SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Kata kunci: nipah, kerapatan tajuk, pesawat tak berawak (UAV), algoritma
mean-shift
SUMMARY
ROBERT PARULIAN SILALAHI. The Use of UAV Images for Inventory the
Dimension of Nypa Vegetation (Nypa fruticans). Supervised by I NENGAH
SURATI JAYA dan TATANG TIRYANA.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGGUNAAN CITRA PESAWAT TAK BERAWAK DALAM
INVENTARISASI DIMENSI VEGETASI NIPAH
(Nypa fruticans)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir M Buce Saleh, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan
judul Penggunaan Citra Pesawat Tak Berawak dalam Inventarisasi Dimensi
Vegetasi Nipah (Nypa fruticans). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat
mendapatkan gelar magister sains pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Sekolah Pascasarjana IPB.
Penyelesaian penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan
semua pihak. Sehubungan dengan hal tersebut maka perkenankan penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr selaku ketua komisi
pembimbing dan Bapak Dr Tatang Tiryana, SHut MSc selaku anggota
komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan,
saran dan nasehat selama masa bimbingan.
2. Bapak Dr Ir M Buce Saleh, MS selaku penguji luar komisi atas nasehat,
komentar, saran dan masukan untuk perbaikan tesis.
3. Bapak Ir Fairus Mulia dari PT Kandelia Alam selaku pemilik hak cipta dari
data UAV yang saya gunakan sebagai sumber data penelitian serta yang
telah memfasilitasi dan membantu selama pengumpulan data di lokasi
penelitian.
4. Kepada teman-teman angkatan IPH 2014 buat persahabatan dan
kerjasamanya selama menjadi mahasiswa.
5. Kepada rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Remote Sensing dan
GIS, Adelia “Dika”, Pak Uus, Kang Edwine, Ali, Bu Achi, Pak Jay, Adek
Cili, Dito, Pak Israr, Afandi, Kusnadi, Fika, Hani, Dwi, Faid, Om Dahlan,
dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
6. Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah
memberikan penulis kesempatan untuk melanjutkan S-2 di IPB.
7. Kepada kedua orangtuaku, serta seluruh keluarga besar saya, atas segala
doa, motivasi dan kasih sayangnya selama proses saya menjadi karyasiswa.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
2 METODE 4
Waktu dan Tempat 4
Alat dan Perangkat Lunak (Software) 5
Jenis Data 5
Pra Pengolahan Citra 5
Survei Lapangan 5
Pengolahan Citra Dijital 6
Simulasi Plot Lapangan 11
Kerapatan Tajuk dan Gap Vegetasi Nipah 13
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Pemilihan Kombinasi Segmentasi 13
