Anda di halaman 1dari 89

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk


Pemantauan Pertanian
Galdita Aruba Chulafak1,*), Anwar Annas1 , dan Dony Kushardono1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
*)
E-mail: galdita.aruba@lapan.go.id

ABSTRAK-Salah satu misi pengembangan pesawat LSA di LAPAN adalah penginderaan jauh. LAPAN Surveillance
Aircraft (LSA) memiliki pengindera kamera multispektral yang dilengkapi dengan GPS. Penelitian ini mengkaji
pengolahan data kamera multispektral LSA untuk pemantauan pertanian. Data yang dipergunakan adalah data hasil
akuisisi dengan LSA pada wilayah pertanian di Pantura (Subang dan Indramayu). Adapun metode pengolahan yang
dipergunakan adalah ekstraksi data mentah menggunakan teknik Bayer pattern, kemudian mozaik data hasil ekstraksi
dengan menggunakan teknik korelasi silang dan analisis vegetasi sawah menggunakan konversi indeks vegetasi. Hasil
penelitian ini adalah kajian pengolahan awal data multispektral LSA untuk analisis vegetasi persawahan.

Kata kunci:data multispektral LSA, Bayer pattern, mozaik data, korelasi silang, NDVI

ABSTRACT-One of LAPANs mission in aircraft development is remote sensing. LAPAN Surveillance Aircraft (LSA)
has a multispectral camera that equipped with GPS. This study examines data processing on LSAs multispectral
camera for agricultural monitoring. The data used is the results from LSAs acquisition in agricultural areas in
Pantura (Subang and Indramayu). The processing method used is the extraction of raw data using a Bayer pattern
technique, then mosaic the extracted data by using cross correlation and analyze the rice fields vegetations using
vegetation indices conversion. Results of this study is the pre-processing LSA multispectral datamethod for the analysis
ofthe rice fields vegetations.

Keywords: LSAs multispectral data, Bayer pattern, mosaic data, cross corelation, NDVI

1. PENDAHULUAN
Saat ini data penginderaan jauh resolusi tinggi banyak dibutuhkan di Indonesia, di antaranya untuk
penyediaan peta skala rinci dalam mendukung pembangunan perdesaan, penilaian objek wajib pajak,
perencanaan infrastruktur jalan dan bangunan, pengembangan wilayah perkotaan, pengawasan hasil
pembangunan, hingga untuk masalah pertanian.
Data penginderaan jauh resolusi tinggi umumnya diperoleh dari satelit komersil, seperti, IKONOS,
WorldView, GeoEye, dan lain-lain. Akan tetapi, data satelit tersebut selain harganya cukup mahal juga
waktu pemesanannya (delivery order) membutuhkan waktu sekitar 2 minggu bahkan bisa lebih dikarenakan
adanya kendala liputan awan. Sementara itu dalam dekade terakhir, sehubungan makin berkembangnya
sistem teknologi kamera pencitraan dengan ukuran yang semakin kecil, sudah mulai banyak dikembangkan
pemanfaatan pesawat tanpa awak untuk pengamatan melalui udara. LAPAN sudah mengembangkan pesawat
untuk misi pemantauan dengan pesawat baik tanpa maupun dengan awak, memiliki kesempatan yang baik
untuk mendukung penyediaan data penginderaan jauh resolusi tinggi dari data kamera pada pesawat
LAPAN.
Program LAPAN Surveillance Aircraft (LSA) merupakan program dari Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) yang mengembangkan pesawat berawak dengan kapasitas kecil yang
digunakan untuk kegiatan pengamatan seperti pemantauan ataupun pemetaan (Kushardono, 2015). Salah satu
fungsi dari LSA yakni untuk melakukan pengamatan, baik untuk wilayah daratan ataupun perairan dan
membawa payload yang dapat disesuaikan untuk objek yang akan diamati. LSA pernah melakukan
pengambilan data di wilayah Subang dan Indramayu pada bulan September 2014. Salah satu pengindera
yang terpasang pada saat pengambilan data tersebut merupakan kamera multispektral yang mempunyai 3
kanal, yaitu kanal hijau, merah, dan inframerah dekat. Pengambilan data yang dilakukan tersebut merupakan
pengambilan data oleh pesawat LSA dengan kamera multispektral yang pertama kali dilakukan, sehingga
penelitian ini bertujuan sebagai kajian pengolahan awal data multispektral pesawat LSA di wilayah lahan
pertanian.Seperti halnya pada pesawat tanpa awak, pengamatan yang dapat dilakukan oleh LSA tidak
terbatas hanya pada lahan pertanian, namun juga dapat untuk wilayah pesisir, perkotaan,wilayah bencana,
dan lainnya (Shofiyanti, 2011; Wiyono, 2015; Artanto, 2015; Mancini, 2013; Sari, 2015).

- 84 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh Kushardono et al. mengenai
Pemanfaatan Data LSA (LAPAN Surveillance Aircraft) untuk Mendukung Pemetaan Skala Rinci
(Kushardono, 2015) dengan mengambil bagian pada pengolahan data kamera multispektral untuk
pemantauan pertanian.

2. PENGOLAHAN DATA
Data yang diperoleh dari kamera multispektral hasil akuisisi dari pesawat LSA berupa matrik dalam
Bayer array, sehingga perlu dilakukan ekstraksi kanal-kanal yang ada agar dapat dilakukan pengolahan lebih
lanjut. Setelah dilakukan ekstraksi kemudian dilakukan mozaik data dan selanjutnya dapat dilakukan
perhitungan nilai dari indeks vegetasi. Pengindera yang digunakan mempunyai sensor yang didesain dan
dioptimasi untuk menangkap cahaya tampak dan inframerah dekat pada panjang gelombang 520 nm hingga
920nm. Pada Gambar 1 menunjukkan respon dari sensor pengindera terhadap masing-masing kanal
(merah,hijau, dan biru).

Gambar 1. Respon spektral pada pengindera


(Sumber: Tetracam Inc, 2011)

2.1 Ekstraksi Bayer Filter


Pola Bayer termasuk salah satu Color Filter Array (CFA) terbentuk dari suatu susunan dari filter kanal
merah, hijau, dan biru yang ditempatkan pada tiap-tiap lokasi spasial (Hubel, 2004). Dengan menggunakan
dua filter hijau untuk setiap filter biru dan merah, pola Bayer didesain untuk memaksimalkan ketajaman
kanal luminansi yang sebagian besar terdiri dari kanal hijau (Bayer, 1976).

Gambar 2. Pola Bayer


(Sumber: Chang et al., 2006 )

- 85 -
Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk PemantauanPertanian (Chulafak GA, et al.)

Untuk mengkonversi citra dari format Bayer ke RGB perlu dilakukan interpolasi dari dua nilai warna
pada masing-masing piksel. Algoritma Freeman (Median-based interpolation) merupakan metode yang
terbaik digunakan pada citra yang mempunyai bercak / speckle sedangkan algoritma Larosche-Prescotts
(Gradient based interpolation) dan Algortima Hamilton-Adam (Adaptive color plane interpolation)
merupakan metode yang cocok digunakan pada citra yang memiliki sisi/tepi yang tajam (Ramanath, 2002).

2.1.1 Median-based interpolation


Terdapat dua langkah dalam metode ini yaitu interpolasi linier dan median filter dari perbedaan
warna. Interpolasi linier digunakan untuk mengisi setiap lokasi citra dengan tiga warna yang ada
sedangkan median filter merupakan perhitungan dari perbedaan citra, sebut saja merah dikurangi hijau
danbiru dikurangi hijau. Citra yang dihasilkan dari median filter digunakan bersamaan dengan sampel
asliBayer array untuk memulihkan sampel (Freeman, 1988).

2.1.2 Gradient based interpolation


Metode ini umumnya digunakan di sistem kamera digital. Metode ini terdiri dari tiga langkah,
pertama interpolasi dari kanal luminansi (hijau), langkah kedua dan ketiga merupakan interpolasi dari
perbedaan warna (merah dikurangi hijau dan biru dikurangi hijau). Interpolasi perbedaan warna
digunakan untuk merekontruksi kanalkrominansi (merah dan biru). Metode ini mengambil keuntungan
karena mata manusia lebih sensitif pada perubahan luminansi (Laroche, 1994).

2.1.3 Adaptive color plane interpolation


Metode ini merupakan modifikasi dari metode gradient based interpolation. Metode ini menggunakan
beberapa langkah seperti yang dilakukan pada metode gradient based interpolation tetapi dimodifikasi
yang dilakukan untuk mengakomodasi turunan pertama dan kedua. Metode ini juga mempunyai tiga
langkah seperti pada gradient based interpolation (Hamilton, 1997).

