ISBN No : 978-602-14437-6-7
Editor :
Dr. Bidawi Hasyim
Dr. Dony Kushardono
Dr. Indah Prasasti
Dr.Bambang Trisakti
CRESTPENT PRESS
Kantor Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah, Institut Pertanian Bogor (P4W-LPPM)
Kampus IPB Baranangsiang, JL. Pajajaran, Bogor 16144
Telp/Fax. (0251) 8359072, email: crestpent@gmail.com
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau member izin untuk itu, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
DARI PENERBIT
Puji syukur di panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya buku bunga rampai dengan judul
Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah Darat. Buku ini memuat kumpulan tulisan
ilmiah para peneliti/perekayasa di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang mengulas manfaat dari data penginderaan jauh
untuk mengidentifikasi dan menurunkan beberapa parameter bio-geo-fisik pada sektor pertanian, kehutanan,
sumberdaya air dan pengembangan wilayah
Dengan diterbitkannya buku bunga rampai Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah
Darat ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya pemantauan sumberdaya alam sekaligus
sebagai referensi dalam kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh di wilayah Indonesia.
Ucapan terima kasih diberikan kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional yang telah berkontribusi dalam penyusunan materi buku, serta kepada para penyunting
dan Penelaah yang banyak membantu dalam penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini dapat berkontribusi
terhadap ilmu pengetahuan dan dimanfaatkan oleh pembacanya.
Penerbit
KATA PENGANTAR
Kemajuan teknologi penginderaan jauh satelit yang dapat menghasilkan data dan linformasi yang realtime
(up to date) dengan cakupan yang luas dan historikal data yang baik, memungkinkan LAPAN (khususnya Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh) untuk berkontribusi dalam upaya pemantauan sumberdaya alam di wilayah
Indonesia. Sesuai dengan amanah Undang-Undang No.21 tahun 2013, bahwa Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Jauh (Pusfatja) mempunyai tugas untuk membuat pedoman pengolahan data penginderaan jauh yang dapat
dijadikan acuan bagi pengguna untuk melakukan pengolahan dan pemanfaatan data penginderaan jauh.
Untuk melaksanakan tugas tersebut Pusfatja harus melakukan kegiatan Litbang pengolahan dan pemanfaatan
data penginderaan jauh untuk menghasilkan metode yang akurat yang akan dijadikan pedoman.
Buku Bunga Rampai ini memuat kumpulan tulisan ilmiah hasil kegiatan Litbang yang dilaksanakan oleh peneliti/
perekayasa di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat yang merupakan salah satu bidang di bawah PusfatjaLAPAN. Tema tulisan ilmiah yang dimuat pada buku ini mencakup sektor pertanian, kehutanan, sumberdaya
air dan pengembangan wilayah. Titik berat buku ini adalah menjelaskan bagaimana data penginderaan jauh,
khususnya data satelit penginderaan jauh, dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menurunkan beberapa
parameter bio-geo-fisik yang terdapat di permukaan bumi, sehingga diperoleh informasi yang dapat digunakan
untuk mendukung program nasional Pemerintah Indonesia. Kami berharap buku ini dapat menjadi salah satu
referensi yang bermanfaat dalam kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh di Indonesia. Saran dan masukan
dari pembaca sangat diharapkan bagi perbaikan metode dan informasi yang dihasilkan, selain itu juga bagi
penyempurnaan penulisan buku serupa di masa yang akan datang.
Daftar Isi
Dari Penerbit 2
Kata Pengantar 3
Daftar Isi 4
Teknik Segmentasi dan Klasifikasi Berjenjang Untuk Pemetaan
Lahan Sawah Menggunakan Citra SPOT-6 5
I Made Parsa dan Tatik Kartika
ABSTRAK
Penelitian tentang Segmentasi dan klasifikasi berjenjang untuk pemetaan lahan sawah menggunakan citra Spot-6
ini mengambil studi kasus Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan bertujuan untuk pertama mengetahui ketelitian dari
teknik segmentasi/klasifikasi yang dilakukan secara berjenjang untuk pemetaan lahan sawah. Kedua, membandingkan
ketelitian pemetaan antara teknik segmentasi/klasifikasi berjenjang dengan teknik segmentasi dan interpretasi untuk
pemetaan lahan sawah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra SPOT-6 pansharpen multiwaktu (bulan
Maret, April dan Mei 2013). Citra yang paling baik kualitasnya (bulan Maret) disegmentasi dengan skala 100, 80 dan
50 dengan warna 0,9 dan kekompakan 0,5. Klasifikasi dilakukan secara bertahap, tahap pertama klasifikasi dilakukan
untuk memisahkan air, vegetasi, bera/terbuka/terbangun dan bayangan. Pada tahap kedua dilakukan pendetilan
lebih lanjut dari tiap kelas hasil klasifikasi tahap satu yang berkaitan dengan lahan sawah. Air dikelaskan menjadi
sawah berair, tambak berair dan badan air, kelas vegetasi dikelaskan menjadi sawah vegetasi, semak/belukar, hutan,
sedangkan kelas bera/terbuka/lahan terbangun dikelaskan menjadi sawah bera, permukiman, lahan terbuka. Pada
tahap akhir dilakukan penggabungan kelas sehingga terbentuk kelas lahan sawah dan nonsawah. Selain itu, juga
dilakukan klasifikasi hasil segmentasi dengan teknik interpretasi citra SPOT multiwaktu menjadi kelas sawah dan
kelas nonsawah. Sementara itu untuk data referensi dilakukan pemetaan lahan sawah dengan teknik interpretasi dan
delineasi citra SPOT-6 multiwaktu. Pengujian dengan teknik confusion matrix (matrik kesalahan) menunjukkan bahwa
ketelitian pemetaan dengan tekhik segmentasi dan klasifikasi mencapai 79,2% sedangkan ketelitian pemetaan dengan
teknik segmentasi dan interpretasi mencapai 96,5%. Hasil kajian menunjukkan bahwa segmentasi dengan skala 100,
warna 0,9 dan kekompakan 0,5 cukup baik memisahkan objek di wilayah kajian. Selain itu kajian ini juga menunjukkan
bahwa kombinasi teknik segmentasi dengan interpretasi lebih baik dari teknik segmentasi dan klasifikasi.
PENDAHULUAN
Perkembangan metode klasifikasi digital saat ini begitu pesat, hal ini ditandai dengan telah berkembangnya
teknik klasifikasi berbasis objek yang diklaim akan dapat meminimalkan bebebapa kelemahan yang dihasilkan
oleh teknik klasifikasi berbasis pixel karena klasifikasi berbasis pixel tidak hanya menggunakan nilai digital
semata tetapi juga menambahkan beberapa parameter parameter utama sebagai pemisah objek, yaitu skala,
bentuk, kekompakkan. Selain itu teknik klasifikasi berbasis objek ini memiliki keunggulan pada pemisahan
antar objek yang sangat akurat dan presisi serta lebih efisien dari sisi waktu sehingga mempunyai potensi
sebagai alternatif pengganti klasifikasi visual/delineasi maupun klasifikasi digital berbasis pixel (Kampouraki
et al. (2007) dalam Parsa (2012)). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa parameter skala dan warna sangat
mempengaruhi hasil dan waktu segmentasi. Skala yang semakin kecil menyebabkan hasil segmentasi semakin
detil karena semakin banyak region yang terbentuk sedangkan semakin besar threshold kuantisasi warna, maka
jumlah cluster warna yang terbentuk semakin sedikit karena semakin banyak cluster warna yang digabungkan
(Soelaiman et al. (2008) dalam Parsa (2012)).
Penggunaan objek sebagai unit klasifikasi terkecil akan membantu mengatasi efek salt and pepper yang
umum ditemukan pada klasifikasi digital berbasis pixel karena selain menggunakan fitur spektral, klasifikasi
berbasis objek juga menggunakan fitur topografi, tekstur, dan geometri objek. Klasifikasi berbasis objek
akan meningkatkan akurasi klasifikasi vegetasi secara significant yang dianggap sebagai hal mustahil dalam
pemetaan vegetasi berbasis penginderaan jauh (Yu, 2006). Segmentasi dan klasifikasi berbasis objek citra
resolusi sangat tinggi untuk pemetaan daerah perkotaan memberikan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan klasifikasi berbasis pixel (Peijun et al. , 2011).
Segmentasi citra merupakan salah satu bagian penting dari pemrosesan citra, yang bertujuan untuk membagi
citra menjadi beberapa region yang homogen berdasarkan kriteria kemiripan tertentu antara tingkat keabuan
suatu piksel dengan tingkat keabuan piksel-piksel tetangganya. Hasil dari proses segmentasi ini akan digunakan
untuk proses lebih lanjut yang dapat dilakukan terhadap suatu citra, misalnya proses klasifikasi citra dan
proses identifikasi objek. Segmentasi citra merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari metodologi analisis
citra berbasis objek. Teknik segmentasi citra secara otomatis mengelompokkan piksel berdekatan menjadi
contiguous region berdasarkan kemiripan kriteria pada property piksel. Objek dapat lebih baik daripada piksel,
dalam hal mengetahui tetangganya (neighbours) serta hubungan spasial dan spektral antar piksel (Murinto dan
Harjoko (2009) dalam Parsa (2012)).
Segmentasi objek dilakukan dengan beberapa pendekatan berbeda mulai dari algoritma yang sangat
sederhana seperti segmentasi Chessboard dan segmentasi Quad Tree Based hingga metode tahap lanjut
seperti segmentasi Multiresolusi. Segmentasi Chessboard, membagi daerah piksel atau daerah objek citra
kedalam objek-objek citra persegi dimana satu kotak persegi di pojok kiri atas dengan ukuran tertentu
diterapkan ke seluruh objek citra sehingga setiap objek dibagi ke dalam kotak-kotak persegi ini. Segmentasi
Quad Tree Based, membagi daerah piksel atau daerah objek citra kedalam grid quad tree yang dibentuk oleh
objek-objek persegi. Struktur quad tree dibangun dengan cara setiap kotak memiliki ukuran maksimum pertama
dan kedua yang memenuhi kriteria homogenitas seperti yang ditentukan oleh mode dan skala parameter.
Segmentasi Multiresolusi, merupakan suatu prosedur optimasi heuristik yang secara lokal meminimumkan ratarata heterogenitas objek-objek pada citra untuk suatu resolusi tertentu yang dapat diterapkan pada level piksel
atau pada suatu level objek citra. Segmentasi Spectral Difference, digunakan untuk menggabung objek-objek
yang berdekatan sesuai dengan nilai intensitas layer rataannya. Objek-objek yang berdekatan digabung jika
perbedaan intensitas rata-rata layernya kurang dari nilai yang diberikan oleh rata-rata beda spektral. Algoritma
ini dirancang untuk memperhalus hasil segmentasi yang telah ada dengan menggabungkan objek-objek yang
dihasilkan dari segmentasi sebelumnya yang memiliki spektral yang sama/mirip.
6
Beberapa parameter yang mempengaruhi hasil segmentasi tergantung beberapa hal, yaitu: skala parameter,
bentuk, kehalusan, dan kekompakan. Skala parameter adalah ukuran yang menentukan nilai maksimum
heterogenitas yang dibolehkan dalam menghasilkan objek-objek citra dimana untuk data yang heterogen,
objek-objek yang dihasilkan akan lebih kecil daripada data yang lebih homogen dan dengan memodifikasi
nilai skala parameter dapat dibuat ukuran objek-objek citra yang beragam. Bentuk secara tidak langsung
dapat menentukan kriteria warna, yang menyatakan berapa persen nilai-nilai spektral pada layer citra
yang akan berkontribusi terhadap keseluruhan kriteria homogenitas. Pembobotan ini berlawanan dengan
persentase homogenitas bentuk yang ditentukan dalam kolom bentuk, dimana dengan nilai bentuk 1 akan
mengakibatkan homogenitas spasial dari objek-objek menjadi lebih optimum. Meski demikian kriteria bentuk
tidak dapat memiliki nilai lebih dari 0,9 terkait dengan fakta bahwa tanpa informasi spektral dari citra objekobjek yang dihasilkan tidak akan berkaitan dengan informasi spektral sama sekali. Kehalusan digunakan untuk
mengoptimalkan objek-objek citra berkaitan dengan batas-batas objek. Sementara itu kekompakan digunakan
untuk mengoptimumkan objek-objek citra dikaitkan dengan kekompakan Kriteria ini harus digunakan ketika
objek-objek citra berbeda yang lebih kompak tetapi dipisahkan dari objek-objek tidak kompak hanya oleh
kontras spektral yang relatif lemah (eCognition (2000) dalam Parsa (2012)).
Komposisi Kriteria Homogenitas, merupakan acuan parameter skala ditentukan di dalam komposisi kriteria
homogenitas. Pada keadaan ini homogenitas digunakan sebagai sinonim untuk heterogenitas minimum. Secara
internal tiga kriteria yang dihitung yaitu warna, kehalusan dan kekompakan. Ketiga kriteria homogenitas ini bisa
digunakan dengan beranekaragam kombinasi. Untuk sebagian besar kasus, kriteria warna merupakan yang
terpenting dalam menghasilkan objek-objek tertentu. Meski demikian suatu nilai tertentu dari homogenitas
bentuk seringkali dapat meningkatkan kualitas ekstraksi objek. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa kekompakan
dari objek-objek spasial berhubungan dengan konsep bentuk citra. Sehingga kriteria bentuk sangat membantu
dalam menghindari hasil berupa objek citra yang patah terutama pada data tekstur (misalnya data radar).
Seluruh prosedur Klasifikasi citra remote sensing bertujuan untuk mengelompokkan semua pixel dalam citra
kedalam klas tematik penutup dan penggunaan lahan. Tehnik klasifikasi konvensional menggunakan tehnik
unsupervised maupun supervised sedangkan metoda pengambilan keputusannya dapat digunakan metoda
minimum-distance, parallelepiped and maximum likelihood (Lillesand dan Kiefer, 1993). Pada proses klasifikasi
menggunakan software definiens yang didasarkan pada object-oriented image analysis. Proses tersebut
dilakukan dengan dua tahapan yaitu; Pertama adalah proses segmentasi dan kedua adalah proses pengklasan/
pengelompokan citra. Pengelompokkan diturunkan dari sifat-sifat physik objek yang biasanya digambarkan
dalam bentuk textur dan/atau nilai gray level dari masingmasing objek. Artinya pengelompokkan objek
diorganisir dalam hierarchy (berjenjang), dimana masing-masing klas/kelompok dapat mempunyai subklas atau
super klas (lihat Gambar 1).
Sawah adalah areal pertanian yang digenangi air atau diberi air dengan teknologi pengairan, tadah hujan,
lebak atau pasang surut yang dicirikan oleh pola pematang, dengan ditanami jenis tanaman pangan berumur
pendek (padi). Secara fisik lahan sawah berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk
menahan/menyalurkan air, serta dapat ditanami tanaman pangan berumur pendek seperti padi, palawija
atau tanaman budidaya lainnya atau yang dikenal dengan istilah lahan pertanian basah (Badan Standarisasi
Nasional (2010) dalam Parsa (2011)). Sawah pada umumnya terdapat pada lahan yang datar hingga lahan yang
mempunyai lereng < 10%, akan tetapi di beberapa wilayah tertentu lahan sawah juga dapat ditemukan pada
lahan yang mempunyai lereng lebih dari 10%, bahkan hingga lereng 30%. Pada kondisi lereng yang demikian
besar biasanya diterapkan sistem terasering (www.mediabpr.com, 2011). Lahan sawah pada citra komposit
Landsat 5,4,3 dapat dengan mudah dikenali karena mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan
dengan penggunaan lahan lainnya. Lahan sawah dapat mempunyai tiga macam kenampakkan yang berbeda
tergantung kondisi/fase lahan sawah tersebut yaitu biru (dalam kondisi air/fase pengolahan tanah sampai
tanam), hijau (setelah tanam/vegetatif) dan merah (panen/bera). Perubahan kenampakkan tersebut cukup
mudah diamati pada pengamatan terhadap data multitemporal, sehingga dengan demikian lahan sawah
cukup mudah pula untuk diidentifikasi (Parsa et al, 2011).
Sistem SPOT mempunyai empat saluran termasuk tiga kanal multispektral, yaitu kanal hijau, merah, infra merah
dekat dan satu kanal pankromatik. Resolusi spasial citra SPOT adalah 20x20 meter untuk kanal multispektral dan
10x10 meter untuk kanal pankromatik sedangkan cakupannya seluas 60 km (Lillesand and Kiefer, 1993). SPOT
tidak mempunyai kanal infra merah tengah yang peka terhadap kandungan air daun menyebabkan citra SPOT
kurang baik untuk studi vegetasi, selain itu dari segi harga SPOT memang lebih mahal (Dimyati, 1998). SPOT 5
memiliki dua instrumen resolusi tinggi geometris (HRG) yang berasal dari HRVIR SPOT 4 dengan resolusi yang
lebih tinggi dari 2,5 sampai 5 meter dalam mode pankromatik dan 10 meter dalam mode multispektral (20
meter di gelombang pendek inframerah 1,58-1,75 m). SPOT 6 mempunyai resolusi produk Pankromatik: 1,5
m; Color merge: 1,5 m, Multispektral: 6,2 m. Akuisisi pankromatik dan multispektral SPOT 6 adalah simultan 6
kali perhari persatelit.
Tabel 1. Perbandingan karakteristik system SPOT-5 dan SPOT-6
SPOT-5
SPOT-6
Band
Resolusi
Panjang Gel
Band
Resolusi
Panjang Gel
Band 1, Green
10 m
0.50 - 0.59 m
Band 1, Blue
6,2 m
0.4500.525 m
Band 2, Red
10 m
0.61 - 0.68 m
Band 2, Green
6,2 m
0.5300.590 m
Band 3, Near-IR
10 m
0.79 - 0.89 m
Band 3, Red
6,2 m
0.6250.695 m
Band 4, Pank
2,5 m
0. 51 - 0.73 m
Band 4, Near-IR
6,2 m
0.7600.890 m
Band 5, Pank
1,5 m
0.4500.745 m
Penelitian ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu (1) mengetahui ketelitian dari teknik segmentasi/klasifikasi
yang dilakukan secara berjenjang untuk pemetaan lahan sawah. (2) membandingkan ketelitian pemetaan
antara teknik segmentasi/klasifikasi dengan teknik segmentasi dan interpretasi untuk pemetaan lahan sawah.
METODE
Lokasi penelitian/kajian dilaksanakan dengan mengambil wilayah di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan dengan
luas kajian berkisar 3.028 hektar. Lokasi kajian ini merupakan dataran rendah dengan beragam penggunaan
seperti sawah, tambak dan sebagian masih merupakan hutan belukar dengan topografi berbukit.
a. Data yang digunakan dalam kajian ini meliputi: citra SPOT-6 pansharpen terkoreksi radiometrik tahun 2013
produksi Pusat Teknologi dan Data LAPAN, dengan resolusi spasial 1,5 meter.
b. Diagram alir pengolahan dan analisis data disajikan pada Gambar 2.
Tahapan pengolahan dan anlisis citra mencakup tahapan sebagai berikut:
1. Pengolahan data
a. Seleksi dan cropping citra SPOT-6 pansharpen untuk wilayah kajian. Berdasarkan hasil seleksi, citra
yang kualitasnya terbaik adalah citra yang diperoleh tanggal 28 Mei 2013 sehingga sebagai base untuk
segmentasi.
b. Segmentasi dijital citra SPOT-6 pansharpen tahap satu menggunakan kombinasi skala yaitu 100, dan
80 dengan nilai warna 0,9 dan kekompakan 0,5. Hasil segmentasi dikonversi ke format shapefile (shp).
c. Analisis kuantitatif terhadap hasil segmentasi, meliputi akurasi segmen dan keterpisahan objek.
Berdasarkan hasil analisis ini kemudian ditetapkan apakah kombinasi nilai warna dan kekompakan yang
digunakan mampu memisahkan objek dengan baik.
d. Pengambilan training sampel dan klasifikasi tahap 1, yang hanya terdiri atas empat kelas yaitu air, bera/
terbuka/terbangun, vegetasi dan bayangan.
e. Pengambilan training sampel dan klasifikasi tahap 2, untuk mendetilkan masing-masing kelas yang
terbentuk pada hasil klasifikasi tahap 1, dilakukan tiga kali yaitu untuk mendetilkan kelas air, kelas bera/
terbuka/terbangun, dan kelas vegetasi.
f. Analisis percampuran kelas pada setiap tahap klasifikasi
g. Penggabungan kelas hingga terbentuk kelas sawah dan kelas nonsawah.
h. Identifikasi, klasifikasi citra SPOT-6 multiwaktu untuk pemberian label pada shapefile hasil segmentasi
citra SPOT-6
i. Identifikasi, interpretasi dan delineasi lahan sawah berdasarkan citra SPOT-6.
2. Evaluasi ketelitian hasil pemetaan dengan matrik kesalahan (confusion matrix) dengan referensi hasil
interpretasi lahan sawah dari citra SPOT-6 multitemporal terhadap:
a. Hasil segmentasi/klasifikasi digital citra SPOT-6
b. Hasil segmentasi dan interpretasi citra SPOT-6
CITRA INDERAJA
SPOT-6 PANSHARPEN,
MULTIWAKTU
Segmentasi; Scale; Shape;
Compactness
T
Data lapangan
(Referensi)
INTERPRETASI
berdasarkan
kunci Interpretasi
EVALUASI SEGMEN
Y
Penentuan kelas
Pengambilan
training sampel
tahap 1
Pengambilan
training sampel
tahap 2
Pengambilan
training sampel
tahap 3
Klasifikasi
EVALUASI
KLASIFIKASI
Perbaikan
training sampel
Y
Record Kelas
Sawah dan Nonsawah
Peta Lahan
Sawah
Confusion
Matrix
MODEL PEMETAAN
LAHAN SAWAH
KETELITIAN
PEMETAAN LAHAN
SAWAH
10
Gambar 3. a. sawah, b. tambak, c. campuran dan d. hutan pada hasil segmentasi citra SPOT-6 dengan
skala 100, warna 0,9, kekompakan 0,5
11
Tabel 2. Statistik percampuran kelas training sampel tahap 1 antar kelas pada lokasi kajian
Pembanding
Tanah
Kelas aktif
b1
Air
b2
4
Vegetasi
b3
b1
9
Tanah
b2
Campuran
b3
b1
Bayangan
b2
b3
b1
47
42
44
14
14
14
15
13
13
13
13
Vegetasi
b2
b3
Pada tahap dua, segmentasi dan klasifikasi dilakukan terhadap masing-masing kelas hasil klasifikasi tahap 1.
Segmentasi dan klasifikasi kelas air untuk memisahkan badan air, dan tambak air, sedangkan segmentasi dan
klasifikasi lahan terbuka/terbangun dilakukan untuk memisahkan sawah bera, permukiman dan lahan terbuka.