Plot Optimal Secara Terestris 17
Kerapatan Tajuk Nipah 20
4 SIMPULAN DAN SARAN 27
Simpulan 27
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 28
RIWAYAT HIDUP 31
DAFTAR TABEL
1 Parameter Segmentasi 9
2 Matriks Konfusi 11
3 Bentuk dan Ukuran Plot Simulasi Lapangan 12
4 Nilai Akurasi Parameter Spatial Radius 14
5 Nilai Akurasi Parameter Range Radius 15
6 Nilai Akurasi Parameter Minimum Region Size 15
7 Rekapitulasi CV-Vol, CV-Bio, CV-Nha 18
8 Notasi Plot pada Setiap Klaster 20
DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi Penelitian 4
2 Bentuk Petak Ukur Lapangan 0.6 ha (a) dan Petak Ukur 0.04 (b) 6
3 Diagram Alir Pengolahan Citra UAV 7
4 Prosedur Mean-Shift. Titik xi adalah Titik Awal Prosedur. Superscripts
Menunjukkan Nilai Iterasi Mean-Shift, ( ) Data Input, ( ) Titik Pusat
dari Sebuah Jendela, dan Lingkaran Bertitik Menunjukkan Estimasi
Kepadatan Suatu Jendela 8
5 Prosedur Pengklasifikasian Objek Integrasi OBIA dan Berbasis Piksel.
(a) Hasil Segmentasi (Mean-Shift), (b) Hasil Klasifikasi Berbasis Piksel,
(c) Hasil Overlay antara Poligon Hasil Segmentasi dengan Poligon
Klasifikasi Berbasis Piksel dan (d) Pelabelan Objek (Attributing)
dengan Pendekatan Proporsi Luas Maksimum 10
6 Orientasi Plot Contoh di Lapangan. (a) Utara-Selatan, (b) Timur-Barat
(Tegak Lurus Terhadap Aliran Utama Sungai) 12
7 Nilai Rata-rata Akurasi Keseluruhan dan Akurasi Kappa 14
8 Perbandingan Sampel dari UAV (kolom kiri: 1) dengan Hasil OBIA K-
10 (kolom tengah: 2) dan Hasil Segmentasi K-04 (kolom kanan: 3)
pada Klaster I (a) – Klaster IV (b) 16
9 Hubungan antara Luas Plot, CV dan Lama Waktu Pengukuran 18
10 Hubungan antara Bentuk Plot, CV dan Lama Waktu Pengukuran 19
11 Persentase Kerapatan Tajuk dan Gap pada Plot Optimal di Lapangan 21
12 Perbandingan antara Citra Asli (a) dengan Hasil Interpretasi Visual (b)
dan Hasil Klasifikasi OBIA K-10 pada Klaster I 22
13 Perbandingan antara Citra Asli (a) dengan Hasil Interpretasi Visual (b)
dan Hasil Klasifikasi OBIA K-10 pada Klaster II 23
14 Perbandingan antara Citra Asli (a) dengan Hasil Interpretasi Visual (b)
dan Hasil Klasifikasi OBIA K-10 pada Klaster III 24
15 Perbandingan antara Citra Asli (a) dengan Hasil Interpretasi Visual (b)
dan Hasil Klasifikasi OBIA K-10 pada Klaster IV 25
16 Hubungan antara Kerapatan Individu (Nha) dan Kerapatan Tajuk
Menggunakan Metode Kombinasi OBIA dan Berbasis Piksel 26
17 Hubungan antara Kerapatan Individu (Nha) dan Kerapatan Tajuk
Menggunakan Metode Interpretasi Visual 27
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki beragam tipe
ekosistem, mulai dari hutan pantai, hutan payau, hutan dataran rendah (hutan
bakau, hutan rawa, hutan rawa gambut), hutan dataran rendah kering, hingga
hutan pegunungan, sub-alpine dan alpine. Untuk mendukung perencanaan
pengelolaan hutan yang tepat, dibutuhkan ketersediaan data pendukung yang
akurat dan tepat waktu terkait dengan tipe ekosistem, kelas hutan, kepadatan
hutan, keanekaragaman hayati, stok tegakan, dan lain-lain. Salah satu jenis
ekosistem yang unik, yang secara ekonomi, ekologis, sosial dan budaya
memegang peranan penting adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove ini
merupakan ekosistem yang sangat rentan terhadap konversi terutama di Indonesia.
Salah satu vegetasi yang masuk ke dalam asosiasi ekosistem mangrove adalah
nipah (Nypa fruticans). Informasi mengenai pertumbuhan dinamis, status dan
potensi nipah belum banyak diteliti di Indonesia, karena ekosistem nipah kurang
atraktif dan bahkan sering dianggap sebagai wasteland. Beberapa penelitian nipah
menyebutkan bahwa nipah berpotensi menjadi sumber makanan karena memiliki
karbohidrat dan protein tinggi (Heriyanto et al. 2011), bahkan menurut penelitian
(Tamunaidu et al. 2013), nipah mengandung etanol untuk menghasilkan energi
bahan bakar.
Inventarisasi hutan merupakan sebuah proses teknis dalam mengumpulkan
data dan memberikan informasi (Kleinn et al. 2010) untuk mengetahui potensi
sumberdaya hutan. Inventarisasi hutan hingga saat ini sudah mengalami
perkembangan yang pesat terutama dalam metode pengumpulan data baik pada
area kecil maupun area yang luas (Kleinn et al. 2010). Kegiatan inventarisasi
hutan dapat dilakukan baik secara terestris, penginderaan jauh maupun gabungan
dari keduanya. Namun dalam perkembangannya untuk skala hutan yang luas
diperlukan teknik inventarisasi yang efisien dan efektif.