2.2 Teknik Korelasi Silang


Ditinjau dari teknik pembuatannya, terdapat tiga jenis mozaik, yaitu mozaik terkontrol, tidak terkontrol,
dan semi terkontrol (Wolf, 1983). Mozaik terkontrol adalah mozaik yang dibuat dari citra yang telah
direktifikasi sehingga semua citra telah mempunyai skala yang sama. Mozaik tidak terkontrol merupakan
mozaik yang dibuat dari citra tegak yang belum direktifikasi serta belum diseragamkan skalanya. Mozaik
semi terkontrol adalah mozaik yang disusun dengan menggunakan citra yang mempunyai beberapa titik
kontrol, tetapi citra tersebut tidak direktifikasi dan mempunyai skala yang tidak seragam.
Teknik korelasi silang merupakan salah satu teknik penyamaan citra. Secara umum terdapat 3 metode
penyamaan citra, yaitu area-based matching, feature-based matching, dan symbolic matching (Schenk,
2000). Area-based matching mendasarkan hubungan antara dua citra berdasarkan kesamaan derajat keabuan.
Teknik yang sering digunakan adalah teknik korelasi silang dan Least Mean Square (LSM). Area-based
matching mempunyai kelemahan bahwa objek belum tentu bersesuaian karena hanya berdasarkan nilai
spektral. Feature-based matching menentukan hubungan antara dua fitur citra, sedangkan symbolic matching
merupakan metode yang menggabungkan antara area-based matching dengan feature-based matching
Prinsip dari teknik korelasi silang adalah mencari pasangan objek/titik piksel antara citra referensi dengan
citra pasangan. Pada citra referensi ditentukan jendela sasaran yang memuat titik piksel yangakan
dicaripasangannya pada citra pasangan. Pada citra pasangan ditentukan daerah selidik yang mempunyai
ukuran lebih besar daripada daerah sasaran. Pada daerah sasaran dibentuk pula jendela/daerah sub
selidikdengan ukuran yang sama dengan jendela/daerah sasaran, misal 5 piksel x 5 piksel. Jendela sub selidik
ini bergerak dengan pertambahan 1 piksel sepanjang setiap baris dan kolom di daerah selidik. Kemudian
dihitung nilai korelasi antara jendela sasaran dengan jendela sub selidik.
Pada setiap posisi pergerakan jendela sub selidik dalam jendela selidik ini dihitung nilai korelasi antara
jendela sasaran dengan jendela sub selidik. Piksel dengan nilai korelasi tertinggi merupakan piksel yang
bersesuaian pada kedua citra tersebut, dengan nilai korelasi antara -1 hingga 1. Nilai 1 menunjukkan korelasi
yang sempurna, nilai 0 menunjukkan tidak terdapat korelasi, dan nilai -1 menujukkan adanya korelasi yang
berkebalikan atau berlawanan (Schenk, 2000)
Persyaratan yang dipenuhi untuk melakukan area based matching adalah pasangan citra perlu
dinormalisasi terlebih dahulu, misal mengenai derajat kecerahan. Jika tie point antar foto sudah terdeteksi,
maka mozaik dapat dibentuk.Seringkali antar citra memiliki kekontrasan yang sangat berbeda sehingga jika
dilakukan mozaik akan tidak seragam, untuk itu perlu dilakukan penyeragaman warna antar citra (Harintaka,
2006).
- 86 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

3. BAHAN DAN METODE


3.1 Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah data foto hasil akuisisi pesawat LSA yang
mempergunakan kamera multispektral pada waktu akuisisi bulan September 2014. Adapun wilayah
kajiannya merupakan area sekitar Pantura Jawa Barat, terutama di wilayah Kabupaten Subang dan
Indramayu. Data foto dari pesawat LSA yang digunakan merupakan foto yang diambil pada ketinggian 6000
kaki dengan cakupan 1.4 km x 1.05 km dan mempunyai resolusi spasial 68 cm. Adapun pertampalan antar
scene foto adalah 60% (belakang) dan 40% (samping).

3.2 Metode
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terlihat seperti pada Gambar 3.

Ekstraksi
Metadata

RAW Data dengan


metadata
Mozaik dan Menghitung
Data (lat, long, alt) koreksi tegak NDVI

Ekstraksi
Bayer Filter

Gambar 3. Metode penelitian

4. HASIL PEMBAHASAN
4.1 Hasil Ekstraksi Bayer Filter
Data mentah yang diakuisi dari pesawat LSA diolah menggunakan perangkat lunak dan akan
menghasilkan citra multispektral yang mempunyai tiga kanal. Tidak seperti citra pada umumnya yang
mempunyai kombinasi kanal RGB, citra yang dihasilkan dari hasil ekstraksi Bayer filter ini mempunyai
komposit warna NIR, Red, Green seperti terlihat pada Gambar 4.

(a) Komposit pengolahan awal dari data mentah

- 87 -
Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk PemantauanPertanian (Chulafak GA, et al.)

(b) Kanal hijau (c) Kanal merah

(d) Kanal inframerah dekat (e) R, 0.75xG + 0.25xNIR, 0.75xG - 0.25xNIR

Gambar 4. Citra Hasil ekstraksi Bayer filter


(Sumber: Data yang diolah)

Komposit warna NIR, Red, Green ini dikarenakan terdapat filter penyerap kanal biru yang digunakan
untuk menghilangkan sensitifitas sensor terhadap kanal biru, dan piksel biru pada sensor digunakan untuk
mengukur nilai dari kanal inframerah dekat (kurva biru pada Gambar 1). Citra yang dihasilkan oleh sensor
kemudian diolah menggunakan perangkat lunak untuk mengurangi nilai inframerah dekat yang telah diukur
dari kanal merah dan biru untuk menghasilkan citra merah/hijau/inframerah dekat.

4.2 Hasil Mozaik


Data citra hasil ekstraksi Bayer filter masih merupakan data yang masih terpotong-potong seperti data
mentahnya, maka dari itu perlu dilakukan mozaik sehingga menjadi data citra yang utuh sesuai dengan hasil
perekaman dari pesawat LSA. Selain dilakukan mozaik, juga perlu dilakukan koreksi tegak yang dibutuhkan
karena gerakan dari pesawat LSA tidak sepenuhnya tegak terhadap permukaan bumi. Data citra yang
diakuisi dari pengindera sudah terdapat lokasi koordinat yang didapat dari GPS pada pengindera, sehingga
untuk membuat mozaik data citra bisa lebih mudah dilakukan.

Gambar 5. Hasil mozaik citra dari data hasil perekaman LSA


(Sumber: Data yang diolah)

Hasil dari mozaik tidak sepenuhnya bagus baik dari segi geometrik maupun dari segi radiometrik. Selain
itu, tidak semua data citra dapat dimozaik walaupun data citra tersebut memiliki data koordinat terutama
pada wilayah perairan. Wilayah perairan sangat cepat berubah seperti pada kondisi arus airnya, kemungkinan
hal ini yang menyebabkan data citra sulit untuk dimozaik, namun, untuk wilayah pesisir masih dapat
dimozaik dikarenakan masih terdapatnya wilayah daratan yang kondisinya relatif tetap sehingga nilai

- 88 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

korelasi silang antar foto masih memenuhi untuk dilakukan mozaik walaupun wilayah perairannya relatif
berubah.

Gambar 6. Hasil mozaik yang kurang sempurna yang ditampalkan pada Google Earth.
Gambar kiri: wilayah perairan.Gambar kanan: wilayah daratan
(Sumber: Data yang diolah)

Dari segi geometrik, tidak seluruh data citra yang bertampalan menghasilkan data citra yang mulus
(seamless) seperti pada Gambar 7 (atas), namun untuk akurasi geometriknya sudah cukup bagus walaupun
terlihat masih terdapat sedikit pergeseran ketika ditampilkan dengan ditampalkan menggunakan citra dari
Google Earth seperti terlihat pada Gambar 7 (bawah).

Gambar 7. Beberapa kekurangan pada segi geometrik


(Sumber: Data yang diolah)

Pada Gambar 8 memperlihatkan adanya perbedaan kecerahan/iluminasi dari utara ke selatan yang
diakibatkan lamanya waktu akuisisi. Waktu akuisisi lintasan paling utara sekitar pukul 08.00 pagi, sedangkan
pada lintasan paling selatan sekitar pukul 11.00, sehingga pengaruh matahari akan cukup berbeda pada kedua
lintasan dan akan terlihat perbedaannya ketika citra dimozaik. Citra yang didapat dari akuisisi LSA ini
membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan satu lintasannya, berbeda dengan citra penginderaan
jauh dari satelit yang membutuhkan waktu hanya dalam hitungan menit dalam tiap sapuannya sehingga tidak
akan terjadi gradasi iluminansi dalam citranya. Selain itu pada citra penginderaan jauh menggunakan satelit
terdapat metadata mengenai hal-hal yang dapat membantu dalam koreksi radiometriknya, seperti sudut
azimut dan elevasi matahari.

- 89 -
Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk PemantauanPertanian (Chulafak GA, et al.)

Gambar 8. Masalah radiometrik pada hasil mozaik citra


(Sumber: Data yang diolah)

4.3 Analisis Lahan Pertanian


Untuk melakukan kajian mengenai masalah pertanian dengan menggunakan citra hasil akuisisi LSA maka
perlu dilakukan pengolahan lanjutan. Dikarenakan kanal yang dihasilkan oleh pengindera berada pada kanal
hijau, merah, dan inframerah dekat, maka dapat dilakukan perhitungan indeks vegetasi dengan menggunakan
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai pengolahan lanjutan. Pada Gambar 9 ditunjukkan
hasil sampel citra NDVI dari citra hasil perekaman LSA dengan menggunakan gradasi hijau, dimana piksel
yang mempunyai NDVI tinggi ditunjukkan dengan warna terang (hijau ke arah putih) sedangkan piksel yang
mempunyai NDVI rendah ditunjukkan dengan warna gelap (hijau ke arah hitam). Nilai NDVI yang terhitung
pada sampel lokasi berkisar dari -0.281 hingga 0.735.

Gambar 9. Hasil sampel dari NDVI pada wilayah pertaniandengan menggunakan palet hijau.
(Sumber: Data yang diolah)

Untuk mempermudah dalam melakukan interpretasi visual, maka dilakukan komposit kanal dengan
menggunakan komposit kanal NIR, NDVI, dan R, yang penampakannya seperti terlihat pada Gambar 10.
Dengan menggunakan komposit tersebut, untuk area non vegetasi (permukiman, fase bera, jalan, lahan
terbuka) secara visual terlihat mengarah ke warna magenta. Sedangkan untuk wilayah dengan tingkat
- 90 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

kehijauan tinggi (vegetasi maksimum/pemanjangan batang hingga bunting) secara visual terlihat berwarna
kuning - hijau muda. Pada area dengan tingkat kehijauan sedang (fase vegetatif awal/anakan, fase generatif
/pematangan) terlihat berwana hijau agak tua. Sedangkan untuk tingkat kehijauan rendah terlihat berwarna
hijau tua seperti terlihat pada sungai yang kemungkinan terdapat vegetasi di dalamnya.