Segmentasi dan klasifikasi kelas vegetasi diharapkan dapat memisahkan antara vegetasi sawah, semak dan
lain-lain.
Hasil segmentasi dan klasifikasi tahap kedua terhadap kelas air memisahkan kelas badan air dan tambak air
dengan percampuran kelas yang cukup baik kecuali antara badan air dan vegetasi (sangat tinggi), selengkapnya
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Statistik percampuran training sampel tahap kedua untuk kelas air
Kelas aktif
Tambak air
Pembanding
b1
Vegetasi
Badan air
b2
b3
b1
40
33
36
Campuran
13
Badan air
Tanah
b2
b3
98
100
100
Bayangan
Keterangan: b1:band 1, b2:band 2, b3:band 3, satuan persen
Hasil segmentasi dan klasifikasi tahap kedua terhadap kelas vegetasi memisahkan sawah vegetasi, semak/
belukar dengan percampuran kelas 2-36% kecuali antara kelas sawah vegetasi dengan semak dan sawah
vegetasi 81-83%, selengkapnya disajikan pada Tabel 4 .
Tabel 4. Statistik percampuran kelas training sampel tahap kedua untuk kelas vegetasi
Kelas aktif
Pembanding
Vegetasi
12
Tambak air
b1
b2
40
Badan air
b3
33
b1
36
b2
98
100
Sawah vegetasi
b3
100
b1
b2
b3
Kelas aktif
Tambak air
Pembanding
b1
Tanah
Badan air
b2
b3
b1
b2
Sawah vegetasi
b3
b1
b2
b3
21
36
31
Campuran
13
15
15
15
Badan air
15
15
14
Tambak air
18
10
14
Semak
81
82
83
Bayangan
Sementara itu segmentasi dan klasifikasi tahap kedua, terhadap lahan terbuka/area terbangun memisahkan
permukiman, sawah bera dengan percampuran kelas 1-37%, selengkapnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Statistik percampuran training sampel tahap kedua untuk lahan terbuka/area terbangun
Kelas aktif
Tambak air
Pembanding
Vegetasi
b1
b2
Sawah bera
b3
b1
40
33
36
Campuran
13
Badan air
Tanah
b2
Badan air
b3
b1
b2
98
Bayangan
b3
100
Sawah vegetasi
b1
Permukiman
Sawah bera
12
27
37
11
11
12
12
b3
100
Tambak air
Semak
b2
21
36
31
15
15
15
15
15
14
18
10
14
81
82
83
13
Pada tahap akhir dilakukan penggabungan kelas lahan sawah dari setiap tahapan sehingga diperoleh peta
lahan sawah hasil klasifikasi sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Pengujian ketelitian hasil klasifikasi
dilakukan dengan teknik confusion matrix (matrik kesalahan), menggunakan referensi peta lahan sawah hasil
interpretasi citra SPOT-6 pansharpen multitemporal. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketelitian (overall
accuracy) pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi ini mencapai 79,4% selengkapnya disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Ketelitian pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi dan klasifikasi digital
Seg-Klasifikasi
Sawah
Nonsawah
Luas
Ketelitian (%)
Interpretasi
Sawah
696.155
150.637
846.792
82.2
Nonsawah
473.087
1708.072
2181.159
78.3
Overall accuracy
79.4
13
Selain pengujian akurasi terhadap hasil segmentasi dan klasifikasi digital tersebut, juga dilakukan pengujian
akurasi terhadap hasil segmentasi dan interpretasi dengan ketelitian 96,5% sebagaimana disajikan pada Tabel
7.
Table 7. Ketelitian pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi dan interpretasi
Seg-Interpretasi
Sawah
Nonsawah
Luas
Ketelitian (%)
Interpretasi
Sawah
Nonsawah
Overall accuracy
14
812.441
34.351
846.792
95.94
70.249
2110.910
2181.159
96.78
96.5
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian sebagaimana diuraikan diatas, maka penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa:
a. Segmentasi citra SPOT-6 pansharpen dengan kombinasi nilai parameter skala 100, warna 0,9 dan
kekompakan 0,5 cukup baik memisahkan objek di lokasi kajian
b. Ketelitian klasifikasi (Overall accuracy) teknik segmentasi dan klasifikasi digital citra SPOT-6 pansharpen
untuk pemetaan lahan sawah mencapai 79,4%.
c. Ketelitian klasifikasi (Overall accuracy) teknik segmentasi dan interpretasi citra SPOT-6 pansharpen untuk
pemetaan lahan sawah mencapai 96,5%.
d. Teknik segmentasi yang dikombinasi dengan interpretasi memberikan hasil pemetaan yang lebih baik
dibandingkan dengan teknik segmentasi dan klasifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Agricultural Parcel Detection with Definiens eCognition, 2013. (http://www.definiens.com, diakses tanggal 22
Januari 2013)
Achmad, B. dan Fardausy, K. 2005. Teknik Pengolahan Citra Digital, Ardi Publishing, Yogyakarta.
Badan Standarisasi Nasional, 2010. Standar Nasional Indonesia - Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta: BSN. 28
hlm.
Kampouraki M., Wood GA., Brewer TR. 2007. The Suitable of Object-Base Image Segmentation to Replace
Manual Areal Photo Interpretation for Mapping Impermeable Land Cover.
Lahan Sawah. (http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/lahan sawah.aspx, diakses tanggal 9 Maret 2011)
Lillesand and Kiefer. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan Dulbahri et al. Cetakan
kedua. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 725 hlm.
Manual Definiens Professional 5.0. (http://www.definiens.com, diakses tanggal 28 Januari 2011)
Murinto, Harjoko A., 2009. Segmentasi Citra Menggunakan Watershed dan Intensitas Filtering sebagai Pre
Processing. Seminar Nasional Informatika 2009.
Parsa M., Surlan, Ahmad Sutanto, Soko Budoyo, dan Nursanti Gultom, 2011. Pengembangan Model
Pemanfaatan Data Inderaja untuk Pengelolaan Sumberdaya Lahan dalam Rangka Mendukung Ketahanan
Pangan, Laporan Akhir. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh.
Parsa M., 2012. Optimalisasi Parameter Segmentasi untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Data Satelit
Landsat. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital Vol. 10 No. 1 Juni 2013. ISSN
1412-8098 No. 429/Akred-LIPI/P2MI-LIPI/04/2012. Diterbitkan oleh LAPAN. Hal. 27-37.
15
Peijun Li, Guo Jiancong, Benqin Song, Xiaobai Xiao, 2011. A Multilevel Hierarchical Image Segmentation
Method for Urban Impervious Surface Mapping Using Very High Resolution Imagery. IEEE Journal of
Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing - IEEE J SEL TOP APPL EARTH OBS
, vol. 4, no. 1, p. 103-116
Yu Qian, Peng Gong, Nick Clinton, Greg Biging, Maggi Kelly, and Dave Schirokauer. 2006. Object-based
Detailed Vegetation Classification with Airborne High Spatial Resolution Remote Sensing Imagery.
Photogrammetric Engineering & Remote Sensing Vol. 72, No. 7, July 2006, pp. 799811.
Soelaiman R., Darlis Herumurti, Dyah Wardhani Kusuma., 2008. Segmentasi Citra Berwarna Menggunakan
Algorithma Jseg. Fakultas Teknologi Informasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Industri Bidang Teknik Informatika.
16
ABSTRAK
Ketelitian pemetaan yang berbasis citra satelit tergantung dua faktor, pertama ketelitian/kualitas geometri citra dan
kedua ketelitian klasifikasi citra. Kedua faktor tersebut tidak dapat dilepaskan satu dengan lainnya, ketelitian geometri
tanpa disertai ketelitian klasifikasi ataupun sebaliknya akan menyebabkan ketelitian pemetaan yang kurang baik/
rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas citra Landsat ortho dan validasi model pemetaan lahan sawah
dengan teknik segmentasi dan klasifikasi citra Landsat multiwaktu, dengan studi kasus provinsi Lampung. Data yang
digunakan dalam segmentasi adalah data Landsat ortho tahun 2009 sedangkan klasifikasi dilakukan terhadap data
Landsat ortho multiwaktu tahun 2000-2009. Model pemetaan ini menggabungkan teknik digital dan teknik visual,
dimana segmentasi dilakukan secara digital sedangkan klasifikasi menggunakan teknik visual. Validasi lapangan
terhadap kualitas geometri citra Landsat dilakukan dengan pengukuran 60 titik koordinat sedangkan validasi hasil
pemetaan lahan sawah dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan di 56 titik pengamatan yang tersebar di sentra
lahan sawah di provinsi Lampung. Hasil analisis menunjukkan bahwa kualitas citra Landsat ortho cukup baik dengan
pergeseran 9-11 meter sedangkan akurasi pemetaan mencapai 90,6%.
17
PENDAHULUAN
Ketelitian pemetaan berbasis citra penginderaan jauh tergantung dari dua hal yang tidak dapat dilepaskan
satu sama lainnya. Pertama ketelitian/kualitas geometri dari citra yang digunakan, haruslah memenuhi standar
ketelitian sesuai dengan skala peruntukannya. Ketelitian geometri citra Landsat harus memenuhi standar
kesalahan tertentu, biasanya menggunakan maksimum satu pixel (Kustiyo, 2010). Kedua, ketelitian klasifikasi
citra haruslah baik, yang harus dilihat dengan validasi (menggunakan informasi dari skala yang lebih besar atau
dengan validasi lapangan). Ketelitian geometri citra yang baik tanpa dibarengi ketelitian klasifikasi yang baik
atau sebaliknya akan menghasilkan ketelitian pemetaan yang kurang baik.
Informasi spasial lahan sawah pada tingkat skala menengah (1:100.000) masih dibutuhkan oleh institusi terkait
seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, hal ini berkaitan dengan program peningkatan
produksi pangan dalam rangka swasembada (pemenuhan kebutuhan dalam negeri) yang telah dicanangkan
pemerintah. Data yang ada saat masih menunjukkan adanya perbedaan antara luas lahan sawah seluruh
Indonesia yang hanya 4.813.832 ha dengan data daerah irigasi terbangun 7.634.401 ha dimana terdapat
2.82 juta ha yang belum diketahui keberadaannya secara spasial. Angka ini menjadi penting karena dianggap
merupakan lahan potensial untuk dikembangkan menjadi lahan sawah (Purba, 2010).
Badan Standarisasi Nasional mendefinisikan bahwa sawah merupakan areal pertanian yang digenangi air atau
diberi air dengan teknologi pengairan, tadah hujan, lebak atau pasang surut dengan ciri-ciri berpermukaan
rata, dibatasi oleh pematang/galengan, adanya saluran untuk menahan/menyalurkan air dan umumnya
ditanami dengan jenis tanaman pangan berumur pendek seperti padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya
(Parsa et al, 2011). Sawah pada umumnya terdapat pada lahan yang datar hingga lahan yang mempunyai
lereng < 10%, akan tetapi di beberapa wilayah tertentu lahan sawah juga dapat ditemukan pada lahan yang
mempunyai lereng lebih dari 10%, bahkan hingga lereng 30%. Pada kondisi lereng yang demikian besar
biasanya diterapkan sistem terasering (www.mediabpr.com (2011) dalam Parsa et al. (2011)). Lahan sawah pada
citra komposit Landsat 5,4,3 dapat dengan mudah dikenali karena mempunyai karakteristik yang berbeda
dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Lahan sawah dapat mempunyai tiga macam kenampakkan
yang berbeda tergantung kondisi/fase lahan sawah tersebut yaitu biru (dalam kondisi air/fase pengolahan
tanah sampai tanam), hijau (setelah tanam/vegetatif) dan merah (panen/bera). Perubahan kenampakkan
tersebut cukup mudah diamati pada pengamatan terhadap data multiwaktu, sehingga dengan demikian lahan
sawah cukup mudah pula untuk diidentifikasi (Parsa et al., 2011).
Saat ini metode klasifikasi dijital telah berkembang demikian pesatnya terutama klasifikasi dijital berbasis
objek. Metode klasifikasi ini akan meminimalkan kelemahan klasifikasi berbasis pixel (yang hanya didasarkan
nilai dijital) dengan menambahkan beberapa parameter lain (Kampouraki et al., 2007). Metode klasifikasi ini
menggunakan tiga parameter utama sebagai pemisah objek, yaitu skala, bentuk, kekompakkan. Klasifikasi
dijital ini memiliki keunggulan pada pemisahan antar objek yang sangat akurat dan presisi (Agrawal (2010);
Walter (2003)). sehingga dengan demikian dapat menjadi alternatif untuk menggantikan klasifikasi digital
berbasis pixel dan klasifikasi visual/delineasi. Klasifikasi dijital ini juga memiliki kelebihan dalam efisiensi waktu
pengerjaan (Putranto et al., 2010).
Sebagai bagian yang penting dari pemrosesan citra, segmentasi bertujuan untuk membagi citra berdasarkan
kriteria kemiripan tingkat keabuan piksel dengan tetangganya menjadi beberapa region yang homogen untuk
diproses lebih lanjut seperti klasifikasi citra dan identifikasi objek. Sementara itu sebagai bagian yang yang
tidak terpisahkan dari metodologi analisis citra berbasis objek, teknik segmentasi citra secara otomatis akan
mengelompokkan piksel yang berdekatan menjadi contiguous region menurut kemiripan property pikselnya.
(Murinto dan Agus Harjoko, 2009).
18
Hasil kajian yang telah dilakukan mengenai Optimalisasi Parameter Segmentasi Untuk Pemetaan Lahan Sawah
Menggunakan Citra Satelit Landsat dengan studi kasus Padang Pariaman, Sumatera Barat dan Tanggamus,
Lampung menyimpulkan bahwa kombinasi nilai parameter skala 11, warna 0.9 dan kekompakan 0.5 memberikan
hasil segmentasi yang paling mendekati data referensi dengan ketelitian pemetaan yang mencapai lebih dari
90%. Kajian tersebut juga menyarankan perlunya kajian lanjutan menyangkut penyempurnaan metode untuk
mengurangi analisis visualnya maupun verifikasi model tersebut di wilayah lain (Parsa, 2013).
Berkaitan dengan hal tersebut telah dilakukan Validasi Model Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Teknik
Segmentasi dan Klasifikasi Citra Landsat Ortho. Penelitian ini bertujuan untuk dua hal, pertama untuk
pengecekan akurasi citra Landsat ortho yang digunakan sebagai input, kedua melakukan verifikasi untuk
mengetahui ketelitian model pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi dan klasifikasi.
METODE
Kajian dilaksanakan pada tahun 2012 dengan mengambil sampel wilayah di provinsi Lampung. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah satelit Landsat terkoreksi ortho multitemporal tahun 2000, sampai
2009 arsip program INCAS-LAPAN. Mengingat data tahun 2009 dan 2008 masih ada yang tertutup awan,
maka dilakukan mosaik secara vertikal data tahun 2007, 2008, dan 2009 (data tahun 2009 paling atas) untuk
selanjutnya digunakan sebagai input segmentasi. Sementara data tiap tahun digunakan sebagai dasar
interpretasi, klasifikasi dan labeling hasil segmentasi. Klasifikasi ini menggunakan dua kelas penggunaan lahan
yaitu sawah dan nonsawah (selain sawah) yang didasarkan atas perubahan tutupan lahan (air, bera dan vegetasi)
dari tahun ke tahun. Diagram alir pengolahan data dan validasi pemetaan lahan sawah disajikan pada Gambar
1.
Gambar 1. Diagram alir pengolahan data dan validasi hasil pemetaan lahan sawah
19
Pengukuran, pencatatan koordinat lapangan untuk evaluasi akurasi kualitas data Landsat ortho
Pengukuran ini dilakukan pada 60 titik lokasi.
2.
Pencatatan, identifikasi dan dokumentasi lapangan (liputan lahan) di 53 titik pengamatan untuk
menghitung akurasi hasil pemetaan.
2. Evaluasi meliputi ketelitian geometri cira Landsat ortho dan ketelitian pemetaan lahan sawah, dilakukan
untuk mengetahui akurasi/ketelitian citra Landsat ortho dan ketelitian pemetaan lahan sawah. Ketelitian
ortho dihitung berdasarkan selisih hasil pengukuran lapangan dengan koordinat pada citra, sedangkan
ketelitian pemetaan dihitung dengan jumlah titik yang benar dibagi jumlah titik pengamatan.
3. Hasil dan Pembahasan
Koreksi/rektifikasi ortho yang dilakukan di program INCAS menggunakan input lebih dari 50 titik control point
(X,Y,Z) yang diperoleh dari referensi citra Landsat GLS-2000 (Global Land Survey-2000) yang sudah terkoreksi
ortho dan DEM SRTM 90 meter. Titik kontrol yang digunakan terdistribusi secara merata di seluruh bagian
citra, sehingga diharapkan citra hasil koreksi mempunyai akurasi yang baik. Selain itu standar rms error yang
dipersyaratkan dalam proses ini maksimum 1 pixel. Citra ortho hasil koreksi ini digunakan sebagai input
proses segmentasi dan klasifikasi untuk pemetaan lahan sawah. Pengecekan kualitas citra dilakukan dengan
pengecekan dan pengukuran koordinat di 60 titik di lapangan dengan sebaran tidak ideal, hal ini disebabkan
karena keterbatasan aksesibilitas dan waktu. Walaupun demikian sebaran ini masih cukup baik karena cukup
mewakili area yang mempunyai lahan sawah. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dilakukan penghitungan
kesalahan dengan menghitung selisih koordinat pada citra dan koordinat hasil pengukuran. Hasil penghitungan
selisih koordinat di seluruh titik menunjukkan bahwa kesalahan geometri yang terjadi berkisar 1- 46 meter
untuk arah X dan 1-33 meter untuk arah Y, sehingga secara keseluruhan rata-rata kesalahan mencapai 9-11
meter. Selengkapnya rencana dan hasil pengukuran koordinat serta pengamatan kelas lahan disajikan pada
Tabel 1, sedangkan sebaran spasial titik hasil pengukuran disajikan pada Gambar 2.
20
ID
XR
YR
XH
YH
511738
9405398
511749
9405378
510840
9406422
510836
9406404
Sawah
510435
9407308
510426
9407304
510181
9408061
510181
500802
9397632
497913
PEMETAAN
RIIL
X
11
20
Sawah bera/air
18
Sawah
Sawah bera/air
9408070
Sawah
Sawah bera/air
500800
9397618
Sawah
Sawah bera/air
14
9396311
497916
9396322
Sawah
Sawah bera/air
11
497189
9397201
497196
9397206
Sawah
Sawah bera/air
506878
9403155
506883
9403160
Sawah
Sawah bera
504577
9401666
504563
9401656
Sawah
Sawah bera
14
10
10
504177
9402654
504185
9402642
Sawah
Sawah bera
12
11
504786
9404538
504794
9404548
Sawah
Sawah bera
10
12
496285
9406319
496263
9406300
Sawah
Sawah bera
22
19
13
493299
9401720
493291
9401720
Sawah
Sawah bera
14
500299
9407185
500285
9407182
Jembatan
14
15
500524
9407128
500538
9407110
Sawah
Sawah bera
14
18
16
525857
9430203
525863
9430208
Sawah
Sawah bera
17
527882
9432219
527876
9432204
Sawah
Sawah bera
15
18
529664
9432039
529658
9432042
Sawah
Sawah bera
-3
19
531861
9432762
531845
9432756
Sawah
Sawah bera
16
20
532102
9431186
532100
9431186
Sawah
Sawah bera
21
531191
9430087
531184
9430076
Sawah
Sawah bera
11
22
533921
9431067
533916
9431072
Sawah
Sawah bera
23
534882
9437446
534889
9437438
Sawah
Sawah bera
24
531847
9436635
531842
9436642
Sawah
Sawah bera
25
530807
9440684
530815
9440656
Sawah
Sawah bera
28
26
531693
9443226
531696
9443226
Sawah
Sawah bera
27
533174
9444140
533179
9444158
Sawah
Sawah bera
18
28
534519
9446272
534521
9446266
Sawah
Sawah bera
29
522331
9441289
522324
9441284
Sawah
Sawah bera
30
522048
9440234
522086
9440260
Sawah
Sawah bera
38
26
31
519742
9426964
519733
9426956
Sawah
Sawah bera
32
521252
9414306
521206
9414314
Sawah
Sawah bera
46
33
519756
9453780
519761
9453756
Sawah
Kebun singkong
24
34
516768
9453266
516750
9453234
Sawah
Kebun singkong
18
32
35
529899
9457428
529895
9457444
Simpangan
16
36
532427
9460441
532439
9460474
Sawah
Kebun singkong
12
33
21
ID
XR
YR
XH
YH
37
535302
9463525
535300
9463520
Sawah
Sawah bera
38
551549
9464263
551558
9464260
Sawah
Sawah bera
39
545455
9463637
545470
9463630
Sawah
Sawah bera
15
40
542913
9458680
542903
9458692
Sawah
Sawah bera
10
12
41
541648
9457530
541646
9457544
Sawah
Sawah bera
14
42
539285
9455576
539302
9455584
Sawah
Sawah bera
17
43
577755
9362603
577750
9362605
Sawah
Sawah bera
44
574780
9365431
574777
9365420
Sawah
Sawah bera
11
45
579789
9377982
579780
9377992
Sawah
Sawah bera
10
46
580646
9378880
580652
9378883
Sawah
Sawah bera
47
586821
9370227
586826
9370222
Sawah
Sawah bera
48
586588
9367433
586589
9367453
Sawah
Sawah bera
20
49
587178
9383445
587155
9383424
Sawah
Sawah bera
22
20
50
587679
9394509
587676
9394502
Sawah
Sawah bera
51
588580
9398116
588602
9398108
Sawah
Sawah bera
22
52
582704
9416022
582714
9416011
Sawah
Sawah bera
12
53
589510
9418897
589491
9418917
Sawah
Sawah bera
19
19
54
577794
9426225
577791
9426237
Sawah
Tegalan
12
55
583774
9421371
583771
9421370
Sawah
Sawah bera
56
526813
9502903
526815
9502887
Sawah
Permukiman
16
57
529023
9532791
529057
9532798
34
58
586496
9393504
586504
9393503
59
591529
9417988
591552
9418005
23
17
60
529537
9510164
529530
9510160
11
Rata-rata
PEMETAAN
22
RIIL
Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas geometri citra ortho ini cukup baik dan dapat digunakan untuk aplikasi
lebih lanjut. Ketelitian klasifikasi citra yang baik belum menjadi jaminan akan ketelitian hasil pemetaan oleh
karena hal ini dipengaruhi juga oleh ketelitian geometri citra yang digunakan.
Dengan demikian penggunaan citra Landsat ini sebagai input untuk segmentasi, klasifikasi dan pemetaan
lahan sawah diharapkan akan menghasilkan informasi spasial lahan sawah yang akurat. Informasi spasial lahan
sawah hasil pemetaan divalidasi dengan menggunakan data lapangan yang diperoleh dari survey lapangan.
