ORAL PRESENTATION
ABSTRAK-Salah satu misi pengembangan pesawat LSA di LAPAN adalah penginderaan jauh. LAPAN Surveillance
Aircraft (LSA) memiliki pengindera kamera multispektral yang dilengkapi dengan GPS. Penelitian ini mengkaji
pengolahan data kamera multispektral LSA untuk pemantauan pertanian. Data yang dipergunakan adalah data hasil
akuisisi dengan LSA pada wilayah pertanian di Pantura (Subang dan Indramayu). Adapun metode pengolahan yang
dipergunakan adalah ekstraksi data mentah menggunakan teknik Bayer pattern, kemudian mozaik data hasil ekstraksi
dengan menggunakan teknik korelasi silang dan analisis vegetasi sawah menggunakan konversi indeks vegetasi. Hasil
penelitian ini adalah kajian pengolahan awal data multispektral LSA untuk analisis vegetasi persawahan.
Kata kunci:data multispektral LSA, Bayer pattern, mozaik data, korelasi silang, NDVI
ABSTRACT-One of LAPANs mission in aircraft development is remote sensing. LAPAN Surveillance Aircraft (LSA)
has a multispectral camera that equipped with GPS. This study examines data processing on LSAs multispectral
camera for agricultural monitoring. The data used is the results from LSAs acquisition in agricultural areas in
Pantura (Subang and Indramayu). The processing method used is the extraction of raw data using a Bayer pattern
technique, then mosaic the extracted data by using cross correlation and analyze the rice fields vegetations using
vegetation indices conversion. Results of this study is the pre-processing LSA multispectral datamethod for the analysis
ofthe rice fields vegetations.
Keywords: LSAs multispectral data, Bayer pattern, mosaic data, cross corelation, NDVI
1. PENDAHULUAN
Saat ini data penginderaan jauh resolusi tinggi banyak dibutuhkan di Indonesia, di antaranya untuk
penyediaan peta skala rinci dalam mendukung pembangunan perdesaan, penilaian objek wajib pajak,
perencanaan infrastruktur jalan dan bangunan, pengembangan wilayah perkotaan, pengawasan hasil
pembangunan, hingga untuk masalah pertanian.
Data penginderaan jauh resolusi tinggi umumnya diperoleh dari satelit komersil, seperti, IKONOS,
WorldView, GeoEye, dan lain-lain. Akan tetapi, data satelit tersebut selain harganya cukup mahal juga
waktu pemesanannya (delivery order) membutuhkan waktu sekitar 2 minggu bahkan bisa lebih dikarenakan
adanya kendala liputan awan. Sementara itu dalam dekade terakhir, sehubungan makin berkembangnya
sistem teknologi kamera pencitraan dengan ukuran yang semakin kecil, sudah mulai banyak dikembangkan
pemanfaatan pesawat tanpa awak untuk pengamatan melalui udara. LAPAN sudah mengembangkan pesawat
untuk misi pemantauan dengan pesawat baik tanpa maupun dengan awak, memiliki kesempatan yang baik
untuk mendukung penyediaan data penginderaan jauh resolusi tinggi dari data kamera pada pesawat
LAPAN.
Program LAPAN Surveillance Aircraft (LSA) merupakan program dari Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) yang mengembangkan pesawat berawak dengan kapasitas kecil yang
digunakan untuk kegiatan pengamatan seperti pemantauan ataupun pemetaan (Kushardono, 2015). Salah satu
fungsi dari LSA yakni untuk melakukan pengamatan, baik untuk wilayah daratan ataupun perairan dan
membawa payload yang dapat disesuaikan untuk objek yang akan diamati. LSA pernah melakukan
pengambilan data di wilayah Subang dan Indramayu pada bulan September 2014. Salah satu pengindera
yang terpasang pada saat pengambilan data tersebut merupakan kamera multispektral yang mempunyai 3
kanal, yaitu kanal hijau, merah, dan inframerah dekat. Pengambilan data yang dilakukan tersebut merupakan
pengambilan data oleh pesawat LSA dengan kamera multispektral yang pertama kali dilakukan, sehingga
penelitian ini bertujuan sebagai kajian pengolahan awal data multispektral pesawat LSA di wilayah lahan
pertanian.Seperti halnya pada pesawat tanpa awak, pengamatan yang dapat dilakukan oleh LSA tidak
terbatas hanya pada lahan pertanian, namun juga dapat untuk wilayah pesisir, perkotaan,wilayah bencana,
dan lainnya (Shofiyanti, 2011; Wiyono, 2015; Artanto, 2015; Mancini, 2013; Sari, 2015).
- 84 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh Kushardono et al. mengenai
Pemanfaatan Data LSA (LAPAN Surveillance Aircraft) untuk Mendukung Pemetaan Skala Rinci
(Kushardono, 2015) dengan mengambil bagian pada pengolahan data kamera multispektral untuk
pemantauan pertanian.
2. PENGOLAHAN DATA
Data yang diperoleh dari kamera multispektral hasil akuisisi dari pesawat LSA berupa matrik dalam
Bayer array, sehingga perlu dilakukan ekstraksi kanal-kanal yang ada agar dapat dilakukan pengolahan lebih
lanjut. Setelah dilakukan ekstraksi kemudian dilakukan mozaik data dan selanjutnya dapat dilakukan
perhitungan nilai dari indeks vegetasi. Pengindera yang digunakan mempunyai sensor yang didesain dan
dioptimasi untuk menangkap cahaya tampak dan inframerah dekat pada panjang gelombang 520 nm hingga
920nm. Pada Gambar 1 menunjukkan respon dari sensor pengindera terhadap masing-masing kanal
(merah,hijau, dan biru).
- 85 -
Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk PemantauanPertanian (Chulafak GA, et al.)
Untuk mengkonversi citra dari format Bayer ke RGB perlu dilakukan interpolasi dari dua nilai warna
pada masing-masing piksel. Algoritma Freeman (Median-based interpolation) merupakan metode yang
terbaik digunakan pada citra yang mempunyai bercak / speckle sedangkan algoritma Larosche-Prescotts
(Gradient based interpolation) dan Algortima Hamilton-Adam (Adaptive color plane interpolation)
merupakan metode yang cocok digunakan pada citra yang memiliki sisi/tepi yang tajam (Ramanath, 2002).
3.2 Metode
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terlihat seperti pada Gambar 3.
Ekstraksi
Metadata
Ekstraksi
Bayer Filter
4. HASIL PEMBAHASAN
4.1 Hasil Ekstraksi Bayer Filter
Data mentah yang diakuisi dari pesawat LSA diolah menggunakan perangkat lunak dan akan
menghasilkan citra multispektral yang mempunyai tiga kanal. Tidak seperti citra pada umumnya yang
mempunyai kombinasi kanal RGB, citra yang dihasilkan dari hasil ekstraksi Bayer filter ini mempunyai
komposit warna NIR, Red, Green seperti terlihat pada Gambar 4.
- 87 -
Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk PemantauanPertanian (Chulafak GA, et al.)
Komposit warna NIR, Red, Green ini dikarenakan terdapat filter penyerap kanal biru yang digunakan
untuk menghilangkan sensitifitas sensor terhadap kanal biru, dan piksel biru pada sensor digunakan untuk
mengukur nilai dari kanal inframerah dekat (kurva biru pada Gambar 1). Citra yang dihasilkan oleh sensor
kemudian diolah menggunakan perangkat lunak untuk mengurangi nilai inframerah dekat yang telah diukur
dari kanal merah dan biru untuk menghasilkan citra merah/hijau/inframerah dekat.
Hasil dari mozaik tidak sepenuhnya bagus baik dari segi geometrik maupun dari segi radiometrik. Selain
itu, tidak semua data citra dapat dimozaik walaupun data citra tersebut memiliki data koordinat terutama
pada wilayah perairan. Wilayah perairan sangat cepat berubah seperti pada kondisi arus airnya, kemungkinan
hal ini yang menyebabkan data citra sulit untuk dimozaik, namun, untuk wilayah pesisir masih dapat
dimozaik dikarenakan masih terdapatnya wilayah daratan yang kondisinya relatif tetap sehingga nilai
- 88 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
korelasi silang antar foto masih memenuhi untuk dilakukan mozaik walaupun wilayah perairannya relatif
berubah.
Gambar 6. Hasil mozaik yang kurang sempurna yang ditampalkan pada Google Earth.
Gambar kiri: wilayah perairan.Gambar kanan: wilayah daratan
(Sumber: Data yang diolah)
Dari segi geometrik, tidak seluruh data citra yang bertampalan menghasilkan data citra yang mulus
(seamless) seperti pada Gambar 7 (atas), namun untuk akurasi geometriknya sudah cukup bagus walaupun
terlihat masih terdapat sedikit pergeseran ketika ditampilkan dengan ditampalkan menggunakan citra dari
Google Earth seperti terlihat pada Gambar 7 (bawah).
Pada Gambar 8 memperlihatkan adanya perbedaan kecerahan/iluminasi dari utara ke selatan yang
diakibatkan lamanya waktu akuisisi. Waktu akuisisi lintasan paling utara sekitar pukul 08.00 pagi, sedangkan
pada lintasan paling selatan sekitar pukul 11.00, sehingga pengaruh matahari akan cukup berbeda pada kedua
lintasan dan akan terlihat perbedaannya ketika citra dimozaik. Citra yang didapat dari akuisisi LSA ini
membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan satu lintasannya, berbeda dengan citra penginderaan
jauh dari satelit yang membutuhkan waktu hanya dalam hitungan menit dalam tiap sapuannya sehingga tidak
akan terjadi gradasi iluminansi dalam citranya. Selain itu pada citra penginderaan jauh menggunakan satelit
terdapat metadata mengenai hal-hal yang dapat membantu dalam koreksi radiometriknya, seperti sudut
azimut dan elevasi matahari.
- 89 -
Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk PemantauanPertanian (Chulafak GA, et al.)
Gambar 9. Hasil sampel dari NDVI pada wilayah pertaniandengan menggunakan palet hijau.
(Sumber: Data yang diolah)
Untuk mempermudah dalam melakukan interpretasi visual, maka dilakukan komposit kanal dengan
menggunakan komposit kanal NIR, NDVI, dan R, yang penampakannya seperti terlihat pada Gambar 10.
Dengan menggunakan komposit tersebut, untuk area non vegetasi (permukiman, fase bera, jalan, lahan
terbuka) secara visual terlihat mengarah ke warna magenta. Sedangkan untuk wilayah dengan tingkat
- 90 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
kehijauan tinggi (vegetasi maksimum/pemanjangan batang hingga bunting) secara visual terlihat berwarna
kuning - hijau muda. Pada area dengan tingkat kehijauan sedang (fase vegetatif awal/anakan, fase generatif
/pematangan) terlihat berwana hijau agak tua. Sedangkan untuk tingkat kehijauan rendah terlihat berwarna
hijau tua seperti terlihat pada sungai yang kemungkinan terdapat vegetasi di dalamnya.
Gambar 10. Interpretasi pada Citra komposit NIR, NDVI, dan RED
(Sumber: Data yang diolah)
5. KESIMPULAN
Data multispektral yang diakuisisi oleh pesawat LSA berpotensi untuk digunakan dalam pengamatan
wilayah lahan pertanian seperti halnya penggunaan dari data yang diakuisisi dari satelit penginderaan jauh.