Kehijauan sedang (fase vegetatif


Kehijauan tinggi(vegetasi maksimum /
awal, fase generatif)
pemanjangan batang hingga bunting)

Kehijauan rendah (sungai, fase


air?)

Non vegetasi (rumah, lahan terbuka,


fase bera, jalan)

Gambar 10. Interpretasi pada Citra komposit NIR, NDVI, dan RED
(Sumber: Data yang diolah)

5. KESIMPULAN
Data multispektral yang diakuisisi oleh pesawat LSA berpotensi untuk digunakan dalam pengamatan
wilayah lahan pertanian seperti halnya penggunaan dari data yang diakuisisi dari satelit penginderaan jauh.
Untuk melakukan pemrosesan data hasil akuisisi LSA dapat menggunakan langkah sebagai berikut: Data
Mentah Ekstraksi Bayer filter Mozaik dan Koreksi tegak Pengolahan Lanjut, namun, masih perlu
dilakukan tambahan langkah pengolahan dan koreksi citra baik dalam masalah geometrik maupun
radiometrik sehingga citra yang dihasilkan lebih baik.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Kepala Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN yang telah
memberi bantuan pesawat LSA sebagai pembawa dari pengindera multispektral, juga kepada Kepala Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN yang telah mendukung dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Kushardono, D., Annas, A., Maryanto, A., Utama, A.B., dan Winanto (2015). Pemanfaatan Data LSA (LAPAN
Surveillance Aircraft) untuk Mendukung Pemetaan Skala Rinci. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XX dan
Kongres VI MAPIN.
Shofiyanti, R. (2011). Teknologi Pesawat Tanpa Awak untuk Pemetaan dan Pemantauan Tanaman dan Lahan
Pertanian. Informatika Pertanian 20(2):58 64.
Wiyono, A., dan Budiyanta, S.A. (2015). Analisa Perencanaan dan Hasil Uji Terbang LSU-01untuk Pemotretan
Wilayah Longsor Banjarnegara. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XX dan Kongres VI MAPIN
- 91 -
Pengolahan Data Kamera Multispektral pada Pesawat LSA-01 untuk PemantauanPertanian (Chulafak GA, et al.)

Artanto, E., Yuniar, F., dan Rimayanti, A. (2015). Pemetaan Pulau Terluar Indonesia Menggunakan Wahana UAV.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XX dan Kongres VI MAPIN
Mancini, F., Dubbini, M., Gatelli, M., Stecchi, F., Fabbri, S., dan Gabbianelli, G. (2013). Using Unmanned Aerial
Vehicles (UAV) for High-Resolution Reconstruction of Topography: The Structure from Motion Approach on
Coastal Environments. Remote Sensing, 5(12):6880-6898.
Sari, N.M., dan Kushardono, D. (2015). Object Segmentation on UAV Photo Data to Support the Provision of Rural
Area Spatial Information. Jurnal Forum Geografi 29(1):49-59.
Tetracam, Inc. (2011). Agricultural Digital Camera Users Guide (ver 2.3).Chatsworth: Tetracam, Inc.
Hubel, P.M., Liu, J., dan Guttosch, R.J. (2004). Spatial Frequency Response of Color Image Sensors: Bayer Color
Filters and Foveon X3. Proc. SPIE5301, Sensors and Camera Systems for Scientific, Industrial, and Digital
Photography Applications V. 402.
Bayer, dan Bryce, E. (1976). Color Imaging Array. U.S. Patent No. 3,971,065
Chang, L., dan Tan, Y. (2006). Hybrid Color Filter Array Demosaicking for Effective Artifact Suppression. Journal of
Electronic Imaging
Ramanath, R., Snyder, W.E., dan Bilbro, G.L. (2002). Demosaicking Methods for Bayer Color Arrays. Journal of
Electronic Imaging, 11(3):306 -315.
Freeman, W.T. (1988). Median Filter for Reconstructing Missing Color Samples. U.S. Patent No. 4,7642,395.
Laroche, C.A., dan Prescott, M.A. (1994). Apparatus and Method for Adaptively Interpolating a Full Color Image
Utilizing Chrominance Gradients. U.S. Patent No. 5,373,322.
Hamilton, J.F., dan Adams, J.E. (1997). Adaptive Color Plane Interpolation in Single Sensor Color Electronic Camera.
U.S. Patent No. 5,629,734.
Wolf, P.R. (1983). Elements of Photogrammetry, 2nd edition. McGraw Company, USA.
Schenk, T. (2000). Digital Photogrammetry, Volume 1. Terra Science, Ohio, USA.
Harintaka, Susanto, E.W., dan Thobibah, T. (2006). Otomatisasi Pembuatan Mosaik Menggunakan Teknik Korelasi
Silang pada Foto Udara Format Kecil. Pertemuan Ilmiah Tahunan III T. Geomatika ITS.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : MuchamadSholeh, M.Eng.


Judul Makalah : Pengolahan Data Kamera Multispektral Pada Pesawat LSA-01 Untuk Pemantauan Pertanian.
Pemakalah : Galdita Aruba Chulafak
Jam : 11.00 12.00 WIB
Tempat : Meeting Room E-F
Diskusi :

Hamdi (LAPAN).
Apakah bisa dilakukan mozaik pada daerah perairan?
Berapa porsentase keberhasilnya khususnya pada data Landsat?
Liputan awan hampir seluruh Indonesia untuk data Landsat 8?

Herman (UGM)
Sensor yang digunakanberapa band? Hingga muncul NIR?

Wati (BPS)
Apakah hasil pengolahan dapat mudah terbaca oleh orang awam sebagai contoh daerah pertanian?
Apakah juga bisa terbaca jenis tanamannya dan juga tanaman yang ada di ladang? Misalkan jagung dibedakan dengan
padi

Wahyu ( TNI AL)


Bisakah LSA digunakan untuk surveillance maritim?
TNI AL memiliki Nomed jika dikolaberasi kandengan LSA kemampuannya akan seperti apa?

Dony (tambahan)
Kamera yang digunakan merupakan kamera multi spectral khusus untuk pertanian. Kemampuan LSA dapat terbang
hingga 6 jam untuk maritim bisa diinstall pay loadnya pada LSA

Jawaban:
Untuk mozaik dipesisir masih bisa dilakukan jika di perairan akan susah dilakukan.
Sensor hanyaada 3 band. NIR merupakan hasil sintesisdari band red dan blue kemudian untuk band blue di filter.

- 92 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Bisa digunakan untuk jenis tanaman lain sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
Untuk keperluan Maritim bisa digunakan tapi disesuaikan payloadnya saja.

- 93 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Pan-Sharpening Citra QuickBird menggunakan Transformasi


Hyperspherical Color Space (HCS)
Katmoko Ari Sambodo1,*)
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh - LAPAN.
*)
E-mail:katmoko_ari@lapan.go.id

ABSTRAK - Pan-sharpening adalah suatu jenis penggabungan (fusi) data yang mengkombinasikan citra multispektral
resolusi rendah dengan citra pankromatik resolusi tinggi untuk menghasilkan suatu citra warna resolusi tinggi. Pada
umumnya pan-sharpening dilakukan dengan berbagai teknik transformasi warna sedemikian rupa sehingga citra yang
dihasilkan memiliki ketajaman yang sama dengan citra pankromatik dan memiliki warna yang sama dengan citra
multispektral orisinilnya. Namun demikian, pada prakteknya sangat susah untuk memenuhi kedua tujuan tersebut secara
bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji suatu metode alternatif pan-sharpening dengan menggunakan
metode transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) dengan menggunakan data QuickBird. Transformasi HCS ini
sebelumnya telah diajukan oleh Padwick et.al, dengan menggunakan data WorldView-2. Namun mengingat perbedaan
jumlah dan karakteristik spektral antara citra WorldView-2 dengan citra QuickBird, maka perlu dikaji performansinya
pada citra QuickBird. Konsep dasar dari metode transformasi dari ruang warna native ke ruang warna hyperspherical
adalah mengikuti definisi standar transformasi dari ruang Kartesian berdimensi-n ke ruang Hyperspherical berdimensi-
n. Pada transformasi sebaliknya, citra intensitas digantikan dengan citra pankromatik yang sebelumnya telah disetarakan
intensitasnya (intensity match) dengan citra intensitas pada ruang warna Hyperspherical-nya. Proses penyetaraan
intensitas ini cukup menentukan kualitas hasil, dan pada penelitian ini dilakukan dengan berdasarkan nilai digital citra
pankromatiknya, nilai digital dan statistiknya dari citra pankromatik yang telah dilakukan perataan pada jendela
berukuran 7x7 piksel, dan nilai digital dan statistiknya dari citra intensitas pada ruang warna Hyperspherical-nya. Hasil
eksperimen menunjukkan bahwa metode ini memberikan hasil yang sangat bagus untuk diterapkan pada citra
QuickBird yakni memiliki ketajaman spasial yang baik dan mempertahankan warna yang relatif sama dengan citra
multispektral orisinilnya. Hal ini juga ditunjukkan dengan nilai indeks kualitas citra berdasar Wang-Bovic quality index
yang tinggi (di atas 0.85) pada keseluruhan band citra QuickBird (Red, Green, Blue, dan NIR).

