Anda di halaman 1dari 80

PERBANDINGAN AKURASI METODE MAXIMUM

LIKELIHOOD (MLC) DAN OBJECT-BASED IMAGE ANALYSIS


(OBIA) DALAM MEMETAKAN MANGROVE DI TAHURA
NGURAH RAI, BALI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT
SPOT-6, SENTINEL-2A, DAN LANDSAT-8 OLI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana


Ilmu Kelautan pada Fakultas Kelautan dan Perikanan

Oleh :
ANGGIA DWI PUTRI

1813511011

FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN


UNIVERSITAS UDAYANA
BADUNG
2022
ABSTRAK

Anggia Dwi Putri. 1813511011. Perbandingan Akurasi Metode Maximum


Likelihood (MLC) Dan Object-Based Image Analysis (OBIA) Dalam
Memetakan Mangrove Di Tahura Ngurah Rai, Bali Menggunakan Citra
Satelit SPOT-6, Sentinel-2A, Dan Landsat-8 (Pembimbing: I Dewa Nyoman
Nurweda Putra dan Abd. Rahman As-syakur).

Pemetaan mangrove banyak dimanfaatkan sebagai sarana monitoring yang efektif.


Penginderaan jauh sebagai sarana dan solusi dalam pemetaan mangrove. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan akurasi dari kedua metode yang
digunakan yaitu Maximum Likelihood (MLC) dan Object-Based Image Analysis
(OBIA). Nilai akurasi tertinggi akan menjadi parameter terbaik dalam pemetaan
mangrove. Tiga citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Sentinel-2A,
citra Landsat 8 OLI, dan citra SPOT 6 PMS. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa adanya pengaruh resolusi pada citra yang dapat mempengaruhi hasil
klasifikasi citra. Pada pemetaan mangrove resolusi spasial menengah dan resolusi
spektral tinggi dapat menghasilkan klasifikasi citra yang baik. Berhasilnya pada
saat proses klasifikasi dapat ditentukan dari proses interpretasi yang dibantu oleh
nilai spektral range pada citra. Semakin tinggi nilai spektral range pada citra maka
akan semakin sulit objek pada citra terdeteksi. Hasil perhitungan akurasi dengan
menggunakan matriks kesalahan menunjukkan bahwa nilai akurasi menggunakan
kedua metode dan tiga citra satelit memberikan perbedaan hasil. Citra Sentinel-2A
metode Maximum Likelihood (MLC) nilai akurasi sebesar 97.56% dan metode
Object-Based Image Analysis (OBIA) nilai akurasi sebesar 96.34%. Citra Landsat
8 OLI metode Maximum Likelihood (MLC) nilai akurasi sebesar 95.73% dan
metode Object-Based Image Analysis (OBIA) nilai akurasi sebesar 94.51%. Citra
SPOT 6 PMS metode Maximum Likelihood (MLC) nilai akurasi sebesar 87.80%
dan metode Object-Based Image Analysis (OBIA) nilai akurasi sebesar 89.63%.
Sehingga pada hasil tersebut dapat menunjukkan bahwa dengan menggunakan citra
Sentinel-2A klasifikasi algoritma Maximum Likelihood (MLC) dapat meningkatkan
nilai uji akurasi pada pemetaan mangrove.

Kata Kunci: Mangrove, Maximum Likelihood, Object-Based Image Analysis,


Akurasi, dan Resolusi

iii
ABSTRACT
Anggia Dwi Putri. 1813511011. Comparison of the Accuracy of Maximum
Likelihood (MLC) and Object-Based Image Analysis (OBIA) Methods in
Mapping Mangroves at Tahura Ngurah Rai, Bali Using SPOT-6, Sentinel-2A,
and Landsat-8 Satellite Imagery (Supervisors: I Dewa Nyoman Nurweda
Putra dan Abd. Rahman As-syakur).

Mangrove mapping is widely used as an effective monitoring tool. Remote sensing


as a means and solution in mangrove mapping. This study aims to compare the
accuracy of the two methods used, Maximum Likelihood (MLC) and Object-Based
Image Analysis (OBIA). the highest accuracy value will be the best parameter in
mangrove mapping. The three images used in this study are Sentinel-2A, Landsat 8
OLI, and SPOT 6 PMS. The results of this study indicate that there is an effect of
resolution on the image that can affect the results of image classification. In
mangrove mapping, medium spatial resolution and high spectral resolution can
produce good image classification. The success of the classification process can be
determined from the interpretation process assisted by the spectral range value in
the image. The higher the value of the spectral range in the image, the more difficult
it will be to detect objects in the image. The results of the accuracy calculation
using the error matriks show that the accuracy values using both methods and three
accurate images give different results. Sentinel-2A image with the Maximum
Likelihood (MLC) method has an accuracy of 97.56% and the Object-Based Image
Analysis (OBIA) method has an accuracy value of 96.34%. Landsat 8 OLI image
with the Maximum Likelihood (MLC) method has an accuracy value of 95.73% and
the Object-Based Image Analysis (OBIA) method has an accuracy value of 94.51%.
The SPOT 6 PMS image with the Maximum Likelihood (MLC) method has an
accuracy of 87.80% and the Object-Based Image Analysis (OBIA) method has an
accuracy value of 89.63%. So the results can show that by using Sentinel-2A image
classification the Maximum Likelihood (MLC) can increase the accuracy test value
in mangrove mapping.

Keywords: Mangrove, maximum likelihood, Object-Based Image Analysis,


accuracy, and resolution

iv
RINGKASAN

Anggia Dwi Putri. 1813511011. Perbandingan Akurasi Metode Maximum


Likelihood (MLC) Dan Object-Based Image Analysis (OBIA) Dalam
Memetakan Mangrove Di Tahura Ngurah Rai, Bali Menggunakan Citra
Satelit SPOT-6, Sentinel-2A, Dan Landsat-8 (Pembimbing: I Dewa Nyoman
Nurweda Putra dan Abd. Rahman As-syakur).

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang dapat tumbuh


diwilayah pesisir pantai. Hutan mangrove banyak membawa dampak baik atau
manfaat bagi kehidupan manusia, khususnya bagi masyarakat yang hidup di
wilayah pesisir pantai. Beberapa manfaat hutan mangrove adalah sebagai proteksi
terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut, mengurangi tiupan angin kencang,
mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi, dan pembersih air dari
polutan. Pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan manusia, maka dari itu perlu
untuk memonitoring secara berkala.
Monitoring hutan mangrove membutuhkan manfaat dari perkembangan
teknologi pada saat ini. Perkembangan teknologi yang dapat mendukung kegiatan
monitoring hutan mangrove yang luasannya mencapai lebih dari ratusan hektar
tentunya yang efektif dilakukan, dari segi waktu hingga biaya. Penginderaan jauh
merupakan salah satu kemajuan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk
memonitoring hutan mangrove secara efektif. Hasil dari monitoring hutan
mangrove menggunakan penginderaan jauh salah satunya adalah pemetaan
mangrove / peta mangrove. Untuk menghasilkan pemetaan mangrove terdapat
beberapa metode dan citra satelit yang digunakan.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat akurasi dua akurasi
metode yang digunakan dalam pemetaan mangrove, yaitu metode Maximum
Likelihood Classification (MLC) dan Object-Based Image Analysis (OBIA). Kedua
metode tersebut akan dibandingkan tingkat akurasinya, tingkat akurasi yang
memiliki nilai lebih tinggi akan dijadikan sebagai parameter dalam pemetaan
mangrove. Penelitian ini menggunakan tiga citra satelit utama yaitu citra Sentinel-
2A, Landsat 8 OLI, dan SPOT 6 PMS. Dari kedua metode klasifikasi citra dan tiga
citra setelit yang digunakan, akan menghasilkan parameter yang digunakan sebagai
acuan dalam pemetaan mangrove yang nantinya akan menjadi metode klasifikasi
dan citra yang tepat atau yang baik untuk menghasilkan pemetaan mangrove.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang perlu
diperhatikan dalam pemetaan mangrove yaitu pada resolusi citra yang digunakan.
Terdapat dua resolusi yang perlu diperhatikan yaitu resolusi spasial dan resolusi
spektral. Pada pemetaan mangrove resolusi spasial menengah dan resolusi spektral
tinggi dapat menghasilkan klasifikasi citra yang baik. Berhasilnya pada saat proses
klasifikasi dapat ditentukan dari proses interpretasi yang dibantu oleh nilai lebar
spektral pada citra. Semakin tinggi nilai spektral range pada citra maka akan
semakin sulit objek pada citra terdeteksi.

v
Hasil perhitungan akurasi dengan menggunakan matriks kesalahan
menunjukkan bahwa nilai akurasi menggunakan kedua metode dan tiga citra satelit
memberikan perbedaan hasil. Citra Sentinel-2A metode Maximum Likelihood
(MLC) nilai akurasi sebesar 97.56% dan metode Object-Based Image Analysis
(OBIA) nilai akurasi sebesar 96.34%. Citra Landsat 8 OLI metode Maximum
Likelihood (MLC) nilai akurasi sebesar 95.73% dan metode Object-Based Image
Analysis (OBIA) nilai akurasi sebesar 94.51%. Citra SPOT 6 PMS metode
Maximum Likelihood (MLC) nilai akurasi sebesar 87.80% dan metode Object-
Based Image Analysis (OBIA) nilai akurasi sebesar 89.63%. Sehingga pada hasil
tersebut dapat menunjukkan bahwa dengan menggunakan citra Sentinel-2A
klasifikasi algoritma Maximum Likelihood (MLC) merupakan metode terbaik
dalam pemetaan mangrove.

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang maha Esa, atas berkat, rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul
“Perbandingan Akurasi Metode Maximum Likelihood (MLC) Dan Object-Based
Image Analysis (OBIA) Dalam Memetakan Mangrove Di Tahura Ngurah Rai, Bali
Menggunakan Citra Satelit SPOT-6, Sentinel-2A, Dan Landsat-8 OLI”.

Skripsi ini disusun oleh penulis untuk memenuhi persyaratan dalam kelulusan
di Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana. Dalam penyelesaian
Skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Wayan Nuarsa, M.Si selaku Dekan Fakultas Kelautan
dan Perikanan, Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Dwi Budi Wiyanto, S. Kel., MP selaku Koordinator Program Studi
Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana.

3. Bapak Dr. Eng. I Dewa Nyoman Nurweda Putra, S.Si., M.Si selaku dosen
pembimbing 1 yang telah meluangkan waktu dan selalu sabar dalam
memberikan bimbingan, saran dan masukan dalam penyelesaian Skripsi ini.

4. Bapak Abd. Rahman As-syakur, S.P., M.Si., Ph.D. Selaku dosen pembimbing
2 yang telah meluangkan waktu dan selalu sabar dalam memberikan
bimbingan, saran dan masukan dalam penyelesaian Skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. I Wayan Nuarsa, M.Si selaku penguji 1 yang telah
meluangkan waktu dalam menguji, memberikan saran dan masukan dalam
penyelesaian Skripsi ini.

6. Bapak Ida Bagus Mandhara Brasika, S.Si., M.Sc selaku penguji 2 yang telah
meluangkan waktu dalam menguji, memberikan saran dan masukan dalam
penyelesaian Skripsi ini.

7. Tim dosen Program Studi Ilmu Kelautan yang sudah memberikan dan
mengajarkan berbagai ilmu terkait dengan Skripsi ini.

vii
8. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah
memberikan ilmu dan data Citra Satelit yang digunakan dalam penelitian ini.

9. Ibu Kiki di Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh (PUSTEKDATA)


yang telah membantu dalam proses pengiriman data Citra Satelit sebagai
bahan dalam penelitian ini.

10. Bapak Irawan Sudjana dan Ibu Frida Handayani selaku kedua orang tua saya
yang selalu mendoakan dan support saya dalam menyelesaikan studi dan
penyusunan Skripsi ini.

11. Febita Safera Putri dan Muhammad Rifqy Putra selaku kakak dan adik saya
yang selalu mendoakan dan support saya dalam menyelesaikan studi dan
penyusunan Skripsi ini.

12. Hj. Ningsih nenek ku tercinta alias Mama Ajus, terima kasih atas segala
nasihat, semangat, dan doa yang senantiasa diberikan kepada saya dalam
menyelesaikan studi dan penyusunan Skripsi ini.

13. Ni Made Meriparawansa selaku sahabat saya sejak memasuki bangku


perkuliahan, yang mampu memberi saya semangat dalam keadaan apapun dan
memberi dukungan penuh untuk menyelesaikan penulisan Skripsi ini.

14. Syifa’ul Qolbiyatun Nisa’ selaku sahabat dan teman kos saya yang selalu
memberi semangat dalam keadaan apapun dan memberi dukungan penuh
untuk menyelesaikan penulisan Skripsi ini.

15. Della Ramadhita Putri selaku sahabat saya sejak SD yang selalu mendukung
saya untuk terus semangat dan memberi dukungan penuh untuk
menyelesaikan penulisan Skripsi ini.

16. Winsen Putra dan Komang Wahyudi teman seperjuangan LAB GIS Fakultas
Kelautan dan Perikanan yang telah menemani dan support agar selalu
semangat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.

17. Nadia, Via, Nurul, dan Suwarsih selaku sahabat – sahabat saya yang selalu
support dan memberi dukungan positif hingga saya dapat menyelesaikan
penulisan Skripsi ini.
viii
18. Night Shift Prambors Radio with EDA, media yang selalu menemani saya
mengolah data Skripsi setiap malam dari pukul 20.00 – 00.00 WIB dan
Morning Show Prambors Radio With COKIBER dan BELLSWEN, media
yang selalu menemani saya mengolah data Skripsi setiap pagi dari pukul
06.00 – 10.00 WIB.

19. Teman – teman tim Pengambilan Data Lapangan, yang telah membantu
pengambilan titik koordinat untuk penelitian ini.

20. Teman – teman Ilmu Kelautan Angkatan 2018 (KRAKEN) Fakultas Kelautan
dan Perikanan, Universitas Udayana yang selalu support dalam penyusunan
Skripsi ini.

Bukit Jimbaran, 16 Agustus 2022

Penulis

ix
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Anggia Dwi Putri, lahir di


Jakarta, 16 Agustus 2000. Penulis merupakan putri kedua
dari tiga bersaudara. Penulis merupakan putri dari
Pasangan Bapak Irawan Sudjana dan Ibu Frida
Handayani. Penulis bertempat tinggal di Jalan Aster 2 No.
1 Taman Lembah Hijau Lippo Cikarang, Kabupaten
Bekasi. Penulis menyelesaikan Pendidikan di Taman
kanak – kanak di TKIT ANNIDA pada tahun 2006,
menyelesaikan Pendidikan Dasar di SDIT ANNIDA pada
tahun 2012, menyelesaikan Pendidikan menengah pertama di SMPN 2
CIKARANG SELATAN pada tahun 2015, dan menyelesaikan Pendidikan
menengah atas di SMAN 2 CIKARANG SELATAN pada tahun 2018. Selanjutnya
penulis melanjutkan Pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 2018
melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Fakultas
Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana dengan Program Studi Ilmu Kelautan.