Untuk melakukan pemrosesan data hasil akuisisi LSA dapat menggunakan langkah sebagai berikut: Data
Mentah Ekstraksi Bayer filter Mozaik dan Koreksi tegak Pengolahan Lanjut, namun, masih perlu
dilakukan tambahan langkah pengolahan dan koreksi citra baik dalam masalah geometrik maupun
radiometrik sehingga citra yang dihasilkan lebih baik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Kepala Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN yang telah
memberi bantuan pesawat LSA sebagai pembawa dari pengindera multispektral, juga kepada Kepala Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN yang telah mendukung dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kushardono, D., Annas, A., Maryanto, A., Utama, A.B., dan Winanto (2015). Pemanfaatan Data LSA (LAPAN
Surveillance Aircraft) untuk Mendukung Pemetaan Skala Rinci. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XX dan
Kongres VI MAPIN.
Shofiyanti, R. (2011). Teknologi Pesawat Tanpa Awak untuk Pemetaan dan Pemantauan Tanaman dan Lahan
Pertanian. Informatika Pertanian 20(2):58 64.
Wiyono, A., dan Budiyanta, S.A. (2015). Analisa Perencanaan dan Hasil Uji Terbang LSU-01untuk Pemotretan
Wilayah Longsor Banjarnegara. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XX dan Kongres VI MAPIN
- 91 -
Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk PemantauanPertanian (Chulafak GA, et al.)
Artanto, E., Yuniar, F., dan Rimayanti, A. (2015). Pemetaan Pulau Terluar Indonesia Menggunakan Wahana UAV.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XX dan Kongres VI MAPIN
Mancini, F., Dubbini, M., Gatelli, M., Stecchi, F., Fabbri, S., dan Gabbianelli, G. (2013). Using Unmanned Aerial
Vehicles (UAV) for High-Resolution Reconstruction of Topography: The Structure from Motion Approach on
Coastal Environments. Remote Sensing, 5(12):6880-6898.
Sari, N.M., dan Kushardono, D. (2015). Object Segmentation on UAV Photo Data to Support the Provision of Rural
Area Spatial Information. Jurnal Forum Geografi 29(1):49-59.
Tetracam, Inc. (2011). Agricultural Digital Camera Users Guide (ver 2.3).Chatsworth: Tetracam, Inc.
Hubel, P.M., Liu, J., dan Guttosch, R.J. (2004). Spatial Frequency Response of Color Image Sensors: Bayer Color
Filters and Foveon X3. Proc. SPIE5301, Sensors and Camera Systems for Scientific, Industrial, and Digital
Photography Applications V. 402.
Bayer, dan Bryce, E. (1976). Color Imaging Array. U.S. Patent No. 3,971,065
Chang, L., dan Tan, Y. (2006). Hybrid Color Filter Array Demosaicking for Effective Artifact Suppression. Journal of
Electronic Imaging
Ramanath, R., Snyder, W.E., dan Bilbro, G.L. (2002). Demosaicking Methods for Bayer Color Arrays. Journal of
Electronic Imaging, 11(3):306 -315.
Freeman, W.T. (1988). Median Filter for Reconstructing Missing Color Samples. U.S. Patent No. 4,7642,395.
Laroche, C.A., dan Prescott, M.A. (1994). Apparatus and Method for Adaptively Interpolating a Full Color Image
Utilizing Chrominance Gradients. U.S. Patent No. 5,373,322.
Hamilton, J.F., dan Adams, J.E. (1997). Adaptive Color Plane Interpolation in Single Sensor Color Electronic Camera.
U.S. Patent No. 5,629,734.
Wolf, P.R. (1983). Elements of Photogrammetry, 2nd edition. McGraw Company, USA.
Schenk, T. (2000). Digital Photogrammetry, Volume 1. Terra Science, Ohio, USA.
Harintaka, Susanto, E.W., dan Thobibah, T. (2006). Otomatisasi Pembuatan Mosaik Menggunakan Teknik Korelasi
Silang pada Foto Udara Format Kecil. Pertemuan Ilmiah Tahunan III T. Geomatika ITS.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Hamdi (LAPAN).
Apakah bisa dilakukan mozaik pada daerah perairan?
Berapa porsentase keberhasilnya khususnya pada data Landsat?
Liputan awan hampir seluruh Indonesia untuk data Landsat 8?
Herman (UGM)
Sensor yang digunakanberapa band? Hingga muncul NIR?
Wati (BPS)
Apakah hasil pengolahan dapat mudah terbaca oleh orang awam sebagai contoh daerah pertanian?
Apakah juga bisa terbaca jenis tanamannya dan juga tanaman yang ada di ladang? Misalkan jagung dibedakan dengan
padi
Dony (tambahan)
Kamera yang digunakan merupakan kamera multi spectral khusus untuk pertanian. Kemampuan LSA dapat terbang
hingga 6 jam untuk maritim bisa diinstall pay loadnya pada LSA
Jawaban:
Untuk mozaik dipesisir masih bisa dilakukan jika di perairan akan susah dilakukan.
Sensor hanyaada 3 band. NIR merupakan hasil sintesisdari band red dan blue kemudian untuk band blue di filter.
- 92 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Bisa digunakan untuk jenis tanaman lain sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
Untuk keperluan Maritim bisa digunakan tapi disesuaikan payloadnya saja.
- 93 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
ABSTRAK - Pan-sharpening adalah suatu jenis penggabungan (fusi) data yang mengkombinasikan citra multispektral
resolusi rendah dengan citra pankromatik resolusi tinggi untuk menghasilkan suatu citra warna resolusi tinggi. Pada
umumnya pan-sharpening dilakukan dengan berbagai teknik transformasi warna sedemikian rupa sehingga citra yang
dihasilkan memiliki ketajaman yang sama dengan citra pankromatik dan memiliki warna yang sama dengan citra
multispektral orisinilnya. Namun demikian, pada prakteknya sangat susah untuk memenuhi kedua tujuan tersebut secara
bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji suatu metode alternatif pan-sharpening dengan menggunakan
metode transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) dengan menggunakan data QuickBird. Transformasi HCS ini
sebelumnya telah diajukan oleh Padwick et.al, dengan menggunakan data WorldView-2. Namun mengingat perbedaan
jumlah dan karakteristik spektral antara citra WorldView-2 dengan citra QuickBird, maka perlu dikaji performansinya
pada citra QuickBird. Konsep dasar dari metode transformasi dari ruang warna native ke ruang warna hyperspherical
adalah mengikuti definisi standar transformasi dari ruang Kartesian berdimensi-n ke ruang Hyperspherical berdimensi-
n. Pada transformasi sebaliknya, citra intensitas digantikan dengan citra pankromatik yang sebelumnya telah disetarakan
intensitasnya (intensity match) dengan citra intensitas pada ruang warna Hyperspherical-nya. Proses penyetaraan
intensitas ini cukup menentukan kualitas hasil, dan pada penelitian ini dilakukan dengan berdasarkan nilai digital citra
pankromatiknya, nilai digital dan statistiknya dari citra pankromatik yang telah dilakukan perataan pada jendela
berukuran 7x7 piksel, dan nilai digital dan statistiknya dari citra intensitas pada ruang warna Hyperspherical-nya. Hasil
eksperimen menunjukkan bahwa metode ini memberikan hasil yang sangat bagus untuk diterapkan pada citra
QuickBird yakni memiliki ketajaman spasial yang baik dan mempertahankan warna yang relatif sama dengan citra
multispektral orisinilnya. Hal ini juga ditunjukkan dengan nilai indeks kualitas citra berdasar Wang-Bovic quality index
yang tinggi (di atas 0.85) pada keseluruhan band citra QuickBird (Red, Green, Blue, dan NIR).
Kata kunci: Pansharpening, Quickbird, Hyperspherical Color Space (HCS), image quality index.
ABSTRACT - Pan-sharpening is a type of data merger (fusion) that combines the low-resolution multispectral image with the higher
resolution panchromatic image to produce a high-resolution color image. In general, pan-sharpening is done with a variety of color
transformation techniques such that the resulting image has the same sharpness as the original panchromatic image as well as the
same colors as the original multispectral image. However, in practice, it is very difficult to meet both of these goals together. This
study aimed to examine an alternative pan-sharpening method based on Hyperspherical Color Space (HCS) transformation using
QuickBird data. HCS transformation has been proposed by Padwick et.al, using WorldView-2 data. However, due to differences in
the number and spectral characteristics between WorldView-2 data with QuickBird data, it is necessary to study its performance on
QuickBird data. The transformation between the native color space and the hyperspherical color space follows the standard
defininition of transformation between n-dimensional Cartesian space and n-dimensional hyperspherical space. On the reverse
transformation, the intensity component is replaced with panchromatic image that has been intensity-matched with the intensity
component on the hyperspherical space. The intensity matching affect the pan-sharpening result, and in this research was done
based on the digital number of original panchromatic image, the digital number and statistical values of smoothed -panchromatic
image (using window size of 7x7 pixels), and the digitalnumber and statistical values of intensity component in the Hyperspherical
color space. The experimental result shows that this method provides very good results to be applied to QuickBird image, i.e. the
pan-sharpening result has good spatial sharpness and has relatively the same colors as the original multispectral image. This is also
shown by high quality index (above 0.85, based on the Wang-Bovic quality index) at all QuickBird image bands (Red, Green, Blue,
and NIR).
Keywords: Pansharpening, Quickbird, Hyperspherical Color Space (HCS), image quality index
1. PENDAHULUAN
Pan-sharpening adalah suatu jenis penggabungan (fusi) data yang mengkombinasikan citra multispektral
resolusi rendah dengan citra pankromatik resolusi tinggi untuk menghasilkan suatu citra warna resolusi
tinggi. Pada umumnya pan-sharpening dilakukan dengan berbagai teknik transformasi warna sedemikian
rupa sehingga citra yang dihasilkan memiliki ketajaman yang sama dengan citra pankromatik dan memiliki
warna yang sama dengan citra multispektral orisinilnya. Namun demikian, pada prakteknya sangat susah
untuk memenuhi kedua tujuan tersebut secara bersamaan.
- 94 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji suatu metode alternatif pan-sharpening dengan menggunakan
metode transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) dengan menggunakan data QuickBird. Transformasi
HCS ini sebelumnya telah diajukan oleh Padwick et al. (2010), dengan menggunakan data WorldView-2.
Namun mengingat perbedaan jumlah dan karakteristik spektral antara citra WorldView-2 dengan citra
QuickBird, maka perlu dikaji performansinya pada citra QuickBird.
