Anda di halaman 1dari 45

PENGGUNAAN CITRA PESAWAT TAK BERAWAK DALAM

INVENTARISASI DIMENSI VEGETASI NIPAH


(Nypa fruticans)

ROBERT PARULIAN SILALAHI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penggunaan Citra


Pesawat Tak Berawak dalam Inventarisasi Dimensi Vegetasi Nipah (Nypa
fruticans) adalah benar karya saya dengan arahan utama dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2017

Robert Parulian Silalahi


NIM E151140171
RINGKASAN

ROBERT PARULIAN SILALAHI. Penggunaan Citra Pesawat Tak Berawak


dalam Inventarisasi Dimensi Vegetasi Nipah (Nypa fruticans). Dibimbing oleh I
NENGAH SURATI JAYA dan TATANG TIRYANA.

Salah satu asosiasi tumbuhan yang masuk kedalam ekosistem mangrove


adalah vegetasi nipah (Nypa fruticans). Informasi dan data mengenai nipah masih
sangat jarang ditemukan baik mengenai potensi, pertumbuhan dinamis dan
dimensi tegakannya. Permasalahan kehutanan yang sangat kompleks dengan
dinamika perubahannya yang cepat, tidak terkecuali pada vegetasi nipah,
membutuhkan teknologi inventarisasi yang handal, cepat, murah, akurat dan
praktis. Perkembangan drone (dynamic remotely operated navigation equipment)
memberikan peluang baru. Drone atau pesawat tak berawak (unmanned aerial
vehicle/UAV) mampu menghasilkan citra resolusi tinggi dan sangat tinggi, selain
itu lebih murah, cepat, resiko kecil dan terbang dibawah awan.
Penggunaan citra resolusi tinggi dan sangat tinggi menjadi sebuah
kebutuhan dalam pengelolaan hutan, salah satunya dalam mendeteksi dan
mengidentifikasi dimensi tegakan hutan. Penggunaan citra resolusi tinggi dan
sangat tinggi menbutuhkan pendekatan yang berbeda dengan citra resolusi rendah
dalam pengolahan data. Pendekatan yang menjadi tren dalam pengolahan citra
resolusi tinggi dan sangat tinggi adalah Object-based Image Analysis (OBIA).
Tujuan utama penelitian ini adalah menguji kemampuan dan keterhandalan
pendekatan klasifikasi berbasis objek (OBIA) dengan menggunakan algoritma
mean-shift yang diintegrasikan dengan pendekatan berbasis piksel dalam
menginventarisasi dimensi vegetasi nipah (Nypa fruticans). Tujuan tambahan
penelitian ini untuk mendesain bentuk dan ukuran plot optimal terhadap dimensi
vegetasi nipah untuk menaksir persentase kerapatan tajuk dan gap nipah dari citra
UAV.
Lokasi penelitian berada di wilayah konsesi PT Kandelia Alam, Kabupaten
Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Data utama pada penelitian ini berupa
citra UAV mencakup luasan 4087 ha dan direkam pada bulan Februari 2016. Citra
UAV yang digunakan merupakan citra multispektral dengan resolusi spasial 10
cm. Data pendukung penelitian berupa diameter individu nipah, diameter pelepah,
jumlah pelepah hidup dan mati serta sampel pelepah dengan berat 100–200 gram.
Metode yang digunakan terdiri dari beberapa tahapan antara lain pengolahan
citra digital (segmentasi dan klasifikasi), simulasi plot terestris dan perhitungan
kerapatan tajuk dan gap nipah. Segmentasi citra UAV menggunakan algoritma
mean-shift segmentation dengan 27 kombinasi dari parameter spatial radius (hs),
range radius (hr), dan minimum region size (M). Pendugaan kerapatan tajuk dan
gap vegetasi nipah dilakukan dengan menggabungkan hasil klasifikasi berbasis
piksel (maximum likelihood classifier) dengan pendekatan berbasis objek (mean-
shift segmentation). Uji akurasi digunakan untuk membandingkan hasil klasifikasi
OBIA dengan hasil interpretasi visual. Hasil klasifikasi terbaik kemudian
digunakan untuk menghitung kerapatan tajuk dan gap berdasarkan ukuran plot
optimal di lapangan. Simulasi plot terestris ditentukan berdasarkan nilai koefisien
keragaman (CV) dengan waktu inventarisasi. Plot simulasi terbaik kemudian
digunakan untuk menduga dimensi kerapatan tajuk dan gap nipah pada klaster
penelitian.
Beberapa hal yang menjadi hasil dari penelitian ini adalah bahwa kombinasi
parameter segmentasi yang paling optimal dalam menaksir kerapatan tajuk dan
gap vegetasi nipah adalah kombinasi dari spatial radius 10, range radius 10 dan
minimum region size 50 (K-10). Hasil uji akurasi hasil segmentasi menggunakan
kombinasi parameter pada K-10 adalah sebesar 76.6% untuk akurasi keseluruhan
dan 55.7% untuk akurasi kappa. Parameter minimum region size (M) lebih
berpengaruh terhadap hasil segmentasi dibandingkan dengan parameter lainnya
(spatial radius dan range radius). Dengan menggunakan plot optimal terestris
berukuran 20×100 meter ditemukan estimasi kerapatan tajuk dan gap nipah di
areal penelitian mempunyai kisaran 53.0% – 74.9% untuk kerapatan tajuk, dan
25.1% – 47% untuk gap. Menggunakan bentuk dan ukuran plot yang sama,
kerapatan tajuk citra yang diperoleh baik menggunakan metode interpretasi visual
maupun metode kombinasi mampu menjelaskan kerapatan individu di lapangan
dengan nilai koefisien determinasi (R2) berturut-turut sebesar 77.6% dan 66.8%.

Kata kunci: nipah, kerapatan tajuk, pesawat tak berawak (UAV), algoritma
mean-shift
SUMMARY

ROBERT PARULIAN SILALAHI. The Use of UAV Images for Inventory the
Dimension of Nypa Vegetation (Nypa fruticans). Supervised by I NENGAH
SURATI JAYA dan TATANG TIRYANA.

One of the vegetation associations in mangrove ecosystem is nypa (Nypa


fruticans). Information and data on nypa is still limited either about the potential,
dynamic growth and dimension of stands. Due to the complexcity of the forestry
problems, particularly on the dynamic dan rapid changes of forest cover, including
nypa vegetation, it requires a reliable forest inventory technique, which is fast,
cheap, accurate and practical. The advent of drone (dynamic remotely operated
navigation equipment) technology provides new opportunities. The small camera
on boarded on the drones or unmanned aerial vehicle (UAV) has capability to
produce high and very high resolution imageries, in almost all weather and land
conditions such as flight under the clouds and/or in the area with no specific take-
off and landing location for flight run way of the drone.
The use of high and very high resolution images is becoming a primary need
in forest management, especially in detecting and identifying forest stand
dimensions. The use of high and very high resolution images require a different
approach that different from the conventional low-medium resolution image
processing. The common approach applied in high and very high image
processing is Object-based Image Analysis (OBIA) that consider both the
brightness value and contextual characteristic of the object such as shape and size.
The main objective of this research is to examine the capability and
reliability of the OBIA by using mean-shift algorithm which is integrated with
pixel-based approach in measuring dimension of nypa vegetation (Nypa fruticans).
The additional objective of this research is to design the optimal shape and size of
plot for measuring crown closure and nypa gap on UAV image.
The research site was located in the concession area of PT Kandelia Alam,
Kubu Raya Regency, West Kalimantan Province, while the main data used were
UAV imageries covering area of 4087 ha that recorded in February 2016. The
UAV images used were multispectral image having 10 cm spatial resolution. The
supporting data of the research were individual diameter of nypa, diameter of
midrib, the amount of live and dead midrib as well as the midrib sample size 100-
200 gram.
The method used consists of several stages such as digital image
processing (segmentation and classification), terrestrial plot simulation and
calculation of crown closure and gap of nypa. The UAV image segmentation uses
a mean-shift algorithm with 27 combinations of spatial radius (hs), range radius
(hr), and minimum region size (M) parameters. Estimation of crown closure and
nypa gap was done by combining pixel-based classification result of maximum
likelihood classifier with object-based approach (mean-shift segmentation). The
accuracy tests were implemented to compare the OBIA classification results with
the visual interpretation results. The best classification results were then used to
calculate the crown closure and gap based on optimal size plot in the field. The
terrestrial plot simulation was determined by the value of the coefficient of
variation (CV) and time duration during the forest inventory. The selected best
simulation plot was then used as the standard size and shape of the plot to
estimate the dimensions of crown closure and the gap of nypa in each cluster.
The study found that the most optimal combination of segmentation
parameters in estimating crown closure and gap of nypa vegetation was the
combination of spatial radius 10, range radius 10 and minimum region size 50 (K-
10) having the accuracy of 76.6% for overall accuracy and 55.7% for kappa
accuracy. The minimum region size (M) parameter given more significant effect
on segmentation than to other parameters, i.e., spatial radius and range radius.
Using a terrestrial optimum plot measuring 20 meters × 100 meters, the estimation
of the crown closure and gap of nypa in the study area are ranging from 53.0% to
74.9% for the canopy, and from 25.1% to 47.0% for the gap. Using the same
shape and size plot, the crown closure variables either derived from visual
interpretation method or quantitative method (pixel-based and object-based) were
able to explain the nypa density with the determination coefficient (R 2) value of
77.6% and 66.8%.