Selama masa studi di Program Studi Ilmu Kelautan penulis aktif mengikuti
kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa di Kampus dan menjadi asisten dosen
mata kuliah Pemetaan Sumberdaya Pesisir dan Laut pada tahun 2022. Penulis
mengikuti Praktik Kerja Lapangan di Deputi Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dibidang pemanfaatan
penginderaan jauh untuk Analisis Perubahan Luas Hutan Mangrove Angke Kapuk
DKI Jakarta pada tahun 2021, mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di
Desa Mengwi, Kab, Badung, Provinsi Bali pada tahun 2021, serta telah
menyelesaikan tugas akhir (Skripsi) dengan judul “Perbandingan Akurasi Metode
Maximum Likelihood (MLC) Dan Object-Based Image Analysis (OBIA) dalam
Memetakan Mangrove di Tahura Ngurah Rai, Bali Menggunakan Citra Satelit
SPOT-6, Sentinel-2A, Dan Landsat-8 OLI” pada tahun 2022.

x
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
BERITA ACARA ................................................................................................... i
KEASLIAN KARYA ILMIAH ............................................................................ ii
ABSTRAK ........................................................................................................... iii
ABSTRACT ......................................................................................................... iv
RINGKASAN ........................................................................................................v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
1.2 Rumusan masalah .........................................................................................3
1.3 Tujuan ..........................................................................................................3
1.4 Manfaat ........................................................................................................3
1.5 Batasan Penelitian .......................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................5
2.1 Mangrove ....................................................................................................5
2.1.1 Fungsi Ekosistem Mangrove ...........................................................5
2.2 Penginderaan Jauh .......................................................................................6
2.2.1 Interpretasi Citra ..............................................................................7
2.2.2 Perbaikan Citra ................................................................................8
2.2.3 Klasifikasi Citra ...............................................................................9
2.2.4 Maximum Likelihood Classification (MLC) .....................................9
2.2.5 Object-Based Image Analysis (OBIA) ...........................................10
2.3 Citra Sentinel-2A........................................................................................11
2.4 Citra Landsat 8 ..........................................................................................12
2.5 Citra SPOT ................................................................................................13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................15
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................15

xi
3.2 Alat dan Bahan ..........................................................................................15
3.2.1 Alat ................................................................................................15
3.2.2 Bahan .............................................................................................16
3.3 Diagram Alir Penelitian ............................................................................18
3.4 Metode Penelitian ......................................................................................19
3.4.1 Pra Pengolahan Citra .....................................................................19
3.4.2 Pengolahan Citra ...........................................................................19
3.4.3 Ground Check ................................................................................ 21
3.4.4 Uji Akurasi Citra ........................................................................... 21
3.5 Hasil Analisis ............................................................................................ 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 24
4.1 Hasil ..........................................................................................................24
4.1.1 Pra Pengolahan Citra .....................................................................24
4.1.2 Pengolahan Citra ........................................................................... 26
4.1.3 Uji Akurasi Citra ........................................................................... 33
4.2 Pembahasan ............................................................................................... 39
4.2.1 Pra Pengolahan Citra ..................................................................... 39
4.2.2 Pengolahan Citra ...........................................................................40
4.2.3 Uji Akurasi Citra ........................................................................... 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................52
5.1 Kesimpulan ................................................................................................52
5.2 Saran ..........................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................54
LAMPIRAN .........................................................................................................59

xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Karakteristik Citra Sentinel-2A ......................................................................11
2.2. Karakteristik Citra Landsat OLI .....................................................................13
2.3. Karakteristik Citra Satelit SPOT – 6 ..............................................................14
3.1. Alat yang digunakan dalam Penelitian ...........................................................16
3.2. Bahan yang digunakan dalam Penelitian .......................................................17
3.3. Perhitungan Akurasi dari Klasifikasi Setiap Kelas ........................................22
4.1. Nilai Parameter Segmentasi Citra ..................................................................29
4.2. Area Kelas Mangrove dan Lahan Non Mangrove dengan Metode Maximum
Likelihood (MLC) .........................................................................................31
4.3. Area Kelas Mangrove dan Lahan Non Mangrove dengan Metode Object-Based
Image Analysis (OBIA) ..................................................................................33
4.4. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Sentinel-2A Persebaran Mangrove
Algoritma Maximum Likelihood (MLC) ........................................................34
4.5. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Sentinel-2A Persebaran Mangrove
Algoritma Object-Based Image Analysis (OBIA) .........................................34
4.6. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Persebaran Mangrove
Algoritma Maximum Likelihood (MLC) ........................................................35
4.7. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Persebaran Mangrove
Algoritma Object-Based Image Analysis (OBIA) .........................................35
4.8. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS Persebaran Mangrove
Algoritma Maximum Likelihood (MLC) ........................................................35
4.9. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS Persebaran Mangrove
Algoritma Object-Based Image Analysis (OBIA) .........................................36
4.10. Hasil Gabungan Overall Accuracy (AO) 5 Kelas Klasifikasi ......................36
4.11. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Sentinel-2A Persebaran Lahan
Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Maximum
Likelihood (MLC) ........................................................................................37
4.12. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Sentinel-2A Persebaran Lahan
Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Object-Based
Image Analysis (OBIA) ...............................................................................37

xiii
4.13. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Persebaran Lahan
Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Maximum
Likelihood (MLC) ........................................................................................38
4.14. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Persebaran Lahan
Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Object-Based
Image Analysis (OBIA) ...............................................................................38
4.15. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS Persebaran Lahan
Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Maximum
Likelihood (MLC) ........................................................................................38
4.16. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS Persebaran Lahan
Mangrove Dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Object-Based
Image Analysis (OBIA) ...............................................................................39
4.17. Hasil Gabungan Overall Accuracy (AO) 2 Kelas Klasifikasi ......................39

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
3.1. Peta Wilayah Lokasi Penelitian .....................................................................15
3.2. Diagram Alir Penelitian .................................................................................18
4.1. Tampilan Visual Citra Sentinel-2A (a) sebelum Proses Koreksi Atmosferik, (b)
sesudah Proses Koreksi Atmosferik ...............................................................24
4.2 Tampilan Visual Citra Landsat 8 OLI (a) sebelum Proses Koreksi Atmosferik,
(b) sesudah Proses Koreksi Atmosferik ......................................................... 24
4.3. Tampilan Citra Sentinel-2A (a) sebelum dicropping (b) Sesudah dicropping
......................................................................................................................25
4.4. Tampilan Citra Landsat 8 OLI (a) sebelum dicropping (b) Sesudah dicropping
.........................................................................................................................25
4.5. Tampilan citra SPOT 6 PMS (a) sebelum dicropping (b) sesudah dicropping
......................................................................................................................26
4.6. Komposit Band TCC (a) Sentinel-2A Band 4-3-2 , (b) Landsat 8 OLI Band 4-
3-2 , dan (c) SPOT 6 PMS Band 3-2-1 .......................................................... 26
4.7. Komposit Band NCC (a) Sentinel-2A Band 11-8-4 , (b) Landsat 8 OLI Band
6-5-4 , dan (b) SPOT 6 PMS Band 3-4-1 .......................................................27
4.8. Komposit Band FCC (a) Sentinel-2A Band 8-11-2, (b) Landsat 8 OLI Band
5-6-2 , dan (c) SPOT 6 PMS Band 4-2-3 .......................................................27
4.9. Peta Persebaran Pengamatan Lapangan (Ground Check) ..............................28
4.10. Peta Tematik Persebaran Mangrove Di Tahura Ngurah Rai, Bali dengan
Klasifikasi Maximum Likelihood (a) Hasil Klasifikasi Citra Sentinel-2A, (b)
Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI, dan (c) Hasil Klasifikasi Citra SPOT
6 PMS ..........................................................................................................31
4.11. Peta Tematik Persebaran Mangrove Di Tahura Ngurah Rai, Bali dengan
Klasifikasi Object-Based Image Analysis (OBIA) (a) Hasil Klasifikasi Citra
Sentinel-2A, (b) Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI, Dan (c) Hasil
Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS ....................................................................33

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Peta Hasil 2 Kelas Klasifikasi ........................................................................... 59
2. Pengambilan Data Lapangan (Ground Check) ..................................................60

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pesisir pantai merupakan peralihan antara wilayah laut dan darat yang
membutuhkan suatu ekosistem yang dapat tumbuh di wilayah tersebut. Salah satu
ekosistem yang dapat tumbuh di wilayah pesisir laut adalah ekosistem hutan
mangrove (Donato et al., 2011). Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai
pelindung pantai agar garis pantai tidak tergerus oleh terpaan gelombang laut.
Upaya untuk mempertahankan garis pantai agar tidak mengalami pergeseran
(Siburian, 2016), mangrove juga memiliki pelayanan lindungan lingkungan seperti
proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut, mengurangi tiupan angin
kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi, dan
pembersih air dari polutan (Kusmana, 2009).
Indonesia merupakan negara persebaran hutan mangrove terluas dengan
luasan sebesar 3.112.989 hektar atau sekitar 22.6 % dari total mangrove dunia (Giri
et al., 2011). Provinsi Bali merupakan daerah persebaran mangrove di Indonesia
dengan salah satu kawasan hutan mangrove di Provinsi Bali adalah Teluk Benoa
(Wiyanto dan Faiqoh, 2015). Hutan mangrove di kawasan Teluk Benoa ditetapkan
sebagai Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor 544/KptsII/1993 tanggal 25
September 1993 dengan luas 1.373,50 ha, kawasan Tahura Ngurah Rai meliputi
Denpasar dan Kabupaten Badung (UPT Tahura Ngurah Rai, 2012). Kawasan
Tahura Ngurah Rai merupakan Kawasan strategis sebagai Kawasan pembangunan
dan aktivitas manusia. Aktivitas manusia (antropogenik) memberikan sumbangan
terbesar terhadap kerusakan hutan mangrove. Akibat adanya tekanan hasil dari
aktivitas yang berlebihan seperti dikonversinya menjadi darat, pembangunan di
wilayah pesisir hingga pencemaran dan polusi dari dataran (Richards et al., 2015).
Kerusakan mangrove yang dapat mengakibatkan terganggunya fungsi
mangrove tersebut. Mengingat pentingnya fungsi hutan mangrove, maka perlu
dilakukan kajian mengenai pengelolaan hutan mangrove. Observasi langsung
merupakan metode terbaik untuk memantau hutan mangrove tetapi tidak efektif

1
dari segi waktu dan biaya. Sebagai alternatifnya, teknik penginderaan jauh dapat
dipakai sebagai solusi untuk pemetaan, deteksi dan pemantauan mangrove (Giri et
al., 2011).
Teknik penginderaan jauh yang digunakan untuk deteksi dapat berupa deteksi
tutupan lahan yang dapat dilakukan dengan dua metode klasifikasi yaitu klasifikasi
berdasarkan piksel dan klasifikasi berdasarkan objek (Parsa, 2013). Deteksi tutupan
lahan juga dapat digunakan untuk deteksi tutupan lahan hutan mangrove. Perbedaan
dasar dari kedua metode klasifikasi tersebut adalah pada saat penyusunan training
area. Pada algoritma Maximum Likelihood Classification (MLC) pengambilan
training sample dilakukan secara manual oleh pengolah data dengan pembuatan
Area of Interest (AOI). Kemudian pada klasifikasi berdasarkan objek pengambilan
training sample dengan cara manual dengan cara memilih segmen – segmen
(object) berdasarkan kelas tutupan area tersebut (Artika et al., 2019).
Perbandingan metode klasifikasi dalam mendeteksi luasan hutan mangrove
sebelumnya telah banyak dipelajari di Indonesia dengan memanfaatkan teknologi
penginderaan jauh, berikut ini adalah beberapa penelitian perbandingan metode
klasifikasi dalam mendeteksi luasan hutan mangrove dengan menggunakan
teknologi penginderaan jauh yaitu (Purwanto et al., 2018) mengidentifikasi sebaran
mangrove menggunakan metode klasifikasi berdasarkan objek (OBIA)
memanfaatkan citra satelit Landsat 8 OLI dan Landsat 7 ETM +. Selanjutnya pada
penelitian (Artika et al., 2019), mengidentifikasi metode klasifikasi yang paling
tepat dan akurat pada pemetaan tutupan mangrove di Kabupaten Lampung Selatan
dengan membandingkan metode MLC dan klasifikasi berdasarkan objek (OOC)
dan penelitian terbaru dari Adinegoro (2020) melakukan identifikasi perubahan luas
mangrove di Tahura Ngurah Rai dengan bantuan citra Sentinel-2A menggunakan
metode pendekatan Maximum Likelihood serta uji akurasi menggunakan Matriks
confusion.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode klasifikasi terbaik dan uji
akurasi dalam pemetaan hutan mangrove di Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura)
Ngurah Rai Bali, menggunakan bantuan tiga citra satelit dengan resolusi yang
berbeda yaitu citra Sentinel-2A, Landsat 8 OLI dan SPOT 6 pada tahun 2020.
Membandingkan klasifikasi terbimbing dengan algoritma Maximum Likelihood

2
Classification (MLC) dan klasifikasi berdasarkan objek (OBIA). Metode klasifikasi
yang memiliki hasil akurasi yang berbeda, akan menjadi parameter terbaik dalam
pemetaan hutan mangrove di Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai,
Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana hasil klasifikasi Maximum Likelihood Classification (MLC) dan
klasifikasi berdasarkan objek (OBIA) terhadap tingkat resolusi spasial yang
berbeda dalam pemetaan mangrove di daerah penelitian pada tahun 2020?
2. Bagaimana tingkat akurasi klasifikasi Maximum Likelihood Classification
(MLC) dan klasifikasi berdasarkan objek (OBIA) dalam pemetaan mangrove
di daerah penelitian pada tahun 2020?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hasil klasifikasi Maximum Likelihood Classification (MLC) dan
klasifikasi berdasarkan objek (OBIA) terhadap tingkat resolusi spasial yang
berbeda dalam pemetaan mangrove di daerah penelitian pada tahun 2020.
2. Mengetahui tingkat akurasi klasifikasi Maximum Likelihood Classification
(MLC) dan klasifikasi berdasarkan objek (OBIA) dalam pemetaan mangrove
di daerah penelitian pada tahun 2020.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi akademik yaitu dapat menambah pengetahuan tentang klasifikasi dan uji
akurasi pada pemetaan mangrove dan memberi sumbangan pemikiran sebagai
acuan penelitian lebih lanjut.
2. Bagi praktisi yaitu dapat memberikan informasi terkait pemetaan mangrove
pada tahun 2020 di Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali.
3. Bagi pemerintah yaitu dapat menjadi bahan tambahan kajian perlindungan
terhadap lingkungan Kawasan pesisir, pemantauan, dan deteksi persebaran
Kawasan hutan mangrove.

3
1.5 Batasan Penelitian
Batasan penelitian ini adalah
1. Wilayah studi dalam penelitian ini adalah Kawasan Taman Hutan Raya
(Tahura) Ngurah Rai, Bali.
2. Menggunakan metode klasifikasi Maximum Likelihood Classification (MLC)
dan klasifikasi berdasarkan objek (OBIA) dengan ketiga resolusi citra satelit
yang berbeda untuk mengetahui metode klasifikasi terbaik dalam pemetaan
persebaran mangrove.
3. Membandingkan tingkat akurasi klasifikasi Maximum Likelihood
Classification (MLC) dan klasifikasi berdasarkan objek (OBIA) pada tahun
2020 dengan menggunakan ketiga citra satelit dengan resolusi spasial yang
berbeda.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangrove
Kata Mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis “mangue” yang
memiliki arti tumbuhan dan bahasa Inggris “grove” yang berarti belukar (Macnae
1968). Sedangkan menurut Mastaller (1997) Istilah mangrove juga disebutkan
merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm
menjadi mang-gurm, dimana keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api).
MacNae (1968) dalam Supriharyono (2007) menyatakan bahwa kata mangrove
mempunyai dua arti, yaitu sebagai komunitas, atau kelompok tumbuhan atau hutan
yang tahan terhadap garam atau salinitas dan pasang surut air laut. Stenis (2006)
mengatakan bahwa mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis
pasang surut, sehingga juga dinamakan hutan pasang. Beberapa ahli mendefinisikan
mangrove dengan arti yang berbeda – beda tetapi pada dasarnya tetap merujuk
kepada hal yang sama bahwa mangrove sebagai komunitas tumbuhan yang toleran
terhadap air asin dan hidup di kawasan litoral sepanjang daerah tropis dan subtropic,
pada kawasan pasang surut, daerah terlindung dan pantai landai. Sehingga
mangrove sering dijumpai pada substrat lumpur di daerah deltaik, laguna dan
estuaria.
2.1.1 Fungsi Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat didaerah peralihan antara
darat dan laut pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh gelombang, topografi
pantai dan pasang surut air laut (Annisa et al., 2019). Secara ekologis mangrove
memegang peranan kunci dalam perputaran nutrient atau unsur hara pada perairan
pantai di sekitarnya yang dibantu oleh pergerakan pasang surut air laut. Dengan
demikian jika terdapat mangrove, maka daerah perairan tersebut menjadi daerah
perikanan yang subur (Herwindya dan Susilo, 2014). Mangrove dapat dikatakan
sebagai ekosistem yang kompleks selain dapat menyediakan nutrient di perairan
sekitarnya, mangrove memiliki daya dukung fungsi fisik, biologi, dan ekonomi
(Purnamawati et al., 2007).