Survey lapangan dilakukan di beberapa kabupaten dengan jumlah titik pengamatan 53 titik. Analisis terhadap
hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa dari 53 titik hasil pengamatan tersebut ternyata 48 titik
hasil pengamatan memang benar merupakan lahan sawah sesuai dengan hasil pemetaan sementara hasil
pengamatan lima titik lainnya adalah salah karena ternyata bukan sawah. Lahan sawah yang ditemukan di
lapangan sebagian terbesar dalam keadaan bera sedangkan sebagian kecil lahan sawah berair/sedang awal
tanam. Hal ini disebabkan karena validasi lapangan dilakukan pada akhir musim kemarau panjang. Lima
titik yang salah klasifikasi ternyata di lapangan tiga titik merupakan kebun singkong, satu titik merupakan
tegalan sedangkan satu titik lainnya adalah permukiman. Jika dihitung maka ketelitian klasifikasi sama dengan
90,6%. Ketelitian pemetaan yang baik ini disebabkan karena cukup baiknya kualitas citra Landsat input proses
segmentasi dan cukup baiknya interpretasi/klalsifikasi citra multiwaktu untuk labeling hasil segmentasi. Contoh
informasi spasial lahan sawah provinsi Lampung disajikan pada Gambar 3 (a, b, c, d, e, f, g, dan h).
23
Gambar 3 Informasi spasial lahan sawah hasil pemetaan dengan teknik segmentasi dan klasifikasi data Landsat
multiwaktu provinsi Lampung
24
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal A., 2010. Object-based Classification of Range Data (Masters Thesis). Information Systems Engineering,
Graduate School of Information Science and Technology, Osaka University.
Amirin, Tatang M., 2011. Populasi dan Sampel Penelitian 2: Pengambilan Sampel dari Populasi Terhingga.
Tatangmanguny.wordpress.com
Badan Standarisasi Nasional, 2010. Standar Nasional Indonesia - Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta: BSN. 28
hlm.
Kampouraki M., Wood GA., Brewer TR., 2007. The Suitable of Object-Base Image Segmentation to Replace
Manual Areal Photo Interpretation for Mapping Impermeable Land Cover. (http://www.citeseerx.ist.psu.
edu/messages/downloadsexceeded, diakses tanggal 26 Februari 2012)
Kustiyo, 2010. Pengembangan Model Koreksi Geometri Ortho untuk Pemetaan Penutup Lahan Wilayah
Indonesia. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 4, Desember 2010. Hal. 168-173
Lahan Sawah. (http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/lahan sawah.aspx, diakses tanggal 9 Maret 2011)
Murinto, Agus Harjoko., 2009. Segmentasi Citra Menggunakan Watershed dan Intensitas Filtering sebagai Pre
Processing. Seminar Nasional Informatika 2009.
Parsa I Made, Surlan, Jansen Sitorus, Dipo Yudhatama, Soko Budoyo, Djoko Santo, 2012. Pengembangan
Model Standar Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh (Landsat/SPOT) untuk Pemetaan Lahan Sawah.
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta: LAPAN
Parsa I Made, Surlan, Sri Harini, Achmad Sutanto, Soko Budoyo, Djoko Santo, 2011. Pengembangan Model
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Ketahanan
Pangan. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta: LAPAN
Parsa I Made, 2013. Optimalisasi Parameter Segmentasi Untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Citra
Satelit Landsat (Studi Kasus Padang Pariaman, Sumatera Barat dan Tanggamus, Lampung). Jurnal
Penginderaan Jauh Vol. 10 No.2 Desember 2013. h 113-122
Purba RS., 2010. Kebijakan Pengembangan Irigasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Makalah
dalam Koordinasi dan Sinkronisasi Program Inventarisasi Lahan Sawah di Provinsi Sumatera Utara.
Kementerian Kordinator Perekonomian.
25
Putranto BYB., Widi Hapsari, dan Katon Wijana, 2010. Segmentasi Warna Citra Dengan Deteksi Warna HSV
Untuk Mendeteksi Objek. Universitas Kristen Sayta Wacana, Yogyakarta.
Wahyunto, Murdiyati SR dan Ritung S., 2004. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh dan Uji Validasinya untuk
Deteksi Penyebaran Lahan Sawah dan Penggunaan Lahan/Penutup Lahan. Informatika Pertanian vol 13.
h 745-769
Walter V., 2003. Object-based Classification of Remote Sensing Data for Change Detection. Institute for
Photogrammetry, University of Stuttgart, Geschwister-Scholl-Str. 24 D, Stuttgart D-70174, Germany
26
Abstrak
Pemantauan fase pertumbuhan tanaman padi di lahan sawah perlu dilakukan untuk memperkirakan keberhasilan
panen. Penelitian bertujuan untuk membuat metode pengolahan spasial data MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer) yang dapat mendeteksi pola tanam atau jenis tanaman pada lahan sawah, sehingga dapat
diketahui apakah ada tanaman lain yang ditanaman selain tanaman padi. Identifikasi tanaman dilakukan berdasarkan
segmentasi model pertumbuhan tanaman dengan menggunakan data multi temporal EVI (Enhanced Vegetation
Index)lima harian yang memiliki resolusi spasial 250m dan 500 m. Segmentasi model pertumbuhan pada fase vegetatif
dan generatif dilakukan dengan cara membuat beberapa model pertumbuhan tanaman padi berdasarkan EVI selama
30 hari atau 6 buah data EVI lima harian. Pada tanaman padi dengan umur panen hingga 100 hari dihasilkan 15 model
pertumbuhan tanaman berbentuk kuadratik yang terdiri dari 7 buah model perumbuhan pada fase vegetatif, 4 buah
model pda kombinasi fase vegetatif generatif, dan 4 buah model pada fase generatif. Identifikasi tanaman selain
padi dilakukan dengan cara membandingkan koefisien-koefisien regresi kuadratik (b0, b1, dan b2) yang dihasilkan dari
6 set data EVI lima harian dengan koefisien-koefisien regresi pada 15 model pertumbuhan tanaman padi. Suatu piksel
dideteksi sebagai bukan tanaman padi jika koefisen-koefisen regresi yang dihasilkan berada diluar kisaran koefisienkoefisien regresi model pertumbuhan tanaman padi.Hasil penelitian diterapkan untuk membuat peta tanaman pada
areal lahan sawah di kabupaten Tuban, Jawa Timur yang memiliki pola tanam padi padi palawija, terutama kacang
tanah.Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan akurasi model prediksi luas panen tanaman padi sawah
menggunakan data MODIS.
Kata Kunci : EVI, identifikasi tanaman, Vegetatif, Generatif, Model Pertumbuhan padi
27
PENDAHULUAN
Sampai saat ini telah dihasilkan dan diterapkan beberapa metode yang digunakan dalam mengumpulkan dan
mengestimasi, luas tanam dan luas panen serta produksi padi sawah. Badan Pusat Statistik bersama-sama
Departemen Pertanian misalnya, selama bertahun-tahun secara rutin dan periodik, telah menerapkan metode
pelaporan lengkap dalam menghasilkan angka luas tanam dan luas panen, serta metoda sampling ubinan
dalam menduga produktivitas padi menurut wilayah. Angka yang dilaporkan oleh para petugas mantri statistik
dan mantri tani didasarkan pada tingkat pengetahuan mereka tentang wilayah kecamatan masing-masing, oleh
karena itu semakin kurang pengetahuan petugas terhadap kecamatannya maka semakin rendah pula akurasi
data yang dilaporkannya demikian pula sebaliknya.Satu kecamatan dipantau oleh masing-masing satu orang
mantri tani dan satu orang mantri statistik.
Prediksi luas panen tanaman padi di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai instansi, antara lain oleh Badan
Pusat Statistik atau BPS, Badan Urusan Logistik atau BULOG (Mulyana et al, 1998), Departeman Pertanian
(Napitupulu, 1998), dan LAPAN (Dirgahayu, 1999). Peramalan luas panen dapat dibagi menjadi dua kelompok
berdasarkan metodologi yang digunakan. Kelompok pertama didasarkan pada metodologi pengumpulan data
secara berjenjang dengan struktur organisasi yang dimiliki, yaitu dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi sampai pada tingkat nasional sehingga informasi yang tekumpul memerlukan waktu yang cukup lama
dan pelaksana yang cukup banyak pada setiap jenjang. Lembaga yang mengembangkan teknik ini antara lain
Badan Pusat Statistik (BPS). Departemen Pertanian (DEPTAN), dan Badan Urusan Logistik (BULOG).
Kelompok kedua lebih menekankan pada penggunaan citra atau peta dengan bantuan teknologi penginderaan
jauh sebagai dasar pendugaan areal produksi padi dan pemantuan kondisi pertumbuhan serta masa panen
tanaman padi. Kelompok yang mengembangkan teknik ini antara lain Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak).
Sebagian besar penelitian aplikasi inderaja terhadap tanaman padi adalah tentang estimasi produktivitas dan
jarang yang memprediksi luas panennya berdasarkan pendugaan umur.Dirgahayu (2004) telah melakukan
penelitian pendugaan umur tanaman padi menggunakan data Landsat 7 ETM. Ekstraksi nilai reflektansi 7 kanal
Landsat 7 ETM dilakukan pada blok-blok tanam lahan sawah PT. Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat. Setiap
blok memiliki jadwal tanam dan varietas padi yang berbeda, sehingga rata-rata nilai reflektan tanaman padi pada
umur yang berbeda dapat diketahui hanya dengan menggunakan satu tanggal data Landsat 7 ETM. Penelitian
menghasilkan 2 model pertumbuhan tanaman padi dalam bentuk spline kubik, baik pada fase vegetatif dan
generatif.Sejak bulai Mei 2003, data Landsat 7 ETM mengalami kerusakan (SLC-Off), sehingga penelitian ini
perlu dilakukan untuk tujuan pemantauan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi menggunakan
data MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer).Data MODIS dibawa oleh satelit Terra/Aqua
yang memiliki 7 kanal spektral dengan resolusi 250 m dan 500 m serta frekuensi pengamatan harian cukup
andal digunakan untuk memantau pertumbuhan tanaman pangan, terutama padi. Satelitini mulai operasioal
sejak tanggal 18 Desember 1999 (Terra) dan 4 Mei 2002 (Aqua). LAPAN baru mampu merekam data satelit ini
sejak Agustus 2004, sehingga perlu dilakukan pengkajian dan penelitian untuk pengolahan data MODIS dan
pemanfaatannya dalam berbagai aspek aplikasi.Permasalahan yang belum bisa dieliminasi adalah identifikasi
pola tanam yang dilakukan di lapangan, terutama jika dilakukan kegiatan pemantauan kondisi lahan dan
tanaman setiap bulan.Selama ini model yang diterapkan dengan asumsi bahwa semua lahan sawah ditnaami
tanaman padi, padahal kenyataannya tidak, terutuma pada periode musim kemarau (Mei September).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membuat metode pengolahan
spasial data MODIS untuk mendeteksi pola tanam atau jenis tanaman pada lahan sawah menggunakan
segmentasi model pertumbuhan tanaman padi menggunakan parameter Indeks Vegetasi EVI (Enhanced
28
Vegetation Index). Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi prediksi luas panen tanaman
padi sawah.
29
L untuk koreksi latar belakang kanopi (kondisi tanah/lahan).Hasil akhir dari implementasi program pengolahan
EVI dikombinasikan dengan SAVI, jika kondisi pengaruh atmosfer tidak signifikan yang diindikasikan oleh
reflektansi kanal biru lebih besar dari reflektansi kanal merah.Formula EVI secara umum sebagai berikut :
(1)
If rblue<= rred or rred<= rnir then EVI = 2.5*( rnir rred) / ( 1 + rnir + 6*rred 7.5*rbiru )
Else EVI = 1.5*( rnir rred) / ( 0.5 + rnir + rred )
Untuk mengeliminasi pengaruh cuaca harian, seperti awan terhadap nilai EVI, maka dibuat komposit citra EVI
mingguan atau 8 harian dengan metode overlay maksimum.
Analisis
Ekstraksi Nilai Rataan EVI
Training area pada citra RGB 6,2,1 dibuat pada area lahan sawah yang menunjukkan kenampakan warna biru
dari tubuh air sebagai indikasi awal tanam pada lahan sawah di Karawang, Subang dan Indramayu. Tingkat
homogenitas area diupayakan melalui bantuan citra EVI yang telah diklasifikasi dengan interval 0.02, sehingga
tubuh air terkelaskan menjadi 8 kelas. Selanjutnya dilakukan ekstraksi nilai rata-rata EVI komposit mingguan
dari data time series (bulan Juli 2004 Juli 2005) pada poligon area kelas tubuh air yang dibuat.
Model Pertumbuhan Tanaman Padi
Time series EVI dari hasil ploting setiap training area dinterpretasi untuk menentukan saat terjadinya fase
vegetatif maksimum (50 - 60 hari setelah tanam), awal tanam, dan akhir tanam (fase bera), sehingga dapat
diketahui hubungan antara umur tanam dengan kisaran nilai EVI.
Analisis korelasi dan regresi dilakukan untuk memperoleh model persamaan regresi selama pertumbuhan
tanaman padi pada periode 30 harian selama fase vegetatif dan generatif Bentuk persamaan yang akan dicoba
adalah polinom orde 2 dengan persamaan umum sebagai berikut :
y = b0 + b1*u + b2*u2
(2)
y merupakan parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi tanaman, lebar atau luas daun, berat kering
tanaman atau EVI, sedangkan u adalah hari setelah tanam.
30
(1)
(2)
31
Hasil model pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2. Model Pertumbuhan Tanaman Padi menurut EVI MODIS pada Fase Vegetatif
Gambar 3. Model Pertumbuhan Tanaman Padi menurut EVI MODIS pada Fase Generatif
Bandingkan jika model pertumbuhan tersebut tidak dipecah menjadi 2 dengan persamaan regresi dengan nilai
R2 lebih kecil dan Se lebih besar, sebagai berikut :
32
(4)
Hasil analisis Sidik Ragam koefisien regresi dengan selang kepercayaan 95 % (taraf uji 5 % ) untuk model
pertumbuhan tanaman padi ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Hasil Uji Statistik Keofisien Regresi Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Vegetatif
Parameter
Koefisien
Se
t Stat
Kisaran 95 %
b0
138.3299
2.1651
63.89**
133.94
142.72
b1
0.2146
0.3400
0.63tn
-0.4743
0.9035
b2
0.0552
0.0140
3.95**
0.0269
0.0834
b3
-0.0006
0.0002
-3.97**
-0.0009
-0.0003
Tabel 2. Hasil Uji Statistik Keofisien Regresi Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Generatif
Parameter
Koefisien
Se
t Stat
Kisaran 95 %
b0
-77.0371
101.6776
-0.76tn
-284.41
130.34
b1
12.8577
3.7198
3.46**
5.2712
20.4442
b2
-0.1746
0.0442
-3.95**
-0.2647
-0.0845
b3
0.0007
0.0002
4.07**
0.0003
0.0010
(5)
Umur tanaman padi dapat ditentukan berdasarkan kisaran nilai EVI yang diduga berdasarkan persamaan
pertama jika memenuhi kriteria a, dan c serta diduga berdasrkan model persamaan kedua jika memenuhi
kriteria d. Klasifikasi citra EVI menjadi umur padi dapat dilakukan dengan kriteria seperti yang tercantum pada
Tabel 3-3.
Permasalahan akan timbul jika pada lahan sawah tersebut ditanami oleh tanaman lain selain padi, terutama
pada saat tidak adanya dominasi air pada lahan sawah tersebut. Pendugaan umur berdasarkan kriteria pada
Tabel 3 tidak berlaku bagi tanaman lain, misalnya palawija. Kegiatan pemantauan kondisi tanaman pada
lahan sawah memerlukan informasi yang cepat, misalnya untuk informasi spasial bulanan, karena tidak mungkin
harus menunggu informasi sampai 2 bulan. Informasi tidak akan berguna jika terlambat, karena fenomena
33
gejala-gejala kekeringan dan serangan hama penyakit tidak bisa terdeteksi. Oleh karena itu untuk kegiatan
pemantauan tanaman, prediksi waktu dan luas panen, serta estimasi produktivitas tanaman pada suatu areal
lahan sawah harus diketahui pola tanam pada lahan tersebut. Permasalahnnya, informasi tentang pola tanam
pada lahan sawah di setiap daerah tidak dapat diketahui secara menyeluruh. Selain itu informasi yang adapun
hanya berupa informasi umum berbentuk tabular, tidak disebutkan secara detil kapan tanggal awal tanam
suatu jenis tanaman.
Tabel 3. Kisaran Nilai EVI pada Interval Umur Padi
No
Kisaran EVI
HST
DEVI
0- 5
<0
0.102
>0
5 - 10
0.103
0.139
>0
10 - 15
0.140
0.192
>0
15 - 20
0.211
0.255
>0
20 - 25
0.256
0.327
>0
25 - 30
0.328
0.402
>0
30 - 35
0.403
>0
35 - 40
0.479
0.478
0.551
40 - 45
0.552
0.617
>0
10
45 - 50
0.618
0.672
>0
11
50 - 55
0.673
>0
12
55 - 60
0.715
13
60 - 65
0.682
0.714
0.739
0.738
14
65 - 70
0.637
0.681
<0
15
70 - 75
0.580
0.636
<0
16
75 - 80
0.517
0.579
<0
17
80 - 85
0.450
0.516
<0
18
85 - 90
0.386
<0
19
90 - 95
0.327
22
95-100
0.278
23
100-105
0.243
24
Bera
0.193
0.449
0.385
0.326
0.277
0.211
>0
>0
<0
<0
<0
<0
<= 0
34
dapat melakukan penanaman padi sebanyak 3 kali /tahun. Daerah yang tidak memliki ketersediaan air yang
cukup untuk pertumbuhan tanaman padi, terutama pada periode musim kemarau (April Agustus) sebaiknya
melakukan penanaman tanaman selain padi, misalnya palawija. Alternatif pola tanamnya bisa padi padi
- palawija atau padi palawija padi atau bahkan hanya bisa tanam 1 kali padi dengan pola tanam padi
palawija palawija.
Untuk pemantauan kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi setiap bulan perlu diketahui pola
tanamnya. Permasalahannya adalah informasi tersebut hanya berupa tabular, bukan berupa spasial atau peta
tanam serta untuk seluruh daerah tidak diketahui secara detil waktu tanam padi serta pola tanamnya. Prediksi
luas panen padi maupun produktifitas padi menggunakan data inderaja bisa menghasilkan informasi yang lebih
banyak, jika hanya mengasumsikan bahwa semua lahan sawah ditanami padi. padahal pada kenyataannya
bukan tanaman padi.
Sebagai contoh profil pertumbuhan tanaman kacang tanah yang ditanam pada lahan sawah di daerah Tuban,
Jawa Timur dan perbedaannya dengan tanaman padi ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar tersebut
tampak secara grafis bahwa pada fase vegetatif terlihat perbedaan 2 kurva cukup signifikan yang ditunjukkan
oleh intercep yang berjarak cukup jauh. Sedangkan pada fase generatif tampak slope dan intercep kedua
kurva tidak begitu berbeda, sehingga agak sulit dibedakan jika nilai X (Hari Setelah Tanam) untuk mencapai
nilai Y maksimum tidak begitu berbeda. Perbedaan bisa terjadi jika saat mencapai nilai Y maksimum, nilai X
agak berbeda. Secara kuantitatif kedua kurva dapat dibedakan dengan uji beda terhadap nilai intersep dan
slope (gradien) kurva, karena nilai keduanya merupakan karakteristsik pertumbuhan setiap tanaman.
Sebagai upaya untuk mebedakan jenis tanaman yang ada pada lahan sawah untuk tujuan pemantauan dalam
30 hari, maka perlu dilakukan segmentasi model pertumbuhan, artinya dibuat beberapa model pertumbuhan
berbentuk kuadratik dengan periode 1 bulan dengan selang interval 5 hari setelah tanam (HST). Model yang
berbentuk kuadratik adalah pendekatan yang logis, karena pada periode 1 bulan tanaman padi bisa saja
memliki kisaran umur antara 45 75 HST atau 55 85 HST yang berbentuk mendekati kuadratik (lihat Gambar
5). Dengan demikian terdapat 7 buah persamaan model pertumbuhan pada fase vegetatif, 4 buah persamaan
pada fase generatif serta 4 persamaan pada kombinasi fase vegetatif dan generatif. Secara detil modelmodel segmentasi pertumbuhan tanaman padi bulanan dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6, serta hasil
analisis regresi pada Tabel 4.
35
Umur (HST)
bo
b1
b2
5 30
136.44
0.6902
0.0237
10 35
133.20
1.0501
0.0147
15 - 40
127.94
1.5001
0.0057
20 45
120.20
2.0401
-0.0033
25 50
109.53
2.6702
-0.0123
30 - 55
95.49
3.3901
-0.0213
35 - 60
77.63
4.2001
-0.0303
40 - 65
-5.93
7.6792
-0.0659
45 - 70
-53.39
9.3465
-0.0803
10
50 - 75
-18.86
8.0804
-0.0689
11
55 - 80
105.23
4.2266
-0.0393
12
60 - 85
250.72
0.1329
-0.0107
13
65 - 90
241.95
0.3333
-0.0119
14
70 - 95
308.73
-1.3468
-0.0013
15
75 - 100
384.17
-3.1317
0.0091
Setiap koefisien memiliki kisaran nilai tertentu untuk berlakunya suatu piksel masuk dalam tren pertumbuhan
padi selama peiode 30 harian. Oleh karena itu perlu dibuat 3 buah tabulasi yang berisi kisaran nilai-niali b0,b1,
dan b2 yang dapat berjumlah maksimum 30 data. Jika dalam seri data 1 bulan yang terdiri dari 6 buah data
Indeks Vegetasi lima harian tidak memliki trend kuadratik dengan nilai koefisien b0,b1, dan b2 diluar kisaran
tanaman padi, maka diidentifikasi sebagai bukan tanaman padi. Algoritma sederhana untuk identifikasi jenis
tanaman pada lahan sawah adalah sebagai berikut :
if data[i] <= 152 then 1 else if b0 >= a and b0 <= b and b1 >= c and b1 <= d
and b2 >= e and b2 <= f then 1 else 2
data[i] <= 152 : data pada lima harian ke-1,,6 dengan IV <= 152 (EVI <= 0.193) terdeteksi sebagai obyekair sehingga
diberi nilai 1 (tanaman padi), jika tidak diberi nilai 2 (tanaman lain).
a,b
: batas kisaran minimum dan maksimum nilai koefisien b0
c,d
: batas kisaran minimum dan maksimum nilai koefisien b1
e,f
: batas kisaran minimum dan maksimum nilai koefisien b2
36
Gambar 5. Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Vegetatif Periode 1 Bulan
45 - 70HST
70 - 95HST
188
176
164
40
50
60
70
80
90
100
HST
Implementasi model untuk membuat citra fase tanaman di kabupaten Tuban, Jawa Timur pada lima harian ke5atau Minggu ke-3 bulan Agustus 2006 ditampilkan pada Gambar 7. Distribusi spasial umur tanaman padi dan
non padi (kacang tanah)untuk skala kabupaten Tuban dapat dilihat pada Gambar 8.