2. METODE
2.1 Metode Pan-sharpening dengan menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space
(HCS)
Konsep dasar dari metode transformasi dari ruang warna native ke ruang warna hyperspherical adalah
mengikuti definisi standar transformasi dari ruang Kartesian berdimensi-n ke ruang Hyperspherical
berdimensi-n (Padwick et al., 2010). Untuk citra dengan jumlah band input N, maka akan membentuk
sebuah komponen intensitas dan N-1 buah sudut dalam ruang hypersphere-nya. Misalnya untuk citra dengan
QuickBird dengan jumlah band 4 yakni B (band Blue), G (band Green), R (band Red), dan N (band NIR)
akan ditransformasikan ke ruang hypersphere dengan satu buah intensitas dan tiga buah sudut ( , , dan
) mengikuti persamaan berikut :
= + + + (1)
= (2)
= (3)
= (4)
Transformasi sebaliknya (dari ruang warna hyperspherical ke ruang ruang warna native) adalah sebagai
berikut :
= cos (5)
Dalam transformasi ke HCS, variabel sudut ( ) merepresentasikan warna (color) atau hue
sedangkan komponen radial ( ) merepresentasikan intensitas warna. Apabila telah ditransformasikan ke
HCS, maka komponen intensitasnya dapat diubah / diskala ulang tanpa merubah warnya. Hal ini menjadi hal
pokok dalam algoritma pan-sharpening.
Permasalahannya selanjutnya adalah bagaimana algoritma untuk mengubah intensitas tersebut.
Dalam hal ini band pankromatik dapat dipergunakan karena memiliki resolusi spasial yang lebih baik
dibanding band multispektralnya. Cara yang paling sederhana adalah dengan langsung mengganti intensitas
tersebut dengan band pankromatik tersebut. Namun hal itu biasanya tidak akan memberikan hasil yang
optimum. Dalam berbagai penelitian disarankan untuk melakukan intensity matching terhadap band
pankromatik tersebut terlebih dahulu sehingga serupa dengan nilai intensitas . Penelitian ini mencoba
menerapkan teknik intensity matching yang telah diterapkan oleh Padwick et al. (2010) untuk data
WorldView-2 dengan cara memodelkan perbedaan antara intensitas band pankromatik dan band
multispectralnya dan mempertimbangkannya dalam proses pan-sharpening tersebut.
Berikut akan dijelaskan intensity matching tersebut, yang dalam papernya Padwick, et al
menyebutnya sebagai mode Smart. Sebelum dilakukan proses pan-sharpening, pertama-tama dibentuk
terlebih dahulu citra dari band pankromatik (P) yang dihaluskan (smoothed) seperti berikut:
- 95 -
Pan-Sharpening Citra QuickBird menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) (Sambodo KA)
= SMOOTH( ) (9)
Dimana operasi SMOOTH merupakan sliding window convolution filter, yang dilakukan dengan ukuran
window 7x7, sehingga nilai di piksel di tengah window merupakan nilai rata-rata dari seluruh piksel di dalam
window tersebut. Ukuran window dapat diubah-ubah, namun ukuran 7x7 merupakan ukuran yang
direkomendasikan, karena menghasilkan citra hasil pan-sharpening dengan artifak-artifak spasial (seperti
ghosting, blurring, dan lain-lain) yang paling minimal.
Berikutnya, rata-rata dan standar deviasi baik untuk kuadrat ( ) dan kuadrat intensitas
multispektralnya ( ) dihitung, yakni:
= + + + (10)
=( ) (11)
Hasil perhitungan rata-rata dan standar deviasi untuk dinyatakan dengan dan , sedangkan
untuk dinyatakan dengan dan . Intensity matching baik untuk dan ke dilakukan dengan
formula berikut:
= ( + )+ (12)
= ( + )+ (13)
Selanjutnya, dihitung suatu besaran intensitas baru (adjusted intensity) sebagai berikut :
= (14)
selanjutnya dipergunakan dalam proses pan-sharpening, yakni untuk mengganti nilai intensitas
pada formula (5) (8).
= (15)
Dimana dan masing-masing merepresentasikan nilai varians dari citra dan citra . dan
masing-masing merepresentasikan nilai rata-ratanya. Menurut Wang-Bovic, suku pertama menyatakan cross
correlation antara citra dan , suku kedua menyatakan perbandingan antara nilai rata-rata dari dan , dan
suku ketiga menyatakan perbandingan kekontrasannya. Kisaran nilai indeks tersebut adalah antara -1 dan 1.
Untuk mengaplikasikan indeks ini, karena ukuran piksel hasil pan-sharpening yang berbeda dengan
citra multispectral origisinilnya, maka pertama-tama dilakukan downsampling citra hasil pan-sharpening
sehingga memiliki ukuran resolusi piksel yang sama dengan citra multispektralnya. Selanjutnya indeks
dapat dihitung dengan menggunakan ukuran blok / window tertentu. Dalam penelitian ini, digunakan ukuran
piksel dari ukuran citranya seperti yang dilakukan oleh Padwick et al. (2010).
- 96 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
- 97 -
Pan-Sharpening Citra QuickBird menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) (Sambodo KA)
- 98 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Band
Red (R) 0.889
Green (G) 0.864
Blue (B) 0.746
NIR (N) 0.878
- 99 -
Pan-Sharpening Citra QuickBird menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) (Sambodo KA)
4. KESIMPULAN
Pan-sharpening dengan menggunakan metode transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) dapat
diterapkan pada citra QuickBird dengan hasil yang memuaskan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Hasil pan-sharpening tersebut memiliki ketajaman spasial yang baik dan mempertahankan warna yang relatif
sama dengan citra multispektral orisinilnya. Hal ini juga ditunjukkan dengan nilai indeks kualitas citra
berdasar Wang-Bovic quality index yang tinggi pada keseluruhan band citra QuickBird (Red, Green, Blue,
dan NIR).
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN yang
telah menyediakan data Quick Bird untuk keperluan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Drs. Kustiyo, M.Si yang telah menyediakan fasilitas pengolahan datanya dan berbagai diskusinya
selama melakukan eksperimen.
DAFTAR PUSTAKA
Wang, Z., dan Bovic, A. (2012). A Universal Image Quality Index. IEEE Signal Processing Letters.
Padwick, C., Deskevich, M., Pafici, F., dan Smallwood, S. (2010). Worldview-2 Pan-sharpening. ASPRS 2010 Annual
Conference, San Diego, California.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Jawaban:
Metode ini bisa digunakan untuk data yang lain. Penulis sudah mencoba menggunakan metode ini pada data citra Geo-
Eye, World View, Pleiades dan semua hasilnya memuaskan. Hanya saja masih terdapat masalah pada perbedaan jumlah
band tiap citra. Sehingga program harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga intensity matching-nya dapat
disesuaikan.
Resolusi band pankromatik biasanya 4x lebih besar dibandingkan band multispektralnya. Penulis telah menghitung
resolusi spasial piksel pankromatik yang dijadikan skala untuk kemudian dilakukan resampling terhadap data
multispektralnya.
Sebenarnya, penulis ingin melakukan perbandingan dengan metode lain tetapi terkendala dengan kemampuan software
yang lain yang hanya mampu mendukung data 8 bit. Sedangkan data Quick Bird tersebut memiliki data sebesar 11 bit
sehingga tidak dapat diproses oleh software tersebut. Penulis mencoba untuk melakukan perbandingan dengan metode
HIS, dan seperti yang telah diduga, hasilnya sangat kontras perbedaannya. Penulis mengaku agak ragu untuk tidak
menyampaikan, karena software-nya memang tidak mendukung data 11 bit.
- 100 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
ABSTRAKSesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012, Daerah Aliran Sungai (DAS) diklasifikasikan
menjadi DAS dipulihkan dan dipertahankan. Penentuan klasifikasi tersebut didasarkan pada penilaian terhadap
parameter lahan, tata air, sosial ekonomi kelembagaan, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah.
Penelitian ini memfokuskan pada unsur lahan untuk menentukan klasifikasi DAS di DAS Mentaya. Tujuan penelitian
ini yakni untuk menentukan klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi lahan dengan menggunakan data
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dan untuk merencanakan tindakan rehabilitasi hutan dan lahan
yang sesuai dengan kondisi lahannya. Data penginderaan jauh yang digunakan antara lain citra Landsat 8 dan SRTM.
Untuk menilai kondisi lahan, data yang digunakan yakni data penutupan lahan hasil ekstraksi data penginderaan jauh
Landsat 8 dengan metode klasifikasi terselia. Algoritma NDVI dimanfaatkan untuk mengetahui distribusi tingkat
kerapatan vegetasi sebagai acuan untuk pemulihan DAS secara vegetatif. Kerapatan vegetasi dibedakan menjadi lahan
kosong, kerapatan vegetasi rapat, kerapatan sedang dan kerapatan jarang. SIG digunakan untuk mengolah data dan
untuk menggambarkan distribusi secara spasial data dalam klasifikasi DAS dan upaya rehabilitasi hutan dan lahan, yang
meliputi: tingkat kekritisan lahan, kesesuaian penutupan lahan, satuan lahan dalam pengelolaan lahan dan upaya
rehabilitasi lahan di DAS Kahayan. Teknik skoring digunakan untuk menentukan hasil klasifikasi DAS. Hasil yang
diperoleh dari penelitian ini, meliputi: tingkat kekritisan lahan (kritis dan sangat kritis) mencapai 599.339,74 Ha (41,
12%), kondisi penutupan lahan berupa persentase penutupan vegetasi hanya 53.92% dan nilai pengelolaan lahan
tergolong rendah. Guna pemulihan kondisi DAS tersebut, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dilakukan dengan
kegiatan vegetative dan sipil teknikdengan program kegiatan, antara lain: reboisasi, hutan rakyat dan penghijauan
lingkungan, pembuatan tabat dan gundukan pada ekosistem bergambut, dam pengendali, sumur resapan, serta biopori
pada ekosistem daratan.
Kata kunci: Klasifikasi DAS, Kondisi Lahan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Penginderaan Jauh, DAS Mentaya
ABSTRACT Determination of Watershed Classification Based on Land Condition Parameter in Mentaya Watershed
by using Remotely Sensed Data and GIS. According to Government Regulation No. 37 years 2012, Watershed
classification can be classified into restored and maintained watershed. It can be assessed by calculating land
condition, water condition, social/economic/ institutional, waterworks investment, and spatial use. This research is
focused on land aspect for determining Mentaya watershed classification. The objective of research is grouped into two
goals, namely: to determine Mentaya Watershed classification based on land condition by using remote sensing data
and geographic information system (GIS) and to plan land and forest rehabilitation action appropriate with land
condition. Landsat 8 and SRTM are used in this research. Land use type as basic data for evaluating land condition is
produced by Landsat 8 imagery extraction through supervised classification method. NDVI Algorithm is applied to
know dense of vegetation distribution. It is divided in to bare land, dense density, moderate density and low density.
These categories are reference to restore watershed vegetatively. GIS is functioned to process data and to draw data
spatially such as critical land, land use suitability, land unit for land management, and forest and land rehabilitation.
Scoring technique is applied to assess watershed classification. The results obtained from this research, including: land
critical level (critical and high critical) reaches 599.339,74 Ha (41,12%), percentage of vegetation cover is 53.92%,
and value of land management is categorized low management. To restore watershed condition, land and forest
rehabilitation activity need to be done by vegetative and civil technique programs such as reforestation, forest society,
environment reforestation, canal blocking and mound in peatland ecosystem, control dam, infiltration wells and bio-
pores especially in dryland ecosystem.
Keywords: Watershed Classification, Land Conditon, Land and Forest Rehabilitation, Remote Sensing, Mentaya
Watershed
- 101 -
Klasifikasi DAS Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data PenginderaanJauh Dan SIG
(Rusdiyatmoko, A.)
