MAKALAH DEBAT
“MEDIA SOSIAL BERDAMPAK LEBIH
POSITIF DIBANDING BERDAMPAK
NEGATIF”
Diadakannya makalah debat ini adalah untuk membahas permasalahan umum yang
sedang dan sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Media social adalah sebuah
media daring, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi,
berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia
virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling
umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Media sosial juga merupakan
sebuah media yang akhir akhir ini digunakan oleh umat manusia. Hampir seluruh
umat manusia memiliki media sosial, seperti Facebook, Instagram, Line,
Whatsapp, Snapgram dan lain sebagainya. Media sosial adalah hal yang lumrah
digunakan seseorang dalam kesehariannya. Media sosial juga sarana untuk
berkomunikasi, menyebarkan cerita sehari hari yang dirasa menyenangkan, ajang
seseorang memamerkan apa yang dimiliki serta ajang seseorang untuk mencari
teman baru atau biasa disebut followers.
Dari peryataan diatas kami pun memiliki rumusan masalah. Apakah sebegitu
berpengaruhnya media sosial terhadap kehidupan seseorang sehari-hari? Apakah
dampak yang akan ditimbulkan dari penggunaan media sosial? Bagaimana cara
mengatasi dampak yang ditimbulkan dari penggunaan media sosial?
Dari rumusan masalah yang kami sebutkan diatas, makalah ini bertujuan untuk
menyebutkan dampak dampak negatif dari penggunaan media sosial dalam
kehidupan sehari-hari.
II. ISI
Tiga milliar orang, sekitar 40% populasi dunia, menggunakan media sosial- dan menurut sejumlah
laporan, kita menghabiskan rata-rata dua jam setiap hari untuk membagikan, menyukai, menulis
cuitan dan memperbaharui perangkat ini. Artinya sekitar setengah juta cuitan dan foto Snapchat
dibagikan setiap menit.
Ketika media sosial memiliki peran besar terhadap kehidupan kita, apakah kita dapat mengorbankan
kesehatan dan kesejahteraan jiwa serta waktu kita? Apa sesungguhya bukti yang ditemukan?
Karena media sosial masih baru bagi kita, masih terbatas pula kesimpulan-kesimpulan yang cukup
tegas. Riset yang ada kebanyakan bersandar pada pelaporan mandiri, yang seringkali tak kredibel.
Dan mayoritas studi menfokuskan pada Facebook. Artinya, ini merupakan area riset yang
berkembang pesat, dan berbagai petunjuk mulai bermunculan
Sehat itu mahal, dan percayakah anda jika sosial media ternyata memiliki pengaruh terhadap
kesehatan kita? Mau tidak mau anda harus percaya karena dampak ini telah terbukti benar setelah
dilakukan oleh banyak peneliti di dunia. Jika anda sudah terlalu asyik memainkan sosial media maka
mata anda akan selalu terpaku kepada layar smartphone yang tentu akan mengganggu kesehatan
mata anda.
Terlebih jika anda terus menerus melakukan aktivitas tersebut hingga larut malam, selain akan
mengganggu kesehatan mata, berat badan anda bisa saja naik. Hal tersebut pernah dikemukakan oleh
para peneliti Nothwestern University, mereka menyatakan penggunaan smartphone saat di jam-jam
tidur akan dapat menyebabkan obesitas karena paparan sinar biru dari smartphone dapat
meningkatkan hormone ghrelin yang berfungsi memberi sinyal lapar pada tubuh seseorang.
Inilah hal yang sering kita lihat di sekeliling kita, karena sudah banyak kita temui orang-orang yang
asyik sendiri dengan gadgetnya. Jika seseorang terlalu menikmati dengan adanya sosial media ini
maka sifat individualis lambat laun akan muncul. Sehingga seseorang ini lebih menikmati
keberadaannya sendiri sekalipun ketika bertemu dengan banyak orang.
Dari dampak individualis penggunaan sosial media juga menjadikan seseorang lemah dalam
bersimpati bahkan berempati terhadap keadaan sekelilingnya karena perhatiannya akan selalu tertuju
pada layar smartphonenya. Hal ini banyak kita temukan di tempat-tempat umum. Misalnya saat di
kendaraan umum.
4. Terjadinya cyber-bullying
Apa itu cyber bullying?cyber bullying merupakan bentuk kekerasan di internet yang dilakukan atau
dialami oleh seseorang terutama anak-anak dan remaja. Umumnya cyber bullying dilakukan para
remaja dimana pada usia-usia tersebut mereka membutuhkan pengakuan tentang keberadaan mereka.
5. Maraknya kejahatan yang berasal dari sosial media
Kita mungkin sudah sering mendengar kabar di berita-berita tentang kasus kejahatan yang berawal
dari sosial media ini, diantaranya seperti kasus penculikan, pemerkosaan hingga pembunuhan. Inilah
salah satu dampak negatif yang cukup parah dari sosial media. Ketika di sisi lain sosial media
memberikan dampak positif untuk menambah pertemanan,di sisi lain ada dampak yang harus kita
perhatikan.
Hal ini umumnya terjadi pada seseorang yang usianya masih remaja. Sifat pemikiran remaja yang
cenderung masih labil maka akan lebih mudah bagi pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksinya
tersebut. Anda bisa lebih selektif untuk menjalin pertemanan jika anda baru mengenalnya melalui
sosial media.
6. Menurunkan produktivitas
Salah satu yang dapat memicu menurunnya produktivitas seseorang adalah ketika fokusnya
tergantikan oleh hal-hal yang lain. Tentu penggunaan sosial media yang berlebih maka akan
membuat anda enggan untuk melakukan hal-hal lain yang lebi bermanfaat dan bisa anda lakukan.
Seseorang tentu mempunyai kewajiban yang seharusnya bisa sesegera mungkin dilakukan. Seperti
misalnya bagi seseorang yang beragama Islam setiap harinya harus melaksanakan sholat yang
merupakan ibadah wajib yang tidak boleh dilalaikan. Bagi seorang pelajar juga mempunyai
kewajiban untuk belajar. Disini sosial media tentu berperan untuk membuat seseorang menunda
pekerjaaannya.