37
DAFTAR PUSTAKA
Biotrop.2000. Konstruksi Prediksi Produksi Padi Berdasarkan Model Spasial. TISDA, BPPT.
Dirgahayu, D., 1999, Aplikasi Model Pendugaan Umur Padi untuk Peramalan Luas Panen Padi di Pulau Jawa,
Majalah LAPAN (edisi Inderaja), No. 2, Vol.2.
Dirgahayu, D and Parwati, 2005. Rice Crop Modelling Using Age Index Based on LANDSAT 7 ETM Data.
International Conference of MAP ASIA, 22 25 August 2005. GisDevelopment.
Dirgahayu, D. 2005. Model Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Data MODIS Untuk Pendugaan Umur
Padi Sawah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAP IN XIV, ITS. Surabaya
Mulyana,W,I. Budi, dan B. Subroto. 1998. Pemanfaatan Informasi Produksi Padi untuk Mengestimasi Pengadaan
Beras dan Operasi Pasar Bulog, Lokakarya Sistem Pemantauan dan Prediksi Padi di Indonesia. SARI
Project, BPPT, Jakarta.
Napitupulu, T.E.M. 1998. Sistem Estimasi Hasil dan Peramalan Produksi dalam Konteks Pengamanan Produksi
Pangan Nasional.Lokakarya Sistem Pemantuan dan Prediksi Padi di Indonesia. SARI Project, BPPT, Jakarta
38
Dede Dirgahayu
Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRAK
Informasi spasial awal tanam padi sangat diperlukan untuk mengetahui persentase realisasi tanam padi. Penelitian
ini bertujuan untuk mendeteksi area tanam padi berdasarkan informasi spasial awal tanam padi di lahan sawah
menggunakan data EVI MODIS multitemporal. Data yang digunakan adalah data 8 harian EVI MODIS multitemporal
(tahun 2007- 2009). Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui kapan terjadinya awal tanam padi berdasarkan waktu
terjadinya EVI maksimum yang dapat dicapai pada setiap piksel data. Nilai EVI maksimum saat pertumbuhan vegetatif
tanaman padi dijadikan sebagai acuan, karena umumnya terjadi pada 60 HST (hari setelah tanam). Nilai EVI maksimum
dapat diketahui berdasarkan profil pertumbuhan menggunakan data EVI MODIS multitemporal selama pertumbuhan
tanaman padi (110-120 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman padi di daerah Indramayu,
Jawa Barat terdeteksi awal tanam Oktober Maret dengan nilai ambang EVI < 0.22.
Kata Kunci : MODIS Multitemporal, Analisis spasial, EVI Maksimum, Profil Pertumbuhan
39
PENDAHULUAN
Peningkatan produksi tanaman pangan khususnya tanaman padi perlu dilakukan oleh pemerintah untuk
mencapai swasembada pangan. Karena berdasarkan UU RI tahun No. 7 tahun 1996, dinyatakan bahwa
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermindari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Namun produksi padi
disuatu negara setiap tahunnya dapat mengalami fluktuasi akibat adanya bencana kekeringan dan kebanjiran
di lahan sawah. Bencana tersebut juga dapat terjadi Pulau Jawa yang merupakan daerah pemasok terbesar
produksi padi nasional. Dengan demikian perlu adanya upaya yang dilakukan untuk mencapai swasembada
pangan, yang salah satunya adalah dengan melakukan pemantauan terhadap kondisi pertanaman padi di
Pulau Jawa. Dengan adanya pemantauan tersebut diharapkan pemerintah dapat segera mengambil tindakan
yang diperlukan dalam menjaga dan meningkatkan produksi padi nasional.
Tanaman Padi mengalami beberapa kondisi / fase selama pertumbuhannya, antara lain fase tebar-tanam,
vegetatif, generatif-panen, dan bera. Secara detil tahapan pertumbuhan tanaman padi adalah sebagai berikut
1. tahap perkecambahan (20 - 17 hari sebelum tanam)
2. tahap bibit (17 - 4 hari sebelum tanam)
3. tahap anakan (2 -20 hari setelah tanam /hst)
4. tahap pemanjangan batang (22 - 32 hst)
5. tahap inisiasi malai (32 - 42 hst)
6. tahap perkembangan malai (40 - 52 hst)
7. tahap pembungaan (52 - 62 hst)
8. tahap pengisian biji (62 - 74)
9. tahap pengerasan biji (70 - 82 hst)
10. tahap biji masak (80 - 96 hst)
Pada fase tebar-tanam hingga tahap anakan didominasi oleh air selama sekitar 20 hari Pada fase vegetatif
dan generatif didominasi oleh tajuk tanaman dengan tingkat kehijauan dan kerapatan yang berbeda yang
berlangsung selama 80-90 hari tergantung jenis varietasnya. Setelah itu tanaman padi dipanen dan diberakan
selama beberapa hari tergantung ketersediaan air
Pendekatan yang banyak digunakan untuk memprediksi awal musim tanam adalah dengan mengetahui
ketersediaan air dari curah hujan dan kondisi lengas lahan (moisture) serta kehilangan air akibat
evapotranspirasiyang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pendekatan-pendekatan tersebut pada dasarnya
merupakan usaha untuk mengetahui periode di mana kondisi fisik lingkungan sesuai bagi pertumbuhan
tanaman. Las (1992) dalam Adiningsih (2000) mengemukakan tentang konsep penentuan awal musim tanam
berdasarkan jumlah curah hujan dasarian dan status ketersediaan air tanah, Ada 3 kelas status ketersediaan air
untuk menentukan awal musim tanam, yaitu :
a. Air mencukupi bagi tanaman jika curah hujan lebih besar dari 50 mm/dasarian,
b. Hampir mencukupi jika curah hujan 25 -50 mm/dasarian, dan
c. Tidak mencukupi jika < 25 mm/dasarian.
40
Pembagian status air tersebut didasarkan pada evapotranspirasi potensial (ETP) rata-rata dan persentase curah hujan
efektif. Untuk mendapatkan curah hujan efektif > 25 mm/dasarian dengan peluang 75 %, maka curah hujan ratarata harus > 50 mm/dasarian atau 150 mm/bulan. Angka ini sering digunakan sebagai batas kelayakan curah
hujanuntuk awal musimtanam tanaman padi. FAO (1978) dalam Hardjowigeno (2001) menganjurkan kombinasi curah
hujan dengan evapotranpirasi potensial untuk masa tanam , yaitu dengan kriteria rasio CH/ETP > 0.5. Batas ambang
tersebut juga dapat digunakan sebagai indikasi terjadi kekeringan.
Salah satu metode pemantauan tanaman padi yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan data satelit
penginderaan jauh. Data satelit yang dapat digunakan untuk pemantauan tanaman padi dengan cakupan
wilayah yang luas dan temporal yang tinggi adalah datasatelit MODIS Terra-Aqua. Dari data MODIS dapat
diekstrak nilai indeks vegetasi EVI (Enhanced Vegetation Index) seperti yang pernah dilakukan oleh Huete
et al. (1997). Dengan menggunakan nilai EVI secara temporal diharapkan dapat dilihat dan dicirikan fluktuasi
pertumbuhan tanaman padi.
Informasi spasial awal tanam padi sangat diperlukan untuk mengetahui persentase realisasi tanam padi.
Jika realisasi tanam masih dibawah target dari rencana target luas panen dan Kalender Tanam (Katam),
maka instansi terkait seperti Badan Ketahanan Pangan, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP),
dibawah Kementan dan Dinas Pertanian Daerah dapat melakukan antisipasi agar kegiatanan penanaman dapt
dipercepat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi awal tanam padi menggunakan data EVI Modis Multitemporal.
Manfaat penelitian adalah dapat diketahuinya persentase realisasi tanam padi yang telah dilakukan di lapangan.
Selain itu untuk mengevaluasi apakah sistim katam (kalender tanam) dilakukan atau tidak.
METODE
Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di areal persawahan Kabupaten Indramayu sebagai salah satu sentra produksi padi di
Jawa Barat. Luas Kabupaten Indramayu yang tercatat seluas 204.011 Ha, terdiri atas 110.877 Ha lahan sawah
(54,35%) dengan irigasi teknis sebesar 72.591 Ha, 11.868 Ha setengah teknis 4.365 Ha irigasi sederhana PU
dan 3.129 Ha irigasi non PU. Permasalahan yang sering terjadi di areal persawahan di Kabupaten Indramayu
adalah masih terjadinya kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim penghujan.
41
rNIR rRe d
EVI =
xG
rNIR + C1rRe d C2 rBlue + L
(1)
Kemudian data raster tersebut diperhalus (smoothing) untuk menghilangkan noise (teutama awan) agar
diperoleh profil EVI yang halus. Smoothing yang dilakukan adalah dengan menggunakan moving median 3
dan rata-rata. Artinya setiap tiga data dicari nilai mediannya kemudian dirata-ratakan. Kemudian hasil dari
smoothing tersebut dioverlay dengan lahan baku sawah dari data landsat sehingga diperoleh profil IV per
piksel.
Analisis spasial data multitemporal dilakukan untuk mengetahui nilai statistik suatu piksel dalam periode 8
harian selama 3 tahun, antara lain : minimum, maksimum, mean, letak/ saat minimum, dan letak maksimum.
Nilai-nilai statistik tersebut merupakan representasi kondisi liputan lahan selama berapa tahun. Jika suatu piksel
di lapangan didominasi oleh obyek vegetasi/ tanaman, maka nilai statistik tersebut merupakan parameter
pertumbuhan tanaman. Jika vegetasi tersebut tanaman padi, maka saat mencapai nilai EVI maksimum tanaman
padi tersebut berumur sekitar 60 HST (Hari Setelah Tanam), yaitu sekitar separuh dari masa pertumbuhan
tanaman padi dari mulai tanam hingga panen (110-120 hari). Selanjutnya dibuat program khusus menggunakan
bahasa pemograman C++ untuk menghitung parameter pertumbuhan tanaman padi agar dapat membedakan
tanaman padi dengan objek lainnya. Program tersebut menghitung nilai minimum, maksimum, letak minimum,
letak maksimum dari seri data yang terkumpul. Dari nilai-nilai tersebut dapat dihitung awal tanam (saat
mencapai nilai minimum yang didominasi oleh obyek air), panen (kondissi bera / tanpa vegetasi) dan nilai
statistiknya seperti nilai rata-rata /mean selama pertumbuhan, mean, std, dan slope selama fase vegetatif (0
60 HST atau saat EVI max) dan selama fase generatif (60 HST bera). Nilai-nilai tersebut dapat dimanfaatkan
dalam pengolahan data lebih lanjut untuk menentukan obyek yang diduga tanaman padi.
42
Gambar 1. Diagram Alir Deteksi Tanaman Padi dan Estimasi Awal Tanam Padi
Ekstraksi informasi awal tanam (AT) padi dilakukan berdasarkan waktu terjadinya EVI Maksimum atau Letak
Maksimum (LM). EVI maksimum diasumsikan terjadi ketika padi berumur 60 HST (Hari Setelah Tanam), yaitu
setelah pembungaan dan saat terbentuknya bulir gabah. Dengan demikian awal tanam (AT) padi pada data EVI
8 harian dapat diketahui dengan formula :
AT = LM 60/8 ~ LM 8
(2)
43
(3)
Dimana,
Swh_Id
Mx-Tn_Id
Maksimum_Id
Untuk membuat profil pertumbuhan tanaman padi EVI multitemporal berdasarkan piksel-piksel yang relatif
homogen, maka data EVI tersebut harus diekstrak berdasarkan poligon yang memiliki kelas padi dan awal
tanam yang sama. Poligon tersebut dapat terbentuk dengan cara mengoverlay vektor poligon Klasifikasi Padi
dengan nilai atribut Klas_id dan vektor polgon awal tanam (AT). Nilai atribut padi (Padi_Id) dihitung dengan
formula sbb :
Padi_id = Swh_id + 18*(AT_id 1 )
(4)
Dimana,
Padi_id = nilai atribut padi
Swh_id = nilai atribut kelas padi
AT_id
Selanjutnya vektor poligon tersebut dikonversi menjadi Region Raster oleh SW ErMapper ke file EVI
Multitemporal untuk dihitung nilai statistiknya pada setiap region dengan atribut Padi_Id. Kemudian dilakukan
tabulasi nilai EVI berdasarkan umur / awal tanam yang sama sehingga diperoleh profil EVI setiap kelas padi.
44
Hasil dari smoothing tersebut kemudian di overlay dengan lahan baku sawah dari data landsat sehingga
diperoleh profil IV per piksel. Karena setiap obyek yang dipermukaan bumi mempunyai profil yang berbedabeda maka dapat dibedakan juga profil yang diduga sebagai profil padi. Dari profil yang diperoleh dari tiap
piksel didapat bahwa untuk piksel-piksel yang diduga tanaman padi mempunyai tiga puncak untuk periode
2007 sampai dengan 2009. Hal ini menandakan bahwa terjadi tiga periode tanam. Berdasrkan hasil analisis
statistik pada sampel area yang dibuat menunjukkan bahwa perubahan EVI selama pertumbuhan tanaman
padi membentuk kurva seperti lonceng (Gambar 2) dan mempunyai selang waktu 112-120 hari. Tanaman padi
rata-rata mencapai nilai EVI maksimum >= 0.45 dan EVI minimum <= 0.22 (fase air). Sedangkan selisih nilai
EVI maksimum dan EVI minimum (saat tanam) > 0.35. Hasil analisis statistik data EVI multitemporal selama
3 tahun menghasilkan citra EVI maksimum, Rata-rata, dan EVI minimum. Komposit RGB dari ketiga citra
tersebut ditunjukkan pada Gambar 3. Lahan sawah dapat dideteksi dengan kenampakan warna dominan hijau
dibandingkan dengan penutup lahan yang lain
45
46
Gambar 4. Pemetaan Awal Tanam Padi Sawah di Kab. Indramayu Tahun 2007
Gambar 5. Pemetaan Awal Tanam Padi Sawah di Kab. Indramayu Tahun 2008
47
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis spasial dalam penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Awal tanam padi dapat dideteksi berdasarkan dominasi obyek air pada lahan sawah. Waktu awal tanam
padi ( 0 HST) dapat diduga berdasarkan saat terjadi EVI maksimum yang umumnya terjadi pada 60 HST.
Nilai ambang (treshold) EVI pada awal tanam adalah sekitar 0.22.
2. Realisasi tanam padi dapat dipantau melalui pertambahan luas tanaman padi yang memiliki nilai EVI <=
0.22.
Daftar Pustaka
Adiningsih, E.S., dkk. 2000. Penentuan awal musim tanam menggunakan data satelit lingkungan dan cuaca di
pulau Jawa. Prosiding Seminar Internasional Penginderaan Jauh dalam Pengembangan Ekonomi dan
Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta, 11-12 April 2000.
Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Jurusan Geofsika
dan Meteorologi. FMIPA. IPB.
Handoko. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamics for Natural Resources Management. SEAMEO
BIOTROP. Bogor. Indonesia
Hardjowigeno, S.2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. IPB, Bogor
Hillel,D. 1971. Soil and Water Physical Principlesand Processes. Academic Press, New York.
Puslitanak. 2002. Perkiraan Dini Areal Pertanian yang Terancam Kekeringan di Pulau Jawa Menggunakan
Teknologi Penginderaan Jauh. Laporan Kerjasama dengan Pusat Data dan Informasi Pertanian,
Departemen Pertanian
Wu, L., F. X. Le Dimet, B. G. Hu, P. H. Cournde, P. de Reffye. 2004. A Water Supply Optimization Problem for
Plant Growth Based on GreenLab Model. Cari 2004 - Hammamet. p: 101 108
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2014. Profil Kabupaten Indramayu. Diunduh dari http://jabarprov.go.id/index.
php/pages/id/1052. Tanggal 1 Oktober 2014.
Huete et al., 1997. HYPERLINK http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0034425796001125A comparison
of vegetation indices over a global set of TM images for EOS-MODIS. Journal of Remote Sensing
48
Mukhoriyah
Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRAK
Kota Depok merupakan salah satu kota Megapolitan Jabodetabekpunjur, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2011 mencapai 1.813.612 jiwa dengan luas
wilayah 20.009,92 ha. Aktivitas penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan terhadap lahan meningkat, sementara
itu luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Hal ini menimbulkan perbandingan yang tidak seimbang antara perilaku
manusia dan lingkungan dimana banyak lahan sawah yang dikembangkan menjadi kawasan terbangun. Keberadaan
ekologi semakin menurun dan kurang mendapat perhatian sehingga berdampak pada bencana banjir setiap
tahunnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji ekologi lahan sawah di Kota Depok menggunakan data citra
satelit Landsat-7 TM tahun 2000 dan citra satelit SPOT-4 tahun 2011. Kajian ekologi dilakukan dengan menganalisis
konservasi air berdasarkan pembobotan variable curah hujan, penutup lahan dan kandungan liat. Selain itu dilakukan
analisis ruang terbuka hijau (RTH) dan analisis sebaran titik banjir. Hasil menunjukkan telah terjadi perubahan penutup
lahan sawah menjadi lahan terbangun sebesar 11,49%. Hasil perhitungan nilai ekologi yang diperoleh berdasarkan
hasil pembobotan adalah lahan sawah yang mempunyai nilai ekologi tinggi merupakan kawasan konservasi air
(80,21%), terdapat sebaran titik banjir (182,68 ha) dan memiliki RTH seluas 655,70 ha; Lahan sawah yang memiliki nilai
ekologi sedang merupakan kawasan konservasi air (17,75%) dan mempunyai RTH seluas 143,64 ha; Dan lahan sawah
yang memiliki nilai ekologi rendah merupakan wilayah genangan titik banjir (156,52 ha) dan mempunyai RTH seluas
20,08 ha.
Kata Kunci: Ekologi, Penutup Lahan, Sawah, Satelit Landsat dan SPOT
49
PENDAHULUAN
Perkembangan tata ruang Kota Depok dipengaruhi oleh kebijakan pemanfaatan ruang pada tingkat nasional
dan provinsi yang diarahkan sebagai kawasan penyangga dan resapan air untuk wilayah DKI Jakarta, kawasan
industri dan permukiman, serta budidaya lahan basah (PERDA Kota Depok No. 2 tahun 2009). Lahan sawah
dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya,
dan memberikan manfaat yang bersifat sosial. Kota Depok juga merupakan salah satu kota kawasan Megapolitan
Jabodetabekpunjur yaitu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Jumlah penduduk
pada tahun 2011 mencapai 1.813.612 jiwa dengan luas wilayah 20.009,92 ha (BPS Kota Depok, 2011). Aktivitas
pembangunan dan pertambahan penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan terhadap lahan meningkat,
sementara itu ketersediaan dan luas lahan pada dasarnya tidak berubah.
Meningkatnya arus urbanisasi yang terjadi di Kota Depok menyebabkan banyaknya permintaan dan
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Meningkatnya penggunaan lahan pertanian dimana makin
terbatasnya luas lahan sawah yaitu tahun 2011 sebesar 932 dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan
perbandingan yang tidak seimbang antara perilaku manusia dan lingkungan. Keberadaan lahan sawah di
Kota Depok harus dipertahankan keberadaannya sebab secara ekologi berfungsi sebagai daerah resapan
air, pengendali banjir, sebagai ruang terbuka hijau, pengendali keseimbangan tata air dan penyangga untuk
wilayah sekitanya serta sebagai habitat biota air. Tetapi saat ini keberadaan nilai ekologi semakin menurun
dan kurang mendapat perhatian. Dampak yang ditimbulkan adalah kerusakan ekologi jangka panjang yaitu
timbulnya bencana banjir setiap tahunnya (Jayadinata, 2008).
Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh digunakan untuk memetakan berbagai objek di permukaan bumi
dan mengidentifikasi penggunaan lahan serta perubahannya dari tahun 2000-2011. Beberapa kajian telah
dilakukan untuk memanfaatkan data satelit penginderaan jauh untuk mengetahui perubahan lahan sawah dan
menentukan nilai ekologi, yaitu: pemantauan perubahan lahan pertanian (Irawan (2005), Pakpahan et al. (1993),
Rustiadi et al. (2005)); perhitungan nilai ekologi (Odum (1993). Pada kegiatan ini dilakukan analisis ekologi
lahan sawah di Kota Depok periode 2000-2011 menggunakan data satelit multi temporal Landsat TM dan citra
SPOT 4.
METODOLOGI
Lokasi penelitian berada di Kota Depok Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah 20.029, 92 ha dan terdiri
dari 11 kecamatan. Data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah citra satelit multitemporal Landsat-7
TM tahun 2000 dan citra SPOT-4 tahun 2011, data penutup lahan. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
Analisis perubahan penutup lahan sawah tahun 2000-2011, dilakukan dengan secara visual untuk
mengklasifikasi kelas penutup lahan. Berdasarkan hasil identifikasi penutup lahan di Kota Depok, diperoleh
sembilan kelas penutup lahan, yaitu: tubuh air, industri, kebun campur, ladang/tegalan, lahan terbuka,
lapangan golf, permukiman, sawah dan semak/belukar. Klasifikasi dilakukan menggunakan data Landsat 7
TM/ETM+ dan SPOT-4 untuk tahun yang berbeda.