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang optimal memerlukan data dan informasi tentang
karakteristik DAS. Data karakteristik DAS ini mutlak diperlukan sebagai rekomendasi arah pengelolaan
DAS dan diharapkan dapat terintegrasi dengan misi dan visi pembangunan suatu wilayah sehingga
tercipta sinergi antara pembangunan ekonomi dan lingkungan. Data karakteristik DAS terbangun atas
dasar sifat khas yang dimiliki oleh suatu DAS. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P.3/V-SET/2013 tentang pedoman identifikasi
karakteristik daerah aliran sungai menerangkan bahwa karakteristik DAS merupakan sifat khas dari
suatu DAS yang terbagi menjadi sifat statis atau variabel yang tidak mudah berubah dan sifat dinamis
atau variabel yang mudah berubah. Data DAS yang tergolong khas dan statis adalah data morfologi dan
morfometri DAS. Variabel yang sering berubah dan mempengaruhi dinamika DAS, meliputi: data
meteorologi/klimatologi, penutup/penggunaan lahan, kondisi sosial ekonomi kebudayaan masyarakat,
dan kondisi kelembagaan pengelolaan DAS.
Data yang diperlukan untuk pengelolaan DAS selain informasi karakteristik DAS adalah informasi
klasifikasi DAS. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012, DAS
dapat diklasifikasikan menjadi DAS yang dipulihkan dan DAS yang dipertahankan. Penentuan
klasifikasi DAS yang dimaksud didasarkan pada kriteria, yaitu: kondisi lahan, tata air, sosial ekonomi,
investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah. Kriteria-kriteria tersebut tersusun oleh sub-sub
unsur pembentuknya. Kondisi lahan tersusun oleh sub unsur, seperti: informasi luasan lahan kritis,
luasan penutupan lahan dan erosi lahan. Sub unsur erosi lahan berkaitan dengan pengelolaan lahan.
Untuk itu, pola pengelolaan lahan dapat dijadikan sebagai unsur penilainya. Data yang diperlukan untuk
perhitungan kualitas, kuantitas dan kontinuitas air minimal terdiri dari informasi koefisien rezim aliran,
koefisien aliran tahunan, muatan sedimen, banjir, dan indeks penggunaan air. Perhitungan nilai sosial
ekonomi melibatkan beberapa parameter, meliputi: tekanan penduduk terhadap lahan, tingkat
kesejahteraan penduduk, dan keberadaan dan penekan peraturan. Untuk menguatkan analisis dan
perhitungan klasifikasi DAS dalam hal aset yang ada di suatu DAS diperlukan investasi bangunan. Data
aset yang dimaksud dapat dicerminkan dari klasifikasi kota dan nilai bangunan air yang berada di suatu
DAS. Pemanfaatan ruang wilayah diperlukan sebagai informasi pokok untuk manajemen fungsi wilayah
terhadap DAS. Data utama yang digunakan adalah pemanfaatan ruang wilayah dengan merujuk pada
informasi spasial dan non-spasial kawasan lindung dan kawasan budidaya perlu diketahui.
Klasifikasi DAS perlu diketahui sebagai dasar untuk melaksanakan tindakan kegiatan pengelolaan
DAS yang berkelanjutan untuk pengembalikan fungsi DAS. Usaha pemulihan DAS terkait dengan
informasi lahan terutama informasi laju degradasi lahan dan deforestasi baik secara temporal maupun
spasial. Usaha penanggulangan degradasi dan deforestasi harusdirealisasikan untuk menghindari
timbulnya permasalahan-permasalahan lingkungan, seperti: tingkat erosi tinggi, biodiversity hilang,
habitat musnah, dan kepunahan spesies lokal. Permasalahan tersebut dapat mempengaruhi kehidupan
manusia baik secara material dan non-material (Nandy et al., 2011). Salah satu upaya nyata untuk
menekan dan menghindari laju deforestasi adalah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan yang dimaksud harus tepat konsep, program dan sasaran. Untuk itu,
perencanaan kegiatan yang dimaksud harus cermat dengan mendasarkan pada karakteristik lahan pada
suatu wilayah aliran sungai atau DAS.
Data tentang lahan terdegradasi yang akurat baik spasial maupun non-spasial sangat diperlukan
untuk proses perencanaan. Data penginderaan jauh dan SIG dapat dikombinasikan untuk memperoleh
informasi kondisi lahan yang dimaksud. Keuntungan dari penggunaan data penginderaan jauh yakni
objek dapat diidentifikasi tanpa kontak langsung, tingginya tingkat keakuratan perekaman suatu data,
informasi yang diperoleh dapat secara temporal sehingga dapat memberikan informasi secara berkala.
Berkaitan dengan kondisi lahan yang terdegradasi, lahan-lahan yang dimaksud dapat dipetakan dan
diidentifikasi dengan data penginderaan jauh. Algorithm-algorithm khusus dapat digunakan, seperti
NDVI dan EVI (Higgibottom et al., 2014; Tagore et al., 2011). Kondisi alampun dapat dimodelkan
dengan menggunakan perangkat SIG (Bonham-Carter, 1994). Untuk itu, pemanfaatan data
penginderaan dan pengolahan dengan perangkat SIG diharapkan data memperoleh data dengan tingkat
keakuratan tinggi.
- 102 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk menentukan klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi
lahan dengan menggunakan data penginderaan jauh dan SIG, serta untuk merencanakan tindakan
rehabilitasi hutan dan lahan yang sesuai dengan kondisi lahannya
2. METODE
2.1. Data
Data utama yang digunakan dala penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
2.2. Metode
2.2.1. Penentuan Klasifikasi DAS Mentaya Berdasarkan Kondisi Lahan
Parameter yang digunakan untuk penentuan klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi lahan,
meliputi: kondisi kekritisan lahan, kondisi penutupan lahan, informasi pengelolaan lahan.
- 103 -
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data
PenginderaanJauh Dan SIG (Rusdiyatmoko A)
dari Citra Landsat, metode yang digunakan untuk klasifikasi adalah klasifikasi terselia dengan
menggunakan software Ermapper dan diolah secara digital dengan ArcGIS. Hasil olahan menghasilkan
data penutupan lahan tentatifyang selanjutnya dilakukan proses pengecekan lapangan. Penutupan lahan
yang digunakan untuk klasifikasi DAS ini menekankan pada luasan tutupan vegetasi dan tidak
bervegetasi. Langka awal klasifikasi lahan pada penelitian ini adalah penentuan 5 (lima) kelas utama,
yaitu: vegetasi, tubuh perairan, lahan terbuka, awan, dan penggunaan lahan lainnya. Salah satu manfaat
informasi penutupan lahan adalahuntuk identifikasi awal tingkat kekritisan lahan suatu wilayah.
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu algoritma penginderaan jauh
yang dimanfaatkan untuk mengetahui tingkat dan distribusi indeks vegetasi suatu wilayah. Indeks ini
merupakan rasio spectral merah dan infra merah. Untuk itu, citra penginderaan jauh yang digunakan
untuk ekstrasi informasi NDVI adalah citra yang mempunyai kanal spectral merah dan infra merah
dekat. Salah satu citra yang dapat digunakan adalah Landsat 8 OLI. Citra ini mempunyai karakteristik
spectral yang lebih sempit baik pada gelombang merah maupun infra merah dekat sehingga NDVI hasil
turunannya termasuk cukup signifikan untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi (Xu and Gue, 2014;
Rusdiyatmoko, 2013)
Band yang digunakan adalah band infra merah dan infra merah dekat dengan algorithma sebagai
berikut:
Tabel 2.1. Penentuan Nilai Setiap Parameter berdasarkan Skoring dan Pembobotan Factor Kondisi
Lahan
- 104 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Penentuan klasifikasi DAS berdasarkan kondisi lahan menggunakan formula aritmatika berikut ini:
Total Nilai= Nilai faktor persentase lahan kritis+Nilai factor persentase Penutup lahan
bervegetasi+Nilai factor persentase informasi.
Dari hasil perhitungan factor-faktor penyusun kondisi lahan di atas, diperoleh total nilai. Total nilai
hasil perhitungan tersebut kemudian dikelaskan sesuai dengan Tabel 2.2.
3. HASIL PEMBAHASAN
3.1. Penentuan Klasifikasi DAS Berdasarkan Kondisi Lahan
3.1.1. Tingkat Kekritisan Lahan
Informasi tingkat kekritisan lahan disajikan secara spasial pada Gambar 3.1. di bawah ini. Secara
tabular, data disajikan pada Tabel 3.1.
Tingkat
Luasan
Kekritisan
No Lahan Ha %
1 Agak Kritis 557.024,39 38,21
2 Kritis 550.113,96 37,74
3 Potensial Kritis 261.065,90 17,91
4 Sangat Kritis 49.225,78 3,38
5 Tidak Kritis 40.247,96 2,76
Jumlah 1.457.677,99 100,00
Kondisi tingkat kekritisan lahan DAS Mentaya didominasi oleh tingkat kekritisan agak kritis (38,21%)
dan kritis (37,74%). Hal ini mengindikasikan bahwa DAS Mentaya memerlukan pengelolaan khusus
untuk mengendalikan tingkat kekritisannya. Penyebaran tingkat kekritisan lahan DAS Mentaya
- 105 -
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data
PenginderaanJauh Dan SIG (Rusdiyatmoko A)
melingkupipada bagian tengah dan hilir DAS. Berkaitan dengan penentuan klasifikasi DAS, kondisi
lahan sangat dipengaruhi oleh luasan lahanpada kategori kritis dan sangat kritis dalam suatu DAS. Hasil
pengolahan dan analisis menunjukkan baha kondisi lahan kekritisan lahan DAS Mentaya tergolong luas
yaitu mencapai 599.267,66 ha (40,82%). Hal ini sebagai indikator bahwa tingkat pemulihan DAS
memerlukan usaha yang cukup tinggi. Lahan kritis yang dibiarkan tidak ditanggulangi menyebabkan
lahan menjadi lahan marginal yang mengakibatkan lahan menjadi tidak berproduktif dan tidak bernilai
secara ekonomis (FAO, 1998; Thomas et al., 2012). Untuk itu, luas lahan yang mencapai 599.267,66 ha
harus ditangani dengan memperhatikan kemampuan lahan dan diolah sesuai dengan nilai kesesuaian
lahannya.