Yang disayangkan pelajar-pelajar saat ini banyak yang mengalihkan fokusnya untuk kegiatannya
bersosial media. Tidak hanya di rumah, ketika di sekolah pun tempat yang seharusnya digunakan
sebagai tempat menuntut ilmu ada kalanya tergangggu ketika seorang murid lebih sering
menggunkan handphonenya di dalam kelas untuk kegiatan diluar pembelajaran.
Kata-kata tersebut acap kali kita lihat di sosial-sosial media seperti facebook, whatsapp, dan lain-
lain. Bagi seseorang yang belum memiliki pemikiran kritis tentu dengan mudahnya percaya dengan
informasi yang belum jelas kebenarannya sehingga kemudian pesan berantai tersebut beredar
dimana-mana. Informasi-informasi yang berupa kebohongan ini sering kali kita menyebutnya dengan
hoax.
Yang menakjubkan beberapa kali kabar hoax bisa menjadi viral karena banyaknya seseorang yang
menerima kemudian menyebarkannnya.
Mungkin yang menjadi pertanyaan anda adalah kapan sosial media dapat berperan memainkan emosi
seseorang? Emosi seseorang akan cenderung terganggu ketika melihat suatu berita dan tulisan yang
tidak sesuai dengan perasaan orang tersebut.
Kehidupan di era modern seperti ini nampaknya semakin menambahkan kebutuhan seseorang. Salah
satunya kebutuhan untuk pembelian paket data. Bagi seseorang yang sudah mengalami
ketergantungan terhadap internet terutama sosial media ketika kuota maupun paket data yang
dimiliki sudah habis tanpa pikir panjang tentu akan menyegerakan untuk mengisinya kembali tanpa
memikirkan keperluan yang harus diutamakan.
Mungkin hal ini tidak terlalu penting bagi seseorang yang berada dikalangan menengah ke atas.
Mungkin anda mempunyai teman yang usil ketika membajak sosial media anda. Untuk hal seperti itu
mungkin anda tidak terlalu merasa kesal. Tapi apa jadinya ketika pembajakan tersebut dilakukan
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang dapat merusak image anda?tentu hal tersebut
sangat merugikan pribadi kita bukan?
sudah bukan hal yang diragukan lagi saat ini sudah banyak orang-orang yang lebih menyukai
berkomunikasi melalui sosial media dibanding melakukan komunikasi secara langsung. Ungkapan
sosial media mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat nampaknya nyata dan menjadikan
bukti bahwa seseorang tersebut telah mengalami candu karena sosial media.
Mungkin hal ini tidak berlaku bagi seseorang yang kurang suka mengumbar privasinya di sosial
media. Namun ketika ada seseorang yang terlalu gemar menunjukkan kehidupan bahkan privasinya
tentu hal tersebut menjadi kurang baik atau bisa dianggap spam. Terlebih ketika hal tersebut
diketahui seseorang yang memiliki niat jahat.
Menggunakan Sosial media memang merupakan hak bagi semua orang, salah satunya untuk berbagi
cerita mengenai apa yang telah dirasakan seseorang tersebut. Tapi mungkin anda sering melihat
tentang komentar-komentar negatif yang diberikan dengan menggunakan kata-kata kasar dan tidak
sewajarnya.
Dengan sosial media seseorang dengan mudahnya memberi komentar kepada orang lain, sekalipun
tidak saling mengenal. Namun komentar dengan bentuk yang kurang baik tentunya bisa membuat
orang lain yang membacanya bisa merasa sakit hati.
Selain beredarnya hoax, nyatanya sosial media juga memudahkan akses untuk menyebar informasi
berupa isu-isu negatif, pornografi dan lainnya. Terkait isu-isu negatif seperti hal-hal yang
mengandung SARA tentu dapat menimbulkan perpecahan antar suku, ras dan agama.
Dan hal-hal yang berbau pornografi bukan merupakan sesuatu yang begitu saja bisa diabaikan
terutama untuk anak-anak yang masih dibawah umur.
Adanya sosial media pada akhirnya juga menambah kegiatan kerja pemerintah kita. Jika dulu hanya
media televisi diharuskan untuk menyensor acara yang ditayangkan saat ini dari sosial media
nyatanya yang harus lebih diperhatikan. Sosial media mempunyai akses yang lebih mudah dan tidak
semua yang berada di sosial media merupakan hal-hal baik.
Ketika seseorang terutama pada usia anak-anak dan remaja menyaksikan suatu tontonan yang tidak
baik maka muncul dorongan-dorongan untuk meniru perilaku apa yang telah ditontonnya.
Ketika seseorang sudah terlalu asyik memainkan gadget dan berbincang di sosial media maka daya
ingat seseorang tersebut semisal jadi rentan lupa terhadap waktu.
Selain menurunkan produktivitas bermain sosial media juga mampu menurunkan kreativitas.
Ini juga hal yang sering terjadi saat ini karena tidak semua orang-orang dapat menerima apa yang
disebarkan oleh orang lain dan hal itulah yang acapkali menimbulkan kebencian.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh O’Keeffe et.al (2011), Dampak negatif sosial
media terbagi menjadi empat kategori, yakni kategori antar teman sebaya (peer to peer), konten yang
tidak layak, kurangnya kesadaran terkait isu pribadi, dan pengaruh pihak ketiga seperti iklan dan
lain-lain.
Dampak negatif yang termasuk dalam kategori dampak teman sebaya (peer to peer)
adalah kekerasan online (cyberbullying). Sosial media secara sengaja digunakan untuk
mempermalukan teman, menyebarkan informasi permusuhan ke teman, dan kesalahan komunikasi
antar teman. Lebih lanjut, kekerasan online (cyberbullying) dapat menyebabkan khawatir, depresi,
isolasi diri yang parah, hingga bunuh diri (Hinduja dan Patcjin dalam O’Keeffe et.al, 2011).