Perkembangan penggunaan teknologi penginderaan jauh dalam pengelolaan
sumberdaya alam khususnya kegiatan inventarisasi hutan sudah menjadi sebuah
kebutuhan. Penggunaan data penginderaan jauh dalam inventarisasi hutan
memberikan keuntungan dalam hal optimasi biaya serta datanya cepat diperoleh
(McRoberts dan Tomppo 2007). Dalam perkembangannya, penginderaan jauh
dalam inventarisasi hutan telah menggunakan berbagai citra satelit dari citra
resolusi rendah hingga citra resolusi sangat tinggi. Namun citra satelit selalu
terkendala awan terutama pada daerah tropis. Selain citra satelit, salah satu
wahana yang menghasilkan citra resolusi sangat tinggi adalah UAV (Unmmaned
Aerial Vehicle). Teknologi kamera yang digunakan masih konvensional, tetapi
platform perekamnya sangat prospektif karena dapat terbang rendah di bawah
awan, tanpa awak, biaya murah, cepat dan resiko kecil. Pemanfaatan teknologi
UAV telah banyak dilakukan dalam mendukung penelitian di bidang kehutanan.
Data UAV telah digunakan untuk melakukan pemetaan (Shofiyanti 2011;
Everaerts 2008), mendeteksi perubahan tutupan (Wallace et al. 2012), pemetaan
spektral tajuk (Dandois dan Ellis 2013), menghitung pola spasial gap dari hutan
(Getzin et al. 2014), menghitung estimasi sediaan tegakan, biomassa dan kualitas
tempat tumbuh (Jaya et al. 2015), mengukur peubah-peubah tegakan seperti
diameter tajuk, persentase tajuk dan jumlah pohon (Jaya dan Cahyono 2001) serta
pendugaan volume dan kualitas tempat tumbuh Jati (Kusnadi et al. 2016).
Sejak diluncurkannya satelit sumberdaya alam untuk kepentingan sipil di
tahun 1970-an, perkembangan teknologi penginderaan jauh telah berkembang
pesat, mulai dari resolusi rendah, sedang sampai dengan sangat tinggi. Demikian
juga dinamika pemanfaatannya, telah dijadikan sumber informasi mulai dari skala
regional, skala nasional bahkan sampai pada skala individu pohon. Saat ini,
kehadiran citra resolusi tinggi dan sangat tinggi menjadi sebuah peluang sekaligus
sebuah tantangan. Semakin tinggi resolusi spasialnya, semakin detail informasi
yang akan diturunkan, maka dibutuhkan pendekatan yang semakin kompleks dan
handal dalam menggali informasi dari citra. Pada citra resolusi tinggi dan sangat
tinggi, pendekatan tidak bisa lagi menerapkan pendekatan yang hanya berbasis
pada individu-individu piksel (berbasis piksel), tetapi sudah harus
mempertimbangkan pendekatan objek (OBIA). OBIA atau object-based image
analysis dianggap mempunyai keunggulan dalam pengolahan data citra digital
resolusi tinggi hingga sangat tinggi, karena selain mempertimbangkan nilai piksel
itu sendiri, tetapi juga mempertimbangkan konteks spasialnya.
Peningkatan resolusi citra digital dari low resolution images menjadi very
high resolution images mendorong pengembangan metode pengolahan citra.
Pendekatan berbasis piksel merupakan pendekatan yang sebelumnya umum
digunakan dalam pengolahan citra digital. Namun seiring munculnya citra dengan
resolusi sangat tinggi maka diperlukan pengolahan data yang lebih kompleks.
Pendekatan berbasis piksel dapat digunakan selama suatu piksel berukuran sama
dengan objek tertentu (Blaschke 2010). Pendekatan berbasis objek saat ini
menjadi pendekatan yang populer dalam pengolahan citra resolusi tinggi dan
sangat tinggi. Pendekatan berbasis objek sebagian besar dikaitkan dengan
penggunaan aplikasi eCognation (Benz et al. 2004). Pendekatan berbasis objek
terdiri dari dua bagian yaitu segmentasi dan klasifikasi. Segmentasi citra secara
umum didefinisikan sebagai sebuah proses membagi sebuah citra kedalam
kelompok yang homogen baik secara spasial maupun spektral (Pal dan Pal 1993).
Pendekatan berbasis objek sudah banyak dilakukan, seperti penelitian
perbandingan berbasis piksel dengan berbasis objek dalam mengklasifikasikan
lahan pertanian menggunakan SPOT-5 (Duro et al. 2012), penggunaan segmentasi
objek untuk menggali informasi wilayah perkotaan di Cianjur (Sari dan
Kushardono 2015), analisis berbasis objek untuk memetakan habitat bentik
terumbu karang (Wahidin et al. 2015), analisis berbasis objek untuk memetakan
perubahan ekosistem mangrove (Conchedda et al. 2008), deteksi perubahan hutan
akibat badai menggunakan OBIA (Chehata et al. 2014), penggunaan OBIA untuk
klasifikasi penggunaan lahan di Ontario, Canada (Lackner dan Conway 2008),
dan masih banyak penelitian lainnya.