5
Menurut Gunarto (2004), mangrove memiliki tiga fungsi utama dalam
menjaga lingkungan yaitu sebagai berikut :
1. Fungsi fisik yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi
tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air
laut, serta sebagai perangkap zat pencemar.
2. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan
kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman
biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan
tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah.
3. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang),
bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-
obatan.
2.2 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan ilmu yang digunakan untuk memperoleh
informasi tentang objek, daerah atau gejala, melalui data yang diperoleh dengan
menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau gejala yang
akan dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990). Alat yang digunakan dalam memperoleh
informasi tentang objek tersebut berupa alat pengindera atau sensor yang dibawa
oleh pesawat, satelit atau benda yang memungkinkan alat pengindera untuk
mendeteksi objek dari atas permukaan bumi (Sutanto,1998). Penginderaan jauh
dilakukan dengan pengukuran nilai gelombang elektromagnetik pantulan
(reflection) maupun pancaran (emission) dari objek yang diamati. Objek di
permukaan bumi akan memantulkan energi gelombang elektromagnetik, yang
selanjutnya akan ditangkap dan direkam oleh sensor (Gusmawati et al., 2016).
Penginderaan jauh memiliki 4 resolusi yang digunakan yaitu resolusi spasial,
resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal. Berikut ini
merupakan penjelasan dari setiap resolusi :
1. Resolusi spasial, merupakan kemampuan untuk menampakkan dua objek
yang berdekatan secara terpisah. Dapat disebut juga daya memecah detail
suatu objek. Resolusi spasial dipengaruhi oleh piksel citra tersebut. Semakin
banyak piksel dan ukuran piksel yang kecil memberikan detail yang lebih
baik, karena setiap piksel akan mewakili informasi suatu citra. Semakin besar

6
matriks piksel maka akan memberikan resolusi spasial yang lebih baik
(Oktaviani, 2016).
2. Resolusi temporal, diartikan sebagai lamanya waktu bagi sensor satelit untuk
mengindera daearah yang sama untuk yang kedua kalinya. Satuannya
biasanya adalah hari. Semakin banyak jumlah hari yang diperlukan untuk
mengindera daerah yang sama maka semakin rendah resolusi temporalnya,
dan sebaliknya (Syah, 2010).
3. Resolusi radiometrik, ialah kemampuan sensor dalam mencatat respons
spektral objek. Sensor yang peka dapat membedakan selisih respons yang
paling lemah sekalipun. Kemampuan sensor ini secara langsung dikaitkan
dengan kemampuan koding, yaitu mengubah intensitas pantulan atau
pancaran spektral menjadi angka digital. Kemampuan ini dinyatakan dalam
bit (Oktaviani, 2016). Selain itu dapat diartikan sebagai julat (range)
representasi/kuantisasi data, yang biasanya dipergunakan untuk format raster.
Julat tersebut dapat berupa 2 bit (0-1), 3 bit (0-3), 4 bit (0-15), 5 bit (0-31), 6
bit (0-63), 7 bit (0-127), 8 bit (0-255), 10 bit (0-1023), 16 bit (0-65535).
Semakin besar bit yang dimiliki oleh suatu sensor, maka sensor tersebut dapat
dikatakan mempunyai resolusi radiometrik yang tinggi (Syah, 2010).
4. Resolusi spektral, adalah kemampuan suatu sistem untuk membedakan
informasi objek berdasarkan nilai pantulan atau pancaran spektralnya.
Resolusi spektral yaitu lebar dan banyaknya saluran yang dapat diserap oleh
sensor. Resolusi spektral ini berkaitan langsung dengan kemampuan sensor
untuk dapat mengidentifikasi objek.
Penginderaan jauh dapat dimanfaatkan dalam pemantauan vegetasi mangrove
yang didasarkan atas dua sifat penting yaitu mangrove mempunyai zat hijau daun
(klorofil) dan mangrove tumbuh di daerah pesisir (Waas dan Nababan, 2010).
2.2.1 Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan perbuatan yang digunakan untuk mengkaji foto
udara atau citra dengan tujuan untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti
penting dari objek yang dikaji (Este dan Simonett, 1975). Dalam interpretasi citra
membutuhkan pelatihan hingga menghasilkan dalam interpretasi, melakukan
penafsiran, memahami sifat objek dan mengetahui kualitas citra yang digunakan

7
dalam interpretasi (Lillesand et al., 2007). Terdapat beberapa kunci interpretasi
sebagai alat bantu pelatihan yang berharga bagi penafsir citra pemula. Menurut
Sutanto (1998), kunci interpretasi dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan
aspek tertentu. Berdasarkan lingkupnya, kunci interpretasi dibedakan menjadi
empat macam, yaitu kunci individual, kunci subjek, kunci regional, dan kunci
analog.
Tahapan kegiatan yang diperlukan dalam pengenalan objek yang tergambar
pada citra, yaitu :
1. Deteksi, yaitu pengenalan objek yang mempunyai karakteristik tertentu oleh
sensor.
2. Identifikasi, yaitu mencirikan objek dengan menggunakan data rujukan.
3. Analisis, yaitu mengumpulkan keterangan lebih lanjut secara terperinci.
Identifikasi kerapatan vegetasi dapat dilakukan dengan cara interpretasi citra
secara digital menggunakan indeks vegetasi. Indeks vegetasi merupakan salah satu
parameter yang digunakan untuk menganalisis keadaan vegetasi dengan cara
mengukur tingkat kehijauan (greenness) kanopi vegetasi, sifat komposit dari
klorofil daun, luas daun, struktur dan tutupan kanopi vegetasi di suatu wilayah
(Huete et al., 2011).
2.2.2 Perbaikan Citra
Perbaikan kualitas citra merupakan suatu proses yang dilakukan untuk
mendapatkan kondisi tertentu pada citra. Proses tersebut dilakukan dengan
menggunakan berbagai macam metode tergantung pada kondisi yang diharapkan
pada citra, seperti mempertajam bagian tertentu pada citra, menghilangkan noise
atau gangguan, manipulasi kontras dan skala keabuan, dan sebagainya (Sisilia,
2016). Perbaikan citra mencakup koreksi radiometrik dan geometrik. Koreksi
radiometrik dilakukan karena adanya efek atmosferik yang mengakibatkan
kenampakan bumi tidak selalu tajam. Sedangkan koreksi geometrik merupakan
upaya memperbaiki citra dari pengaruh kelengkungan bumi dan gerakan muka
bumi dengan cara menyesuaikannya dengan koordinat bumi (memosisikan letak
lintang dan bujur), sehingga sesuai dengan koordinat peta dunia (Supriatna, 2002).

8
2.2.3 Klasifikasi Citra
Metode klasifikasi citra yang digunakan sangat menentukan hasil dari
klasifikasi citra, dengan demikian persoalan pemetaan menggunakan data
penginderaan jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi yang akan digunakan
dalam klasifikasi citra. Metode untuk memperoleh informasi dari data penginderaan
jauh yang paling sering digunakan ialah klasifikasi multispektral berdasarkan
analisis terhadap sifat reflektansi. Klasifikasi multispektral merupakan teknik
otomatisasi secara digital yang sudah digunakan secara luas, yang salah satunya
untuk memetakan penutup lahan (Septiani et al., 2019). Klasifikasi dirancang untuk
menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena
berdasarkan kriteria. Informasi tematik dari hasil klasifikasi citra perlu dinilai
akurasi isi informasinya sehingga diperlukan uji akurasi untuk menentukan apakah
data tersebut dapat digunakan atau tidak (Danoedoro, 2012).
Klasifikasi unsupervised adalah salah satu metode pengklasifikasian digital
yang dimana pada metode ini dilakukan pengelompokan nilai-nilai piksel pada
suatu citra oleh komputer ke dalam kelas-kelas nilai (spektral, temporal, spasial).
Pada metode ini, proses pengolahan data pertama yaitu operator melakukan analisis
secara visual untuk menentukan jumlah kelas pola lahan, kemudian data citra diolah
berdasarkan kelas-kelas nilai dikelompokkan oleh komputer menggunakan
algoritma tertentu. Dari kelas pola yang diperoleh, bisa juga dilakukan
penggabungan beberapa kelas yang dianggap memiliki informasi yang sama
menjadi satu kelas (Kushardono, 2017).
Sedangkan supervised classification meliputi sekumpulan algoritma yang
didasari pemasukan contoh objek (berupa nilai spektral) oleh operator yang biasa
disebut training area. Sebelum sampel diambil, pengguna harus mempersiapkan
sistem klasifikasi yang akan diterapkan seperti halnya klasifikasi manual. Tujuan
klasifikasi supervised untuk memisahkan piksel berdasarkan nilai spektral
kemudian piksel dengan nilai spektral yang sama akan di kelompokan untuk
dijadikan satu kelas (Kawamuna et al, 2017 dalam Latifah et al, 2018).
2.2.4 Maximum Likelihood Classification (MLC)
Metode Maximum Likelihood Classification (MLC) merupakan metode
klasifikasi yang mengategorikan nilai piksel dengan mempertimbangkan faktor

9
peluang dalam kelas tertentu (Sampurno et al., 2016). Metode Maximum Likelihood
dapat membandingkan dan memperhitungkan nilai rata-rata dari keragaman antar
kelas dan band yang ada. Metode Maximum Likelihood didasarkan pada nilai piksel
yang sama dan pengenalan pada citra. Pada satu karakteristik dengan sebaran
normal dapat mewakili setiap piksel dalam kelasnya. Klasifikasi Maximum
Likelihood dalam klasifikasinya melibatkan interaksi intensif dimana dalam
menentukan training area pola spektral dengan panjang gelombang tertentu
dipertimbangkan sehingga diperoleh daerah acuan yang dapat mewakili suatu tipe
kelas tertentu (Marini et al., 2014). Prior probability merupakan peluang yang
dikenal dalam metode ini, Peluang ini berdasarkan pada jumlah kelas yang akan
diklasifikasikan, apabila peluang suatu piksel tidak diketahui maka besarnya
peluang piksel tersebut masuk ke dalam suatu kelas dinyatakan sama. Aturan ini
juga disebut sebagai Aturan Keputusan Bayes (Jaya, 2010).
2.2.5 OBIA (Object-Based Image Analysis)
Metode OBIA (Object-Based Image Analysis) merupakan salah satu dari
metode baru yang digunakan dalam klasifikasi citra (Navulur, 2007). Metode
klasifikasi citra berbasis OBIA dianggap dapat mempercepat proses klasifikasi
tutupan lahan dibandingkan dengan digitasi citra secara manual yang relatif
memakan waktu dan hasilnya cenderung bergantung subjektifitas dari pengguna
(Barito, 2018). Tahapan yang digunakan dalam metode OBIA adalah proses
segmentasi citra (pixel level) menjadi segmen atau objek (object level) yang
homogen sesuai dengan parameternya (Alimudi, 2017). Metode klasifikasi OBIA
menggunakan proses segmentasi dan penggunaan sistem hierarki (Blaschke, 2010).
Secara umum proses klasifikasi OBIA dilakukan melalupoxei dua tahapan, yaitu
segmentasi yang merupakan sebuah langkah awal pada klasifikasi dengan metode
berbasis objek. Selanjutnya, klasifikasi tiap segmen yang merupakan
pengelompokan setiap piksel yang memiliki kesamaan tekstur individual menjadi
region atau wilayah. Klasifikasi berbasis objek ini harus menggunakan metode
segmentasi yang bertujuan untuk pemisahan antar objek klasifikasi dengan kondisi
dan syarat tertentu. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kondisi dan syarat pada
segmentasi, yaitu skala, bentuk dan kekompakan (Hussein, 2016).

10
2.3 Citra Sentinel-2A
Sentinel-2 merupakan satelit yang diluncurkan oleh kerjasama antara The
European Commision dan European Space Agency di dalam program Global
Monitoring for Environment and Security (GMES). Satelit ini diluncurkan untuk
memantau kondisi permukaan bumi, sehingga mampu memberikan informasi
kondisi terkini bumi dari angkasa untuk aplikasi lingkungan dan keamanan.
Sentinel-2 dibuat dengan tujuan untuk memastikan kelanjutan misi Landsat 5/7,
SPOT-5, SPOT-Vegetation dan Envisat MERIS yang sebentar lagi akan berakhir
masa operasinya. Misi dalam menyediakan citra satelit beresolusi spasial dan
temporal yang tinggi sehingga pengguna masih dapat memperoleh data
pengindaian permukaan bumi terbaru (Verrelst et al., 2012).
Satelit Sentinel-2 direncanakan meluncur pada akhir 2013, namun peluncuran
ini baru terlaksana pada 23 Juni 2015 untuk Satelit Sentinel-2A dan pada 7 Maret
2017 untuk Satelit Sentinel-2B. Sentinel-2A diluncurkan oleh Roket Vega dari
Kourou, Guyana Perancis dan Sentinel-2B diluncurkan oleh Rockot dari Plesetsk,
Rusia. Kanal Satelit Sentinel-2 dibuat dengan mengacu pada kanal-kanal yang
terdapat pada SPOT dan Landsat. Perubahan lebar kanal dan penambahan kanal
dilakukan pada Sentinel-2 untuk menyempurnakan performa dalam observasi
bumi.
Tiga belas kanal yang dipasang pada satelit Sentinel-2 memiliki karakteristik
tersendiri (Tabel 1). Empat kanal dengan resolusi spasial 10 m memastikan
kesesuaian dengan SPOT 4/5 dan memenuhi persyaratan pengguna untuk
klasifikasi tutupan lahan. Resolusi spasial 20 m yang dimiliki oleh 6 kanal menjadi
persyaratan untuk parameter pengolahan level 2 lainnya. Kanal dengan resolusi
spasial 60 m dikhususkan untuk koreksi atmosfer dan penyaringan awan (443 nm
untuk aerosol, 940 nm untuk uap air, dan 1375 untuk deteksi awan tipis). Resolusi
sebesar 60 m dianggap cukup untuk menangkap variabilitas spasial parameter
geofisika atmosfer (Drusch et al., 2012).
Tabel 2.1. Karakteristik Citra Sentinel-2A
Band Panjang Resolusi spasial (m)
gelombang (µm)
1- Coastal Aerosol 0.433 - 0.453 60
2- Blue 0.458 - 0.523 10

11
3- Green 0.543 - 0.578 10
4- Red 0.650 - 0.680 10
5- Vegetation Red Edge 1 0.698 - 0.713 20
6- Vegetation Red Edge 2 0.733 - 0.748 20
7- Vegetation Red Edge 3 0.773 - 0.793 20
8- NIR 0.785 - 0.900 10
8b- Narrow NIR 0.855 - 0.875 20
9- Water Vapour 0.935 - 0.955 60
10- SWIR Cirrus 1.365 - 1.385 60
11- SWIR 1 1.565 - 1.655 20
12- SWIR 2 2.100 - 2.280 20
(dimodifikasi dari van der Meer et al., 2014 dan Drusch et al., 2012)
2.4 Citra Landsat 8
Data Landsat merupakan data citra satelit yang dihasilkan oleh satelit
Landsat, yaitu salah satu satelit sumber daya alam yang dikembangkan oleh NASA
dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Landsat 8 yang diluncurkan 11
Februari 2013, merupakan kelanjutan dari misi Landsat 1 yang untuk pertama kali
menjadi satelit pengamat bumi sejak tahun 1972. Landsat 8 hanya memerlukan
waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dengan resolusi temporal 16 hari. satelit
Landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi dan memiliki
area scan seluas 170 km x 183 km.
Satelit Landsat 8 memiliki sensor Operational Land Imager (OLI) dan
Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah band sebanyak 11 buah. Sembilan
band (band 1 sampai 9) berada pada sensor OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11)
pada sensor TIRS. Sebagian besar band pada Landsat 8 memiliki spesifikasi mirip
dengan Landsat 7. NASA menargetkan satelit Landsat 8 ini mengemban misi
selama 5 tahun (sensor OLI dirancang 5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun).
Pada citra satelit multispectral, masing-masing piksel mempunyai beberapa
nilai digital sesuai dengan jumlah band yang dimiliki. Untuk citra Landsat 8,
masing-masing piksel mempunyai 11 nilai digital dari 11 band yang dimiliki. Data
citra satelit Landsat dapat ditampilkan secara single band dalam bentuk hitam dan
putih maupun kombinasi 3 band yang dikenal dengan color composite.
Untuk sensor OLI yang dibuat oleh Ball Aerospace, terdapat 2 band yang baru
terdapat pada satelit Program Landsat yaitu Deep Blue Coastal/Aerosol Band
(0.433–0.453 mikrometer) untuk deteksi wilayah pesisir serta Shortwave Infrared
Cirrus Band (1.360–1.390 mikrometer) untuk deteksi awan cirrus. Sedangkan sisa

12
7 band lainnya merupakan band yang sebelumnya juga telah terdapat pada sensor
satelit Landsat generasi sebelumnya. Dan untuk lebih detailnya, berikut ini daftar 9
band yang terdapat pada Sensor OLI pada tabel 2.
Tabel 2.2. Karakteristik Citra Landsat OLI
Band Spektral Panjang Gelombang Panjang
(µm) Gelombang

Band 1 – Coastal/Aerosol 0.433 – 0.453 30 meter


Band 2 – Blue 0.450 – 0.515 30 meter
Band 3 – Green 0.525 – 0.600 30 meter
Band 4 – Red 0.630 – 0.680 30 meter
Band 5 – Near Infrared 0.845 – 0.885 30 meter
Band 6 – Short Wavelength 1.560 – 1.660 30 meter
Infrared

Band 7 – Short Wavelength 2.100 – 2.300 30 meter


Infrared

Band 8 - Panchromatic 0.500 – 0.680 15 meter


Band 9 - Cirrus 1.360 – 1.390 30 meter
Sumber : NASA, ”Landsat Data Continuity Mission Brochure” (Tahun 2013 dengan modifikasi).
2.5 Citra SPOT
SPOT singkatan dari (Systeme Pour I.Observation de la Terre). SPOT-1
diluncurkan pada tahun 1986. SPOT dimiliki oleh konsorsium yang terdiri dari
Pemerintah Prancis, Swedia dan Belgia. SPOT pertama kali beroperasi dengan
pushbroom sensor CCD dengan kemampuan off-track viewing di ruang angkasa.
Saat itu, resolusi spasial 10 meter untuk pankromatik dan 20 meter daerah tampak
(visible). Pada Maret 1998 sebuah kemajuan signifikan SPOT-4 diluncurkan:
sensor HRVIR mempunyai 4 di samping 3 band dan instumen VEGETATION
ditambahkan. VEGETATION didesain untuk hampir tiap hari dan akurat untuk
memonitor bumi secara global (Suwargana, 2013). Citra SPOT merupakan citra
dengan resolusi temporal yang tinggi dimana memiliki ketersediaan citra yang
bervariasi, sesuai dengan pernyataan Suwargana (2013) bahwa kisaran resolusi
temporal tinggi adalah <24 jam - 3 hari, resolusi temporal sedang antara 4-16 hari,
dan resolusi temporal rendah> 16 hari.
13
SPOT 7 merupakan citra yang memiliki resolusi tinggi yaitu 6 m hal ini sesuai
dengan pengelompokan resolusi spasial (Yanuar et al., 2018). Citra SPOT memiliki
keunggulan dibanding citra satelit lain yaitu pada sistem sensornya yang berupa dua
sensor identik yang disebut HRVIR (Haute Resolution Visibel Infrared) dan sensor
NAOMI (New AstroSat Optical Modular Instrument) dengan resolusi 6 m
(Ratermaps, 2016).
Satelit SPOT-6 dibangun oleh AIRBUS Defence & Space dan
berhasil diluncurkan pada 9 September 2012. SPOT-6 merupakan satelit
penginderaan jauh optis yang mampu menyediakan citra dengan resolusi
hingga 1.5 meter untuk pankromatik dan 6 meter untuk multispektral. Data
ini dapat diaplikasikan di bidang pertahanan, pertanian, pemantauan tutupan
lahan dan hutan, pantai, teknik, minyak, gas, dan industri pertambangan
(LAPAN, 2018).
Satelit SPOT-7 dibangun oleh AIRBUS Defence & Space dan berhasil
diluncurkan pada tanggal 30 Juni 2014. Satelit SPOT-7 merupakan satelit konstelasi
bersama dengan SPOT-6. Satelit ini dapat menyediakan citra dengan resolusi
hingga 1.5 meter dengan skala 1:25.000 dan Satelit SPOT – 7 dapat digunakan
untuk pemetaan topografi dan menganalisis studi permukaan bumi (LAPAN, 2018).
Tabel 2.3. Karakteristik Citra Satelit SPOT – 6
Mode Pencitraan Pankromatik Multispektral
Resolusi spasial 1.5 m GSD pada nadir 6 m GSD pada nadir
Resolusi spektral 450-745 nm Blue (455-525 nm)
Green (530-590 nm)
Red (625-695 nm)
NIR (760-890 nm)
Resolusi radiometrik 12 bit per piksel
Sumber : Citra Satelit Indonesia, 2021

14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah
Rai, Bali yang terletak pada 08°41’ – 08°47’ LS dan 115°10’ – 115° 15’ BT.
Pengumpulan data lapangan dilaksanakan pada bulan Oktober 2021 - Desember
2021. Pengolahan data dan analisis data dilakukan pada bulan Januari 2022 - April
2022 di Laboratorium GIS dan Remote Sensing, Fakultas Kelautan dan Perikanan,
Universitas Udayana. Lokasi pengambilan data lapangan dapat dilihat pada Gambar
3.1.