Sosial media juga menyebabkan depresi pada diri anak. Hal ini berawal dari tingginya intensitas
penggunaan sosial media sehingga menimbulkan ketergantungan anak pada sosial media.
Ketergantungan ini selanjutnya menimbulkan depresi pada diri anak. Depresi akibat ketergantungan
sosial media dapat mengarah pada perilaku negatif pada diri anak, seperti isolasi diri, pengembangan
perilaku agresif, pengembangan perilaku seksual yang tidak sehat dan berbagai perilaku negatif yang
merusak diri anak. Salah satu bentuk depresi akibat ketergantungan sosial media adalah fenomena
Facebook Depresion (O’Keeffe dkk, 2011).
Sexting mengarah pada suatu tindakan seksual yang tidak dikehendaki berupa dorongan atau paksaan
untuk mengajak orang lain berbicara tentang sex, melakukan sex, membagikan informasi pribadi
terait sex. Sexting mengakibatkan anak secara emosional menjadi shock atau trauma terhadap sex.
Dampak yang termasuk kategori kurangnya kesadaran terkait isu pribadi dapat dijelaskan
melalui rendahnya kesadaran anak pada isu privacy. Anak menyebarkan informasi pribadi atau
informasi yang salah tentang oran lain, menyebarkan berita atau informasi yang tidak benar, atau
menyebarkan informasi yang berlebihan tanpa adanya kesadaran pada bahaya yang ditimbulkan
akibat penggunaan sosial media.
Anak cenderung tidak menyadari bahwa komentar, pesan, video atau foto yang tersebar di sosial
media bersifat permanen. Hal ini dikarenakan sosial media mampu merekam aktivitas digital
pengguna melalui Digital Footprint. Rendahnya kesadaran privacy mengakibatkan anak menjadi
target penipuan hingga perdagangan anak. Bahkan, penyebaran informasi yang salah dapat
membahayakan masa depan anak dalam bidang akademik dan pekerjaan (O’Keeffe et.al, 2011).
Dampak dari kategori pengaruh pihak ketiga dapat ditemukan pada maraknya iklan dalam sosial
media. Iklan tersebut tidak hanya mempengaruhi anak untuk membeli produk namun juga
berpengaruh pada pola fikir dan sudut pandang anak terhap iklan tersebut. Oleh karena itu, penting
bagi anak untuk memilik kecerdasan literasi dalam sosial media untuk mengindari bahaya
manipulatif iklan disosial media (O’Keeffe et.al, 2011).
1. STRES
Orang menggunakan media sosial untuk melampiaskan segalanya mulai dari layanan konsumen
hingga politik, namun kelemahannya adalah seringkali unggahan kita menyerupai stres yang tak ada
habisnya. Pada 2015, peneliti padaPew Research Center yang berbasis di Washington DC berupaya
untuk mengetahui apakah media sosial lebih menyebabkan stres dan bukannya menguranginya.
Dalam survei yang melibatkan 1.800 orang, perempuan disebutkan lebih mengalami stres
dibandingkan laki-laki. Ditemukan Twitter menjadi "penyumbang penting" karena meningkatkan
kesadaran mereka akan tekanan yang dialami orang lain.
Namun Twitter juga bertindak sebagai mekanisme penanggulangan - dan semakin banyak
perempuan menggunakannya, semakin berkurang stres mereka. Efek yang sama tidak ditemukan
pada pria, yang disebutkan peneliti bahwa lebih memiliki hubungan yang berjarak dengan media
sosial. Secara keseluruhan para peneliti menyimpulkan bahwa penggunaan media sosial terkait
dengan stres "dengan tingkat yang lebih rendah".
2. SUASANA HATI
Pada 2014, peneliti di Austria menemukan bahwa mood atau suasana hati para responden mereka
lebih rendah setelah menggunakan Facebook selama 20 menit dibandingkan mereka yang hanya
berselancar di internet. Studi menunjukkan bahwa orang merasa seperti itu karena mereka melihat
hal itu membuang waktu.
Suasana hati yang baik atau buruk juga menyebar antar orang di media sosial, menurut peneliti dari
Universitas California, yang menilai konten emosional dari lebih satu milliar unggahan status dari
lebih 100 juta pengguna Facebook antara 2009 dan 2012.
Cuaca buruk meningkatkan jumlah unggahan negatif sampai 1%, dan peneliti menemukan bahwa
satu unggahan negatif seseorang di kota yang sering diguyur hujan mempengaruhi 1,3 postingan
negatif lainnya dari handai taulan yang tinggal di kota yang panas. Berita baiknya adalah unggahan
yang menyenangkan memiliki pengaruh yang lebih kuat; masing-masing menginspirasi lebih dari
1,75 unggahan ceria. Apakah sebuah unggahan bahagia dapat mendorong meningkatkan suasana
hati, masih belum jelas juga.
3. KECEMASAN
Para peneliti mengkaji kecemasan yang disebabkan media sosial, ditandai dengan perasaan gelisah
dan khawatir, dan susah tidur dan berkonsentrasi. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam
jurnal Computers and Human Behaviour menemukan bahwa orang-orang yang menggunakan tujuh
atau lebih jenis media sosial bisa menderita tiga kali atau lebih gejala kecemasan dibandingkan
mereka yang hanya menggunakan 0-2 media sosial.
Masih tak jelas jika dan bagaimana media sosial menyebabkan kegelisahan. Peneliti dari Universitas
Babes-Bolyai di Romania mengkaji penelitian yang sudah ada mengenai hubungan antara kecemasan
sosial dan jejaring sosial pada 2016, dan hasilnya masih beragam. Mereka menyimpulkan bahwa
dibutuhkan penelitian lebih jauh.
4. DEPRESI
Sementara sejumlah penelitian menemukan kaitan antara depresi dan penggunaan media sosial,
berkembang penelitian mengenai bagaimana media sosial dapat benar-benar menjadi alat untuk
maksud dan tujuan yang bagus.
Dua penelitian yang melibatkan lebih dari 700 siswa menemukan bahwa gejala depresi, seperti
suasana hati yang rendah dan perasaan tidak berarti dan tanpa harapan, terkait dengan kualitas
interaksi online. Para peneliti menemukan gejala depresi yang lebih tinggi di antara mereka yang
dilaporkan memiliki lebih banyak interaksi negatif.
