan dapat dilihat dari perbandingan antara nilai output terhadap nilai inputnya. Menurut
Soekartawi et al (2011), R/C rasio merupakan perbandingan antara penerimaan dengan
pengeluaran usahatani.

Rumus R/C rasio dapat ditulis :

R/C rasio atas biaya tunai = Total penerimaaan usaha tani

Total biaya tunai usaha tani

R/C rasio atas biaya total = Total penerimaaan usaha tani

Total biaya total usaha tani

Analisis R/C rasio digunakan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang dihasilkan
dari setiap rupiah yang dikeluarkan pada suatu usahatani. Apabila rasio R/C > 1, usahatani yang
dijalankan layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya, jika rasio R/C < 1, usahatani tersebut tidak
layak untuk dilaksanakan.

Analisis Pendapatan Usahatani

Analisis pendapatan untuk mengetahui imbalan atau balas jasa yang diterima petani atas
setiap penggunaan faktor produksi yang meliputi lahan, modal, dan tenaga kerja. Adapun ukuran
pendapatan dan keuntungan :

1. Pendapatan kotor (Gross farm income)

Pendapatan kotor merupakan nilai produk total usahatani kangkung, dalam jangka waktu tertentu
baik dijual atau tidak, yang dirumuskan :

Gross farm income (Rp) = Penerimaan tunai + Penerimaan non tunai

2. Pengeluaran total usahatani (Total farm expenses)

Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua input yang habis

dipakai (tidak termasuk tenaga kerja keluarga), terdiri dari biaya tunai dan non tunai, yang
dirumuskan :

Total farm expenses (Rp) = Pengeluaran tunai + Pengeluaran non tunai

3. Pendapatan bersih usahatani (Net farm income)


Pendapatan bersih usahatani menunjukkan ukuran yang diperoleh keluarga petani dari
penggunaan faktor produksi kerja, modal (sendiri dan pinjaman) dan pengelolaan, yang
dirumuskan :

Net farm income (Rp) = Gross farm income – Total farm expenses

4. Penghasilan bersih usahatani (Net farm earnings)

Penghasilan bersih usahatani merupakan ukuran imbalan sumber daya milik keluarga yang
dipakai dalam usahatani, yang dirumuskan :

Net farm earnings (Rp) = Net farm income – Bunga modal petani

5. Imbalan kepada seluruh modal petani (Return to total capital)

Imbalan terhadap seluruh modal merupakan ukuran imbalan terhadap modal untuk menilai
keuntungan investasi, nilainya dapat dihitung dalam bentuk jumlah imbalan dan juga persentase
imbalan terhadap total modal sebagai berikut:

Return to Total Capital (Rp) = Net farm income – nilai TK Keluarga

Return to Total Capital (%) = Return to total capital X 100%

Total modal

Jika nilai return to total capital lebih tinggi daripada nilai suku bunga kredit yang berlaku
maka pilihan petani untuk menginvestasikan modalnya di sektor pertanian sudah tepat
dibandingkan menginvestasikan modalnya di bank

6.Imbalan terhadap tenaga kerja keluarga (Return to family labour)

Imbalan terhadap tenaga kerja keluarga menghitung seberapa besar penghasilan yang dihasilkan
terhadap penggunaan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga. Perhitungan ini dapat
dibandingkan dengan imbalan atau upah tenaga kerja luar usahatani yang dihitung per HOK
dengan perhitungan :

Return To Family Labour (Rp) = Net farm earnings – (Bunga Modal (%) x Modal Petani)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Karakteristik Wilayah

Desa Bojong adalah salah satu desa dari sembilan desa yang ada di Kecamatan Kemang,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Rata-rata banyaknya hari hujan di Desa Bojong selama
satu tahun adalah 17 hari. Rata-rata curah hujan di Desa Bojong sebesar 565 mm per tahun. Desa
Bojong dikenal dengan produksi kangkung yang tinggi dibandingkan desa lain, tentunya hal ini
didukung dengan curah hujan dan hari hujan yang cukup. Secara administratif Desa Bojong
dibatasi oleh beberapa desa diantaranya sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kemang, sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Semplak Barat, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Parakan
Jaya, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bantar Sari. Peta Kecamatan Kemang dapat dilihat
pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

Desa Bojong memiliki luas 7 810 200 Ha yang masing-masing digunakan untuk sawah sebesar
15.75 persen yang digunakan untuk menanam kangkung sebesar 0.03 persen, pemukiman 18.82
persen, pekarangan 0.51 persen dan digunakan untuk fasilitas umum sebesar 64.91 persen.
Menurut data Kecamatan Kemang jumlah penduduk di Desa Bojong sebanyak 12 706 orang
yang terdiri dari 6 667 orang penduduk laki-laki dan 6 039 orang penduduk perempuan
Mayoritas penduduk Desa Bojong belum bekerja sebanyak 24.02 persen sedangkan penduduk
yang menjadi petani hanya sebesar 0.99 persen hal ini dapat menjadi peluang dalam pertanian.