Kata kunci: Pansharpening, Quickbird, Hyperspherical Color Space (HCS), image quality index.

ABSTRACT - Pan-sharpening is a type of data merger (fusion) that combines the low-resolution multispectral image with the higher
resolution panchromatic image to produce a high-resolution color image. In general, pan-sharpening is done with a variety of color
transformation techniques such that the resulting image has the same sharpness as the original panchromatic image as well as the
same colors as the original multispectral image. However, in practice, it is very difficult to meet both of these goals together. This
study aimed to examine an alternative pan-sharpening method based on Hyperspherical Color Space (HCS) transformation using
QuickBird data. HCS transformation has been proposed by Padwick et.al, using WorldView-2 data. However, due to differences in
the number and spectral characteristics between WorldView-2 data with QuickBird data, it is necessary to study its performance on
QuickBird data. The transformation between the native color space and the hyperspherical color space follows the standard
defininition of transformation between n-dimensional Cartesian space and n-dimensional hyperspherical space. On the reverse
transformation, the intensity component is replaced with panchromatic image that has been intensity-matched with the intensity
component on the hyperspherical space. The intensity matching affect the pan-sharpening result, and in this research was done
based on the digital number of original panchromatic image, the digital number and statistical values of smoothed -panchromatic
image (using window size of 7x7 pixels), and the digitalnumber and statistical values of intensity component in the Hyperspherical
color space. The experimental result shows that this method provides very good results to be applied to QuickBird image, i.e. the
pan-sharpening result has good spatial sharpness and has relatively the same colors as the original multispectral image. This is also
shown by high quality index (above 0.85, based on the Wang-Bovic quality index) at all QuickBird image bands (Red, Green, Blue,
and NIR).

Keywords: Pansharpening, Quickbird, Hyperspherical Color Space (HCS), image quality index

1. PENDAHULUAN
Pan-sharpening adalah suatu jenis penggabungan (fusi) data yang mengkombinasikan citra multispektral
resolusi rendah dengan citra pankromatik resolusi tinggi untuk menghasilkan suatu citra warna resolusi
tinggi. Pada umumnya pan-sharpening dilakukan dengan berbagai teknik transformasi warna sedemikian
rupa sehingga citra yang dihasilkan memiliki ketajaman yang sama dengan citra pankromatik dan memiliki
warna yang sama dengan citra multispektral orisinilnya. Namun demikian, pada prakteknya sangat susah
untuk memenuhi kedua tujuan tersebut secara bersamaan.

- 94 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji suatu metode alternatif pan-sharpening dengan menggunakan
metode transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) dengan menggunakan data QuickBird. Transformasi
HCS ini sebelumnya telah diajukan oleh Padwick et al. (2010), dengan menggunakan data WorldView-2.
Namun mengingat perbedaan jumlah dan karakteristik spektral antara citra WorldView-2 dengan citra
QuickBird, maka perlu dikaji performansinya pada citra QuickBird.

2. METODE
2.1 Metode Pan-sharpening dengan menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space
(HCS)

Konsep dasar dari metode transformasi dari ruang warna native ke ruang warna hyperspherical adalah
mengikuti definisi standar transformasi dari ruang Kartesian berdimensi-n ke ruang Hyperspherical
berdimensi-n (Padwick et al., 2010). Untuk citra dengan jumlah band input N, maka akan membentuk
sebuah komponen intensitas dan N-1 buah sudut dalam ruang hypersphere-nya. Misalnya untuk citra dengan
QuickBird dengan jumlah band 4 yakni B (band Blue), G (band Green), R (band Red), dan N (band NIR)
akan ditransformasikan ke ruang hypersphere dengan satu buah intensitas dan tiga buah sudut ( , , dan
) mengikuti persamaan berikut :

= + + + (1)


= (2)

= (3)
= (4)

Transformasi sebaliknya (dari ruang warna hyperspherical ke ruang ruang warna native) adalah sebagai
berikut :

= cos (5)

= sin cos (6)

= sin sin cos (7)

= sin sin sin (8)

Dalam transformasi ke HCS, variabel sudut ( ) merepresentasikan warna (color) atau hue
sedangkan komponen radial ( ) merepresentasikan intensitas warna. Apabila telah ditransformasikan ke
HCS, maka komponen intensitasnya dapat diubah / diskala ulang tanpa merubah warnya. Hal ini menjadi hal
pokok dalam algoritma pan-sharpening.
Permasalahannya selanjutnya adalah bagaimana algoritma untuk mengubah intensitas tersebut.
Dalam hal ini band pankromatik dapat dipergunakan karena memiliki resolusi spasial yang lebih baik
dibanding band multispektralnya. Cara yang paling sederhana adalah dengan langsung mengganti intensitas
tersebut dengan band pankromatik tersebut. Namun hal itu biasanya tidak akan memberikan hasil yang
optimum. Dalam berbagai penelitian disarankan untuk melakukan intensity matching terhadap band
pankromatik tersebut terlebih dahulu sehingga serupa dengan nilai intensitas . Penelitian ini mencoba
menerapkan teknik intensity matching yang telah diterapkan oleh Padwick et al. (2010) untuk data
WorldView-2 dengan cara memodelkan perbedaan antara intensitas band pankromatik dan band
multispectralnya dan mempertimbangkannya dalam proses pan-sharpening tersebut.
Berikut akan dijelaskan intensity matching tersebut, yang dalam papernya Padwick, et al
menyebutnya sebagai mode Smart. Sebelum dilakukan proses pan-sharpening, pertama-tama dibentuk
terlebih dahulu citra dari band pankromatik (P) yang dihaluskan (smoothed) seperti berikut:
- 95 -
Pan-Sharpening Citra QuickBird menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) (Sambodo KA)

= SMOOTH( ) (9)

Dimana operasi SMOOTH merupakan sliding window convolution filter, yang dilakukan dengan ukuran
window 7x7, sehingga nilai di piksel di tengah window merupakan nilai rata-rata dari seluruh piksel di dalam
window tersebut. Ukuran window dapat diubah-ubah, namun ukuran 7x7 merupakan ukuran yang
direkomendasikan, karena menghasilkan citra hasil pan-sharpening dengan artifak-artifak spasial (seperti
ghosting, blurring, dan lain-lain) yang paling minimal.
Berikutnya, rata-rata dan standar deviasi baik untuk kuadrat ( ) dan kuadrat intensitas
multispektralnya ( ) dihitung, yakni:

= + + + (10)

=( ) (11)

Hasil perhitungan rata-rata dan standar deviasi untuk dinyatakan dengan dan , sedangkan
untuk dinyatakan dengan dan . Intensity matching baik untuk dan ke dilakukan dengan
formula berikut:

= ( + )+ (12)

= ( + )+ (13)

Selanjutnya, dihitung suatu besaran intensitas baru (adjusted intensity) sebagai berikut :

= (14)

selanjutnya dipergunakan dalam proses pan-sharpening, yakni untuk mengganti nilai intensitas
pada formula (5) (8).

2.2 Metode Evaluasi Hasil Pan-sharpening


Secara umum, belum terdapat metode yang standar untuk mengevaluasi hasil pan-sharpening. Secara
kualitatif, metode pan-sharpening yang baik memiliki ketajaman spasial yang baik (yang diantaranya dapat
dikonfirmasikan dengan melihat batas-batas objek yang dibentuknya) dan mempertahankan warna yang
relatif sama dengan citra multispektral orisinilnya. Namun secara kuantitatif, belum terdapat kesepakatan
terkait indeks yang terbaik yang dapat dijadikan standar untuk menilai hasil pan-sharpening. Penelitian ini
mencoba untuk menggunakan salah satu indeks yang disebut dengan indeks kualitas Wang-Bovic (Wang &
Bovic, 2002) Indeks kualitas Wang-Bovic untuk dua citra dan didefiniskan sebagai :

= (15)

Dimana dan masing-masing merepresentasikan nilai varians dari citra dan citra . dan
masing-masing merepresentasikan nilai rata-ratanya. Menurut Wang-Bovic, suku pertama menyatakan cross
correlation antara citra dan , suku kedua menyatakan perbandingan antara nilai rata-rata dari dan , dan
suku ketiga menyatakan perbandingan kekontrasannya. Kisaran nilai indeks tersebut adalah antara -1 dan 1.
Untuk mengaplikasikan indeks ini, karena ukuran piksel hasil pan-sharpening yang berbeda dengan
citra multispectral origisinilnya, maka pertama-tama dilakukan downsampling citra hasil pan-sharpening
sehingga memiliki ukuran resolusi piksel yang sama dengan citra multispektralnya. Selanjutnya indeks
dapat dihitung dengan menggunakan ukuran blok / window tertentu. Dalam penelitian ini, digunakan ukuran
piksel dari ukuran citranya seperti yang dilakukan oleh Padwick et al. (2010).