Analisis konservasi air, dilakukan dengan menentukan kondisi utama dari penutup lahan sawah dan
kemampuan tanahnya dalam menyimpan air. Perumusan model konservasi air mengacu pada penelitian
Zain (2002) dimana penelitian tersebut dilakukan di wilayah Jabodetabek dengan modifikasi beberapa
variabel seperti curah hujan, penutup lahan, kandungan liat (Lembaga Penelitian Tanah, 1969). Dalam
penelitian ini dilakukan dua proses yaitu skoring dan pembobotan sehingga dihasilkan kelas konservasi
50
air yaitu kelas tinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan variabel curah hujan. Pemodelan zona
konservasi air (Zain, 2002) menggunakan Persamaan (1) sebagai berikut:
(1)
= Curah hujan
LU
KL
= Kandungan Liat
Hasil pemodelan daerah konservasi air dari pembobotan beberapa parameter adalah:
1. Wilayah yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengkonservasi air.
2. Wilayah yang memiliki kemampuan sedang dalam mengkonservasi air.
3. Wilayah yang memiliki kemampuan rendah dalam mengkonservasi air
Analisis Ruang Terbuka Hijau, merupakan standar penyediaan RTH adalah 15 m2/penduduk atau minimal
dari luas areal kota dalam berbagai bentuk. Kemampuan lahan sawah untuk menyerap CO2 pertahun
dapat dihitung melalui penelitian (IPCC, 2006) dimana lahan sawah memiliki daya serap gas CO2 sebesar
175,20 ton CO2/ha/tahun (DPU, 1996)
Analisis Sebaran Titik Banjir, yaitu akibat tingginya curah hujan menunjukkan bahwa kapasitas alir sungai
tidak lagi mampu menampung debit air sehingga terjadi luapan air di beberapa lokasi karena kapasitas
alir lebih rendah dari debit aliran. Keterbatasan kapasitas alir disebabkan karena di sepanjang sisi sungai
telah dipenuhi oleh permukiman penduduk sehingga sungai tidak lagi dapat mengikuti kesetimbangan
alam untuk menampung aliran dari hulu dan berubah fungsi menjadi saluran drainase. Analisis sebaran
titik banjir diperoleh dari hasil overlay peta sebaran titik banjir dengan peta penutup lahan sawah tahun
2011. Hasil tersebut digunakan untuk mengetahui luas lahan sawah yang berada di genangan titik banjir
akibat terjadinya perubahan lahan sawah menjadi lahan terbangun.
51
Industri
Kebun
Campur
Tegalan
Lahan
Terbuka
114,30
8,15
5,19
3,72
15,29
15,61
162,26
Industri
34,97
34,97
Kebun Campur
1.059.26
85.82
8,05
0,04
187,36
76,71
1417.24
Ladang/
50.43
1.084.72
40,26
11,15
97,89
38,89
1323.34
Lahan Terbuka
7,11
64,78
19,22
11,09
75,16
Lapangan Golf
366,89
366.89
Permukiman
1.1847,20
11847,20
Sawah
132,36
103,00
5,04
1.113,83
819,42
115,03
2298,79
Semak/
59,13
35,45
17,27
0,17
132.06
2.239.49
2483.57
Danau
Ladang/
Lap
Permukiman
Sawah
Semak/
Golf
Jumlah
Belukar
Tegalan
Belukar
52
53
54
Gambar 5. Foto lahan sawah yang beralih fungsi menjadi area perumahan
Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk
Sumber Daya Wilayah Darat
55
56
Hasil analisis nilai ekologi lahan sawah di Kota Depok dengan menggunakan parameter konservasi air,
ruang terbuka hijau dan sebaran titik banjir, maka diperoleh kriteria nilai ekologi tinggi, sedang dan rendah
diperlihatkan pada Gambar 7 meliputi :
Lahan sawah yang memiliki nilai ekologi tinggi merupakan kawasan konservasi air dengan luas 657,29
ha (80,21%), terdapat sebaran titik banjir terbesar yaitu seluas 182,68 ha, mempunyai saluran drainase
dan irigasi yang baik. Wilayah ini memiliki RTH seluas 655,70 ha dan mampu menyerap CO2 sebesar
114.878,64 tonCO2/ha/tahun.
Lahan sawah yang memiliki nilai ekologi sedang merupakan kawasan konservasi dengan luas 145,41 ha
(17,75%), mempunyai RTH seluas 143,64 ha yang mampu menyerap CO2 sebesar 25.165,73 tonCO2/ha/
tahun.
Lahan sawah yang memiliki nilai ekologi rendah merupakan wilayah genangan titik banjir seluas 156,52 ha
dan mempunyai RTH seluas 20,08 ha yang mampu menyerap CO2 sebesar 3.518,02 tonCO2/ha/tahun.
Tabel 2. Luas Kriteria Lahan Sawah sebagai Kawasan Konservasi Air
Kriteria Kawasan Konservasi
Luas (Ha)
Prosentase (%)
Rendah
16.72
2.04
Sedang
145.41
17.75
Tinggi
657.29
80.21
57
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lahan sawah di Kota Depok sudah banyak mengalami perubahan
yang dikonversi menjadi lahan terbangun. Padahal ditinjau dari aspek biofisik dan lahan sawah harus
dipertahankan keberadaannya karena secara ekologi merupakan kawasan konservasi air yang tinggi yaitu
seluas 657,29 ha (80,21%) dan memiliki RTH seluas 655,70 ha yang mampu menyerap CO2 sebesar 114.878,64
tonCO2/ha/tahun, walaupun Kota Depok memiliki sebaran titik banjir terbesar yaitu seluas 182,68 ha.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. Kota Depok Dalam Angka. Kota Depok. Jawa Barat. 2011
Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Pedesaan Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum. 1996. Pedoman
Peninjauan Kembali dan Penyusunan RTRW Kabupaten Dati II. DPU. Jakarta.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi Volume 21 No.2 Oktober 2003. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Balitbang Pertanian Departemen Pertanian. hal : 145-174.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas
Inventories. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES, Japan.
Jayadinata JT. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah Edisi Ketiga.
Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Odum, Eugene P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Pakpahan, A., Sumaryanto, N. Syafaat. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan
Nonpertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
PERDA Nomor 2 Tahun 2009. Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 12 Tahun 2001 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-2010. Kota Depok. Jawa Barat
Rustiadi E, Wafda R. 2005. Masalah Ketersedian Lahan dan Konversi Lahan Pertanian. Makalah Seminar pada
Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi pada tanggal 13 Desember
2005, kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi dan Pusat Studi Pembangunan
Pertanian dan Perdesaan (PSP3) LPM IPB
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007. Penataan Ruang.
Zain. AM, Mukaryanti, Shiddig. D. Evaluasi Kemampuan Alami Wilayah Dalam Konservasi Air dan Pengendalian
Banjir. Jurnal Ilmiah. Teknik Lingkungan. P3TI BPPT.7.
58
ABSTRAK
Informasi spasial nilai minimum dan dan maksimum dari indek kehijauan vegetasi (NDVI) sangat diperlukan sebagai data
masukan untuk pendugaan laju erosi tanah. Informasi spasial NDVI pada daerah tangkapan air (DTA) membutuhkan
citra satelit dengan resolusi spasial menengah, seperti citra Landsat. Tutupan awan/haze dan perbedaan pencahayaan
karena topografi dapat mengakibatkan tidak akuratnya NDVI. Kegiatan ini bertujuan untuk membuat informasi spasial
NDVI minimum dan maksimum di DTA Danau Kerinci menggunakan 19 citra Landsat TM/ETM+ periode 2000-2009
perekaman bulan berbeda yang mewakili musim kemarau dan hujan. Standardisasi data dilakukan dengan melakukan
koreksi geometri matahari dan koreksi terrain menggunakan metode C-correction. Proses berikutnya adalah
menghilangkan awan/haze dan bayangan pada setiap citra, konversi ke NDVI, kroping dan penggabungan data,
serta perhitungan NDVI maksimum dan minimum. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk melihat perubahan NDVI. Hasil
memperlihatkan bahwa kondisi topografi, awan dan bayangan mempengaruhi NDVI, terutama dalam menentukan
NDVI minimum. Karena itu standarisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi syarat penting mendapatkan
NDVI yang konsisten dan akurat. Perubahan NDVI tinggi terjadi pada penutup lahan yang dinamis (sawah), sedangkan
perubahan NDVI rendah terjadi pada penutup lahan yang statis (hutan dan tubuh air).
59
PENDAHULUAN
Konversi lahan menjadi permasalahan utama yang mengakibatkan terjadinya kerusakan di bagian hulu daerah
tangkapan air (DTA), yang selanjutnya mengakibatkan berubahnya siklus hidrologi di DTA tersebut. Bila hujan
turun pada tanah yang terbuka, maka air akan masuk kedalam tanah yang memiliki kesuburan tinggi. Dengan
tidak adanya pohon yang menahan air hujan agar meresap ke dalam tanah, maka aliran air permukaan akan
meningkat. Aliran air permukaan yang besar dan cepat akan mengikis lapisan permukaan tanah yang subur
sehingga menyebabkan hilangnya kesuburan tanah. Dampak yang terjadi adalah meningkatnya erosi tanah
pada musim hujan dan kurangnya air pada musim kemarau karena rendahnya resapan air ke dalam tanah (www.
Salmaghaliza.blogspot.com)
Permasalahan di DTA berakibat pada turunnya kualitas danau seperti: pendangkalan dan penyempitan danau,
penyebaran eceng gondok dan turunnya kualitas air. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha pencegahan agar
kerusakan DTA tidak berlanjut terus, serta upaya pemulihan kualitas danau sehingga danau-danau tersebut
dapat tetap lestari. Untuk menangani permasalahan ini, pemerintah telah menggulirkan program nasional
penyelamatan danau 2010-2014 yang diprioritaskan kepada 15 danau yang telah mengalami kerusakan (KLH,
2011). Program tersebut telah ditindak lanjuti dengan diadakannya Konferensi Danau I di Bali pada tahun 2009
dan Konferensi Danau II di Semarang pada Tahun 2011, yang menghasilkan kesepakatan antara 9 Kementerian
dan penegasan kembali untuk pemulihan 15 danau prioritas.
Berdasarkan pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau (KLH, 2008) dijelaskan bahwa status ekosistem danau
ditentukan oleh beberapa faktor, yang salah satunya adalah erosi lahan. Erosi merupakan suatu proses hilangnya
lapisan tanah, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Foth, 1995). Tingkat erosi yang tinggi
dan melebihi batas toleransi mengakibatkan DTA suatu danau diberi status mengalami kerusakan. Metode
Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah metode pendugaan laju erosi tanah yang cukup populer dan sangat
baik diterapkan di daerah yang faktor utama penyebab erosi adalah hujan dan aliran permukaan (As-syakur,
2008), tetapi metode USLE membutuhkan beberapa masukan data pengukuran lapangan yang belum tentu
tersedia untuk setiap wilayah Indonesia. Metode pendugaan lain berbasis data satelit penginderaan jauh, yang
membutuhkan informasi spasial kemiringan lereng dan data Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
untuk wilayah kajian (Hazarika dan Honda, 2001). Data NDVI yang dibutuhkan untuk pendugaan laju erosi
tanah adalah NDVI minimum dan maksimum pada suatu wilayah selama periode tertentu.
NDVI adalah indeks vegetasi yang paling popular digunakan dan dapat mengambarkan kondisi tingkat
kehijauan, kesehatan dan kerapatan vegetasi. NDVI dikembangkan oleh Rouse et al. (1974), berbasis kepada
perbedaan nilai pantulan band inframerah dengan band merah. Tumbuhan hijau akan menyerap gelombang
pada spektrum merah untuk proses fotosintesis, dan memantulkan gelombang pada spectrum inframerah.
Parameter indek vegetasi sebaiknya memenuhi syarat (Jensen, 2000): (a) Memaksimalkan sensitifitas dari
parameter biofisik tanaman, (b) Menormalkan pengaruh dari luar seperti: sudut matahari, sudut pandang sensor,
atmosfir dan waktu perekaman, (c) menormalkan pengaruh dari dalam seperti: variasi dari jenis kanopi dan
tanah, kondisi topografi, jenis tanaman, (d) dapat dihubungkan dengan parameter biofisik yang dapat diukur
seperti biomassa atau leaf area index (LAI) yang dapat dijadikan alat validasi dan kontrol kualitas informasi.
Walaupun NDVI diharapkan dapat terlepas dari pengaruh faktor luar dan faktor dalam, tetapi pada kenyataannya
faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai dijital piksel secara berbeda untuk setiap band. Oleh karena itu NDVI
yang berbasis pada selisih band tidak akan terlepas sepenuhnya dari pengaruh tersebut. Beberapa faktor
yang mempengaruhi nilai dijital piksel adalah pengaruh tutupan awan/haze, bayangan dan beda pencahayaan
karena perbedaan kondisi topografi permukaan bumi. Faktor yang paling berpengaruh untuk wilayah Indonesia
adalah faktor tutupan awan, karena Indonesia terletak di wilayah tropis yang merupakan wilayah pembentukan
awan.
60
Kegiatan ini bertujuan untuk untuk membuat informasi spasial NDVI minimum dan maksimum di DTA Danau
Kerinci menggunakan citra multi temporal Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Proses standarisasi
data dilakukan dengan melakukan koreksi geometri matahari dan terrain, kemudian melakukan penghilangan
awan/haze dan bayangan awan dengan menggunakan kombinasi band. Diharapkan proses standarisasi
data, penghilangan awan/haze dan bayangan dapat mempertahankan konsistensi nilai NDVI sehingga dapat
digunakan untuk mendukung pendugaan laju erosi tanah yang akurat.
METODE
Lokasi dan Data
Lokasi kajian adalah daerah tangkapan air Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia (Gambar
1). Danau Kerinci merupakan salah satu dari 15 danau yang termasuk dalam program pengelolaan danau prioritas
tahun 2010-2014 yang dikeluarkan oleh BLHPP (Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian Pengembangan), KLH
(http://blhpp.wordpress.com/). Ekosistem sekitar Danau Kerinci mempunyai permasalahan dengan terjadinya
kerusakan DAS karena konversi lahan yang mengakibatkan tingginya laju erosi tanah di wilayah DTA. Wilayah ini
mempunyai kondisi topografi yang bervariasi dan dikelilingi oleh pegunungan bukit barisan, dengan penutup
lahan yang utama terdiri dari pertanian, perkebunan, hutan dan ladang/tegalan.
Data penginderaan jauh satelit yang digunakan adalah data Landsat TM/ETM selama periode 2000-2009, dan
data Dijital Elevation Model (DEM) SRTM X-C band. Kedua jenis data tersebut mempunyai resolusi spasial
yang sama yaitu 30 m. Data Landsat TM/ETM+ diperoleh dari program Indonesia National Carbon Accounting
System (INCAS), kondisi data sudah terkoreksi geometri matahari (konversi nilai dijital ke reflektansi) dan
sebagian sudah terkoreksi terrain. Dari data yang diterima dilakukan evaluasi tingkat penutup awan, untuk
selanjutnya dipilih 19 data dengan tingkat penutup awan yang relatif rendah untuk digunakan. Data yang dipilih
juga memperhatikan keterwakilan bulan-bulan pada musim hujan dan musim kemarau. Data yang digunakan
diperlihatkan pada Tabel 1.
Gambar 1. Lokasi daerah kajian di Kabupaten Kerinci (Kiri), dan daerah tangkapan air Danau Kerinci (Kanan)
61
Jenis data
Tanggal Perekaman
1.
Landsat TM
22 Januari 2000
2.
Landsat TM
5 Mei 2000
3.
Landsat TM
13 Mei 2000
4.
Landsat TM
3 Juli 2001
5.
Landsat TM
11 Juli 2001
6.
Landsat ETM+
24 Maret 2002
7.
Landsat ETM+
28 Juni 2002
8.
Landsat ETM+
15 Agustus 2002
9.
Landsat TM
6 Januari 2003
10.
Landsat ETM+
17 Juni 2004
11.
Landsat TM
13 September 2004
12.
Landsat TM
27 Mei 2005
13.
Landsat TM
30 Mei 2006
14.
Landsat TM
1 Juli 2006
15.
Landsat ETM+
11 September 2006
16.
Landsat TM
1 Mei 2007
17.
Landsat TM
19 Mei 2008
18.
Landsat TM
20 April 2009
19.
Landsat TM
22 Mei 2009
Metode Penelitian
Sebagian data masih belum dilakukan koreksi terrain, sehingga tahap pertama adalah melakukan koreksi terrain
dengan menggunakan algoritma C correction (Wu et al., 2004) seperti pada persamaan 1. Detil penjelasan
mengenai koreksi terrain dan cara memperoleh nilai C dapat dilihat pada hasil penelitian sebelumnya (Trisakti
et al., 2009), pada penelitian tersebut dilakukan perhitungan nilai C, dan selanjutnya melakukan koreksi terrain
untuk data Landsat ETM+ dengan menggunakan algoritma C correction.
LH = LT (Cos sz + C)/(Cos i +C)
(1)
Dimana:
LH : Reflektansi yang sudah dikoreksi (pada permukaan datar)
LT : Reflektansi belum dikoreksi (pada permukaan miring karena kondisi topografi)
sz : Sudut zenith matahari
i
: Sudut normal piksel yang dibentuk dari arah normal piksel dan arah matahari
c : Koefisien pembatas yang merupakan rasio antara titik potong dan gradient (b/m) dari persamaan regresi
LT = m Cos I + b
Selanjutnya melakukan penghilangan awan/haze (cloud removal) dan bayangan awan untuk data Landsat.
Penghilangan awan dilakukan dengan menggunakan metode penghilangan awan secara bertahap
menggunakan band biru (band 1) dan band inframerah (band 4), algoritma yang digunakan adalah sebagai
berikut:
62
(2)
63
(3)
dimana:
i1, i2, , in = layer NDVI ke 1 sampai dengan layer NDVI ke n (n=19)
64
Nilai NDVI
Gambar 2. Citra Landsat (Kiri) dan Nilai NDVI dari citra Landsat (Kanan)
Bayangan
65
proses koreksi terrain. Setelah mengalami proses koreksi terrain, penampakan data dalam bentuk 3 dimensi
berubah menjadi bentuk datar 2 dimensi, dan perwarnaan yang lebih gelap dari bagian yang membelakangi
matahari menjadi lebih terang sehingga mendekati pewarnaan dari bagian yang menghadap matahari. Analisis
secara dijital memperlihatkan bahwa nilai-nilai dari band pada objek yang membelakangi matahari bertambah,
sebaliknya nilai-nilai dari band pada objek yang menghadap matahari berkurang mendekati nilai-nilai band
pada objek yang pada bagian datar.
Hasil penghilangan awan dan bayangan diperlihatkan pada Gambar 5. Dengan menggunakan metode
penghilangan secara bertahap menggunakan kombinasi band, maka awan dan bayangan dapat dihilangkan
dengan cukup baik. Permasalahan yang masih menyulitkan dalam proses penghilangan awan dan bayangan
adalah mendapatkan nilai batas yang optimal, dan nilai tersebut bisa berubah pada data yang berbeda. Apabila
nilai batas tidak optimal, akan mengakibatkan tidak akuratnya nilai NDVI (NDVI lebih rendah dari semestinya).
Setelah data terstandarisasi, maka dilakukan penurunkan nilai NDVI untuk untuk setiap data pada Tabel 1.
Gambar 6 memperlihatkan contoh data NDVI untuk DTA Danau Kerinci pada tanggal perekaman berbeda
selama periode 2000-2009.
66
0.1
0.9
11 juli 2001
27 Mei 2005
22Mei 2009
67
NDVI Maksimum
NDVI Minimum
Keterangan:
NDVI Minimum 200-2009
NDVI Maksimum 2000-2009
Perubahan NDVI 2000-2009
Legenda
0.2
0.9
Analisis perubahan nilai NDVI di DTA Danau Kerinci dilakukan dengan mengurangi NDVI maksimum dengan
NDVI minimum. Besarnya selisih NDVI yang diperoleh kemudian dibagi menjadi tiga bagian dan dikelaskan
menjadi kelas perubahan NDVI rendah, kelas perubahan NDVI sedang dan kelas perubahan NDVI tinggi.
Kelas perubahan NDVI tinggi dan NDVI sedang teridentifikasi di daerah sawah, ladang dan perkebunan yang
mempunyai perubahan tingkat kehijauan yang tinggi. Yaitu kehijauan vegetasi saat masa penanaman atau masa
setelah panen yang didominasi oleh tanah (NDVI rendah) dengan kehijauan vegetasi saat fase vegetasi yang
didominasi oleh tutupan daun yang rapat (NDVI tinggi). Sedangkan kelas perubahan NDVI rendah terpantau
pada hutan, air danau, permukiman, semak belukar yang tingkat kehijauannya relatif tetap (cenderung sama).
68
KESIMPULAN
Pada kegiatan ini dilakukan perhitungan NDVI maksimum dan minimum untuk wilayah DAS Danau Kerinci
dengan menggunakan data Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Hasil memperlihatkan bahwa,
Kondisi topografi, tutupan awan, haze dan bayangan sangat mempengaruhi NDVI, terutama dalam
menentukan NDVI minimum. Karena itu standarisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi
syarat penting mendapatkan NDVI yang konsisten untuk menghasilkan pendugaan laju erosi tanah yang
akurat
Standarisasi yang perlu dilakukan adalah koreksi terrain untuk penghilangan pengaruh perbedaan
pencahayaan karena topografi dan penghilangan awan/haze dan bayangan.
Perubahan NDVI tinggi terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang dinamis seperti sawah, sedangkan
perubahan NDVI rendah terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang statis seperti hutan dan tubuh air.
69
DAFTAR PUSTAKA
http://www.Salmaghaliza.blogspot.com
http://blhpp.wordpress.com/
http:// www.salmaghaliza.blogspot.com, Keseimbangan Ekosistem, 10 November 2011
As-syakur A.R., 2008, Prediksi Erosi Dengan Menggunakan Metode USLE Dan Sistem Informasi Geogra_s (SIG)
Berbasis Piksel Di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan, PIT MAPIN XVII, Bandung.
Foth H.D., 1995,Dasar-dasar Ilmu Tanah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hazarika M.K. dan Honda K., 1999, Estimation of Soil Erosion Using Remote Sensing and GIS, Its Valuation and
Economic Implications on Agricultural Production, Proceeding, The 10th International Soil Conservation
Organization Meeting held May 24-29, Purdue University and the USDA-ARS National Soil Erosion
Research Laboratory
Jensen J.R., 2000, Remote Sensing of The Environment an Earth Resource Perspective, PP.361, Published by
Pearson Education Inc., First Indian Reprint, 2003
KLH, 2011, Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2010-2014, Kementerian Lingkungan Hidup
KLH, 2008, Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau, Kementerian Lingkungan Hidup
Rouse J.W., Haas R.H. Schell J.A. dan Deering D.W., 1974, Monitoring Vegetation System in The Great Plains
with ERTS, Proceeding, Third Earth Resources Technology Satellite-1 Symposium, Greenbelt: NASA SP351, 3010-317
Trisakti B., Kartasasmita M., Kustiyo dan Kartika T., 2009, Kajian Koreksi Terrain pada Citra Landsat Thematic
Mapper, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, Vol.6, 2009
Wu X., Furby S. dan Wallace J., 2004, An Approach for Terrain Illumination Correction, Proceeding, The 12th
Australasian Remote Sensing and Photogrametry Association Conference, held in Fremantle, Western
Australia 18-22 October 2004.