Gambaran Umum Karakteristik Petani Responden

Petani responden dalam penelitian ini adalah petani sayuran kangkung di Desa Bojong dalam
skala sempit dan skala luas. Petani responden berjumlah 60 orang yang terbagi masing – masing
berjumlah 30 orang untuk petani lahan sempit dan 30 orang untuk petani lahan luas. Pada
penelitian ini karakteristik petani responden terdiri dari luas pengusahaan lahan, status usaha,
status kepemilikan lahan, usia, tingkat pendidikan, serta pengalaman dalam bertani. Seluruh
faktor tersebut penting untuk diketahui karena akan berpengaruh terhadap keputusan petani
dalam melakukan kegiatan usahatani. Luas lahan yang digarap petani sangat beragam mulai dari
lahan sempit yaitu petani yang mengelola lahan lebih kecil dari 0.25 hektar sampai petani lahan
luas yaitu petani yang mengelola lahan besar dari atau sama dengan 0.25 hektar. Rentang luas
lahan yang dimiliki petani responden mulai dari 0.1 Ha hingga 1 Ha. Persentase luas lahan yang
digunakan untuk usahatani kangkung tertinggi berada pada luas lahan < 0.125 hektar yaitu
sebesar 36.67 persen. Adapun karakteristik petani responden berdasarkan luas lahan dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik petani responden berdasarkan luas lahan

Status kepemilikan lahan responden di Desa Bojong terbagi menjadi dua kategori, yaitu lahan
milik sendiri dan lahan sewaan untuk melakukan kegiatan usahatani. Berdasarkan hasil
penelitian di lapang dapat disimpulkan bahwa luasan lahan yang digarap oleh petani tidak
berpengaruh terhadap status kepemilikan lahan. Petani yang lahannya luas bukan bararti
memiliki lahan tersebut, tetapi juga bisa mengelola lahan dari sistem sewa. Mayoritas petani
memiliki lahan sendiri yaitu sebesar 90 persen dari total petani responden. Petani sebesar 16.67
persen sebagai penyewa dan sisanya yaitu 83.33 persen sebagai petani pemilik. Karakteristik
petani berdasarkan status kepemilikan lahan dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan

Usia merupakan faktor yang akan mempengaruhi kegiatan usahatani yang mampu dilakukan
petani. Semakin tua usia petani maka kemampuan fisiknya cenderung mengalami penurunan
sehingga dapat mengurangi kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usahatani. Rata-rata
usia petani responden adalah 42 tahun. Usia paling muda petani responden adalah 30 tahun dan
usia paling tua adalah 65 tahun. Mayoritas petani responden berusia antara 41 hingga 50 tahun
yaitu sebesar 50 persen dan hanya terdapat satu orang petani responden yang berusia 20 hingga
30 tahun. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa mayoritas petani berada dalam usia
produktif. Banyaknya petani responden yang berusia 41 sampai 50 tahun dipengaruhi oleh
kebiasaan turun temurun melakukan usahatani kangkung di Desa Bojong. Karakteristik petani
responden berdasarkan golongan usia dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Karakteristik petani responden berdasarkan golongan usia

Tingkat pendidikan petani responden berpengaruh terhadap pengetahuan yang dimiliki petani
dan penyerapan teknologi dalam usahatani. Seluruh petani responden baik petani lahan sempit
maupun lahan luas pernah menempuh pendidikan formal, namun tingkat pendidikan mayoritas
petani masih tergolong rendah yaitu hingga Sekolah Dasar sebesar 91.67 persen dari total petani
responden. Hanya terdapat dua petani responden yang menamatkan pendidikan hingga ke
jenjang SMP yaitu sebesar 3.33 persen dan terdapat dua petani responden yang menamatkan
pendidikan hingga ke jenjang SMA yaitu sebesar 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan petani di Desa Bojong masih tergolong rendah walaupun sudah ada beberapa petani
yang menamatkan pendidikan hingga jenjang SMA. Adapun karakteristik petani responden
berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan

Selain tingkat pendidikan, faktor lain yang menentukan keberhasilan usahatani adalah
pengalaman bertani. Pengalaman dalam berusahatani mempengaruhi kemampuan teknis petani
sehingga kegiatan usahatani dapat berjalan dengan baik. Mayoritas petani memulai kegiatan
bertani sejak masih kecil dan belajar bertani dari orang tua mereka. Alasan responden
berusahatani sayuran khususnya sayuran daun yaitu sayuran kangkung karena cocok diusahakan
pada lokasi penelitian dan turun temurun diusahakan oleh orang tua mereka dengan budidaya
penanaman yang mudah.

Masing-masing petani responden memiliki cara, teknik, dan budidaya sendiri berdasarkan
pengalaman yang mereka dapat di lapang selama bertahuntahun. Pengalaman petani responden
yang paling rendah adalah 10 tahun sedangkan pengalaman paling lama adalah 65 tahun. Rata-
rata pengalaman seluruh responden dalam usahatani adalah selama 30-35 tahun. Mayoritas
pengalaman bertani baik petani lahan sempit maupun lahan luas adalah selama 20 sampai 35
tahun. Adapun karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman bertani dapat dilihat pada
Tabel 10.

Tabel 10 Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman bertani.


Keseluruhan karakteristik petani responden di atas yaitu luas lahan, status usaha, kepemilikan
lahan, golongan usia, tingkat pendidikan, dan lama bertani akan mempengaruhi keputusan petani
dalam melakukan kegiatan usahatani. Oleh karena itu karakteristik petani menjadi salah satu
aspek penting dalam menggambarkan usahatani sayuran kangkung di lokasi penelitian.

