Anda di halaman 1dari 5

Virus Corona dan Lemah Bilung Bermedia Sosial

Oleh Iksander
Pemerhati Media dan Dosen Komunikasi di Stisipol Pahlawan 12 Sungailiat

Suatu ketika, Bujang mengerenyitkan dahinya ketika mendengar di Youtube tentang virus Corona yang
banyak memakan korban di Wuhan China, namun Ia tak kuatir karena merasa Indonesia, negara
tempatnya tinggal aman-aman saja. Ia dapat info bahwa bahwa Virus Corona akan Mati dalam Suhu
26-27 Derajat dan saat terkena sinar matahari. Namun tetap ia merasa kurang nyaman, ketika menonton
IG Story teman kantornya mulai menggunakan masker. Ia pun mulai memakai masker ketika di kantor.
Anehnya, besoknya lagi, ia tak lagi bermasker karena mendapatkan info dari Twitter bahwa masker
untuk orang sakit saja.

Namun ketika Jokowi umumkan ada dua orang suspect Corona di Indonesia awal Maret ini. Bujang
langsung bergegas hunting masker, terlebih akhir-akhir ini diberitakan stok masker di sejumlah tempat
sudah habis. Ia pun baru tahu suhu di Indonesia tak kebal diserang Corona.

Melihat tingkah anak, sang Ibu dengan ketus berkata, “Ka ni lemah bilung Jang,” (kamu ini lemah telinga)
- untuk mengibaratkan si anak yang mudah berubah pikiran.

Penggalan cerita diatas ternyata biasa ditemukan pada kondisi masa kini. Kita tanpa ragu bisa
menyatakan bahwa fenomena Lemah bilung justru kerap terjadi di era digital. Betapa generasi Millineal
terutama generasi Z setelahnya mudah menjadi lemah bilung setelah berselancar di arus media sosial
semacam Twitter atau Facebook.

Lemah bilung seringkali dipersepsikan secara negatif yakni untuk menyematkan mereka yang mudah
berubah penilaian atas suatu obyek karena mudahnya dipengaruhi lewat informasi baru. Dalam konteks
komunikasi, lemah bilung dapat diasosiasikan mudah berubahnya penilaian seseorang terhadap suatu
obyek atau peristiwa. Selanjutnya ini akan mempengaruhi wawasannya atas hal tadi. Efek akhirnya
adalah berubah-ubahnya perilaku.

Perubahan prilaku ini bisa tak disukai atau disukai tergantung seberapa besar dampak itu berpengaruh
pada jaringan sosialnya. Katakanlah, kalau Andi yang adalah zero voter pada Pilkada lalu karena
menurutnya tak ada program spesial di sejumlah Parpol yang ada, kemudian gara-gara Andi bertemu
sohibnya yang aktifis Partai Indonesia Sehat (PIS), lalu terlibat diskusi intim dalam grup Facebook. Tanpa
dinyana, Penilaian Andi luluh dan percaya bahwa PIS adalah partai anak muda mumpuni yang
membuatnya percaya ia akan pilih PIS pada pilkada nanti.

Minggu berikutnya, Andi Direct Message (DM) dengan Ani lewat Instagram, perempuan kenalannya yang
juga adalah kader Partai Ketuyut (PK). Entah mengapa, setelah berapa kali saling DM dibayangi tatapan
sendu Ani membuatnya seolah lupa soal perpolitikan duniawi. Bagi Andi, Partai Ketuyut tidak lah jelek-
jelek amat. Melihat aktifitas di IG Story sang dinda yang sering sharing blusukan ke kampung ternyata
bikin Andi jadi melting abis. Kognisinya berubah lagi dan mulai berfikir, partai boleh beda, asal Ani tetap
di hati kanda.

Lemah bilung_nya Andi tadi bisa memberi keuntungan tersendiri bagi parpol karena menambah partisan,
namun tidak bagi jaringan Golputers yang akan kehilangan anggotanya. Disini, dampak maksimal dari
proses komunikasi terjadi, ketika perubahan kognisi berlanjut pada perubahan laku. Mirip cerita Bujang
yang ngebet bongkar pasang masker tadi. Jaringan sosial yang diikuti Bujang berubah dan
mempengaruhi orang-orang sekitarnya.

Lantas benarkah perilaku kita berubah semudah itu. Kata orang tua dulu, Lemah bilung kerap disematkan
pada mereka yang tak punya prinsip hidup. Bukankah seharusnya semakin banyak informasi yang
diterima maka akan semakin kuat kita bertahan atas prilaku yang kita pilih.

Justru jika diperhatikan secara serius kelahiran media sosial membuat sebagian millineal tak punya kuda-
kuda yang kuat dalam menghadang laju banjir informasi. Pada saat koneksi terjadi, sebagian Millineal
atau generasi Z seolah limbung seperti tercerabut dari akarnya.

