Anda di halaman 1dari 39

SESI 4

PEMBELAJARAN ABAD 21

1
MATERI 4
PEMBELAJARAN ABAD 21

Capaian Pembelajaran

1. Tujuan
Tujuan mengikuti materi ini peserta bimtek dapat
memahami konsep 4C (creativity, critical thinking,
collaborative and communication) dan mampu menerapkan
dalam pembelajaran, salain dari itu peserta juga di tuntut
untuk dapat memahami dan merumuskan implementasi
penguatan pengembangan karakter, literasi dalam
pembelajaran serta mampu Mengimplementasikan
moderasi beragama dalam pembelajaran PAI.

2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti bimtek ini, peserta dapat:
a. Menjelaskan konsep 4 C, PPP, Literasi dan moderasi
beragama dalam pembelajaran PAI.
b. Menjelaskan mekanisme implementasi 4 C, Profil pelajar
pancasila, Literasi dan moderasi beragama dalam
pembelajaran PAI.
c. Menjelaskan urgensi model pembelajaran abad 21 dalam
PAI
d. Menganalisis sintaks pembelajaran yang berkaitan
dengan 4 C, PPP, Literasi dan moderasi beragama.
e. Mengimplementasikan pembelajaran abad 21, PPK,
Literasi dan moderasi beragama dalam pembelajaran.

2
Pokok-Pokok Materi

Pokok-pokok materi bimtek pada sesi ini terdiri dari:


1. Kecakapan abad 21
2. Pembelajaran HOTS
3. Profil Pelajar Pancasila (PPP)
4. Penguatan Literasi dalam pembelajaran PAI
5. Moderasi Beragama

Uraian Materi

1. Kecapakan Abad 21
Pendidikan Abad 21 merupakan
pendidikan yang mengintegrasikan
antara kecakapan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, serta
penguasaan terhadap TIK. Kecakapan
tersebut dapat dikembangkan melalui
berbagai model pembelajaran
berbasis aktivitas yang sesuai dengan
karakteristik kompetensi dan materi pembelajaran.
Kecakapan yang dibutuhkan di abad 21 juga merupakan
keterampilan berpikir lebih tinggi (Higher Order Thinking
Skills – HOTS) yang sangat diperlukan peserta didik dalam
menghadapi tantangan global.

Adapun yang termasuk kecakapan abad 21 adalah:

3
a. Kecakapan Berpikir Kritis dan Pemecahan masalah
(Critical Thinking and Problem Solving Skill)
Kecakapan abad 21 yang pertama akan dibahas adalah
kecakapan berpikir kritis dan pemacahan masalah.
Berpikir kritis bersifat mandiri, berdisiplin diri, dimonitor
diri, memperbaiki proses berpikir sendiri. Hal itu
dipandang sebagai asset penting terstandar dan cara
kerja dan cara berpikir dalam praktek, hal itu memerlikan
komunikasi efektif dan pemecahan masalah dan
komitmen untuk mengatasi sikap dan sosiosentris
bawaan (Paul and Elder, 2006).

Berpikir kritis menurut Beyer (1985) adalah kemapuan 1)


menentukan kredibilitas suatu sumber, 2) membedakan
antara yang relevan dan yang tidak relevan, 3)
membedakan fakta dan penilaian, 4) mengidentifikasi
dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucap, 5)
mengidentifikasi bias yang ada, 6) mengidentifikasi sudut
pandang, dan 7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan
untuk mendukung pengakuan.

b. Kecakapan Berkomunikasi (Communication Skills)


Kecakapan abad 21 yang kedua adalah kecakapan
berkomunikasi. Komunikasi merupakan proses transmisi
informasi, gagasan, emosi, serta keterampilan dengan
menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, grafis,
angka, dsb.

Raymond Ross (1996) mengatakan bahwa “Komunikasi


adalah proses menyortir, memilih dan mengirim simbol-

4
simbol sedemikian rupa agar membantu pendengar
membankitkan respon/makna dan pemikiran yang
serupa dengan yan dimaksudkan oleh komunikator”.
Kecakapan komunikasi dalam proses pembelajaran
antara lain sebagai berikut:
1) Memahamai, mengolah, dan menciptakan
komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan
isi secara lisan, tulisan, dan multimedia (ICT Leteracy).
2) Menggunakan kemampuan untuk mengutarakan ide-
idenya, baik itu pada saat berdiskusi, di dalam dan di
luar kelas, maupun tertuan pada tulisan.
3) Menggunakan bahasa lisan yang sesuai konten dan
konteks pembicaraan dengan lawan bicara atau yang
diajak berkomunikasi.
4) Selain itu dalam komunikasi lisan diperlukan juga
sikap untuk dapat mendengarkan dan menghargai
pendapat orang lain, selain pengetahuan terkait
konten dan konteks pembicaraan.
5) Menggunakan alur pikir yang logis, terstruktur sesuai
dengan kaidah yang berlaku.
6) Dalam abad 21 komunikasi tidak terbatas hanya pada
satu bahasa, tetapi kemungkinan dengan multi-
bahasa.

c. Kreatif dan Inovasi (Creativity and Innovation)


Kecakapan abad 21 yang ketiga adalah kretaifitas dan
inovasi, menurut Guilford (1976) kreatifita adalah cara-
cara berpikir yang divergen, berpikir yang produktif,
berdaya cipta berpikir heuristic dan berpikir literat.

5
Beberapa kecakapan terkait kreatifitas yang dapat
dikembangkan dalam pembelajaran antara lain sebagai
berikut.
1) Memiliki kemampuan dalam mengembangkan,
melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan
baru secara lisan atau tulisan
2) Bersikap terbuka dan responsive terhadap perspektif
baru dan berbeda.
3) Mampu mengemukakan ide-ide kreatif secara
konseptual dan praktikal.
4) Menggunakan konsep-konsep atau pengetahuannya
dalam situasi baru dan berbeda, baik dalam mata
pelajaran terkait, antar mata pelajaran, maupun
dalam persoalan kontekstual.
5) Menggunakan kegagalan sebagai wahana
pembelajaran.
6) Memiliki kemampuan dalam menciptakan
kebaharuan berdasarkan pengetahuan awal yang
dimiliki.
7) Mampu beradaptasi dalam situasi baru dan
memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan.

d. Kolaborasi (Collaboration)
Kecakapan abad 21 yang keempat adalah kolaborasi.
Kolaborasi dalam proses pembelajaran merupakan suatu
bentuk kerjasama dengan satu sama lain saling
membantu dan melengkapi untuk melakukan tugas-
tugas tertentu agar diperoleh suatu tujuan yang telah
ditentukan.