- 96 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

2.3 Data yang Digunakan


Data sampel yang digunakan untuk melakukan eksperimen pan-sharpening ditunjukkan pada Gambar 2.
Data ini merupakan data citra Quick Bird yang terdiri atas data multispektral dan data pankromatik, pada
sebagian wilayah Kabupaten Batang, Propinsi Jawa Tengah dan telah melalui proses orthorektifikasi.

a) Band multispektral (resolusi )

b) Band Pankromatik (resolusi m)

Gambar 1. Data QuickBird yang dipergunakan

- 97 -
Pan-Sharpening Citra QuickBird menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) (Sambodo KA)

3. HASIL dan PEMBAHASAN


Hasil koreksi pan-sharpening dengan menggunakan data input pada Gambar 1 ditunjukkan pada Gambar
2. Pada Gambar 3 ditunjukkan perbesaran beberapa area pada Gambar 2 sehingga mempermudah dalam
melakukan perbandingan antara citra multispektral orisinil dengan citra hasil pan-sharpeningnya. Dari hasil
tersebut dapat dilihat bahwa metode pan-sharpening HCS ini memberikan hasil dengan ketajaman spasial
yang baik dan mempertahankan warna yang relatif sama dengan citra multispektral orisinilnya. Hal ini dapat
terlihat dari hampir keseluruhan jenis objek, baik rumah, sawah, jalan, tanah terbuka, maupun vegetasi di
sekitarnya.
Selanjutnya dilakukan evaluasi hasil secara kuantitatif dengan indeks Wang Bovic. Hasilnya
dirangkum pada Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa indeks untuk band R, G, dan NIR di atas
0.85, hanya untuk band B yang sedikit di bawah 0.85. Demikian juga untuk kualitas spasialnya yang dihitung
dengan cross correlation CC, untuk keseluruhannya di atas 0.85. Hal ini menunjukkan bahwa metode pan-
sharpening HCS ini memberikan hasil yang bagus baik secara kualitatif maupun kuantitatif apabila
diterapkan pada data QuickBird.
Selain itu, berbeda dengan metode pan-sharpening lainnya (seperti misalnya metode RGB-HIS),
metode HCS ini memberikan hasil pan-sharpening tidak hanya tiga band Red, Green, dan Blue saja, namun
juga menghasilkan citra hasil pan-sharpening untuk band NIR. Dan kualitas untuk band NIR ini juga relatif
memuaskan.

Gambar 2. Hasil Pan-sharpening dengan menggunakan metode Transformasi Hyperspherical


Color Space (HCS)

- 98 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Multispektral Pankromatik Hasil pan-sharpening HCS

Multispektral Pankromatik Hasil pan-sharpening HCS

Multispektral Pankromatik Hasil pan-sharpening HCS

Multispektral Pankromatik Hasil pan-sharpening HCS

Gambar 3. Gambar perbesaran hasil Pan-sharpening dengan menggunakan metode Transformasi


Hyperspherical Color Space (HCS)

Tabel 1. Indeks kualitas Wang Bovic


hasil pan-sharpening HCS.

Band
Red (R) 0.889
Green (G) 0.864
Blue (B) 0.746
NIR (N) 0.878

- 99 -
Pan-Sharpening Citra QuickBird menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) (Sambodo KA)

4. KESIMPULAN
Pan-sharpening dengan menggunakan metode transformasi Hyperspherical Color Space (HCS) dapat
diterapkan pada citra QuickBird dengan hasil yang memuaskan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Hasil pan-sharpening tersebut memiliki ketajaman spasial yang baik dan mempertahankan warna yang relatif
sama dengan citra multispektral orisinilnya. Hal ini juga ditunjukkan dengan nilai indeks kualitas citra
berdasar Wang-Bovic quality index yang tinggi pada keseluruhan band citra QuickBird (Red, Green, Blue,
dan NIR).

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN yang
telah menyediakan data Quick Bird untuk keperluan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Drs. Kustiyo, M.Si yang telah menyediakan fasilitas pengolahan datanya dan berbagai diskusinya
selama melakukan eksperimen.

DAFTAR PUSTAKA
Wang, Z., dan Bovic, A. (2012). A Universal Image Quality Index. IEEE Signal Processing Letters.
Padwick, C., Deskevich, M., Pafici, F., dan Smallwood, S. (2010). Worldview-2 Pan-sharpening. ASPRS 2010 Annual
Conference, San Diego, California.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : Ayom Widipaminto, S.T., M.T.


Judul Makalah : Pan-Sharpening Citra Quick Bird Menggunakan Transformasi Hyperspherical Color Space (HCS)
Pemakalah : DR. Katmoko Ari Sambodo
Jam : 15.30 16.30 WIB
Tempat : Meeting Room E-F
Diskusi :

Ferman Setia Nugraha (BPJ Parepare LAPAN).


Apakah metode dan plug-in ini bisa untuk data yang lain? Atau hanya untuk Quick Bird saja?

Daniel Sande Bona, S.T. (BPKWA Biak LAPAN)


Berapa batas maksimum perbandingan resolusi maksimum antara band pankromatik dengan band multispektral yang
dapat di pan-sharp?
Apakah ada metode lain yang dapat digunakan? Bagaimana perbandingannya dengan metode ini?

Jawaban:
Metode ini bisa digunakan untuk data yang lain. Penulis sudah mencoba menggunakan metode ini pada data citra Geo-
Eye, World View, Pleiades dan semua hasilnya memuaskan. Hanya saja masih terdapat masalah pada perbedaan jumlah
band tiap citra. Sehingga program harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga intensity matching-nya dapat
disesuaikan.
Resolusi band pankromatik biasanya 4x lebih besar dibandingkan band multispektralnya. Penulis telah menghitung
resolusi spasial piksel pankromatik yang dijadikan skala untuk kemudian dilakukan resampling terhadap data
multispektralnya.
Sebenarnya, penulis ingin melakukan perbandingan dengan metode lain tetapi terkendala dengan kemampuan software
yang lain yang hanya mampu mendukung data 8 bit. Sedangkan data Quick Bird tersebut memiliki data sebesar 11 bit
sehingga tidak dapat diproses oleh software tersebut. Penulis mencoba untuk melakukan perbandingan dengan metode
HIS, dan seperti yang telah diduga, hasilnya sangat kontras perbedaannya. Penulis mengaku agak ragu untuk tidak
menyampaikan, karena software-nya memang tidak mendukung data 11 bit.

- 100 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter Kondisi Lahan


di DAS Mentaya Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan SIG
Agung Rusdiyatmoko1,*)
1
BPDAS Kahayan Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kalimantan Tengah, Indonesia
*)
E-mail: rusdiagung@yahoo.com.

ABSTRAKSesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012, Daerah Aliran Sungai (DAS) diklasifikasikan
menjadi DAS dipulihkan dan dipertahankan. Penentuan klasifikasi tersebut didasarkan pada penilaian terhadap
parameter lahan, tata air, sosial ekonomi kelembagaan, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah.
Penelitian ini memfokuskan pada unsur lahan untuk menentukan klasifikasi DAS di DAS Mentaya. Tujuan penelitian
ini yakni untuk menentukan klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi lahan dengan menggunakan data
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dan untuk merencanakan tindakan rehabilitasi hutan dan lahan
yang sesuai dengan kondisi lahannya. Data penginderaan jauh yang digunakan antara lain citra Landsat 8 dan SRTM.
Untuk menilai kondisi lahan, data yang digunakan yakni data penutupan lahan hasil ekstraksi data penginderaan jauh
Landsat 8 dengan metode klasifikasi terselia. Algoritma NDVI dimanfaatkan untuk mengetahui distribusi tingkat
kerapatan vegetasi sebagai acuan untuk pemulihan DAS secara vegetatif. Kerapatan vegetasi dibedakan menjadi lahan
kosong, kerapatan vegetasi rapat, kerapatan sedang dan kerapatan jarang. SIG digunakan untuk mengolah data dan
untuk menggambarkan distribusi secara spasial data dalam klasifikasi DAS dan upaya rehabilitasi hutan dan lahan, yang
meliputi: tingkat kekritisan lahan, kesesuaian penutupan lahan, satuan lahan dalam pengelolaan lahan dan upaya
rehabilitasi lahan di DAS Kahayan. Teknik skoring digunakan untuk menentukan hasil klasifikasi DAS. Hasil yang
diperoleh dari penelitian ini, meliputi: tingkat kekritisan lahan (kritis dan sangat kritis) mencapai 599.339,74 Ha (41,
12%), kondisi penutupan lahan berupa persentase penutupan vegetasi hanya 53.92% dan nilai pengelolaan lahan
tergolong rendah. Guna pemulihan kondisi DAS tersebut, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dilakukan dengan
kegiatan vegetative dan sipil teknikdengan program kegiatan, antara lain: reboisasi, hutan rakyat dan penghijauan
lingkungan, pembuatan tabat dan gundukan pada ekosistem bergambut, dam pengendali, sumur resapan, serta biopori
pada ekosistem daratan.

Kata kunci: Klasifikasi DAS, Kondisi Lahan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Penginderaan Jauh, DAS Mentaya

ABSTRACT Determination of Watershed Classification Based on Land Condition Parameter in Mentaya Watershed
by using Remotely Sensed Data and GIS. According to Government Regulation No. 37 years 2012, Watershed
classification can be classified into restored and maintained watershed. It can be assessed by calculating land
condition, water condition, social/economic/ institutional, waterworks investment, and spatial use. This research is
focused on land aspect for determining Mentaya watershed classification. The objective of research is grouped into two
goals, namely: to determine Mentaya Watershed classification based on land condition by using remote sensing data
and geographic information system (GIS) and to plan land and forest rehabilitation action appropriate with land
condition. Landsat 8 and SRTM are used in this research. Land use type as basic data for evaluating land condition is
produced by Landsat 8 imagery extraction through supervised classification method. NDVI Algorithm is applied to
know dense of vegetation distribution. It is divided in to bare land, dense density, moderate density and low density.
These categories are reference to restore watershed vegetatively. GIS is functioned to process data and to draw data
spatially such as critical land, land use suitability, land unit for land management, and forest and land rehabilitation.
Scoring technique is applied to assess watershed classification. The results obtained from this research, including: land
critical level (critical and high critical) reaches 599.339,74 Ha (41,12%), percentage of vegetation cover is 53.92%,
and value of land management is categorized low management. To restore watershed condition, land and forest
rehabilitation activity need to be done by vegetative and civil technique programs such as reforestation, forest society,
environment reforestation, canal blocking and mound in peatland ecosystem, control dam, infiltration wells and bio-
pores especially in dryland ecosystem.