70
ABSTRAK
Pada penelitian ini, diusulkan model identifikasi dan pemantauan vegetasi air (eceng gondok) di danau Tempe
menggunakan data multitemporal citra satelit Landsat-TM dan SPOT-4. Model yang dibangun adalah citra kombinasi
RGB : NIR-SWIR-Merah, SWIR-NIR-Hijau dan citra kombinasi RGB: (NIR+Swir)-NIR-(NIR-Merah). Pemantauan luas
permukaan enceng gondok dan luas danau dipantau dari tahun 1989-2010. Pemantauan sebaran permukaan eceng
gondok dianalisis dengan metode klasifikasi tidak terbimbing dan analisis akurasinya dengan menggunakan metode
confusion matrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi model (NIR+SWIR)-NIR-(NIR-Merah) mampu
menampilkan vegetasi eceng gondok secara lebih tegas dan terpisah dari objek lainnya. Uji coba ketelitian akurasi
diperoleh akurasi pada kanal-kanal (K): K_12345 memiliki akurasi keseluruhan 95.883 % hasilnya lebih rendah bila
dibandingkan dengan K_{(4+5)(4)(4-3)} dengan akurasi keseluruhan 97.754 %, K_542 akurasi keseluruhan 98.628 % dan
K_453 akurasi keseluruhan 99.002 %. Sebaran luas permukaan eceng gondok dan luas danau dari tahun 1989 - 2010
selalu berubah-ubah.
Kata kunci: Eceng gondok, kombinasi RGB, multitemporal, klasifikasi, Landsat-TM dan SPOT-4.
71
PENDAHULUAN
Pengaruh degradasi DAS telah menimbulkan masalah terhadap kualitas danau-danau, seperti pendangkalan
dan penyusutan luas danau, penurunan kualitas air, penurunan produktifitas perikanan dan perkembangan
sebaran eceng gondok. Salah satu danau yang saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan menjadi salah
satu prioritas pemerintah adalah Danau Tempe di Kabupaten Sidrap dan Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.
Berdasarkan data dari (KLH, 2011) masalah yang dihadapi oleh danau Tempe adalah (1) pendangkalan dan
penyusutan luas, (2) penurunan kualitas air danau, (3) perkembangan eceng gondok, (4) penurunan volume air, (5)
penurunan produktivitas perikanan, dan (6) banjir. Luas dan kedalaman danau ini sudah mengalami perubahan yang
sangat signifikan. Menurut Arief dalam (DKP Kabupaten Wajo, 1997), danau Tempe mempunyai luas normal
sebesar 9.400 ha pada tahun 1997 dan luas tersebut berkurang menjadi 9.000 ha pada tahun 2006, tetapi saat
ketika terjadi banjir besar maka luasan genangan muka air danau dapat mencapai 47.800 ha.
Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kegiatan pemantauan yang berkaitan dengan pengelolaan
danau telah banyak dilakukan, seperti: pemantauan perubahan luas permukaan air danau dan pemantauan
perubahan penutup lahan di DAS Limboto serta pemantauan kualitas air danaunya (kekeruhan dan Muatan
Padat Tersuspensi) menggunakan citra multitemporal dan multispektral (Trisakti B. et al 2011). Bahkan dewasa
ini perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh berjalan sangat cepat, sehingga dapat menyediakan
berbagai data penginderaan jauh optik dan SAR (Sinthetic Aparture Radar) dengan karakteristik resolusi spasial,
temporal dan spektral yang berbeda-beda. Sehingga, data satelit penginderaan jauh menjadi sumber data
yang penting untuk pembuatan informasi spasial yang akurat, konsisten dan aktual mengenai sumber daya
alam dan lingkungan, khususnya untuk memantau perubahan penutup lahan di DAS dan vegetasi air danau.
Beberapa metode identifikasi vegetasi air di wilayah perairan telah dilakukan dengan menggunakan data
penginderaan jauh, khususnya data yang memiliki kisaran spektrum dari visible sampai inframerah menengah.
Dewanti et al. (1998) mengkaji tentang karakteristik profil vegetasi air (mangrove) lewat data penginderaan
jauh, menjelaskan bahwa mangrove dikawasan sepanjang pantai dan pertambakan dapat terlihat jelas dari citra
FCC (False Color Composit). Oleh karena itu dalam penelitian ini dicoba untuk diusulkan model identifikasi
dan pemantauan eceng gondok menggunakan data multitemporal citra satelit Landsat-TM dan SPOT-4.
Pengolahan citra dibuat dari kombinasi tiga kanal, yakni kanal dari spektral tampak dan kanal dari spektral
inframerah. Kombinasi tersebut menggunakan kanal-kanal: 3, 4 dan 5 dari citra Landsat-TM.
Berdasarkan asumsi diatas bahwa identifikasi vegetasi eceng gondok dapat diidentikkan hampir sama dengan
vegetasi mangrove bila diinterpretasikan menggunakan data penginderaan jauh. Jenis obyek pada citra akan
mudah dikenali terutama dengan membangun citra kombinasi warna (color composite). Dengan melalui
proses pengolahan, analisis dan interpretasi citra dapat diperoleh informasi tentang sebaran perubahan luas
permukaan eceng gondok dan luas danau yang akan dikaji dalam penelitian ini. Tujuan dari penulisan ini adalah
mengidentifikasikan eceng gondok dan mengembangkan model pemantauan luas danau menggunakan data
citra satelit penginderaan jauh serta melakukan kajian/analisis perubahan luas permukaan eceng gondok di
Danau Tempe, Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan data multitemporal citra Landsat-TM 1989,
2000, 2005 dan data citra SPOT-4 2010. Identifikasi eceng gondok dilakukan dengan membangun kombinasi
RGB 453, 542 dan kombinasi RGB [(4+5)(4)(4-3)] model (Trisakti et al. 2011) serta melakukan klasifikasi citra
secara digital. Kushardono, (2012) mengkaji tentang uji coba klasifikasi terhadap kelas penggunaan lahan
dalam mengekstraksi informasi dengan matrik confusion dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi. Oleh
karena itu, analisis akurasi dari hasil klasifikasi ini dilakukan uji coba menggunakan metode confusion matrik.
Berdasarkan model analisis tersebut dapat diperoleh informasi yang terpadu antara identifikasi eceng gondok,
perubahan luas permukaan eceng gondok dan perubahan luas danau. Informasi selanjutnya dapat digunakan
72
untuk berbagai pemanfaatan dan pertimbangan dalam pengelolaan danau baik untuk pemantauan maupun
inventarisasi dalam upaya peningkatan konservasi danau Tempe.
METODE
Data yang digunakan
1. Data primer:
Citra penginderaan jauh Landsat-TM tanggal 10 April 1989, 15 April 2000, 12 Maret 2005, dan citra SPOT
tanggal: 25 April 2010.
Citra Basemap (citra ortho Landsat)
2. Data sekunder:
Batas administrasi wilayah kajian
Lokasi penelitian
Kegiatan kajian dilakukan di danau Tempe, di Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Soppeng,
Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar-1). Danau ini melintasi 10 Kecamatan dan 51 desa. Secara geografis danau
Tempe terletak pada titik koordinat : 4o 00 00 4o15 00 LS dan 119o 52 30 120o 07 30 BT.
Iklim di danau Tempe berdasarkan klasifikasi Schmidt-Fergusson, tipe Iklim yang ada di WS Wal-Cen adalah
Tipe iklim A, B, C, dan D. Iklim di Ws Wal-Cen dicirikan oleh musoon tropis, yang memilki perbedaan yang jelas
antara musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan terjadi pada bulan Maret-Juli, sementara musim kemarau
terjadi pada bulan Agustus- Februari. Di sekitar danau Tempe, musim kemarau bervariasi dari tahun ke
tahun. Terdapat 6 stasiun meteorologi yang terdapat di dalam WS Wal-cen, yaitu Ujung Lamuru, Ponre-Ponre,
Malanroe, Kayuara, Sengkang dan Tanru Tedong.
Curah hujan tahunan di daerah danau Tempe sebesar 1.400 1.800 mm/th sedangkan di daerah DAS sebesar
1.400 4.000 mm/th. Tinggi muka air (TMA) Danau Tempe hingga tahun 2001 menunjukkan kondisi yang
normal, dengan TMA rata-rata berada pada kisaran 4,078 m 7,780 m dpl. Kedalaman danau saat ini 3 m
ketika musim hujan dan 1 m ketika musim kering. Luas permukaan air danau pada musim hujan adalah 48.000
Ha dan menggenangi areal persawahan, perkebunan, rumah penduduk, prasarana jalan dan jembatan serta
prasarana sosial lainnya yang menimbulkan kerugian yang cukup besar. Menurut rekapitulasi data dari buku
Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2011-2014 Indonesia, (KLH, 2011) menjelaskan bahwa pada musim kering
luas danau Tempe hanya mencapai 1.000 Ha sedangkan pada kondisi normal luasnya mencapai 15.000-20.000
Ha.
Danau Tempe setiap tahunnya selalu menimbulkan bencana banjir. Sungai yang menuju ke danau terdiri dari
23 sungai yang termasuk dalam 2 DAS yaitu Das Nila dan DAS Walanae, Sedangkan untuk keluarnya (outlet) air
dari danau tersebut hanya ada satu sungai, yaitu sungai Cenranae yang memiliki panjang 70 km dan bermuara
ke teluk Bone. Penyempitan yang terjadi di muara sungai merupakan salah satu penghambat keluarnya air ke
teluk bone. Bisa dikatakan Danau Tempe merupakan saringan partikel-partikel sisa banjir dari enam kabupaten
lainnya sebelum mencapai laut.
73
Berdasarkan data Topografi dan Tata Guna Lahan bahwa kondisi penutupan lahan di Danau Tempe didominasi
oleh sawah, pertanian lahan kering (15,8%), hutan alam (12,9%) dan kebun campuran (10,4 %). Sedangkan
tanah terbuka dan pemukiman relatif kecil, yaitu masing-masing 3, 7 % dan 1,5 %. (KLH, 2011).
74
Gambar-2. Perbedaan nilai spektral vegetasi air dan non vegetasi air pada data Landsat-TM dan Spot-4.
75
Analisis akurasi hasil klasifikasi yaitu dengan melakukan uji coba menggunakan metode confusion matrik.
Refernce Dataset adalah input data model kanal : K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3) dengan citra
yang digunakan sebagai sampel adalah data Landsat-TM Tahun 2005. Pengambilan training sampel untuk
identifikasi obyek eceng gondok menggunakan citra RGB : K_(4+5)(4)(4-3) dengan mengambil training sampel
sebanyak 20 titik sampel yang homogen.
Model Pemantauan Eceng Gondok Tahun 1989, 2000, 2005, dan 2010
Pemantauan dilakukan dengan menggunakan citra satelit multitemporal pada musim yang sama (kondisi
curah hujan yang relatif sama) yaitu selama periode 1989 2010 (citra Landsat-TM tanggal 10 April 1989, 15
April 2000, 12 Maret 2005, dan citra SPOT-4 tanggal: 25 April 2010). Dari pengolahan citra tersebut dapat
mengetahui adanya penurunan atau penambahan luas permukaan air danau yang sebenarnya.
Untuk mencari luas permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989-2010 dilakukan pengolahan dengan
klasifikasi multitemporal. Model klasifikasi dilakukan dengan memakai salah satu model klasifikasi dari hasil
analisis akurasi tersebut diatas.
76
77
Gambar 4. Model klasifikasi eceng gondok dengan input: K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3) pada citra
Landsat Tgl 12 Maret 2005.
Gambar-5. Perbedaan luas permukaan eceng gondok dan non_eceng gondok dengan input: (12345), (453), (542)
dan (4+5)(4)(4-3) pada Landsat-TM Tgl 12 Maret 2005.
Tabel-2. Luas distribusi seluruh permukaan eceng gondok dan air model kanal-kanal (12345), (453),(542) dan
{(4+5)(4)(4-3)} pada data Landsat tahun 2005.
78
Ukuran
Baris
Kolom
Obyek
K_12345
K_453
Ha
Ha
Ha
Eceng
10815.8
25.98
11908.8
28.61
11941.9
28.69
12096
29.07
Non_eceng
30800.2
74.02
29707.2
71.39
29674.1
71.31
29520
70.93
41616
100
41616
100
41616
100
41616
100
Total
42 x 43
K_(4+5)(4)(4-3)
Ha
%
679 x 680
K_542
Eceng
60.48
34.71
79.2
45.46
74.88
42.97
79.2
45.46
Non_Eceng
113.76
65.29
95.04
54.54
99.36
57.03
95.04
54.54
Total
174.24
100
174.24
100
174.24
100
174.24
100
Dari ke empat model klasifikasi tersebut secara grafik perbedaan luasannya dapat dijelaskan pada Gambar-5.
Luas distribusi permukaan vegetasi eceng gondok untuk model K_12345 (warna biru), nampak luasannya lebih
rendah dari pada K_453 (warna merah), K_542 (warna hijau) dan K_(4+5)(4)(4-3) (warna ungu). Sedangkan
model K_(4+5)(4)(4-3) sendiri lebih tinggi dari pada K_453 dan K_542. Nampak model K_12345 luasannya
lebih rendah dari pada K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3). Berdasarkan analisis ini menunjukan bahwa
identifikasi vegetasi air yang dapat menampilkan eceng gondok secara tegas dan terpisah dari objek-objek lain
disekitarnya adalah model RGB K_(4+5)(4)(4-3), seperti diperlihatkan pada Gambar-3e dan hasil klasifikasinya
diperlihatkan pada Gambar 4d.
Analisis akurasi dari hasil klasifikasi dengan melakukan uji coba menggunakan metode confusion matrik
dengan data yang dimasukan terhadap citra Landsat-TM tahun 2005 adalah dengan kanal-kanal: K_(12345),
K_(453),K_(542) dan K_{(4+5)(4)(4-3)}. Hasilnya diperoleh seperti yang ditunjukkan Gambar-4a,4b,4c dan 4d
serta hasil pengujian klasifikasi akurasinya pada Tabel-3. Dari Tabel-3 diketahui bahwa ketelitian optimum untuk
data Landsat-TM tahun 2005 dengan input data K_12345 memiliki akurasi keseluruhan 95.883 % dan Kappa
0.885, input data K_453 memiliki akurasi keseluruhan 99.002 % dan Kappa 0.971, input data K_542 memiliki
akurasi keseluruhan 98.628 % dan Kappa 0.960, dan input data K_{(4+5)(4)(4-3)} memiliki akurasi keseluruhan
97.754 % dan Kappa 0.935. Ketelitian optimum pada K_12345 yang didapat akurasi hasilnya lebih rendah bila
dibandingkan dengan ketelitian optimum pada K_{(4+5)(4klasifikasi menggunakan metode confusion matrik
pada citra Landsat-TM tahun 2005 dengan input kanal :(12345), (453),(542) dan (4+5)(4)(4-3).
Tabel-3 Pengujian klasifikasi menggunakan metode confusion matrik pada citra Landsat-TM tahun 2005 dengan
input kanal :(12345), (453),(542) dan (4+5)(4)(4-3).
Kanal_12345
Non_eceng
Non_eceng
Kanal_453
Eceng
Akurasi
User
Non_eceng
Eceng
Akurasi
User
339
66
Non_eceng
339
16
Eceng
1198
Eceng
1248
Produser
Produser
Kanal_542
Kanal_baru
Non_eceng
Non_eceng
Eceng
339
Akurasi
User
22
0.97977
Non_eceng
Non_eceng
339
Eceng
Akurasi
User
36
0.93646
79
Kanal_12345
Non_eceng
Kanal_453
Eceng
Akurasi
User
Eceng
1242
Produser
0.99446
0.99563
Non_eceng
Eceng
Akurasi
User
Eceng
1228
Produser
0.9818
0.98565
Perubahan Sebaran Luas Permukaan Eceng Gondok Tahun 1989,2000, 2005, dan 2010.
Untuk melakukan pemantauan luasan permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989 hingga tahun
2010 pengolahan klasifikasinya menggunakan input data model dari K_(4+5)(4)(4-3) karena hasil analisis dari
identifikasi vegetasi air dapat menampilkan eceng gondok secara tegas dan terpisah dari objek-objek lain
disekitarnya. Hasil klasifikasi periode tahun 1989 hingga tahun 2010 diperlihatkan pada Gambar-6a, 6b,6c, dan
6d. Gambar 6a hingga Gambar-6d memperlihatkan perubahan sebaran yang significant, dimulai dari sebaran
eceng gondok yang sempit hingga sebaran eceng gondok yang makin melebar. Kemudian untuk melihat
besaran perubahan luas permukaan vegetasi eceng gondok selama periode tahun 1989-2010 diperlihatkan
dalam bentuk grafik, dijelaskan pada Gambar-7. Hasil pantauan dari citra klasifikasi dapat diketahui bahwa luas
permukaan air danau Tempe mengalami kecenderungan yang semakin menurun, sebaliknya vegetasi eceng
gondok semakin bertambah, serta luas danau semakin menyusut.
Gambar-6. Distribusi permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989, 2000, 2005 dan 2010
80
Gambar-7. Perubahan luas permukaan eceng gondok dan luas danau selama periode tahun 1989, 2000, 2005
dan 2010.
Grafik Gambar-7 dan Tabel-4 pada citra tahun 1989 merupakan awal dari pemantauan dan besar sebaran luas
permukaan vegetasi eceng gondok tumbuh berkisar 1019.52 Ha. Luas permukaan air danau nampak lebih
luas berkisar 16816.32 Ha dan total luas danaunya berkisar 17956.8 Ha. Selama selang waktu 11 tahun yaitu
dari tahun 1989 hingga tahun 2000 nampak terjadi perubahan yang cukup besar. Luas vegetasi eceng gondok
mengalami kenaikan menjadi berkisar 4590.24 Ha dan luas permukaan airnya (tanpa vegetasi) mengalami
pengurangan menjadi berkisar 12847.68 Ha dan total luas danaunya naik menjadi 17875.68 Ha serta mengalami
pengurangan (susut) berkisar 81.12 Ha. Kemudian bertambah lagi selama kurun waktu 5 tahun dari tahun
2000 hingga tahun 2005 nampak vegetasi eceng gondok mengalami tren kenaikan yang cukup besar. Luas
permukaan vegetasi eceng gondok mengalami meningkatan menjadi berkisar 12096.3 Ha dan luas permukaan
airnya mengalami pengurangan menjadi berkisar 3482.24 Ha dan total luas danaunya mengalami pengurangan
menjadi 16197.74 Ha dan penyusutannya berkisar 1677.94 Ha. Sedangkan pemantauan terakhir selama waktu
5 tahun dari tahun 2005 hingga tahun 2010 nampak permukaan vegetasi eceng gondok mengalami sedikit
penurunan. Luas permukaan vegetasi eceng gondok ini mengalami penurunan menjadi berkisar 10960 Ha
dan luas permukaan airnya mengalami kenaikan kembali menjadi berkisar 4147.84 Ha dan total luas danaunya
menjadi berkisar 16028.16 Ha berarti mengalami penyusutan berkisar 169.58 Ha.
Hasil klasifikasi seperti diperlihatkan pada Gambar-6a, 6b, 6c, dan 6d menunjukkan distribusi perubahan
permukaan eceng gondok pada musim yang sama selama periode tahun 1989-2010 ketelitiannya kita uji.
Ketelitian akurasi ekstraksi informasi spasial untuk pengujian hasil klasifikasi yaitu menggunakan metode
confusion matrik. Data input yang dimasukan adalah data training sampel RGB kanal {(4+5)(4)(4-3)} untuk citra
Landsat-TM tahun 1989, tahun 2000, dan tahun 2005 serta RGB kanal {(4+1)(1)(1-2)} untuk citra Spot-4 tahun
2010. Hasil pengujian klasifikasi ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel-4. Perubahan luas permukaan eceng gondok dan penyusutan luas danau Tempe periode Tahun 1989,
2000, 2005 dan 2010.
Obyek
Air
Eceng Gondok
Tgl.10/4/1989
Tgl.15/04/200
Tgl.12/3/2005
Tgl.25/04/2010
Hektar
Hektar
Hektar
Hektar
16816.32
12847.68
3482.24
4147.84
1019.52
4590.24
12096.3
10960
81
Tanah / Awan
Total (Luas_danau)
120.96
437.76
619.2
920.32
17956.8
17875.68
16197.74
16028.16
81.12
1677.94
169.58
Perubahan luas
Dari Tabel-5 diketahui bahwa ketelitian pada data Landsat-TM tahun 1989 memiliki akurasi keseluruhan 100 %
dan Kappa 1 untuk kelas penutup lahan eceng gondok dan sama dengan penutup non_eceng gondok. Jika
dilihat pada Gambar-6a terlihat sedikit penutup lahan eceng gondok dan sedikit penutup lahan campuran
sehingga akurasinya tinggi. Pada data tahun 2000 memiliki akurasi keseluruhan 97.976 % dan Kappa 0.952
untuk penutup eceng gondok. Pada Gambar-6b terlihat penutup lahan eceng gondok menambah dan sedikit
penutup lahan awan, hasil pengujian akurasinya mengalami penurunan. Pada data tahun 2005 memiliki akurasi
keseluruhan 99.06 % dan Kappa 0.972 untuk penutup lahan eceng gondok. Pada Gambar-6c terlihat penutup
lahan eceng gondok menambah lebih banyak dan sedikit penutup lahan awan, hasil pengujian akurasinya
mengalami kenaikan. Pada data tahun 2010 memiliki akurasi keseluruhan 99.966% dan Kappa 0.999 untuk
lahan eceng gondok. Pada Gambar-6d terlihat penutup lahan eceng gondok mengalami penurunan dan sedikit
penutup lahan tanah kosong karena kekeringan, hasil pengujian akurasinya mengalami kenaikan.
Tabel-5 Pengujian klasifikasi menggunakan metode confusion matrik tahun 1989, 2000, 2005 dan 2010 dengan
kanal yang digunakan adalah kanal (4+5)(4)(4-3).