Gambar 3.2. Informasi Spasial tingkat Gambar 3.3. Informasi Spasial Penutupan
kerapatan vegetasi Lahan
- 106 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Luasan
No Jenis Penutupan Lahan
Ha %
1 Hutan 234.043,98 15,94
2 Hutan Rawa 111.886,95 7,62
3 Hutan Tanaman 560,62 0,04
4 Lahan Terbuka 29.937,54 2,04
5 Perkebunan 445.212,38 30,32
6 Permukiman 30.794,51 2,10
7 Pertambangan 16.514,45 1,12
8 Lahan Pertanian 91.061,69 6,20
9 Rawa 58.619,94 3,99
10 Semak Belukar 439.047,91 29,90
11 Tubuh Air - Danau 10.502,00 0,72
Grand Total 1.468.181,97 100,00
Klasifikasi penutupan lahan di DAS Mentaya pada tahap pertama dibedakan 5 (lima) kelas utama
penutupan lahan, yaitu: lahan bervegetasi, lahan terbuka, penutup lahan lainnya (lahan terbangun), awan
dan tubuh perairan. Dari hasil interpretasi digital tersebut, kelas tutupan vegetasi dibedakan menjadi
hutan dan non hutan. Selanjutnya, hutan didetailkan menjadi hutan, hutan rawa dan hutan tanaman. Non
hutan terbagi dalam perkebunan, lahan pertanian, semak belukar. Sedangkan lahan terbuka dibedakan
menjadi lahan terbuka dan kawasan pertambangan. Jenis penutupan lahan didominasi oleh perkebunan
(30,32%) dan semak belukar (29,90%). Hal tersebut mengindikasikanadanya alih fungsi lahan dari
hutan menjadi bukan hutan dengan luasan yang sangat tinggi. Luasan perkebunan mencerminkanlahan
dimanfaatkan secara intensif. Luasan perkebunan dengan jenis tanaman berupa sawit ini menyisakan
hutan seluas2.340.43,98 ha, Hutan rawa 111.886,95 ha dan hutan tanaman hanya 560,62 ha. Lahan yang
tidak terolah dengan baik menyebabkan lahan dalam kondis terlantar. Lahan-lahan terlantar yang tidak
tergarap dengan baik ditumbuhi oleh semak belukar. Luasan semak belukar mencapai 4.390.47,91 ha.
Adapun hasil intepretasi dengan uji lapangan menghasilkan tingkat keakurasian mencapai 73 %.
Penilaian pengelolaan lahan ini menghasilkan nilai tertimbang sebesar 0,147. Sesuai dengan kriteria
tingkat pemulihannya termasuk pemulihan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan di
DAS Mentaya diolah tanpa menggunakan kaidah konservasi yang tepat dan cenderung dibiarkan.
Tutupan vegetasi berkaitan erat dengan proses erosi (Ries, 2010). Penutupan lahan berupa hutan dengan
- 107 -
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data
PenginderaanJauh Dan SIG (Rusdiyatmoko A)
kondisi seresah menyebabkan nilai pengelolaan lahan sangat rendah. Hal ini mengindikasikan
kurangnya pengelolaan walaupun dari segi konservasi dapat menghambat terjadinya erosi percik. Energi
curah hujan sebelum mencapai permukaan tanah dihalangi oleh seresah dan kanopi sehingga erosi
percik terhambat. Nilai pengelolaan lahan tanpa memperhatikan konsep konservasi dapat dijumpai di
beberapa lokasi. Nilai pengelolaan lahannya sangat tinggi yaitu mencapai 1 (satu). Hal ini sebagai
indikasi jika terjadi pengolahan lahan yang sangat ekstensif di kawasan terbangun seperti permukiman.
Penutupan lahan jenis ini mempengaruhi kondisi DAS dalam haltingginya nilai limpasan permukaan
dan sedimentasi. Sistem pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air
mempengaruhi nilai pengelolaannya. Hasil pengamatan menunjukkan nilai pengolahan lahan 0,1 dan
0,7. Di beberapa lokasi dijumpai lahan yang tidak dikelola dengan baik sehingga ditumbuhi semak
belukar. Adanya semak belukar menunjukkan pengolahan lahan sangat kecil.
- 108 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Pendekatan zona ekosistem dapat digunakan sebagai masukan untuk jenis kegiatan rehabilitasi hutan
dan lahan. Dalam penelitian ini,zona ekosistem di DAS Mentaya berdasarkan kondisi pembentuk tanah
terbagi dalam ekosistem tanah mineral, ekosistem rawa gambut, dan ekosistem pesisir. Sistem
pengelolaan setiap ekosistem tersebut pun berbeda. Pengelolaan lahan di rawa-gambut untuk skala
explorasi pada penelitian ini didasarkan pada tingkat kekritisan gambut, kematangan, dan ketebalan
gambut (Rusdiyatmoko, 2014; Suryanto & Rusdiyatmoko, 2011). Jenis kegiatan yang dapat
direncanakan meliputi kegiatan reboisasi gambut dalam dan penghijauan gambut dalam.
Program utama kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yakni kegiatan vegetatif dan sipil teknis.
Kegiatan vegetatif yang direncanakan terbagi 2 (dua) kegiatan utama, yaitu: reboisasi dan penghijauan
lingkungan. Adapun detail kegiatan, meliputi: hutan rakyat, hutan rakyat gambut dalam, penghijauan
lingkungan, penghijauan lingkungan gambut dalam, reboisasi dan reboisasi gambut dalam. Informasi
kegiatan rehabilitasi tersebut disajikan pada Gambar 3.4.
Prioritas penanganan lahan di DAS Mentaya ini didasarkan pada kondisi lahan kritis, yaitu: prioritas
1 dan 2. Prioritas 1 merupakan area dengan kondisi kondisi lahan marginal atau kondisi sangat kritis dan
kritis. Pola kegiatan untuk area prioritas I adalah reboisasi dan reboisasi gambut dalam. Untuk kegiatan
reboisasi gambut dalam, data yang harus diperhatikan adalah data ketebalan gambut. Distribusi spasial
gambut tebal di DAS Mentaya ada dibagian timur dengan kondisi ketebalan lebih dari 3 meter. Data lain
yang untuk mendukung perencanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di ekosistem rawa gambut
adalah data kematangan gambut. Kematangan gambut berkaitan dengan kandungan organic, kondisi
batas cair, dan drainase pada suatu lahan. Gambut yang masih mentah dengan kondisi tebal memerlukan
penanganan khusus. Kegiatan rehabilitasi di kawasan gambut ini selain memperhatikan kondisi
ketebalan dan kematangan gambut harus memperhatikan kondisi hidrologi gambut. Kondisi lahan
bergambut harus dalam keadaan basah. Prinsip utama pengelolaan hidrologi di lahan gambut adalah
mempertahankan kondisi tinggi muka air. Pemilihan tanaman untuk kegiatan vegetative disesuaikan
kondisi lahan. Tanaman lokal merupakan pilihan utama dengan sistem pengayaan ataupun penanaman.
Gambar 3.4. a. Jenis Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan metode vegetative di DAS Mentaya
b. Prioritas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan metode vegetative di DAS Mentaya
Kegiatan sipil teknis termasuk salah satu jenis kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dapat
direkomendasikan untuk memulihkan DAS Mentaya. Kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain
pembuatan teras datas, dam penahan, teras gulud, teras individu, gully plug, dam pengendali, tabat-
gundukan, dan biopori-sumur resapan. Bangunan teras diprioritaskan untuk dibangun pada daerah dengan
ekosistem tanah mineral dan berlereng. Tabat direkomendasikan dibangun pada lahan dengan ekosistem
gambut. Fungsi utama tabat ini adalah mempertahankan muka air gambut. Kondisi gambut yang basah
harus dipertahankan dalam pengelolaan lahan gambut ini. Untuk itu, sistem tokongan atau gundukan
dapat digunakan dalam rangka penanaman pada daerah tergenang. Secara spasial, kegiatan sipil teknis
dalam rangka kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan disajikan pada Gambar 3.5.
- 109 -
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data
PenginderaanJauh Dan SIG (Rusdiyatmoko A)
4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain:
1. Kondisi kekritisan lahan untuk penilaian kualifikasi DAS Mentaya mencapai 599.339,74 ha (41,12
%). Kondisi kekritisan lahan yang diperhitungkan adalah informasi luasan lahan sangat kritis dan
kritis. Kualifikasi DAS untuk parameter lahan dikategorikan sangat tinggi karena luasan lahan
kritis lebih dari 20%.
2. Kondisi penggunaan lahan di DAS Mentaya hasil pengolahan Landsat 8 menunjukkan sebagian
besar jenis penutupan lahan adalah Perkebunan dan semak belukar. Dari hasi perhitungan indeks
penutupan lahan diperoleh informasi luasan penutupan lahan 53.92% yang terdiri dari penutupan
lahan jenis hutan dan perkebunan.
3. Hasil identifikasi pengelolaan lahan di DAS Mentaya tergolong masih rendah.
4. Hasil pengolahan data dengan SIG menunjukkan bahwa DAS Mentaya dikategorikan DAS yang
dipulihkan. Permasalahan utama yang dihadapi dalam upaya pemulihan DAS adalah tingkat
kekritisan lahan tergolong tinggi sehingga diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan.
5. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan secara vegetatif dan sipil teknis dengan program
kegiatan, yaitu: reboisasi, hutan rakyat dan penghijauan lingkungan, pembuatan tabat dan
gundukan pada ekosistem bergambut, dam pengendali, sumur resapan dan biopori pada ekosistem
daratan/tanah mineral. Target kegiatan RHL dibagi 2 (dua) prioritas, yaitu: prioritas I untuk lahan
dengan kondisi lahan sangat kritis dan kritis dan prioritas II ditargetkan untuk wilayah dengan
kondisi lahan agak kritis.
6. Data penginderaan jauh sangat membantu untuk analisis klasifikasi DAS terutama untuk informasi
kondisi lahan pada parameter yang terkait dengan tutupan lahan yaitu data utama penyusun tingkat
kekritisan lahan, data utama luasan vegetasi yang terdapat di DAS, dan membantu analisis tingkat
pengelolaan lahan di suatu DAS. NDVI dapat digunakan sebagai algorithma untuk membantu
analisis penutupan lahan.
- 110 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
DAFTAR PUSTAKA
Carter, B. (1994). Geographic Information System for Geoscientists, Modelling with GIS. Pergamon. Ontario.
Higginbottom, Thomas, P., dan Elias, S. (2014). Review Assesing Land Degradation and Desertification Using
Vegetation Index Data: Current Frameworks and Future Directions. Remote Sensing, 6:9552-9575.
Kusnama (2008) Batubara Formasi Warukin di Daerah Sampit dan Sekitarnya. Kalimantan Tengah. Jurnal Geologi
Indonesia. 3(1):11 -22.
Lal, R. (1996). Deforestation and Land-Use Effects on Soil Degradation and Rehabilitation in Western Nigeria.II.
Soil Chemical Properties. Land Degradation & Development, 7:87 98.
Nandy, S., Kushwaha, S.P.S., dan Dadhwal, V.K. (2011). Forest degradation assessment in the Upper Catchment of
The River Tonsi using Remote Sensing and GIS. Ecological Indicators. 11:509 513.
Ani, N. (2008). Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan Kemanakah Arahnya Setelah Lebih Dari Tiga Dasawarsa?.
CIFOR. Bogor.
Ries, J.B. (2010). Methodologies for Soil Erosion and Land Degradation Assessment in Mediterranean-Type
Ecosystems. Land Degradation Development, 21:171- 187.
Rusdiyatmoko, A. (2013). Incorporating Landslide Susceptiblity in Land Rehabilitation (A Case Study: in Middle
Part of Kodil Watershed, Central Java, Indonesia). Thesis Double Degree M.Sc Programme Gadjah Mada
University and Faculty of Geo-Information Science and Earth Observation University of Twente Netherlands.