Keywords: Watershed Classification, Land Conditon, Land and Forest Rehabilitation, Remote Sensing, Mentaya
Watershed

- 101 -
Klasifikasi DAS Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data PenginderaanJauh Dan SIG
(Rusdiyatmoko, A.)

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang optimal memerlukan data dan informasi tentang
karakteristik DAS. Data karakteristik DAS ini mutlak diperlukan sebagai rekomendasi arah pengelolaan
DAS dan diharapkan dapat terintegrasi dengan misi dan visi pembangunan suatu wilayah sehingga
tercipta sinergi antara pembangunan ekonomi dan lingkungan. Data karakteristik DAS terbangun atas
dasar sifat khas yang dimiliki oleh suatu DAS. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P.3/V-SET/2013 tentang pedoman identifikasi
karakteristik daerah aliran sungai menerangkan bahwa karakteristik DAS merupakan sifat khas dari
suatu DAS yang terbagi menjadi sifat statis atau variabel yang tidak mudah berubah dan sifat dinamis
atau variabel yang mudah berubah. Data DAS yang tergolong khas dan statis adalah data morfologi dan
morfometri DAS. Variabel yang sering berubah dan mempengaruhi dinamika DAS, meliputi: data
meteorologi/klimatologi, penutup/penggunaan lahan, kondisi sosial ekonomi kebudayaan masyarakat,
dan kondisi kelembagaan pengelolaan DAS.

Data yang diperlukan untuk pengelolaan DAS selain informasi karakteristik DAS adalah informasi
klasifikasi DAS. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012, DAS
dapat diklasifikasikan menjadi DAS yang dipulihkan dan DAS yang dipertahankan. Penentuan
klasifikasi DAS yang dimaksud didasarkan pada kriteria, yaitu: kondisi lahan, tata air, sosial ekonomi,
investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah. Kriteria-kriteria tersebut tersusun oleh sub-sub
unsur pembentuknya. Kondisi lahan tersusun oleh sub unsur, seperti: informasi luasan lahan kritis,
luasan penutupan lahan dan erosi lahan. Sub unsur erosi lahan berkaitan dengan pengelolaan lahan.
Untuk itu, pola pengelolaan lahan dapat dijadikan sebagai unsur penilainya. Data yang diperlukan untuk
perhitungan kualitas, kuantitas dan kontinuitas air minimal terdiri dari informasi koefisien rezim aliran,
koefisien aliran tahunan, muatan sedimen, banjir, dan indeks penggunaan air. Perhitungan nilai sosial
ekonomi melibatkan beberapa parameter, meliputi: tekanan penduduk terhadap lahan, tingkat
kesejahteraan penduduk, dan keberadaan dan penekan peraturan. Untuk menguatkan analisis dan
perhitungan klasifikasi DAS dalam hal aset yang ada di suatu DAS diperlukan investasi bangunan. Data
aset yang dimaksud dapat dicerminkan dari klasifikasi kota dan nilai bangunan air yang berada di suatu
DAS. Pemanfaatan ruang wilayah diperlukan sebagai informasi pokok untuk manajemen fungsi wilayah
terhadap DAS. Data utama yang digunakan adalah pemanfaatan ruang wilayah dengan merujuk pada
informasi spasial dan non-spasial kawasan lindung dan kawasan budidaya perlu diketahui.
Klasifikasi DAS perlu diketahui sebagai dasar untuk melaksanakan tindakan kegiatan pengelolaan
DAS yang berkelanjutan untuk pengembalikan fungsi DAS. Usaha pemulihan DAS terkait dengan
informasi lahan terutama informasi laju degradasi lahan dan deforestasi baik secara temporal maupun
spasial. Usaha penanggulangan degradasi dan deforestasi harusdirealisasikan untuk menghindari
timbulnya permasalahan-permasalahan lingkungan, seperti: tingkat erosi tinggi, biodiversity hilang,
habitat musnah, dan kepunahan spesies lokal. Permasalahan tersebut dapat mempengaruhi kehidupan
manusia baik secara material dan non-material (Nandy et al., 2011). Salah satu upaya nyata untuk
menekan dan menghindari laju deforestasi adalah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan yang dimaksud harus tepat konsep, program dan sasaran. Untuk itu,
perencanaan kegiatan yang dimaksud harus cermat dengan mendasarkan pada karakteristik lahan pada
suatu wilayah aliran sungai atau DAS.
Data tentang lahan terdegradasi yang akurat baik spasial maupun non-spasial sangat diperlukan
untuk proses perencanaan. Data penginderaan jauh dan SIG dapat dikombinasikan untuk memperoleh
informasi kondisi lahan yang dimaksud. Keuntungan dari penggunaan data penginderaan jauh yakni
objek dapat diidentifikasi tanpa kontak langsung, tingginya tingkat keakuratan perekaman suatu data,
informasi yang diperoleh dapat secara temporal sehingga dapat memberikan informasi secara berkala.
Berkaitan dengan kondisi lahan yang terdegradasi, lahan-lahan yang dimaksud dapat dipetakan dan
diidentifikasi dengan data penginderaan jauh. Algorithm-algorithm khusus dapat digunakan, seperti
NDVI dan EVI (Higgibottom et al., 2014; Tagore et al., 2011). Kondisi alampun dapat dimodelkan
dengan menggunakan perangkat SIG (Bonham-Carter, 1994). Untuk itu, pemanfaatan data
penginderaan dan pengolahan dengan perangkat SIG diharapkan data memperoleh data dengan tingkat
keakuratan tinggi.

- 102 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk menentukan klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi
lahan dengan menggunakan data penginderaan jauh dan SIG, serta untuk merencanakan tindakan
rehabilitasi hutan dan lahan yang sesuai dengan kondisi lahannya

1.3. Ruang Lingkup


Lingkup penelitian ini lebih memfokuskan pada kondisi lahan sebagai data utama untuk klasifikasi
DAS Mentaya. Parameter lainnya seperti tata air, kondisi sosial ekonomi diabaikan walaupun parameter
tersebut penting untuk penentuan klasifikasi DAS. Parameter kondisi lahan dipilih sebagai parameter
utama dengan alasan bobot nilai parameter kondisi lahan tergolong tinggi dibandingkan dengan
parameter lainnya dalam klasifikasi DAS.

2. METODE
2.1. Data
Data utama yang digunakan dala penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data yang digunakan dalam penelitian

No Data Fungsi Sumber


1 Citra SRTM Untuk menggambarkan kondisi topografi http://srtm.csi.cgiar.org/
DAS Mentaya yang berkaitan dengan peta
kelerengan dan panjang lereng.
2. Data Penutupan Untuk mengetahui gambaran tentang Citra Landsat 8 di download dari
lahan distribusi penutupan lahan di DAS Mentaya https://libra.developmentseed.org/
dan pengelolan kondisi lahan secara umum.
3. Data Fungsi Untuk mengetahui fungsi kawasan Keputusan Menteri Kehutanan
Kawasan didasarkan pada payung hukum yang berlaku Republik Indonesia Nomor: SK.
529/Menhut-II/2012
4. Land system Untuk mengetahui sistem lahan DAS RePPROT
mentaya yang berisikan informasi tekstur
tanah, kondisi drainase, lereng, dan lithologi
5. NDVI Untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi Citra Landsat 8Path/row 119/062 dan
di DAS Mentaya path/row 119/061
6. Data distribusi Untuk mengetahui tingkat ketebalan gambut Data Wetland tahun 2004
Spasial Lahan yang digunakan sebagai dasar pembuatan
Gambut lahan kritis pada ekosistem lahan gambut.
7. Tingkat Untuk mengetahui distribusi spasial tingkat BPDAS Kahayan Tahun 2013
kekritisan lahan kekritisan lahan di DAS Mentaya

2.2. Metode
2.2.1. Penentuan Klasifikasi DAS Mentaya Berdasarkan Kondisi Lahan
Parameter yang digunakan untuk penentuan klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi lahan,
meliputi: kondisi kekritisan lahan, kondisi penutupan lahan, informasi pengelolaan lahan.

2.2.1.1. Kondisi Kekritisan Lahan


Tingkat kekritisan lahan diperoleh dari hasil pengolahan data penginderaan jauh Landsat OLI 8 dan
data SRTM. Pengolahan data dilakukan dengan SIG dengan metode utama adalah overlay dengan
memberikan bobot dan nilai pada setiap parameter penyusun kondisi kekritisan lahan. Di daerah
penelitian terdapat 3 (tiga) ekosistem utama yang mempengaruhi tingkat kekritisan, yaitu: ekosistem
lahan kering/daratan, rawa gambut, dan mangrove/sempadan pantai. Adapun tingkat kekritisan lahan
diklasifikasi dalam 5 (lima) kelas, yaitu: sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis, dan tidak kritis.