Sebuah studi serupa yangdilakukan pada 2016 melibatkan 1.700 orang menemukan risiko depresi
dan kecemasan mencapai tiga kali lipat di antara orang-orang yang paling banyak menggunakan
platform media sosial. Penyebabnya, perkiraan mereka, termasuk perundungan siber, memiliki
pandangan terdistorsi mengenai kehidupan orang lain, dan merasa menghabiskan waktu di media
sosial merupakan sebuah pemborosan waktu.
Bagaimanapun, seperti yang dieksplorasi BBC Future pada bulan ini, para saintis juga mengkaji
bagaimana media sosial dapat digunakan untuk mendiagnosa depresi, yang dapat membantu orang
untuk mendapatkan perawatan lebih dini. Para peneliti untuk Microsoft mensurvei 476 orang dan
menganalisa profil Twitternya untuk mencari kata-kata depresif, gaya bicara, hubungan dan emosi.
Lalu mereka mengembangkan pengklasifikasian yang secara akurat dapat memprediksi depresi
sebelum menimbulkan gejala pada tujuh dari 10 kasus.
Tahun lalu, para peneliti dari Universitas Havard dan Vermont menganalisa 166 foto orang di
Instagram untuk menciptakan perangkat serupa dan menghasilkan tingkat keberhasilan yang sama.
5. TIDUR
Dulu manusia menghabiskan waktu mereka di malam hari dalam kegelapan, namun kita kita
dikelilingi dengan pencahayaan buatan sepanjang siang dan malam hari. Para peneliti telah
menemukan bahwa cahaya buatan ini dapat menghambat produksi hormon melatonin pada tubuh
yang memudahkan untuk tidur. Dan cahaya biru, yang dipancarkan layar telepon pintar dan laptop
dianggap sebagai biang keladinya. Dengan kata lain, jika Anda berbaring di atas bantal pada malam
hari dengan mengecek Facebook dan Twitter, tidur Anda akan gelisah.
Tahun lalu, para peneliti dari Universitas Pittsburgh bertanya pada 1.700 orang dengan rentang usia
18- sampai 30-tahun mengenai kebiasaan menggunakan media sosial dan tidur mereka. Para peneliti
menemukan sebuah kaitan gangguan tidur - dan menyimpulkan cahaya biru merupakan salah satu
penyebabnya. Seberapa sering mereka login, dan bukan brapa waktu yang dihabiskan di situs media
sosial, diperkirakan merupakan penyebab dari gangguan tidur, yang menunjukkan sebuah sikap
"pengecekan (media sosial) yang obsesif", seperti dijelaskan oleh peneliti.
Para peneliti mengatakan masalah ini dapat disebabkan oleh gairah psikologis sebelum tidur, dan
cahaya terang dari perangkat kita dapat menghambat ritme. Tetapi mereka tak dapat memastikan
apakah media sosial menyebabkan gangguan tidur, atau apakah mereka yang terganggu tidurnya
menghabiskan waktu lebih lama di media sosial.
6. KECANDUAN
Meskipun pendapat dari sejumlah peneliti menyebutkan bahwa menulis cuitan mungkin lebih sulit
dicegah dibandingkan dengan rokok dan alcohol, kecanduan media sosial tidak termasuk dalam
diagnosa manual untuk gangguan kesehatan mental. Disebutkan, media sosial berubah lebih cepat
dari yang dapat ikuti oleh para ilmuwan, jadi berbagai kelompok berupaya untuk melakukan studi
perilaku kompulsif terkait dengan penggunaannya- sebagai contoh ilmuwan dari Belanda telah
membuat skala mereka sendiri untuk mengidentifikasi kemungkinan kecanduan.
Dan jika kecanduan media sosial memang ada, itu akan merupakan sebuah tipe kecanduan internet-
dan itu tergolong merupakan sebuah gangguan (kesehatan). Pada 2011, Daria Kuss dan Mark
Griffiths dari Universitas Nottingham Trent di Inggris menganalisa 43 studi sebelumnya yang
mengkaji masalah tersebut, dan menyimpulkan bahwa kecanduan media sosial merupakan gangguan
mental yang "mungkin" membutuhkan perawatan profesional.
Mereka menemukan bahwa penggunaan berlebihan berkaitan dengan adanya masalah dalam
hubungan, pencapaian akademik buruk dan kurang berpartisipasi dalam komunitas yang tidak terkait
dengan internet. Disimpulkan pula bahwa mereka yang lebih rentan terhadap kecanduan media sosial
antara lain mereka yang memiliki ketergantungan pada alkohol, orang yang sangat tertutup, dan
mereka yang menggunakan media sosial sebagai kompensasi karena kurangnya hubungan pada
kehidupan nyata.
7. KEPERCAYAAN DIRI
Majalah perempuan dan penggunaan model dengan berat badan rendah dan foto yang diedit sejak
dulu disebut mengacau-balaukan kepercayaan diri perempuan muda. Namun saat ini, media sosial
dengan filter dan pencahayaan serta sudut pengambilan gambar yang cerdas, menjadi perhatian para
aktivis.
Situs media sosial membuat separuh penggunanya merasa tidak puas, menurut survei yang
melibatkan 1.500 orang oleh sebuah badan pendukung kaum disabilitas, Scope. Dan separuh dari
orang berusia 18-34 tahun mengatakan hal itu membuat mereka merasa tidak menarik.
Sebuah studi yang dilakukan pada 2016 lalu di Penn State University menunjukkan bahwa melihat
swafoto seseorang menurunkan kepercayaan diri, karena para pengguna membandingkan diri mereka
dengan foto orang yang tampak paling bahagia. Para peneliti dari Universitas Strathclyde,
Universitas Ohio dan Universitas Iowa juga menemukan bahwa perempuan membandingkan dirinya
secara negatif terhadap swafoto perempuan lain.