Keywords: nypa, crown closure, unmanned aerial vehicle (UAV), mean-shift


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGGUNAAN CITRA PESAWAT TAK BERAWAK DALAM
INVENTARISASI DIMENSI VEGETASI NIPAH
(Nypa fruticans)

ROBERT PARULIAN SILALAHI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir M Buce Saleh, MS
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan
judul Penggunaan Citra Pesawat Tak Berawak dalam Inventarisasi Dimensi
Vegetasi Nipah (Nypa fruticans). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat
mendapatkan gelar magister sains pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Sekolah Pascasarjana IPB.
Penyelesaian penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan
semua pihak. Sehubungan dengan hal tersebut maka perkenankan penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr selaku ketua komisi
pembimbing dan Bapak Dr Tatang Tiryana, SHut MSc selaku anggota
komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan,
saran dan nasehat selama masa bimbingan.
2. Bapak Dr Ir M Buce Saleh, MS selaku penguji luar komisi atas nasehat,
komentar, saran dan masukan untuk perbaikan tesis.
3. Bapak Ir Fairus Mulia dari PT Kandelia Alam selaku pemilik hak cipta dari
data UAV yang saya gunakan sebagai sumber data penelitian serta yang
telah memfasilitasi dan membantu selama pengumpulan data di lokasi
penelitian.
4. Kepada teman-teman angkatan IPH 2014 buat persahabatan dan
kerjasamanya selama menjadi mahasiswa.
5. Kepada rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Remote Sensing dan
GIS, Adelia “Dika”, Pak Uus, Kang Edwine, Ali, Bu Achi, Pak Jay, Adek
Cili, Dito, Pak Israr, Afandi, Kusnadi, Fika, Hani, Dwi, Faid, Om Dahlan,
dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
6. Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah
memberikan penulis kesempatan untuk melanjutkan S-2 di IPB.
7. Kepada kedua orangtuaku, serta seluruh keluarga besar saya, atas segala
doa, motivasi dan kasih sayangnya selama proses saya menjadi karyasiswa.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2017

Robert Parulian Silalahi


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
2 METODE 4
Waktu dan Tempat 4
Alat dan Perangkat Lunak (Software) 5
Jenis Data 5
Pra Pengolahan Citra 5
Survei Lapangan 5
Pengolahan Citra Dijital 6
Simulasi Plot Lapangan 11
Kerapatan Tajuk dan Gap Vegetasi Nipah 13
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Pemilihan Kombinasi Segmentasi 13
Plot Optimal Secara Terestris 17
Kerapatan Tajuk Nipah 20
4 SIMPULAN DAN SARAN 27
Simpulan 27
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 28
RIWAYAT HIDUP 31
DAFTAR TABEL
1 Parameter Segmentasi 9
2 Matriks Konfusi 11
3 Bentuk dan Ukuran Plot Simulasi Lapangan 12
4 Nilai Akurasi Parameter Spatial Radius 14
5 Nilai Akurasi Parameter Range Radius 15
6 Nilai Akurasi Parameter Minimum Region Size 15
7 Rekapitulasi CV-Vol, CV-Bio, CV-Nha 18
8 Notasi Plot pada Setiap Klaster 20

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi Penelitian 4
2 Bentuk Petak Ukur Lapangan 0.6 ha (a) dan Petak Ukur 0.04 (b) 6
3 Diagram Alir Pengolahan Citra UAV 7
4 Prosedur Mean-Shift. Titik xi adalah Titik Awal Prosedur. Superscripts
Menunjukkan Nilai Iterasi Mean-Shift, ( ) Data Input, ( ) Titik Pusat
dari Sebuah Jendela, dan Lingkaran Bertitik Menunjukkan Estimasi
Kepadatan Suatu Jendela 8
5 Prosedur Pengklasifikasian Objek Integrasi OBIA dan Berbasis Piksel.
(a) Hasil Segmentasi (Mean-Shift), (b) Hasil Klasifikasi Berbasis Piksel,
(c) Hasil Overlay antara Poligon Hasil Segmentasi dengan Poligon
Klasifikasi Berbasis Piksel dan (d) Pelabelan Objek (Attributing)
dengan Pendekatan Proporsi Luas Maksimum 10
6 Orientasi Plot Contoh di Lapangan. (a) Utara-Selatan, (b) Timur-Barat
(Tegak Lurus Terhadap Aliran Utama Sungai) 12
7 Nilai Rata-rata Akurasi Keseluruhan dan Akurasi Kappa 14
8 Perbandingan Sampel dari UAV (kolom kiri: 1) dengan Hasil OBIA K-
10 (kolom tengah: 2) dan Hasil Segmentasi K-04 (kolom kanan: 3)
pada Klaster I (a) – Klaster IV (b) 16
9 Hubungan antara Luas Plot, CV dan Lama Waktu Pengukuran 18
10 Hubungan antara Bentuk Plot, CV dan Lama Waktu Pengukuran 19
11 Persentase Kerapatan Tajuk dan Gap pada Plot Optimal di Lapangan 21
12 Perbandingan antara Citra Asli (a) dengan Hasil Interpretasi Visual (b)
dan Hasil Klasifikasi OBIA K-10 pada Klaster I 22
13 Perbandingan antara Citra Asli (a) dengan Hasil Interpretasi Visual (b)
dan Hasil Klasifikasi OBIA K-10 pada Klaster II 23
14 Perbandingan antara Citra Asli (a) dengan Hasil Interpretasi Visual (b)
dan Hasil Klasifikasi OBIA K-10 pada Klaster III 24
15 Perbandingan antara Citra Asli (a) dengan Hasil Interpretasi Visual (b)
dan Hasil Klasifikasi OBIA K-10 pada Klaster IV 25
16 Hubungan antara Kerapatan Individu (Nha) dan Kerapatan Tajuk
Menggunakan Metode Kombinasi OBIA dan Berbasis Piksel 26
17 Hubungan antara Kerapatan Individu (Nha) dan Kerapatan Tajuk
Menggunakan Metode Interpretasi Visual 27
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki beragam tipe
ekosistem, mulai dari hutan pantai, hutan payau, hutan dataran rendah (hutan
bakau, hutan rawa, hutan rawa gambut), hutan dataran rendah kering, hingga
hutan pegunungan, sub-alpine dan alpine. Untuk mendukung perencanaan
pengelolaan hutan yang tepat, dibutuhkan ketersediaan data pendukung yang
akurat dan tepat waktu terkait dengan tipe ekosistem, kelas hutan, kepadatan
hutan, keanekaragaman hayati, stok tegakan, dan lain-lain. Salah satu jenis
ekosistem yang unik, yang secara ekonomi, ekologis, sosial dan budaya
memegang peranan penting adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove ini
merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap konversi terutama di Indonesia.
Salah satu vegetasi yang masuk ke dalam asosiasi ekosistem mangrove adalah
nipah (Nypa fruticans). Informasi mengenai pertumbuhan dinamis, status dan
potensi nipah belum banyak diteliti di Indonesia, karena ekosistem nipah kurang
atraktif dan bahkan sering dianggap sebagai wasteland. Beberapa penelitian nipah
menyebutkan bahwa nipah berpotensi menjadi sumber makanan karena memiliki
karbohidrat dan protein tinggi (Heriyanto et al. 2011), bahkan menurut penelitian
(Tamunaidu et al. 2013), nipah mengandung etanol untuk menghasilkan energi
bahan bakar.
Inventarisasi hutan merupakan sebuah proses teknis dalam mengumpulkan
data dan memberikan informasi (Kleinn et al. 2010) untuk mengetahui potensi
sumberdaya hutan. Inventarisasi hutan hingga saat ini sudah mengalami
perkembangan yang pesat terutama dalam metode pengumpulan data baik pada
area kecil maupun area yang luas (Kleinn et al. 2010). Kegiatan inventarisasi
hutan dapat dilakukan baik secara terestris, penginderaan jauh maupun gabungan
dari keduanya. Namun dalam perkembangannya untuk skala hutan yang luas
diperlukan teknik inventarisasi yang efisien dan efektif.
Perkembangan penggunaan teknologi penginderaan jauh dalam pengelolaan
sumberdaya alam khususnya kegiatan inventarisasi hutan sudah menjadi sebuah
kebutuhan. Penggunaan data penginderaan jauh dalam inventarisasi hutan
memberikan keuntungan dalam hal optimasi biaya serta datanya cepat diperoleh
(McRoberts dan Tomppo 2007). Dalam perkembangannya, penginderaan jauh
dalam inventarisasi hutan telah menggunakan berbagai citra satelit dari citra
resolusi rendah hingga citra resolusi sangat tinggi. Namun citra satelit selalu
terkendala awan terutama pada daerah tropis. Selain citra satelit, salah satu
wahana yang menghasilkan citra resolusi sangat tinggi adalah UAV (Unmmaned
Aerial Vehicle). Teknologi kamera yang digunakan masih konvensional, tetapi
platform perekamnya sangat prospektif karena dapat terbang rendah di bawah
awan, tanpa awak, biaya murah, cepat dan resiko kecil. Pemanfaatan teknologi
UAV telah banyak dilakukan dalam mendukung penelitian di bidang kehutanan.
Data UAV telah digunakan untuk melakukan pemetaan (Shofiyanti 2011;
Everaerts 2008), mendeteksi perubahan tutupan (Wallace et al. 2012), pemetaan
spektral tajuk (Dandois dan Ellis 2013), menghitung pola spasial gap dari hutan
(Getzin et al. 2014), menghitung estimasi sediaan tegakan, biomassa dan kualitas
tempat tumbuh (Jaya et al. 2015), mengukur peubah-peubah tegakan seperti
diameter tajuk, persentase tajuk dan jumlah pohon (Jaya dan Cahyono 2001) serta
pendugaan volume dan kualitas tempat tumbuh Jati (Kusnadi et al. 2016).
Sejak diluncurkannya satelit sumberdaya alam untuk kepentingan sipil di
tahun 1970-an, perkembangan teknologi penginderaan jauh telah berkembang
pesat, mulai dari resolusi rendah, sedang sampai dengan sangat tinggi. Demikian
juga dinamika pemanfaatannya, telah dijadikan sumber informasi mulai dari skala
regional, skala nasional bahkan sampai pada skala individu pohon. Saat ini,
kehadiran citra resolusi tinggi dan sangat tinggi menjadi sebuah peluang sekaligus
sebuah tantangan. Semakin tinggi resolusi spasialnya, semakin detail informasi
yang akan diturunkan, maka dibutuhkan pendekatan yang semakin kompleks dan
handal dalam menggali informasi dari citra. Pada citra resolusi tinggi dan sangat
tinggi, pendekatan tidak bisa lagi menerapkan pendekatan yang hanya berbasis
pada individu-individu piksel (berbasis piksel), tetapi sudah harus
mempertimbangkan pendekatan objek (OBIA). OBIA atau object-based image
analysis dianggap mempunyai keunggulan dalam pengolahan data citra digital
resolusi tinggi hingga sangat tinggi, karena selain mempertimbangkan nilai piksel
itu sendiri, tetapi juga mempertimbangkan konteks spasialnya.
Peningkatan resolusi citra digital dari low resolution images menjadi very
high resolution images mendorong pengembangan metode pengolahan citra.
Pendekatan berbasis piksel merupakan pendekatan yang sebelumnya umum
digunakan dalam pengolahan citra digital. Namun seiring munculnya citra dengan
resolusi sangat tinggi maka diperlukan pengolahan data yang lebih kompleks.
Pendekatan berbasis piksel dapat digunakan selama suatu piksel berukuran sama
dengan objek tertentu (Blaschke 2010). Pendekatan berbasis objek saat ini
menjadi pendekatan yang populer dalam pengolahan citra resolusi tinggi dan
sangat tinggi. Pendekatan berbasis objek sebagian besar dikaitkan dengan
penggunaan aplikasi eCognation (Benz et al. 2004). Pendekatan berbasis objek
terdiri dari dua bagian yaitu segmentasi dan klasifikasi. Segmentasi citra secara
umum didefinisikan sebagai sebuah proses membagi sebuah citra kedalam
kelompok yang homogen baik secara spasial maupun spektral (Pal dan Pal 1993).
Pendekatan berbasis objek sudah banyak dilakukan, seperti penelitian
perbandingan berbasis piksel dengan berbasis objek dalam mengklasifikasikan
lahan pertanian menggunakan SPOT-5 (Duro et al. 2012), penggunaan segmentasi
objek untuk menggali informasi wilayah perkotaan di Cianjur (Sari dan
Kushardono 2015), analisis berbasis objek untuk memetakan habitat bentik
terumbu karang (Wahidin et al. 2015), analisis berbasis objek untuk memetakan
perubahan ekosistem mangrove (Conchedda et al. 2008), deteksi perubahan hutan
akibat badai menggunakan OBIA (Chehata et al. 2014), penggunaan OBIA untuk
klasifikasi penggunaan lahan di Ontario, Canada (Lackner dan Conway 2008),
dan masih banyak penelitian lainnya.
Salah satu dimensi vegetasi yang dapat diinventarisasi dari citra UAV
adalah kerapatan tajuk. Kerapatan tajuk dalam beberapa penelitian dapat
digunakan sebagai peubah untuk menduga potensi volume, biomassa ataupun
sediaan tegakan. Penggunaan citra UAV untuk inventarisasi dimensi vegetasi
nipah khususnya kerapatan tajuk masih jarang dilakukan terutama dengan
menggunakan pendekatan OBIA. Oleh karena itu, fokus utama dari penelitian ini
adalah untuk menguji kemampuan dari pendekatan berbasis objek khususnya
algoritma mean-shift segmentation diintegrasikan dengan pendekatan berbasis
piksel (maximum likelihood classifier) dalam menginventarisasi dimensi vegetasi
nipah khususnya kerapatan tajuk dan gap pada vegetasi nipah.