Gambar 3.1. Peta Wilayah Lokasi Penelitian


3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu Laptop, GPS, Alat tulis,
software Quantun GIS, eCognition Developer, MS Word dan MS Exel. Adapun
spesifikasi dari alat tersebut adalah sebagai berikut :

15
Tabel 3.1. Alat yang digunakan dalam Penelitian
No. Alat Spesifikasi Kegunaan
1. Laptop RAM 4 GB Mengolah data dan analisis
data
2. GPS - Penanda Koordinat data
lapangan
3. Alat tulis - Mencatat data lapangan
4. Quantum GIS Versi 2.18 Pengolahan data citra dengan
MLC dan Layout Peta
5. eCognition Developer Versi 9.01 Pengolahan data citra dengan
OBIA
6. MS Word Versi 2010 Analisis data dan penulisan
hasil pengolahan data
7. MS Exel Versi 2010 Analisis data

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Peta Rupa Bumi Indonesia
(RBI) yang di dapatkan pada portal Badan Informasi Geospasial (BIG) pada laman
(https://tanahair.indonesia.go.id/), data citra SPOT 6, citra Sentinel-2A dan citra
Landsat 8 OLI yang didapatkan dari Pusat Teknologi Data (PUSTEKDATA),
LAPAN. Adapun spesifikasi bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :

16
Tabel 3.2. Bahan yang digunakan dalam Penelitian

No. Bahan (Citra) Akuisisi Resolusi Spasial


1. Citra Sentinel-2A 28 Maret 2020 10 m

2. Citra Landsat 8 OLI 11 Maret 2020 30 m


3. SPOT 6 PMS 15 Feb 2020 1,5 m

4. Peta Perwilayah (SHP)


Kota Denpasar dan Kab. - Skala 25K
Badung

17
3.3 Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.2. Diagram Alir Penelitian

18
3.4 Metode Penelitian
Pada metode penelitian ini dibagi ke dalam 4 proses utama yaitu meliputi Pra-
pengolahan Citra Satelit, Pengolahan Citra, Ground check, dan Uji ketelitian Citra
atau Akurasi. Adapun rincian metode penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.4.1 Pra – pengolahan Citra
Data Citra yang sudah tersedia akan dilakukan proses pra-pengolahan
terlebih dahulu sebelum memasuki proses pengolahan citra. Proses Pra-pengolahan
citra meliputi Koreksi Radiometrik dan Cropping area penelitian. Berikut ini
rincian dari proses pra-pengolahan citra :
• Koreksi Atmosferik
Koreksi atmosferik dilakukan karena adanya efek atmosferik yang
mengakibatkan kenampakan bumi tidak selalu tajam. Efek atmosferik
menyebabkan gangguan pada saat perekaman, metode yang digunakan adalah Dark
Objeck Substraction (DOS) Perhitungan,DOS dapat dilihat pada persamaan (1)
𝐿𝑖
Atmospherically corrected reflectance = ........................... (1)
𝐿𝑠𝑖
Keterangan :
Li adalah piksel dari reflectance band i
Lsi adalah nilai rata-rata cahaya dalam band i.
• Cropping Area Penelitian
Pemotongan Citra atau Cropping dilakukan bertujuan untuk memfokuskan
citra pada area penelitian yang sudah dikoordinatkan terlebih dahulu, selain itu
mempermudah pada tahapan pengolahan citra. Pada pemotongan Citra daerah yang
tidak termasuk AOI (Area Of Interest) akan berwarna hitam.

3.4.2 Pengolahan Citra


• Interpretasi Citra
Interpretasi bertujuan untuk membantu mengidentifikasi citra secara visual,
sebagai deteksi pengenalan objek dengan karakteristik dan warna tertentu yang
ditangkap oleh sensor band, sebelum melakukan proses training area. Interpretasi
yang digunakan pada ketiga citra yakni menggunakan 3 kanal band dari setiap citra
yang berbeda – beda. Interpretasi yang dilakukan secara visual dengan cara

19
penggabungan dengan membuat komposit RGB, yang dibagi menjadi tiga komposit
RGB yakni :
1. True Color Composite (TCC) interpretasi objek tutupan lahan secara umum,
yang mana panjang gelombang yang digunakan merupakan penggabungan
citra untuk menghasilkan warna yang sesungguhnya (warna alami), yaitu
dengan menggabungkan data citra band Red, Green, dan Blue (Kusumo et al.,
2016).
2. Natural Color Composite (NCC) interpretasi NCC merupakan gabungan antra
band SWIR, NIR, dan Red. Pada komposit band ini, merupakan komposit band
yang memudahkan secara visual untuk tutupan lahan antara vegetasi dan
tutupan lahan lainnya.
3. False Color Composite (FCC) interpretasi FCC merupakan gabungan band
untuk menghasilkan warna yang bukan sebenarnya. Pada komposit band FCC
lebih menonjolkan objek tertentu, contohnya vegetasi, dengan menggabungkan
band SWIR, NIR, dan Blue. Dengan bantuan kanal atau band SWIR pada
Green hal ini dapat membedakan tutupan lahan vegetasi mangrove dan
vegetasi non mangrove. Dimana vegetasi mangrove dan vegetasi non
mangrove memiliki nilai pantul yang hampir mirip (Kusumo et al., 2016)
• Trainning area
Training area bertujuan untuk mengelompokkan individu piksel menjadi
kelompok piksel yang kemudian akan dianalisis berdasarkan kemiripan nilai
spektral yang dihasilkan citra. Piksel-piksel training area harus dapat dievaluasi,
diuji, dibahas, diperiksa dan dipertimbangkan dalam bentuk nilai. Proses training
area yang dilakukan menggunakan 60% dari 410 titik saat validasi lapangan atau
ground check.
• Klasifikasi Terbimbing Maximum Likelihood (MLC)
Klasifikasi citra yang digunakan yaitu Supervised classification yang didasari
pemasukan contoh objek (berupa nilai spektral) oleh operator yang biasa disebut
training area. Sebelum sampel diambil, pengguna harus mempersiapkan sistem
klasifikasi yang akan diterapkan seperti halnya klasifikasi manual dengan membagi
menjadi ke dalam 5 (lima) kelas yaitu mangrove, non mangrove, badan air, lahan
terbuka, dan lahan terbangun. Kemudian proses klasifikasi terbimbing dibantu

20
dengan menggunakan algoritma Maximum Likelihood Classification (MLC) dapat
membandingkan dan memperhitungkan nilai rata-rata dari keragaman antar kelas
dan band yang ada. Pada proses klasifikasi algoritma Maximum Likelihood
Classification (MLC) melibatkan interaksi intensif dimana dalam menentukan
training area pola spektral dengan panjang gelombang tertentu dipertimbangkan
sehingga diperoleh daerah acuan yang dapat mewakili suatu tipe kelas tertentu.
• Object Based-Image Analysis (OBIA)
Klasifikasi berdasarkan objek menggunakan metode segmentasi dengan
menggunakan software Ecognition Developer 9.0. klasifikasi yang akan diberi
pembatas antar setiap objek pada citra. Klasifikasi tiap segmen yang merupakan
pengelompokan setiap piksel yang memiliki kesamaan tekstur individual menjadi
region atau wilayah. Segmentasi yang bertujuan untuk pemisahan antar objek
klasifikasi dengan kondisi dan syarat tertentu, dengan memanfaatkan algoritma
multiresolution segmentation (MSR). Setelah melakukan proses segmentasi pada
setiap objek dibantu dengan algoritma multiresolution segmentation (MSR) baru
akan masuk pada tahap mengklasifikasikan ke dalam 5 (lima) kelas yaitu mangrove,
non mangrove, badan air, lahan terbuka, dan lahan terbangun.
3.4.3 Ground check
Validasi lapangan atau Ground check yang dilakukan bertujuan untuk
melihat hasil dari klasifikasi secara on screen pada saat pengolahan citra. Pada
validasi lapangan yang dilakukan pengambilan titik koordinat sebanyak 60 % dari
410 titik dengan metode purposive sampling. Hasil dari validasi lapangan akan
dicocokkan dengan ketiga citra yaitu citra Sentinel-2A, Landsat 8 OLI, dan SPOT
6 untuk menyempurnakan hasil klasifikasi pada citra satelit, agar hasil klasifikasi
dan data lapangan memiliki kesesuaian yang sama.
3.4.4 Uji Akurasi Citra
Data hasil validasi lapangan dan hasil klasifikasi peta tematik digunakan
untuk menghasilkan sebuah matriks kesalahan (confusion matriks) untuk mengukur
akurasi peta tematik yang dihasilkan (Congalton, 1991). Matriks kesalahan
(confusion matriks) mampu mengestimasi akurasi user (user accuracy),
kemungkinan Objek hasil klasifikasi sama dengan pengamatan validasi lapangan
dan akurasi produser (producer accuracy), mampu mengestimasi kemungkinan

21
setiap piksel kelas penutup lahan telah benar diklasifikasikan (Jhonnerie et al.,
2014). Selain itu, melakukan uji akurasi secara keseluruhan (overall accuracy)
untuk mengukur akurasi klasifikasi dari semua kelas. Hasil ketatapan klasifikasi
akan disajikan dalam bentuk matriks kesalahan pada Tabel 6 dengan perhitungan
nilai akurasi user (user accuracy), akurasi produser (producer accuracy), dan
akurasi secara keseluruhan (overall accuracy) dengan persamaan (4), (5), dan (6)
Tabel 3.3. Perhitungan Akurasi dari Klasifikasi Setiap Kelas

Data Diklasifikasikan ke kelas Producer’s


Jumlah
Referensi 1 2 3 4 Accuracy
1 X11 X12 X13 X14 X1+ X11/X1+
2 X21 X22 X23 X24 X2+ X22/X2+
3 X31 X32 X33 X34 X3+ X33/X3+
4 X41 X42 X43 X44 X4+ X44/X4+
Jumlah X+1 X+2 X+3 X+4 N
User’s
X11/X+1 X22/X+2 X33/X+3 X44/X+4
Accuracy

Producer Accuracy (PA) = (Xii / Xi+) x 100% ....................................... (4)


User Accuracy (UA) = (Xii / X+i) x 100% .............................................. (5)
∑𝑘
𝑖=1 𝑋𝑖𝑖
Overall Accuracy (OA) = x 100%................................................ (6)
𝑁

Keterangan:
Xi = nilai diagonal matriks kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i
Xi+ = jumlah piksel dalam baris ke-i
X+i = jumlah piksel dalam kolom ke-i
N = jumlah semua piksel yang digunakan dalam pengamatan
Menurut Howard (1996), nilai akurasi > 85% menunjukkan bahwa hasil
klasifikasi benar atau dapat diterima dengan tingkat kesalahan ≤ 15%, sehingga
hasil akurasi yang didapat sudah layak untuk digunakan dan tidak perlu dilakukan
si ulang.

22
3.5 Hasil Analisis
Analisis data yang dilakukan berupa hasil dari perbandingan klasifikasi dan
uji akurasi citra satelit dengan resolusi spasial yang berbeda menggunakan citra
Sentinel-2A, Landsat 8 OLI dan SPOT 6 PMS dari metode klasifikasi Maximum
Likelihood Classification (MLC) dan klasifikasi berdasarkan objek (OBIA).
Dengan membandingkan metode klasifikasi dan akurasi dari setiap citra yang
digunakan hasilnya akan menjadi parameter terbaik yang digunakan dalam
pemetaan persebaran hutan mangrove. Hasil klasifikasi dan uji akurasi pemetaan
mangrove akan disajikan dalam bentuk tabel hasil akurasi sebagai perbandingan
metode terbaik dalam pemetaan persebaran mangrove Kawasan Taman Hutan Raya
(Tahura) Ngurah Rai, Bali.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Pra Pengolahan Citra
Proses pra-pengolahan citra yang pertama melakukan proses koreksi
atmosferik pada kedua citra, yakni citra Sentinel-2A dan citra Landsat 8 OLI
menggunakan software Quantum GIS 2.18.0. dengan memanfaatkan pluggin SCP
– Prepocessing. Selanjutnya citra SPOT 6 PMS merupakan citra satelit dengan
resolusi spasial 1.5 meter, yang merupakan citra setelit dengan resolusi spasial yang
tinggi. Adapun Gambar 4.1 dan 4.2 merupakan hasil dari proses koreksi atmosferik
pada citra Sentinel-2A dan Landsat 8 OLI.

(a) (b)
Gambar 4.1. Tampilan Visual Citra Sentinel-2A (a) sebelum Proses Koreksi
Atmosferik, (b) sesudah Proses Koreksi Atmosferik.

(a) (b)
Gambar 4.2 Tampilan Visual Citra Landsat 8 OLI (a) sebelum Proses Koreksi
Atmosferik, (b) sesudah Proses Koreksi Atmosferik.
24
Terlihat pada gambar 4.1 dan 4.2 merupakan (a) sebelum dan (b) sesusah
proses koreksi atmosferik, terlihat perbedaan yang terlihat kontras di kedua citra
tersebut. Citra yang telah diproses koreksi atmosferik menghasilkan citra dengan
tampilan visual yang lebih cerah, lebih detail dan lebih jelas hal tersebut
menunjukkan bahwa bertambahnya kualitas pada citra tersebut.
Citra yang sudah melewati proses koreksi atmosferik kemudian dilakukan
cropping sesuai dengan daerah penelitian yakni pada Kawasan Taman Hutan Raya
(Tahura) Ngurah Rai, Bali. Cropping daerah penelitian dilakukan dengan
menyesuaikan bentuk dari vegetasi mangrove yang terdapat di Kawasan Taman
Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali. Adapun Sentinel-2A pada Gambar 4.3.
Landsat 8 OLI pada Gambar 4.4. SPOT 6 PMS pada Gambar 4.5.

.
(a) (b)
Gambar 4.3. Tampilan Citra Sentinel-2A (a) sebelum di cropping (b) Sesudah di
cropping

(a) (b)
Gambar 4.4. Tampilan Citra Landsat 8 OLI (a) sebelum di cropping (b) Sesudah di
cropping.

25
(a) (b)
Gambar 4.5. Tampilan citra SPOT 6 PMS (a) sebelum di cropping (b) sesudah di
cropping,
4.1.2 Pengolahan Citra
4.1.2.1 Kombinasi Band (Interpretasi Citra)
Interpretasi yang dilakukan pada proses pengolahan citra membantu untuk
melihat perbedaan dari setiap objek secara visual pada citra. Hasil interpretasi citra
merupakan gabungan dari komposit band berbeda satu dengan lainnya. Dari ketiga
citra yang digunakan, Sentinel-2A, Landsat 8 OLI, dan SPOT 6 PMS menggunakan
tiga kombinasi band yakni TCC (true color composite) pada Gambar 4.6, NCC
(natural color composite) pada Gambar 4.7, dan FCC (false color composite) pada
Gambar 4.8. Berikut ini merupakan detail hasil dari komposit band ketiga citra.