2.2.1.2. Kondisi Penutupan Lahan


Informasi penutupan lahan diperolehdari ekstraksi data penginderaan jauh yaitu citra Landsat OLI 8.
Citra Landsat 8 di daerah penelitian terdiri dari 2 (dua) sheets, yaitu: path/row 119/062 dan path/row
119/061. Citra yang digunakan adalah citra pilihan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun dengan
memperhitungkan luasan dan presentase tutupan awan. Untuk memperoleh informasi penutupan lahan

- 103 -
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data
PenginderaanJauh Dan SIG (Rusdiyatmoko A)

dari Citra Landsat, metode yang digunakan untuk klasifikasi adalah klasifikasi terselia dengan
menggunakan software Ermapper dan diolah secara digital dengan ArcGIS. Hasil olahan menghasilkan
data penutupan lahan tentatifyang selanjutnya dilakukan proses pengecekan lapangan. Penutupan lahan
yang digunakan untuk klasifikasi DAS ini menekankan pada luasan tutupan vegetasi dan tidak
bervegetasi. Langka awal klasifikasi lahan pada penelitian ini adalah penentuan 5 (lima) kelas utama,
yaitu: vegetasi, tubuh perairan, lahan terbuka, awan, dan penggunaan lahan lainnya. Salah satu manfaat
informasi penutupan lahan adalahuntuk identifikasi awal tingkat kekritisan lahan suatu wilayah.
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu algoritma penginderaan jauh
yang dimanfaatkan untuk mengetahui tingkat dan distribusi indeks vegetasi suatu wilayah. Indeks ini
merupakan rasio spectral merah dan infra merah. Untuk itu, citra penginderaan jauh yang digunakan
untuk ekstrasi informasi NDVI adalah citra yang mempunyai kanal spectral merah dan infra merah
dekat. Salah satu citra yang dapat digunakan adalah Landsat 8 OLI. Citra ini mempunyai karakteristik
spectral yang lebih sempit baik pada gelombang merah maupun infra merah dekat sehingga NDVI hasil
turunannya termasuk cukup signifikan untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi (Xu and Gue, 2014;
Rusdiyatmoko, 2013)
Band yang digunakan adalah band infra merah dan infra merah dekat dengan algorithma sebagai
berikut:

NDVI : Normalized Difference Vegetation Indexes


NIR : Kanal Infra merah dekat
Red : kanal merah

2.2.1.3. Informasi Pengelolaan Lahan


Informasi pengelolaan lahan diperoleh dengan cara identifikasi langsung ke lapangan ataupun
berdasarkan analisis satuan pemetaan. Satuan pemetaan tersebut tersusun atas data penutupan lahan dari
hasil klasifikasi citra Landsat.Untuk itu, metode yang digunakan adalah pengamatan langsung secara
acak pada setiap penggunaan lahan. Jenis pengelolaan paling dominan pada setiap satuan pemetaan
dianggap sebagai jenis pengelolaan lahan untuk penutupan lahan tersebut.

2.2.1.4. Penilaian Klasifikasi DAS


Klasifisi DAS berdasarkan kondisi lahan dipengaruhi parameter lain yang meliputi kondisi kekritisan
lahan, tutupan vegetasi, dan pengelolaan lahan. Parameter tersebut diberi nilai dan diberi bobot. Adapun
skor dan bobot disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Penentuan Nilai Setiap Parameter berdasarkan Skoring dan Pembobotan Factor Kondisi
Lahan

No Faktor Bobot Kriteria Skor Nilai


1 Lahan Kritis 50 % Lahan Kritis 5 % 0,5 25
5 %<% Lahan Kritis 10 % 0,75 37,5
10 %<% Lahan Kritis 15 % 1 50
15 %<% Lahan Kritis 20 % 1,25 62,5
% Lahan Kritis> 20 % 1,50 75
2 Penutupan Lahan 25 80 < % Penutupan Vegetasi 0,5 12,5
60 < % Penutupan Vegetasi80 0,75 18,75
40< % Penutupan Vegetasi60 1 25
20< % Penutupan Vegetasi40 1,25 31,25
% Penutupan Vegetasi20 1,50 37,5
3 Informasi Pengelolaan 25 0.1 0,5 12,5
Lahan 0.1 0.3 0,75 18,75
0.3 0.5 1 25
0.5-0.7 1,25 31,25
> 0.7 1,50 37,5
Sumber: Modifikasi KLHK, 2014

- 104 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Penentuan klasifikasi DAS berdasarkan kondisi lahan menggunakan formula aritmatika berikut ini:

Total Nilai= Nilai faktor persentase lahan kritis+Nilai factor persentase Penutup lahan
bervegetasi+Nilai factor persentase informasi.

Dari hasil perhitungan factor-faktor penyusun kondisi lahan di atas, diperoleh total nilai. Total nilai
hasil perhitungan tersebut kemudian dikelaskan sesuai dengan Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Klasifikasi DAS

No Nilai Klasifikasi DAS


1 0 - 75 Dipertahankan
2 75 -150 Dipulihkan
Sumber: Hasil Rumusan, 2015

2.2.2. Perencanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)


Dalam merencanakan tindakan rehabilitasi hutan dan lahan digunakan konsep satuan pemetaan.
Penelitian ini menggunakan dasar satuan pemetaan berupa tingkat kekritisan lahan kritis. Lahan yang
menjadi target kegiatan RHL ini adalah lahan dengan kategori sangat kritis, kritis dan agak kritis.
Kondisi tingkat kekritisan lahan ini juga digunakan untuk penentuan tingkat prioritas penanganaan.
Tingkat prioritas penanganan dibagi menjadi proritas I dan II. Informasi fungsi kawasan digunakan
untuk menentukan jenis kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

3. HASIL PEMBAHASAN
3.1. Penentuan Klasifikasi DAS Berdasarkan Kondisi Lahan
3.1.1. Tingkat Kekritisan Lahan
Informasi tingkat kekritisan lahan disajikan secara spasial pada Gambar 3.1. di bawah ini. Secara
tabular, data disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Luas Tingkat kekritisan lahan

Tingkat
Luasan
Kekritisan
No Lahan Ha %
1 Agak Kritis 557.024,39 38,21
2 Kritis 550.113,96 37,74
3 Potensial Kritis 261.065,90 17,91
4 Sangat Kritis 49.225,78 3,38
5 Tidak Kritis 40.247,96 2,76
Jumlah 1.457.677,99 100,00

Gambar 3.1. Informasi Spasial Tingkat Kekritisan Lahan

Kondisi tingkat kekritisan lahan DAS Mentaya didominasi oleh tingkat kekritisan agak kritis (38,21%)
dan kritis (37,74%). Hal ini mengindikasikan bahwa DAS Mentaya memerlukan pengelolaan khusus
untuk mengendalikan tingkat kekritisannya. Penyebaran tingkat kekritisan lahan DAS Mentaya
- 105 -
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data
PenginderaanJauh Dan SIG (Rusdiyatmoko A)

melingkupipada bagian tengah dan hilir DAS. Berkaitan dengan penentuan klasifikasi DAS, kondisi
lahan sangat dipengaruhi oleh luasan lahanpada kategori kritis dan sangat kritis dalam suatu DAS. Hasil
pengolahan dan analisis menunjukkan baha kondisi lahan kekritisan lahan DAS Mentaya tergolong luas
yaitu mencapai 599.267,66 ha (40,82%). Hal ini sebagai indikator bahwa tingkat pemulihan DAS
memerlukan usaha yang cukup tinggi. Lahan kritis yang dibiarkan tidak ditanggulangi menyebabkan
lahan menjadi lahan marginal yang mengakibatkan lahan menjadi tidak berproduktif dan tidak bernilai
secara ekonomis (FAO, 1998; Thomas et al., 2012). Untuk itu, luas lahan yang mencapai 599.267,66 ha
harus ditangani dengan memperhatikan kemampuan lahan dan diolah sesuai dengan nilai kesesuaian
lahannya.

3.1.2.Kondisi Penutupan Lahan


Landsat 8 OLI diolah dengan menggunakan metode klasifikasi terselia. Hasil pengolahan data dan
didukung dengan uji petik di lapangan menghasilkan informasi spasial penutupan lahan
terpercaya.NDVI digunakan sebagai dasar identifikasi kerapatan penutupan lahan. Hasil pengolahan
NDVI ini menunjukkan bahwa kondisi kerapatan vegetasi di DAS Mentaya termasuk sedang sampai
dengan tinggi. Vegetasi jarang ditemui pada lahan yang telah terolah seperti lahan pertanian,
permukiman dan pertambangan. Kondisi perkebunan dan semak belukar yang tersebar di DAS Mentaya
termasuk pada kategori sedang dan rapat. Kondisi tingkat kerapatan vegetasi di DAS Mentaya secara
spasial disajikan pada Gambar 3.2 .

Gambar 3.2. Informasi Spasial tingkat Gambar 3.3. Informasi Spasial Penutupan
kerapatan vegetasi Lahan

- 106 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Tabel 3.2. Informasi Jenis Penutup Lahan DAS Mentaya

Luasan
No Jenis Penutupan Lahan
Ha %
1 Hutan 234.043,98 15,94
2 Hutan Rawa 111.886,95 7,62
3 Hutan Tanaman 560,62 0,04
4 Lahan Terbuka 29.937,54 2,04
5 Perkebunan 445.212,38 30,32
6 Permukiman 30.794,51 2,10
7 Pertambangan 16.514,45 1,12
8 Lahan Pertanian 91.061,69 6,20
9 Rawa 58.619,94 3,99
10 Semak Belukar 439.047,91 29,90
11 Tubuh Air - Danau 10.502,00 0,72
Grand Total 1.468.181,97 100,00

Klasifikasi penutupan lahan di DAS Mentaya pada tahap pertama dibedakan 5 (lima) kelas utama
penutupan lahan, yaitu: lahan bervegetasi, lahan terbuka, penutup lahan lainnya (lahan terbangun), awan
dan tubuh perairan. Dari hasil interpretasi digital tersebut, kelas tutupan vegetasi dibedakan menjadi
hutan dan non hutan. Selanjutnya, hutan didetailkan menjadi hutan, hutan rawa dan hutan tanaman. Non
hutan terbagi dalam perkebunan, lahan pertanian, semak belukar. Sedangkan lahan terbuka dibedakan
menjadi lahan terbuka dan kawasan pertambangan. Jenis penutupan lahan didominasi oleh perkebunan
(30,32%) dan semak belukar (29,90%). Hal tersebut mengindikasikanadanya alih fungsi lahan dari
hutan menjadi bukan hutan dengan luasan yang sangat tinggi. Luasan perkebunan mencerminkanlahan
dimanfaatkan secara intensif. Luasan perkebunan dengan jenis tanaman berupa sawit ini menyisakan
hutan seluas2.340.43,98 ha, Hutan rawa 111.886,95 ha dan hutan tanaman hanya 560,62 ha. Lahan yang
tidak terolah dengan baik menyebabkan lahan dalam kondis terlantar. Lahan-lahan terlantar yang tidak
tergarap dengan baik ditumbuhi oleh semak belukar. Luasan semak belukar mencapai 4.390.47,91 ha.
Adapun hasil intepretasi dengan uji lapangan menghasilkan tingkat keakurasian mencapai 73 %.