Tetapi bukan hanya swafoto yang dapat menurunkan kepercayaan diri. Sebuah studi pada 1.000
orang Swedia pengguna Facebook menemukan bahwa perempuan yang menghabiskan waktu lebih
banyak di Facebook dilaporkan merasa kurang bahagia dan kurang percaya diri. Para peneliti
menyimpulkan: "Ketika pengguna Facebook membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan
orang lain yang tampak lebih sukses dalam karir dan memiliki hubungan yang bahagia, mereka dapat
merasa bahwa kehidupan mereka kurang sukses dibandingkan dengan mereka."
Namun, salah satu studi terbatas mengisyaratkan bahwa dengan melihat profil Anda sendiri, bukan
orang lain, mungkin memberikan peningkatan ego. Para peneliti dari Universitas Cornell di New
York menempatkan 63 mahasiswa dalam kelompok yang berbeda. Sebagai contoh, beberapa duduk
dengan cermin yang diletakkan di layar computer, sementara yang lainnya duduk di depan foto profil
Facebook mereka sendiri.
Facebook memiliki dampak yang positif terhadap kepercayaan diri dibandingkan dengan aktivitas
lain yang meningkatkan kesadaran diri. Para peneliti menjelaskan cermin dan foto-foto membuat kita
membandingkan diri kita sendiri dengan standar sosial, sementara melihat profil kita sendiri di
Facebook mungkin meningkatkan kepercayaan diri karena lebih mudah mengendalikan bagaimana
kita menampilkan diri kepada dunia.
8. KESEJAHTERAAN JIWA
Dalam sebuah penelitian dari 2013, para peneliti menulis pesan terhadap 79 peserta lima kali dalam
sehari selama 14 hari, menanyakan bagaimana perasaan mereka dan bagaimana mereka
menggunakan Facebook sejak pesan terakhir. Makin banyak waktu yang dihabiskan di situs, makin
buruk perasaan mereka sesudahnya, makin turun pula kepuasaan hidup mereka seiring bertambahnya
waktu.
Namun penelitian yang lain telah menemukan, bahwa bagi sejumlah orang, media sosial dapat
meningkatkan kesejahteraan jiwa mereka. Peneliti pemasaran Jonah Berger dan Eva Buechel
menemukan bahwa orang yang secara emosional tak stabil tampaknya lebih sering mengunggah
emosi mereka, yang dapat membantu mereka mendapatkan dukungan dan bangkit setelah
mendapatkan pengalaman yang negatif.
Secara keseluruhan, dampak media sosial terhadap kesejahteraan merupakan hal yang ambigu,
menurut sebuah makalah yang ditulis oleh para peneliti dari Belanda pada tahun lalu. Bagaimanapun,
mereka memperkirakan bahwa ada bukti yang lebih jelas mengenai dampak terhadap salah satu
kelompok orang: media sosial memiliki banyak efek negatif terhadap kesejahteraan bagi mereka
yang secara sosial lebih terkucil.
9. HUBUNGAN
Jika Anda pernah berbicara dengan seorang teman yang tengah mengecek Instagramnya melalui
telepon genggamnya, Anda mungkin bertanya-tanya apa akibat media sosial terhadap hubungan
orang. Bahkan kehadiran telepon dapat menganggu interaksi kita, terutama ketika kita berbicara
mengenai sesuatu yang penting, menurut sebuah studi terbatas. Para peneliti yang menulis
dalam Journal of Social and Personal Relationships,menugaskan 34 pasangan yang tak saling kenal
agar melakukan percakapan selama 10 menit mengenai sebuah peristiwa menarik yang terjadi pada
mereka baru-baru ini. Masing-masing pasangannya duduk di dalam sebuah bilik, dan separuh dari
mereka menaruh telepon genggamnya di atas meja.
Mereka yang sering mengintip telepon genggam kurang meyakinkan ketika diminta mengingat
interaksi mereka, melakukan percakapan yang kurang berarti dan dilaporkan merasa kurang dekat
dengan mitra mereka dibandingkan dengan orang lain yang memiliki buku catatan di atas mejanya.
Hubungan romatis juga tidak kebal. Peneliti di Universitas Guelph di Kanada melakukan survei pada
300 orang berusia 17-24 tahun pada 2009 lalu mengenai apakah ada kecemburuan ketika
menggunakan Facebook. Pertanyaannya antara lain, 'Seberapa besar Anda merasa cemburu setelah
pasangan Anda menambah teman lawan jenis yang tidak dikenal?'.
Perempuan menghabiskan lebih banyak waktu di Facebook dibandingkan laki-laki, dan secara
signifikan lebih merasa cemburu ketika mengaksesnya. Para peneliti menyimpulkan mereka "merasa
lingkungan Facebook menciptakan perasaan tersebut dan meningkatkan kekhawatiran mengenai
kualitas hubungan mereka".
10. IRI
Dalam sebuah studi yang melibatkan 600 orang dewasa, sekitar sepertiganya mengatakan media
sosial telah membuat mereka merasakan emosi negatif- kebanyakan frustasi- dan iri merupakan salah
satu penyebab utama. Ini dipicu oleh kecenderungan membandingkan kehidupan mereka dengan
yang lain dan penyebab tamanya adalah foto orang lain yang sedang melancong. Perasaan iri hati
menyebabkan sebuah "pusaran kecemburuan", di mana orang beraksi dengan iri dengan
menambahkan konten serupa yang membuat mereka iri pada profil mereka.
Bagaimanapun, iri hati bukanlah sebuah emosi yang destruktif- hal itu seringkali membuat kita
bekerja lebih keras, menurut para peneliti dari Universitas Michigan dan Universitas Wisconsin-
Milwaukee. Mereka bertanya pada 380 mahasiswa untuk melihat pada foto-foto dan tulisan dari
Facebook dan Twitter yang dapat "menimbulkan iri hati", termasuk unggahan tentang barang-barang
mahal, bepergian untuk liburan dan bertunangan. Namun tipe iri hati yang ditemukan para peneliti
merupakan "iri jinak", yang mereka sebut menyebabkan orang bekerja lebih keras.