(a) (b) (c)


Gambar 4.6. Komposit Band TCC (a) Sentinel-2A Band 4-3-2 , (b) Landsat 8 OLI
Band 4-3-2 , dan (c) SPOT 6 PMS Band 3-2-1.

26
(a) (b) (c)
Gambar 4.7. Komposit Band NCC (a) Sentinel-2A Band 11-8-4 , (b) Landsat 8 OLI
Band 6-5-4 , dan (b) SPOT 6 PMS Band 3-4-1.

(a) (b) (c)


Gambar 4.8. Komposit Band FCC (a) Sentinel-2A Band 8-11-2, (b) Landsat 8
OLI Band 5-6-2 , dan (c) SPOT 6 PMS Band 4-2-3.
4.1.2.2 Ground Check (Pengamatan Lapangan)
Pengamatan lapangan (ground check) bertujuan untuk mengetahui tingkat
ketelitian dari hasil interpretasi citra. Sebelum melakukan proses trainning area
pada citra, hasil dari pengamatan lapangan sangat diperlukan sebagai data
pendukung dan penanda pada objek yang memiliki nilai pantul pada citra yang
hampir mirip. Seperti pada objek vegetasi mangrove dan vegetasi bukan mangrove.
Pengamatan lapangan dilakukan secara bertahap di 410 titik pengamatan. Pada 410
titik dibagi menjadi dua bagian dalam pengolahan citra, yakni 40 % sebanyak 164
titik digunakan untuk uji ketelitian atau uji akurasi klasifikasi dan 60 % sebanyak
246 titik digunakan untuk trainning area pada saat pengolahan citra. Pengamatan
lapangan dibantu dengan alat GPS sebagai penanda objek tersebut, pengamatan
27
lapangan yang dilakukan menggunakan koordinat dengan diberi keterangan pada
setiap objek dari masing–masing pengamatan yang dilakukan. Pengamatan
lapangan (ground check) dilakuan dengan memfokuskan objek – objek yang dekat
dengan vegetasi mangrove, hal tersebut bertujuan agar objek vegetasi mangrove
tidak salah terdeteksi pada saat melakukan proses training area. Selanjutnya
pengamatan lapangan dilakukan untuk membandingkan hasil dari interpretasi citra
dengan objek yang ditemukan di lapangan. Gambar 4.9 merupakan persebaran titik
pengamatan lapangan.

Gambar 4.9. Peta Persebaran Pengamatan Lapangan (Ground Check)

4.1.2.3 Trainning Area


Kelas pembagian pada training area yang dilakukan melihat hasil dari
interpretasi secara visual dan pengamatan di lapangan (Ground Check), proses
training area dilakukan sebagai acuan proses klasifikasi secara terbimbing
(Supervised Classification) dengan metode maximum likelihood, ditemukan 5
(lima) pembagian kelas yang terlihat signifikan diantaranya kelas mangrove, kelas
badan air, kelas lahan terbuka, kelas vegetasi non mangrove, dan kelas lahan
terbuka. Kelima kelas yang sudah terpisah akan lebih mudah pada proses training

28
area, proses training area membantu sebagai acuan yang digunakan pada proses
klasifikasi citra. Training area dilakukan bertujuan untuk meminimalisir kesalahan
pemilihan objek pada sampel citra. Trainnng area yang dilakukan menggunakan
base map hasil interpretasi citra dengan komposit band FCC (False Composite
Color) dan menggunakan data pendukung yang diperoleh dari pengamatan di
lapangan secara langsung. Menggunakan kombinasi band Near Infrared (NIR) dan
Short Wavelength InfraRed (SWIR) membantu proses tranning area yang
dilakukan secara visual dapat dengan mudah untuk membedakan objek sampel
antar kelas, selain itu dibantu dengan hasil pengamatan di lapangan secara langsung
dapat dengan mudah membedakan secara langsung pada saat proses training area.
4.1.2.4 Segmentasi Citra
Segmentasi citra yang dilakukan sebagai acuan proses klasifikasi Object-
Based Image Analysis (OBIA) dengan algoritma multiresolution segmentation
(MSR). Segmentation citra pada metode Object-Based Image Analysis (OBIA)
menggunakan base map hasil interpretasi komposit band FCC dan hasil
pengamatan di lapangan secara langsung sama seperti yang dilakukan pada proses
training area. Proses segmentasi yang dilakukan bertujuan untuk memisahkan objek
pada citra menjadi beberapa bagian sesuai dengan bentuk objek pada citra dan nilai
parameter seperti scale, bentuk (shape), dan kekompakan (compactness) yang
terbaik dan sesuai. Nilai parameter yang digunakan setiap citra berbeda dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Nilai Parameter Segmentasi Citra.
Scale Shape Compactness
(kekompakkan)
Sentinel-2A 3 0.5 0.9
Landsat 8 OLI 1 0.8 0.9
SPOT 6 PMS 60 0.5 0.9

4.1.2.5 Klasifikasi Terbimbing Maximum Likelihood (MLC)


Proses klasifikasi dilakukan secara terbimbing (Supervised Classification)
dengan metode Maximum Likelihood yang sering digunakan dalam pemetaan
tutupan lahan, Maximum Likelihood merupakan metode yang paling umum
digunakan dalam proses klasifikasi (Jia et al., 2014). Berikut ini Gambar 4.10
merupakan hasil klasifikasi metode maximum likelihood.
29
(a)

(b)

30
(c)
Gambar 4.10. Peta Tematik Persebaran Mangrove Di Tahura Ngurah Rai, Bali
dengan Klasifikasi Maximum Likelihood (a) Hasil Klasifikasi Citra
Sentinel-2A, (b) Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI, dan (c) Hasil
Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS.
Berdasarkan hasil klasifikasi menggunakan metode Maximum Likelihood
Classification (MLC) menghasilkan luasan mangrove dan lahan non mangrove di
Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali melalui Geographic
Information System (GIS). Adapun tabel luasan mangrove dan lahan non mangrove
dengan metode Maximum Likelihood (MLC) dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Area Kelas Mangrove dan Lahan Non Mangrove dengan Metode
Maximum Likelihood (MLC)
Kelas Sentinel-2A Landsat 8 OLI SPOT 6 PMS
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)
1 (M) 1024.32943 19.32 1002.78 19.17 921.2648 16.86
2 (NM) 4278.17057 80.68 4228.56 80.83 4541.641 83.14
total 5302.5 100 5231.34 100 5462.906 100
Ket : (M) Mangrove dan (NM) Lahan Non Mangrove.
4.1.2.6 Klasifikasi Object-Based Image Analysis (OBIA)
Proses klasifikasi berdasarkan objek merupakan pendekatan yang pada
proses klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan aspek spektral dan spasialnya
saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek bentuk objek pada citra yang digunakan.
31
Pada proses klasifikasi dengan metode Object-Based Image Analysis (OBIA)
menggunakan algoritma multiresolution segmentation (MSR). Berikut ini Gambar
4.10 merupakan hasil klasifikasi metode Object-Based Image Analysis (OBIA).

(a)

(b)

32
(c)
Gambar 4.11. Peta Tematik Persebaran Mangrove Di Tahura Ngurah Rai, Bali
Dengan Klasifikasi Object-Based Image Analysis (OBIA) (a) Hasil
Klasifikasi Citra Sentinel-2A, (b) Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8
OLI, Dan (c) Hasil Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS.
Berdasarkan hasil klasifikasi menggunakan metode Object-Based Image
Analysis (OBIA) menghasilkan luasan mangrove dan lahan non mangrove di
Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali melalui Geographic
Information System (GIS). Adapun tabel luasan mangrove dan lahan non mangrove
dengan metode Object-Based Image Analysis (OBIA) dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Area Kelas Mangrove dan Lahan Non Mangrove dengan Metode Object-
Based Image Analysis (OBIA)
Kelas Sentinel-2A Landsat 8 OLI SPOT 6 PMS
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)
1 (M) 1057.28505 19.33 1060.087 19.53 912.7071 16.83
2 (NM) 4413.27495 80.67 4368.263 80.47 4509.979 83.17
total 5470.56 100 5428.35 100 5422.686 100
Ket : (M) Mangrove dan (NM) Lahan Non Mangrove.
4.1.3 Uji Akurasi Citra
Perhitungan akurasi dari hasil klasifikasi citra menggunakan matriks
kesalahan atau yang biasa disebut dengan confussion matriks yang terdiri dari 5
perhitungan yaitu terdiri dari user accuracy (UA), procedur accuracy (PA),
33
overall accuracy (OA), omission error (OE), dan commission error (CE) dengan
data lapangan yang digunakan sebayak 164 titik diantaranya terdiri dari kelas
mangrove (M), Badan Air (BA), Lahan Terbuka (LT), Vegetasi non mangrove
(NM), dan Lahan Terbangun (TB). Hasil perhitungan akurasi dari setiap citra dapat
lihat pada setiap tabel. Perhitungan akurasi dari hasil klasifikasi menggunakan citra
Sentinel-2A pada Tabel 4.4. untuk Conffusion matriks algoritma Maximum
Likelihood (MLC) dan Tabel 4.5. untuk Conffusion matriks algoritma Object-Based
Image Analysis (OBIA).
Tabel 4.4. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Sentinel-2A Persebaran Mangrove
Algoritma Maximum Likelihood (MLC).
Hasil Pengamatan Data Lapangan total UA CE
Klasifikasi M BA LT NM LB A (%) (%)
M 69 0 0 0 0 0 69 100 0
BA 0 14 0 0 0 0 14 100 0
LT 0 1 11 1 2 0 15 73.33 26.67
NM 2 0 2 35 1 0 40 87.5 12.5
LB 0 0 1 0 24 0 25 96 4
A 0 0 0 0 0 1 1 100 0
total 71 15 14 36 27 1 164
PA (%) 97.18 93.33 78.57 97.22 88.89 100 OA (%) 93.90
EO (%) 31 6.67 21.43 2.78 11.11 0

Tabel 4.5. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Sentinel-2A Persebaran Mangrove


Algoritma Object-Based Image Analysis (OBIA).
Hasil Pengamatan Data Lapangan total UA CE (%)
Klasifikasi M BA LT NM LB A (%)
M 65 2 1 1 0 0 69 94.2 5.8
BA 0 14 0 0 0 0 14 100 0
LT 0 3 12 0 0 0 15 80 20
NM 2 0 1 34 3 0 40 85 15
LB 0 0 2 2 21 0 25 84 16
A 0 0 0 0 0 1 1 100 0
Total 67 19 16 37 24 1 164
PA (%) 97 73.69 75 91.89 87.5 100 OA (%) 89.60
EO (%) 3 26.31 25 8.11 12.5 0

Perhitungan akurasi dari hasil klasifikasi menggunakan citra Landsat 8


OLI pada Tabel 4.6. untuk Conffusion matriks algoritma Maximum Likelihood

34
(MLC) dan Tabel 4.7. untuk Conffusion matriks algoritma Object-Based Image
Analysis (OBIA).
Tabel 4.6. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Persebaran
Mangrove Algoritma Maximum Likelihood (MLC).
Hasil Pengamatan Data Lapangan total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M BA LT NM LB
M 67 0 1 2 0 70 95.71 4.29
BA 0 14 0 0 0 14 100 0
LT 0 3 10 1 1 15 66.67 33.33
NM 3 0 3 32 2 40 80 20
LB 0 0 1 1 23 25 92 8
Total 70 17 15 36 26 164
PA (%) 95.71 82.35 66.67 88.9 88.46 OA (%) 89.02
EO (%) 4.29 17.65 33.33 11.1 11.54

Tabel 4.7. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Persebaran


Mangrove Algoritma Object-Based Image Analysis (OBIA)
Hasil Pengamatan Data Lapangan total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M BA LT NM LB
M 68 0 0 0 1 70 97.14 2.86
BA 0 13 1 0 0 14 92.85 7.15
LT 0 1 13 1 0 15 86.67 13.33
NM 0 0 1 36 3 40 90 10
LB 0 0 1 2 22 25 88 12
total 68 14 16 40 26 164
PA (%) 100 92.85 81.25 90 84.61 OA (%) 92.68
EO (%) 0 7.15 18.75 10 15.39

Perhitungan akurasi dari hasil klasifikasi menggunakan citra SPOT 6 PMS


pada Tabel 4.8 untuk Conffusion matriks algoritma Maximum Likelihood (MLC)
dan Tabel 4.9. untuk Conffusion matriks algoritma Object-Based Image Analysis
(OBIA).
Tabel 4.8. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS Persebaran Mangrove
Algoritma Maximum Likelihood (MLC).
Hasil Pengamatan Data Lapangan Total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M BA LT NM LB
M 57 0 0 13 0 70 81.42 18.58
BA 0 14 0 0 0 14 100 0
LT 0 3 8 0 4 15 53.34 46.66
35
NM 2 0 3 34 1 40 85 15
LB 0 0 4 0 21 25 84 16
total 59 17 15 47 26 164
PA (%) 96.61 82.35 53.34 72.34 80.76 OA (%) 81.7
EO (%) 3.39 17.65 46.66 27.66 19.24

Tabel 4.9. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS Persebaran


Mangrove Algoritma Object-Based Image Analysis (OBIA).
Hasil Pengamatan Data Lapangan Total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M BA LT NM LB
M 67 1 1 0 1 70 95.71 4.29
BA 0 14 0 0 0 14 100 0
LT 0 3 10 1 1 15 66.67 33.33
NM 2 0 1 29 8 40 7.25 92.75
LB 2 0 2 2 19 25 76 24
total 71 18 14 32 29 164
PA(%) 94.36 77.78 71.42 90.62 65.51 OA (%) 84.75
EO (%) 5.64 22.22 28.58 9.38 34.49

Berikut ini Tabel 4.10. merupakan hasil gabungan Overall Accuracy (OA)
dari hasil perhitungan nilai akurasi menggunakan 5 (lima) kelas (Mangrove, badan
air, lahan terbuka, vegetasi non mangrove dan lahan terbuka).
Tabel 4.10. Hasil Gabungan Overall Accuracy (OA) 5 Kelas Klasifikasi.
Metode Overall Accuracy (%)
Klasifikasi Sentinel-2A Landsat 8 OLI SPOT 6 PMS
Maximum lilkelihood 93.90% 89.02% 81.70%
Object-Based Image 89.60% 92.68% 84.75%
Analysis

Tingkat akurasi klasifikasi dalam pemetaan mangrove menggunakan 5


(lima) kelas menghasilkan nilai akurasi yang berbeda pada setiap citra dan
alogoritma yang digunakan, semakin banyak kelas yang digunakan pada saat proses
klasifikasi maka hasil akurasi akan semakin spesifik selain itu melihat hasil dari
confussion matriks, bahwa kelas lahan terbuka menunjukkan nilai erorr paling
tinggi baik omission error (OE) maupun commission error (CE) yang mana pada
akhirnya kelas lahan terbuka akan dimasukkan ke dalam kelas Lahan non mangrove
(LNM). Maka dari itu perlunya perhitungan nilai akurasi dari kedua kelas utama

36
dalam penelitian ini yaitu kelas mangrove (M) dan lahan non mangrove (LNM).
Pada kelas mangrove hanya terdapat vegetasi mangrove saja yang ada didalamnya
selanjutnya kelas lahan non mangrove terdiri dari 4 kelas gabungan lainnya seperti
badan air, lahan terbuka, vegetasi non mangrove dan lahan terbangun. Pada
perhitungan akurasi 2 kelas ini menggunakan data lapangan yang sama yakni
sebanyak 164 titik diantaranya terdiri dari 70 titik kelas mangrove (M) dan 94 titik
kelas lahan non mangrove (LNM). Hasil perhitungan akurasi dari setiap citra dapat
lihat pada setiap tabel. Perhitungan akurasi dari hasil klasifikasi 2 kelas
menggunakan citra Sentinel-2A pada Tabel 4.11. untuk Conffusion matriks
algoritma Maximum Likelihood (MLC) dan Tabel 4.12. untuk Conffusion matriks
algoritma Object-Based Image Analysis (OBIA).
Tabel 4.11. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Sentinel-2A Persebaran Lahan
Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Maximum
Likelihood (MLC).
Hasil Data Lapangan Total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M LNM
M 66 4 70 94.28 5.72
LMN 0 94 94 100 0
total 66 98 164
PA (%) 100 95.91 OA (%) 97.56
EO (%) 0 4.09

Tabel 4.12. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Sentinel-2A Persebaran Lahan


Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Object-
Based Image Analysis (OBIA).
Hasil Data Lapangan Total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M LNM
M 65 5 70 92.85 7.15
LNM 1 93 94 98.93 1.07
total 66 98 164
PA (%) 98.48 94.89 OA (%) 96.34
EO (%) 1.52 5.11

