Anda di halaman 1dari 2

Kota Bekasi

DI Bekasi, lupakan Bantargebang yang bermasalah sebagai tempat


pembuangan akhir (TPA) sampah warga DKI Jakarta. Jangan pikirkan
kesemrawutan lalu lintas dan kemacetan yang terjadi setiap hari. Tak usah
juga mengingat begitu padatnya lahan perumahan dan pertokoan. Sebagian
besar warga Bekasi, bahkan penduduk Jakarta, sudah mahfum dan
memakluminya. Lantas, trademark apalagi yang bisa dilekatkan pada Kota
Bekasi? Karena yang timbul di ingatan akhirnya memang masalah-masalah
tersebut.

Padahal, Bantargebang bisa dibilang urat nadi perekonomian kota tetangga


de-kat ibu kota Jakarta ini. Usianya sebagai kota otonom baru lima tahun pada 10 Maret 2002.
Masih terhitung balita jika dianalogikan dengan umur manusia. Sebelum tahun 1997, Kota Bekasi
berstatus kecamatan yang kemudian menjadi kota administratif (Kotif) tahun 1982 di bawah
Kabupaten Bekasi.

Sejak masih menjadi bagian Kabupaten Bekasi, perkembangan Kota Bekasi sudah terlihat
sewaktu masih berstatus kecamatan dan kota administratif. Jumlah penduduk kian membengkak
karena migrasi dari luar. Misalnya tahun 2000, laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi yang
5,19 persen, 3,68 persen adalah laju pertumbuhan penduduk migrasi. Sayangnya, penyebaran
penduduk tidak merata.

Lahan permukiman di wilayah seluas 21.049 hektar ini terkonsentrasi di beberapa kecamatan
bekas kotif seperti Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Timur. Di kecamatan
tersebut hampir tidak tersedia lagi lahan kosong. Total tanah yang sudah terbangun 10.773
hektar dengan 90 persen berupa permukiman. Sisanya untuk industri dan perdagangan dan jasa
masing-masing empat dan tiga persen. Lahan untuk pendidikan dan pemerintahan serta
bangunan umum masing-masing dua dan satu persen.

Dan Kecamatan Bantarge-bang dilupakan sebagai pusat industri di wilayah ini. Selama ini Kota
Bekasi lebih menonjol dengan sektor properti khususnya perumahan. Hingga sekarang pun jika
mendengar Ban-targebang maka yang langsung teringat adalah TPA-nya. Pada-hal, sebagai
kota otonom yang kegiatan ekonominya ditunjang secara dominan oleh industri pengolahan,
seharusnya wilayah pusat industrinya dikenal orang. Jumlah industri di Kota Bekasi hingga tahun
2000, 228 perusahaan besar dan sedang, 81 unit di antaranya terdapat di Kecamatan
Bantargebang. Secara keseluruhan jenis industri di Bekasi mayoritas industri tekstil dan
pembuatan barang dari logam mesin.

Sebenarnya dalam hal industri, Kota Bekasi kalah pamor oleh Kabupaten Bekasi. Karena itu,
orang lebih mengenal Kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri dan Kota Bekasi sebagai
kawasan perumahan. Dan pekerja asal Jakarta yang ingin menuju tempat kerja di Kabupaten
Bekasi dan sebaliknya, harus melalui Kota Bekasi. Itulah salah satu penyebab mengapa Kota
Bekasi menjadi wilayah supersibuk. Tak lain untuk melayani warga, baik dari daerah ini sendiri
maupun dari wilayah yang mengelilinginya seperti DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, dan
Kabupaten Bekasi yang ingin mengakses jalurnya.

Gejala ini, selain juga karena semakin meningkatnya jumlah penduduk, secara jeli dilirik
pengusaha sektor properti. Maka pembangunan lokasi perumahan pun marak dilakukan sejak
tahun 1980-an. Jauh sebelum Kota Bekasi menjadi kota otonom. Bahkan, awal tahun 1990-an
pun, gejala akan semakin padatnya Bekasi sudah terlihat dengan kian berkurangnya lahan
pertanian dan perkebunan. Investor asing yang ingin menanam modal hanya tertarik di bidang
perumahan atau industri. Tak ada yang melirik pertanian atau perkebunan.
Sayangnya, menjamurnya permukiman di Kota Bekasi tidak diimbangi penyediaan infrastruktur
jalan yang memadai. Hampir setiap hari jalan-jalan di Bekasi khususnya dari dan menuju pintu tol
Bekasi Barat dan Bekasi Timur, padat dan terhambat.

Upaya Pemerintah Kota Bekasi mengatasi kesemrawutan lalu lintas terlihat dengan adanya
beberapa ruas jalan yang dilebarkan seperti Jalan Cut Nyak Dien, Jalan Chairil Anwar, dan Jalan
Ngurah Rai. Ada yang sudah pembangunan fisik maupun seputar pembebasan lahan. Ada pula
rencana pembangunan terminal baru tipe A yang menampung bus Antarkota Antarprovinsi
(AKAP). Selama ini terminal bus Pasar Baru di Bekasi hanya menyediakan bus Antarkota Dalam
Provinsi. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi
tahun 2002, anggaran belanja bidang transportasi menempati peringkat pertama, yaitu 27,7
persen atau berkisar Rp 47 milyar dari total belanja pembangunan yang dianggar-kan Rp 169,6
milyar.

Namun, untuk melebarkan jalan masih ada kendala yang dirasakan Pemerintah Kota Bekasi. Tak
lain, karena wilayah ini telanjur terkepung oleh bangunan maupun geografisnya berupa kali atau
sungai. Jalan keluarnya adalah dengan pembangunan fly over atau jembatan la-yang. (Palupi P
Astuti/ Litbang Kompas)

Anda mungkin juga menyukai