Gambaran Umum Usahatani Kangkung di Desa Bojong

Penggunaan Sarana Produksi

Beberapa faktor produksi yang dibutuhkan pada usahatani kangkung meliputi kebutuhan
benih, pupuk, kapur, tenaga kerja, lahan, dan alat-alat pertanian. Benih yang digunakan petani
adalah benih kangkung yang dijual di toko pertanian terdekat. Petani kangkung di lokasi
penelitian menggunakan pupuk kandang yaitu pupuk ayam dan pupuk kimia berupa pupuk Urea
dan NPK Phonska. Petani kangkung di lokasi penelitian tidak menggunkan obat-obatan kimia.
Petani menggunakan cangkul, kored, parang atau arit, headsprayer, karung, dan keranjang
sebagai alat pertanian serta tenaga kerja baik dalam keluarga maupun luar keluarga dalam
usahatani

A. Benih Kangkung

Benih merupakan salah satu faktor penentu hasil produksi. Benih yang digunakan oleh petani
responden seluruhnya baik golongan petani lahan sempit maupun lahan luas merupakan benih
varietas lokal yang biasa tersedia di toko pertanian di Desa Bojong. Petani responden
menggunakan benih lokal karena cocok ditanam pada lahan yang dimiliki petani dan jika tidak
tersimpan dalam jangka waktu lama kualitasnya bagus. Satu kilogram benih kangkung dapat
menghasilkan 10 ikat gabung kangkung.

Benih kangkung yang dibeli di toko pertanian memiliki kelebihan yaitu lebih praktis, petani
dapat langsung menebar pada lahan, dan pembayarannya tidak harus lunas pada saat pembelian
benih karena petani boleh meminjam benih terlebih dahulu di toko pertanian dan dapat
membayarnya setelah panen. Selain memiliki kelebihan benih kangkung dari toko pertanian juga
memiliki kelemahan. Kelemahannya yaitu sulit untuk diketahui bagaimana kualitasnya, karena
tidak diketahui asal-usul benihnya. Benih yang sudah tersimpan lama di toko pertanian membuat
kualitasnya rendah dan tidak mampu menghasilkan kangkung dalam jumlah idealnya. Kebutuhan
rata-rata benih kangkung per hektar petani lahan sempit 166 kilogram, sedangkan petani lahan
luas 200 kilogram. Jumlah ini menunjukkan bahwa kebutuhan benih petani lahan sempit cukup
berbeda dengan petani lahan luas.
B. Pupuk

Pemupukan merupakan kegiatan dalam usahatani yang penting dilakukan petani agar tanaman
yang diusahakan petani dapat tumbuh subur dan tetap terjaga kandungan unsur hara pada tanah
yang dibutuhkan untuk perkembangan tanaman sayuran terutama tanaman kangkung. Pupuk
yang dipakai oleh petani responden golongan petani lahan sempit dan luas adalah pupuk kandang
(pupuk kotoran ayam) dan pupuk kimia. Pupuk kotoran ayam merupakan pupuk yang
memerlukan kuantitas yang cukup banyak dan tergantung pada teknik budidaya masing-masing
petani. Pembelian pupuk kandang ayam ini biasanya bukan dalam eceran satuan kilogram
melainkan satuan karung dimana satu karung biasanya memiliki berat sekitar 40 kilogram
dengan harga yang berbeda-beda. Harga pupuk ayam tergantung pada jenis ayam yang dipakai.

Jenis pupuk kimia yang dipakai petani responden adalah Urea dan NPK Phonska. Para petani
membeli pupuk tersebut dari toko-toko pertanian di sekitar Desa Bojong maupun dari toko
pertanian di luar desa. Tabel 11 menunjukkan kebutuhan rata-rata pupuk per hektar petani
responden baik petani lahan sempit maupun lahan luas. Kebutuhan pupuk kandang (pupuk ayam)
paling tinggi dibandingkan pupuk lainnya pada seluruh petani responden. Hal ini karena pupuk
kandang merupakan pupuk dasar yang selalu digunakan pada awal penanaman sayuran
kangkung dan banyak mengandung unsur-unsur organik yang dibutuhkan di dalam tanah.

Tabel 11 Kebutuhan rata-rata pupuk per hektar berdasarkan golongan petani lahan sempit dan
lahan luas di Desa Bojong periode Maret-April 2017

C. Alat-alat pertanian

Jenis alat pertanian yang digunakan dalam kegiatan usahatani kangkung di Desa Bojong
meliputi cangkul, arit atau parang, handsprayer (semprotan), karung, dan keranjang. Cangkul
digunakan untuk mengolah tanah berupa pembongkaran sementara maupun penurunan tanah
kembali. Arit atau parang digunakan untuk proses penyiangan yaitu untuk membersihkan
rumput-rumput atau tanaman pengganggu di sekitar tanaman namun hal ini jarang dilakukan
oleh petani sayuran kangkung. Handsprayer merupakan semprotan yang digunakan petani untuk
menyemprot. Selanjutnya karung atau keranjang yaitu tempat yang biasa digunakan untuk
menampung hasil panen dari lahan ke pedagang pengumpul. Alat pertanian di atas tidak
seluruhnya dimiliki oleh petani responden karena ada sebagian petani yang tidak memiliki
cangkul dan keranjang. Alat pertanian yang tidak dimiliki petani biasanya telah dibawa sendiri
oleh buruh tani yang bekerja di lahan petani tersebut.
D. Lahan

Luas lahan yang dimiliki petani responden cukup beragam. Golongan petani lahan sempit
memiliki rata-rata sebesar 0.1007 hektar dan golongan petani lahan luas sebesar 0.6050 hektar.
Status kepemilikan lahan yang digarap oleh petani responden terdiri dari lahan milik sendiri dan
lahan sewa .