1989
Non_eceng
Non_eceng
2000
Eceng
Akurasi
User
Non_eceng
Eceng
Akurasi
User
1145
Non_eceng
1590
47
0.97129
Eceng
30
Eceng
685
Produser
Produser
0.93579
0.97976
Indek Kappa = 1
2005
Non_eceng
Non_eceng
2010
Eceng
Akurasi
User
339
15
0.95763
Eceng
1249
Produser
0.98813
0.99064
Non_eceng
Non_eceng
Eceng
Akurasi
User
4973
0.9996
Eceng
912
Produser
0.99781
0.99966
Menurut (KLH, 2011) menjelaskan bahwa luas permukaan danau pada musim hujan adalah 48.000 Ha dan
menggenangi areal persawahan, perkebunan, rumah penduduk, prasarana jalan dan jembatan serta prasarana
sosial lainnya yang menimbulkan kerugian yang cukup besar. Pada musim kering luas danau hanya mencapai
1.000 ha sedangkan pada kondisi normal luasnya mencapai 15.000-20.000 Ha. Ke empat data yang digunakan
82
pada penelitian ini adalah data satu musim yang berbeda tahun yaitu tanggal 01 April 1989,15 April 2000, 12
Maret 2005, dan citra SPOT tanggal: 25 April 2010. Data citra satelit ini merupakan data masih dalam musim
hujan yaitu pada kondisi normal. Hasil yang diperoleh bahwa luas danau selama kurun waktu dari tahun 1989
hingga tahun 2010 mengalami perubahan. Nampaknya dari tahun ke tahun luas danau akan relatif berubahubah tergantung pada musim-musim tertentu. Setara menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Maros bahwa
pada musim kering mencapai 1.000 Ha dan kondisi normal 15.000 20.000 Ha. Sedangkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa luas danau pada tahun 1989 hingga tahun 2010 merupakan pada kondisi normal juga dan
diperoleh luas danau selalu berubah-ubah berkisar antara 17956.8 Ha di tahun 1989 dan menurun menjadi
antara 16028.16 Ha di tahun 2010.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini telah dikembangkan metode model identifikasi, klasifikasi, pemantauan sebaran eceng
gondok dan luas danau di danau Tempe, Sulaweai Selatan dengan data yang diuji coba adalah data resolusi
30 meter Landsat-TM dan resolusi 20 meter SPOT-4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Dengan menggunakan kombinasi NIR-SWIR-Merah (RGB: 453), SWIR-NIR-Hijau (RGB:542) dan kombinasi
model (NIR+Swir)-NIR-(NIR-merah) {RGB : (4+5)(4)(4-3)} dengan input data Landsat Tgl 12 Maret 2005,
diperoleh nilai spektral yang tinggi dan mampu menampilkan vegetasi eceng gondok yang secara lebih
tegas dan terpisah dari objek-objek lain disekitarnya.
Uji coba ketelitian akurasi hasil klasifikasi menggunakan metode confusion matrik dengan masukan input
data adalah model klasifikasi: K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3) dengan input data Landsat
Tgl 12 Maret 2005, diperoleh akurasi pada K_12345 memiliki akurasi keseluruhan 95.883 % hasilnya lebih
rendah bila dibandingkan dengan K_{(4+5)(4)(4-3)} dengan akurasi keseluruhan 97.754 %, K_542 akurasi
keseluruhan 98.628 % dan K_453 akurasi keseluruhan 99.002 %.
Sebaran luas permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989 hingga tahun 2010 klasifikasinya
menggunakan input data model K_(4+5)(4)(4-3) hasilnya selalu berubah-ubah, di tahun 1989 ke tahun
2000 bertambah (dari 1019.52 Ha menjadi 4590.24 Ha), di tahun 2000 ke 2005 bertambah (dari 4590.24
Ha menjadi 12096.3 Ha), dan di tahun 2005 ke tahun 2010 bekurang (dari 12096.3 Ha menjadi 1096 Ha),
sedangkan perubahan luas danau di tahun 1989 luasnya berkisar 17956.8 Ha, di tahun 2000 mengalami
penurunan menjadi 17875.68 Ha (menyusut 81.12 Ha), di tahun 2005 menurun lagi menjadi 16197.74 Ha
(menyusut 1677.94 Ha) dan di tahun 2010 sedikit menurun menjadi 16028.16 Ha (menyusut 169.58 Ha).
DAFTAR PUSTAKA
Arief., 1997. Sejarah singkat danau Tempe, DKP Kabupaten Wajo.
KLH (Kementrian Lingkungan Hidup)., 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2011-2014, (http://blhpp.
wordpress.com/).
Dony Kushardono.,2012. Klasifikasi Spasial Penutup Lahan dengan Data SAR Dual Polarisasi Menggunakan
Normalized Diffrence Polarization Index dan Fitur Keruangan dari Matrik Kookurensi, Jurnal Penginderaan
Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, Vol. 9 No.1, ISSN 1412-8098, Diterbitkan oleh Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta Indonesia, 1012.
Ratih Dewanti,Muchlisin Arief.; dan Taufik Maulana., 1998. Degradasi Tingkat Kerapatan Kanopi Mangrove di
83
Delta Brantas Menggunakan Analisis NDVI Data Landsat Multitemporal, Warta Inderaja (MAPIN) /ISRS,
Volume XI No. 2.
Stasiun Meteorologi., 2010. WS Wal-Cen: Ujung Lamuru, Ponre-Ponre, Malanroe, Kavuara, Sengkang dan
Tanru Tedong, Sulawesi Selatan.
Trisakti B.; Parwati S.; and Budhiman S., 2005. Study of MODIS-AQUA Data for Mapping Total Suspended
Matter (TSM) in Coastal Waters, International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences, Vol. 2.
84
Heru Noviar
Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN
ABSTRAK
Kerusakan hutan mangrove (bakau) di Kabupaten Bengkalis akhir-akhir ini makin parah saja, disebabkan tingginya
eksploitasi hutan mangrove tersebut untuk bahan baku industri panglung. Hutan Mangrove perlu diinventarisasi
pada Kabupaten ini karena keberadaannya sangat penting demi kelangsungan dan kelestarian sumber daya hayati
dan non hayati. Data penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendeteksi luas dan kerapatan vegetasi mangrove
serta hutan pantai. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan inventarisasi hutan Mangrove dari segi lokasi, luasan dan
kerapatannya menggunakan data penginderaan jauh Landsat dengan pertimbangan resolusi spasial dan spektral
yang cukup baik untuk identifikasi dan monitoring sumber daya alam. Metode yang digunakan adalah interpretasi
data Landsat secara visual dengan menggunakan komposit kanal RGB 453 dan secara digital menggunakan kanal
3 dan 4 untuk pengolahan NDVI. Hasil pengolahan data Landsat menunjukkan bahwa luas total hutan Mangrove di
Kabupaten Bengkalis pada tahun 2010 adalah 44.173,8 Ha, dengan kecamatan yang paling luas hutan Mangrovenya
adalah Kecamatan Rupat dengan luas 17.347,1 Ha atau 39,3 % dari luas total hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis.
Kerapatan tajuk hutan Mangrove dalam kategori sangat jarang dan jarang terbanyak ada di Kecamatan Rupat tersebut
sebesar 404.6 Ha atau 2.3 % dari luas total Mangrove di kecamatan tersebut.
85
PENDAHULUAN
Kerusakan hutan mangrove (bakau) di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau akhir-akhir ini makin parah saja. Hal
ini disebabkan tingginya eksploitasi hutan tersebut sebagai bahan baku kayu bakau untuk industri panglung
(RiauInfo, 2007). Berdasarkan data tahun 1997, Propinsi Riau merupakan salah satu propinsi di Indonesia
yang memiliki hutan mangrove cukup luas, diperkirakan luasnya sekitar 234.517 Ha yang sebagian besar
terdapat di Kabupaten Bengkalis dan Indragiri Hilir (Jhonnerie et al, 2007). Menurut data yang diperoleh
RiauInfo, diketahui hutan bakau yang tersisa sekarang ini di kawasan pesisir pulau-pulau Bengkalis tinggal
50 persen saja, selebihnya sudah musnah diekspoitasi, hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Pengamat
Lingkungan Bengkalis, Mardiansyah S.Hut, yang menyatakan bahwa eksploitasi hutan bakau di Bengkalis ini
sudah berlangsung sejak dahulu kala untuk keperluan industri panglung arang (RiauInfo, 2007)
Keberadaan hutan mangrove sangat penting untuk mencegah abrasi atau pengikisan pantai oleh air laut,
sehingga pantai jadi terselamatkan. Menurut Mardiansyah S.Hut, sejak hutan bakau di Bengkalis banyak
yang musnah, tingkat abrasi di daerah ini menjadi sangat tinggi dan jika dibiarkan terus, maka luas daratan
akan semakin menjadi kecil. Menurut beliau, harus ada gerakan penanaman kembali hutan bakau guna
menyelamatkan pantai.
Gambar 1. Foto Kondisi Lapangan Hutan Mangrove yang dibabat (Sumber : Harian Kompas, 3/2/2012)
Direktur Kepolisian Perairan Polda Riau Besar Lukas Gunawan (Harian Kompas, 3/2/2012).menaruh keprihatinan
terhadap kondisi hutan bakau di wilayah pesisir Riau yang menurutnya bernasib tragis karena penggundulan
yang kian parah (lihat Gambar 1). Menurut beliau, setiap melakukan patroli di perairan, terutama untuk wilayah
pesisir Riau yang berbatasan dengan Selat Malaka, terlihat kondisi hutan yang cukup tragis dan kegundulan
terjadi di mana-mana, wilayah yang gundul cukup parah, antara lain di pinggiran pantai sejumlah pulau di
Kabupaten Bengkalis, Meranti, dan Kota Dumai Berdasarkan informasi di lapangan, kegundulan hutan bakau ini
disebabkan maraknya pembalakan dari warga sekitar dengan tidak melakukan penanaman kembali. Pemerhati
lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, kondisi demikian sangat merugikan karena
minimnya tanaman bakau di tepian pantai akan berdampak pada luasan abrasi yang pastinya akan semakin
parah. Menurut beliau, sebaiknya pemerintah daerah segera melakukan evaluasi dengan meninjau wilayah-
86
wilayah yang mengalami kegundulan hutan bakau dan setelah itu, melakukan penanaman kembali sebelum
pulau-pulau di Riau ini tenggelam. Menurut beliau pula para perusak lingkungan, termasuk pencuri kayu bakau,
sebaiknya diberi sanksi hukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, karena, jika tidak, perambahan
secara liar akan tetap saja marak karena tidak adanya efek jera bagi pelaku.
Berdasarkan informasi tersebut di atas, perlu diinventarisasi keberadaan dan kondisi hutan Mangrove terkini
pada Kabupaten ini mengingat keberadaannya sangat penting demi kelangsungan dan kelestarian sumber
daya hayati dan non hayati. Dengan menggunakan data penginderaan jauh Landsat dapat diidentifikasi
keberadaan hutan Mangrove baik dari segi lokasi maupun luasannya, disamping itu juga dapat diidentifikasi
kondisi hutan Mangrove tersebut dengan melihat kerapatan tajuk dan luasannya. Semakin jarang kerapatannya,
mengidentifikasi adanya kerusakan pada hutan Mangrove (Dewanti et al, 1999). Data penginderaan jauh
Landsat dapat digunakan untuk mendeteksi penutup lahan hutan Mangrove yang membedakannya dengan
vegetasi lain dengan kombinasi kanal RGB 453 (Dewanti et al, 1999 ; Noviar, 2010). Sedangkan kerapatan
hutan Mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan formula NDVI (Dewanti et al, 1999). Dengan
perolehan data Landsat tahun (2010) yang telah dikoreksi secara geometri maupun radiometri, penulis mencoba
mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menginventarisasi keberadaan hutan Mangrove dari segi lokasi, luasan
dan kerapatannya, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan masukan
bagi pihak-pihak yang membutuhkan seperti KLH, pemda setempat dan Pemda Riau dalam menentukan
kebijakan dalam melestarikan keberadaan kawasan ini.
87
Perolehan Data
Overlay
Langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi dan delineasi secara visual kelas hutan Mangrove dengan
menggunakan citra Landsat kombinasi kanal RGB 453 dan pembuatan citra NDVI secara digital dengan
menggunakan kanal 3 (kanal merah/RED) dan kanal 4 (kanal infra merah dekat/NIR) citra Landsat dengan
formula NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) = (NIR RED)/(NIR + RED).
Selanjutnya dilakukan reklasifikasi citra NDVI menjadi 5 kelas kerapatan vegetasi (sangat jarang, jarang, sedang,
lebat dan sangat lebat) dengan kriteria sebagai berikut (Dewanti et al, 1999) : Sangat Jarang (0.01< ndvi <
0.18), Jarang (0.18 ndvi < 0.32), Sedang (0.32 ndvi < 0.42), Lebat (0.42 ndvi < 0.47), Sangat Lebat (ndvi
0.47).
Proses berikutnya adalah overlay antara hasil klasifikasi dan delineasi kelas hutan Mangrove secara visual dengan
kelas kerapatan vegetasi berdasarkan nilai NDVI. Langkah selanjutnya perhitungan luas hutan Mangrove baik
secara keseluruhan maupun berdasarkan kerapatan tajuk.
Kemudian dibuat peta sebaran hutan Mangrove dengan berbagai kerapatan per kecamatan atau pulau dan
dihitung luasannya berdasarkan kerapatan tajuk per wilayah kecamatan.
88
Gambar 3. Citra Landsat Wilayah Penelitian, RGB 543, tanggal perekaman 2 Februari 2010
Pada kombinasi RGB 453 ini, teridentifikasi sebaran hutan Mangrove pada 5 kecamatan wilayah pesisir di
Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran), yaitu 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Bengkalis, Kecamatan
Bukitbatu, Kecamatan Merbau, Kecamatan Rangsang Barat dan Kecamatan Rupat. Hasil identifikasi dan
delineasi hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis ini ditunjukkan dalam Gambar 5.
Gambar 4. Citra Landsat Wilayah Penelitian, RGB 453 tanggal perekaman 2 Februari 2010
89
Gambar 5. Sebaran Hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis hasil identifikasi dan delineasi dari Citra Landsat
RGB 453
Selanjutnya untuk menghitung kerapatan hutan Mangrove di kawasan ini dilakukan proses klasifikasi NDVI
dan reklasifikasi menjadi 5 kelas kerapatan vegetasi/tajuk yaitu kelas Sangat Jarang, Jarang, Sedang, Lebat
dan Sangat Lebat. Hasil klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan formula NDVI pada Kabupaten Bengkalis
(sebelum pemekaran) ditunjukkan dalam Gambar 6. Hasil klasifikasi hutan Mangrove dengan 5 jenis kerapatan
tajuknya di Kabupaten Bengkalis per kecamatan dapat dilihat dalam Gambar 7, 8, 9 ,10 dan 11.
Keterangan
90
Gambar 8. Peta Sebaran dan Kerapatan Hutan Mangrove di Kecamatan Bukit Batu
91
Gambar 10. Peta Sebaran dan Kerapatan Hutan Mangrove di Kecamatan Rangsang Barat
Gambar 11. Peta Sebaran dan Kerapatan Hutan Mangrove di Kecamatan Rupat
92
Selanjutnya dihitung luas hutan Mangrove per kerapatan tajuk per kecamatan dan hasilnya dapat dilihat dalam
Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5. Dari hasil pengolahan ini dapat diinventarisasi luas dan sebaran hutan Mangrove
yang masih ada di wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran), dan melihat sebaran dan luas
kerusakan hutan Mangrove berdasarkan kerapatan vegetasinya. Dari hasil ini diperoleh bahwa luasan hutan
Mangrove di Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran) luas totalnya adalah 44.173,8 Ha yang merupakan
penjumlahan luas total hutan Mangrove per kecamatan yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5
yaitu Kecamatan Bengkalis = 9489 Ha, Kecamatan Bukitbatu = 1100.3 Ha, Kecamatan Merbau = 8655.4 Ha,
Kecamatan Rangsang Barat =7582 Ha, Kecamatan Rupat = 17347.1 Ha. Dari hasil ini juga dapat dilihat bahwa
hutan Mangrove yang masih luas ada di Kecamatan Rupat dengan luas 17.347,1 Ha (39,3 % dari luas total
hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis). Sedangkan dari Tabel 1 ,2, 3, 4, 5 dapat dilihat bahwa kerapatan
tajuk hutan Mangrove yang sangat jarang dan jarang terbanyak ada di Kecamatan Rupat tersebut sebesar
404.6 Ha (2.3 %) dari luas total Mangrove di kecamatan tersebut. Hal ini menunjukkan terjadi kerusakan hutan
Mangrove di kecamatan tersebut.
Tabel 1. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Bengkalis
No
Luasan (Ha)
Luasan (%)
103.0
1.1
244.7
2.6
341.6
3.6
277.0
2.9
8522.7
89.8
Luas Total
9489.0
100.0
Luasan (Ha)
Luasan (%)
29.3
2.7
29.3
2.7
37.8
3.4
29.7
2.7
974.2
88.5
1100.3
100.0
Luas Total
Luasan (Ha)
Luasan (%)
116.9
1.4
157.8
1.8
200.8
2.3
167.3
1.9
8012.6
92.6
Luas Total
8655.4
100.0
93
Tabel 4. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Rangsang Barat
No
2
3
Luasan (Ha)
Luasan (%)
70.7
0.9
140.7
1.9
343.4
4.5
423.5
5.6
6603.8
87.1
Luas Total
7582.1
100.0
Luasan (Ha)
Luasan (%)
121.8
0.7
282.8
1.6
439.9
2.5
522.3
3.0
15980.3
92.1
Luas Total
17347.1
100.0
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan citra pada Landsat TM-5 dengan data perekaman tanggal 2 Februari 2010 dapat
diinventarisasi luas hutan Mangrove yang masih ada di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau mengingat ada
indikasi banyak terjadi kerusakan atau pembabatan hutan Mangrove di wilayah ini. Hasil inventarisasi dapat
disimpulkan bahwa luas total hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran) pada tahun 2010
adalah 44.173,8 Ha, sedangkan kecamatan yang paling luas hutan Mangrovenya ada di Kecamatan Rupat
dengan luas 17.347,1 Ha atau 39,3 % dari luas total hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis.. Kerapatan
tajuk hutan Mangrove yang sangat jarang dan jarang terbanyak adalah Kecamatan Rupat tersebut sebesar
404.6 Ha atau 2.3 % dari luas total Mangrove di kecamatan tersebut. Hasil ini diharapkan dapat digunakan
sebagai informasi dan masukan bagi pihak-pihak yang terkait seperti KLH, pemda setempat dan Pemda Riau
dalam menentukan kebijakan terutama untuk melestarikan dan merehabilitasi hutan-hutan Mangrove yang
telah hilang atau rusak mengingat pentingnya fungsi hutan Mangrove bagi kelangsungan hidup sumber daya
hayati dan non hayati.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanti, R, T. Maulana, S. Budhiman, F. Zainuddin, & Munyati, 1999. Kondisi hutan Mangrove di Kalimantan
Timur, Sumatera, Jawa, Bali dan Maluku. Majalah LAPAN Edisi Penginderaan Jauh, 91 (1) : 29-43.
Harian Kompas, 3 Februari 2012, Hutan Mangrove di Riau Makin Gundul
Jhonnerie, R., E. Prianto, dan Y.Oktorini, 2007. Deteksi Perubahan Luasan Hutan Mangrove dengan
Menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG di Kota Dumai Propinsi Riau, Torani, Vol 17(2) Edisi Juni 2007
: 159-169.
Noviar, Heru, 2010, Kondisi Hutan Mangrove Terkini di Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau, Prosiding
Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII, Bogor
RiauInfo, Selasa (29/5/2007)
94
R. Johannes Manalu
Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN
ABSTRAK
Perubahan pada citra dapat mempunyai arti yang bermacam-macam, untuk itu diperlukan suatu metode deteksi yang
dapat memberikan arahan dalam menentukan perubahan apa yang terjadi. Metode deteksi perubahan kenampakan
berdasarkan citra beda waktu (analisis visual dari dua citra beda waktu) dengan menggunakan data Landsat TM
tanggal 4 September 1994 dan 17 September 2001 untuk daerah Bekasi. Metode analisis visual dari citra Landsat
TM merupakan metode yang sederhana untuk mendeteksi perubahan dari data penginderaan jauh yaitu dengan
membuat tumpang tindih dua citra Landsat TM dan memperhatikan perubahan warna yang terjadi.
95
PENDAHULUAN
Obyek di permukaan bumi kenampakannya bersifat dinamis dan relatif cepat berubah mengikuti dinamika
penutup lahan dan penggunaan lahan serta musim, akibatnya kenampakan obyek yang sama pada dua citra
penginderaan jauh yang berbeda tanggal perekamannya dapat berbeda.
Analisis perubahan pada citra merupakan proses identifikasi perubahan berdasarkan pengamatan kenampakan
dengan waktu yang berbeda. Kegiatan ini perlu mendapat perhatian terutama dalam pemanfaatan
penginderaan jauh bagi usaha-usaha pengelolaan sumber daya alam. Perubahan pada citra dapat mempunyai
arti yang bermacam-macam, untuk itu diperlukan suatu metode deteksi yang dapat memberikan arahan dalam
menentukan perubahan yang sebenarnya terjadi.
Ada empat metode penginderaan jauh yang sudah biasa digunakan untuk mendeteksi perubahan yaitu : (1)
analisis visual dari dua citra Landsat TM (Metode Martin dan Howarth), (2) perbedaan dua citra Landsat
TM (3) perbandingan dua citra Landsat TM , dan (4) klasifikasi dua citra Landsat TM. Pada penelitian ini akan
dikaji kemampuan metode analisis visual dari dua citra Landsat TM (Metode Martin dan Howarth) untuk
mendeteksi perubahan penutup lahan dengan mengambil kasus daerah Bekasi.
Penelitian ini bertujuan untuk : a) mengevaluasi kesesuaian hasil analisa perubahan kenampakan dua citra
Landsat TM dari metode Martin dan Howarth, dan b) mengembangkan prosedur deteksi perubahan
kenampakan dua citra menggunakan data Landsat TM / ETM+.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kelebihan dan kekurangan metode ini bila
digunakan untuk mendeteksi perubahan penutup lahan berdasarkan citra Landsat TM.
STUDI PUSTAKA
Penginderaan Jauh
Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau
fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa mengadakan kontak langsung dengan
obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994).
Citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu obyek yang merupakan pantulan atau pancaran radiasi
elektromagnetik obyek yang direkam dengan cara optik, elektro-optik, optik-mekanik atau elektronik. Citra
penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya atau paling tidak berupa gambaran
planimetriknya, sehinggga citra merupakan keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik, analog
atau digital (Purwadhi, 2001).
Citra inderaja ada beberapa jenis diantaranya adalah : citra Landsat, SPOT, JERS, dan ERS. Citra tersebut
masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda.
Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk berbagai keperluan yang bersifat global antara lain untuk
pemantauan sumber daya alam, cuaca, lingkungan dan lain-lain. Keunggulan pemanfaatan citra inderaja
adalah cakupan lahan sangat luas, harga relatif murah, data mudah diperoleh dalam jangka waktu yang relatif
singkat.
96
Citra Landsat
Cakupan dari Citra Landsat TM 185 Km x 185 Km dengan resolusi 30 m untuk kanal 1 sampai 5 dan 7,
sedangkan kanal 6 mempunyai resolusi 120 m. Citra Landsat bekerja pada panjang gelombang berkisar antara
0.45 2.35 mm (untuk kanal 1 5 dan kanal 7) dan 10.4 12.5 mm untuk kanal 6 yang dapat dilihat pada
Tabel 1 (Lillesand dan Kiefer, 1994; Legg, 1992).
Resolusi temporal Landsat TM 16 hari sekali yang memungkinkan untuk memantau perubahan penutup/
penggunaan lahan. Tiap-tiap kanal mempunyai panjang gelombang tertentu sehingga tampilannyapun
berbeda dan dapat digabungkan.