Perumusan Masalah

PT Kandelia Alam (KLIA) merupakan salah satu perusahaan pemilik


IUPHHK-HA. Potensi flora maupun fauna yang terdapat di areal kerja PT
Kandelia Alam cukup besar salah satunya adalah pemanfaatan hutan nipah yang
terdapat di areal kerja KLIA. Nipah menyimpan potensi dan peluang untuk
dikembangkan, namun masih jarang yang tertarik dengan nipah. Selain karena
lokasi yang menantang, nipah masih dianggap sebagai wasteland. Mengumpulkan
informasi dan data terkait vegetasi nipah dengan cara inventarisasi secara terestris
tentunya akan membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang sangat besar,
dikarenakan lokasinya yang berbeda dengan hutan lahan kering. Salah satu
teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk memperoleh informasi vegetasi nipah
adalah penggunaan teknologi penginderaan jauh.
Perkembangan penginderaan jauh dalam mendukung pengelolaan
sumberdaya alam memberikan peluang serta tantangan. Salah satu tantangan yang
dihadapi adalah ketika semakin tinggi suatu resolusi spasial citra satelit maka
dibutuhkan pendekatan yang lebih kompleks. UAV merupakan salah satu wahana
yang mampu menghasilkan citra dengan resolusi sangat tinggi. Salah satu
permasalahan yang dihadapi pada citra resolusi sangat tinggi adalah bagaimana
pengolahan citranya. Untuk menghasilkan informasi dan data yang baik dari citra
resolusi sangat tinggi tentunya diperlukan pendekatan yang berbeda dengan citra
resolusi menengah dan rendah. Pendekatan yang biasa digunakan dalam
pengolahan citra resolusi sangat tinggi adalah pendekatan berbasis objek (OBIA).
Penggunaan pendekatan berbasis objek dalam menginventarisasi dimensi vegetasi
nipah dari citra UAV perlu untuk dikaji. Berdasarkan permasalahan yang
diuraikan maka dirumuskan beberapa pertanyaan untuk kajian penelitian sebagai
berikut :
1. Bagaimana keterhandalan suatu pendekatan berbasis objek dengan
algoritma mean-shift dalam menginventarisasi dimensi vegetasi nipah
khususnya kerapatan tajuk.
2. Bagaimana persentase kerapatan tajuk dan gap vegetasi nipah jika dikaitkan
dengan ukuran plot optimal secara teretris?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan dan


keterhandalan pendekatan klasifikasi berbasis objek (OBIA) dengan
menggunakan algoritma mean-shift yang dintegrasikan dengan pendekatan
berbasis piksel dalam menginventarisasi dimensi vegetasi nipah (Nypa fruticans).
Tujuan tambahan penelitian ini untuk mendesain bentuk dan ukuran plot optimal
terhadap dimensi vegetasi nipah untuk menaksir persentase kerapatan tajuk dan
gap nipah dari citra UAV.
Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah diperolehnya


teknik klasifikasi untuk menginventarisasi dimensi vegetasi nipah khususnya
kerapatan tajuk menggunakan pendekatan berbasis objek yang dintegrasikan
dengan pendekatan berbasis piksel dari citra pesawat tidak berawak (UAV).

2 METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di wilayah areal kerja IUPHHK PT Kandelia Alam


yang terletak antara 109°34ʹ10.82ʺ – 109°41ʹ14,85ʺ BT serta 0°35ʹ18.21ʺ –
0°39ʹ53,45ʺ LS. Secara administratif lokasi penelitian berada di Kabupaten Kubu
Raya Provinsi Kalimantan Barat (Gambar 1). Pengukuran lapangan dan survei
lapangan dilakukan dari bulan Maret sampai dengan April 2016, khususnya di
area yang terliput oleh rekaman citra UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Hak cipta
dari citra UAV yang digunakan dalam penelitian merupakan milik PT Kandelia
Alam. Pengolahan dan analisa data dilakukan dari bulan Mei 2016 sampai dengan
Mei 2017. Secara visual wilayah yang terekam oleh UAV sebagian besar berupa
badan air, mangrove, nipah, dan rawa.

Gambar 1 Lokasi penelitian


Alat dan Perangkat Lunak (Software)

Pengolahan dan analisa data dilakukan menggunakan beberapa perangkat


lunak seperti QGIS 2.18, Orfeo Toolbox/Monteverdi 1.24, ERDAS Imagine 9.1
dan Microsoft Excel 2010. Pengukuran dimensi dan posisi tegakan pada
penelitian ini menggunakan meteran, kompas, clinometer, Global Positioning
System (GPS) Garmin 60CSx, kamera digital, pita ukur, tally sheet, timbangan
dan tali tambang.

Jenis Data

Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data UAV
berukuran 8 bit, terdiri dari 4 band antara lain Red, Green, Blue dan Alpha dan
resolusi spasial 10 cm. Citra UAV yang digunakan sudah terkoreksi (koreksi
geometrik dan radiometrik) oleh pemasok data. Data UAV yang digunakan
mencakup luasan 4087 ha dan direkam pada bulan Februari 2016. Selain data citra,
jenis data pendukung yang digunakan adalah diameter individu nipah, diameter
pelepah nipah, diameter tunggak nipah, jumlah pelepah hidup, jumlah pelepah
mati serta sampel pelepah dengan berat 100–200 gram. Pengambilan data
lapangan dilakukan pada klaster yang dipilih secara purposive sampling dengan
memperhatikan keterwakilan lokasi antara hulu, tengah dan hilir, serta beberapa
pertimbangan lainnya seperti aksesibilitas, keamanan dan peta Rencana Kerja
Tahunan (RKT) perusahaan.

Pra Pengolahan Citra

Pengolahan citra awal meliputi proses on screen digitizing (interpretasi


secara visual) untuk menentukan klasifikasi penutupan lahan. Jenis tutupan lahan
hasil digitasi awal digunakan sebagai dasar untuk mengetahui lokasi areal nipah
yang akan disurvei. Deliniasi awal data UAV dibagi atas tiga klasifikasi tutupan
lahan yaitu mangrove, nipah dan badan air.

Survei Lapangan

Lokasi pengambilan data lapangan dilakukan dengan bantuan data UAV dan
peta areal kerja perusahaan. Pengambilan plot contoh menggunakan metode
purposive sampling. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive
sampling) berdasarkan atas beberapa pertimbangan seperti posisi sungai,
aksesibilitas ke lokasi, keamanan dan peta Rencana Kerja Tahunan (RKT)
perusahaan. Jumlah klaster untuk pengambilan data adalah sebanyak 4 (empat)
klaster. Pengumpulan data di setiap klaster dilakukan dengan membuat plot
penelitian berbentuk persegi panjang berukuran 60 meter × 100 meter. Plot
penelitian kemudian dibagi lagi menjadi plot berukuran 20 meter × 20 meter.
Setiap klaster terbagi kedalam lima belas plot berbentuk bujur sangkar. Untuk
mempermudah pengambilan data lapangan, plot contoh kemudian dibagi kedalam
empat sub-plot berukuran 10 meter × 10 meter.

(a) (b)

Gambar 2 Bentuk petak ukur lapangan 0.6 ha (a) dan petak ukur 0.04 ha (b)

Untuk memperoleh keterwakilan dan keragaman vegetasi maka orientasi


plot selalu menggunakan orientasi arah Utara–Selatan magnet bumi (berbasis pada
kompas), dimana plot pengukuran dibuat selalu tegak lurus dengan sungai-sungai
besar. Jika orientasi sungai utama dari Utara–Selatan maka orientasi plot adalah
Timur–Barat, sedangkan jika sungai utama orientasinya Timur–Barat maka plot
pengukuran orientasinya Utara–Selatan.

Pengolahan Citra Dijital

Pengolahan citra dijital dilakukan untuk memperoleh dimensi vegetasi nipah


dari citra UAV. Pengolahan citra dijital terdiri dari beberapa tahapan antara lain
pengolahan citra berbasis objek (segmentasi dan klasifikasi) serta pengolahan citra
dijital berbasis piksel. Pengolahan citra UAV mencakup pemotongan (cropping)
citra yang disesuaikan dengan lokasi klaster penelitian. Cropping dilakukan untuk
mempermudah dalam melakukan proses pengolahan berbasis objek dan
pengolahan berbasis piksel. Ukuran data UAV pada setiap area of interest (AOI)
adalah 1100 × 1100 piksel atau berukuran 110 × 110 meter dan diusahakan agar
mencakup beberapa kelas (mangrove, nipah, badan air dan gap). Setiap hasil
cropping citra AOI dilakukan pemisahan band Alpha terlebih dahulu, sehingga
setiap AOI yang digunakan hanya memiliki band Red, Green dan Blue. Tahapan
pengolahan citra dijital dapat dilihat pada Gambar 3. Pengolahan citra UAV
berbasis objek terdiri dari dua tahapan yaitu segmentasi dan klasifikasi. Proses
pengolahan citra UAV berbasis objek dilakukan secara otomatis berbasis mesin,
yaitu menggunakan Orfeo Toolbox/Monteverdi, sedangkan untuk klasifikasi
menggunakan integrasi hasil klasifikasi berbasis piksel.