Petani yang memiliki lahan sendiri menanggung beban pajak atas kepemilikan lahannya
sedangkan petani yang menyewa atau kontrak tidak menanggung beban pajak karena telah
ditanggung oleh pemilik lahan. Pada analisis pendapatan usahatani biaya pajak dimasukkan pada
biaya tunai. Biaya pajak yang digunakan adalah biaya pajak selama satu periode tanam yaitu
diasumsikan selama satu bulan. Lahan milik sendiri yang dimiliki petani dimasukkan pada biaya
non tunai. Biaya sewa lahan tersebut diketahui dari informasi yang didapatkan saat wawancara
mendalam kepada petani dengan sasumsi jika lahan milik sendiri tersebut disewakan oleh petani
yang bersangkutan.

E.Tenaga Kerja

Tenaga kerja pada usahatani terbagi atas dua jenis yaitu tenaga kerja luar keluarga (TKLK)
dan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Pada kasus petani responden di Desa Bojong, petani
sebagian besar menggunakan tenaga kerja dalam keluarga untuk golongan petani lahan sempit
dan tenaga kerja luar keluarga untuk golongan petani lahan luas. Umumnya petani banyak
memerlukan biaya untuk upah pengolahan tanah dan pemanenan. Tenaga kerja petani pemilik
atau penggarap dalam melakukan kegiatan usahatani dimasukkan ke dalam biaya tenaga kerja
dalam keluarga (TKDK). Sehingga dalam penelitian ini tenaga kerja yang dianalisis adalah
tenaga kerja luar keluarga (TKLK) yang merupakan biaya tanggungan petani responden dan
termasuk biaya tunai dan tenaga kerja dalam keluarga yang termasuk biaya non tunai.
Penyediaan tenaga kerja di lokasi penelitian cukup banyak dan mudah didapatkan karena
mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh tani. Tenaga kerja yang digunakan
dalam budidaya kangkung banyak dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki. Tenaga kerja perempuan
hanya digunakan oleh petani responden ketika proses panen yang dilakukan secara manual yaitu
dicabut tangan dengan upah sebesar Rp 20 per ikat kecil kangkung. Adapun kebutuhan rata-rata
tenaga kerja (HOK) per satu hektar lahan dilihat pada Tabel 12.

Upah rata-rata untuk tenaga kerja laki-laki dan perempuan berbeda tergantung kegiatan
usahatani yang dilakukan. Pengolahan lahan biasanya dilakukan oleh laki-laki dengan upah Rp
100 000 per hari di lokasi penelitian pengolahan lahan biasanya diselesaikan dalam satu hari jika
menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Kegiatan pemupukan dengan pupuk kandang dan
penebaran benih lahan biasanya dilakukan oleh laki-laki dengan upah Rp 150 000 per hari.
Kegiatan selanjutnya adalah pemupukan dengan pupuk urea biasanya dilakukan oleh laki-laki
dengan upah Rp 50 000 per hari. Kegiatan terakhir adalah kegiatan pemanenan, pada kegiatan ini
upahnya cukup bervariatif tergantung jumlah panen yang didapat oleh pekerja, biasanya untuk
perempuan mendapatkan upah Rp 20 per ikat kecil kangkung, sedangkan pengangkutan dan
mencuci kangkung dilakukan oleh laki-laki dengan upah Rp 25 000. Semua kegiatan rata-rata
dilakukan dalam satu hari kecuali saat kegiatan pemanenan dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah kebutuhan rata-rata tenaga kerja (HOK) per hektar berdasarkangolongan petani
responden lahan sempit dan lahan luas di Desa Bojong periode Maret - April tahun 2017.

Kebutuhan TKDK lahan sempit pada kegiatan pengolahan lebih besar dari pada TKDK lahan
luas hal ini dikarenakan petani responden lahan sempit merasa mampu melakukannya sendiri
atau dengan bantuan dari tenaga kerja keluarganya sehingga waktu yang diperlukan untuk
kegiatan pengolahan lahan lebih lama. Sedangkan pada petani responden lahan luas pada
kegiatan pengolahan lahan lebih memilih menggunakan tenaga kerja borongan, sehingga waktu
pengerjaan lebih cepat, hal ini yang menyebabkan perbedaan cukup besar HOK dari
masingmasing petani responden lahan sempit dan petani lahan luas.

Perbedaan HOK TKLK pada kegiatan panen petani responden lahan sempit dan luas juga
terlihat cukup berbeda, hal ini berbanding terbalik dari kegiatan pengolahan lahan. Hal ini terjadi
karena saat panen petani lahan sempit jarang menggunakan tenaga kerja luar keluarganya dan
merasa mampu mengerjakannya sendiri. Petani responden lahan luas memilih menggunakan
tenaga kerja borongan (TKLK) agar proses pemanenan sesuai target yang diinginkan.