Perhitungan akurasi dari hasil klasifikasi 2 kelas menggunakan citra


Landsat 8 OLI pada Tabel 4.13. untuk Conffusion matriks algoritma Maximum

37
Likelihood (MLC) dan Tabel 4.14. untuk Conffusion matriks algoritma Object-
Based Image Analysis (OBIA).
Tabel 4.13. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Persebaran Lahan
Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Maximum
Likelihood (MLC).
Hasil Data Lapangan Total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M LNM
M 63 7 70 90 10
LNM 0 94 94 100 0
total 63 101 164
PA (%) 100 93 OA (%) 95.73
EO (%) 0 7

Tabel 4.14. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI Persebaran Lahan
Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Object-Based
Image Analysis (OBIA).
Hasil Data Lapangan Total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M LNM
M 62 8 70 88.57 11.43
LNM 1 93 94 98.93 1.07
Total 63 101 164
PA (%) 98.41 92 OA (%) 94.51
EO (%) 1.59 8

Perhitungan akurasi dari hasil klasifikasi 2 kelas menggunakan citra SPOT


6 PMS pada Tabel 4.15. untuk Conffusion matriks algoritma Maximum Likelihood
(MLC) dan Tabel 4.16. untuk Conffusion matriks algoritma Object-Based Image
Analysis (OBIA).
Tabel 4.15. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS Persebaran Lahan
Mangrove dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Maximum
Likelihood (MLC).
Hasil Data Lapangan Total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M LNM
M 50 20 70 71.42 28.58
LNM 0 94 94 100 0
Total 50 114 164
PA (%) 100 82.45 OA (%) 87.80
EO (%) 0 17.55

38
Tabel 4.16. Conffusion Matriks Klasifikasi Citra SPOT 6 PMS Persebaran Lahan
Mangrove Dan Lahan Non Vegetasi Mangrove Algoritma Object-
Based Image Analysis (OBIA).
Hasil Data Lapangan Total UA (%) CE (%)
Klasifikasi M LNM
N 54 16 70 77.14 22.86
LNM 1 93 94 98.93 1.07
Total 55 109 164
PA (%) 98.18 85.32 OA (%) 89.63
EO (%) 1.82 14.68

Berikut ini Tabel 4.17. merupakan hasil gabungan Overall Accuracy (OA)
dari hasil perhitungan nilai akurasi menggunakan 2 kelas (Mangrove dan Lahan non
mangrove).
Tabel 4.17. Hasil Gabungan Overall Accuracy (OA) 2 Kelas Klasifikasi.
Metode Overall Accuracy (%)
Klasifikasi Sentinel-2A Landsat 8 OLI SPOT 6 PMS
Maximum lilkelihood 97.56% 95.73% 87.80%
Object-Based Image 96.34% 94.51% 89.63%
Analysis

4.2 Pembahasan
4.2.1 Pra Pengolahan Citra
Proses pra-pengolahan citra yang pertama melakukan proses koreksi
atmosferik pada kedua citra, yakni citra Sentinel-2A dan citra Landsat 8 OLI
menggunakan software Quantum GIS 2.18.0. dengan memanfaatkan pluggin SCP
– Prepocessing. Selanjutnya citra SPOT 6 PMS merupakan citra satelit dengan
resolusi spasial 1.5 meter, yang merupakan citra satelit dengan resolusi spasial yang
tinggi. Citra SPOT 6 PMS merupakan data dengan resolusi spasial 1.5 meter, yang
mana tidak memerlukan koreksi kembali, dalam penelitian (Lukiawan et al., 2019)
menyatakan bahwa standar koreksi pada suatu citra yang dilakukan pada citra satelit
khususnya resolusi menengah khususnya pada resolusi spasial 4-30 meter, perlu
koreksi dasar citra agar memiliki sifat dasar dalam bentuk dan skala sesuai dengan
objek di permukaan bumi.
Proses koreksi atmosferik bertujuan untuk memperbaiki nilai citra yang
tersimpan dalam bentuk digital (DN) digital number menjadi radiance atau dapat
39
disebut dengan reflectance. Selain itu pada proses koreksi atmosferik ini merupakan
proses memperbaiki kualitas citra secara visual akibat adanya kesalahan pantulan
yang sampai ke permukaan bumi, terdapat faktor lain seperti sinar matahari, kondisi
awan, kondisi cuaca, kondisi atmosfer dan faktor lainnya karena adanya efek
atmosferik yang mengakibatkan kenampakan bumi tidak terlihat tampak tajam
secara visual. Proses koreksi atmosferik yang dilakukan dengan meliputi proses
kalibrasi Radiometrik dan Koreksi Atmosferik. Koreksi radiometrik yang
dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode Dark Object Substraction
(DOS). Metode DOS ini merupakan metode koreksi radiometrik yang paling
sederhana.
Citra yang sudah melewati proses atmosferik kemudian dilakukan
cropping sesuai dengan daerah penelitian yakni pada Kawasan Taman Hutan Raya
(Tahura) Ngurah Rai, Bali. Cropping daerah penelitian dilakukan dengan
menyesuaikan bentuk dari vegetasi mangrove yang terdapat di Kawasan Taman
Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali. Dengan dasar pertimbangan agar proses
pengolahan tranning area sampai dengan klasifikasi dapat fokus pada daerah
penelitian yang telah ditentukan, selain itu pada proses pengolahan agar tidak
memerlukan kapasitas file yang besar. Proses cropping menggunakan file SHP
yang sama untuk memotong ketiga citra, agar menghasilkan bentuk dan ukuran
yang sama di ketiga citra.
4.2.2 Pengolahan Citra
4.2.2.1 Kombinasi Band (Interpretasi Citra)
Komposit band pada Gambar 4.6. (a) dan (b) yakni kombinasi RGB 4-3-
2. Citra Sentinel-2A dan Landsat 8 OLI, kombinasi ini menggunakan komposisi
band RGB (Red-Green-Blue). Kombinasi RGB 4-3-2 merupakan sebagaimana
warna asli pada objek tersebut. Tampilan warna merah dan kecokelatan pada citra
merupakan tangkapan dari Band 4 (Red) berupa objek tanah, pemukiman, lahan
terbangun, pasir dan bangunan atau objek yang memiliki kedalaman yang dangkal.
Nilai pantul elektromagnetik yang dihasilkan membuat warna pada objek terlihat
lebih cerah hal ini dikarenakan energi yang mengenai objek lebih banyak
dipantulkan. Kemudian yang menghasilkan warna hijau pada citra merupakan
tangkapan dari band 3 (Green) merupakan objek vegetasi, namun pada band ini

40
belum dapat dibedakan dari segi jenis pada vegetasi tersebut. Nilai pantul menyerap
vegetasi yang memiliki cahaya tampak (visible range) warna tersebut menunjukkan
terjadinya pantulan nilai spektral yang membuat warna vegetasi tersebut memiliki
warna hijau yang terang. Warna biru yang tampak pada citra merupakan tangkapan
dari band 2 (blue), pada band ini objek yang ditangkap adalah air. Objek air
menyerap energi elektromegnetik tersebut sehingga objek air akan tampak gelap.
Kombinasi band RGB 3-2-1 pada Gambar 4.6. (c) citra SPOT 6 PMS
menggunakan kanal band RGB (Red, Green, dan Blue). Band 3 (Red) menangkap
objek dengan warna merah dan kecokelatan ini menunjukkan pembagian pada
objek lahan, pemukiman hingga bangunan. Nilai pantul pada kanal ini membantu
untuk membedakan antara objek vegetasi dan objek bangunan yang terdapat dicitra.
Band 2 (Green) menangkap objek dengan warna hijau. Pada band 2 digunakan
untuk nilai hijau tumbuhan (klorofil) namun belum dapat dibedakan dari segi jenis
pada tumbuhan atau vegetasi tersebut. Selanjutnya pada band 1 (Blue) menangkap
objek dengan warna biru, tembus terhadap tubuh air yang mana nilai pantul dari
kanal Blue band 1 cenderung menghasilnya warna yang gelap dibandingkan dengan
kanal Green dan Red. Kombinasi band RGB 4-3-2 dan 3-2-1 menghasilkan
tampilan visual secara alami dari warna citra tersebut, dapat dibandingkan antara
objek bangunan, vegetasi, dan air. Namun kombinasi band RGB 4-3-2 dan 3-2-1
belum dapat membedakan antara vegetasi mangrove dan vegetasi non mangrove.
Pada komposit band NCC (natural color composite) di ketiga citra
menggunakan kombinasi band RGB yang berbeda satu citra dengan citra yang
lainnya. Komposit band NCC merupakan kombinasi antara band kanal NIR (Near
Infrared), SWIR (Short Wavelength InfraRed) dan Red. Gambar 4.7. merupakan
detail hasil dari komposit band NCC dari ketiga citra
Komposit band pada Gambar 4.7. (a) dan (b) yakni menggunakan
kombinasi kanal band (Short Wavelength InfraRed, Near Infrared, Red). Pada citra
Sentinel-2A yaitu kombinasi band RGB 11-8-2, dan pada citra Landsat 8 OLI yaitu
kombinasi band RGB 6-5-4. Kanal band SWIR (Short Wavelength InfraRed)
menangkap objek berwarna merah dan putih. Pada objek berwarna merah
menunjukkan bangunan dan tanah seperti pemukiman dan bangunan – bangunan
lainnya, sedangkan objek yang ditangkap dengan warna putih menunjukkan lahan

41
terbuka. Selanjutnya pada kanal band NIR (Near Infrared) ini menangkap objek
vegetasi. Objek yang ditangkap merupakan vegetasi dengan tingkat kecerahan yang
berbeda – beda. Objek vegetasi dengan warna yang cerah menunjukkan vegetasi
dengan pertumbuhan yang jarang, jika dilihat dari segi jenis pertumbuhannya
menunjukkan bahwa vegetasi non mangrove. Sedangkan pada objek vegetasi
dengan warna yang gelap menunjukkan vegetasi dengan pertumbuhan yang padat,
jika dilihat dari segi jenis pertumbuhannya menunjukkan bahwa vegetasi
mangrove. Kanal Band Red menangkap objek berwarna gelap pada citra yaitu biru
yang merupakan objek air. Objek air pada sinar tampak lebih menyerap energi
elektromagnetik yang dipancarkan pada objek karena air menyerap spektrum biru
dan merah untuk fotosintesis karena pada dasarnya tubuh air terdapat keberadaan
klorofil.
Kombinasi band RGB 3-4-1 pada Gambar 4.7. (c) citra SPOT 6 PMS
menggunakan kanal band RGB (Red, Near Infrared, dan Blue). Pada kombinasi
band citra SPOT 6 berbeda dengan kombinasi citra Sentinel-2A dan Landsat 8 OLI.
Hal ini terlihat pada hasil visual citra SPOT 6, kombinasi band RGB 3-4-1 tidak
dapat merepresentasikan objek citra. Warna hijau pada citra menjadi lebih dominan
tidak dapat membedakan antara objek vegetasi, bangunan, dan pemukiman.
Dikarenakan kanal band pada citra SPOT 6 PMS tidak terdapat kanal band SWIR
(Short Wavelength InfraRed) yang dapat membantu menangkap objek berwarna
merah dan putih. Pada objek berwarna merah menunjukkan bangunan dan tanah
seperti pemukinan dan bangunan – bangunan lainnya.
Pada komposit band FCC (false color composite) diketiga citra
menggunakan kombinasi band RGB yang berbeda satu citra dengan citra yang
lainnya. Komposit band FCC merupakan kombinasi antara band kanal NIR (Near
Infrared), SWIR (Short Wavelength InfraRed) dan Blue (Achmad et al., 2020).
Gambar 4.8. merupakan detail hasil dari komposit band FCC dari ketiga citra
Komposit band pada Gambar 4.8. (a) dan (b) yakni menggunakan
kombinasi kanal band (Near Infrared, Short Wavelength InfraRed, dan Blue). Pada
citra Sentinel-2A yaitu kombinasi band RGB 8-11-2, dan pada citra Landsat 8 OLI
yaitu kombinasi band RGB 5-6-2. Kanal band Near Infrared dapat mendeteksi
vegetasi sebagai warna merah kecokelatan, hal ini dikarenakan kanal kanal band

42
Near Infrared memiliki pantulan nilai spektral tinggi karena spektrum merah lebih
menyerap banyak energi untuk fotosintesis pada daun. Pada kanal band Short
Wavelength InfraRed mendeteksi objek tanah yang berwarna hijau dan putih. Pada
kanal band Blue menangkap objek air, objek air berupa sinar tampak menyerap
energi elektromagnetik yang dipancarkan pada objek air karena menyerap spektrum
biru dan merah untuk fotosintesis.
Kombinasi band RGB 4-2-3 pada Gambar 4.8. (c) citra SPOT 6 PMS
menggunakan kanal band RGB (Near Infrared, Green, dan Red). kanal band Near
Infrared dapat mendeteksi objek tanah, bangunan dan pemukiman mendeteksi
objek dengan warna merah dan kecokelatan pada citra, kemudian kanal band Green
dapat mendeteksi warna merah pada objek vegetasi, namun pada kanal band ini
tidak dapat terlihat dengan baik secara visual antara vegetasi mangrove dan vegetasi
non mangrove karena menghasilkan pantulan warna yang sama pada citra tersebut.
Selanjutnya pada kanal band Red dapat mendeteksi warna biru atau gelap pada
objek air. Pada kombinasi band RGB 4-2-3 menghasilkan interpretasi citra yang
kurang baik dalam pemetaan tutupan lahan. Setiap objek pada citra tersebut tidak
dapat di representasikan dengan baik di kanal band kombinasi 4-2-3 citra SPOT 6
PMS. Dikarenakan pada kanal band citra SPOT 6 PMS tidak terdapat kanal SWIR
(Short Wavelength InfraRed).
Pentingnya kanal band Short Wavelength InfraRed dalam pemetaan
tutupan lahan, karena pada kanal band Short Wavelength InfraRed memiliki
kemampuan dalam memetakan vegetasi mangrove dengan vegetasi non mangrove
dimana kedua objek tersebut memiliki nilai pantul yang mirip. Jika kedua objek
tersebut mampu dibedakan dengan baik maka interpretasi tersebut berhasil
dilakukan, karena interpretasi secara visual dilakukan berdasarkan pada pengenalan
objek secara karakteristik berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti warna,
bentuk, ukuran, pola, tekstur, bayangan, letak dan asosiasi kenampakan objek
(Sampurno, 2016).
4.2.2.2 Klasifikasi Terbimbing Maximum Likelihood (MLC)
Maximum Likelihood didasarkan pada pertimbangan peluang suatu piksel
untuk dikelaskan menjadi suatu kategori tertentu. Peluang ini dikenal juga sebagai
prior probability. Peluang ini berdasarkan pada jumlah kelas yang akan

43
diklasifikasikan, apabila peluang suatu piksel tidak diketahui maka besarnya
peluang piksel tersebut masuk ke dalam suatu kelas dinyatakan sama. Aturan ini
juga disebut sebagai Aturan Keputusan Bayes (Jaya, 2010).
Berdasarkan hasil klasifikasi menggunakan algoritma Maximum
Likelihood Classification (MLC) pada Gambar 4.10. (a) Hasil klasifikasi Citra
Sentinel-2A, menunjukkan bahwa dari hasil klasifikasi menggunakan citra
Sentinel-2A baik dalam menggambarkan objek pada setiap kelas yang digunakan.
Terlihat dapat dibedakan dengan jelas secara visual antara kelas mangrove, badan
air, lahan terbuka, vegetasi non mangrove dan lahan terbangun. Kemudian pada
Gambar 4.10. (b) Hasil klasifikasi Citra Landsat 8 OLI, menunjukkan bawah dari
hasil klasifikasi menggunakan citra Landsat 8 OLI cukup baik dalam
menggambarkan objek pada setiap kelas yang digunakan. Namun masih ada dari
kelas vegetasi non mangrove yang terbaca atau terdeteksi kelas mangrove. Pada
Gambar 4.10. (c) Hasil klasifikasi Citra SPOT 6 PMS, menunjukkan bahwa dari
hasil klasifikasi menggunakan citra SPOT 6 PMS kurang baik dalam
menggambarkan objek pada setiap kelas yang digunakan, dapat terlihat bahwa
banyak kelas yang bukan termasuk vegetasi non mangrove, tetapi terdeteksi ke
dalam kelas vegetasi mangrove.
Berdasarkan perhitungan pembagian area lima kelas klasifikasi yaitu
Mangrove, Badan air, Lahan Terbuka, Non Mangrove, dan Lahan Terbangun
diperoleh dengan Metode Maximum Likelihood Classification (MLC) pada citra
Sentinel-2A menunjukkan bahwa luas area mangrove 1140.6 ha (13.7%), pada citra
Landsat 8 OLI menunjukkan bahwa luas area mangrove 1144.7 ha (13.8%), dan
pada citra SPOT 6 PMS menunjukkan bahwa luas area mangrove 1097.9 ha
(13.2%). Selanjutnya, berdasarkan perhitungan area kelas mangrove dan lahan non
mangrove diperoleh dengan Metode Maximum Likelihood Classification (MLC)
pada citra Sentinel-2A menunjukkan bahwa luas area mangrove 1024.3 ha
(19.32%), pada citra Landsat 8 OLI menunjukkan bahwa luas area mangrove
1002.78 ha (19.17%), dan pada citra SPOT 6 PMS menunjukkan bahwa luas area
mangrove 921.26 ha (16.86%).
Perbandingan dari hasil klasifikasi dengan algoritma Maximum Likelihood
Classification (MLC) ketiga citra yang digunakan yakni Sentinel-2A, Landsat 8

