1. Pengertian Al-‘Afuww
Nama al-‘Afuww merupakan nama ke-83 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata al-
‘Afuww, terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ‘ain, fa`, dan wauw. Maknanya
yaitu meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini lahir kata ‘afwu yang berarti
meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan). Dalam beberapa kamus
kata ‘afwu berarti menghapus, membinasakan dan mencabut akar sesuatu.
Kata al-‘Afuww berarti Allah Maha memafkan kesalahan hambanya. Pemaafan
Allah tidak hanya tertuju pada mereka yang bersalah secara tidak sengaja atau
melakukan kesalahan yang tidak diketahui, melainkan pemaafan secara universal
diberikan kepada semua hamba-Nya bahkan sebelum mereka meminta maaf. Allah
Swt. berfirman
“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kamu ketika terjadi
pertemuan (pertempuran) antara dua pasukan itu, sesungguhnya mereka
digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan (dosa) yang telah mereka
perbuat (pada masa lampau), tetapi Allah benar-benar telah memaafkan mereka.
Sungguh, Allah maha Pengampun, Maha Penyantun” (QS. Ali ‘Imrān [3]: 155)
Dalam al-Qur`an kata ‘afwu ditemukan ada 35 kali dengan berbagai bentuk
dan makna. Dan kata ‘afwu ditemukan tiga kali yang merujuk kepada Allah.
2. Teladan dari nama baik Al-‘Afuww
a. Meyakini bahwa Allah memaafkan kesalahan hambanya
Sebagai umat Islam, kita harus meyakini bahwa kesalahan-kesalahan kita
akan dimaafkan oleh Allah Swt. Tidak ada kesalahan yang tidak dimaafkan oleh
Allah selama kita mau bertaubat. Allah Swt. Berfirman:
Ayo Mendalami
“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak
seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti
Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat
perhitungan” (QS. al-Anbiyā` [21]: 47)
Oleh karenanya, seyogyanya kita memahami bahwa kesalahan yang pernah
dilakukan pasti telah dimaafkan oleh Allah apalagi jika disertai dengan
pertaubatan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Melakukan taubat adalah
menyadari kesalahan hamba, meminta ampun atas kesalahan tersebut, dan
berjanji untuk tidak melakukan kesalahan serupa kembali.
b. Perintah untuk menjadi manusia pemaaf dan penutup aib orang lain
Untuk meneladani kata ‘afwu, maka kita harus menjadi seorang pemaaf dan
berusaha menutup aib orang lain. Menjadi pemaaf dan menutup aib orang lain
sekarang ini penting. Aktifitas sehari-hari dalam dunia nyata maupun dunia maya
terkadang membuat kesalahan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh
karenanya sikap pemaaf dan menutup aib orang lain harus dibiasakan dalam
kehidupan-sehari hari.
Allah Swt. berfirman:
“Jika kamu menyatakan kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu
kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Mahakuasa” (QS.
an-Nisā [4]: 149)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa menutup aib seseorang muslim, Allah akan menutup (aibnya) pada
hari Kiamat” (HR. Ahmad)
Nama ar-Razzāq merupakan nama ke-18 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata Ar-
Razzāq terambil dari akar kata ra`, za`, dan qaf, berarti rezeki atau penghidupan.
Dalam KBBI, rezeki berarti sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan, dapat
berupa makanan, nafkah, dan hal-hal lain. Imam Ghazali menjelaskan kata ar-Razzāq
adalah Dia yang menciptakan rezeki dan menciptakan yang memberi rezeki, serta Dia
pula yang mengantarnya kepada mereka dan menciptakan sebab-sebab sehingga
mereka dapat menikmatinya.
Dalam al-Qur`an, ayat-ayat yang menggunakan akar kata razaqa banyak
ditemukan. Akan tetapi ayat yang mengandung kata ar-Razzāq hanya ditemukan pada
Surah ad-Dzāriyāt [51]: 58:
“Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka” (QS. Al-An’ām
[6]: 151)
Sikap membagikan rezeki merupakan perintah dari Allah Swt. Jika sikap ini
diaktualisasikan, maka silaturahmi dengan sesama akan semakin erat dengan
sendirinya. Sebaliknya jika sikap ini ditinggalkan, maka sifat individual akan
semakin marak dan sifat peduli terhadap orang lain akan menurun.
Allah Swt. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebahagian rezeki yang telah
kami berikan kepadamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 254)
Dalam membagikan rezeki, kita tak diperkenankan untuk menyertainya
dengan perbuatan maupun perkataan yang menyakiti hati. Perbuatan dan
perkataan yang menyakiti hati akan melemahkan silaturahmi. Lebih baik berbuat
dan berkata baik daripada membagikan rezeki dengan perbuatan dan perkataan
yang buruk.
Allah Swt. berfirman:
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik dari sedekah yang
Nama al-Malik merupakan nama ke-18 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata al-
Malik secara umum diartikan raja atau penguasa. Kata al-Malik terdiri dari huruf
mim, lam, dan kaf yang rangkaiannya mengandung arti kekuatan dan kesahihan.
Imam al-Ghazali menjelaskan arti al-Malik ialah Dia yang tidak butuh pada sesuatu
dan Dia adalah yang dibutuhkan. Dia adalah Penguasa dan Pemilik secara mutlak
segala hal yang ada. Hasilnya, al-Malik memiliki kuasa atas pengendalian dan
pemeliharaan kekuasaan-Nya.