F. Modal

Modal usahatani kangkung yang digunakan oleh petani di lokasi penelitian seluruhnya
menggunakan modal sendiri, karena umumnya penggunaan modal untuk memulai usahatani
kangkung tidak terlalu mahal. Selain itu jika petani mengalami kerugian dan tidak ada modal
untuk membudidayakan kangkung maka petani dapat meminjam benih yang terdapat di toko
pertanian terdekat dan dibayar setelah panen. Petani di Desa Bojong biasanya juga dapat
mengambil pupuk kandang seperti pupuk kotoran ayam yang ada di Desa Bojong dengan sistem
pembayaran saat panen kangkung. Umumnya petani membeli pupuk dari peternak di Desa
Bojong yang menawarkan kepada petani. Selain itu pupuk kandang juga didapat dari pedagang
pengumpul yang merangkap sebagai distributor pupuk sehingga ketika petani panen maka petani
tersebut hanya perlu menjual hasil panennya pada pedagang pengumpul dan penerimaan yang
didapatkan sudah dikurangi dengan biaya penggunaan pupuk.
Petani di lokasi penelitian mayoritas menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul
setempat dibandingkan menjual sendiri ke pasar karena menjual ke pedagang pengumpul lebih
mudah, tidak membutuhkan biaya transportasi, dan petani tidak perlu mencari pekerja untuk
panen karena pengumpul menyediakan pekerja borongan untuk panen, jadi jika petani menjual
hasil panen kangkung ke pengumpul hasil panen yang didapat sudah dipotong dengan biaya
panen. Harga jual kangkung tidak menentu setiap musimnya atau setiap bulannya. Jika dibeli
oleh pengumpul hasil panen kangkung dihargai sesuai harga pasar dan kualitas kangkung itu
sendiri, harganya sekitar Rp 7 000 hingga Rp 25 000 per ikat gabung.

Teknik Budidaya

Teknik budidaya sayuran kangkung petani responden di Desa Bojong cenderung tidak
memiliki banyak perbedaan dengan budidaya sayuran kangkung di daerah lain khususnya di
daerah Jawa Barat. Teknik yang digunakan merupakan teknik konvensional. Secara garis besar
proses yang dilakukan sama, yaitu meliputi pengolahan tanah, pemupukan dengan pupuk
kandang dan penebaran benih kangkung, pemupukan dengan pupuk urea, panen, dan pascapanen
(meliputi proses pembersihan dan penggabungan ikat). Namun terdapat karakteristik-
karakteristik tersendiri dari beberapa proses tersebut. Secara lebih rinci dijelaskan dalam poin-
poin berikut:

A. Pengolahan tanah

Pengolahan tanah dilakukan beberapa hari sebelum proses penebaran benih dilakukan.
Aktivitas yang dilakukan dalam pengolahan tanah ini adalah tanah yang akan digunakan
dicangkul agar tanah tersebut gembur. Setelah dilakukan pengolahan tanah petani responden
membuat garitan dalam memudahkan penanaman. Pada proses ini tidak semua petani kangkung
menggunakan garitan. Lamanya pembuatan garitan tergantung kondisi tanah sebelumnya dan
berada pada kisaran 6-7 hari per hektar. Aktivitas penggaritan ini pada golongan petani lahan
sempit maupun lahan luas biasanya dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki dari luar keluarga atau
petani itu sendiri. Pada petani lahan sempit biasanya lebih banyak menggunakn tenaga kerja
dalam keluarga. Pengolahan tanah yang dilakukan petani responden juga ada yang menggunakan
sistem borongan untuk mempercepat proses pengolahan tanah.

B. Penanaman

Setelah pengolahan tanah selanjutnya pemupukan pupuk kandang yang dibarengi dengan
penyebaran benih. Pemupukan dengan pupuk kandang dan penyebaran benih dilakukan dalam
satu hari. Setelah pupuk kandang disebar secara merata satu jam kemudian benih kangkung
disebar sesuai dengan teknik masing-masing petani. Penyebaran benih kangkung ada yang
langsung disebar begitu saja ada juga yang disebar mengikuti garitan yang dibuat. Kegiatan
penyebaran benih dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki yang sudah terbiasa dalam menebar
benih. Perbedaan cara penebaran benih kangkung membuat hasilnya berbeda antara petani yang
satu dengan petani lainnya. Jarak tanam kangkung ada yang jarang namun juga ada yang
berdekatan tergantung penerapan teknik budidaya pada masing-masing petani responden.

C. Pemupukan

Perlakukan pemupukan sebenarnya harus memperhatikan kondisi lahan. Namun lahan di


lokasi penelitian pada umumnya sudah cukup bagus dan merupakan lahan pertanian yang sangat
cocok untuk budidaya berbagai macam sayuran terutama sayuran kangkung yang telah banyak
dibudidayakan. Kegiatan pemupukan ini dilakukan untuk mempertahankan unsur hara tanah.

Pemupukan biasanya dilakukan hanya sekali selama satu kali musim tanam. Pada umumnya
pemupukan dilakukan antara hari ke 13, hari ke 14 atau hari ke 15 setelah benih ditebar. Pupuk
yang biasa digunakan adalah pupuk urea, atau ada beberapa petani responden yang mencampur
pupuk urea dengan pupuk NPK Phonska dengan takaran tertentu. Seluruh proses pemupukan ini
dilakukan dengan cara menaburkannya langsung di sekitar tanaman sesuai teknik dari masing-
masing petani

D. Panen dan Pascapanen

Tanaman kangkung dapat dipanen pada umur 20-25 HST (Hari Setelah Tanam). Proses panen
ini baik golongan petani lahan sempit maupun lahan luas dilakukan oleh buruh tani wanita yang
dilakukan secara manual atau dicabut tangan kemudian diikat kecil-kecil. Kemudian kangkung
yang diikat kecil-kecil digabung dan disebut dengan ikat gabung. Satu ikat gabung besar
mencakup 50 ikat kecil kangkung.