6
Kecakapan terkait dengan kolaborasi dalam
pembelajaran, antara lain sebagai berikut.
1) Memiliki kemampuan dalam kerjasama berkelompok.
2) Beradaptasi dalam berbagai peran dan
tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan
yang lain.
3) Memiliki empati dan menghormati perspektif
berbeda.
4) Mampu berkompromi dengan anggota yang lain
dalam kelompok demi tercapainya tujuan yan telah
ditetapkan.

2. Pembelajaran HOTS
Pengertian Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi Kemampuan berpikir
tingkat tinggi/ Higher Order Thinking
Skills (HOTS) adalah proses berpikir
yang mengharuskan peserta didik
untuk memanipulasi informasi dan
ide-ide dalam cara tertentu yang
memberi mereka pengertian dan
implikasi baru (Gunawan, 2012:171).

Limpan menggambarkan berpikir tingkat tinggi melibatkan


berpikir kritis dan kreatif yang dipandu oleh ide-ide
kebenaran yang masing-masing mempunyai makna. Berpikir
kritis dan kreatif saling ketergantungan, seperti juga kriteria
dan nilai-nilai, nalar dan emosi. (Kuswana, 2012: 200)

Menurut Ernawati (2017: 196-197), berpikir tingkat tinggi

7
atau Higher order Thinking Skills (HOTS) merupakan cara
berpikir yang tidak lagi hanya menghafal secara verbalistik
saja namun juga memaknai hakikat dari yang terkandung
diantaranya, untuk mampu memaknai makna dibutuhkan
cara berpikir yang integralistik dengan analisis, sintesis,
mengasosiasi hingga menarik kesimpulan menuju
penciptaan ide-ide kreatif dan produktif.

Berdasarkan beberapa pendapat-pendapat tersebut dapat


disimpulkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi/
Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah kemampuan
berpikir yang bukan hanya sekedar mengingat, menyatakan
kembali, dan juga merujuk tanpa melakukan pengolahan,
akan tetapi kemampuan berpikir untuk menelaah informasi
secara kritis, kreatif, berkreasi dan mampu memecahkan
masalah.

3. Taksonomi Berpikir
a. Taksonomi Bloom
Taksonomi belajar dalam domain kognitif yang paling
umum dilakukan adalah taksonomi Bloom. Benjamin S
Bloom membagi taksonomi hasil belajar dalam enam
kategori, yakni: a. Pengetahuan (knowledge), b.
pemahaman (comprehension), c. penerapan (application),
d. analisis, e. Sintesis, dan f. Evaluasi. Tingkat pemahaman
peserta didik dianggap berjenjang dengan tingkat paling
rendah (C1): pengetahuan atau mengingat, sampai
tingkat paling tinggi (C6): evaluasi (Sani, 2016: 103).
Taksonomi Bloom yang setelah digunakan cukup lama
untuk membuat rancangan instrusksional dalam dunia

8
pendidikan, Anderson dan Krathwohl (2000) menelaah
kembali Taksonomi Bloom dan melakukan revisi sebagai
berikut (Sani, 2016:103-104).

Tabel. Revisi Taksonomi Bloom

Taksonomi Anderson dan


Tingkatan
Bloom (1956) Krathwohl (2000)
C1 Pengetahuan Mengingat
C2 Pemahaman Memahami
C3 Aplikasi Menerapkan
C4 Analisis Menganalisis
C5 Sintesis Mengevaluasi
C6 Evaluasi Berkreasi
Catatan: pada Taksonomi Bloom yang direvisi digunakan
kata kerja

Revisi taksonomi yang dilakukan oleh Krathwol dan


Anderson mendeskripsikan perbedaan antara proses
kognitif dengan dimensi pengetahuan (pengetahuan
faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan
prosedural dan pengetahuan metagoknitif) (Sani,
2016:104). Revisi taksonomi tersebut memberikan
gambaran bahwa yang termasuk dalam kemampuan
berpikir tingkat rendah yaitu mengingat, memahami dan
mengaplikasikan. Sedangkan yang termasuk dalam
kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah menganalisis,
mengevaluasi dan berkreasi. Hal tersebut sesuai dengan
dimensi proses kognitif yang semakin meningkat dari
mengingat sampai berkreasi.

9
b. Dimensi Pengetahuan
Dimensi pengetahuan terdapat empat macam antara
lain: dimensi faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif.
1) Pengetahuan faktual adalah pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tampak lebih nyata dan
operasional, serta bersifat penjelasan singkat atau
bersifat kebendaan yang diobservasi dengan
mudah. Meliputi definisi pengetahuan, pengetahuan
umum dan bagian- bagiannya, atau bentuk dari
bagian-bagan sesuatu benda baik dalam bentuk
proses atau hasil pekerjaan atau alam.
2) Pengetahuan konseptual adalah pengetahuan yang
lebih rumit dalam bentuk pengetahuan yang
tersusun secara sistematis. Meliputi pengetahuan
pengklasifikasian, prisip-prinsip, generalisasi, teori-
teori hukum, model-model dan struktur isi
materinya.
3) Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan
bagaimana melakukan sesuatu. Meliputi
pengetahuan keterampilan algoritma, teknik-teknik
metode-metode, dan penentuan kriteria
pengetahuan atau pembenaran ketika melakukan
dalam ranah dan mata pelajaran tertentu.
4) Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan
mengenai pengertian umum dan pengetahuan
tentang tugas-tugas termasuk pengetahuan
kontekstual dan kondisional, pengetahuan itu
sendiri, tentunya, beberapa aspek pengetahuan

10
metagoknitif adalah tidak sama dengan
pengetahuan yang digambarkan oleh para ahli.
(Kusnawa, 2012: 114)

c. Dimensi Proses Kognitif


Dimensi proses kognitif Bloom sebagaimana yang telah
direvisi oleh Anderson dan Krathwol adalah sebagai
berikut:
1) Mengingat kembali (Recall)
Mengingat kembali artinya mendapatkan kembali
atau pengembalian pengetahuan relevan yang
tersimpan dari memori jangka panjang (Kusnawa,
2012: 115). Pertanyaan mengingat kembali adalah
pertanyaan mengingat kembali tentang informasi,
fakta konsep, generalisasi yang didiskusikan, definisi,
metode, dan sebagainya (Sani, 2016: 110). Contoh
kata kerja operasional yang digunakan pada level
mengetahui yaitu: menyebutkan, menjelaskan,
menggambarkan dan menunjukkan.