UAV Images
Mulai (koreksi geometrik dan
radiometrik)

Data lapangan dan


Interpretasi visual Cropping, Stacking Layer RGB

RGB Images (AOI) Training area

OBIA Pixel-based Class


(Mean-Shift) (Maximum Likelihood) signature

Segmented image
Classified image
(layer)

Overlay
(Attributing/Labeling Segmentation Images)

Klasifikasi Hasil OBIA Crown


Uji Akurasi Closure Selesai
dan Piksel-based

Gambar 3 Diagram alir pengolahan citra UAV

Segmentasi
Proses segmentasi merupakan proses awal dalam klasifikasi citra berbasis
objek (OBIA). Metode segmentasi merupakan proses penggabungan segmen yang
lebih kecil kedalam objek yang lebih besar berdasarkan homogenitas (kesamaan
nilai spektral dan karakteristik spasial) dari citra. Metode segmentasi yang
digunakan di dalam penelitian ini adalah menggunakan algoritma mean-shift pada
Orfeo Toolbox/Monteverdi 1.24. Konsep dasar metode ini berdasarkan konsep
Fukunaga dan Hostetler (1975), yang kemudian diimplementasikan oleh
Comaniciu dan Meer (2002) pada permasalahan low level vision. Metode mean-
shift merupakan metode yang serbaguna, berdasarkan analisis non-parametrik
untuk mengestimasi gradien pada proses clustering suatu citra.
Teknik segmentasi mean-shift telah banyak digunakan dalam komunitas
pengolahan citra. Mean-shift merupakan salah satu dari banyak teknik yang
digunakan dalam "feature space analysis atau analisis ruang fitur". Metode mean-
shift yang digunakan dalam aplikasi Orfeo Toolbox/Monteverdi terdiri dari dua
langkah dasar yaitu: filtering data gambar/citra asli (pada ruang dimensi-d), dan
clustering dari titik data yang telah melalui proses filtering. Paradigma pada
proses segmentasi citra adalah dimana piksel-piksel dipetakan kedalam sebuah
ruang warna dan dikelompokkan (clustering), dimana setiap klaster
menggambarkan daerah yang homogen pada gambar atau citra.
Algoritma mean-shift menganggap bahwa setiap titik pada suatu ruang
dimensi-d sebagai sebuah fungsi kepadatan probabilitas empiris. Mean-shift
menetapkan sebuah jendela di sekitar setiap titik data pada sebuah feature space
dan menghitung nilai rata-rata pada setiap jendela tersebut. Titik tengah dari
sebuah jendela bergeser menuju nilai rata-rata baru dan berulang hingga tercapai
titik konvergen (Gambar 4).

Gambar 4 Prosedur mean-shift. Titik xi adalah titik awal prosedur.


Supercripts menujukkan nilai iterasi mean-shift, ( )
data input, ( ) titik pusat dari sebuah jendela, dan
lingkaran bertitik menujukkan estimasi kepadatan suatu
jendela.
Algoritma mean-shift sebelumnya menganggap sebuah feature space
sebagai sebuah fungsi kepadatan probabilitas empiris. Untuk mengestimasi nilai
fungsi kepadatan probabilitas digunakan estimasi kepadatan kernel. Pada analisis
statistik nonparametrik, sebuah nilai kernel adalah fungsi pembobotan. Misalkan
nilai piksel (x1, x2, ...., xn) dari sebuah citra multispektral resolusi sangat tinggi
adalah independen dan sampel yang terdistribusi secara acak diambil dari
beberapa distribusi yang tidak diketahui dengan kepadatan yang tidak diketahui
(Comaniciu dan Meer 2002). Formulasi estimasi kepadatan kernel (KDE) adalah:

1 x - xi
f̂ = d ∑ni=1 K ( ) (1)
nh h

dimana:
h : bandwith parameter adalah nilai radius dari kernel K(x)
d : adalah dimensi dari input citra/gambar
n : adalah jumlah piksel
Algoritma mean-shift didasarkan pada pencarian mode atau wilayah padat
dengan menggunakan gradien ascent (Comaniciu dan Meer 2002). Formulasinya
sebagai berikut:

x1 = x0 + ƞ f' (x0 ) (2)

Penggunaan algoritma ini banyak digunakan dalam penelitian-penelitian


sebelumnya untuk monitoring pengelolaan lingkungan (Ballari et al. 2016),
deteksi perubahan pada citra SAR (Aiazzi et al. 2013), deteksi perubahan hutan
akibat badai menggunakan OBIA (Chehata et al. 2014). Ada tiga parameter yang
digunakan dalam mean-shift segmentation antara lain spatial radius, range radius
dan minimum region size. Penelitian ini menguji 27 kombinasi parameter mean-
shift segmentation pada setiap klaster untuk memperoleh nilai kerapatan tajuk dan
gap vegetasi nipah (Tabel 1).

Tabel 1 Parameter segmentasi


No Kode Kombinasi hr hs M Kombinasi
1 K-01 5 10 50 5-10-50
2 K-02 5 10 100 5-10-100
3 K-03 5 10 150 5-10-150
4 K-04 5 20 50 5-20-50
5 K-05 5 20 100 5-20-100
6 K-06 5 20 150 5-20-150
7 K-07 5 30 50 5-30-50
8 K-08 5 30 100 5-30-100
9 K-09 5 30 150 5-30-150
10 K-10 10 10 50 10-10-50
11 K-11 10 10 100 10-10-100
12 K-12 10 10 150 10-10-150
13 K-13 10 20 50 10-20-50
14 K-14 10 20 100 10-20-100
15 K-15 10 20 150 10-20-150
16 K-16 10 30 50 10-30-50
17 K-17 10 30 100 10-30-100
18 K-18 10 30 150 10-30-150
19 K-19 15 10 50 15-10-50
20 K-20 15 10 100 15-10-100
21 K-21 15 10 150 15-10-150
22 K-22 15 20 50 15-20-50
23 K-23 15 20 100 15-20-100
24 K-24 15 20 150 15-20-150
25 K-25 15 30 50 15-30-50
26 K-26 15 30 100 15-30-100
27 K-27 15 30 150 15-30-150
hs: spatial radius (piksel), hr: range radius (nilai kecerahan), M: minimum region size (piksel)
Klasifikasi (OBIA)
Klasifikasi OBIA dilakukan dengan mengintegrasikan pendekatan berbasis
piksel dengan OBIA. Untuk melakukan klasifikasi terhadap hasil segmentasi
maka terlebih dahulu dilakukan klasifikasi berbasis piksel. Klasifikasi berbasis
piksel yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan algoritma maximum
likelihood classifier. Klasifikasi terbimbing dilakukan pada keempat klaster
penelitian. Tahap klasifikasi berbasis piksel terdiri dari penentuan training area
dan penentuan signature class. Uji akurasi terhadap hasil klasifikasi terbimbing
dilakukan dengan membandingkan hasil klasifikasi terbimbing dengan hasil
interpretasi visual dan survei lapangan. Hasil klasifikasi terbimbing digunakan
untuk mengklasifikasikan setiap poligon/objek hasil segmentasi berdasarkan kelas
pada klasifikasi terbimbing.

Gambar 5 Prosedur pengklasifikasian objek integrasi OBIA dan berbasis piksel.


(a) hasil segmentasi (mean-shift), (b) hasil klasifikasi berbasis piksel,
(c) hasil overlay antara poligon hasil segmentasi dengan poligon hasil
klasifikasi berbasis piksel dan (d) pelabelan objek (attributing)
dengan pendekatan proporsi luas maksimum. ( ) gap, ( ) nipah dan
( ) mangrove.

Prosedur pengklasifikasian hasil segmentasi terdiri dari beberapa tahapan


(Gambar 5) di antaranya: 1) proses segmentasi dengan berbagai kombinasi
paramater (Gambar 5a), 2) melakukan proses klasifikasi dengan metode berbasis
piksel (Gambar 5b), 3) operasi spasial (overlay) antara poligon hasil segmentasi
(proses 1) dengan poligon hasil klasifikasi berbasis piksel (proses 2) sehingga
diperoleh hasil overlay tersebut sebagaimana disajikan pada Gambar 5c dan 4)
proses attributing/pelabelan objek hasil segmentasi (gap, nipah atau mangrove)
berdasarkan nilai persentase maksimum dari segmen/objek berdasarkan hasil
klasifikasi berbasis piksel dan objek (Gambar 5d). Pengkelasan hasil segmentasi
ditentukan apabila nilai persentase suatu kelas lebih besar dari 50.1% maka akan
diklasifikasikan kedalam kelas “n”. Misal, hasil segmen/objek “A” persentase
klasifikasi “nipah” sebesar 50.1%, “mangrove” sebesar 30.9% dan “gap” sebesar
10%, maka poligon segmen/objek “A” diklasifikasikan kedalam kelas “nipah”.

Uji Akurasi
Salah satu langkah dalam menguji hasil segmentasi adalah menggunakan
uji akurasi. Beberapa metode yang biasa digunakan dalam menguji hasil
segmentasi diantaranya menggunakan indeks fragmentasi (Strasters dan
Gerbrands 1991), area fit index (Lucieer 2004), serta penggunaan area, perimeter
dan shape index (Neubert et al. 2008). Pada penelitian ini, penentuan hasil
segmentasi dan kombinasi parameter segmentasi terbaik dalam menginventarisasi
dimensi vegetasi nipah (kerapatan tajuk dan gap) adalah dengan cara
menggunakan prinsip matrik konfusi (confusion matrix). Hasil segmentasi
dibandingkan dengan data referensi berupa hasil interpretasi visual (on screen
digitizing) serta survei lapangan. Kelompok yang dibentuk untuk uji akurasi
adalah data luas tutupan tajuk dan gap.