Suryanta, G., dan Rusdiyatmoko, A. (2010). A quick-Assessment Model for Peat Swamp Forest Rehabilitation
Using SPOT 4 IMAGE. Proceeding PIT MAPIN XVII.
Xu, D., dan Guo, X. (2014). Compare NDVI extracted from Landsat 8 imagery with that landsat 7 imagery.
American Journal of Remote Sensing, 2(2):10-14.
Tagore, G.S. (2012). Mapping of Degraded Lands Using Remote Sensing and GIS Techniques, Journal of
Agriculutral Physics, 12(1):29-36.
Thomas, E.L., dan Luiz, J.C. (2012). Soil Loss, Soil Degradation and Rehabilitation in a Degraded Area in
Guarapuava (Brazil). Land Degradation & Development, 23:72 81.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Jawaban:
Penelitian ini mengacu pada PP No.60 tahun 2012, Juknis untuk menilai klasifikasi kerusakan DAS dengan
menggunakan parameter fisik, hidrologi dan manajemen lahan. Dan untuk mengenai judul bisa dipertimbangkan
lagi. Saya tidak menyebut PP No 60 tahun 2012 namun saya menjawab dengan mengacu P.60 Tahun 2014 .. P
yang dimaksud adalah permenhut jika ditulis adalah sebagai berikut P. 60 /Menhut-II/2014.
Jawaban:
Luas DAS yang dianalisis sangat besar sehingga penggunaan data Landsat 8 sangat cocok digunakan karena
coverage area-nya yang luas. Output yang dihasilkan dalam penelitian ini juga masih dalam skala makro, bukan
detail. Untuk rencana pengelolaan teknis, nantinya akan menggunakan data yang lebih rinci dari yang digunakan
saat ini. Nantinya untuk penelitian lebih rinci akan menggunakan citra yang beresolusi lebih tinggi seperti SPOT dan
yang lainnya.
- 111 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
ABSTRAK-Pemetaan tutupan lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) perlu dilakukan secara berkelanjutan sejalan
dengan pembangunan wilayah yang menyebabkan perubahan tutupan lahan yang cepat. Perubahan tutupan lahan
tersebut diharapkan tetap mempertahankan ketersediaan ruang hijau di suatu daerah. Pada penelitian ini dilakukan
klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra Landsat 8 dengan kombinasi beberapa indeks yaitu Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water Index (NDWI), Normalized Difference Build-up Index (NDBI)
dan Normalized Difference Bareness Index (NDBaI) dengan studi kasus wilayah DKI Jakarta. Citra indeks tersebut
digunakan untuk metode cepat klasifikasi tutupan vegetasi, badan air, lahan terbangun dan tanah terbuka. Kemudian
untuk klasifikasi ruang terbuka hijau (RTH), dilakukan reklasifikasi menjadi kelas RTH dan bukan RTH, dimana RTH
meliputi daerah bervegetasi dan tanah terbuka yang masih berpotensi untuk ditumbuhi tanaman. Akurasi hasil
klasifikasi RTH berdasarkan kombinasi indeks diuji dengan referensi data resolusi tinggi yaitu citra Pleiades dan
diperoleh akurasi sebesar 80.90%.
ABSTRACT-Mapping of land cover and green open space (RTH) should be carried out continuously in line with
regional development that led to a land cover change. Land cover change had to preserve the availability of green
space in an area. In this research, land cover classification using Landsat 8 with a combination of several indices that
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water Index (NDWI), Normalized Difference
Build-up Index (NDBI) and Normalized Difference Bareness Index (NDBaI) with the case study areas of DKI Jakarta.
The index image is used for fast method of classification of vegetation cover, water bodies, built area and bare land.
Then the reclassification into class of RTH and not RTH, which the RTH covers an area of vegetated and bare land that
still has the potential to overgrown plants. The accuracy of classification based on a combination of indices tested with
the reference high-resolution data that is the image of the Pleiades and obtained an accuracy of 80.90%.
Keywords: Land cover, green open space, NDVI, NDWI, NDBI, NDBaI, Landsat 8
1. PENDAHULUAN
Pemetaan tutupan lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) perlu dilakukan secara berkelanjutan sejalan
dengan pembangunan wilayah yang menyebabkan perubahan tutupan lahan yang cepat. Perubahan tutupan
lahan tersebut diharapkan tetap mempertahankan ketersediaan ruang hijau di suatu daerah. Berdasarkan
PerMen PU No. 05/PRT/M/2008, Ruang Terbuka Hijau didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Departemen Pekerjaan Umum, 2008).
Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk pemetaan tutupan lahan dan ruang terbuka hijau
merupakan salah satu cara yang memberikan banyak keunggulan dibandingkan dengan pengamatan langsung
di lapangan. Metode yang telah banyak digunakan khususnya untuk pemetaan RTH dari data satelit adalah
dengan klasifikasi visual ataupenggunaan citra indeks vegetasi. Penelitian pemetaan RTH menggunakan
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dari data Landsat 8 diantaranya telah dilakukan oleh
Febrianti & Sofan (2014) dan menggunakan NDVI dari data SPOT 6 oleh Febrianti et al. (2015).
Dalam penelitian ini akan dilakukan klasifikasi tutupan lahan menggunakan kombinasi beberapa indeks
yaitu NDVI, NDWI, DDBI dan NDBaI dari data Landsat 8. NDVI pada dasarnya digunakan untuk
mengukur pertumbuhan tanaman dan untuk menentukan daerah yang ditutupi oleh vegetasi. Dalam
perhitungan NDVI digunakan panjang gelombang cahaya tampak merah dan inframerah dekat. Dasar
perhitungan tersebut adalah pigmen dalam daun atau klorofil sangat menyerap cahaya tampak (0,4 0,7 m)
dalam proses fotosintesis, sementara itu struktur sel daun sangat memantulkan cahaya inframerah dekat
(0,7-1.1 m). Semakin banyak daun pada tanaman maka akan semakin mempengaruhi pantulan atau
- 112 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
penyerapan pada panjang gelombang tersebut (NASA, 2015). Normalized Difference Water Index (NDWI)
merupakan salah satu indeks vegetasi untuk mengukur molekul air pada vegetasi yang berinteraksi dengan
radiasi matahari yang masuk. Chen et al. (2006) menggunakan NDWI sebagai salah satu indeks untuk
mengetahui karakteristik tutupan lahan di suatu wilayah. Di samping itu Senanayake et al. (2013) juga
menggunakan NDWI dalam analisis tutupan lahan bervegetasi untuk pemisahan objek air dan awan. Nilai
indeks NDWI besar atau meningkat pada vegetasi yang memiliki kandungan air, atau indeks meningkat dari
objek tanah kering hingga ke air terbuka (Molidena et al., 2012). Zha et al. (2003) membangun Normalized
Difference Built-up Index (NDBI) untuk mengidentifikasi dengan cepat daerah perkotaan dan daerah
terbangun. Pembuatan indeks didasarkan pada respon spektral yang unik pada lahan terbangun dimana
memiliki reflektansi yang tinggi pada panjang gelombang inframerah pendek (SWIR) dibandingkan pada
panjang gelombang inframerah dekat (NIR). Zhao & Chen (2005) membangun indeks Normalized
Difference Bareness Index (NDBaI) untuk mengkelaskan lahan bera atau lahan terbuka dari citra Landsat.
NDBaI cukup sensitif untuk membedakan lahan bera, lahan semi bera dan lahan yang dibudidayakan. Kanal
yang digunakan adalah kanal inframerah pendek (SWIR) dan inframerah thermal (TIR).
Penggabungan citra indeks tersebut diharapkan dapat membantu dalam klasifikasi untuk beberapa kelas
tutupan lahan. Berdasarkan definisi RTH, maka RTH bukan saja daerah bervegetasi namun juga meliputi
lahan terbuka yang masih dapat ditanami vegetasi. Sehingga dalam penelitian ini, akan dilakukan
pengkelasan RTH yang meliputi daerah bervegetasi juga lahan/tanah terbuka yang masih berpotensi untuk
ditanami. Hasil klasifikasi tersebut akan diverifikasi menggunakan referensi data satelit resolusi tinggi yaitu
Pleiades untuk mengetahui tingkat akurasinya.
2. METODE
Lokasi penelitian adalah wilayah Provinsi DKI Jakarta. Data yang digunakan terdiri dari data satelit
Landsat 8 sensor OLI dan TIRS Level 1T path/raw 122/064 tanggal 25 Agustus 2013 dan 13 September
2014, serta data satelit Pleiades tanggal 12 Juli 2013. Gambar 1 memperlihatkan citra Landsat 8 untuk
wilayah Jakarta dan citra Pleiades untuk sebagian wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Data yang
digunakan sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik. Dari koreksi radiometrik diperoleh data dengan nilai
reflektansi Top of Atmosphere (ToA).
Untuk klasifikasi tutupan lahan pada data Landsat 8 digunakan indeks NDVI, NDWI, NDBI dan NDBaI.
Rumus perhitungan NDVI secara matematik ditulis sebagai berikut (Purevdorj et al,1998; NASA, 2015):
NDVI = NIR-RED/NIR+RED..............................................................................................................(1)
Rumus untuk NDWI yakni sebagai berikut (Gao, 1996; Chen at al., 2006):
NDWI = NIR-SWIR/NIR+SWIR ......................................................... ...............................................(2)
Rumus untuk NDBI yakni sebagai berikut (Zha et al., 2003; Xu 2007):
NDBI = SWIR-NIR/SWIR+NIR .........................................................................................................(3)
Rumus untuk NDBaI yakni sebagai berikut (Zhao & Chen, 2005; Chen et al., 2006):
NDBaI = dSWIR-dTIR/dSWIR+dTIR .......................................................................................................... (4)
- 113 -
Klasifikasi TutupanLahan dan Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Kombinasi Indeks dari Data Landsat 8 (StudiKasus: DKI
Jakarta) (Sulma, S., et al.)
- 114 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Ketika menerapkan beberapa indeks untuk klasifikasi tutupan lahan terdapat beberapa permasalahan
dalam penentuan threshold, karena masih terdapat percampuran objek dalam setiap indeks, misalnya dalam
indeks NDWI masih ada sedikit percampuran antara objek air dan vegetasi. Untuk memecahkan
permasalahan tersebut, terlebih dahulu dilakukan analisis spektral setiap band pada setiap objek pada training
area yang telah ditentukan sebelumnya. Pada Gambar 3 dapat dilihat pola spektral masing-masing objek
(training sample) di daerah kajian pada Band 1-Band 7 dan Band9 - Band 11 citra Landsat 8 LDCM.
Sedangkan Tabel 1 menunjukkan nilai indeks pada setiap kelas tutupanlahan berdasarkan training sampel.
Pada pola spektral objek vegetasi terlihat pola khas yang membedakan dengan objek lainnya yaitu pada Band
4, Band 6 mempunyai pantulan atau spektral yang kecil sedangkan pada Band 5 memiliki pantulan yang
tinggi. Objek air memiliki pantulan yang khas pada Band 4, Band 5 dan Band 6 dimana pada Band 4 nilai
spektral tinggi sedangkan pada Band 5 dan Band 6 semakin kecil karena terserap oleh air.