Salah satu dimensi vegetasi yang dapat diinventarisasi dari citra UAV
adalah kerapatan tajuk. Kerapatan tajuk dalam beberapa penelitian dapat
digunakan sebagai peubah untuk menduga potensi volume, biomassa ataupun
sediaan tegakan. Penggunaan citra UAV untuk inventarisasi dimensi vegetasi
nipah khususnya kerapatan tajuk masih jarang dilakukan terutama dengan
menggunakan pendekatan OBIA. Oleh karena itu, fokus utama dari penelitian ini
adalah untuk menguji kemampuan dari pendekatan berbasis objek khususnya
algoritma mean-shift segmentation diintegrasikan dengan pendekatan berbasis
piksel (maximum likelihood classifier) dalam menginventarisasi dimensi vegetasi
nipah khususnya kerapatan tajuk dan gap pada vegetasi nipah.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
2 METODE
Jenis Data
Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data UAV
berukuran 8 bit, terdiri dari 4 band antara lain Red, Green, Blue dan Alpha dan
resolusi spasial 10 cm. Citra UAV yang digunakan sudah terkoreksi (koreksi
geometrik dan radiometrik) oleh pemasok data. Data UAV yang digunakan
mencakup luasan 4087 ha dan direkam pada bulan Februari 2016. Selain data citra,
jenis data pendukung yang digunakan adalah diameter individu nipah, diameter
pelepah nipah, diameter tunggak nipah, jumlah pelepah hidup, jumlah pelepah
mati serta sampel pelepah dengan berat 100–200 gram. Pengambilan data
lapangan dilakukan pada klaster yang dipilih secara purposive sampling dengan
memperhatikan keterwakilan lokasi antara hulu, tengah dan hilir, serta beberapa
pertimbangan lainnya seperti aksesibilitas, keamanan dan peta Rencana Kerja
Tahunan (RKT) perusahaan.
Survei Lapangan
Lokasi pengambilan data lapangan dilakukan dengan bantuan data UAV dan
peta areal kerja perusahaan. Pengambilan plot contoh menggunakan metode
purposive sampling. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive
sampling) berdasarkan atas beberapa pertimbangan seperti posisi sungai,
aksesibilitas ke lokasi, keamanan dan peta Rencana Kerja Tahunan (RKT)
perusahaan. Jumlah klaster untuk pengambilan data adalah sebanyak 4 (empat)
klaster. Pengumpulan data di setiap klaster dilakukan dengan membuat plot
penelitian berbentuk persegi panjang berukuran 60 meter × 100 meter. Plot
penelitian kemudian dibagi lagi menjadi plot berukuran 20 meter × 20 meter.
Setiap klaster terbagi kedalam lima belas plot berbentuk bujur sangkar. Untuk
mempermudah pengambilan data lapangan, plot contoh kemudian dibagi kedalam
empat sub-plot berukuran 10 meter × 10 meter.
(a) (b)
Gambar 2 Bentuk petak ukur lapangan 0.6 ha (a) dan petak ukur 0.04 ha (b)
UAV Images
Mulai (koreksi geometrik dan
radiometrik)
Segmented image
Classified image
(layer)
Overlay
(Attributing/Labeling Segmentation Images)
Segmentasi
Proses segmentasi merupakan proses awal dalam klasifikasi citra berbasis
objek (OBIA). Metode segmentasi merupakan proses penggabungan segmen yang
lebih kecil kedalam objek yang lebih besar berdasarkan homogenitas (kesamaan
nilai spektral dan karakteristik spasial) dari citra. Metode segmentasi yang
digunakan di dalam penelitian ini adalah menggunakan algoritma mean-shift pada
Orfeo Toolbox/Monteverdi 1.24. Konsep dasar metode ini berdasarkan konsep
Fukunaga dan Hostetler (1975), yang kemudian diimplementasikan oleh
Comaniciu dan Meer (2002) pada permasalahan low level vision. Metode mean-
shift merupakan metode yang serbaguna, berdasarkan analisis non-parametrik
untuk mengestimasi gradien pada proses clustering suatu citra.