Tabel 2 Matrik konfusi


Data diklasifikasikan ke kelas Producer’s
Jumlah
Referensi Accuracy
A X11 X12 X13 X14 X1+ X11/X1+
B X21 X22 X23 X24 X2+ X22/X2+
C X31 X32 X33 X34 X3+ X33/X3+
D X41 X42 X43 X44 X4+ X44/X4+
Jumlah X+1 X+2 X+3 X+4
User’s X11/X+1 X22/X+2 X33/X+3 X44/X+4
Accuracy

Berikut rumus yang digunakan untuk menghitung akurasi keseluruhan (OA)


dan akurasi kappa (KA) (Jaya 2015):

∑ri=1 Xii
OA = [ x 100%] (3)
N

N ∑ri=1 Xii - ∑ri=1 Xi+ X+i


K= x 100% (4)
N2 - ∑ri Xi+ X+i

Keterangan:
OA : Akurasi keseluruhan
K : Akurasi kappa
Xii : Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i
Xi+ : Jumlah nilai pada kolom ke-j
X+i : Jumlah nilai pada baris ke-i
N : Total piksel

Hasil uji akurasi terhadap semua kombinasi segmentasi digunakan untuk


memilih kombinasi parameter segmentasi terbaik. Pemilihan hasil segmentasi
terbaik berdasarkan nilai akurasi keseluruhan dan akurasi kappa terbesar. Hasil
klasifikasi berbasis objek kemudian digunakan untuk menginventarisasi dimensi
vegetasi nipah pada citra UAV berdasarkan ukuran plot optimal secara terestris.

Simulasi Plot Lapangan

Selain inventarisasi dimensi vegetasi nipah menggunakan UAV, dilakukan


juga inventarisasi dimensi vegetasi nipah secara terestris. Dimensi atau peubah
yang diukur di lapangan antara lain volume, biomassa dan kerapatan individu
nipah. Data volume, biomassa dan kerapatan individu digunakan sebagai alat
bantu untuk simulasi bentuk dan ukuran plot lapangan. Pemilihan plot optimal di
lapangan dinilai berdasarkan nilai koefisien keragaman (CV) dari volume,
biomassa, dan kerapatan individu serta waktu inventarisasi (t) pada setiap ukuran
plot. Waktu inventarisasi yang diukur pada penelitian ini adalah rata-rata waktu
yang diperlukan untuk menyelesaikan inventarisasi pada plot 20 meter × 20 meter.
Rasio antara waktu pengukuran (t) rata-rata dengan jumlah individu pada plot
ukuran 20 meter × 20 meter dijadikan sebagai dasar untuk menghitung waktu
inventarisasi pada ukuran plot lainnya. Ukuran dan bentuk plot lapangan yang
disimulasikan untuk inventarisasi dimensi vegetasi nipah di lapangan sebanyak
enam belas (Tabel 3).

Tabel 3 Bentuk dan ukuran plot simulasi lapangan


No Bentuk plot (SSm × TSm)a Ukuran plot (ha)
1 PS 10 × 10 0.01
2 PS 20 × 20 0.04
3 PS 20 × 30 0.06
4 PS 60 × 10 0.06
5 PS 20 × 50 0.10
6 PS 20 × 100 0.20
7 PS 30 × 20 0.06
8 PS 60 × 30 0.18
9 PS 50 × 10 0.05
10 PS 50 × 20 0.10
11 PS 10 × 50 0.05
12 PS 30 × 50 0.15
13 PS 10 × 100 0.10
14 PS 30 × 100 0.30
a
SSm: sejajar sungai dalam satuan meter, TSm: tegak lurus sungai dalam satuan meter.

Orientasi pembuatan plot inventarisasi di lapangan dibuat selalu tegak lurus


terhadap sungai-sungai utama (Gambar 6). Jika orientasi sungai utama dari Timur-
Barat maka orientasi plot adalah Utara-Selatan (Gambar 6a), sedangkan jika
sungai utama orientasinya Utara-Selatan maka plot pengukuran orientasinya
Timur-Barat (Gambar 6b).

(a) (b)
Gambar 6 Orientasi plot contoh di lapangan. (a) Utara-Selatan, (b) Timur-Barat
(tegak lurus terhadap aliran utama sungai)
Rumus untuk menghitung volume per plot, biomassa per plot dan kerapatan
individu per plot sebagai berikut:

Volume plot ke-i


Volume per plot = (5)
luas plot

Biomassa plot ke-i


Biomassa per plot = (6)
luas plot

jumlah individu plot ke-i


Kerapatan per plot = (7)
luas plot

Kerapatan Tajuk dan Gap Vegetasi Nipah

Dimensi vegetasi nipah yang diinventarisasi pada penelitian ini adalah


kerapatan tajuk dan gap. Kerapatan tajuk dapat diartikan sebagai ukuran
banyaknya sinar yang dapat dilalukan oleh tajuk pohon sampai ke lantai hutan.
Sedangkan gap dalam penelitian ini diartikan sebagai sebuah area kosong atau
bayangan antara ranting, cabang atau dahan pada tegakan nipah. Sebelum dimensi
kerapatan tajuk dihitung, terlebih dahulu ditentukan plot optimal lapangan. Plot
simulasi optimal kemudian digunakan untuk menghitung dan menginventarisasi
kerapatan tajuk dan gap. Rumus untuk menghitung persen penutupan tajuk pohon
yaitu:

jumlah luas tajuk atau gap (m2 )


Persentase tajuk atau gap = (8)
luas plot (m2 )

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemilihan Kombinasi Segmentasi

Pemilihan parameter segmentasi terbaik dilakukan dengan mengevaluasi


nilai rata-rata akurasi keseluruhan (OA) dan akurasi Kappa (KA) dari keempat
klaster penelitian. Rekapitulasi nilai akurasi OA dan KA dirangkum dalam
Gambar 7. Nilai akurasi diperoleh dengan membandingkan hasil segmentasi dan
hasil interpretasi visual serta observasi lapangan sebagai data referensi.
Hasil dari 27 kombinasi parameter segmentasi yang diuji, penulis
menemukan bahwa akurasi yang relatif tinggi dalam memprediksi kerapatan tajuk
dan gap nipah adalah K-10 (10-10-50), K-01 (5-10-50), K-04 (5-20-50) dan K-19
(15-10-50) dimana nilai akurasi rata-rata keseluruhan adalah antara 76.5% dan
76.6% serta akurasi Kappa antara 55.6 dan 55.7% (Gambar 7). Berdasarkan
keempat kombinasi terbaik tersebut, kombinasi K-10 (10-10-50) dan kombinasi
K-04 (5-20-50) memiliki nilai akurasi Kappa yang sama yaitu sebesar 55.7%,
namun akurasi rata-rata keseluruhan K-10 lebih tinggi dibandingkan K-04 yaitu
berturut-turut 76.6% dan 76.5%.
100
90
80
70
Akurasi (%)

60
50
40
30
20
10
0
K-08

K-17

K-27
K-01
K-02
K-03
K-04
K-05
K-06
K-07

K-09
K-10
K-11
K-12
K-13
K-14
K-15
K-16

K-18
K-19
K-20
K-21
K-22
K-23
K-24
K-25
K-26
Kombinasi Parameter
Kappa OA

Gambar 7 Nilai rata-rata akurasi keseluruhan dan akurasi Kappa

Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5, variasi nilai spatial radius dan range
radius dalam proses segmentasi tidak memberikan perbedaan akurasi yang
signifikan. Tidak ada perbedaan akurasi yang signifikan ketika nilai spatial radius
meningkat atau menurun. Hasil keseluruhan kombinasi parameter, menunjukkan
bahwa parameter spatial radius yang paling akurat untuk memprediksi kerapatan
tajuk dan gap nipah ketika spatial radius yang digunakan sebesar 10 piksel. Bila
spatial radius ditingkatkan menjadi 15 piksel maka terjadi penurunan pada nilai
rata-rata akurasi keseluruhan dan akurasi Kappa.

Tabel 4 Nilai akurasi parameter spatial radius


Setting hr hs M Akurasi
Nomor
Segmentasi (piksel) (DN) (piksel) OA (%) Kappa (%)
1 K-01 5 10 50 76.5 55.6
2 K-10 10 10 50 76.6 55.7
3 K-19 15 10 50 76.5 55.6

Parameter range radius tidak berbeda jauh dengan hasil dari parameter
spatial radius. Peningkatan range radius dari 10 menjadi 20 hanya menyebabkan
penurunan nilai rata-rata akurasi keselurahan dari 76.6% menjadi 76.3%,
perubahan yang sangat kecil (lihat K-10 dan K-13) (Tabel 5). Nilai rata-rata
akurasi keseluruhan dan akurasi Kappa mengalami perubahan signifikan ketika
nilai range radius dinaikkan dari 20 menjadi 30 (Tabel 5), dimana nilai rata-rata
akurasi keseluruhan menurun sebesar 2.8% dan akurasi Kappa menurun sekitar
5.1%.
Tabel 5 Nilai akurasi parameter range radius
Setting hr hs M Akurasi
Nomor
Segmentasi (piksel) (DN) (piksel) OA (%) Kappa (%)
1 K-10 10 10 50 76.6 55.7
2 K-13 10 20 50 76.3 55.2
3 K-16 10 30 50 73.5 50.1

Parameter ketiga dari mean-shift segmentation adalah minimum region size


(M). Parameter M ini menentukan jumlah piksel yang membentuk suatu segmen
(objek). Pengaturan nilai M dilakukan berdasarkan hasil pengukuran diameter
individu nipah di lapangan, dimana nilai diameter individu lapangan berkisar
antara 0.5 m2 – 1.5 m2, atau berkisar antara 50 – 150 piksel. Hasil penelitian ini
menemukan bahwa kombinasi parameter terbaik diperoleh jika nilai parameter M
sebesar 50 piksel. Setiap parameter M dinaikkan sebesar 50 piksel akan
menyebabkan penurunan pada nilai rata-rata akurasi keseluruhan dan akurasi
Kappa. Nilai M berbeda secara signifikan saat dinaikkan sampai dengan 100
piksel (Tabel 6), dan menyebabkan penurunan nilai rata-rata akurasi keseluruhan
sebesar 2.6% dan akurasi Kappa sebesar 5.1%.