- 115 -
Klasifikasi TutupanLahan dan Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Kombinasi Indeks dari Data Landsat 8 (StudiKasus: DKI
Jakarta) (Sulma, S., et al.)
35000
30000
25000
Digital Number
20000 tanah terbuka
air
10000
vegetasi
5000
0
Band1 Band2 Band3 Band4 Band5 Band6 Band7 Band9 Band10Band11
Setelah diperoleh pola spektral masing-masing objek, digunakan operasi logic (Boolean operator)
berdasarkan band spektral yang digabungkan dengan citra hasil indeks. Metode ini juga telah diterapkan oleh
Chen et al. (2006). Sebagai contoh, sesuai pola spektral (Gambar 3) dan threshold indeks (Tabel 1) untuk
pemisahan objek vegetasi digunakan kombinasi operasi (Band 5 Band 4)>0, (Band 5 band 6)>0 dan
(0,33>NDVI>0.77), karena hanya vegetasi yang memiliki nilai spektral (Band 5 Band 4)>0, (Band 5
band 6)>0. Kemudian untuk untuk objek air digunakan kombinasi operasi (Band 4 Band 5)>0, (Band 5
Band 6)>0 dan (0.08>NDWI>0.7). Untuk kelas lahan terbangun dan tanah terbuka digunakan kombinasi
antara indeks NDBI dan NDBaI karena ketika menerapkan kombinasi spektral tiap band tidak terbentuk
kelas yang berbeda secara signifikan, namun ketika menggabungkan antara indeks NDBI dan NDBaI
khususnya untuk kelas tanah terbuka terbentuk kelas yang lebih tepat. Untuk kelas tanah terbuka digunakan
operasi (-0.02>NDBI>0.04) dan (-0.37>NDBaI>-0.3), sedangkan untuk lahan terbangun digunakan threshold
(-0.18>NDBI>0.3).
Tabel 1. Nilai indeks pada setiap kelas tutupan lahan berdasarkan training sample
Jumlah Piksel NDVI NDWI
Kelas
Sample Min Max Mean Min Max Mean
Vegetasi 119 0.33 0.77 0.54 -0.04 0.44 0.26
Badan Air 151 -0.40 0.11 -0.33 0.08 0.70 0.49
Lahan terbangun
107 0.05 0.29 0.11 -0.30 0.18 -0.22
(bangunan)
Tanah terbuka 31 0.11 0.33 0.21 -0.04 0.02 0.02
Jumlah Piksel NDBI NDBaI
Kelas
Sample Min Max Mean Min Max Mean
Vegetasi 119 -0.44 0.04 -0.26 -0.49 -0.25 -0.40
Badan Air 151 -0.7 -0.08 -0.49 -0.67 -0.60 -0.67
Lahan terbangun
107 -0.18 0.30 0.22 -0.51 0.00 -0.28
(bangunan)
Tanah terbuka 31 -0.02 0.04 -0.02 -0.37 -0.30 -0.33
Gambar 4 memperlihatkan kelas tutupan lahan berdasarkan kombinasi band dan threshold citra indeks.
Sedangkan Gambar 5 menunjukkan gabungan dari semua kelas pada citra tanggal 13 September 2013 dan 25
Agustus 2014. Hasil klasifikasi tutupan lahan ini kemudian direklasifikasi untuk mendapatkan kelas RTH
dan non RTH dan diuji akurasi menggunakan acuan data Pleiades.
- 116 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Gambar 4 . Kelas tutupan lahan berdasarkan threshold citra indeks dan kombinasi band
Gambar 5. Tutupan Lahan wilayah DKI Jakarta dari citra Landsat 8 tanggal 13 September 2013 dan 25 Agustus 2014
Perhitungan akurasi dilakukan terhadap hasil klasifikasi RTH dari citra Landsat tanggal 25 September
2013. Adapun kelas RTH yang digunakan merupakan gabungan dari kelas vegetasi dan kelas tanah terbuka,
sehingga dari klasifikasi tutupan lahan yang terdiri dari 4 kelas (vegetasi, tanah terbuka, lahan terbangun dan
air) dilakukan reklasifikasi menjadi 2 kelas (RTH dan non RTH).
Perhitungan akurasi dilakukan dengan menumpangsusunkan kelas RTH dari beberapa indeks tersebut
dengan hasil klasifikasi RTH dari data Pleiades pada enam Area of Interest (AoI) menggunakan proses
union, kemudian dikelaskan daerah yang beririsan (corrected), daerah yang masuk kelas lain (omission) dan
daerah tambahan dari kelas lain (commission). Hasil akurasi yang diperoleh pada beberapa keenam AoI
adalah sebesar 80.90 %. Tabel 2 memperlihatkan hasil perhitungan akurasi untuk setiap AoI dan keseluruhan
AoI. Secara umum di setiap AoI terdapat omission error yang lebih tinggi dibandingkan commision error,
artinya masing ada beberapa wilayah yang tidak terkelaskan sebagai RTH berdasarkan kombinasi citra
indeks tersebut.
- 117 -
Klasifikasi TutupanLahan dan Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Kombinasi Indeks dari Data Landsat 8 (StudiKasus: DKI
Jakarta) (Sulma, S., et al.)
Setelah dilakukan verifikasi citra tutupan lahan pada data tanggal 13 September 2013 menggunakan data
Pleiades 12 Juli 2013 kemudian dilakukan penerapan threshold atau rule setpada data tanggal 25 Agustus
2014, namun masih diperlukan verifikasi lebih lanjut untuk hasil penerapan pada data tahun lainnya. Citra
tutupan lahan tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 5. Dari tutupan lahan tahun 2013 dan 2014 terlihat ada
perubahan terutama adanya pengurangan vegetasi dan penambahan lahan terbangun. Adapun luas masing-
masing tutupan lahan tersebut dan perubahannya dapat dilihat pad Tabel 3.
4. KESIMPULAN
Kombinasi indeks NDVI, NDWI, NDBI dan NDBaI memberikan hasil yang cukup baik pada klasifikasi
tutupan lahan dan ruang terbuka hijau dengan tingkat akurasi sebesar 80,90 %. Namun perlu pengujian lebih
lanjut untuk lokasi penelitian dan waktu data yang berbeda.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN dan Kepala
Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini, serta Kepala
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN yang telah menyediakan data Landsat 8 dan Pleiades.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, Z.M., Babiker, I.S., Chen, Z.X., Komaki, K., Mohamed, M.A.A., dan Kato, K. (2004). Estimation of interannual
variation in productivity of global vegetation using NDVI data. International Journal of Remote Sensing,
25(16):31393150.
Chen, X.L., Zhao, H.M., Li, P.X., dan Yin, Z.Y. (2006). Remote Sensing Image-based Analysis of the Relationship
Between Urban Heat Island and Land use/cover changes. Remote Sensing of Environment 104: 133-146.
Departemen Pekerjaan Umum (2008) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Jakarta.
Febrianti, N., dan Parwati, S. (2014). Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta Berdasarkan Analisis Spasial dan Spektral
Data Landsat 8. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh
Febrianti, N., Pasaribu, J.M., dan Sulma, S. (2015). Analisis Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta Menggunakan Data
SPOT 6. Prosiding PIT MAPIN
Gao, B. (1996). NDWI-A Normalized Difference Water Index for Remote Sensing of Vegetation Liquid Water From
Space. Remote Sensing Environment. 58:257-266.
Molidena, E., dan As-syakur, A.R. (2012). Karakteristik Pola Spektral Vegetasi Hutan dan Tanaman Industri
berdasarkan Data Penginderaan Jauh. Prosiding PIT MAPIN XIX.
NASA (2015) Measuring Vegetation (NDVI & EVI). Cited in http://earthobservatory.nasa.gov/Features/Measuring
Vegetation/measuring_vegetation_2.php [23 Maret 2015]
- 118 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Purevdorj, T.S., Tateishi, R., Ishiyama, T., dan Honda, Y. (1998). Relationshipsbetween Percent Vegetation Cover and
Vegetation Indices. InternationalJournal of Remote Sensing, 19(18):35193535
Purwanto, A.D., Asriningrum, W., Winarso, G., dan Parwati, E. (2014). Analisis Sebaran dan Kerapatan Mangrove
Menggunakan Citra Landsat 8 di Segara Anakan, Cilacap. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh.
Senanayake, I.P., Welivitiya, W.D.D.P., dan Nadeeka, P.M. (2013). Remote sensing based analysis of urban heat
islands with vegetation cover in Colombo city, Sri Lanka using Landsat-7 ETM+ data. Urban Climate 5:19-35.
Xu, H. (2007). Extraction of Urban Built-up Land Features from Landsat Imagery Using a Thematic oriented Index
Combination Technique. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 73(12):1361-1391.
Zhao, H.M., dan Chen, X.L. (2005). Use of normalized difference bareness index in quickly mapping bare areas from
TM/ETM+. Geoscience and Remote Sensing Symposium, 3(2529):16661668.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015
Jawaban:
Kriteria RTH yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua bentuk vegetasi dan ruang terbuka yang masih bisa
ditanami oleh tanaman, walaupun definisi dari vegetasi masih ada batasan-batasan lainya seperti RTH yang meliputi
ruang public tapi untuk makalah ini hanya membahas vegetasi lahan terbuka
Jawaban:
Terimakasih atas masukan dan saran dari Pak Mahdi dan akan bisa bermanfaat untuk penelitian-penelitian lebih lanjut.
- 119 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
ORAL PRESENTATION
ABSTRAK-Retrival citra merupakan salah satu implementasi dari pengelompokan fuzzy untuk memanggil citra
berdasarkan citra inputan. Tulisan ini menganalisis performa dari empat (4) metode pengelompokan pemanggilan citra
danau berdasarkan citra google - earth. Tujuan dari sistem adalah untuk memanggil citra dengan berbagai kondisi citra
danau menggunakan citra google-earth dan mendapatkan informasi tentang danau berdasarkan hasil keluaran system.
Tulisan ini akan membandingkan empat (4) metode klaster fuzzy yaitu Fuzzy C-Means (FCM), Fuzzy K-Means (FKM),
Fuzzy C Shell (FCS), Fuzzy Possibilistic C - Means (FPCM). Parameter perbandingan antara lain kecepatan dalam
melakukan pemanggilan citra, kevalidan hasil, dan ketepatan hasil retrival. Analisis dari performa sistem telah diuji
dengan membandingan citra inputan dengan citra keluaran yang terdiri dari citra inputan dan berbagai jenis dari citra
acuan yang ada. Kunci dari retrival citra danau adalah ekstraksi fitur. Perbandingan metode klaster menggunakan dua
fitur ekstraksi yaitu fitur tekstur menggunakan metode signal processing menggunakan pendekatan two-level
decomposition wavelet transform (DWT2) dan ekstraksi fitur warna menggunakan metode histogram warna. Pada
kesamaan temuan (index matching) menggunakan metode Eucledian distance. Disimpulkan bahwa dengan
menggunakan fitur fitur ekstraksi yang sama untuk tiap metode klaster fuzzy, maka metode klaster FCM memberikan
99% output citra sesuai dengan citra yang diinput didalam database dan FCM membuktikan sebagai salah satu metode
retrival citra danau yang lebih daripada metode fuzzy yang lainnya. FPCM merupakan metode retrival citra yang
memiliki hasil 47 persen hasil yang akurat pada citra noise tetapi kurang stabil terhadap kecepatan ketika retrival.