11. KESEPIAN
Sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Preventive Medicine Amerika pada tahun lalu,
mensurvei 7.000 orang yang berusia 19 sampai 32 tahun dan menemukan bahwa mereka yang
menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial, memiliki risiko dua kali lipat untuk mengalami
keterkucilan sosial, yang meliputi rendahnya rasa sosial, kurang hubungan dengan sesama dan
menjalani hubungan dengan berarti.
Para peneliti menyebutkan, menghabiskan waktu lebih banyak di media sosial dapat menggantikan
interaksi tatap muka, tapi juga dapat membuat orang merasa terasing.
"Paparan terhadap penggambaran yang sangat ideal tentang kehidupan rekan sebaya memunculkan
perasaan iri hati dan keyakinan yang keliru bahwa orang lain lebih bahagia dan memiliki kehidupan
yang lebih sukses, yang mungkin meningkatkan perasaan keterkucilan sosial. "
MENURUT PARA PENELITI KECANDUAN MEDIA SOSIAL SAMA HAL NYA DENGAN
KECANDUAN NARKOBA
Jika Anda tidak dapat berpaling dari Facebook, Snapchat atau media sosial lainnya, Anda
tidak sendiri. Dan sekarang, ada terapis yang dapat membantu Anda dengan intervensi digital.
Jika Anda seperti tidak dapat menolak godaan untuk mengecek Facebook atau Instagram Anda
selama jam kerja, atau Anda merasa gelisah saat Anda tidak dapat mengecek ponsel Anda atau saat
tidak ada sinyal, Anda mungkin butuh intervensi digital.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengguna media sosial yang sulit untuk jauh dari perangkat mereka
mencari pengobatan ke para ahli. Dan mereka merespon pengobatan tersebut. Para terapis
menawarkan konseling, pelatih mindfulness(membawa perhatian seseorang ke diri dan momen
sekarang) mengadakan retret untuk detoks, dan perusahaan rintisan yang bergerak di corporate-
wellness(kebijakan yang mendukung perilaku sehat di sebuah perusahaan) semua berlomba untuk
membantu Anda melalui hari tanpa mengecek internet terus menerus.
Kita mengajar orang-orang menyetir… namun semua orang membeli ponsel dan pergi
Hasilnya adalah beragam pilihan yang dapat dicoba para pengguna media sosial untuk melepaskan
diri dari kebiasaan mereka. Sesi satu jam dapat mencapai $150 (Rp2 juta), dengan retret bergaya
berkemah untuk detoks menghabiskan lebih dari $500 (Rp6,75 juta) untuk beberapa hari.
"Kita mengajar orang-orang menyetir dan berenang, namun semua orang membeli ponsel dan pergi,"
kata Pamela Rutledge, direktur Media Psychology Research Center, sebuah pusat penelitian nirlaba,
di Newport Beach di Californi, AS. "Ada ketrampilan yang dibutuhkan utnuk menavigasi ruang
sosial."
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pasien yang mencari bantuan dari Nathan Driskell, seorang
terapis di Houston, Texas, AS untuk yang disebut dengan kecanduan media sosial naik 20% dan saat
ini setengah dari pasiennya mengalami masalah itu, katanya. Yang menarik, para klien yang
kecanduan game komputer telah menurun, katanya.
Yang pasti, kecanduan media sosial tidak dianggap sebagai gangguan oleh buku klasifikasi medis
seperti American Psychiatric Association's Diagnostic (Diagnosa Asosiasi Psikiater Amerika) dan
Statistical Manual of Mental Disorders (Manual Statistik Gangguan Mental), yang dianggap sebagai
standar utama mendiagnosa gangguan mental.
Apakah harus masuk atau tidak menjadi kontroversial. Namun, sebagian terapis termasuk Driskell
merawat pasien dengan metode yang sama mereka merawat ketergantungan lainnya.
Ketergantungan itu lebih parah dari alkohol atau narkoba karena lebih menarik dan tidak
ada stigma di belakangnya
Di beberapa hal, dampak psikologis yang disebabkan Facebook, Snapchat dan platform digital
lainnya bisa lebih sulit untuk dirawat dibandingkan kecanduan yang sudah dikenali lainnya, kata
Driskell. "Ketergantungan itu lebih parah dari alkohol atau narkoba karena lebih menarik dan tidak
ada stigma di belakangnya," katanya. Driskell membebankan $150 (Rp 2 juta) per jam dan bekerja
dengan para pasien setiap minggu selama setidaknya enam bulan.
Perusahaan rintisan berbasis di New York Talkspace menawarkan konseling online sesuai
permintaan dari 1.000 terapis dalam jaringan.
Pada 2016 perusahaan tersebut memulai menawarkan layanan khusus atas penggunaan media sosial,
meluncurkan program media sosial selama 12-minggu untuk membantu menavigasi ketergantungan
online sebagai bagian dari terapi yang lebih komprehensif, kata Linda Sacco, wakil presiden
Talkspace untuk layanan kesehatan perilaku.
Para terapis yang berpartisipasi bekerja dengan para pasien untuk meningkatkan mindfulness dan
melacak kemajuan mereka dalam beberapa bulan, kata Sacco, yang menolak untuk memberikan
jumlah pengguna program saat ini.
Orang-orang yang datang adalah yang benar-benar menyadari bahwa hal ini mengambil alih
hidup mereka
Perusahaan tersebut menawarkan terapi berbasis pesan dengan biaya mulai dari $138 (Rp1,8 juta)
per bulan, dan $396 (Rp5,3 juta) untuk terapi dengan pertemuan. Dan, meski para klien
menggunakan ponsel mereka untuk sesi terapi, mereka diajarkan untuk menggunakan ponsel mereka
dengan cara yang lebih hati-hati, tambahnya.
Kebanyakan orang beralih ke terapi setelah melewati banyak usaha gagal mengkontrol impuls
mereka sendiri, kata Sacco.
"Pada saat mereka berpikir mereka membutuhkan perawatan mereka telah mencoba [membatasi
waktu di depan layar]—dan tidak berhasil— bahkan merasa lebih buruk," kata Sacco. "Orang-orang
yang datang adalah yang benar-benar menyadari bahwa hal ini mengambil alih hidup mereka."