2) Memahami (Comprehension)
Memahami artinya mendeskripsikan susunan dalam
artian pesan pembelajaran, mencakup oral, tulisan
dan komunikasi grafik (Kusnawa, 2012: 115).
Pertanyaan ini menyangkut kemampuan peserta
didik menyerap informasi, menginterpretasi arti, dan
melakukan eksplorasi atau memberikan saran (Sani,
2016: 111). Kata kerja operasional yang digunakan
pada level memahami yaitu: memperkirakan,

11
menjelaskan, mencirikan dan membandingkan.

3) Menerapkan (mengaplikasikan)
Menerapkan yaitu menggunakan prosedur dalam
situasi yang dihadapi (Kusnawa, 2012: 115).
Pertanyaan ini meminta peserta didik menggunakan
abstraksi dan generalisasi secara bebas dari suatu
keadaan dimana generalisasi telah digambarkan
sebelumnya. Pertanyaan aplikasi sebenarnya erat
dengan pertanyaan pemahaman (Sani, 2016: 111).
Contoh kata kerja operasional yang digunakan pada
level menerapkan yaitu: menugaskan, mengurutkan,
menentukan dan menerapkan.

4) Menganalisis
Menganalisis yaitu memecahkan materi menjadi
bagian-bagian pokok dan menggambarkan
bagaimana bagian-bagian tersebut, dihubungkan
satu sama lain maupun menjadi sebuah struktur
keseluruhan atau tujuan (Kusnawa, 2012: 115).
8
Pertanyaan analisis meminta peserta didik
menyelesaikan permasalahan melalui pemeriksaan
sistematik tentang fakta atau informasi (Sani, 2016:
111). Contoh kata kerja operasional yang digunakan
pada level menganalisis yaitu: menganalisis,
memecahkan, menegaskan, menelaah dan
mengaitkan.

5) Mengevaluasi atau menilai


Mengevaluasi yaitu melakukan evaluasi atau

12
penilaian yang didasarkan pada kriteria dan atau
standar (Kusnawa, 2012: 115). Pertanyaan ini
meminta peserta didik membuat penilaian tentang
suatu berdasarkan sebuah acuan atau standar (Sani,
2016: 111). Contoh kata kerja pada level
mengevaluasi yaitu: membandingkan,
menyimpulkan, menilai dan mengkritik.

6) Menciptakan (berkreasi)
Menempatkan bagian-bagian secara bersama-sama
ke dalam suatu ide, semuanya saling berhubungan
untuk membuat hasil yang baik (Kusnawa, 2012:
115). Pertayaan ini meminta peserta didik untuk
menemukan penyelesaian masalah melalui
pemikiran kreatif (Sani, 2016: 110-112). Contoh kata
kerja operasional yang digunakan pada level
menciptakan yaitu: mengatur, mengumpulkan,
mengkategorikan, memadukan dan menyusun.

d. Indikator Kemampuan Berpikir Tingkat Tingi


Krathwohl dalam Lewy, dkk (2009:16), menyatakan
bahwa indikator untuk mengukur kemampuan berpikir
tingkat tinggi menliputi:

Menganalisis Menganalisis informasi yang masuk dan


membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam
bagian yang lebih kecil untuk mengenali polah atau
hubungannya Mampu mengenali serta membedaka
faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang
rumit Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan

13
1) Mengevaluasi
a) Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan
dan metodologi dengan menggunakan kriteria
yang cocok atau standar yang ada untuk
memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.
b) Membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan
pengujian.
c) Menerima atau menolak suatu pernyataan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Mengkreasi
a) Membuat generalisasi suatu ide atau cara
pandang terhadap sesuatu.
b) Merancang suatu cara untuk menyelesaikan
masalah.
c) Mengorganisasikan usur-unsur atau bagian-
bagian menjadi struktur baru yang belum pernah
ada sebelumnya.

4. Penguatan Profil Pelajar Pancasila


Tentang Profil Pelajar Pancasila
Istilah Profil Pelajar Pancasila dalam
pendidikan didasarkan pada Visi
Kemendikbud 2020-2024. Visi
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan adalah mendukung Visi dan
Misi Presiden untuk mewujudkan
Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri,
dan berkepribadian melalui terciptanya
Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri,

14
beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia,
bergotong royong, dan berkebinekaan global.
Keenam ciri tersebut dijabarkan sebagai berikut:
a. Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak
mulia.
Pelajar Indonesia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan
YME, danberakhlak mulia adalah pelajar yang berakhlak
dalam hubungannyadengan Tuhan Yang Maha Esa. Ia
memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta
menerapkan pemahaman tersebut dalam kehidupannya
sehari-hari. Ada lima elemen kunci beriman,
bertakwakepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia: (a)
akhlak beragama; (b) akhlakpribadi; (c) akhlak kepada
manusia; (d) akhlak kepada alam; dan (e) akhlak
bernegara.

b. Berkebinekaan global
Pelajar Indonesia mempertahankan budaya luhur,
lokalitas danidentitasnya, dan tetap berpikiran terbuka
dalam berinteraksi denganbudaya lain, sehingga
menumbuhkan rasa saling menghargai dankemungkinan
terbentuknya budaya baru yang positif dan
tidakbertentangan dengan budaya luhur bangsa. Elemen
kunci dariberkebinekaan global meliputi mengenal dan
menghargai budaya,kemampuan komunikasi
interkultural dalam berinteraksi dengan sesama,dan
refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman
kebinekaan.

15
c. Bergotong royong
Pelajar Indonesia memiliki kemampuan bergotong-
royong, yaitu kemampuan untuk melakukan kegiatan
secara bersama-sama dengan suka rela agar kegiatan
yang dikerjakan dapat berjalan lancar, mudah dan ringan.
Elemen-elemen dari bergotong royong adalah
kolaborasi,kepedulian, dan berbagi.

d. Mandiri
Pelajar Indonesia merupakan pelajar mandiri, yaitu
pelajar yang bertanggung jawab atas proses dan hasil
belajarnya. Elemen kunci dari mandiri terdiri dari
kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi serta
regulasi diri.

e. Bernalar kritis
Pelajar yang bernalar kritis mampu secara objektif
memproses informasibaik kualitatif maupun kuantitatif,
membangun keterkaitan antara berbagai informasi,
menganalisis informasi, mengevaluasi dan
menyimpulkannya. Elemen-elemen dari bernalar kritis
adalah memperoleh dan memproses informasi dan
gagasan, menganalisis dan mengevaluasi penalaran,
merefleksi pemikiran dan proses berpikir, dan
mengambil keputusan.

f. Kreatif
Pelajar yang kreatif mampu memodifikasi dan
menghasilkan sesuatu yangorisinal, bermakna,
bermanfaat, dan berdampak. Elemen kunci dari kreatif

16
terdiri dari menghasilkan gagasan yang orisinal serta
menghasilkankarya dan tindakan yang orisinal.

