Anda di halaman 1dari 7

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Asmaul Husna


Etimologi Asmaa'ul husna berasal dari kata ‫ اسماء‬jamak dari ‫ اسم‬yang artinya nama-
nama sedangkan ‫ الحسنى‬artinya yang baik atau yang indah. Terminologi Asma'ul Husna
adalah nama nama milik Allah yang baik lagi indah. Nama-nama Allah yang agung dan
mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan Allah,
sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta beserta segala isinya.
Seluruh nama Allah bersifat Taufiqiyah, yaitu tidak ada ruang sedikitpun bagi akal
untuk menentukannya. Akal kita tidak mungkin sampai pada segala sesuatu yang
menyangkut hak Allah seperti dalam masalah nama-nama-Nya. Para ulama berpendapat
bahwa kebenaran adalah ketetapan dengan kebenaran yang lain. Dengan cara ini, umat
Muslim tidak akan mudah menulis "Allah adalah ..." karena tiada satupun yang dapat
disetarakan dengan Allah.
Berikut adalah beberapa dalil yang terkandung di dalam Al-Qur'an dan Hadis tentang
Asmaul Husna:
1. "Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia
memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang baik)." - (Al-Quran, Surat Thaa-Haa: 8)
2. Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja
kamu seru, Dia memiliki al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah
kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu" - (Al-Quran.Surah Al Israa ': 110)
3. Dari Abu Huraira R.A.: Nabi saw. bersabda: "Allah itu memiliki sembilan puluh
sembilan nama yang bagus. Barang siapa yang mampu menghafalnya, maka dia akan
masuk surga. Sesungguhnya Allah itu ganjil [esa] dan Dia menyukai [jumlah] yang
ganjil." - Sahih Bukhari

2.2. Pengertian Al-Basith


Al-Basith secara bahasa berarti keterhamparan, memperluas atau melapangkan.
Allah SWT bersifat Al-Basith, artinya Allah maha melapangkan segala sesuatu menurut
hikmah kebijaksanaan-Nya. Allah SWT melapangkan rezeki orang-orang (seperti orang

3
yang bersyukur) yang Dia kehendaki. Dia melapangkan hati siapa saja yang Dia
kehendaki. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an:
“Allah SWT melapangkan rezeki bagi orang yang Dia kehendaki diantara hamba-
hamba Nya dan (Dia) pula yang membatasi baginya. Sungguh, Allah maha Mengetahui
segala sesuatu” (Q.S. Al-‘Ankabut: 62).
Ketika kita dihadapkan dengan permasalahan hidup seakan-akan hari-hari yang kita
hadapi cukup lama, ketika kita mendapatkan musibah seakan-akan kita pesimis untuk
dapat melaluinya dan enngan mengikhlaskannya. Tapi ketika kita sadar, Dialah
(Allah) yang maha melapangkan segala-galanya, Dialah yang melapangkan jiwa kita,
yang membesarkan hati kita dan meningkatkan kesadaran kita. Karena Allah Maha
Pengasih lagi penyayang hamba-Nya.

2.3. Bukti Kebenaran Sifat Allah Al-Basith


Allah SWT maha melapangkan rezeki hamba-Nya menunjukkan bahwa Allah SWT
lah yang berkuasa untuk mencukupi rezeki / segala kebutuhan hidup dan menentukan
segala urusan yang dihadapi mahluknya (Q.S Al-Baqarah: 245). Allah tidak akan memberi
cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Ketika kita mendapat suatu musibah,
sepertinya kita sudah tak mempunyai kekuatan apa-apa, kita merasa lemah, dan terpuruk,
tetapi tanpa kita sadari pada ahirnya kita juga dapat melaluinya, sungguh ini merupakan
kebesaran Allah yang melapangkan, hati kita, jiwa kita, dan kesabaran kita.
Makna yang terkandung dalam AL-Basith adalah:
1. Allah SWT tidak terbatas, maka mintalah sama Allah SWT
2. Allah Melipatgandakan Rezeki & karunia nya bagi mereka yang bersyukur (Q.S Al-
Ibrahim: 7)
Adalah hak absolut Allah untuk melapangkan atau menyempitkan rizki hamba-
hamba-Nya, sebagaimana pula hak absolutNya memperpanjang dan memperpendek umur
mereka. Sebagian orang dimudahkan mendapat rizki sehingga harta kekayaannya
melimpah, sebagian yang lain disempitkan rizkinya sehingga hidupnya pas-pasan atau
malah kekurangan. Dialah yang mengetahui rahasia di balik pembagian rizki yang tidak
merata.
Sebagian dari rahasia itu dibuka oleh Allah dalam firman-Nya: ”Dan jika Allah
melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di
muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.