Cek saja betapa masker kini menjadi sesuatu yang mahal dan selalu kehabisan stok, gara-gara ada info
bahwa Covid-19 dapat menyerang lewat udara. Padahal kita bisa saksikan berkali-kali bahwa cara
yang efektif menangkal virus ini adalah lewat pola hidup sehat dan rajin mencuci tangan. Penggunaan
masker hanya untuk mereka yang sakit, persis dikatakan juga oleh Menteri Kesehatan RI Terawan Agus
Putranto.

Menurut penulis, ada dua hal mengapa pondasi itu tak terbentuk sempurna. Yang pertama, dunia digital
terutama media sosial dikenai dua sifatnya, yaitu personal sekaligus massif. Dunia virtual ini membuat kita
seolah-olah ngontrak di suatu kamar pribadi, namun kamarnya tak punya sekat beton, yang ada hanya
sekat kaca transparan dimana semua orang dari mana saja bisa menyaksikan perilaku bermedia sosial
kita.

Disini, kita tak dibatasi apa dan bagaimana sesuatu harus diungkapkan atau diposting, sama halnya
diwaktu yang sama, kita juga bebas mengakses ratusan informasi yang disukai. Ratusan informasi yang
mengalir deras ke reseptor kita selaku pengguna internet. Sekitar 150 Juta pengguna (netizen) media
sosial di Indonesia tumpah ruah dalam gerak dinamis sharing, posting dan reading aneka ragam info
beragam makna.

Namun, kapasitas otak pengguna terbatas, ditengah massifnya informasi dimaksud, netizen pada
akhirnya harus membuat strategi baru bagaimana informasi diterima. Disinilah, skema jalan pintas
dilakukan, dimana si netizen akan mengkonsumsi informasi yang menurutnya lebih sesuai dengan prinsip
hidup yang dimiliki atau nilai budaya apa yang dianutnya. Sehingga stimulus yang familiar dengan
dirinya saja yang akan dia pilih untuk dipersepsi. Penulis berpendapat, skema ini tak memberi jalan bagi
informasi yang kontra untuk dikonsumsi.

Medsos adalah dunia egaliter dimana setiap orang punya kesempatan yang sama untuk berperilaku tak
perduli anda kelas pekerja TI di Parit 3 Jebus atau pekerja Bank Swasta di Pangkalpinang. Jika anda
adalah penyuka musik Dangdut, mungkin anda akan lebih suka membaca informasi mengenai sang Raja
Dangdut dibandingkan menelisik lebih jauh masa lalu Michael Jakson atau Freddie Mercury.

Proses memilih sang Raja adalah proses personal seseorang, namun ribuan pilihan informasi mengenai
pemusik yang tersebar luas di jagad maya adalah dampak dari massifikasi pesan dari jaringan sosial
lainnya. Meskipun kita punya akses untuk membacanya namun kita terlalu “letih” untuk melakukannya.

Yang kedua, informasi yang kerap diterima lalu akan di-share kembali ke jaringannya dalam ritme yang
sama. Netizen yang budiman pada kondisi ini akan terjebak pada efek ruang gema (echo chamber effect)
yang tak disadarinya. Lalu lintas pesan pada sekelilingnya akan linier terus menerus dengan dirinya
sehingga menyulitkannya untuk berpindah haluan ke lalu lintas pesan baru.

Efek ini akan menghasilkan persona yang terjebak di gelembung informasi bertema sama. Belum lagi jika
ditambah dengan kehadiran industri tagar, follower, dan social influencer, yang terkadang sukses
memancing perbincangan (trending) atas suatu informasi tertentu. Membuat efek dimaksud bisa makin
mengental pada pengguna karena kebetulan informasi yang “disetel” sama nada.

Sebab akhir-akhir ini bisnis komunikasi tagar sedang trending. Kehadiran konsultan komunikasi-kadang
berbaju tim sukses-kerap membuat netizen makin terombang ambing dalam banjir informasi. Segala
informasi yang miss information, dis information ataupun mal information disemburkan oleh influencer yang
lalu di up oleh akun-akun robot atau buzzer sehingga informasi tertentu menjadi trending di perbincangan
sosial. Ini yang kemudian tanpa disadari bahwa kita tak pernah tahu mana informasi yang benar atau
yang rekaan ketika sampai pada kita.

Bahwa kini adalah era Post Truth adalah suatu kenyataan yang tak terbantahkan. Yang makin membuat
sang lemah bilung makin terjerembab ke dasar permainan tiki-taka informasi. Lantas, apakah tak ada
daya bagaimana pengguna (user) kini punya pondasi yang kuat.

Menurut penulis, ada dua upaya besar yang dapat dilakukan untuk memperkuat pondasi dalam
bermedia sosial dewasa ini.

Upaya yang pertama adalah user seharusnya dapat melakukan upaya verifikasi secara benar. Hal ini
dilakukan dengan mengakses platform yang mumpuni sehingga generasi ini mampu memilah, memproses
dan menelaah beragam informasi tanpa kuatir tidak merasa nyaman atau berbeda dari kebanyakan
orang lain.