Strategi Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam


Pembelajaran Implementasi penguatan profil pelajar
pancasila dalam pembelajaran dilakukan melalui
pendekatan intrakurikuler, ekstrakurikuler dan budaya
sekolah.

5. Penguatan Literasi dalam Pembelajaran PAI


a. Konsep Literasi dan GLS
Literasi lebih dari sekadar membaca
dan menulis, namun mencakup
keterampilan berpikir menggunakan
sumber-sumber pengetahuan dalam
bentuk cetak, visual, digital, dan
auditori. Di abad 21 ini, kemampuan
ini disebut sebagai literasi informasi.
Ferguson menjabarkan komponen literasi informasi
sebagai berikut:

Literasi Dasar (Basic Literacy), yaitu kemampuan untuk


mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan
menghitung. Dalam literasi dasar, kemampuan untuk
mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan
menghitung (counting) berkaitan dengan kemampuan
analisis untuk memperhitungkan (calculating),
mempersepsikan informasi (perceiving),
mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi
(drawing) berdasar pemahaman dan pengambilan

17
kesimpulan pribadi.

Literasi Perpustakaan (Library literacy), yaitu kemampuan


lanjutan untuk bisa mengoptimalkan Literasi
Perpustakaan yang ada. Maksudnya, pemahaman
tentang keberadaan perpustakaan sebagai salah satu
akses mendapatkan informasi. Pada dasarnya literasi
perpustakaan, antara lain, memberikan pemahaman cara
membedakan bacaan aksi dan nonaksi, memanfaatkan
kolesi referensi dan periodikal, memahami Dewey
Decimal System sebagai klasifikasi pengetahuan yang
memudahkan dalam menggunakan perpustakaan,
memahami penggunaan katalog dan pengindeksan,
hingga memiliki pengetahuan dalam memahami
informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan,
penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.

Literasi Media (Media Literacy), yaitu kemampuan untuk


mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda,
seperti media cetak, media elektronik (media radio,
media televisi), media digital (media internet), dan
memahami tujuan penggunaannya. Secara gamblang
saat ini bisa dilihat di masyarakat kita bahwa media lebih
sebagai hiburan semata. Kita belum terlalu jauh
memanfaatkan media sebagai alat untuk pemenuhan
informasi tentang pengetahuan dan memberikan
persepsi positif dalam menambah pengetahuan.

Literaci tekhnologi (Technology Literacy), yaitu


kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti
teknologi seperti peranti keras (hardware), peranti lunak

18
(software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan
teknologi. Berikutnya, dapat memahami teknologi untuk
mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet.
Dalam praktiknya, juga pemahaman menggunakan
komputer (Computer Literacy) yang di dalamnya
mencakup menghidupkan dan mematikan komputer,
menyimpan dan mengelola data, serta menjalankan
program perangkat lunak. Sejalan dengan membanjirnya
informasi karena perkembangan teknologi saat ini,
diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola
informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Literasi Visual (Visual Literacy), adalah pemahaman


tingkat lanjut antara literasi media dan literasi teknologi,
yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan
belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-
visual secara kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap
materi visual yang setiap hari membanjiri kita, baik dalam
bentuk tercetak, di televisi maupun internet, haruslah
terkelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya
banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar perlu
disaring berdasarkan etika dan kepatutan. Literasi yang
komprehensif dan saling terkait ini memampukan
seseorang untuk berkontribusi kepada masyarakatnya
sesuai dengan kompetensi dan perannya sebagaiwarga
negara global (global citizen). Dalam konteks Indonesia,
kelima keterampilan tersebut perlu diawali dengan
literasi usia dini yang mencakup fonetik, alfabet, kosa
kata, sadar dan memaknai materi cetak (print awareness),
dan kemampuan menggambarkan dan menceritakan

19
kembali (narrative skills). Pemahaman literasi dini sangat
penting dipahami oleh masyarakat karena menjamurnya
lembaga bimbingan belajar baca-tulis-hitung bagi batita
dan balita dengan cara yang kurang sesuai dengan
tahapan tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, perlu
diberi perhatian terhadap keberlangsungan pendidikan
literasi usia dini berlanjut ke literasi dasar.Dalam
pendidikan formal, peran aktif para pemangku
kepentingan, yaitu kepala sekolah, guru, tenaga
pendidik, dan pustakawan sangat berpengaruh untuk
memfasilitasi pengem- bangan komponen literasi
peserta didik. Selain itu, diperlukan juga pendekatan cara
belajar-mengajar yang keberpihakannya jelas tertuju
kepada komponen-komponen literasi ini. Kesempatan
peserta didik terpajan dengan kelima komponen literasi
akan menentukan kesiapan peserta didik berinteraksi
dengan literasi visual. Sebagai langkah awal, dapat
disimpulkan bahwa diperlukan perubahan paradigma
semua pemangku kepentingan untuk terciptanya
lingkunganliterasi ini.

b. Tujuan Gerakan Literasi Sekolah


Tujuan umum GLS adalah menumbuh kembangkan budi
pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem
literasi sekolah yang diwujudkan dalam gerakan literasi
sekolah agar menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Sementara itu tujuan khusus GLS adalah:
1) Menumbuhkembangkan budi pekerti.
2) Membangun ekosistem literasi sekolah.
3) Menjadikan sekolah sebagai organisasi

20
pembelajaran (learning organization);
4) Mempraktikkan kegiatan pengelolaan pengetahuan
(knowledge management).
5) Menjaga keberlanjutan budaya literasi

c. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah


Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam
gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1) Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap
perkembangan yang bisa diprediksi.

2) Program literasi yang baik bersifat berimbang


Sekolah yang menerapkan program literasi
berimbang menyadari bahwa tiap peserta didik
memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama lain.
Dengan demikian, diperlukan berbagai strategi
membaca dan jenis teks yang bervariasi pula.