Dalam al-Qur an, kata al-Malik terulang sebanyak lima kali. Dan dua
diantaranya dirangkaikan dengan kata ḥaq dalam arti pasti dan sempurna yakni pada
Surah Thāhā [20]: 114 dan Surah al-Mu`minūn [23]: 116. Allah berfirman:
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu
tergesa-gesa membaca al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya
kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan." (QS. Thāhā [20]: 114)
ِ
“Maka Maha Tinggi Allah, raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia,
Tuhan (yang mempunyai) 'Arsy yang mulia.” (QS. al-Mu`minūn [23]: 116)
Nama al-Ḥasīb merupakan nama ke-41 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata al-
Ḥasīb berakar kata dari huruf ḥa`, sin, dan ba` mempunyai arti menghitung dan
Selain itu, kita harus mempercayai bahwa Allah akan melakukan perhitungan
amal baik dan buruk secara teliti dan cepat karena Allah Maha Membuat
Perhitungan.
Allah Swt. berfirmanب
“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak
seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti
Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat
perhitungan” (QS. al-Anbiyā` [21]: 47)
“Kembalilah pada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya”. “Maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku”. “Dan masuklah ke dalam
surga-Ku” (QS. al-Fajr [89]: 28-30)
Nama al-Hādi merupakan nama ke-94 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata al-
Hādi berakar kata dari huruf ha`, dal, dan ya` berarti tampil ke depan untuk memberi
ditemukan dalam al-Qur`an. Kata tersebut ditemukan sebanyak sepuluh kali dalam al-
Qur`an. Seperti firman Allah Swt:
“Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. al-Furqān
[25]: 31)
2. Teladan dari nama baik Al-Hādi
a. Meyakini bahwa petunjuk Allah adalah petunjuk paling sempurna
Sebagai umat Islam, kita harus mempercayai bahwa Allah merupakan Dzat
Yang Maha Memberi Petunjuk. Dan petunjuk Allah merupakan Petunjuk yang
paling sempurna. Allah Swt. berfirman:
“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad)
sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)’. Dan jika engkau mengikuti keinginan
mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada begimu
pelindung dan penolong dari Allah” (QS. al-Baqarah [2]: 120)
Makna petunjuk Allah sempurna berarti Allah memberikan petunjuk secara
dinamis dan bertingkat-tingkat sesuai dengan manusia sendiri. Ada empat
tingkatan yang diberikan Allah kepada manusia yaitu, 1) Potensi naluriah,
contohnya tangisan bayi menunjukkan kebutuhan bayi akan ASI, 2) Panca Indera,
contohnya melihat indahnya handphone terbaru di media sosial meskipun pada
realitanya handphone tersebut ada banyak cacatnya, 3) Akal, contohnya setelah
melihat wujud nyata handphone terbaru, seorang pembeli melakukan pengecekan
baik spesifikasi maupun kualitas dari handphone tersebut, 4) Agama, contohnya
setelah memberikan penganalisaan handphone dengan akal, seorang pembeli
memberikan analisis secara keagamaan seperti apakah membeli handphone ini
baik untuk dirinya padahal ia masih memiliki handphone lama?
Nama al-Khāliq merupakan nama ke-12 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata al-
Khāliq berakar kata dari huruf kha’, lam, dan qaf berarti mengukur dan menghapus.
17
Makna ini lalu mengalami perluasan antara lain dengan arti menciptakan dari tiada
dan menciptakan tanpa suatu contoh terlebih dahulu. Nama al-Khāliq memiliki
makna bahwa Allah Maha pencipta segala sesuatu.
Allah Swt. berfirman:
“Allah Pencipta segala sesuatu dan Dia Mahapemelihara atas segala sesuatu”.
(QS. az-Zumar[39]: 62)
Dalam al-Qur`an, kata al-Khāliq dan derivasinya disebutkan tak kurang dari
150 kali seperti pada Surah as-Sajdah[32]: 4 dan Surah at-Tīn[95]: 4.
َ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat” (QS. Ibrāhīm[14]:7)
b. Motivasi berkreasi dan inovasi
Setelah kita meyakini bahwa Allah menciptakan sesuatu dengan sebaik-
baiknya, maka perilaku yang dapat menunjukkan cerminan terhadap al-Khāliq
Nama al-Ḥakīm merupakan nama ke-47 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata al-
Ḥakīm berakar dari huruf ḥa`, kaf, dan mīm berarti bijaksana. Nama al-Ḥakīm
ْ
“Dia menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa
diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada
yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat”
(Surah al-Baqarah [2]: 269)
2. Teladan dari nama baik Al-Ḥākim
a. Meyakini bahwa Allah Maha Bijaksana atas segala sesuatu
Sebagai umat Islam, kita wajib menerima segala hal yang telah diberikan
Allah kepada kita. Bahkan kita harus berpikir positif dalam memahami
kebijaksanaannya.
Allah Swt. berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi’. Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak
menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan
kami bertasbih memuji-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui’” (QS. al-Baqarah [2]: 30)
b. Bersifat bijaksana
Sifat bijaksana merupakan selalu menggunakan pengetahuan dan
pengalaman serta pandai berhati-hati apabila menghadapi kesulitan dan
sebagainya. Sifat ini tidak bisa timbul jika seseorang tidak memiliki keluasan dan
kedalaman berpikir. Oleh karenanya untuk menunjukkan cerminan pada kata al-
Ḥakīm, kita harus profesional pada cabang ilmu pengetahuan tertentu lalu