Kata kunci: Kata kunci : Citra danau, klaster, Fuzzy C-Mean ( FCM ), Fuzzy K-Means ( FKM ), Fuzzy C-Shell ( FCS ),
Retrival, Fuzzy Possibilistic C-Means (FPCM )
ABSTRACT-Image retrieval is an implementation of fuzzy clustering to retrieve image based on query image. This
paper was analyzed the performance four ( 4 ) method of fuzzy clustering lake image based on google - earth . The
purpose of this system was to retrieve image with all condition of lake image using google-earth image and to get the
information about lake based on output image. This paper compared four fuzzy cluster method like Fuzzy C-Means (
FCM ), Fuzzy K-Means ( FKM ), Fuzzy C Shell ( FCS ), Fuzzy Possibilistic C-Means (FPCM ). The parameter of
comparation are fast retrieve image, best validation result and best accurate lake image. The analyzing of system
perfomance had been tested with compare between input image and various image to retrieve.The key of lake image
retrieval is feature extraction. It compare using two feature extraction, that are texture feature using signal processing
method with two level decomposition wavelet transform ( DWT2 ) and color feature extraction using color histogram.
For image matching using eucledian distance. Findings indicate that : using same features extraction for every cluster
method , FCM clustering method has 99% is matching with query image and FCM is the most stable clustering fuzzy
method than the other fuzzy clustering method. For FPCM, it has 47 % for accurate output with noise image but less
steady for fast retrieve image.
Keywords: Lake Image, Clustering, Fuzzy C-Mean ( FCM ), Fuzzy K-Means ( FKM ), Fuzzy C-Shell ( FCS ), retrieval,
Fuzzy Possibilistic C-Means ( FPCM )
1. PENDAHULUAN
Retrival citra adalah suatu proses pemanggilan kembali citra yang diinginkan dari koleksi citra yang
berjumlah besar berdasarkan informasi atau fitur ( warna, bentuk, tekstur, spasial layout, dan lain lain ) yang
diekstraksi dari citra itu sendiri. Content-based image retrieval juga dikenal dengan nama query by image
content (QBIC) atau content-based visual information retrival (CBVIR) (Manimala & Hemachandran, 2012;
Setia 2004). Retrival citra danau merupakan salah satu pengembangan penelitian dari retrival citra untuk
melakukan proses temu kembali citra danau pada database sehingga menghasilkan informasi yang tepat dan
akurat terkait informasi di dalam citra danau tersebut. Retrival citra danau tidak lepas dari permasalahan
ekosistem danau diantaranya adalah kerusakan daerah tangkapan air, kerusakan sempadan, pencemaran
perairan dan resiko bencana. Diharapkan sistem informasi retrival citra akan menghasilkan informasi
informasi dan hasil analisisanalisis yang dibutuhkan terhadap citra danau. Database citra danau akan berisi
- 120 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
dua ratus delapan belas citra danau google-earth. Google - earth dipilih dikarenakan merupakan salah satu
citra yang sering dijadikan acuan untuk analisismenganalisis kondisi danau di Indonesia.
Pengenalan citra dimulai dengan melakukan ekstraksi ciri (feature extraction) dari suatu citra, yaitu
mengenali citra berdasarkan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya. Tiap citra akan dilakukan
perhitungan dan kemudian diproses sebelum dilakukan pengambilan kembali-citra (Manimala &
Hemachandran, 2012). Permasalahan yang ingin diangkat adalah belum adanya sistem informasi terhadap
citra danau dan metode untuk menghasilkan proses pencarian citra danau untuk mencari informasi yang
terdapat di dalam citra danau atau lebih dikenal dengan sistem informasi retrival citra danau. Pencarian citra
menggunakan retrival menjadi sangat penting ketika citra yang ingin dicari memiliki database yang besar.
Database yang besar sangat menyulitkan pengguna untuk mencari citra sehingga membuang waktu. Untuk
itulah sistem retrieval citra danau ini dikembangkan. Pengembangan dari retrival citra danau selanjutnya
adalah hasil analisisanalisis terhadap kondisi danau berbasis citra dengan pendekatan retrival citra danau.
Tulisan ini berfokus kepada pengembangan sistem informasi pada retrival citra danau yang terdiri dari:
(1). Perbandingan metode pengelompokan fuzzy terhadap citra danau menggunakan metode pengelompokan
FCM, FKM, FCS, dan FPCM. (2). Analisis performa sistem dengan pengujian antara citra danau inputan dan
citra danau pada database dan diluar database (3). Rekomendasi metode terbaik yang digunakan untuk
sistem. Tulisan tentang sistem informasi retrival citra danau belum banyak dilakukan. Masih sedikit tulisan
yang membahas retrival citra danau. Salah satu tulisan sebelumnya adalah inputan citra berupa text untuk
mencari hasil citra danau yang optimal yang membahas tentang inputan text yang harus disesuaikan dengan
output yang diinginkan. Apabila menginput citra tentang air maka output citra hasil harus air dan bukan
danau atau sungai (Ning et al., 2006). Akan tetapi, tulisan ini belum dianggap sempurna dikarenakan inputan
masih berupa semantic atau text dan belum ditemukan pencarian berbasis konten citra danau (Datta et al.,
2008; Dave, 1992; Setia, 2004).
Untuk itu, tulisan ini akan mengkaji tentang perbandingan metode-metode klaster fuzzy dalam
mendapatkan hasil output yang optimal pada implementasi sistem informasi retrival citra danau berdasarkan
konten. Citra yang digunakan dalam tulisan ini adalah citra danau yang memiliki tingkat intensitas warna
yang tinggi, menggunakan citra pada googleearth ukuran citra danau inputan harus m x m (harus sama)
dengan citra danau pada database, extension file untuk citra adalah .bmp, sistem retrival citra yang dibangun
berupa aplikasi desktop (offline), ruang lingkup database citra dalam sistem adalah citra danau pada google-
earth. Tujuan penelitian ini yakni membandingkan empat metode klaster fuzzy menggunakan dua fitur
ekstraksi fitur data citra googleearth. Hasil klaster (pengelompokan) akan divalidasi secara komputerisasi
untuk mendapatkan metode yang terbaik. Metode ini digunakan untuk menganalisis dan mengelompokan
data sesuai fiturfiturnya. Hasil dari tulisan ini adalah tercapainya implementasi metode klaster fuzzy terbaik
dan stabil dalam aplikasi sistem informasi terhadap citra danau, dan mempercepat pencarian terhadap
informasi citra danau yang diperlukan pada database yang besar.
Tulisan ini akan dibagi menjadi lima bagian yaitu pendahuluan yang membahas tentang latar belakang
dan alasan penulisan. Bagian kedua mempresentasikan metode yang digunakan, deskripsi tentang sistem
informasi retrival citra danau. Penjelasan singkat tentang metode digunakan untuk pembaca yang belum
mengenal metode yang dipakai. Pada bagian ketiga akan membandingkan metode pengelompokan dengan
menggunakan fitur ekstraksi yang sama. Hasil dan analisisanalisis akan dipresentasikan di bagian keempat.
Bagian kelima akan membahas tentang kesimpulan.
2. METODE
2.1 Proses Retrival Citra Danau
Proses berjalannya sistem adalah sebagai berikut :
1. Pada citra - citra danau didatabase akan diberikan link yang berisi informasi terkait citra danau.
2. Terdapat pilihan tombol dalam melakukan metode pengelompokan yaitu FCM, FKM, FCS, FPCM
dan memilih klaster yang diinginkan dengan kesamaan fitur ekstraksi hasil output citra adalah citra
dengan tingkat kemiripan (warna, teksture) yang paling mendekati citra inputan.
3. Menggunakan ekstraksi fitur untuk mengekstrak fitur-fitur yang terdapat pada citra danau. Fitur yang
diambil adalah warna, dan tekstur. Fitur yang telah diekstrak akan disimpan dalam bentuk dimensi
vektor [4].
4. Melakukan retrival yaitu melakukan pengambilan citra dengan memasukkan citra yang ingin diambil
dengan menggunakan metode klaster.
- 121 -
StudiPerbandingan Metode Klaster Fuzzy Pada Sistem Informasi Retrival Citra Danau (StudiKasus : Citra Google - Earth)
(Sudriani, Y.)
5. Melakukan indexing output citra yang ditampilkan menggunakan perhitungan Eucledian distance untuk
menghitung jarak titik pusat dari citra yang dimasukkan dengan citra-citra yang ada dalam
pengelompokannya (Jike & Qui, 2008).
6. Membandingkan metode untuk mengelompokkan citra-citra dalam database ke dalam kluster-kluster
dengan pengujian masing-masing metode.
Pada Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa proses pada sistem retrival citra danau memiliki dua proses yaitu
proses searching dan proses training. Pada proses training merupakan proses pada citra di dalam database
yang mana citra citra yang berada di dalam database dengan nama koleksi citra melakukan proses ekstrasi
fitur warna dan tekstur tiap citra pada koleksi citra. Setelah mendapatkan ekstraksi fitur berupa matriks
vektor maka dilakukan proses pengelompokan fuzzy dengan membandingkan empat metode yaitu FCM,
KCM, FCS, dan FPCM. Setelah mendapatkan hasil dari pengelompokan fuzzy maka dilakukan proses
indexing atau urutan citra berdasarkan kesamaan citra yang ada dan hasilnya akan masuk ke dalam database
fitur. Pada proses searching, sistem melakukan pencarian citra yang mendekati citra yang berada di dalam
database fitur. Citra yang diinput adalah citra yang berada di dalam database, citra berada di luar database
dan citra yang diberikan noise yang mana dilakukan proses ekstraksi fitur warna dan tektur sehingga
mendapatkan hasil ekstraksi fitur tiap citra. Proses similarity matching merupakan proses selanjutnya dari
proses searching, dengan membandingkan antara ekstraksi fitur pada citra inputan dan ekstraksi fitur di
database citra . Nilai yang mendekati kesamaan dari nilai inputan citra maka merupakan citra hasil retrival.
- 122 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015
Salah satu teknik dasar yang digunakan untuk mendapat fitur warna adalah dengan menghitung selisih
histogram dari citra dan citra lainnya pada database atau koleksi citra (Dave, 1992). Pada kasus ini nilai
warna diwakili oleh nilai histogram citra yang menjadi acuan dan histogram citra database. Teknik ini lebih
dikenal dengan quadratic distance. Langkah-langkah untuk mendapatkan qudratic distance (Mallat, 1989)
yakni sebagai berikut :
Membaca citra simpan sebagai I1 dengan map1 rgb colorspace.
Membaca citra acuan simpan sebagai I0 dengan map0rgb colorspace.
Konversi map1 ke hsv1hsv colorspace. Konversi map0 ke hsv0hsv colorspace
Menghitung histogram h dari citra dan Menghitung histogram g dari citra acuan.
Rumus: h(A,B,C)(a,b,c)=N.prob (A=a,B=b,C=c)Dimana A,B,C mempresentasikan 3 warna R,G,B
( Red, Green, Blue ) atau mempresentasikan H,S,V dan N adalah jumlah piksel dari suatu gambar