Yang lain berkata kebiasaan buruk media sosial dapat diobati sebagai masalah di tempat kerja. Di
London, Orianna Fielding mendirikan Digital Detox Company pada 2014, setelah meneliti sebuah
buku mengenai melepaskan diri (dari sambungan internet).
Fielding saat ini bekerja dengan perusahaan-perusahaan untuk membantu para pegawai menavigasi
penggunaan media sosial mereka daripada membiarkan mereka mengelola masalah mereka sendiri.
Programnya dimulai dengan lokakarya yang dihadiri peserta dan kemudian para pegawai
menggunakan modul online yang dibuat sesuai kebutuhan yang memenuhi pemicu digital mereka
sendiri, termasuk interupsi dari media sosial.
"Kami membingkai ulang hubungan kita dengan teknologi," kata Fielding, yang membebankan £600
(Rp10 juta) rata-rata per hari. Seorang eksekutif di perusahaan dapat mendaftarkan diri mereka untuk
loka karya tambahan yang fokus terhadap peningkatan produktivitas, tambahnya.
Namun seperti ketergantungan yang lain, para klien biasanya mengunjungi setidaknya enam bulan
sampai satu tahun untuk memahami bagaimana mengelola perilaku mereka sendiri jika tidak dalam
program detoks, katanya. "Baik untuk melakukan detoks untuk mengalihkan pikiran Anda, namun
kemudian Anda kembali ke kehidupan yang sama seperti sebelumnya," yang dapat menghambat
kemajuan, kata Driskell.
Beberapa perusahaan ingin menarik pengguna media sosial yang belum begitu siap dengan serangan
dari terapi bertatap muka namun masih ingin berusaha keluar dari media sosial.
Di Berlin, Offtime, sebuah perusahaan yang mendeskripsikan dirinya sebagai "perusahaan rintisan
pascateknologi" yang pertama yang dikhususkan untuk "menyeimbangkan kembali fokus dan
digital," bekerja sama dengan para pengguna untuk mengkontrol penggunaan media sosial mereka
lewat aplikasi sambil juga menawarkan berbagai lokakarya dengan bertatap muka untuk detoks.
Hasilnya sejenis kruk, untuk membantu orang-orang yang menyadari penggunaan media sosial yang
meningkat namun ingin mengatasinya sendiri, kata psikolog Alexander Steinhart, yang ikut
mendirikan perusahaan itu pada 2014.
Daripada menunggu sampai seseorang mendapatkan masalah, penting bagi para pengguna untuk
mencari rutinitas yang sehat setelah mempelajari praktik terbaik. Rutledge berkata bahwa kebiasaan
teknologi yang baik butuh langusng diterapkan begitu teknologi baru muncul.
"Orang-orang cenderung langsung menyebutnya candu," katanya. "Daripada melihat itu sebagai
ketidakseimbangan."
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peningkatan penggunaan media sosial menandakan bahwa
penduduk global semakin terhubung dari era sebelumnya. Di sisi lain, terhubungnya manusia dalam
satu wahana dinilai dapat mempengaruhi kesehatan mental penggunanya.
Berikut enam pengaruh negatif media sosial terhadap kesehatan mental penggunanya seperti
dilansir The Independent:
Membandingkan diri sendiri dengan kehidupan orang lain di media sosial dengan melihat-lihat atau
'stalking' unggahan foto-foto estetis dari orang lain dapat menyebabkan keraguan terhadap diri
sendiri.
Sebuah studi di University of Copenhagen menemukan bahwa banyak orang mengalami 'Facebook
Envy' atau rasa iri seseorang yang melihat unggahan orang lain di media sosial.
"Ketika kita menghanyutkan perasaan kita terhadap kehidupan orang lain, kita menempatkan
kebahagiaan dalam variabel kita yang bukan merupakan kehendak kita," kata Dr. Tim Bono penulis
buku 'When Likes Aren't Enough'.
Media sosial dianggap sebagai suatu wadah yang berguna untuk membawa penggunanya kepada
peristiwa penting terhadap diri sendiri. Namun, media sosial juga dianggap berperan dalam
mendistraksi ingatan itu sendiri sehingga tidak berharga untuk diingat.
"Jika kita terlalu sibuk mencari perhatian dengan mengambil foto yang paling bagus untuk diunggah,
kita akan kekurangan kebahagiaan dalam menikmati suatu momen," kata Dr. Bono.
Tidur merupakan kebutuhan manusia. Di sisi lain, penggunaan telepon seluler yang terlalu lama
sebelum tidur dapat mengganggu proses tubuh untuk beristirahat.
Menurut Dr. Bono, beraktivitas dengan rasa cemas dan iri dengan apa yang diihat di media sosial
dapat membuat otak bekerja ekstra keras. Hal tersebut, kata dia, dapat menyebabkan manusia sulit
tidur.
"Terlebih lagi, sinar dari layar ponsel yang berukuran lebih kecil dari wajah kita dapat mengurangi
Melantonin, hormon yang membantu manusia untuk tidur," ujarnya.
Ia menyarankan agar pemilik ponsel tidak menggunakan ponsel selama 40 menit hingga sastu jam
sebelum tidur untuk meningkatkan kualitas tidur.
Dr. Bono menyampaikan, bukan hanya kesehatan otak dalam alam bawah sadar yang perlu
diperhatikan. Namun kesehatan otak ketika orang tersadar juga perlu mendapat tempat tersendiri.
Menurut Dr. Bono, saat melihat sebuah informasi, warganet cenderung ingin membagikan informasi
tersebut tanpa memikirkan dampaknya. Berdasarkan penelitiannya, media sosial menyediakan
godaan yang sangat kuat sebagai pemuas dahaga akan hiburan.
"Jika anda tidak dapat mengurangi pemakaian ponsel, anda akan kesulitan dalam melatih kebiasaan
anda sendiri," ucap dia.