Proses pascapanen biasa dilakukan oleh tenaga kerja luar keluarga dan dibantu oleh petani
kangkung itu sendiri. Kegiatan ini berupa pengangkutan, jika lahan jauh dari sumber air.
Kangkung diangkut menggunakan keranjang atau karung menuju sumber air, biasanya sumber
air berada dipinggir jalan. Selain itu pasca panen juga meliputi proses pembersihan atau
pencucian kangkung yang telah selesai dicabut. Kangkung dicuci pada sumber air yang mengalir
sepanjang jalan Desa Bojong.

Setelah dicuci kangkung diikat kecil sebesar ukuran ibu jari dan digabung kembali pada satu
ikat gabung besar (1 ikat gabung = 50 ikat kecil) dengan asumsi satu ikat gabung memiliki berat
kurang lebih lima kilogram. Setelah proses pascapenen kangkung siap dijual ke pedagang
pengumpul. Pedagang pengumpul biasanya sudah berada di tempat pencucian kangkung. Harga
yang diterima petani sesuai dengan kesepakatan antar petani dan pengumpul.
E. Pemasaran

Mayoritas para petani di Desa Bojong menjual hasil panen ke pedagang pengumpul. Hal ini
sudah merupakan kebiasaan dan telah membudidaya alasannya adalah hasil panen cepat terjual
dan modal cepat kembali. Petani merasa kesulitan untuk membawa hasil panen mereka langsung
ke pasar karena alasan jarak, waktu, biaya, dan alat transportasi. Harga beli kangkung di tingkat
pedagang pengumpul bervariasi tapi pada dasarnya harga yang diterapkan pedagang pengumpul
lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar. Para pedagang pengumpul pada umumnya
langsung menjual hasil panen tersebut ke pasar, seperti pasar Anyar, pasar Bogor, pasar
merdeka, dan pasar TU (Kemang) di Kabupaten Bogor bahkan hingga Bekasi dan Depok.

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KANGKUNG

Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah pendapatan kotor usahatani yang dibedakan menjadi penerimaan tunai
dan penerimaan non tunai. Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari usahatani.
Penerimaan non tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang. Penerimaan non tunai pada
usahatani kangkung dapat berupa hasil panen yang tidak dijual tapi digunakan untuk konsumsi keluarga
petani. Rata-rata seluruh hasil usahatani sayuran kangkung yang ditanam petani responden di Desa
Bojong menghasilkan penerimaan tuna.

Jumlah kangkung yang dipanen per hektar langsung dijual oleh petani lahan sempit adalah 1 773 ikat
gabung. Berbeda halnya dengan petani responden lahan luas yang menghasilkan kangkung sebesar 1 997
ikat gabung per hektar. Penerimaan rata-rata petani kangkung per hektar berdasarkan golongan petani
responden lahan sempit dan lahan luas dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Penerimaan rata-rata kangkung (rupiah) per hektar berdasarkan golonganpetani responden lahan
sempit dan lahan luas di Desa Bojong.

Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa penerimaan total per hektar petani lahan sempit sebesar Rp 26
600 000. Sedangkan pada petani lahan luas adalah sebesar Rp 29 966 667. Tabel di atas memperlihatkan
bahwa penerimaan total per hektar golongan petani responden lahan sempit lebih kecil dari pada petani
responden lahan luas. Adanya perbedaan penerimaan dapat disebabkan karena adanya perbedaan biaya
yang dikeluarkan, perbedaan kuantitas yang digunakan, dan harga jual yang diterima berbeda antara
petani satu dengan yang lain.

Biaya Usahatani

Biaya usahatani adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan petani responden selama
menjalankan kegiatan usahatani. Biaya yang dikeluarkan petani responden dibagi menjadi biaya
tunai dan biaya non tunai. Biaya tunai meliputi biaya pengadaan benih, biaya pengadaan pupuk,
biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK), biaya transportasi, biaya sewa lahan, dan biaya pajak
lahan. Biaya non tunai meliputi biaya sewa lahan (lahan milik sendiri), biaya tenaga kerja dalam
keluarga (TKDK), dan biaya penyusutan alat pertanian. Rincian biaya rata-rata usahatani
kangkung petani responden dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Biaya rata-rata usahatani kangkung (rupiah) per hektar berdasarkan golongan petani
responden di Desa Bojong bulan Maret-April 2017

Berdasarkan Tabel 14 komponen biaya terbesar pada petani luas adalah biaya pembelian
benih yaitu menyumbang sebesar 38.57 persen dari biaya total. Harga benih kangkung di Desa
Bojong cukup bervariasi antara Rp 17 000 hingga Rp 23 000 tergantung merk dan jenis benih
yang dipakai. Biaya terbesar kedua pada petani lahan luas adalah TKLK yaitu menyumbang
sebesar 21.13 persen dari biaya total. Sebagian besar petani menggunakan TKLK pada kegiatan
pengolahan lahan dan panen. Kedua kegiatan tersebut memang membutuhkan sumber tenaga
kerja yang lebih banyak dibandingkan kegiatan lain. Petani lahan luas biasanya menggunakan
upah borongan karena lebih menghemat biaya. Hasil yang berbeda ditunjukkan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Dewi (2014), menunjukkan komponen biaya produksi terbesar
yang dikeluarkan pada petani bayam luas adalah pengeluaran biaya untuk tenaga kerja luar
keluarga (TKLK) baik untuk musim kemarau maupun musim hujan yaitu sebesar 32.81 persen
dan 26.81 persen untuk masing-masingnya terhadap biaya total.