3) Program literasi berlangsung di semua area


kurikulum
Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah
adalah tanggung jawab semua guru di semua mata
pelajaran. Pembelajaran di mata pelajaran apapun
membutuhkan bahasa, terutama membaca dan
menulis. Dengan demikian, pengembangan
profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan
kepada guru semua mata pelajaran.Tidak ada istilah
terlalu banyak untuk membaca dan menulis yang
bermakna Kegiatan membaca dan menulis di kelas

21
perlu dilakukan kapan pun kondisi kelas
memungkinkan. Untuk itu, perlu ditekankan bentuk
kegiatan yang bermakna dan kontekstual. Misalnya,
menulis surat untuk wali kota atau membaca untuk
ibu adalah contoh-contoh kegiatan yang bermakna
dan memberikan kesan kuat kepada peserta didik.

4) Diskusi dan strategi bahasa lisan sangat penting.


Kelas berbasis literasi yang kuat akan melakukan
berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku
selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini
juga harus membuka kemungkinan untuk perbedaan
pendapat agar kemampuan berpikir kritis dapat
diasah. Peserta didik perlu belajar untuk
menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling
mendengarkan, dan menghormati perbedaan
pandangan satu sama lain

5) Keberagaman perlu dirayakan di kelas dan sekolah.


Penting bagi pendidik untuk tidak hanya menerima
perbedaan, namun juga merayakannya melalui
agenda literasi di sekolah. Buku-buku yang
disediakan untuk bahan bacaan peserta didik perlu
merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar
peserta didik dapat terpajan pada pengalaman
multikultural sebanyak mungkin.

d. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah


Sekolah memiliki peran yang amat penting dalam
menanamkan budaya literat pada anak didik. Untuk itu,

22
setiap sekolah harus memberikan dukungan penuh
terhadap pengembangan literasi. Di sekolah dengan
budaya literasi yang tinggi, peserta didik akan cenderung
lebih berhasil dan guru lebih bersemangat mengajar.
Perlu dipahami bahwa program membaca seperti
membaca dalam hati dan membaca nyaring hanyalah
bagian dari kerangka besar untuk membangun budaya
literasi sekolah.

Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam


pengembangan budaya literat, Beers, dkk. (2009) dalam
buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction
menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan
budaya literasi yang positif di sekolah.

1) Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi.


Lingkungan fsik adalah hal pertama yang dilihat dan
dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan
fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk
pembelajaran. Sekolah yang mendukung
pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang
karya peserta didik di seluruh area sekolah, termasuk
koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu,
karya-karya peserta didik diganti secara rutin untuk
memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku
dan bahan bacaan lain di Sudut Baca yang terletak di
kelas, kantor, dan area lain di sekolah. Ruang
pimpinan dengan pajangan karya peserta didik akan
memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah

23
terhadap pengembangan budaya literasi.

2) Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai


model komunikasi dan interaksi literat.
Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui
model komunikasi dan interaksi seluruh komponen
sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan
pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang
tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat
upacara bendera setiap minggu untuk menghargai
kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang
dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan
upaya peserta didik. Dengan demikian, setiap peserta
didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh
penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan
dapat mewarnai semua perayaan penting di
sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan
dalam bentuk festival buku, lomba poster,
mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan
sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan
aktif dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan
membangun budaya kolaboratif antar guru dan
tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang
dapat terlibat sesuai kepakaran masing- masing.
Peran orang tua sebagai relawan gerakan literasi akan
semakin memperkuat komitmen sekolah dalam
pengembangan budaya literasi.

3) Mengupayakan sekolah sebagai lingkunan akademik


yang literat. Lingkungan fisik, sosial, dan afektif

24
berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini
dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan
gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya
memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk
pembelajaran literasi. Salah satunya dengan
menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan guru
membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit
sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang
kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan
kesempatan untuk mengikuti program bimtek tenaga
kependidikan untuk peningkatan pemahaman
tentang program literasi, pelaksanaan, dan
keterlaksanaannya.

6. Moderasi Beragama
a. Konsep Moderasi Beragama (Wasathiyah)
Kajian terhadap konsep moderasi
beragama (wasathiyyah) telah menarik
perhatian banyak ilmuwan di berbagai
bidang seperti sosio- politik, bahasa,
pembangunan Islam, sosial-keagamaan,
dan pendidikan Islam. Terminologi ini merupakan
terminologi dari sekian terminologi yang sering
digunakan untuk menyebut label-label umat Islam
seperti islam modernis, progresif, dan reformis.

Seperti diakui El-Fadl, terminologi moderat ini dianggap


paling tepat di antara terminologi yang lain. Meski
orang-orang moderat juga sering digambarkan sebagai
kelompok modernis, progresif, dan reformis, tidak

25
satupun dari istilah- istilah tersebut yang menggantikan
istilah moderat. Hal ini didasarkan pada legitimasi al-
Qur’an dan hadist Nabi bahwa umat islam diperintahkan
untuk menjadi orang moderat. Disinilah istilah moderat
menemukan akarnya di dalam tradisi Islam, apalagi
terminologi wasathiyyah ini merupakan identitas dan
watak dasar Islam.

Konsep wasathiyyah dalam beberapa literatur keislaman


ditafsirkan secara beragam oleh para ahli. Menurut al-
Salabi kata wasathiyyah memiliki banyak arti. Pertama,
dari akar kata wasth, berupa dharaf, yang berarti baina
(antara). Kedua, dari akar kata wasatha, yang
mengandung banyak arti, diantaranya: (1) berupa isim
(kata benda) yang mengandung pengertian antara dua
ujung; (2) berupa sifat yang bermakna (khiyar) terpilih,
terutama, terbaik; (3) wasath yang bermakna al-‘adl atau
adil; (4) wasath juga bisa bermakna sesuatu yang berada
di antara yang baik (jayyid) dan yang buruk (radi’). Sama
dengan pemaknaan al-Sallabi, Kamali menganalisis
wasathiyyah sinonim dengan kata tawassuṭ, I’tidâl,
tawâzun, iqtiṣâd. Istilah moderasi ini terkait erat dengan
keadilan, dan ini berarti memilih posisi tengah di antara
ekstremitas. Kebalikan dari wasathiyyah adalah tatarruf,
yang menunjukkan makna “kecenderungan ke arah
pinggiran” “ekstremisme,” “radikalisme,” dan
“berlebihan”. Sedangkan Qardhawi mengidentifikasi
wasathiyah ke dalam beberapa makna yang lebih luas,
seperti adil, istiqamah, terpilih dan terbaik, keamanan,
kekuatan, dan persatuan.

26
Terlepas dari berbagai pemaknaan di atas, Hilmy
mengidentifikasi beberapa karakteristik penggunaan
konsep moderasi dalam konteks Islam Indonesia,
diantaranya; 1) ideologi tanpa kekerasan dalam
menyebarkan Islam; 2) mengadopsi cara hidup modern
dengan semua turunannya, termasuk sains dan
teknologi, demokrasi, hak asasi manusia dan sejenisnya;
3) penggunaan cara berfikir rasional; 4) pendekatan
kontekstual dalam memahami Islam, dan; 5) penggunaan
ijtihad (kerja intelektual untuk membuat opini hukum jika
tidak ada justifikasi eksplisit dari Al Qur'an dan Hadist).
Lima karakteristik bisa diperluas menjadi beberapa
karakteristik yang lain seperti toleransi, harmoni dan
kerjasama antar kelompok agama.

Beberapa pemaknaan wasathiyyah di atas menunjukkan


bahwa terminologi ini sangat dinamis dan kontekstual.
Terminologi ini juga tidak hanya berdiri pada satu aspek,
tetapi juga melibatkan keseimbangan antara pikiran dan
wahyu, materi dan spirit, hak dan kewajiban,
individualisme dan kolektivisme, teks (Alquran dan
Sunnah) dan interpretasi pribadi (ijtihad), ideal dan
realita, yang permanen dan sementara, yang kesemuanya
terjalin secara terpadu. Itulah kenapa Hanapi menyebut
wasathiyah merupakan pendekatan yang komprehensif
dan terpadu. Konsep ini sebenarnya meminta umat Islam
untuk mempraktikkan Islam secara seimbang dan
komprehensif dalam semua aspek kehidupan masyarakat
dengan memusatkan perhatian pada peningkatan
kualitas kehidupan manusia yang terkait dengan

27
pengembangan pengetahuan, pembangunan manusia,
sistem ekonomi dan keuangan, sistem politik, sistem
pendidikan, kebangsaan, pertahanan, persatuan,
persamaan antar ras, dan lainnya. Tidak heran jika
ummah wasath (muslim moderat) menjadi model yang
akan dipersaksikan di hadapan umat-umat yang lain.

b. Moderasi Beragama Sebagai Arus Utama Pendidikan


Islam
Sebagai pendekatan komprehensif dan terpadu,
moderasi beragama juga harus menjadi identitas, visi,
corak,dan karateristik utama pendidikan Islam, bukan
sekedar nilai partikular. Disini diperlukan langkah yang
lebih konstruktif dengan menempatkan moderasi
beragama sebagai arus utama pendidikan Islam.

Beberapa program pengarusutamaan ini memancing


diskusi lebih lanjut sejauhmana Islam moderat menjadi
identitas pendidikan Islam. Namun, melihat wacana dan
program yang dilakukan, setidaknya bisa dianalisis dari
tiga hal. Pertama, adanya kekhawatiran menguatnya
gerakan ekstrimisme, intoleran, dan radikalisme-
terorisme dalam pendidikan Islam. Dalam rangka
menghadang gerakan ini, moderasi beragama dianggap
perlu menjadi arus utama mengingat coraknya yang
inklusif dan toleran. Kedua, pengarusutamaan ini bisa
dibaca sebagai tindak lanjut dan penguatan Islam
Nusantara, dimana karakter utamanya adalah moderat.
Terlebih pendidkan Islam Nusantara memiliki akar
historis sebagai bagian dari institusi sosial-keagamaan

28
yang bercorak moderat. Ketiga, adanya kebutuhan untuk
melakukan reformasi pendidikan Islam di tengah
kompleksitas masalah global, yang diantaranya adalah
tidak adanya keseimbangan antara intelektualitas
dengan moralitas, modernitas dengan spiritualitas, dan
ketidakseimbangan lainnya dalam semua aspek
kehidupan.

c. Konstruksi Wasathiyyah dalam Kurikulum


1) Prinsip Moderasi Kurikulum
Dalam melakukan konstruksi moderasi kurikulum,
yang pertamakali diperlukan adalah rumusan prinsip-
prinsip yang akan menjadi acuannya. Prinsip ini
menyediakan petunjuk bagi pelaksanaan setiap
aktivitas, dan oleh karenanya prinsip memiliki peran
penting dalam mengembangkan berbagai kerja
intelektual, termasuk di dalam membuat kurikulum.
Merujuk pada prinsip-prinsip yang digali dari
moderasi Islam, kurikulum pen–didikan Islam bisa
dikembangan dengan mengacu pada beberapa
prinsip sebagai berikut:

a) Prinsip Universal
Salah satu prinsip mendasar moderasi beragama
adalah prinsip universal. Prinsip universal
kurikulum berangkat dari argumen bahwa Tuhan
mengutus utusan untuk semua bangsa dan umat,
dan oleh karena itu ajarannya mencerminkan
universalitas. Oleh karena itu, muatan kurikulum
harus mencakup semua aspek dan berlaku

29
menyeluruh, tanpa dibatasi oleh sekat kedaerahan
dan wilayah. Prinsip universalitas kurikulum juga
menghendaki adanya totalitas dalam
pengembangan potensi peserta didik, yang
tercakup dalam tujuan dan kandungan-
kandungan kurikulum. Pendidikan Islam di banyak
tempat masih diperlakukan sebagai doktrin
semata sehingga ia hanya berorientasi ke dalam.
Muatan, kajian, dan produk pendidikan Islam
hanya untuk umat Islam (internal) dan tidak
membuka peluang yang lebih longgar bagi
khalayak umum (ekternal) dengan berbagai latar
keagamaan yang lain, sehingga pembaca yang
notabene beragama non-muslim kurang bisa
menangkap pesan yang dihasilkan dari produk
pendidikan Islam.

b) Prinsip Keseimbangan
Prinsip moderasi beragama juga memuat prinsip
keseimbangan (tawâzun). Keseimbangan ini bisa
dilihat dari aspek keseimbangan antara prilaku,
sikap, nilai pengetahuan, dan keterampilan.
Prinsip keseimbangan juga merupakan sikap dan
orientasi hidup yang diajarkan Islam, sehingga
peserta didik tidak terjebak pada ekstrimisme
dalam hidupnya, tidak semata-mata mengejar
kehidupan ukhrawi dengan mengabaikan
kehidupan duniawi. Oleh karena itu, kurikulum
pendidikan Islam harus didesain dengan
menggunakan prinsip ini. Disini kurikulum

30
moderat dikonstruksi melalui keseimbangan
antara rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas.

c) Prinsip Integrasi
Prinsip integrasi ini juga merupakan prinsip
moderasi kurikulum yang sangat penting. Dalam
pengembangan kurikulum, integrasi ini banyak
dibicarakan oleh para ilmuwan muslim seperti
Fazlur Rahman, Seyyed Hossein Nasr, Ismail Raji`
al-Faruqi, dan Syekh Muhammad Naquib al-Attas.
Di Indonesia upaya integrasi ilmu juga
dikembangkan oleh ilmuwan muslim seperti
Kuntowijoyo dengan konsep “Pengilmuan Islam,”
dengan menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma
keilmuan, yang dalam hal ini bisa dilakukan
dengan dua cara, yaitu: (1) integralisasi yaitu
pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia
dengan wahyu; (2) objektifikasi yaitu menjadikan
pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua
orang. Imam Suprayogo menawarkan integrasi ini
dengan mengilustrasikan sebatang pohon yang
utuh, dimana kajian keagamaan harus ditopang
dengan landasan keilmuan yang lain agar studi-
studi keislaman bisa berdiri kokoh. Integrasi ini
dalam pandangan Amin Abdullah perlu
dipadukan dengan interkoneksi. Pendekatan
integratif-interkonektif adalah pendekatan yang
berusaha saling menghargai; keilmuan umum dan
agama sadar akan keterbatasan masing-masing
dalam memecahkan persoalan manusia, hal ini

31
akan melahirkan sebuah kerja sama setidaknya
saling memahami pendekatan (approach) dan
metode berpikir (process and procedure) antara
kedua kelimuan tersebut. Prinsip integarasi yang
ditawarkan para pemikir di atas setidaknya bisa
menjadi modal berharga dalam menancapkan
moderasi kurikulum pendidikan Islam.

d) Prinsip Keberagaman
Prinsip moderasi beragama sebenarnya juga
mengandung prinsip “Bhineka Tunggal Ika,” suatu
prinsip kesetaraan dan keadilan di tengah
perbedaan untuk mencapai persatuan. Prinsip ini
dimaksudkan sebagai pemeliharan terhadap
perbedaan-perbedaan peserta didik, baik berupa
perbedaan bakat, minat, kemampuan, kebutuhan,
agama, ras, etnik, dan perbedaan lainnya.
Pemeliharaan terhadap perbedaan ini menambah
kesesuaian antara kurikulum dengan kebutuhan-
kebutuhan peserta didik dalam konteks Negara
Indonesia yang multikultur.
2) Pendekatan Moderasi Kurikulum
Pendidikan Islam dengan karakter keislaman moderat
bisa menjadi kontribusi bagi perumusan pendidikan
Islam. Meminjam empat pendekatan integrasi konten
kurikulum dalam pendidikan multikultural yang
dikenalkan oleh Banks, konstruksi wasatiyyah dalam
kurikulum pendidikan Islam bisa dianalisis dengan
pendekatan kontributif (the contributions approach),

32
pendekatan aditif/penambahan (the additive
approach), pendekatan transformasi (transformation
approach), dan pendekatan aksi sosial (the social
action approach).

3) Pendekatan Kontributif
Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi
adalah bahwa struktur dasar, sasaran, dan
karakteristik utama kurikulum tidak berubah,
melainkan hanya menyisipkan konten-konten
tertentu dalam mata pelajaran, yang turut
berkontribusi dalam melahirkan sikap moderat,
seperti tokoh-tokoh Islam nusantara, yang dianggap
secara nyata memiliki pemikiran dan sikap moderat.
Pendekatan kontribusi ini dapat memberi
pengalaman belajar peserta didik akan ketokohan
seseorang. Ketokohan ini disamping menjaga warisan
sejarah, juga menghidupkan figur kepahlawanan
seorang tokoh sebagai sumber teladan.

Dengan pendekatan ini, moderasi beragama bukan


merupakan arus utama kurikulum pendidikan Islam,
melainkan sebagai nilai kontributif yang disisipkan
melalui kurikulum. Meski demikian, pendekatan ini
merupakan langkah yang paling minimal di dalam ide
pengarusutamaan moderasi beragama. Namun,
dalam beberapa aspek, ia sedikit banyak turut
memberikan kontribusi bagi warna kurikulum
pendidikan Islam.

33
4) Pendekatan Aditif/Penambahan
Pendekatan penting lainnya dalam melakukan
konstruksi wasathiyyah ke dalam kurikulum adalah
penambahan konten, konsep, tema, dan perspektif ke
dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasar,
tujuan, dan karakteristik kurikulum. Pendekatan
penambahan bisa dilakukan dengan menambahkan
sumber belajar seperti buku, atau bimtek khusus
kedalam kurikulum tanpa mengubahnya secara
substansial. Pendekatan ini bisa menjadi tahap
pertama dalam upaya reformasi kurikulum yang
dirancang untuk merestrukturisasi kurikulum secara
keseluruhan dan menjadi kerangka acuan awal.

Dalam melakukan konstruksi moderasi beragama


dalam kurikulum, konten, materi, tema, dan
perspektif moderasi beragama bisa ditambahkan ke
daam kurikulum. Penambahan ini tidak lain
merupakan pelengkap dan bukan bagian integral dari
kurikulum. Hampir sama dengan pendekatan
kontributif, yang membedakan adalah pendekatan
penambahan tidak cukup menyisipkan konten,
melainkan perlu adanya penambahan beberapa
konsep, tema, bahan ajar dan serangkaian bimtek
tambahan terkait isu-isu dalam moderasi beragama.

5) Pendekatan Tranformatif
Pendekatan tranformatif sangat berbeda dengan
pendekatan kontributif dan aditif. Dalam dua
pendekatan tersebut, konten ditambahkan ke

34
kurikulum inti tanpa mengubah asumsi dasar, sifat,
dan strukturnya. Sedangkan, dalam pendekatan
transformatif, tujuan mendasar, struktur, dan
perspektif kurikulum berubah. Pendekatan
transformasi ini memungkinkan peserta didik untuk
melihat konsep, isu, tema, dan masalah dari berbagai
sudut pandang. Perspektif arus utama adalah salah
satu dari beberapa perspektif dari mana masalah,
konsep, dan isu dilihat.

Transformasi kurikulum berbasis moderasi beragama


memerlukan perubahan paradigma, perspektif, dan
struktur dasar kurikulum. Tentu saja transformasi ini
tidak mudah karena harus meninjau ulang dan
merubah beberapa struktur dasar kurikulum yang
selama ini dijalankan. Namun, jika dilihat dari
paradigma perubahan kurikulum pendidikan nasional
yang pernah terjadi di Indonesia, perubahan
paradigma juga sangat mungkin dilakukan dalam
konteks kurikulum pendidikan Islam.

Dengan menggunakan perspektif moderasi


beragama, transformasi kurikulum ini akan
melahirkan kurikulum yang menarik bahwa kurikulum
pendidikan Islam, baik di pesantren, madrasah
maupun PTKI, merupakan cermin utama dari identitas
islam sebagai agama yang moderat. Gagasan ini juga
sejalan dengan misi pendidikan Islam yang memiliki
visi transformatif dan pemberdayaan terhadap
peserta didik dalam kerangka cita-cita etik profetik
pemanusiaan, pembebasan, dan penyadaran

35
keilahian, sehingga tercermin karakter moderat yang
cukuo kuat. Ini mengingat moderasi beragama
merupakan pendekatan komprehensif, yang
memungkinkan dipersaksikannya (syuhadâ’a) mutu
pendidikan Islam di hadapan umat manusia.

6) Pendekatan Aksi Sosial


Pendekatan aksi sosial mencakup semua elemen
pendekatan transformasi namun menambahkan
komponen yang mengharuskan peserta didik
membuat keputusan dan mengambil tindakan yang
terkait dengan konsep dan masalah yang dihadapi.
Tujuan utama pembelajaran dengan pendekatan ini
adalah untuk mendidik para peserta didik untuk
melakukan kritik sosial, perubahan dan keterampilan
membuat keputusan. Dalam pendekatan ini,
moderasi beragama tidak hanya terjadi dalam
internal unit pendidikan, melainkan begerak sebagai
agent of socialcritic dan agent of social change di
tengah-tengah masyarakat.

Orientasi kurikulum dikembangkan dengan


menekankan pada “social oriented”. Pendekatan
moderasi kurikulum ini melatih peserta didik untuk
terlibat dalam aksi-aksi sosial dalam rangka
membumikan moderasi beragama pada semua aspek
kehidupan masyarakat.

Empat pendekatan integrasi konsep wasathiyyah di


atas bisa menjadi pertimbangan dalam melakukan
konstruksi kurikulum berbasis moderasi beragama.

36
Program-program pendidikan Islam yang mencoba
mendidik peserta didik untuk dapat melakukan kritik
sosial dan perubahan sosial terhadap masalah-
masalah yang di luar mainstream Islam moderat,
perlu dikembangkan. Barangkali tarnsformasi
kurikulum dengan menggunakan paradigma
integrasi ilmu bisa dilihat sebagai salah satu
karakteristik Islam moderat, yakni keseimbangan
antara material dan spiritual dan antara dunia dan
akhirat. Ini bisa ditemukan dalam pendidikan
madrasah dan pesantren.

Rangkuman

Pendidikan Abad 21 merupakan pendidikan yang


mengintegrasikan antara kecakapan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, serta penguasaan terhadap TIK.
Kecakapan tersebut dapat dikembangkan melalui berbagai
model pembelajaran berbasis aktivitas yang sesuai dengan
karakteristik kompetensi dan materi pembelajaran.

Adapun yang termasuk kecakapan abad 21 adalah:


1. Kecakapan Berpikir Kritis dan Pemecahan masalah
(Critical Thinking and Problem Solving Skill)
2. Kecakapan Berkomunikasi (Communication Skills)
3. Kreatif dan Inovasi (Creativity and Innovation)
4. Kolaborasi (Collaboration)

Kemampuan berpikir tingkat tinggi/ Higher Order Thinking


Skills (HOTS) adalah kemampuan berpikir yang bukan hanya

37
sekedar mengingat, menyatakan kembali, dan juga merujuk
tanpa melakukan pengolahan, akan tetapi kemampuan
berpikir untuk menelaah informasi secara kritis, kreatif,
berkreasi dan mampu memecahkan masalah.

Penguatan profil pelajar pancasila merupakan internalisasi


nilai-nilai pancasila yang dirangkum menjadi profil pelajar
Indonesia. Bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa
kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong,
dan berkebinekaan global merupakan enam nilai sikap yang
harus diinternalisasikan dalam proses intrakurikuler dan
ekstrakurikuler, sehingga tercapai pelajar pelajar Indonesia
yang memiliki profil nilai-nilai Pancasila.

Berdasarkan cara dan fungsinya, literasi dibagi menjadi:


1. Literasi Dasar (Basic Literacy)
2. Literasi Perpustakaan (Library literacy)
3. Literasi Media (Media Literacy),
4. Literasi tekhnologi (TechnologyLiteracy),
5. Literasi Visual (Visual Literacy),

Beberapa karakteristik penggunaan konsep moderasi dalam


konteks Islam Indonesia, diantaranya; 1) ideologi tanpa
kekerasan dalam menyebarkan Islam; 2) mengadopsi cara
hidup modern dengan semua turunannya, termasuk sains
dan teknologi, demokrasi, hak asasi manusia dan sejenisnya;
3) penggunaan cara berfikir rasional; 4) pendekatan
kontekstual dalam memahami Islam, dan; 5) penggunaan
ijtihad (kerja intelektual untuk membuat opini hukum jika
tidak ada justifikasi eksplisit dari Al Qur'an dan Hadist). Lima
karakteristik bisa diperluas menjadi beberapa karakteristik

38
yang lain seperti toleransi, harmoni dan kerjasama antar
kelompok agama.

Tugas

Untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi keempat


tentang model pembelajaran abad 21, maka peserta
menjawab pertanyaan berikut:
1. Lembar kerja ringkasan materi dari kegiatan expert group
2. Lembar kerja sintaks pembelajaran abad 21

Umpan Balik dan Tindak Lanjut

Setelah menyelesaikan latihan dan tugas dalam modul,


peserta diminta untuk menyusun rencana pembelajaran
dengan mengintegrasikan konsep model pembelajaran
abad 21 yang telah diuraikan di atas.

39

Anda mungkin juga menyukai