4
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”
(Q.S. Asy-Syuura: 27).
Ayat di atas mengandung pesan yang tegas, bahwa terhadap distribusi rizki yang
tidak merata itu jangan disikapi dengan suudzan, berburuk sangka seolah-olah Allah tidak
adil kepada hamba-hamba-Nya.

2.4. Perilaku Orang yang Mengamalkan Asmaul Husna (Al-Basith) dalam


kehidupan sehari-hari
Seseorang yang mengamalkan sifat ini pasti bersifat qana’ah terhadap nasib dirinya
tidak murka terhadap semua anugrah yang di berikan kepada orang lain, senantiasa
menyadari bahwa Allah SWT lah yang mengatur rezeki manusia. Selain itu, seseorang
yang mengamalkan sifat Allah Al-Basith, maka dalam setiap langkah kehidupannya akan
mencerminkan selalu mengingat pemberian Alloh kepada hamba-Nya, memberikan
pencerahan hati dan pikiran bagi sesama manusia, dan membantu meringankan segala
beban dan rintangan serta hambatan yang mengganggu kehidupan manusia.
Adapun sikap negatif yang harus kita hindari adalah iri hati atau hasad. Sudah
merupakan sunnah-Nya bahwa ada sebagian diberi kelebihan rizki dibandingkan yang lain.
Allah SWT berfirman: ”Dan jangalah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.” (Q.S. An-Nisaa: 32)
Kita hendaknya lapang dada menerima perbedaan tersebut, sembari terus berusaha
keras dan cerdas untuk mengais rizki-Nya. Hari ini mungkin Allah menyempitkan, tapi
siapa tahu justru besok Allah akan melapangkan. Semua itu adalah rahasia-Nya. Bagi kita,
yang penting adalah ikhtiar dan berdo’a. Firman Allah SWT: ”Dialah yang menjadikan
bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah dari
sebagian rizki-Nya.” (Q.S. Al-Mulk: 15)
Bagi mereka yang dilapangkan rizkinya, hendaknya senantiasa menyadari bahwa
rizki itu amanah dan titipan Allah. Kekayaan, jabatan, popularitas, dan kedudukan yang
tinggi jangan menjadikan lupa diri, sombong, dan takabbur. Jangan seperti orang yang
disebut dalam ayat di bawah ini:
”Bila Kami rasakan kepadanya suatu rahmat dari Kami sendiri, setelah ada
kemalangan menimpanya, pasti ia berkata: Ini karena usahaku sendiri, dan aku tak yakin
akan terjadi hari kiamat. Jika kami memberi kesenangan kepada manusia, ia berpaling dan
menjauhkan diri, dan bila ia ditimpa kemalangan, ia berdo’a berpanjang-panjang.”
(Q.S. Fushshilat: 50-51).

5
Kaum Muslimin yang menyadari dan berusaha mencontoh nama dan sifat-Nya
Al-Baasith, akan berusaha sekuat tenaga untuk memberi kelapangan kepada siapa saja
yang membutuhkannya. Kekayaan yang diberikan Allah tidak digunakan untuk
kesenangan dirinya sendiri, tetapi didistribusikan kepada masyarakat sekitarnya, terutama
terhadap fakir miskin dan para mustadh’afiin. Mereka sadar bahwa di dalam hartanya ada
hak mereka yang harus dikeluarkan.
Marilah kita menyikapi kelapangan rizki itu sebagaimana sikap Nabi Sulaiman yang
senantiasa berdo’a: “Tuhanku! Berilah aku kesempatan untuk berterimakasih atas nikmat-
Mu yang Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan supaya aku
dapat mengerjakan perbuatan yang baik yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan
rahmat-Mu ke dalam hamba-hamba-Mu yang shaleh”. (Q.S. An-Naml: 19)