Teknik segmentasi mean-shift telah banyak digunakan dalam komunitas
pengolahan citra. Mean-shift merupakan salah satu dari banyak teknik yang
digunakan dalam "feature space analysis atau analisis ruang fitur". Metode mean-
shift yang digunakan dalam aplikasi Orfeo Toolbox/Monteverdi terdiri dari dua
langkah dasar yaitu: filtering data gambar/citra asli (pada ruang dimensi-d), dan
clustering dari titik data yang telah melalui proses filtering. Paradigma pada
proses segmentasi citra adalah dimana piksel-piksel dipetakan kedalam sebuah
ruang warna dan dikelompokkan (clustering), dimana setiap klaster
menggambarkan daerah yang homogen pada gambar atau citra.
Algoritma mean-shift menganggap bahwa setiap titik pada suatu ruang
dimensi-d sebagai sebuah fungsi kepadatan probabilitas empiris. Mean-shift
menetapkan sebuah jendela di sekitar setiap titik data pada sebuah feature space
dan menghitung nilai rata-rata pada setiap jendela tersebut. Titik tengah dari
sebuah jendela bergeser menuju nilai rata-rata baru dan berulang hingga tercapai
titik konvergen (Gambar 4).
1 x - xi
f̂ = d ∑ni=1 K ( ) (1)
nh h
dimana:
h : bandwith parameter adalah nilai radius dari kernel K(x)
d : adalah dimensi dari input citra/gambar
n : adalah jumlah piksel
Algoritma mean-shift didasarkan pada pencarian mode atau wilayah padat
dengan menggunakan gradien ascent (Comaniciu dan Meer 2002). Formulasinya
sebagai berikut:
Uji Akurasi
Salah satu langkah dalam menguji hasil segmentasi adalah menggunakan
uji akurasi. Beberapa metode yang biasa digunakan dalam menguji hasil
segmentasi diantaranya menggunakan indeks fragmentasi (Strasters dan
Gerbrands 1991), area fit index (Lucieer 2004), serta penggunaan area, perimeter
dan shape index (Neubert et al. 2008). Pada penelitian ini, penentuan hasil
segmentasi dan kombinasi parameter segmentasi terbaik dalam menginventarisasi
dimensi vegetasi nipah (kerapatan tajuk dan gap) adalah dengan cara
menggunakan prinsip matrik konfusi (confusion matrix). Hasil segmentasi
dibandingkan dengan data referensi berupa hasil interpretasi visual (on screen
digitizing) serta survei lapangan. Kelompok yang dibentuk untuk uji akurasi
adalah data luas tutupan tajuk dan gap.
∑ri=1 Xii
OA = [ x 100%] (3)
N
Keterangan:
OA : Akurasi keseluruhan
K : Akurasi kappa
Xii : Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i
Xi+ : Jumlah nilai pada kolom ke-j
X+i : Jumlah nilai pada baris ke-i
N : Total piksel
(a) (b)
Gambar 6 Orientasi plot contoh di lapangan. (a) Utara-Selatan, (b) Timur-Barat
(tegak lurus terhadap aliran utama sungai)
Rumus untuk menghitung volume per plot, biomassa per plot dan kerapatan
individu per plot sebagai berikut:
60
50
40
30
20
10
0
K-08
K-17
K-27
K-01
K-02
K-03
K-04
K-05
K-06
K-07
K-09
K-10
K-11
K-12
K-13
K-14
K-15
K-16
K-18
K-19
K-20
K-21
K-22
K-23
K-24
K-25
K-26
Kombinasi Parameter
Kappa OA
Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5, variasi nilai spatial radius dan range
radius dalam proses segmentasi tidak memberikan perbedaan akurasi yang
signifikan. Tidak ada perbedaan akurasi yang signifikan ketika nilai spatial radius
meningkat atau menurun. Hasil keseluruhan kombinasi parameter, menunjukkan
bahwa parameter spatial radius yang paling akurat untuk memprediksi kerapatan
tajuk dan gap nipah ketika spatial radius yang digunakan sebesar 10 piksel. Bila
spatial radius ditingkatkan menjadi 15 piksel maka terjadi penurunan pada nilai
rata-rata akurasi keseluruhan dan akurasi Kappa.
Parameter range radius tidak berbeda jauh dengan hasil dari parameter
spatial radius. Peningkatan range radius dari 10 menjadi 20 hanya menyebabkan
penurunan nilai rata-rata akurasi keselurahan dari 76.6% menjadi 76.3%,
perubahan yang sangat kecil (lihat K-10 dan K-13) (Tabel 5). Nilai rata-rata
akurasi keseluruhan dan akurasi Kappa mengalami perubahan signifikan ketika
nilai range radius dinaikkan dari 20 menjadi 30 (Tabel 5), dimana nilai rata-rata
akurasi keseluruhan menurun sebesar 2.8% dan akurasi Kappa menurun sekitar
5.1%.