Tabel 6 Nilai akurasi parameter minimun region size


Setting hr hs M Akurasi
Nomor
Segmentasi (piksel) (DN) (piksel) OA (%) Kappa (%)
1 K-10 10 10 50 76.6 55.7
2 K-11 10 10 100 75.0 52.7
3 K-12 10 10 150 74.0 50.6

Berdasarkan hasil perbandingan ketiga parameter segmentasi yang


dievaluasi, maka parameter minimum region size (M) menjadi parameter yang
paling berpengaruh dalam menduga kerapatan tajuk dan gap nipah dibandingkan
dengan parameter lainnya seperti spatial radius dan range radius. Hal penelitian
ini didukung oleh penelitian Comaniciu dan Meer (2002), yang menjelaskan
bahwa parameter spatial radius kurang sensitif jika dibandingkan dengan
parameter segmentasi lainnya.
Gambar 8 menunjukkan perbandingan sebagian gambar antara hasil
segmentasi menggunakan kombinasi parameter K-10 dan K-04. Gambar yang
disajikan merupakan gambar sampel dari masing-masing klaster. Jika diamati
dengan detail akan terlihat beberapa perbedaan ukuran objek baik untuk ukuran
nipah, mangrove maupun gap.
(1) (2) (3)
(a) Klaster I

(1) (2) (3)


(b) Klaster II

(1) (2) (3)


(c) Klaster III

(1) (2) (3)


(d) Klaster IV
Gambar 8 Perbandingan sampel dari UAV (kolom kiri: 1) dengan hasil OBIA
K-10 (kolom tengah: 2) dan hasil segmentasi K-04 (kolom kanan: 3)
pada klaster I (a) – klaster IV (d). ( ) gap, ( ) nipah, ( ) mangrove.
Untuk meningkatkan nilai akurasi dalam menaksir kerapatan tajuk dan gap
nipah, penelitian ini menggunakan kemampuan klasifikasi berbasis piksel untuk
meningkatkan akurasi deliniasi pada tutupan tajuk nipah berdasarkan nilai spektral
setiap kelas (nipah, mangrove dan gap). Hasil segmentasi kemudian
dikombinasikan dengan hasil klasifikasi berbasis piksel untuk mengklasifikasikan
setiap objek hasil segmentasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Wicaksono dan
Farda (2015) dimana penelitian tersebut mencoba melakukan identifikasi habitat
bentik dengan cara menggabungkan metode klasifikasi berbasis objek dan
berbasis piksel antara citra asli dan citra yang terkompresi. Hasil penelitian
tersebut menghasilkan nilai akurasi yang sangat rendah yaitu hanya 27.7%. Hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa penyebab rendahnya nilai akurasi diakibatkan
beberapa hal diantaranya akibat pra-proses segmentasi dan pengambilan lokasi
sampel yang kurang tepat.
Evaluasi hasil penggunaan metode klasifikasi berbasis piksel untuk
mengklasifikasikan kerapatan tajuk dan gap nipah juga dilakukan. Namun, hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemampuannya untuk mengidentifikasi objek
masih tergolong rendah. Salah satu kekurangannya adalah pada ketika pelabelan
ataupun pengkelasan objek, yang hanya berdasarkan nilai kecerahan atau warna
objek, tanpa mempertimbangkan aspek spasial seperti lokasi, ukuran, bentuk,
tekstur, dll. Keberhasilan atau kegagalan dari penggunaan klasifikasi berbasis
piksel sangat bergantung terhadap nilai kecerahan dari suatu objek. Dengan
demikian, kualitas hasil klasifikasi objek pada penelitian ini sangat tergantung
pada kualitas hasil klasifikasi berbasis piksel. Salah satu tantangan dan kesulitan
yang dihadapi dalam penelitian ini adalah pada saat pemisahan nilai spektral suatu
kelas dalam klasifikasi berbasis piksel terutama ketika menggunakan data citra
beresolusi sangat tinggi, terutama pada tutupan tajuk nipah.
Keakuratan yang rendah dengan menggunakan rentang spektral
(radiometrik) kemungkinan juga disebabkan oleh kualitas gambar (blur/gerakan
gambar dan resolusi spektral rendah). Efek blur pada citra diakibatkan oleh efek
gerakan pesawat ketika terbang sehingga mempengaruhi kemampuan UAV dalam
mengidentifikasi objek (Wahyuni et al. 2016; Zheng et al. 2008). Efek noise juga
mengurangi keakuratan hasil segmentasi. Dalam citra beresolusi sangat tinggi,
sangat umum bahwa ukuran gap di antara pohon, cabang, ranting, dan daun
menyebabkan efek noise atau biasa disebut "salt and pepper". Sumber noise
lainnya kemungkinan berasal dari kesalahan ketika registrasi dan koreksi
geometrik selama tahap pra-pemrosesan citra UAV.

Plot Optimal Secara Terestris

Plot optimal secara terestris diperoleh melalui simulasi berbagai bentuk dan
ukuran plot lapangan. Simulasi bentuk dan ukuran plot diperoleh dari data klaster
penelitian yang disimulasikan kedalam berbagai bentuk dan ukuran plot. Bentuk
dan ukuran plot yang optimal berperan dalam menekan waktu dan biaya yang
diperlukan ketika akan dilakukan suatu inventarisasi.
Tabel 7 Rekapitulasi CV-Vol, CV-Bio, CV-Nha
No Bentuk Lebar Panjang Luas CV-Vol CV-Bio CV-Nha Waktu
Plot (m) (m) (ha) (%) (%) (%) (jam/ha)
1 PS 10×10 10 10 0.01 30.83 31.61 26.60 19.06
2 PS 20×20 20 20 0.04 24.01 24.78 19.19 18.75
3 PS 50×10 50 10 0.05 21.31 21.99 17.48 18.76
4 PS 10×50 10 50 0.05 21.00 21.62 18.02 18.75
5 PS 20×30 20 30 0.06 19.88 20.69 15.26 18.83
6 PS 60×10 60 10 0.06 21.58 22.26 17.73 18.78
7 PS 30×20 30 20 0.06 22.02 22.68 18.52 18.78
8 PS 20×50 20 50 0.10 18.58 19.29 15.51 18.75
9 PS 50×20 50 20 0.10 19.03 19.69 15.97 18.76
10 PS 10×100 10 100 0.10 14.67 15.06 15.68 18.75
11 PS 30×50 30 50 0.15 17.16 17.73 16.12 18.84
12 PS 60×30 60 30 0.18 16.00 16.73 13.24 18.94
13 PS 20×100 20 100 0.20 12.97 13.45 14.33 18.75
14 PS 30×100 30 100 0.30 11.92 12.25 15.38 18.73

Tabel 7 menunjukkan nilai koefisien keragaman (CV) pada tiga peubah


lapangan memiliki nilai rata-rata diatas 10%. Tingginya nilai koefisien variasi
kemungkinan disebabkan oleh faktor data lapangan yang heterogen. Salah satu
penyebab tingginya keragaman data lapangan disebabkan oleh faktor pengukuran
data lapangan yang dilakukan empat tenaga kerja, sehingga subjektifitas
pengukuran dari masing-masing pengukur bisa berbeda-beda ketika dilakukan
pengukuran, walaupun sudah dilatih terlebih dahulu. Tabel 7 juga menunjukkan
bahwa nilai CV terkecil untuk volume, biomassa dan kerapatan individu berturut-
turut 11.92%, 12.25% dan 13.24%. Nilai CV terkecil untuk volume dan biomassa
diperoleh ketika menggunakan bentuk plot berukuran 30 meter × 100 meter,
sedangkan untuk kerapatan individu, nilai CV terkecil diperoleh pada plot
berukuran 60 meter × 30 meter.

35 20.0

30
19.5
Waktu pengukuran (jam/ha)

25

19.0
20
CV (%)

15
18.5

10
18.0
5

0 17.5
0.01 0.04 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06 0.10 0.10 0.10 0.15 0.18 0.20 0.30
Luas plot (ha)

CV-Vol (%) CV-Bio (%) CV-Nha (%) Waktu (jam/ha)

Gambar 9 Hubungan antara luas plot, CV dan lama waktu pengukuran


di lapangan.
Gambar 9 merupakan gambaran hasil gabungan nilai CV dari ketiga peubah
lapangan. Berdasarkan Gambar 9, nilai CV akan cenderung menurun dengan
semakin meningkatnya luas plot inventarisasi. Nilai CV pada peubah volume dan
biomassa cenderung menunjukkan bahwa semakin luas plot maka nilai CV akan
semakin menurun, namun berbeda dengan peubah kerapatan individu dimana titik
terendah CV diperoleh ketika menggunakan plot berukuran 60 meter × 30 meter
atau seluas 0.18 ha. Nilai CV pada luas plot 0.18 ha dan 0.20 ha cenderung tidak
berbeda signifikan. Berbeda ketika plot menggunakan luas 0.30 ha nilai CV
kerapatan individu cenderung meningkat. Secara teori nilai CV akan menurun
ketika luas plot yang digunakan semakin besar (Simon 2007). Namun pada
peubah kerapatan individu, nilai CV cenderung meningkat ketika luas plot yang
digunakan lebih besar dari 0.18 ha.
Sedangkan Gambar 10 menunjukkan hubungan antara nilai CV dengan tiga
peubah lapangan berdasarkan bentuk plot. Berdasarkan Gambar 10, ukuran plot
yang konsisten terhadap tiga peubah lapangan adalah plot berbentuk 20 meter ×
100 meter. Namun plot berukuran 30 meter × 100 meter memiliki nilai CV
terkecil untuk peubah volume dan biomassa. Berbeda untuk nilai CV pada peubah
kerapatan individu, nilai CV plot berukuran 30 meter × 100 meter cenderung
menurun dibandingkan plot berukuran 20 meter × 100 meter.

35 20.0

30

Waktu pengukuran (jam/ha)


19.5
25

19.0
CV (%)

20

15
18.5

10
18.0
5

0 17.5

Bentuk plot

CV-Vol (%) CV-Bio (%) CV-Nha (%) Waktu (jam/ha)

Gambar 10 Hubungan antara bentuk plot, CV dan lama waktu pengukuran


di lapangan.