Namun siapakah yang dikenai tugas mulia untuk bagian ini. Tentu saja peran media konvensional yang
kini mengkonversikan diri menjadi media berita digital tak bisa dilupakan. Kepada mereka lah, pengguna
dapat memperoleh konten penyeimbang yang positif. Sebagai upaya awal verifikasi atas informasi yang
baru didapat dari media sosial.

Meskipun kita sebagai pengguna kadangkala harus dipaksa membaca berita berjudul ala Lampu Merah
pada media masa kini. Tak bisa dipungkiri, kompetisi akan traffic tinggi membuat media kita makin
trengginas dengan pola judul click bait yang menggugah emosi jiwa.

Belum lagi, penilaian netizen masa kini yang merasa bahwa media mainstream kadangkala partisan
dalam pemberitaanya. Hal yang tak bisa dipersalahkan juga diacuhkan jika menyimak laporan dari Ross
Tapsell dalam bukunya “Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution,” bahwa
ada sejumlah konglomerasi media di Indonesia yang berusaha sebanyak mungkin meraih akses pada
audiens lewat beragam platform media yang mereka kuasai dan akuisisi. Yang jadi soal adalah
keterlibatan mereka bukan pada landscape media saja namun juga masuk ke dalam panggung politik
baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Sehingga lagi-lagi pertanyaannya apakah mendapatkan informasi yang reliabel dan tidak partisan
benar-benar dapat dipenuhi dari media konvensional sehingga pengguna dapat jernih memandang
peristiwa.
Upaya selanjutnya dalam disiplin verifikasi ini adalah tiap pengguna seyogyanya memperbanyak
konsumsi konten anti hoax. Sekarang tersedia platform yang menyediakan konten anti hoax semacam situs
https://turnbackhoax.id, hasil gerakan Masyarakat Indonesia Anti Hoax. Atau bisa mengecek laporan isu
hoaxs berkala yang dikeluarkan oleh https://www.kominfo.go.id atau situs https://cekfakta.tempo.co yang
berisi konten verifikasi berita hoaxs dari Tempo.

Upaya kedua sifatnya lebih pada penguatan internal diri user. Penulis berpendapat bahwa user
seharusnya mampu melatih diri mereka sendiri untuk meluaskan kesadaran diri termasuk kepada informasi
yang berbeda sembari tetap bersikap kritis. Penulis berfikir bahwa persoalaannya bukan pada keluasan
otak untuk menerima segala informasi, namun lebih kepada bagaimana meluaskan hati sendiri. Menerima
dengan lapang dada bahwa ada informasi yang berbeda dengan yang selama ini kita yakini, dan itu
baik-baik saja.

Memang jika dilihat dari perspektif perilaku media, tiap orang punya motivasi sendiri dalam
menggunakan media dan umumnya subyektifitas sangat berperan dalam penentuan informasi mana yang
akan dikonsumsi. Bisa jadi pada diri seseorang ada kekuatiran untuk berbeda dengan yang lainnya.
Misalnya si Bujang tadi yang tak merasa nyaman jika tak menggunakan masker setelah melihat
lingkungan sosialnya menggunakan masker di beranda Medsosnya.

Meskipun ia tahu masker untuk orang yang sakit, namun kekuatiran untuk berbeda membungkamnya. Ini
mirip seperti Spiral of Silence nya Elisabeth Noelle Neumann. Namun, sekali lagi teori ini sedikit
terbantahkan dengan fakta bahwa medsos adalah media yang egaliter dan personal.

Sehingga hemat penulis, user yang mencoba keluar dari gelembung informasi linear sebenarnya mencoba
berdamai dengan ego sendiri. Hal ini mendorongnya untuk berani dan kritis dalam menerima informasi
apapun tanpa kuatir tak nyaman. Keluasan hati memberikannya banyak opsi untuk melihat segala
fenomena dari beragam perspektif.

Bujang bisa jadi hari itu dikomplain oleh Ibunya gara-gara masker, namun pelajaran yang bisa dipetik
hari itu adalah semua orang pada dasar nya bisa berada pada posisi lemah bilung tadi. Bisa jadi kita
akan terkatung-katung pada pertarungan informasi di media sosial, lantas terjerembab pada penilaian
atau prilaku yang salah.

Penulis rasa dengan belajar meluaskan hati, kesalahan-kesalahan gara-gara lemah bilung akan mudah
diminimalisir. Persoalannya bukan pada terlalu banyak informasi yang diserap, namun sadar diri akan
konsekuensi atas pilihan itu yang harus diketahui. Apakah harus selalu informasi yang nyaman atau
memang kita perlu sekali-sekali untuk membaca satu atau dua informasi yang kurang nyaman dengan diri
kita. ***

Anda mungkin juga menyukai