Tabel 5 Nilai akurasi parameter range radius
Setting hr hs M Akurasi
Nomor
Segmentasi (piksel) (DN) (piksel) OA (%) Kappa (%)
1 K-10 10 10 50 76.6 55.7
2 K-13 10 20 50 76.3 55.2
3 K-16 10 30 50 73.5 50.1
Plot optimal secara terestris diperoleh melalui simulasi berbagai bentuk dan
ukuran plot lapangan. Simulasi bentuk dan ukuran plot diperoleh dari data klaster
penelitian yang disimulasikan kedalam berbagai bentuk dan ukuran plot. Bentuk
dan ukuran plot yang optimal berperan dalam menekan waktu dan biaya yang
diperlukan ketika akan dilakukan suatu inventarisasi.
Tabel 7 Rekapitulasi CV-Vol, CV-Bio, CV-Nha
No Bentuk Lebar Panjang Luas CV-Vol CV-Bio CV-Nha Waktu
Plot (m) (m) (ha) (%) (%) (%) (jam/ha)
1 PS 10×10 10 10 0.01 30.83 31.61 26.60 19.06
2 PS 20×20 20 20 0.04 24.01 24.78 19.19 18.75
3 PS 50×10 50 10 0.05 21.31 21.99 17.48 18.76
4 PS 10×50 10 50 0.05 21.00 21.62 18.02 18.75
5 PS 20×30 20 30 0.06 19.88 20.69 15.26 18.83
6 PS 60×10 60 10 0.06 21.58 22.26 17.73 18.78
7 PS 30×20 30 20 0.06 22.02 22.68 18.52 18.78
8 PS 20×50 20 50 0.10 18.58 19.29 15.51 18.75
9 PS 50×20 50 20 0.10 19.03 19.69 15.97 18.76
10 PS 10×100 10 100 0.10 14.67 15.06 15.68 18.75
11 PS 30×50 30 50 0.15 17.16 17.73 16.12 18.84
12 PS 60×30 60 30 0.18 16.00 16.73 13.24 18.94
13 PS 20×100 20 100 0.20 12.97 13.45 14.33 18.75
14 PS 30×100 30 100 0.30 11.92 12.25 15.38 18.73
35 20.0
30
19.5
Waktu pengukuran (jam/ha)
25
19.0
20
CV (%)
15
18.5
10
18.0
5
0 17.5
0.01 0.04 0.05 0.05 0.06 0.06 0.06 0.10 0.10 0.10 0.15 0.18 0.20 0.30
Luas plot (ha)
35 20.0
30
19.0
CV (%)
20
15
18.5
10
18.0
5
0 17.5
Bentuk plot
Berdasarkan Gambar 9 dan 10, maka hasil penelitian ini menemukan bahwa
bentuk plot optimal pada inventarisasi nipah secara terestris adalah plot berukuran
20 meter × 100 meter. Pemilihan plot berukuran 20 meter × 100 meter
dikarenakan nilai CVnya cenderung konsisten dibandingkan plot 30 meter × 100
meter serta waktu yang diperlukan kedua plot tersebut untuk melakukan
inventarisasi setiap hektarnya tidak berbeda signifikan. Waktu yang dibutuhkan
pada plot berukuran 30 meter × 100 meter adalah 18.73 jam ha-1, sedangkan untuk
plot berukuran 20 meter × 100 meter adalah 18.75 jam ha-1. Waktu tempuh dan
waktu pengukuran dalam inventarisasi nipah menjadi sebuah tantangan
dikarenakan lokasi tumbuh nipah yang berada di daerah berlumpur, sehingga
membutuhkan lebih banyak waktu untuk berjalan dari satu individu ke individu
lainnya jika dibandingkan dengan inventarisasi di daerah lahan kering.
Berbeda dengan penelitian ini, Ali et al. (2016) menggunakan ukuran
kekayaan spesies untuk menentukan bentuk dan ukuran plot optimal pada
inventarisasi di hutan pegunungan bawah. Berdasarkan hasil penelitian Ali et al.
(2016), bentuk dan ukuran plot optimal dalam inventarisasi keanekaragaman
tumbuhan adalah ketika menggunakan bentuk dan ukuran plot persegi panjang
dengan dimensi 50 meter × 200 meter. Bentuk dan ukuran plot persegi panjang
pada penelitian tersebut mengikuti pola kontur sehingga keanekaragaman jenis
yang diperoleh lebih banyak jika dibandingkan dengan ukuran plot lainnya.