44
OLI, dan SPOT 6 PMS menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan pada hasil
klasifikasi citra. Hasil tersebut dipengaruhi oleh perbedaan spektral range, resolusi
spektral dan resolusi spasial dari setiap citra. Mengacu pada Tabel 2.1 Karakteristik
citra Sentinel-2A, Tabel 2.2. Karakteristik citra Landsat 8 OLI dan Tebel 2.3.
Karakteristik citra SPOT 6. Pada citra Sentinel-2A memiliki resolusi sprektral range
dengan masing–masing nilai range -0.115 , -0.09 dan -0,065 dari komposit band
FCC (8-11-2) dan resolusi spasial 10 meter. Pada citra Landsat 8 OLI memiliki
resolusi sprektral range dengan masing–masing nilai range -0.04 , -0.1 , dan -0,065
dari komposit band FCC (5-6-2) dan resolusi spasial dan 30 meter, dan pada citra
SPOT 6 PMS memiliki resolusi spektral range dengan masing–masing nilai range
-0.13, -0.06, dan -0.07 dari komposit band FCC (4-2-3) dan resolusi spasial 1.5
meter.
Resolusi spektral range atau rentang Panjang nilai resolusi spektral dapat
mempengaruhi deteksi objek pada suatu citra. Semakin Panjang nilai spektral range
pada citra tersebut maka akan semakin sulit untuk mendeteksi objek pada citra.
Namun sebaliknya, apabila nilai spektral range pada citra tersebut semakin pendek
maka akan semakin baik objek pada citra tersebut terdeteksi. Sulitnya objek
mangrove terdeteksi dengan baik pada citra SPOT 6 PMS dikarenakan nilai spektral
range pada citra ini tidak seperti pada citra Sentinel-2A dan Landsat 8 OLI. Pada
penelitian As-syakur, et al (2010) menyatakan bahwa untuk mendeteksi objek
homogen seperti hutan (mangrove) dan persawahan dapat menggunakan citra satelit
dengan resolusi spektral yang tinggi. Hal tersebut sama dengan hasil dari penelitian
ini yang menunjukkan bahwa objek kelas mangrove dan vegetasi non mangrove
(objek homogen) dapat dideteksi dengan baik dengan menggunakan citra Sentinel-
2A dan Landsat 8 OLI yang merupakan citra dengan resolusi spektral yang lebih
tinggi dibandingkan citra SPOT 6 PMS.
4.2.2.3 Klasifikasi Object-Based Image Analysis (OBIA)
Proses klasifikasi berdasarkan objek merupakan pendekatan yang pada
proses klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan aspek spektral dan spasialnya
saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek bentuk objek pada citra yang digunakan.
Objek dibentuk melalui proses segmentasi yang merupakan proses pengelompokan
piksel berdekatan dengan kualitas yang sama (kesamaan spektral) dengan

45
menggunakan metode segmentasi dengan diberi pembatas antar setiap objek pada
citra. Pada proses klasifikasi dengan metode Object-Based Image Analysis (OBIA)
menggunakan algoritma Multiresolution Segmentation (MSR). Klasifikasi ini
menggunakan prinsip bahwa diperlukan sampel dengan tipikal yang mewakili
masing-masing kelas pada citra. Berdasarkan sampel yang telah digunakan,
algoritma mencari sample objek citra terdekat dalam ruang fitur (feature space)
pada setiap objek citra. Hasil klasifikasi sangat ditentukan oleh ketelitian operator
pada saat menentukan training area (Setiani et al., 2016).
Berdasarkan hasil klasifikasi menggunakan metode Object-Based Image
Analysis (OBIA) pada Gambar 4.11. (a) Hasil klasifikasi Citra Sentinel-2A,
menunjukkan bahwa dari hasil klasifikasi menggunakan citra Sentinel-2A baik
dalam menggambarkan objek pada setiap kelas yang digunakan. Terlihat dapat
dibedakan dengan jelas secara visual antara kelas mangrove, badan air, lahan
terbuka, vegetasi non mangrove dan lahan terbangun. Kemudian pada Gambar 4.11.
(b) Hasil klasifikasi Citra Landsat 8 OLI, menunjukkan bahwa dari hasil klasifikasi
menggunakan citra Landsat 8 OLI cukup baik dalam menggambarkan objek pada
setiap kelas yang digunakan. Namun masih ada dari kelas vegetasi non mangrove
yang terbaca atau terdeteksi kelas mangrove. Pada Gambar 4.11. (c) Hasil
klasifikasi Citra SPOT 6 PMS, menunjukkan bahwa dari hasil klasifikasi
menggunakan citra SPOT 6 PMS kurang baik dalam menggambarkan objek pada
setiap kelas yang digunakan, dapat terlihat bahwa banyak kelas yang bukan
termasuk vegetasi non mangrove, tetapi terdeteksi ke dalam kelas vegetasi
mangrove.
Berdasarkan perhitungan pembagian area lima kelas klasifikasi yaitu
Mangrove, Badan air, Lahan Terbuka, Non Mangrove, dan Lahan Terbangun
diperoleh dengan Metode Object-Based Image Analysis (OBIA) pada citra
Sentinel-2A menunjukkan bahwa luas area mangrove 1071.5 ha (12.9%), pada citra
Landsat 8 OLI menunjukkan bahwa luas area mangrove 1112.7 ha (13.4%), dan
pada citra SPOT 6 PMS menunjukkan bahwa luas area mangrove 1233.1 ha
(14.9%). Selanjutnya, berdasarkan perhitungan area kelas mangrove dan lahan non
mangrove diperoleh dengan Metode Object-Based Image Analysis (OBIA) pada
citra Sentinel-2A menunjukkan bahwa luas area mangrove 1057.2 ha (19.33%),

46
pada citra Landsat 8 OLI menunjukkan bahwa luas area mangrove 1060.08 ha
(19.53%), dan pada citra SPOT 6 PMS menunjukkan bahwa luas area mangrove
912.7 ha (16.83%).
Hasil klasifikasi dengan metode Maximum Likelihood Classification
(MLC) dan Object Based-Image Analysis (OBIA) tidak jauh berbeda, menunjukkan
bahwa citra SPOT 6 PMS kurang baik dalam mendeteksi objek homogen (kelas
mangrove dan kelas vegetasi non mangrove) terdapat kelas mangrove yang tersebar
pada kelas vegetasi non mangrove. Hal tersebut dipengaruhi oleh resolusi spasial
dan resolusi spektral yang dimiliki oleh citra SPOT 6 PMS. Pada citra tersebut tidak
memiliki kanal band SWIR. Pentingnya kanal band Short Wavelength InfraRed
dalam pemetaan tutupan lahan, karena pada kanal band Short Wavelength InfraRed
memiliki kemampuan dalam memetakan vegetasi mangrove dengan vegetasi non
mangrove dimana kedua objek tersebut memiliki nilai pantul yang mirip. Kanal
Short Wavelength InfraRed dapat membedakan lahan basah dan kering yang sangat
membantu dalam membedakan kenampakan objek tutupan lahan dimana jika tanpa
kanal Short Wavelength InfraRed akan sulit melakukan pemetaan vegetasi (Jacques
et al., 2014). Kanal Short Wavelength InfraRed memiliki kemampuan mendeteksi
kandungan air (lahan basah) pada daun, hal tersebut dapat membantu deteksi
persebaran mangrove karena dapat membedakan lahan basah pada daun yang mana
kandangan tersebut terdapat pada vegetasi mangrove. Kelemahan pada kemampuan
deteksi objek citra SPOT 6 PMS dipengaruhi oleh nilai spektral range, resolusi
spektral yang rendah, serta resolusi spasial yang terlalu detail.
4.2.3 Uji Akurasi Citra
Hasil klasifikasi dengan metode Maximum Likelihood Classification
(MLC) menunjukkan bahwa nilai UA tertinggi diperoleh pada kelas mangrove,
kelas badan air, dan kelas awan yaitu dengan nilai masing–masing 100% hal
tersebut menunjukkan bahwa hasil klasifikasi tersebut sudah terklasifikasi dengan
benar. Selanjutnya nilai UA terendah diperoleh pada kelas lahan terbuka yaitu
dengan nilai 73.3%. Kemudian pada nilai PA menunjukkan bahwa nilai tertinggi
diperoleh pada kelas mangrove dan kelas vegetasi non mangrove yaitu dengan nilai
masing–masing 97% dan nilai PA terendah diperoleh pada kelas lahan terbuka yaitu
dengan nilai 78.57%. Dari hasil akurasi klasifikasi citra Sentinel-2A dengan metode

47
Maximum Likelihood Classification (MLC) pada Tabel 4.4. dapat dilihat bahwa
hasil akurasi secara keseluruhan menghasilkan nilai OA sebesar 93.90%, dengan
nilai tersebut maka hasil uji akurasi klasifikasi pada metode Maximum Likelihood
Classification (MLC) sudah cukup dengan batas minimal yang telah ditetapkan
sebagai batas akurasi.
Hasil klasifikasi citra Sentinel-2A dengan metode Object-Based Image
Analysis (OBIA) menunjukkan bahwa nilai UA tertinggi diperoleh pada kelas
badan air dan kelas awan yaitu dengan nilai masing–masing 100%, hal tersebut
menunjukkan bahwa hasil klasifikasi tersebut sudah terklasifikasi dengan benar.
Selanjutnya nilai UA terendah diperoleh pada kelas lahan terbuka yaitu dengan nilai
80%. Kemudian pada nilai PA menunjukkan bahwa nilai tertinggi diperoleh pada
kelas mangrove dan kelas awan yaitu dengan nilai masing–masing 97% dan 100%
dan nilai PA terendah diperoleh pada kelas badan air yaitu dengan nilai 73.69%.
Dari hasil akurasi klasifikasi dengan metode Object-Based Image Analysis (OBIA)
pada Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa hasil akurasi secara keseluruhan menghasilkan
nilai OA sebesar 89.60%, dengan nilai tersebut maka hasil uji akurasi klasifikasi
pada metode Object-Based Image Analysis (OBIA) sudah cukup dengan batas
minimal yang telah ditetapkan sebagai batas akurasi.
Hasil klasifikasi citra Landsat 8 OLI dengan metode Maximum Likelihood
Classification (MLC) menunjukkan bahwa nilai UA tertinggi diperoleh pada kelas
mangrove dan kelas badan air yaitu dengan nilai masing–masing 95.7% dan 100%
hal tersebut menunjukkan bahwa hasil klasifikasi tersebut sudah terklasifikasi
dengan benar. Selanjutnya nilai UA terendah diperoleh pada kelas lahan terbuka
yaitu dengan nilai 66.6%. Kemudian pada nilai PA menunjukkan bahwa nilai
tertinggi diperoleh pada kelas mangrove yaitu dengan nilai 95.7% dan nilai PA
terendah diperoleh pada kelas lahan terbuka yaitu dengan nilai 66.6%. Dari hasil
akurasi klasifikasi dengan metode Maximum Likelihood Classification (MLC) pada
Tabel 4.6. dapat dilihat bahwa hasil akurasi secara keseluruhan menghasilkan nilai
OA sebesar 89.02%, dengan nilai tersebut maka hasil uji akurasi klasifikasi pada
metode Maximum Likelihood Classification (MLC) sudah cukup dengan batas
minimal yang telah ditetapkan sebagai batas akurasi.

48
Hasil klasifikasi citra Landsat 8 OLI dengan metode Object-Based Image
Analysis (OBIA) menunjukkan bahwa nilai UA tertinggi diperoleh pada kelas
mangrove dan kelas badan air yaitu dengan nilai masing–masing 97% dan 92.8%
hal tersebut menunjukkan bahwa hasil klasifikasi tersebut sudah terklasifikasi
dengan benar. Selanjutnya nilai UA terendah diperoleh pada kelas lahan terbuka
yaitu dengan nilai 81.25%. Kemudian pada nilai PA menunjukkan bahwa nilai
tertinggi diperoleh pada kelas mangrove dan kelas badan air yaitu dengan nilai
masing–masing 100% dan 92.85% dan nilai PA terendah diperoleh pada kelas lahan
terbuka yaitu dengan nilai 81.25%. Dari hasil akurasi klasifikasi dengan metode
Object-Based Image Analysis (OBIA) pada Tabel 4.7. dapat dilihat bahwa hasil
akurasi secara keseluruhan menghasilkan nilai OA sebesar 92.68%, dengan nilai
tersebut maka hasil uji akurasi klasifikasi pada metode Object-Based Image
Analysis (OBIA) sudah cukup dengan batas minimal yang telah ditetapkan sebagai
batas akurasi.
Hasil klasifikasi citra SPOT 6 PMS dengan metode Maximum Likelihood
Classification (MLC) menunjukkan bahwa nilai UA tertinggi diperoleh pada kelas
badan air dan vegetasi non mangrove yaitu dengan nilai masing–masing 100% dan
85% hal tersebut menunjukkan bahwa hasil klasifikasi tersebut sudah terklasifikasi
dengan benar. Selanjutnya nilai UA terendah diperoleh pada kelas lahan terbuka
yaitu dengan nilai 53.34%. Kemudian pada nilai PA menunjukkan bahwa nilai
tertinggi diperoleh pada kelas mangrove dan kelas badan air yaitu dengan nilai
masing–masing 96.61% dan 82.35% dan nilai PA terendah diperoleh pada kelas
lahan terbuka yaitu dengan nilai 53.34%. Dari hasil akurasi klasifikasi dengan
metode Maximum Likelihood Classification (MLC) pada Tabel 4.8. dapat dilihat
bahwa hasil akurasi secara keseluruhan menghasilkan nilai OA sebesar 81.70%,
dengan nilai tersebut maka hasil uji akurasi klasifikasi pada metode Maximum
Likelihood Classification (MLC) belum cukup dengan batas minimal yang telah
ditetapkan sebagai batas akurasi.
Hasil klasifikasi citra SPOT 6 PMS dengan metode Object-Based Image
Analysis (OBIA) menunjukkan bahwa nilai UA tertinggi diperoleh pada kelas
mangrove dan kelas badan air yaitu dengan nilai masing–masing 95.7% dan 100%
hal tersebut menunjukkan bahwa hasil klasifikasi tersebut sudah terklasifikasi

49
dengan benar. Selanjutnya nilai UA terendah diperoleh pada kelas vegetasi non
mangrove yaitu dengan nilai 7.25%. Kemudian pada nilai PA menunjukkan bahwa
nilai tertinggi diperoleh pada kelas mangrove yaitu dengan nilai 94.65% dan nilai
PA terendah diperoleh pada kelas lahan terbangun yaitu dengan nilai 65.51%. Dari
hasil akurasi klasifikasi dengan metode Object-Based Image Analysis (OBIA) pada
Tabel 4.9. dapat dilihat bahwa hasil akurasi secara keseluruhan menghasilkan nilai
OA sebesar 84.75%, dengan nilai tersebut maka hasil uji akurasi klasifikasi pada
metode Object-Based Image Analysis (OBIA) belum cukup dengan batas minimal
yang telah ditetapkan sebagai batas akurasi.
Pada Tabel 4.10. merupakan hasil perhitungan nilai akurasi dengan
menggunakan 5 (lima) kelas klasifikasi dan 2 metode klasifikasi menunjukkan
bahwa nilai akurasi tertinggi yaitu pada citra Sentinel-2A dengan menggunakan
metode Maximum lilkelihood Classification (MLC) dengan nilai Overall Accuracy
(OA) sebesar 93.90% dan nilai akurasi terendah yaitu pada Citra SPOT 6 PMS
dengan menggunakan metode Maximum lilkelihood Classification (MLC) dengan
nilai Overall Accuracy (OA) sebesar 81.70%.
Hasil dari perhitungan akurasi dengan menggunakan 2 (dua) kelas yakni
kelas mangrove (M) dan kelas Lahan non mangrove (LNM) menunjukkan bahwa
tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil perhitungan akurasi
dengan menggunakan 5 (lima) kelas. Perhitungan akurasi dengan menggunakan 2
(dua) kelas ini dapat meminimalisir tingkat kesalahan deteksi objek pada citra, jadi
deteksi objek yang akan difokuskan hanya pada kelas mangrove (M) dan Lahan non
vegetasi mangrove (LNM) untuk kelas seperti badan air, lahan terbuka, dan lahan
terbangun akan digabungkan kedalam kelas lahan non mangrove (LNM).
Pada Tabel 4.17. merupakan hasil perhitungan nilai akurasi dengan
menggunakan 2 (dua) kelas klasifikasi dan 2 metode klasifikasi menunjukkan
bahwa nilai akurasi tertinggi yaitu pada citra Sentinel-2A dengan menggunakan
metode Maximum lilkelihood Classification (MLC) dengan nilai Overall Accuracy
(OA) sebesar 97.56% dan nilai akurasi terendah yaitu pada Citra SPOT 6 PMS
dengan menggunakan metode Maximum lilkelihood Classification (MLC) dengan
nilai Overall Accuracy (OA) sebesar 97.80%.