2.5. Pengertian An-Nafi’


Allah SWT memiliki sifat atau nama An-Nafi’ (‫)النَّافِع‬, artinya Yang Maha Pemberi
Kemanfa’atan, yakni meratalah kebaikan yang dikurniakan-Nya itu kepada semua hamba-
Nya (kampung, kota dan negeri) dan sebagainya. Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya di
alam semesta maupun di dalam diri manusia sendiri, Allah SWT. memperkenalkan diri-
Nya sebagai An-Nâfi’. Kata An-Nâfi’ tidak ditemukan dalam Al-Quran, baik dalam bentuk
tunggal maupun jamak. Walaupun demikian, di dalam Al-Quran ditemukan ayat-ayat yang
menguraikan tentang anugerah Allah sambil menyatakan manfaat yang dapat diraih
manusia dari anugerah tersebut. Perhatikan ayat-ayat yang menggunakan kata manafi’
(manfaat yang beraneka ragam).
Dalam QS. Al-Mu’minûn [23]:21 misalnya, Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya, pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran
yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam
perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat (manâfi’u) manfaat yang
banyak untukmu, dan sebagian darinya kamu makan.”

2.6. Bukti Kebenaran Sifat Allah An-Nafi’


Allah SWT adalah pencipta kebaikan dan pemberi manfaat yang utama bagi hamba-
Nya. Karunia Allah tertinggi kepada manusia adalah akal, hati nurani dan iman. Kasih
sayang Allah seperti kebaikan-kebaikan-Nya terus menerus diberikan kepada hamba
hamba-Nya. Jika kita menginginkan sesuatu maka kehendak tersebut tidak akan dapat
menghantarkan kepada kita apa yang kita inginkan atau menjadikan kita memiliki

6
kehidupan yang kita kehendaki. Seringkali apa yang kita sukai terlepas dari genggaman
kita dan apa ang ktia tidak inginkan malahan mengejar kita. Itulah kehendak Allah yang
harus kita syukuri. Allah menciptakan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan kita.
Hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan seluruh ciptaan Allah di jagad raya ini. Diantara
tumbuh-tumbuhan banyak sekali kasiat yang bermanfaat, sehingga bisa dijadikan obat
untuk menyembuhkan penyakit yang kita derita, atas izin-Nya pula seseorang dapat
menjadi dokter yang bisa menyembuhkan pasien-pasiennya dan semua itu tidak akan
terjadi kecuali dengan kebesaran Allah SWT.
Perhatikanlah matahari dijadikan Allah yang sangat bermanfa’at bagi alam dunia ini,
bahkan cahayanya dapat menembus sampai ke dasar-dasar laut sekalipun. Matahari itu
banyak sekali manfa’atnya, apalagi di zaman kemajuan ini dimana ilmu tekhnologi telah
meningkat sangat maju, maka cahaya matahari itu dapat dipergunakan orang untuk
berbagai keperluan dan kepentingan. Demikian pula bulan dan bintang-bintang semuanya
ada manfa’at dan faedahnya. Alhasil semua yang dijadikan Allah ini tidaklah sia-sia, ada
hikmah dan kepentingannya.
Demikianlah kemanfa’atan dari Allah itu, merata diberi-Nya kepada yang maujud
(yang ada) ini. Firman ‫ وتعالى سبحانه هللا‬dalam Al-Qur’an yang artinya: “Sesunggushnya
tentang kejadian langit dan bumi, dan pertukaran malam dengan siang, kapal yang berlayar
di lautan yang membawa barang-barang yang bermanfaat (berfaedah) bagi manusia, hujan
yang diturunkan Allah dari langit, maka dihidupkan -Nya bumi yang telah mati dan
berkeliaran di atasnya bermacam-macam binatang, angin yang bertiup dan mega (awan)
yang terbentang antara langit dan bumi. Sesungguhnya segala yang tersebut itu menjadi
bukti atas kekuasuan Allah, bagi kaum yang berakal” (Q.S. Al-Baqarah: 164).
Andai kita mau membuka mata hati, yang tampak di mata, yang terdengar oleh
telinga, atau yang teraba oleh kulit, semuanya adalah karunia Allah yang jauh dari kesia-
siaan. Semuanya memperlihatkan kemanfaatan yang besar. ”Sesungguhnya, dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata), ’Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.”
(Q.S. ’Ali Imrân [3]: 190-191).
Bahkan, ketika Allah Swt. memberi kita satu kesusahan, pada saat yang bersamaan
kesusahan tersebut membawa dua kemudahan, dua kebaikan, dan dua jalan keluar. Ada