Sehingga berdasarkan penelitian tersebut plot persegi panjang lebih baik
dibandingkan plot berbentuk bujur sangkar. Selain menggunakan koefisien
variasi, standar error juga digunakan dalam menentukan plot optimal dalam
inventarisasi. Penelitian Nowak et al. (2008) menemukan bahwa nilai standar
error (SE) berkorelasi dengan ukuran dan bentuk plot optimal dalam inventarisasi
potensi hutan kota. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa ukuran dan jumlah plot
optimal diperoleh ketika luas dan bentuk plot lebih besar yaitu 0.1 ha.
Kerapatan tajuk dan gap pada vegetasi nipah hasil pendekatan OBIA dan
pendekatan berbasis piksel dihitung berdasarkan nilai akurasi terbaik dari
parameter segmentasi terpilih serta ukuran plot optimal di lapangan. Berdasarkan
parameter segmentasi terpilih (hr 10, hs 10 dan M 50) dan ukuran plot optimal.
Berdasarkan plot optimal di lapangan yaitu plot berukuran 20 meter × 100 meter,
maka pada setiap klaster akan terdapat 3 (tiga) plot berukuran 20 meter × 100
meter yang diberi notasi sebagaimana disajikan pada Tabel 8.
100
90 58.5 63.9 74.9 63.2 57.8 53.8 56.5 55.1 53.0 64.9 67.6 69.9
80
Persentase (%)
70
60
50
40 46.2 43.5 44.9 47.0
41.5 42.2
30 36.1 36.8 35.1 32.4
20 30.1
25.1
10
0
C1-01 C1-02 C1-03 C2-01 C2-02 C2-03 C3-01 C3-02 C3-03 C4-01 C4-02 C4-03
Kode Plot
Gambar 11 Persentase kerapatan tajuk dan gap pada plot optimal di lapangan.
Berdasarkan hasil Gambar 11 juga dapat dilihat adanya pola yang sama
antara klaster C1 dan C4, serta antara klaster C2 dan C3. Pada klaster C1-01
hingga C1-03 dan klaster C4-01 hingga C4-03 yang berada di hilir persentase gap
dan tajuk cenderung mempunyai pola yang sama, hal ini bisa disebabkan karena
klaster C1 dan klaster C4 berada di hilir dari lokasi penelitian, dimana lokasi
tersebut merupakan areal percampuran antara vegetasi nipah dan mangrove, selain
itu posisi pembuatan plot klaster C1 dan C4 dimulai dari arah utara ke selatan
magnet bumi dan tegak lurus dengan sungai. Gambar 11 menunjukkan bahwa dari
tiga plot berukuran 20 × 100 meter pada masing-masing klaster, maka plot C1-03
dan C4-03 memiliki persentase tajuk lebih besar dibandingkan plot C1-01, C2-02,
C4-01 dan C4-02.
Sedangkan pada klaster C2-01 hingga C2-03 dan klaster C3-01 hingga C3-
01 yang berada di hulu dan tengah merupakan areal yang masih sebagian besar
ditumbuhi oleh vegetasi nipah, dan lokasi pembuatan plot klaster keduanya
dimulai dari timur ke barat atau sebaliknya. Berdasarkan Gambar 10, plot yang
memiliki kerapatan tajuk tertinggi adalah pada plot C2-01 dan plot C3-01.
(a) (b) (c)
Gambar 12 Perbandingan antara citra asli (a) dengan hasil interpretasi visual (b) dan hasil klasifikasi
OBIA K-10 (c) pada Klaster I. ( ) gap, ( ) nipah, ( ) mangrove.
(a)
(b)
(c)
Gambar 13 Perbandingan antara citra asli UAV (a) dengan hasil interpretasi
visual (b) dan hasil klasifikasi OBIA K-10 (c) pada Klaster II.
( ) gap, ( ) nipah.
(a)
(b)
(c)
Gambar 14 Perbandingan antara citra asli UAV (a) dengan hasil interpretasi
visual (b) dan hasil klasifikasi OBIA K-10 (c) pada Klaster III.
( ) gap, ( ) nipah.
(a) (b) (c)
Gambar 15 Perbandingan antara citra asli (a) dengan hasil interpretasi visual (b) dan hasil klasifikasi
OBIA K-10 (c) pada klaster IV. ( ) gap, ( ) nipah, ( ) mangrove.