Menjadi seorang manusia, merupakan sebuah hal yang penting untuk dapat berkomunikasi dengan
orang lain. Namun, menjadi suatu hal yang berbahaya jika pengguna media sosial terjebak dalam
dunia digital yang semu.
Stina Sanders, seorang mantan model yang memiliki 107 ribu pengikut di Instagram mengaku bahwa
media sosial kerap membuatnya merasa 'ditinggalkan'.
"Saya merasa FOMO (Feared of Missing Out --rasa takut dikucilkan) ketika melihat foto teman saya
dalam sebuah pesta dan saya tidak ikut serta. Hal itu membuat saya kesepian dan cemas," kata dia
kepada The Independent.
Media sosial tidak hanya mengganggu kebahagiaan orang lain, tapi juga dapat merusak kesehatan
mental seseorang.
Pada Maret 2018, dalam reportase yang ditulis The Independent menyebutkan bahwa 41 persen dari
1.000 responden yang berasal dari generasi Z merasa media sosial membuat mereka cemas, sedih,
bahkan depresi.
Ben Jacobs, seorang DJ yang memiliki 5.000 pengikut di Twitter menyatakan 'istirahat' dalam
mengakses Twitter sejak Januari 2016 dan mendapat manfaat besarnya. Bagi Jacob, Twitter
membuatnya cemas dari waktu ke waktu dan membuatnya hanya terpaku dengan orang-orang yang
dia ikuti di Twitter.
"Sejak 'puasa' Twitter, saya merasa kepala saya lebih ringan dengan memilih berolahraga atau
membaca buku," kata dia.
Ia mengajak para pengguna media sosial untuk memiliki waktu beristirahat dari mengakses media
tersebut. "Kenapa tidak luangkan waktu untuk beristirahat dari media sosial? Itu bagus untuk kita,"
ungkapnya.
III. KESIMPULAN
Segala sesuatu di muka bumi ini pastilah memiliki pandangan dari dua sisi yang berbeda. Setiap hal
memiliki kekurangan maupun kelebihan. Hal ini membuat kami menyimpulkan bahwa penggunaan
media sosial yang sudah melekat pada keseharian kita saat ini sebaiknya dikurangi waktu
penggunaannya, jika tidak bisa menghentikan penggunaanya sama sekali.
Sangat jelas bahwa belum cukup bahan untuk menarik kesimpulan yang kuat. Bagaimanapun, bukti-
bukti menunjuk pada satu arah: media sosial mempengaruhi orang secara berbeda, tergantung pada
kondisi dan kepribadian yang sudah ada sebelumnya.
Seperti makanan, judi dan banyak godaan lainnya di zaman modern, mungkin bagi sejumlah individu
tidak disarankan penggunaan berlebihan. Namun di saat yang sama, bisa juga salah mengatakan
bahwa media sosial secara universal merupakan sesuatu yang buruk, karena jelas membawa juga
banyak manfaat bagi kehidupan kita.
Setelah itu, harus punya tekad kuat untuk berubah dan memperbaiki diri, termasuk tujuan yang jelas
dalam proses perubahan ini. Ini akan menjadi modal utama dalam mengatasi gangguan kecanduan
sosmed, sehingga proses tersebut menjadi lebih mudah dan tetap terarah.
Luangkan waktu untuk melakukan aktivitas lain yang lebih bermanfaat dan belum sempat
direalisasikan, misalnya mengunjungi teman lama atau kerabat, mendaki gunung, membuat kue
kesukaan keluarga, dan lainnya.
2. Batasi Penggunaannya
Hal yang satu ini bisa menjadi cara terampuh agar terhindar dari kecanduan media sosial. Cobalah
batasi waktu yang kamu habiskan di media sosial tiap harinya. Kamu bisa kok menggunakan alarm
atau stopwatch untuk mengontrol penggunaan media sosial. Kata ahli, ketika dirimu sudah terbiasa
membatasi waktu yang digunakan di media sosial, kamu pun pada akhirnya bisa mengatur diri
sendiri untuk tidak ketergantungan terhadap platform tersebut.
6. Matikan Notifikasi
Cara yang satu ini juga enggak kalah ampuh untuk mencegah kecanduan media sosial. Dengan
mematikan notifikasi, dirimu akan lebih fokus mengerjakan tugas atau hal lainnya yang sedang kamu
kerjakan.
Kiat pertama cukup mudah. Sebagian besar orang menggunakan media sosial untuk bersosialisasi,
tapi kamu juga bisa melakukannya dalam kehidupan nyata.
Tampaknya, hal ini akan membantu karena orang yang bersosialisasi lebih banyak dalam kehidupan
nyata cenderung memiliki lebih sedikit waktu di dunia maya.
Memang sangat menggoda untuk mengunggah foto makanan yang baru saja kamu masak. Namun
jika mengunggah gambar makanan ke-10 dalam seminggu, akan lebih baik kamu mengurangi sedikit
unggahan yang itu-itu saja.
ini merupakan kelanjutan dari kiat nomor satu. Jika harus memilih antara menelepon seseorang atau
berbincang lewat aplikasi pesan singkat, telpon saja mereka.
Tidak ada salahnya untuk "do the old ways", karena kamu bisa mengekspresikan emosi tanpa
menggunakan emoji. Kamu juga bisa melatih keterampilan sosial.
Beberapa dari kamu mungkin akan merasa berat untuk melakukan hal di dalam poin yang satu ini.
Namun, ini merupakan salah satu "ujian akhir" yang menentukan apakah kamu bisa hidup tanpa
sosial atau tidak.
Akhir pekan juga merupakan saat yang tepat untuk ujian karena kamu cenderung memiliki waktu
luang yang paling banyak saat itu dan tidakmemeriksa akun media sosial merupakan tantangan.
Mungkin ini terdengar agak kasar, tapi jika cukup sibuk dengan kehidupanmu sendiri, kamu bahkan
tidak peduli dengan teman media sosial. Sebagai gantinya, ketika kamu memikirkan media sosial,
periksa situs berita, kamu akan memiliki lebih banyak pengetahuan dan tidak akan terganggu oleh
masalah orang lain.