Komponen biaya terbesar pada petani lahan sempit adalah biaya sewa lahan (biaya non tunai)
yaitu mengeluarkan biaya sebesar 31.83 persen terhadap biaya total. Hal ini karena sebagian
besar lahan yang dimiliki petani kangkung lahan sempit adalah lahan milik sendiri. Komponen
biaya terbesar kedua adalah biaya benih yaitu menyumbang sebesar 21.48 persen. Pada
responden petani lahan luas benih menjadi komponen biaya terbesar dan pada responden petani
lahan sempit, biaya benih menjadi komponen biaya terbesar kedua. Hal ini mengindikasikan
bahwa baik petani lahan luas maupun petani lahan sempit samasama peduli terhadap kuantitas
dan kualitas benih kangkung yang mereka tanam agar mendapatkan hasil panen yang terbaik.
Berbeda dengan penelitian Dewi (2014) yang menunjukkan komponen biaya produksi terbesar
yang dikeluarkan pada petani bayam sempit adalah pengeluaran biaya untuk tenaga kerja luar
keluarga (TKLK) yaitu petani sempit sebesar 19.50 persen saat musim kemarau dan 16.91 persen
saat musim hujan. Pada hasil penelitian sebelumnya menurut Yusuf (2015) biaya terbesar adalah
biaya penggunaan pupuk, penelitian ini tidak smembandingkan antara petani lahan luas maupun
petani lahan sempit namun membandingkan komoditas yang sama yaitu kangkung. Menurut
penelitian Hasan (2013) biaya tetap usahatani kangkung sebesar Rp 748 348 dan biaya
variabelnya sebesar Rp 1 311 872 per hektar per musim tanam, atau rata-rata biaya total sebesar
Rp 2 060 220 yang artinya biaya produksi kangkung organik relatif lebih besar dibandingkan
kangkung yang ditanam secara anorganik.

Pendapatan Usahatani dan R/C Rasio

Pendapatan usahatani memberikan gambaran mengenai keuntungan dari kegiatan usahatani


dan merupakan salah satu indikator dari keberhasilan usahatani. Pendapatan usahatani petani
responden di Desa Bojong merupakan balas jasa dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan petani
dalam rangka melakukan kegiatan usahatani. Indikator lain yang digunakan untuk melihat
keberhasilan usahatani petani responden salah satunya adalah R/C rasio. Analisis R/C rasio
digunakan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang akan diperoleh petani dari setiap
biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Pendapatan usahatani sayuran kangkung dan
R/C rasio per hektar berdasarkan golongan petani responden lahan luas dan lahan sempit di Desa
Bojong dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Pendapatan rata-rata usahatani kangkung (rupiah) per hektar berdasarkan golongan
petani lahan sempit dan lahan luas di Desa Bojong periode Maret-April 2017.

Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa responden petani sempit dan petani luas
memperoleh pendapatan total dan R/C rasio yang cukup baik. Pendapatan total petani sempit per
hektar adalah Rp 13 504 716 sedangkan petani luas memperoleh pendapatan total yaitu sebesar
Rp 18 836 349. R/C rasio yang diperoleh untuk petani lahan sempir 2.082 dan petani lahan luas
2.759. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa R/C rasio petani lahan luas
lebih besar dari pada petani lahan sempit. Penelitian lain yang hasilnya sejalan adalah penelitian
Yusuf (2015) menunjukkan R/C rasio usahatani kangkung sebesar 3.55, nilai R/C rasio
menunjukkan seberapa besar pendapatan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Hasil
penelitian Dewi (2014) menunjukkan nilai rata-rata R/C rasio petani bayam sempit pada musim
kemarau adalah 1.67 pada musim hujan sebesar 2.09, untuk petani luas dengan nilai R/C rasio
adalah 1.74 pada musim kemarau dan 2.32 pada musim hujan petani lahan luas lebih efisien
dalam menjalankan usahatani bayam dari pada petani sempit untuk setiap musim tanam. Artinya
petani lahan luas lebih efisien dalam melakukan usahataninya. Pendapatan total petani lahan luas
lebih besar dibandingkan petani lahan sempit karena kuantitas yang dihasilkan lebih banyak.
Selain itu para pedagang pengumpul berani membeli hasil panen para petani dengan harga tinggi
dan keuntungan yang diperoleh petani menjadi lebih tinggi karena kulitas yang baik.

Return to Labor dan Return to Capital

Perhitungan return to labor (imbalan terhadap tenaga kerja) dan return to capital (imbalan
terhadap modal) digunakan dalam penelitian ini agar dapat menilai keuntungan investasi petani
responden baik petani lahan sempit maupun petani lahan luas pada musim tanam terakhir
terhadap penggunaan tenaga kerja dan modal usahatani. Hasil perhitungan return to labor dan
return to capital petani responden dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Return to labour (Rp) dan return to capital (%) berdasarkan golonganpetani responden
lahan sempit dan lahan luas di Desa Bojong.

Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata return to labour petani sempit
maupun petani luas lebih tinggi daripada nilai upah rata-rata tenaga kerja di Desa Bojong yaitu
sebesar Rp 60 000 per hari. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan petani responden untuk
melakukan usahatani kangkung sudah tepat daripada menjadi buruh tani. Sementara itu, hasil
perhitungan return to capital menunjukkan bahwa pilihan petani responden untuk
menginvestasikan modalnya pada kegiatan usahatani kangkung yang dilakukan sudah tepat. Hal
ini dikarenakan nilai rata-rata return to capital yang diperoleh lebih besar dari nilai suku bunga
pinjaman yang berlaku, yakni 6.3 persen (suku bunga deposito BRI).

Hasil perhitungan return to labour dan return to capital ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh penelitian Dewi (2014) rata-rata return to labour petani sempit saat musim
kemarau Rp 174 246 dan saat musim hujan Rp 260 257 sedangkan petani luas saat musim
kemarau sebesar Rp 719 565 dan saat musim hujan Rp 1 092 997. Jadi nilai rata-rata return to
labour petani sempit maupun etani luas pada musim kemarau dan musim hujan lebih tinggi
daripada nilai upah rata-rata tenaga kerja di Desa Ciaruteun Ilir yaitu sebesar Rp 50 000 per hari.
Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian yang dilakukan Cempaka (2013) menganalisis
usahatani sayuran di Desa Panundaan, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Rata-rata return to labour atau imbalan bagi tenaga kerja petani sayuran lahan luas adalah sebesar
Rp 84 200 dan petani lahan sempit adalah sebesar Rp 75 623. Rata-rata return to capital atau
imbalan bagi modal pada petani lahan luas adalah sebesar 148.02 persen dan petani lahan sempit
sebesar 90.43 persen. Hasil penelitian Cempaka (2013) menunjukkan bahwa nilai rata-rata return
to labour petani luas maupun petani sempit lebih tinggi daripada nilai upah rata-rata tenaga kerja
di Desa Panundaan yaitu sebesar Rp.30.000 per hari

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan analisis pendapatan petani kangkung di
Desa Bojong sudah menguntungkan baik pada golongan petani lahan sempit maupun petani
lahan luas dan biaya sudah efisien dilihat dari R/C rasio yang menunjukkan hasil lebih dari satu.
Petani kangkung lahan luas di Desa Bojong lebih efisien dan menghasilkan keuntungan yang
lebih besar daripada petani kangkung lahan sempit.

Imbalan terhadap tenaga kerja (return to labour) dan imbalan terhadap modal (return to
capital) menunjukkan bahwa pilihan petani lahan sempit dan petani lahan luas untuk melakukan
usahatani tanaman kangkung sudah tepat karena upah usahatani lebih tinggi daripada upah rata-
rata di Desa Bojong dan pengembalian modal lebih tinggi daripada suku bunga deposito yang
berlaku.

Saran

Kegiatan usahatani kangkung di Desa Bojong sudah menguntungkan bagi petani maka
usahatani kangkung perlu dipertahankan oleh para petani agar pendapatan tetap tinggi sehingga
tetap menjadi sumber pendapatan utama. Sebaiknya petani kangkung membuat jadwal panen
sehingga panen tidak berlimpah pada satu musim tanam. Jika hasil panen berlimpah pada satu
musim tanam akan mengakibatkan harga kangkung yang tidak stabil bahkan lebih rendah dari
harga semestinya. Selain itu petani lahan sempit lebih baik menambah lahan dengan menyewa
atau bekerjasama dengan petani lain agar biaya yang dikeluarkan lebih efisien dan keuntungan
meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Adhifa NN. 2016. Analisis Pendapatan Usahatani Bayam Organik pada Petani

Mitra KSU Lestari dan ADS Kabupaten Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut
Pertanian Bogor.
Badan Litbang Departemen Pertanian. 2003. Penanggulangan kemiskinan pada petani berlahan
sempit di agroekosistem lahan kering dataran tinggi berbasis sayuran. Pusat Analisis Sosek dan
Kebijakan Pertanian, Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2016. Luas panen, produksi, dan produktivitas sayuran di Indonesia tahun
2012. [internet]. [diunduh 17 Februari 2017]. Tersedia pada: www.bps.go.id

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Kabupaten Bogor dalam Angka Tahun 2015.Bogor(ID). BPS

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Kabupaten Bogor dalam Angka Tahun 2016.Bogor(ID). BPS

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kecamatan Kemang dalam Angka Tahun2012. Bogor(ID).
BPS

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Kecamatan Kemang dalam Angka Tahun 2016. Bogor(ID).
BPS

[Dirjenhorti] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2014. Produk Domestik Bruto Hortikutura tahun
2011-2013. Jakarta (ID): Penebar Swadaya

Cempaka DR. 2013. Analisis pendapatan usahatani sayuran di Desa Panundaan

Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat. Bogor (ID): Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Institut Pertanian Bogor.

Dewi P. 2014. Analisis Pendaptan Petani Bayam di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan
Cibungbulang Kabupaten Bogor Jawa Barat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ekaningtias D. 2011. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani Bayam

Jepang (Horenso) Kelompok Tani Agro Segar Kecamatan Pacet

Anda mungkin juga menyukai