Sensor satelit dapat melakukan perekaman data penginderaan jauh ber dasarkan sifat pantulan atau refleksi
maupun pancaran atau emisi radiasi elektromagnetik obyek di permukaan bumi. Data yang direkam oleh satelit
dapat dikirim langsung pada saat itu juga walaupun satelit berada jauh dari stasiun penerima di bumi.
Tabel 1. Kanal citra, kisaran panjang gelombang thematic mapper dan kegunaan utamanya.
Kanal
Kegunaan Utama
0,45 - 0,52
Penetrasi tubuh air,analisis penggunaan lahan, tanah dan vegetasi, pembedaan vegetasi dan lahan.
0,52 - 0,60
3.
0,63 - 0,69
0,76 - 0,90
1,55 - 1,75
2,08 - 2,35
10,40 - 12,50
0,50 - 0,90
97
Penutup/Penggunaan Lahan
Penutup lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi.
Penutup lahan diwujudan secara fisik oleh obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa memperhatikan kegiatankegiatan manusia. Beberapa contoh jenis penutup lahan adalah : bangunan perkotaan, danau, vegetasi.
Penggunaan lahan adalah segala macam kegiatan penggunaan lahan baik secara alami maupun kegiatan
manusia pada sebidang tanah (Vink, 1975). Definisi yang lain pengunaan lahan adalah berhubungan dengan
kegiatan manusia, sehingga batas satuan penggunaan lahan sangat ditentukan oleh adanya kegiatan tersebut.
Istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan tertentu. (Lillesand dan
Kiefer, 1994).
Untuk lebih jelasnya perbedaan dari penutup dan penggunaan lahan diambil contoh penggunaan lahan sawah,
yang mana penutup lahannya berbeda-beda pada saat lahan bera (terbuka), pada saat fase air, pada saat fase
vegetatip dan pada saat fase generatip. Secara nilai digital dan kenampakan warna hal ini dapat memberikan
kesan terjadi perubahan penggunaan lahan.
Analisis perubahan penutup/penggunaan lahan adalah proses identifikasi perubahan kondisi lahan berdasarkan
waktu yang berbeda. Dari citra penginderaan jauh satelit dapat diekstrak penutup/penggunaan lahan, dimana
data penginderaan jauh satelit yang mempunyai cakupan yang luas, sehingga efektif dan efisien untuk analisis
perubahan penutup/penggunaan lahan.
METODOLOGI
Lokasi Penelitian
Studi kasus dilaksanakan di daerah Lemah Abang Bekasi dengan luas daerah 3.046,23 Ha (Gambar 1). Daerah
Lemah Bekasi dipilih karena antara tahun 1994 - 2001 terjadi perubahan penggunaan lahan yang pesat dari
berbagai macam kelas.
98
17 September 2001
2. Data Ikonos yang direkam tanggal 20 September 2000 sebagai data referensi.
3. Peta dasar berupa peta rupa bumi digital Indonesia skala 1 : 25.000 lembar 1209-514 Cikarang edisi : 1
2000 yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL.
Peralatan yang dipergunakan adalah GPS (Global Positioning System) untuk mendapatkan titik kontrol tanah
yang digunakan untuk koreksi geometrik, satu set komputer dengan perangkat lunak ER Mapper 5.5 untuk
pengolahan data.
99
Metode
Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan, yaitu pengumpulan dan penyiapan data, pengolahan citra awal,
analisis perubahan kenampakan dua citra beda waktu dan evaluasi deteksi perubahan kenampakan dua citra
beda waktu.
Perubahan Lahan
Lahan mengalami perubahan ke
selesai sebelum t2
Hijau Terang
Kuning Muda
Hitam
100
4.2. Analisis Visual dari Dua Citra Beda Waktu (Metode Martin dan Howarth)
Dengan membuat tampilan bersama data Landsat TM tahun 1994 band 3 pada layer merah (Gambar 1a)
dengan data Landsat TM tahun 2001 band 3 pada layer hijau (Gambar 1b) didapatkan tampilan dengan
kenampakan baru seperti tampak pada Gambar 2.
Tampilan bersama antara band 3 tahun 1994 dan band 3 tahun 2001 (Gambar 2.) menghasilkan tampilan
dengan warna yang berbeda dengan kenampakan citra aslinya. Secara umum kesan warna yang tampak pada
citra adalah warna merah terang, hijau terang, kuning terang dan warna coklat terang.
Kesan warna ini menurut Martin dan Howarth (1989) dalam Beeber (1998) menunjukkan adanya perubahan
penutup/penggunaan lahan.
101
Gambar 2. Hasil Tampilan Bersama Citra Landsat TM Tahun 1994 Dengan Citra Landsat TM 2001.
Kesan warna merah pada citra menunjukkan terjadinya perubahan lahan ke perkotaan pada tahun 1994 yang
mana perubahan itu selesai sebelum tahun 2001, warna hijau terang menunjukkan lahan berubah pada tahun
2001 bukan pada tahun 1994, warna kuning muda menunjukkan fase perubahan lahan konversi dari tahun
1994 dan tahun 2001, warna kuning langsat terang dan menengah menunjukkan penggunaan lahan untuk
perumahan dan industri pada tahun 1994 dan tahun 2001 dan warna hijau, coklat, coklat tua, kuning langsat
tua, abu-abu tua, kuning tua menunjukkan daerah terbuka pada tahun 1994 dan tahun 2001.
Metode tampilan bersama ini secara cepat dapat menunjukkan adanya pola perubahan, tetapi tidak dapat
menunjukkan arah perubahan dari mana ke mana hanya menunjukkan pola perubahan yang terjadi. Berdasarkan
perubahan warna yang tampak pada Gambar 3a dilakukan analisis kesesuaian warna dan artinya pada lokasi
terpilih dengan membandingkannya dengan peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2001. Hasil analisis
disajikan pada Tabel 3.
Gambar 3. Tampilan bersama Landsat TM Tahun 1994 dan 2001 dan poligon yang mengalami perubahan warna
102
Tabel 3. Analisis Perubahan dari Dua Citra Beda Waktu Daerah Bekasi.
Poligon
Warna
Perubahan Lahan
Thn. 1994
Perubahan Warna
Thn. 2001
Merah
Sawah
Pemukiman
Sesuai
Merah
Sawah
Lhn. Terbuka
Sesuai
Merah
Sawah
Lhn. Terbuka
Sesuai
Hijau terang
Sawah
Industri
Sesuai
Hijau terang
Sawah
Industri
Sesuai
Kuning muda
Pemukiman
Industri
Sesuai
Kuning langsat
Lhn terbuka
Industri
Sesuai
Hitam
Sawah
Lhn. Terbuka
Tidak Sesuai
Hitam
Sawah
(rumput)
(berair)
Sawah (berair)
Tidak Sesuai
Gambar 3a memperlihatkan bahwa warna merah lebih dominan dibandingkan dengan warna-warna lain. Kesan
warna ini mempunyai arti bahwa telah terjadi perubahan dari lahan sawah (1994) menjadi lahan perkotaan
(2001). Berdasarkan analisis kesesuaian warna pada lokasi terpilih terdapat dua lokasi yang perubahan warnanya
tidak sesuai dengan analisa perubahan dari dua citra berbeda waktu menurut Martin dan Howarth (1989) dalam
Beeber (1998). Sedangkan lokasi yang lain perubahan warnanya sesuai. Area yang berwarna hitam adalah
daerah hutan, tetapi untuk daerah Bekasi area yang berwarna hitam adalah daerah sawah dan lahan terbuka
yang berair. Metode ini hanya menunjukkan kelas penutupan lahan, tidak bisa menunjukkan kelas penggunaan
lahan, sehingga tidak dapat menghasilkan pemetaan penggunaan lahan.
Tahun 1994
Tahun 2001
Gambar 4. Penutup lahan sesuai Tabel 3 dan poligon yang mengalami perubahan warna
103
KESIMPULAN
Metode yang sederhana untuk mendeteksi perubahan dari data penginderaan jauh adalah metode analisis
visual dari dua citra Landsat TM yang memperhatikan perubahan warna yang terjadi dengan membuat dua
citra Landsat TM tumpang tindih.
Metode yang dapat mendeteksi perubahan kenampakan dari dua citra Landsat TM dengan cepat adalah
metode analisa visual dari dua citra Landsat TM, yaitu dengan melakukan tampilan bersama dari daerah yang
akan dideteksi, sehingga dari kesan warna yang tampak dapat dengan cepat dilihat daerah yang mengalami
perubahan.
Analisa visual dari dua citra Landsat TM dengan deteksi perubahan kenampakan, dapat menunjukkan arah
perubahan atau terjadinya perubahan penutup/penggunaan lahan. Metode ini tidak dapat menunjukkan kelas
penggunaan lahan hanya dapat menunjukkan kelas penutupan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Beeber, G. 1998. Change Detection Techniques Using Landsat Data. ASE 389P Remote Sensing From Space.
Jensen, J. R. 1981. Urban Change Detection Mapping Using Landsat Digital Data, The American Cartographer.
Vol 8, No. 2, pp 127 147.
Lillesand, M. T. and W. R. Kiefer. 1994. Remote Sensing And Image Interpretation. Third Edition. John Wiley
& Sons Inc. New York.
Purwadhi, S. H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Penerbit PT Grasindo. Jakarta.
Vink, A. P. A., 1975. Land Use in Advancing Agriculture, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, Germany.
104
ABSTRAK
Pemenuhan kebutuhan air bersih masih menjadi permasalahan utama di negeri ini. Banyaknya jumlah penduduk yang
belum terlayani oleh jaringan perpipaan air bersih menjadi sorotan banyak pihak akan kemampuan PDAM dalam
memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Banyaknya kendala yang dihadapi oleh PDAM, baik teknis maupun
non-teknis, menjadi alasan ketidakmampuan PDAM dalam melayani air bersih uang merupakan hajat hidup orang
banyak. Dengan bantuan teknologi SIG dan penginderaan jauh satelit, permasalahan PDAM yang terkait dengan
pendistribusian air bersih dapat sedikit teratasi. Hasil penelitian ini menunjukan penggunaan kedua teknologi tersebut
mampu membantu PDAM dalam mengatasi permasalahan pendistribusian air bersih, diantaranya dalam perencanaan
dan pengembangan jaringan perpipaan, penentuan lokasi sumber air baku, pemantauan perkembangan pelanggan,
dan penyusunan basis data spasial wilayah pelayanan.
105
PENDAHULUAN
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan air bersih-pun turut meningkat setiap tahunnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksikan pada tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai
247,5 juta jiwa. Jumlah tersebut mengakibatkan pemenuhan kebutuhan air akan meningkat menjadi 9.391
miliar meter kubik atau naik 47 persen dari tahun 2000. Pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk
dilakukan dengan sistem perpipaan dan non-perpipaan. Sistem perpipaan dioperasikan oleh entitas
penyelenggara pelayanan air bersih, baik yang dikelola oleh swasta maupun pemerintah (PDAM). Saat ini di
Indonesia terdapat 382 PDAM yang baru dapat melayani 47% penduduk perkotaan dan 11% penduduk
pedesaan. Data PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) tahun 2010 menyebutkan
secara nasional baru 27% jumlah penduduk Indonesia yang terjangkau jaringan air bersih dari PDAM. Artinya
mayoritas penduduk Indonesia masih memperoleh air bersih dari sistem non-perpipaan yang bersumber dari
mata air, sumur, air hujan, maupun penjaja air yang kualitasnya belum terjamin.
Ada beberapa permasalahan besar yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan air bersih di Indonesia,
diantaranya:
1. Sumber air baku yang terbatas, seperti: penurunan kualitas dan kuantitas, tidak ada lagi sumber air baku
yang dapat dieksplorasi, hingga pada konflik antar wilayah dalam pemanfaatan sumber air baku;
2. Kebutuhan air bersih yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk;
3. Rendahnya cakupan pelayanan air bersih di Kawasan Perkotaan, akibat minimnya data dan infrastruktur; dan
4. Kinerja pengelolaan sistem air bersih yang menurun akibat tingginya kebocoran, biaya operasi dan
pemeliharaan yang meningkat.
Permasalahan tersebut hingga kini masih menjadi kendala peningkatan kinerja PDAM di Indonesia dimana
saat ini 69% PDAM berada dalam kondisi kurang sehat. Teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi
Geografis (SIG) dapat membantu memberi solusi terhadap permasalahan penyediaan air minum. Salah
satunya adalah dalam pengembangan jaringan pipa air bersih, baik pipa distribusi maupun transmisi.
Beberapa kajian pemanfaatan data penginderaan jauh satelit yang berkaitan dengan jaringan perpipaan
air bersih telah dilakukan di beberapa negara, seperti: perencanaan sistem blok berdasarkan jaringan jalan
dan kontur wilayah sehingga mempermudah penyaluran air berdasarkan kebutuhan setiap blok secara lebih
efesien (Jun et al., 2004). Sistem blok telah banyak digunakan dinegaramaju seperti Jepang dan Korea, pada
sistem ini disusun berdasarkan pertimbangan orde jalan dan rata-rata elevasi setiap blok, selanjutnya diperinci
berdasarkan besarnya permintaan air. Huang dan Fipps (2005) mengidentifikasi kebocoran kanal irigasi dengan
memperlihatkan bahwa potensi kebocoran dapat diprediksi dengan menggunakan data sensor airborne
multispectral (Visibel, NIR dan Termal) resolusi tinggi. Metode ini sangat memungkinkan untuk diterapkan
untuk mendeteksi kebocoran pipa dalam skala regional.
Tulisan ini akan mengkaji sejauh mana teknologi penginderaan jauh satelit dan SIG berperan dalam
pengembangan jaringan perpipaan air bersih. Untuk mengaplikasikannya, jaringan perpipaan PDAM Kabupaten
Sampang, Jawa Timur, dipilih menjadi studi kasusnya. PDAM Sampang merupakan salah satu PDAM yang
berada dalam kondisi kurang sehat. Dari empat belas kecamatan yang ada di Kabupaten Sampang, pelayanan
air bersih melalui PDAM hanya terdapat di ibukota kabupaten saja. Gambar 1 menunjukan cakupan pelayanan
dari PDAM Kabupaten Sampang .
106
107
Data satelit
IKONOS, SPOT-5
Peta RBI
1:25.000
Koreksi data
Interpretasi citra
Informasi spasial:
Penutup lahan
Aliran sungai
Jaringan jalan
Objek bangunan
Wilayah permukiman
Pengolahan digital
Informasi spasial:
Ketinggian wilayah
Kontur
Lereng
Arah lereng
Informasi fisik yang diturunkan dari citra satelit penginderaan jauh meliputi penutup lahan, jaringan jalan,
system persungaian, objek dan orientasi bangunan, dan zonasi wilayah permukiman. Metode yang digunakan
adalah interpretasi dan digitasi visual pada skala 1:5.000. Dari empat zona wilayah PDAM Kabupaten Sampang,
fokus penelitian dilakukan pada dua zona pelayanan yang jumlah pelanggan dan pertumbuhannya paling
cepat. (Statistik PDAM Kabupaten Sampang, 2012).
Data Digital Elevation Model (DEM) diproses secara digital dari data DEM SRTM X-C band untuk menghasilkan
informasi spasial ketinggian wilayah, kontur, lereng, dan arah lereng. Interval kontur dibuat dengan interval 5
meter menggunakan teknik interpolasi dari data SRTM dan kontur Peta Rupa Bumi skala 1:25.000. Informasi
lereng menunjukan kemiringan dari permukaan bumi dengan kisaran nilai 0-90 derajat. Sedangkan arah lereng
menunjukan ke arah mana lereng tersebut menghadap, dengan kisaran nilai 0-360 derajat yang dimulai dari
arah utara dan berputar searah jarum jam.
Langkah berikutnya yang dilakukan adalah melakukan digitalisasi dan koreksi geometrik data sekunder ,
karena sebagian besar data yang terkumpul dalam bentuk hardcopy dan format autocad. Koreksi geometrik
menggunakan data IKONOS terkoreksi tahun perekaman 2010. Setelah terkoreksi, data-data sekunder
dikonversi menjadi data spasial untuk memudahkan dalam analisis di SIG sehingga menghasilkan informasi
spasial parameter PDAM. Alur kegiatan pada tahap ini digambarkan pada Gambar 3.
108
Citra IKONOS
terkoreksi
Identifikasi dan
deliniasi
Informasispasial:
Zona PDAM
Sumber air
Jaringan Pipa
Lokasi sumur
Informasi Spasial
Hasil Ekstraksi Data PJ
109
Kemiringan lahan di wilayah studi adalah 0 12 derajat dengan arah kemiringan lahan bervariasi ke segala
arah. Infomasi ketinggian, kemiringan dan arah kemiringan lahan ini sangat bermanfaat dalam perencanaan
pembangunan jaringan pipa untuk menentukan metoda yang paling tepat digunakan dalam pengaliran air
bersih. Kemiringan dan arah kemiringan di wilayah studi dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.
110
Informasi penutup lahan dan infratruktur wilayah di dapatkan dari hasil intrepretasi dan digitasi visual citra
satelit penginderaan jauh Ikonos dan SPOT5 dengan ketelitian tematik 1:5.000. Penutup lahan di wilayah studi
dibuat menjadi 19 kelas dengan fokus kedetilan berada pada kelas-kelas budidaya. Sebaran dan distribusi
penutup lahan di wilayah studi dapat dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 1.
111
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
112
Penutup Lahan
Alun-alun
Industri
Jalan
Kebun Campur
Ladang/Tegalan
Lahan Terbuka
Lapangan
Pasar
Pemakaman
Peribadatan
Perkantoran
Permukiman Teratur
Permukiman Tidak Teratur
Ruang Terbuka Hijau
Sawah
Sekolah
Semak/Belukar
Sungai
Terminal
LUAS (Ha)
3.22
2.73
27.69
72.67
21.04
15.16
0.66
2.73
1.50
1.72
29.25
5.72
169.48
4.87
377.29
3.94
18.12
5.43
0.74
Penutup lahan di wilayah studi di dominasi oleh lahan pertanian basah (sawah) dan permukiman tidak teratur.
Gambar 9 memperlihatkan sebaran kawasan permukiman berdasarkan kategori teratur dan tidak teratur di
wilayah studi.
Untuk memudahkan mengidentifikasi berapa jumlah sambungan rumah yang seharusnya terlayani, maka setiap
objek bangunan di wilayah studi diberikan atribut dengan memberikan titik identifikasi (Gambar 10).
113
Informasi spasial lainnya yang juga diturunkan dari data satelit penginderaan jauh adalah informasi mengenai
jaringan jalan dan system persungaian. Informasi jaringan jalan dibutuhkan untuk menentukan jalur pipa
transmisi dan distribusi karena pipa diletakan pada sisi-sisi jalan untuk memudahkan pemasangan dan kontrol
pemeliharaan. Sedangkan informasi system persungaian diperlukan untuk mengkalkulasi kebutuhan jembatan
penghubung pipa dan pompa tekan serta untuk menginventarisir sumber air permukaan. Gambar 11 dan 12
berikut menampilkan informasi jaringan jalan dan system persungaian hasil dari interpretasi citra satelit Ikonos.
114
Sumber air minum PDAM Kabupaten Sampang bersumber dari sumur bor dan mata air. Terdapat empat sumur
bor dan satu mata air yang saat ini dimanfaatkan, yaitu sumur bor Pangelen, Sogiyan, Gajah Mada, Glisgis
dan mata air Subaru. Sebaran lokasi sumur bor dan mata air untuk PDAM di Kota Sampang diperlihatkan pada
Gambar 14.
115
1.
Ketinggian dan
kontur
2.
Kelerengan dan
arah lereng
3.
Jaringan jalan
4.
Penutup lahan
5.
Sumber air
(sungai)
Lokasi sumur bor dan mata air agak jauh dari sungai,
sungai berpotensi dijadikan sumber air PDAM
6.
116
117
Data penginderaan
jauh satelit
Ketinggian/kontur
Tingkat kelerengan
Arah kelerengan
Sumber air (sungai,
danau dll)
Jaringan jalan
Penutup lahan
Wilayah permukiman
Objek bangunan
Dinas PDAM
SIG
Pengelolaan dan
perencanaan sistem
distribusi air minum
Gambar 15 Pemanfaatan Basis Data Dalam Mendukung Sistem Jaringan PDAM
KESIMPULAN
Informasi spasial yang diekstraksi dari data penginderaan jauh satelit dapat digunakan sebagai basis data
dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan jaringan pipa PDAM. Informasi dasar dari data satelit
mampu memberikan informasi spasial terkini secara cepat sehingga sangat membantu untuk mengevaluasi
kondisi eksisting sistem pipa air minum dan memprediksi prediksi pertumbuhan jumlah pelanggan. Informasi
ini berguna sebagai masukan dalam mengambil kebijakan arah pengembangan jaringan pipa PDAM di
masa mendatang. Penggunaan teknologi SIG memudahkan proses analisis spasial, namun kelengkapan data
sekunder sebagai pendukung analisis sangat menentukan tingkat keakuratan dan kedetilan dari informasi yang
dihasilkan.
Analisis singkat pada lokasi studi didapat bahwa jaringan pipa air minum belum menjangkau wilayahwilayah perkembangan baru yang teridentifikasi pada citra satelit. Hasil analisis 3D terhadap data DEM SRTM
menunjukan metode pengaliran secara gravitasi masih dapat terus digunakan untuk mendistribusikan air ke
pelanggan. Pada beberapa lokasi permukiman baru yang letaknya jauh dari sumber air, sudut kemiringan kecil,
diperlukan pembangunan unit pompa tekan untuk menambah tekanan air pada pipa distribusi.
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro, P., 2004,Satelit Mata-mata untuk Lingkungan,Kompas online : http://www.kompas.com/kompascetak/0305/13/inspirasi/307922.htm [ 20-11-2004]
Gesch, D., 2005, Vertical Accuracy of SRTM Data of the Accuracy of SRTM Data of the United States: Implications
for Topographic Change Detection, SRTM Data Validation and Applications Workshop
Huang, Y. And G. Fipps, 2005,Airborne Multispectral Remote Sensing Imaging for Detecting Irrigation Canal
Leaks in The Lower Rio Grande Valley, 20th Biennial Workshop on Aerial Photography, Videography and
118
High Resolution Digital Imagery for Resource Assessment, October 4-6, 2005, Weslaco, Texas.
Janssen, L.F.L and C.G. Huurneman,2001,Principles of Remote Sensing. ITC Educational Texbooks Series, ITC,
Enshede, Netherlands.
Jun, C., J.Koo, and J.Koh, 2004,Developing a Water Pipe Management System in Seoul Using the GIS,
International Archives of Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, ISPRS, 35
(2), 290-293.
PERPAMSI, 2010, Ringkasan Eksekutif Peta Permasalahan PDAM di Indonesia, Perpamsi, Jakarta
119