50
Hasil akurasi dari kedua klasifikasi yang digunakan menunjukkan bahwa
resolusi spasial dan resolusi spektral dapat mempengaruhi hasil dari Overall
Accuracy (OA) diketiga citra satelit yang digunakan Sentinel-2A, Landsat 8 OLI,
dan SPOT 6 PMS. Pada citra Sentinel-2A dan citra Landsat 8 OLI menunjukkan
bahwa resolusi spektral yang dibutuhkan dalam mendeteksi objek heterogen
(Mangrove, Badan air, Lahan terbuka, Vegetasi non mangrove, dan lahan
terbangun). Kemudian, pada citra SPOT 6 PMS menunjukkan bahwa resolusi
spasial yang dibutuhkan dalam mendeteksi objek homogen (Vegetasi Mangrove
dan Vegetasi non Mangrove).

51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil klasifikasi pemetaan mangrove dengan menggunakan metode
Maximum Likelihood Classification (MLC) dan Object-Based Image
Analysis (OBIA) menunjukkan bahwa adanya pengaruh terhadap tingkat
resolusi spasial pada citra satelit yang digunakan. Hasil klasifikasi pada
metode Maximum Likelihood Classification (MLC) dengan citra Sentinel-
2A menunjukkan luas mangrove yaitu 1024.3 ha. Hasil klasifikasi dengan
citra Landsat 8 OLI menunjukkan luas mangrove yaitu 1002.7 ha, dan hasil
klasifikasi dengan citra SPOT 6 PMS menunjukkan luas mangrove yaitu
921.2 ha. Kemudian sementara itu, Hasil klasifikasi pada metode Object-
Based Image Analysis (OBIA) dengan citra Sentinel-2A menunjukkan luas
mangrove yaitu 1057.2 ha. Hasil klasifikasi dengan citra Landsat 8 OLI
menunjukkan luas mangrove yaitu 1060.08 ha dan dengan citra SPOT 6
PMS menunjukkan luas mangrove yaitu 912.7 ha.
2. Pemetaan mangrove di Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai,
Bali tahun 2020 dengan menggunakan citra satelit Sentinel-2A
menghasilkan nilai Overall Accuracy (OA) dengan menggunakan metode
Maximum Likelihood Classification (MLC) sebesar 97.56%. Hasil nilai uji
akurasi menggunakan metode Object-Based Image Analysis (OBIA)
sebesar 96.34%. Menggunakan citra satelit Landsat 8 OLI menghasilkan
nilai uji akurasi secara keseluruhan Overall Accuracy (OA) dengan
menggunakan metode Maximum Likelihood Classification (MLC) sebesar
95.73%. Hasil nilai uji akurasi menggunakan metode Object-Based Image
Analysis (OBIA) sebesar 94.51% dan citra satelit SPOT 6 PMS
menghasilkan nilai uji akurasi secara keseluruhan Overall Accuracy (OA)
dengan menggunakan metode Maximum Likelihood Classification (MLC)
sebesar 87.80%. Hasil nilai uji akurasi menggunakan metode Object-Based
Image Analysis (OBIA) sebesar 89.63%. Sehingga pada hasil tersebut dapat

52
menunjukkan bahwa dengan menggunakan citra Sentinel-2A klasifikasi
algoritma Maximum Likelihood Classification (MLC) adalah metode
terbaik dalam pemetaan mangrove.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada penelitian selanjutnya, yaitu:
1. Pada saat pengambilan koordinat (ground check) lapangan diusahakan
menggunakan GPS, agar titik koordinat dapat sesuai dengan kondisi dan
objek pada saat di lokasi pengambilan data di lapangan.
2. Memperhatikan citra satelit yang akan digunakan, pada saat pemilihan citra
satelit sebaiknya memperhatikan efek dari resolusi spektral dan spektral
range, karena dapat membantu mempermudah pada saat proses interpretasi
citra dan trainning area.

53
DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik, Luas Penutupan Lahan Indonesia Di Dalam Dan Di
Luar Kawasan Hutan Tahun 2014-2019 Menurut Kelas (Ribu Ha). (2015).
https://www.bps.go.id/statictable/2020/02/17/2084/luas-penutupan-lahan-
indonesia-di-dalam-dan-di-luar-kawasan-hutan-tahun-2014-2019-menurut-
kelas-ribu-ha-.html [24 Mei 2021]
[KKP]. 2020. Hari Mangrove Sedunia, KKP Targetkan Rehabilitasi 200 Ha Lahan
Mangrove Di 2020. https://kkp.go.id/artikel/22001-hari-mangrove-sedunia-
kkp-targetkan-rehabilitasi-200-ha-lahan-mangrove-di-2020 [24 Mei 2021].
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Adaptasi di tengah
pandemi, terus mengawal jaman yang berubah. (2020). Laporan Kinerja.
Jakarta : Biro Perencanaan
Achmad, Eva., Nursanti., Marwoto., Fazriyas., dan Dwi P. Jayanti. 2020. Studi
kerapatan mangrove dan perubahan garis pantai tahun 1989-2018 di Pesisir
Provinsi Jambi. Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan,
10(2): 138-152.
Adinegoro, R. D. S., I Dewa Nyoman N. P., dan I Nyoman Giri P. 2020. Pemetaan
Perubahan Luasan Mangrove Menggunakan Citra Sentinel-2A Pasca
Kematian Mangrove di Denpasar-Bali. Journal of Marine and Aquatic
Sciences, 0(0): 1-13.
Alimudi, S., Setyo B. S., dan James P. P. 2017. Deteksi Perubahan Luasan
Mangrove Menggunakan Citra Landsat Berdasarkan Metode OBIA Di Teluk
Valentine Pulau Buano Seram Bagian Barat. Jurnal Teknologi Perikanan dan
Kelautan, 8(1): 139-146.
Annisa, Amin Y. N., Rudhi Pribadi dan Ibnu Pratikto. 2019. Analisis Perubahan
Luasan Hutan Mangrove Di Kecamatan Brebes Dan Wanasari, Kabupaten
Brebes Menggunakan Citra Satelit Landsat Tahun 2008, 2013 Dan 2018.
Journal of Marine Research, 8(1): 27-35.
Artika, Emi., Arif Darmawan dan Rudi Hilmanto. 2019. Perbandingan Metode
Maximum Likelihood Classification (MLC) Dan Object Oriented
Classification (OOC) Dalam Pemetaan Tutupan Mangrove Di Kabupaten
Lampung Selatan. Jurnal Hutan Tropis, 7(3): 267-275.
As-syakur, A.R., T. Osawa, dan I.W.S. Adnyana. 2010. Estimation Of Gross
Primary Production Using Satellite Data And Gis In Urban Area, Denpasar.
International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences, 7(1): 84-95
Citra Satelit Indonesia. (2021). Citra Satelit SPOT-6. http://citrasatelit.net/citra-
satelit-spot-6/ [25 Mei 2021].
Congalton, R.G. 1991. A review of assessing the accuracy of classiøFDWLRQV of
remotely sensed data. Remote Sens. Environ., 49:1671-1678.
Danoedoro, P., 1996. Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya Dalam
Bidang Penginderaan Jauh, Modul Kuliah , Fakultas Geografi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

54
Donato, D. C., Kauffman, J. B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M., and
Kanninen, M. 2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the
tropics. Nature Geoscience, 4(5): 293–297.
Drusch, M., U. D. Bello, S. Carlier, O. Colin, V. Fernandez, F. Gascon, B. Hoersch,
C. Isola, P. Laberinti, P. Martimort, A. Meygret, F. Spoto, O. Sy, F. Marchese
and P. Bargellini. 2012. Sentinel-2: ESA’s Optical High-Resolution Mission
for GMES Operational Services. Remote Sensing of Environment, 120(1):
25–36.
Estes, J. E and Simonett, D. S. 1975. Fundamnetals of Image Interpretation, In
Manual of Remoet sensing. Falls Chruch, Virginia : The American Society of
Photogrametri.
Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L. L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T., and Duke,
N. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth
observation satellite data. Global Ecology and Biogeography, 20(1): 154-159.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati
Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1). Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Payau, Jalan Makmur Daeng Sitakka No. 129, Maros 90512,
Sulawesi Selatan.
Gusmawati NF, Ariani, A, dan Umi M. 2016. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Resolusi Tinggi Untuk Pemetaan Tambak Di Kecamatan Ujung Pangkah.
Gresik. Jurnal Kelautan Nasional, 11(1): 35.
Herwindya, A. Y. dan E. W. H. Susilo. 2014. Analisis Manfaat Mangrove dan
Terumbu Karang Terhadap Lingkungan Pesisir Serta Implikasinya Pada
Pendapatan Nelayan. Ekonomi Manajemen dan Akuntansi, 21(36): 1-16.
Huete, A., K. Didan, W.V. Leeuwen, T. Miura, and E. Glenn. 2011. MODIS
vegetation indices. Land remote sensing and global environmental change,
1(26): 579-602.
Hussein, S, P Danoedoro, dan N M Farda. 2016. Kajian Object Based Image
Analysisi pada Foto Udara untuk Klasifikasi Penutup dan Penggunaan Lahan
Skala Detil. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Howard, J. A. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Hutan: Teori dan
Aplikasi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Jacques, D. C., Kergoat, L., Hiernaux, P., Mougin, E., and Defourny, P. 2014.
Monitoring dry vegetation masses in semi-arid areas with MODIS-SWIR
bands. Remote sensing of environment, 1(153): 40-49.
Jaya, I. N. S. 2010. Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor, Indonesia: Fakultas Kehutanan IPB.
Jaya, I. N. S. 2014. Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: IPB Press. 372 hlm.
Jhonnerie, R., Siregar, V.P., Nababan, B., Prasetyo, L.B. and Wouthuyzen, S. 2014.
Deteksi Perubahan Tutupan Mangrove Menggunakan Citra Landsat
Berdasarkan Klasifikasi Hibrida di Sungai Kembung, Pulau Bengkalis,
Provinsi Riau. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(2): 491-506.

55
Jia K, Xiangqin W, Xingfa G, Yunjun Y, Xianhong X, and Bin L. 2014. Land cover
classification using Landsat 8 Operational Land Imager data in Beijing,
China. Geocarto International, (29): 941-951.
Kushardono, D. 2017. Klasifikasi Digital Pada Penginderaan Jauh. PT Penerbit IPB
Press, Bogor. 76 hlm.
Kusmana, Cecep. 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove secara Terpadu. Bogor :
Fakultas Kehutanan IPB.
Kusumo, Setyo Hadi., Ni Kadek Ayu Wirdiani, dan I Gusti Made Arya Sasmita.
2016. Aplikasi Analisa Perubahan Penggunaan Lahan di Provinsi Bali.
Merpati, 4(3): 225 – 236.
LAPAN. 2018. Jenis Data Citra Satelit. https://inderaja-
catalog.lapan.go.id/application_data/default/pages/about_Spot-6.html
LAPAN. 2018. Jenis Data Citra Satelit. https://inderaja-
catalog.lapan.go.id/application_data/default/pages/about_Spot-7.html
Latifah, N., S. Febrianto., H. Endrawati., dan Muhammad Zainuri. 2018. Pemetaan
Klasifikasi dan Analisa Perubahan Ekosistem Mangrove Menggunakan Citra
Satelit Multi Temporal di Karimunjawa, Jepara, Indonesia. Jurnal Kelautan
Tropis, 21(2): 97–102.
Lillesand T.M., and Kiefer, R.W. 2007. Remote Sensing And Image Interpretation,
6th Edition, Jhon Wiley & Sons Inc, New York.
Lillesand TM and Kiefer RW. 1990. Remote Sensing and Image Interpretation.
New York: John Willey and Sons. 361 hlm.
Lukiawan ,Reza., Endi Hari Purwanto dan Meilinda Ayundyahrini. 2019. Standar
Koreksi Geometrik Citra Satelit Resolusi Menengah Dan Manfaat Bagi
Pengguna. Jurnal Standardisasi, 21(1): 45 - 54
Macnae, W.. 1968. “A General Account of the Fauna and Flora of Mangrove
Swamp and Forest in the Indo-West Pasific Region”. Adv. Mar. Biol, (6): 73-
270.
Marini, Y., Emiyati, Hawariyah, S. dan Hartuti, M. 2014. Perbandingan Metode
Klasifikasi Supervised Maximum Likelihood dengan Klasifikasi Berbasis
Objek untuk Inventarisasi Lahan Tambak di Kabupaten Maros. Prosiding.
Semnas PJ. 512-515.
Mastaller, M. 1997. Manggrove: The forgetton Forest between Lans & Sea. Kuala
Lumpur, Malaysia. Hal. 5.
Navulur, K. 2007. Multispektral Image Analysis using the object-oriented
Paradigm. Taylor and Francis Group, LLC.
Oktaviani, Amelia dan Yarjohan. 2016. Perbandingan Resolusi , Temporal Dan
Radiometrik Serta Kendalanya. Jurnal Enggano, 1(2): 74-79
Parsa, I.M. 2013. Optimaliasi Parameter Segmentasi untuk Pemetaan Lahan
Sawaah menggunakan Citra Satelit Landsat (Studi kasus Padang pariaman,
Sumatera Barat dan Tanggamus, Lampung. Jurnal Penginderaan Juah,
10(1): 34-37.
Purnamawati, P., Dewantoro, E., Sadri, S. dan Vatria, B. 2007. Manfaat Hutan
Mangrove Pada Ekosistem Pesisir (Studi Kasus Di Kalimantan Barat). Media
Akuakultur, 2(1): 156-160.
56
Purwanto, Anang Dwi., Gathot Winarso, dan Atriyon Julzarika. 2018. Identifikasi
Mangrove Sejati Menggunakan Metode OBIA Berdasarkan Citra Landsat 8
Oli Dan Landsat 7 Etm+. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN :
851-859.
Ratermaps. 2016. SPOT Satelite Imagery
Richards, D. R., and Friess, D. A. 2015. Rates and drivers of mangrove
deforestation in Southeast Asia, 2000 – 2012. Proceedings of the National
Academy of Sciences, 113(2): 344-349
Sampurno, Rizky Mulya dan Ahmad Thoriq. 2016. Klasifikasi Tutupan Lahan
Menggunakan Citra Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) Di Kabupaten
Sumedang. Jurnal Teknotan, 10(2): 61-70.
Septiani Rosi, I Putu Ananda Citra, dan A Sediyo Adi Nugraha. 2019. Perbandingan
Metode Supervised Classification dan Unsupervised Classification terhadap
Penutup Lahan di Kabupaten Buleleng. Jurnal Geografi, 16(2): 90-96.
Setiani, A., Prasetyo.Y., dan Subiyanto.S. 2016. Optimalisasi Parameter
Segmentasi Berbasis Algoritma Multiresolusi untuk Identifikasi Kawasan
Industri Antara Citra Satelit Landsat dan Alos Palsar (Studi Kasus :
Kecamatan Tugu dan Genuk, Kota Semarang). Jurnal Geodesi UNDIP, 5(4).
Siburian Rober dan John Haba. 2016. Konservasi Mangrove dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sisilia Daeng Bakka Mau. 2016. Pengaruh Histogram Equalization Untuk
Perbaikan Kualitas Citra Digital. Jurnal SIMETRIS, 7(1): 177 – 182.
Steenis, V. 2006. Flora. Cetakan Kelima. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
Supriatna, Wahyu dan Sukartono. 2002. Teknik Perbaikan Data Digital (Koreksi
Dan Penajaman) Citra Satelit. Buletin Teknik Pertanian, 7(1): 4 – 6.
Sutanto. 1998. Penginderaan Jauh: Jilid 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Suwargana, Nana. 2013. Resolusi Spasial, Temporal Dan Spektral Pada Citra
Satelit Landsat, Spot Dan Ikonos. Jurnal Ilmiah WIDYA, 1(2): 167 – 174.
Syah, A.F. 2010. Penginderaan Jauh Dan Aplikasinya Di Wilayah Pesisir Dan
Lautan. Jurnal Kelautan, 3(1): 18-28.
UPT Taman Hutan Raya Ngurah Rai. (2012). Wisata alam taman hutan raya.
Denpasar: UPT
Verrelst, J., J. Muñoz, L. Alonso, J. Delegido, J.P. Rivera, G. Camps-Valls and J.
Moreno. 2012. Machine learning regression algorithms for biophysical
parameter retrieval: Opportunities for Sentinel-2 and -3. Remote Sensing of
Environment, 118: 127– 139.
Waas, H.J. dan B. Nababan. 2010. Pemetaan dan analisis index vegetasi mangrove
di pulau Saparua, Maluku Tengah. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
2(1): 50–58.
Wiyanto, D. B., dan Faiqoh, E. 2015. Analisis vegetasi dan struktur komunitas
mangrove di Teluk Benoa, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences,
1(1): 1-7.

57
Yanuar, R. C., Hanintyo, R., and Muzaki, A. A. 2018. Penentuan Jenis Citra Satelit
dalam Interpretasi Luasan Ekosistem Lamun Menggunakan Pengolahan
Algoritma Cahaya Tampak. Jurnal Ilmiah Geomatika, 23(2): 75.

58
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Hasil 2 Kelas Klasifikasi

59
Lampiran 2. Pengambilan Data Lapangan (Ground Check)

60
61
62

Anda mungkin juga menyukai