Berdasarkan Gambar 9 dan 10, maka hasil penelitian ini menemukan bahwa
bentuk plot optimal pada inventarisasi nipah secara terestris adalah plot berukuran
20 meter × 100 meter. Pemilihan plot berukuran 20 meter × 100 meter
dikarenakan nilai CVnya cenderung konsisten dibandingkan plot 30 meter × 100
meter serta waktu yang diperlukan kedua plot tersebut untuk melakukan
inventarisasi setiap hektarnya tidak berbeda signifikan. Waktu yang dibutuhkan
pada plot berukuran 30 meter × 100 meter adalah 18.73 jam ha-1, sedangkan untuk
plot berukuran 20 meter × 100 meter adalah 18.75 jam ha-1. Waktu tempuh dan
waktu pengukuran dalam inventarisasi nipah menjadi sebuah tantangan
dikarenakan lokasi tumbuh nipah yang berada di daerah berlumpur, sehingga
membutuhkan lebih banyak waktu untuk berjalan dari satu individu ke individu
lainnya jika dibandingkan dengan inventarisasi di daerah lahan kering.
Berbeda dengan penelitian ini, Ali et al. (2016) menggunakan ukuran
kekayaan spesies untuk menentukan bentuk dan ukuran plot optimal pada
inventarisasi di hutan pegunungan bawah. Berdasarkan hasil penelitian Ali et al.
(2016), bentuk dan ukuran plot optimal dalam inventarisasi keanekaragaman
tumbuhan adalah ketika menggunakan bentuk dan ukuran plot persegi panjang
dengan dimensi 50 meter × 200 meter. Bentuk dan ukuran plot persegi panjang
pada penelitian tersebut mengikuti pola kontur sehingga keanekaragaman jenis
yang diperoleh lebih banyak jika dibandingkan dengan ukuran plot lainnya.
Sehingga berdasarkan penelitian tersebut plot persegi panjang lebih baik
dibandingkan plot berbentuk bujur sangkar. Selain menggunakan koefisien
variasi, standar error juga digunakan dalam menentukan plot optimal dalam
inventarisasi. Penelitian Nowak et al. (2008) menemukan bahwa nilai standar
error (SE) berkorelasi dengan ukuran dan bentuk plot optimal dalam inventarisasi
potensi hutan kota. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa ukuran dan jumlah plot
optimal diperoleh ketika luas dan bentuk plot lebih besar yaitu 0.1 ha.

Kerapatan Tajuk Nipah

Kerapatan tajuk dan gap pada vegetasi nipah hasil pendekatan OBIA dan
pendekatan berbasis piksel dihitung berdasarkan nilai akurasi terbaik dari
parameter segmentasi terpilih serta ukuran plot optimal di lapangan. Berdasarkan
parameter segmentasi terpilih (hr 10, hs 10 dan M 50) dan ukuran plot optimal.
Berdasarkan plot optimal di lapangan yaitu plot berukuran 20 meter × 100 meter,
maka pada setiap klaster akan terdapat 3 (tiga) plot berukuran 20 meter × 100
meter yang diberi notasi sebagaimana disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Notasi plot pada setiap klaster


Nomor Nomor klaster Nomor plot pada setiap klaster
1 I C1-01
2 I C1-02
3 I C1-03
4 II C2-01
5 II C2-02
6 II C2-03
7 III C3-01
8 III C3-02
9 III C3-03
10 IV C4-01
11 IV C4-02
12 IV C4-03
Catatan: bentuk plot mengikuti arah sungai, sebagaimana disajikan pada Gambar 6
Total jumlah plot berdasarkan plot optimal secara terestris adalah dua belas plot
sampel. Estimasi persentase kerapatan tajuk dan gap dari kedua belas plot
lapangan berturut-turut berkisar antara 53.0% – 74.9% dan 25.1% – 47.0%.
Gambar 11 menunjukkan persentase kerapatan tajuk dari dua belas plot optimal.
Berdasarkan gambar tersebut kerapatan tajuk pada klaster C1 dan C4 lebih besar
jika dibandingkan dengan klaster C2 dan klaster C3. Hal ini disebabkan lokasi
penelitian pada klaster C1 dan klaster C4 ditemui beberapa jenis mangrove pada
plot penelitian. Berdasarkan posisi klaster dari muara sungai, maka lokasi klaster
C1 dan klaster C4 berada pada hilir dari lokasi penelitian sehingga lokasi tersebut
sebagian besar sudah bercampur dengan beberapa jenis vegetasi mangrove. Hal
ini yang mempengaruhi nilai persentase kerapatan tajuk pada klaster C1 dan C4
berbeda jika dibandingkan dengan klaster C2 dan C3.

100
90 58.5 63.9 74.9 63.2 57.8 53.8 56.5 55.1 53.0 64.9 67.6 69.9
80
Persentase (%)

70
60
50
40 46.2 43.5 44.9 47.0
41.5 42.2
30 36.1 36.8 35.1 32.4
20 30.1
25.1
10
0
C1-01 C1-02 C1-03 C2-01 C2-02 C2-03 C3-01 C3-02 C3-03 C4-01 C4-02 C4-03
Kode Plot

Gap (%) Tajuk (%)

Gambar 11 Persentase kerapatan tajuk dan gap pada plot optimal di lapangan.

Berdasarkan hasil Gambar 11 juga dapat dilihat adanya pola yang sama
antara klaster C1 dan C4, serta antara klaster C2 dan C3. Pada klaster C1-01
hingga C1-03 dan klaster C4-01 hingga C4-03 yang berada di hilir persentase gap
dan tajuk cenderung mempunyai pola yang sama, hal ini bisa disebabkan karena
klaster C1 dan klaster C4 berada di hilir dari lokasi penelitian, dimana lokasi
tersebut merupakan areal percampuran antara vegetasi nipah dan mangrove, selain
itu posisi pembuatan plot klaster C1 dan C4 dimulai dari arah utara ke selatan
magnet bumi dan tegak lurus dengan sungai. Gambar 11 menunjukkan bahwa dari
tiga plot berukuran 20 × 100 meter pada masing-masing klaster, maka plot C1-03
dan C4-03 memiliki persentase tajuk lebih besar dibandingkan plot C1-01, C2-02,
C4-01 dan C4-02.
Sedangkan pada klaster C2-01 hingga C2-03 dan klaster C3-01 hingga C3-
01 yang berada di hulu dan tengah merupakan areal yang masih sebagian besar
ditumbuhi oleh vegetasi nipah, dan lokasi pembuatan plot klaster keduanya
dimulai dari timur ke barat atau sebaliknya. Berdasarkan Gambar 10, plot yang
memiliki kerapatan tajuk tertinggi adalah pada plot C2-01 dan plot C3-01.
(a) (b) (c)

Gambar 12 Perbandingan antara citra asli (a) dengan hasil interpretasi visual (b) dan hasil klasifikasi
OBIA K-10 (c) pada Klaster I. ( ) gap, ( ) nipah, ( ) mangrove.
(a)

(b)

(c)

Gambar 13 Perbandingan antara citra asli UAV (a) dengan hasil interpretasi
visual (b) dan hasil klasifikasi OBIA K-10 (c) pada Klaster II.
( ) gap, ( ) nipah.
(a)

(b)

(c)

Gambar 14 Perbandingan antara citra asli UAV (a) dengan hasil interpretasi
visual (b) dan hasil klasifikasi OBIA K-10 (c) pada Klaster III.
( ) gap, ( ) nipah.
(a) (b) (c)

Gambar 15 Perbandingan antara citra asli (a) dengan hasil interpretasi visual (b) dan hasil klasifikasi
OBIA K-10 (c) pada klaster IV. ( ) gap, ( ) nipah, ( ) mangrove.
Gambar 12, 13, 14, dan 15 merupakan hasil klasifikasi citra pada klaster I,
klaster II, klaster III dan klaster IV menggunakan dua metode pengolahan citra
yang berbeda. Berdasarkan kedua gambar diatas terdapat perbedaan pada luasan
tajuk menggunakan metode visual dan metode kombinasi. Kerapatan tajuk dan
gap merupakan salah satu peubah yang dapat diidentifikasi pada UAV. Persentase
kerapatan tajuk yang diperoleh dari citra UAV telah digunakan sebagai salah satu
peubah dalam membangun model penduga sediaan tegakan, biomassa, ataupun
volume (Jaya et al. 2015).
Selain persentase kerapatan tajuk, peubah lainnya yang dapat diukur dari
suatu citra UAV adalah indeks vegetasi, diameter tajuk dan jumlah individu citra.
Namun pada penelitian ini peubah-peubah tersebut tidak diukur dikarenakan
beberapa hal seperti keterbatasan data UAV untuk memperoleh indeks vegetasi
serta pengukuran dimensi diameter suatu individu nipah pada citra UAV sulit
dilakukan dikarenakan bentuk dan pola tajuk nipah pada citra berbeda dengan
tajuk pohon pada umumnya. Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa hasil
interpretasi visual lebih detail jika dibandingkan dengan hasil klasifikasi OBIA.
Ukuran objek ataupun poligon yang dihasilkan oleh klasifikasi OBIA cenderung
lebih luas dibandingkan dengan hasil interpretasi visual.
Menggunakan plot optimal secara terestris (20 meter × 100 meter) dan hasil
kombinasi parameter segmentasi terbaik (K-10) maka dapat diperoleh hubungan
antara peubah lapangan seperti kerapatan, volume ataupun biomassa dengan
kerapatan tajuk citra. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh
dimensi kerapatan tajuk nipah dari UAV, maka klaster penelitian yang digunakan
untuk membangun hubungan kerapatan tajuk citra dengan peubah lapangan adalah
klaster II dan klaster III. Hal ini dikarenakan tutupan tajuk klaster II dan klaster III
didominasi oleh nipah, berbeda dengan klaster I dan klaster IV yang masih
terdapat beberapa vegetasi mangrove.

420
Kerapatan Individu (Nha)

400
y = 151.39e2.0878x
380
R² = 0.776
360

340
y = 312.99ln(x) + 638.06
R² = 0.770
320

300
0,35 0,37 0,39 0,41 0,43 0,45 0,47 0,49
Crown closure (%)

Gambar 16 Hubungan antara kerapatan individu (Nha) dan crown closure


menggunakan metode kombinasi OBIA dan berbasis piksel.
( ) persamaan logaritmik, ( ) persamaan eksponensial
Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa peubah kerapatan tajuk citra baik
menggunakan metode interpretasi visual dan metode kombinasi mampu
menjelaskan kerapatan individu di lapangan dengan koefisien determinasi (R2)
berturut-turut sebesar 77.6% dan 66.8%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh
peubah lain selain kerapatan tajuk pada UAV. Menggunakan bentuk dan ukuran
plot yang sama pada klaster yang sama, metode kombinasi (OBIA dan Piksel)
lebih baik dalam menduga kerapatan individu nipah di lapangan menggunakan
peubah kerapatan tajuk (crown closure) pada citra UAV. Peubah lapangan lainnya
seperti biomassa dan volume belum mampu dijelaskan oleh peubah kerapatan
tajuk pada citra, dikarenakan nilai koefisien determinasinya yang sangat kecil.