Gambar 12, 13, 14, dan 15 merupakan hasil klasifikasi citra pada klaster I,
klaster II, klaster III dan klaster IV menggunakan dua metode pengolahan citra
yang berbeda. Berdasarkan kedua gambar diatas terdapat perbedaan pada luasan
tajuk menggunakan metode visual dan metode kombinasi. Kerapatan tajuk dan
gap merupakan salah satu peubah yang dapat diidentifikasi pada UAV. Persentase
kerapatan tajuk yang diperoleh dari citra UAV telah digunakan sebagai salah satu
peubah dalam membangun model penduga sediaan tegakan, biomassa, ataupun
volume (Jaya et al. 2015).
Selain persentase kerapatan tajuk, peubah lainnya yang dapat diukur dari
suatu citra UAV adalah indeks vegetasi, diameter tajuk dan jumlah individu citra.
Namun pada penelitian ini peubah-peubah tersebut tidak diukur dikarenakan
beberapa hal seperti keterbatasan data UAV untuk memperoleh indeks vegetasi
serta pengukuran dimensi diameter suatu individu nipah pada citra UAV sulit
dilakukan dikarenakan bentuk dan pola tajuk nipah pada citra berbeda dengan
tajuk pohon pada umumnya. Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa hasil
interpretasi visual lebih detail jika dibandingkan dengan hasil klasifikasi OBIA.
Ukuran objek ataupun poligon yang dihasilkan oleh klasifikasi OBIA cenderung
lebih luas dibandingkan dengan hasil interpretasi visual.
Menggunakan plot optimal secara terestris (20 meter × 100 meter) dan hasil
kombinasi parameter segmentasi terbaik (K-10) maka dapat diperoleh hubungan
antara peubah lapangan seperti kerapatan, volume ataupun biomassa dengan
kerapatan tajuk citra. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh
dimensi kerapatan tajuk nipah dari UAV, maka klaster penelitian yang digunakan
untuk membangun hubungan kerapatan tajuk citra dengan peubah lapangan adalah
klaster II dan klaster III. Hal ini dikarenakan tutupan tajuk klaster II dan klaster III
didominasi oleh nipah, berbeda dengan klaster I dan klaster IV yang masih
terdapat beberapa vegetasi mangrove.
420
Kerapatan Individu (Nha)
400
y = 151.39e2.0878x
380
R² = 0.776
360
340
y = 312.99ln(x) + 638.06
R² = 0.770
320
300
0,35 0,37 0,39 0,41 0,43 0,45 0,47 0,49
Crown closure (%)
420
Kerapatan Individu (Nha)
400
y = 139.3e2.2165x
380 R² = 0.655
360
340
y = 356.64ln(x) + 664.25
R² = 0.668
320
300
0,38 0,40 0,42 0,44 0,46 0,48 0,50
Crown closure (%)
Simpulan
Dari apa yang telah dikemukakan pada bab hasil dan pembahasan
sebelumnya, penelitian ini dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Metode klasifikasi yang merupakan kombinasi/hybrid antara metode
berbasis objek (OBIA) dengan metode berbasis piksel memberikan hasil
yang cukup handal dalam menginventarisasi dimensi vegetasi nipah (Nypa
fruticans) melalui citra UAV.
2. Parameter segmentasi yang paling optimal dalam menaksir kerapatan tajuk
dan gap vegetasi nipah adalah kombinasi dari spatial radius 10, range
radius 10 dan minimum region size 50 (K-10) dengan akurasi rata-rata
keseluruhan (Overall accuracy) 76.6% dan akurasi Kappa (Kappa
accucary) 55.7%, yang diikuti kombinasi K-04 (spatial radius 5, range
radius 20 dan minimum region size 50) dengan akurasi rata-rata keseluruhan
(Overall accuracy) 76.5% dan akurasi Kappa (Kappa accuracy) 55.7%.
3. Untuk menghasilkan akurasi terbaik, parameter minimum region size (M)
memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan dengan parameter lainnya
spatial radius (hs) dan range radius (hr).
4. Untuk menduga persentase tutupan tajuk dan gap vegetasi nipah, ukuran
plot terestris yang paling optimal adalah 20 meter × 100 meter, yang
menghasilkan dugaan persentase tutupan tajuk antara 53.0% dan 74.9%,
serta gap antara 25.1% dan 47%.
Saran
DAFTAR PUSTAKA