7
janji yang pasti dari Allah, ”... Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah
[94]: 5-6)

2.7. Perilaku Orang yang Mengamalkan Asmaul Husna (An-Nafi’) dalam


kehidupan sehari-hari
Seseorang yang mengamalkan sifat Allah SWT An-Naafi'u, maka dalam setiap
langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mensyukuri segala nikmat Allah,
berbuat hal yang dapat memberikan manfaat kepada sesamanya, serta menjauhkan segala
bentuk mafsadat yang dapat menyengsarakan kehidupan manusia.
Seseorang yang meneladani asma’ Allah An-Nâfi dituntut untuk meyakini bahwa
hanya Allah-lah yang berkuasa menolak mudharat sehingga tidak menimpa hamba-hamba-
Nya yang taat, dan menciptakan sebab-sebab sehingga yang melanggar ketentuan-Nya,
baik yang terkait dengan hukum syariat maupun hukum alam, akan ditimpa mudharat.
Allah pulalah yang berkuasa menganugerahkan manfaat, baik secara langsung melalui
sebab-sebab yang diketahui, maupun tidak langsung melalui hukum-hukum alam dan
kemasyarakatan yang telah ditetapkan-Nya.
Dari sini, akan lahir sikap ridha ketika suatu mudharat menimpa diri kita, yaitu sikap
hati untuk menerima kemudharatan tersebut. Sebab, tidak ridha pun kejadian itu tetap dan
telah terjadi. Sikap ridha, sejatinya akan melahirkan ketabahan, ketenangan, dan kekuatan
dalam menghadapi segala cobaan, serta menjauhkan kita dari keputusasaan. An-Nâfi
melahirkan pula spirit kebermanfaatan diri. Artinya, Adh-Dhârr An-Nâfi menjadi sumber
inspirasi untuk menjadi khairunnâs, yaitu sosok yang menjadi sumber manfaat dan
kebaikan bagi orang lain.

8
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah yang telah dibuat, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Al-Basith secara bahasa berarti keterhamparan, memperluas atau melapangkan.
Allah SWT bersifat Al-Basith, artinya Allah maha melapangkan segala sesuatu
menurut hikmah kebijaksanaan-Nya. Allah SWT melapangkan rezeki orang-orang
(seperti orang yang bersyukur) yang Dia kehendaki.
2. Seseorang yang mengamalkan sifat ini pasti bersifat qana’ah terhadap nasib dirinya
tidak murka terhadap semua anugrah yang di berikan kepada orang lain, senantiasa
menyadari bahwa Allah SWT lah yang mengatur rezeki manusia.
3. Allah SWT memiliki sifat atau nama An-Nafi’ (‫)النَّافِع‬, artinya Yang Maha pemberi
kemanfa’atan, yakni meratalah kebaikan yang dikurniakan-Nya itu kepada semua
hamba-Nya.
4. Seseorang yang mengamalkan sifat Allah SWT An-Naafi'u, maka dalam setiap
langkah kehidupannya akan mencerminkan selalu mensyukuri segala nikmat Allah,
berbuat hal yang dapat memberikan manfaat kepada sesamanya.

Anda mungkin juga menyukai