420
Kerapatan Individu (Nha)

400
y = 139.3e2.2165x
380 R² = 0.655

360

340
y = 356.64ln(x) + 664.25
R² = 0.668
320

300
0,38 0,40 0,42 0,44 0,46 0,48 0,50
Crown closure (%)

Gambar 17 Hubungan antara kerapatan individu (Nha) dan crown closure


menggunakan metode interpretasi visual. ( ) persamaan
logaritmik, ( ) persamaan eksponensial

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari apa yang telah dikemukakan pada bab hasil dan pembahasan
sebelumnya, penelitian ini dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Metode klasifikasi yang merupakan kombinasi/hybrid antara metode
berbasis objek (OBIA) dengan metode berbasis piksel memberikan hasil
yang cukup handal dalam menginventarisasi dimensi vegetasi nipah (Nypa
fruticans) melalui citra UAV.
2. Parameter segmentasi yang paling optimal dalam menaksir kerapatan tajuk
dan gap vegetasi nipah adalah kombinasi dari spatial radius 10, range
radius 10 dan minimum region size 50 (K-10) dengan akurasi rata-rata
keseluruhan (Overall accuracy) 76.6% dan akurasi Kappa (Kappa
accucary) 55.7%, yang diikuti kombinasi K-04 (spatial radius 5, range
radius 20 dan minimum region size 50) dengan akurasi rata-rata keseluruhan
(Overall accuracy) 76.5% dan akurasi Kappa (Kappa accuracy) 55.7%.
3. Untuk menghasilkan akurasi terbaik, parameter minimum region size (M)
memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan dengan parameter lainnya
spatial radius (hs) dan range radius (hr).
4. Untuk menduga persentase tutupan tajuk dan gap vegetasi nipah, ukuran
plot terestris yang paling optimal adalah 20 meter × 100 meter, yang
menghasilkan dugaan persentase tutupan tajuk antara 53.0% dan 74.9%,
serta gap antara 25.1% dan 47%.

Saran

Penelitian berbasis OBIA pada vegetasi nipah masih jarang dilakukan.


Penelitian ini masih perlu dilanjutkan karena masih banyak hal yang dapat digali
dengan algoritma yang lebih sesuai. Hal lain yang perlu diteliti lebih lanjut adalah
penggunaan algoritma segmentasi pada aplikasi yang berbeda, metode klasifikasi
berbasis machine learning, ataupun penggunaan aspek tekstur dalam melakukan
segmentasi. Variasi resolusi spasial citra UAV juga merupakan tantangan lain
yang perlu diuji lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Aiazzi B, Alparone L, Baronti S, Garzelli A, Zoppetti C. 2013. Nonparametric


change detection in multitemporal SAR images based on mean-shift
clustering. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing.
51(4):2022–2031.
Ali MA, Hikmat A, Santosa Y. 2016. Penentuan bentuk dan ukuran plot contoh
optimal pengukuran keanekaragaman spesies tumbuhan di hutan
pegunungan bawah. Media Konservasi. 21(1):42–47.
Blaschke T. 2010. Object based image analysis for remote sensing. ISPRS Journal
of Photogrammetry and Remote Sensing. 65(1):2–16.
Ballari D, Orellana D, Acosta E, Espinoza A, Morocho V. 2016. UAV
monitoring for enviromental management in galapagos island. The
International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
Information Sciences. XLI-B1:1105-2016.
Benz UC, Hofmann P, Willhauck G, Lingenfelder I, Heynen M. 2004. Multi-
resolution, object oriented fuzzy analysis of remote sensing data for GIS-
ready information. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing.
58:239–258.
Chehata N, Orny C, Boukir S, Guyon D, Wigneron JP. 2014. Object-based change
detection in wind storm-damaged forest using high resolution multispectral
images. International Journal of Remote Sensing. 35(13):4758–4777.
Comaniciu D, Meer P. 2002. Mean Shift: a robust approach toward feature space
analysis. IEEE Transactions of Pattern Analysis and Machine Intelligence.
24(5):603–619.
Conchedda G, Durieux L, Mayaux P. 2008. An object-based method for mapping
and change analysis in mangrove ecosystem. International Journal of
Remote Sensing. 63(5):578–589.
Dandois JP, Ellis EC. 2013. High spatial resolution three-dimensional mapping of
vegetation spectral dynamics using computer vision. Journal Remote
Sensing of Environment. 136:259–276.
Duro DC, Franklin SE, Dube MG. 2012. A comparison of pixel-based and object-
based image analysis with selected machine learning algorithms for the
classification of agricultural landscapes using spot hrg imagery. Remote
Sensing of Environment. 118:259–272.
Everaerts J. 2008. The use of unmanned aerial vehicles (UAVs) for remote
sensing and mapping. The International Archives of The Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information Sciences. 38:1187–1192.
Fukunaga K, Hostetler LD. 1975. The estimation of the gradient of a density
function, with application in pattern recognition. IEEE Transactions on
Information Theory. 21(1):32–40.
Getzin S, Nuske RS, Wiegand K. 2014. Using unmanned aerial vehicle (UAV) to
quantify spatial gap patterns in forests. Remote Sens. 6(8):6988–7004.
Heriyanto NM, Subiandono E, Karlina E. 2011. Potensi dan sebaran nipah (Nyfa
fruticans (Thunb.) Wurmb) sebagai sumberdaya pangan. Jurnal Pendidikan
Hutan dan Konservasi Alam. 8(4):327–335.
Jaya INS, Cahyono AB. 2001. Kajian teknis pemanfaatan potret udara non-metrik
format kecil pada bidang kehutanan. Jurnal Manajemen Hutan Tropika.
7(1):55–64.
Jaya INS, Kleinn C, Melati D, Fehrmann L, Pérez-Cruzado C, Septyawardani E,
Dhani FAR, Wachjuni S. 2015. Utilizing multi-source data for sustainable
forest managements in Indonesia. Di dalam: Fehrmann L, Kleinn C, Kleinn
A, editor. Bridging the gap between information needs and forest inventory
capacity. Proceedings of the 5th international DAAD workshop; 2015
September 06-13; Durban dan Pietermaritzburg, Afrika Selatan. Goettingen
(DE). hlm 163–181.
Jaya INS. 2015. Analisis Citra Digital, Perspektif Penginderaan Jauh untuk
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kleinn C, Stahl G, Fehrmann L, Kangas A. 2010. Isssues in forest inventories as
an input to planning and decision processes. Allg. Forst- u J-Ztg.
181(11/12):205–210.
Kusnadi, Jaya INS, Puspaningsih N, Basuki M, Hakim L. 2016. Model penduga
kualitas tempat tumbuh jati (Tectona grandis) menggunakan citra resolusi
sangat tinggi pesawat tidak berawak di KPH Nganjuk. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallace. 5(2):185–194.
Lackner M, Conway TM. 2008. Determining land-use information from land
cover through an object-oriented classification of IKONOS imagery. IEEE
Transactions on Geoscience and Remote Sensing. 47(3):761–770.
Lucieer A. 2004. Uncertainties in segmentation and their visualisation [PhD
thesis]. Utrecht (NL): Utrecht University.
McRoberts RE, Tomppo EO. 2007. Remote sensing support for national forest
inventories. Remote Sensing of Environment. 110(4):412–419.
Neubert M, Herold H, Meinel G. 2008. Object-Based Image Analysis - Assessing
image segmentation quality - concepts, methods and application. Blaschke
T, Hay G, Lang S, editor. Berlin (DE): Springer. hlm 769-784.
Nowak JN, Walton JT, Stevens JC, Crane DE, Hoehn RE. 2008. Effect of plot and
sample size on timing and precision of urban forest assessments.
Arboriculture & Urban Forestry. 34(6):386–390.
Pal NR, Pal NK. 1993. A review on image segmentation techniques. Pattern
Recognition. 26(9):1277–1294.
Sari NM, Kushardono D. 2015. Object segmentation on UAV photo data to
support the provision of rural area spatial information. Forum Geografi.
29(1):49–58.
Shofiyanti S. 2011. Teknologi pesawat tanpa awak untuk pemetaan dan
pemantauan tanaman dan lahan pertanian. Informatika Pertanian. 20(2):58–
64.
Simon H. 2007. Metode Inventore Hutan. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
Strasters KC, Gerbrands JJ. 1991. Three-dimensional image segmentaion using a
split, merge and group approach. Pattern Recognition Letter. 12(5):307–325.
Tamunaidu S, Matsui N, Okimori Y, Saka S. 2013. Nipa (Nypa fruticans) sap as a
potential feedstock for ethanol production. Journal Biomass and Bioenergy.
52:96–102.
Wallace L, Lucieer A, Watson C. 2012. Assesing the feasibility of UAV-based
Lidar for high resolution forest change detection. The International Archives
of The Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences.
39:499–504.
Wahidin N, Siregar VP, Nababan B, Jaya I, Wouthuyzen S. 2015. Object-based
image analysis for coral reef benthic habitat mapping with several
classification algorithms. Procedia Environmental Sciences. 24:222–227.
Wahyuni S, Jaya INS, Puspaningsih N. 2016. Model for estimating above ground
biomass of reclamation forest using unmanned aerial vehicles. Indonesian
Journal of Electrical Engineering and Computer Science. 4(3):586–593.
Wicaksono P, Farda NM. 2015. Aplikasi algoritma klasifikasi mean shift untuk
pemetaan habitat bentik studi kasus kepulauan karimunjawa. Prosiding
Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XX [Internet]. Bogor (ID). Hlm 663–
672; [diunduh 2017 Jul 10]. Tersedia pada:
https://www.researchgate.net/publication/283444119_Aplikasi_Algoritma_
Klasifikasi_Mean_Shift_untuk_Pemetaan_Habitat_Bentik_Studi_Kasus_Ke
pulauan_Karimunjawa.pdf.
Zheng L, Zhang J, Wang Q. 2008. Mean-shift-based color segmentation of images
containing green vegetation. Computers and Electronics in Agriculture.
65(1):93–98.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan, Provinsi


Sumatera Utara pada tanggal 18 April 1982 sebagai anak
bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Martin Silalahi dan
Tiominta br. Aritonang.
Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi
Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung,
lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2014, penulis diterima di
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan pada Sekolah
Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana penulis
peroleh dari Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan) Republik Indonesia.
Penulis bekerja di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengelolaan DAS dan
Hutan Lindung Krueng Aceh, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan di Banda
Aceh sejak tahun 2006. Jabatan penulis hingga saat ini sebagai tenaga fungsional
Pengendali Ekosistem Hutan (PEH).
Selama mengikuti program S-2 (Magister), penulis menyusun karya ilmiah
berjudul “Assessing the Crown Closure of Nypa on UAV Images using Mean-
Shift Segmentation Algorithm” pada jurnal Indonesian Journal of Electrical
Engineering and Computer Science (IJEECS) terindeks Scopus. Karya ilmiah
tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis selama di Institut Pertanian
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai