Anda di halaman 1dari 3

FENOMENA PERILAKU NETIZEN KONTEMPORER DALAM

PRESPEKTIF HUKUM: MENJADI “POLISI MORAL” DALAM


MELAKUKAN PRAKTIK “CANCEL CULTURE”
Rahmad Dede Yufani pada 10 Oktober 2023

Pada saat masuk dalam lini masa media daring, kita secara tidak langsung
dipertemukan banyak orang yang memiliki latar belakang super-variatif. Tidak
jarang kita terheran mengapa banyak orang yang memiliki perilaku aneh atau
“stunting” dalam menyikapi revolusi era digitalisasi. Dari banyak jenis netizen
yang bertebaran di lini masa sosial daring, saya akan menitik-beratkan kepada
fenomena pada warga internet yang acapkali melakukan “cancel” terhadap
orang yang mereka anggap tidak bermoral dalam melakukan sesuatu di mata
publik. Saya tidak mengerti kenapa banyak orang yang mudah tergocek dalam
sebuah pengiringan opini di ruang publik.
Ketika seseorang Influencer melakukan blunder, maka, netizen secara impulsif
menjadi polisi moral yang menerangkan bahwa A itu benar dan B itu salah, dan
yang menariknya netizen menggeneralisasi bahwa yang dilakukan oleh Si
Influencer itu, yang mana B itu salah dan seharusnya yang ia lakukan adalah A.
Sebagai contoh, seorang Infuencer enggan memberikan uang sepeser pun
kepada anak jalanan yang meminta, hal itu terekam saat Si Influencer itu
melakukan live di platfrom TikTok. Netizen yang menonton memberikan
tanggapan yang mana perbuatan yang dilakukan itu adalah B, seharusnya dia
melakukan A. nah, di sini netizen secara dadakan menjadi polisi moral dengan
cara mengomentari kejadian tersebut. Anggapan yang dilakukan Netizen ini
terlalu menekan empati kepada anak jalanan yang meminta-minta, dan akhirnya
membela anak jalalan itu. Maka, kita menyimpulkan bahwa netizen menilai
kejadian itu secara subjektif tanpa mendengar terlebih dahulu dari penjelasan
dari Influencer. Padahal anggapan ini salah, karena A dan B itu relatif. Seorang
Influencer melakukan hal yang menurut netizen itu B, karena Influencer pikir
itu adalah hal yang A yang mana benar, dia melakukan hal yang dianggap B
oleh netizen karena dia tahu betul ke mana larinya uang tersebut which is lari ke
preman atau bos yang terlibat sindikat eksploitasi anak, maka itu ia tidak
memberikan uang sepeser pun, dan itu tidak bisa dibenarkan oleh Influncer
tersebut. Kemudian, setelah melakukan pembenaran apa yang dilakukan oleh Si
Influencer, netizen juga belum puas dan menyangkal hal tersebut, karena pada
dasarnya mereka menganggap dirinya selalu benar. Nah, pada kasus ini, kita
bisa melihat bahwa netizen bisa menjadi polisi moral karena blunder dari tokoh
publik. Di saat bersamaan, netizen menerangkan soal “moral” dengan versi
yang “benar” menurut netizen.
Sekarang kita coba mengaitkan kasus di atas dengan perilaku “cancelling” yang
dilakukan oleh netizen secara kolektif ini. Dalam konteks hukum yang berlaku
di Indonesia, apa yang dilakukan oleh netizen di ruang publik tidak melanggar
hukum dan dilindung negara yang di atur dalam Pasal 28E UUD 1945, dan
selama netizen hanya bersuara berdasarkan konsep A itu benar dan B itu salah,
seperti pada kasus diatas, maka, hal itu tidak melanggar hukum dan dilindungi
oleh Undang-Undang. Kecuali, jika netizen menyebarkan hate speech atau
mencemarkan nama baik Si Influencer, maka hal itu bisa menjadi alat untuk
membungkam netizen lewat Pasal 27 UU ITE, kendati Si Influencer melakukan
blunder dan mencederai moral sosial menurut netizen.
Cancel culture atau budaya meng-enyahkan, menyingkirkan atau memboikot
seseorang mulai ramai ketika netizen “dipersenjatai” dan mendapat hak
bersuara di ruang publik. Jika netizen bergerak secara kolektif dan “menyerang”
tokoh publik yang melakukan blunder yang mana melakukan B, maka tanpa
mencari kebenaran dahulu, netizen secara frontal bisa saja melakukan
pengiringan opini dan melakukan pengenyahan terhadap tokoh publik, hanya
dengan dasar asumsi dari pengiringan opini yang beredar. Lagi-lagi, tokoh
publik yang melakukan blunder tidak menyangka bahwa apa yang dia lakukan
yang mana B itu ternyata salah. Padahal konsep A dan B itu relatif, karena A
bisa jadi salah dan benar, begitu pula B. Hal tersebut tergantung penangkapan
makna secara subjektif. Akan tetapi, karena netizen memiliki massa yang satu
pemikiran dan koletif beranggapan bahwa B itu salah sedangkan tokoh publik
menganggap apa yang dia lakukan adalah A, hanya memiliki sedikit
“pendukung” maka, di sini bisa dikatakan bahwa netizen memenangkan
argumen bahwa B itu salah, ya meski, sejatinya B bisa benar dan salah.
Adapun dampak dari “cancelling” ini cukup berpengaruh terhadap orang atau
kelompok yang terkena budaya pengenyahan ini. Dalam beberapa kasus
tertentu, terdapat penolakan sosial terhadap kehidupan pribadi orang yang
terkena budaya pengenyahan ini, bisa terjadi dalam ruang publik secara daring
namun hal ini hanya sementara tapi akan menjadi reputasi buruk bagi orang
tersebut. Dampak lainnya, mungkin bisa terjadi tokoh publik yang sekaligus
melakukan bisnis lewat platfrom daring. Secara langsung, pemboikotan produk
atau jasa akan terjadi dan itu pasti berpengaruh pada penjualan dan pemasukan,
ya meski lagi-lagi, hal tersebut hanya sementara. Karena netizen tidak bisa
terus-menerus berkutat pada pemboikotan ini dalam jangka panjang, dan juga
mungkin produk yang dijualkan oleh orang yang diboikot memiliki “nilai”
dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, netizen tidak bisa menyangkal bahwa
produk atau jasa orang yang sedang mereka boikot sukar dilepas.
Seseorang dapat melakukan “cancel-culture” karena mendapat “senjata” secara
gratis dan juga mendapatkan massa di media massa lewat pengiringan opini,
dan hal itu bisa berhasil karena dilakukan secara koletif. Jika tidak platfrom
daring yang terbuka, mungkin budaya pengenyahan ini hanya akan terjadi di
ruang tertutup dan tidak bisa meluas. Keinginan netizen melakukan “cancelling”
karena didasari ketidak-sukaan dengan pendapat orang lain dan juga
menyinggung. Padahal semua orang memiliki hak yang sama berpendapat, jika
dirasa tidak sependapat atau tidak senang dengan apa yang dilakukan seseorang,
saya rasa tidak perlu melakukan intimidasi atau pengecaman terhadap orang
yang tidak sependapat. netizen mencerminkan bagaimana demokrasi di sebuah
negara bekerja, karena demokrasi tidak akan memberikan hasil yang, jika
masyarakatnya tidak memiliki keterampilan berdemokrasi yang baik .

Anda mungkin juga menyukai