3.1.3.Kondisi pengelolaan Lahan


Untuk mengetahui kondisi pengelolaan lahan, data utama yang digunakan adalah jenis penutupan
lahan dan pola pengelolaannya. Pola pengelolaan lahan setiap penutup lahan diperlukan pengamatan
langsung di lapangan dan wawancara dengan beberapa pengolah tanah. Hasil yang diperoleh disajikan
pada Tabel 3.3
Tabel 3.3. Nilai Pengelolaan Penggunaan Lahan di DAS Mentaya
No Pengelolaan Penggunaan Lahan Nilai Luas (Ha)
1 Hutan banyak sersah 0,001 234.044
2 Hutan Sekunder 0,1 111.887
3 Hutan tanaman, Sedikit sersah 0,005 561
4 Lahan tanpa Pengelolaan 1 87.749
5 Perkebunan pola jarak tanam 0,1 445.212
6 Palawija dengan teras bangku tradisional 0,7 91.062
7 Semak belukar 0,02 449.550
Nilai Tertimbang 0,147

Penilaian pengelolaan lahan ini menghasilkan nilai tertimbang sebesar 0,147. Sesuai dengan kriteria
tingkat pemulihannya termasuk pemulihan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan di
DAS Mentaya diolah tanpa menggunakan kaidah konservasi yang tepat dan cenderung dibiarkan.
Tutupan vegetasi berkaitan erat dengan proses erosi (Ries, 2010). Penutupan lahan berupa hutan dengan

- 107 -
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data
PenginderaanJauh Dan SIG (Rusdiyatmoko A)

kondisi seresah menyebabkan nilai pengelolaan lahan sangat rendah. Hal ini mengindikasikan
kurangnya pengelolaan walaupun dari segi konservasi dapat menghambat terjadinya erosi percik. Energi
curah hujan sebelum mencapai permukaan tanah dihalangi oleh seresah dan kanopi sehingga erosi
percik terhambat. Nilai pengelolaan lahan tanpa memperhatikan konsep konservasi dapat dijumpai di
beberapa lokasi. Nilai pengelolaan lahannya sangat tinggi yaitu mencapai 1 (satu). Hal ini sebagai
indikasi jika terjadi pengolahan lahan yang sangat ekstensif di kawasan terbangun seperti permukiman.
Penutupan lahan jenis ini mempengaruhi kondisi DAS dalam haltingginya nilai limpasan permukaan
dan sedimentasi. Sistem pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air
mempengaruhi nilai pengelolaannya. Hasil pengamatan menunjukkan nilai pengolahan lahan 0,1 dan
0,7. Di beberapa lokasi dijumpai lahan yang tidak dikelola dengan baik sehingga ditumbuhi semak
belukar. Adanya semak belukar menunjukkan pengolahan lahan sangat kecil.

3.1.4. Hasil klasifikasi DAS Mentaya


Dengan menggunakan pendekatan SIG, klasifikasi DAS dapat dinilai dengan cepat. Konsep
perolehan informasi klasifikasi menggunakan sistem skoring dengan memberikan nilai dan bobot pada
setiap parameter (Carter B, 1994).Kondisi lahan DAS Mentaya yang dicerminkan dengan kondisi
tingkat kekritisan lahan, persentase penutupan lahan yang diidentikkan dengan kondisi hutan dan
perkebunan yang termanfaatkan, dan kondisi pengelolaan lahan maka diperoleh ringkasan data dan hasil
perhitungan yang disajikan pada Tabel 3.4. Nilai total hasil perhitungan yakni 118,75 sehingga kategori
DAS Mentayatergolong pada DAS yang dipulihkan. Hasil perhitungan tersebut mengindikasikan
adanya permasalahan di DAS Mentaya. Permasalahan utama yang dihadapi yakni tingkat kekritisan
lahan tergolong tinggi dengan persentase mencapai 41,11 % dan pengelolaan lahan tergolong rendah.
Tingkat kekritisan lahan yang tinggi disebabkan oleh kondisi dinamis yaitu perubahan penutupan lahan
dari hutan menjadi non hutan dan kondisi statis berupa tingginya erosi karena adanya pengaruh
pengoalahn lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan dan kesesuaian jenis penutup lahan.
Penutupan lahan non hutan berupa perkebunan dan semak belukar mempengaruhi tingkat kekritisan
lahan. Penutupan lahan berupa perkebunan dengan sistem monokultur tanpa memperhatikan aspek
lereng baik lereng makro maupun mikro menyebabkan erosi dan limpasan permukaan DAS Mentaya
tergolong tinggi. Ditinjau dari aspek pengelolaan lahan, lahan di DAS ini belum memperhatikan aspek
konservasi. Sistem pengolahan lahan bersifat tradisional di lahan masyarakat dan tidak adanya
bangunan konservasi yang memadai untuk menahan laju erosi permukaan.

Tabel 3.4. Nilai Pengelolaan Penggunaan Lahan di DAS Mentaya


NO Kriteria Kondisi Nilai Kualifikasi Skor Nilai Klasifikasi
Lahan Pemulihan
1 Kondisi Kekritisan 599.339,74 Ha Sangat tinggi 1,5 75
Lahan (41,11 %)
2 Persentase Penutupan 791.704 Ha Sedang 1 25
Vegetasi (53,92 %)
3 Kondisi Pengelolan 0.147 Rendah 0,75 18,75
Lahan
Skor Total 118,75 Dipulihkan

3.2. Perencanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan


Klasifikasi DAS Mentaya berdasarkan kondisi lahan tergolong DAS yang dipulihkan sehingga
penanganan khusus diperlukan untuk mengoptimalkan pengelolaan DAS. Luasan lahan kritis yang
tinggi dan pengelolaan lahan yang rendah merupakan penyebab utama DAS Mentaya harus dipulihkan.
Untuk itu, program pemulihan DAS harus memperhatikan karakteristik lahan. Salah satu progam
kegiatan yang dapat dilaksanakan adalah program kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (Nawir, et al.
2008). Informasi karakteristik lahan yang dapat digunakan untuk identifikasi lahan yang bersifat
statistik adalah informasi geologi wilayah kajian. Informasi geologi sangat mempengarui kondisi
topografi dan bahan induk yang dapat dijadikan informasi kekhasan suatu wilayah. Formasi geologi
DAS Mentaya dapat dibedakan menjadi endapan aluvium dan formasi Warukin. Endapan aluvium
tersebar disepanjang sungai Mentaya. Endapan ini mempengaruhi bentang lahan fluvial yang afilisiasi
dengan penutupan lahan termanfaatkan. Formasi Warukin terdapat dibagian di hulu dan tengah DAS
(Kunama, 2008). Dari informasi ini menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di
kawasan hulu, hilir, tengah serta kondisi kanan kiri sungai dapat berbeda jenis perlakuannya.

- 108 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Pendekatan zona ekosistem dapat digunakan sebagai masukan untuk jenis kegiatan rehabilitasi hutan
dan lahan. Dalam penelitian ini,zona ekosistem di DAS Mentaya berdasarkan kondisi pembentuk tanah
terbagi dalam ekosistem tanah mineral, ekosistem rawa gambut, dan ekosistem pesisir. Sistem
pengelolaan setiap ekosistem tersebut pun berbeda. Pengelolaan lahan di rawa-gambut untuk skala
explorasi pada penelitian ini didasarkan pada tingkat kekritisan gambut, kematangan, dan ketebalan
gambut (Rusdiyatmoko, 2014; Suryanto & Rusdiyatmoko, 2011). Jenis kegiatan yang dapat
direncanakan meliputi kegiatan reboisasi gambut dalam dan penghijauan gambut dalam.
Program utama kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yakni kegiatan vegetatif dan sipil teknis.
Kegiatan vegetatif yang direncanakan terbagi 2 (dua) kegiatan utama, yaitu: reboisasi dan penghijauan
lingkungan. Adapun detail kegiatan, meliputi: hutan rakyat, hutan rakyat gambut dalam, penghijauan
lingkungan, penghijauan lingkungan gambut dalam, reboisasi dan reboisasi gambut dalam. Informasi
kegiatan rehabilitasi tersebut disajikan pada Gambar 3.4.
Prioritas penanganan lahan di DAS Mentaya ini didasarkan pada kondisi lahan kritis, yaitu: prioritas
1 dan 2. Prioritas 1 merupakan area dengan kondisi kondisi lahan marginal atau kondisi sangat kritis dan
kritis. Pola kegiatan untuk area prioritas I adalah reboisasi dan reboisasi gambut dalam. Untuk kegiatan
reboisasi gambut dalam, data yang harus diperhatikan adalah data ketebalan gambut. Distribusi spasial
gambut tebal di DAS Mentaya ada dibagian timur dengan kondisi ketebalan lebih dari 3 meter. Data lain
yang untuk mendukung perencanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di ekosistem rawa gambut
adalah data kematangan gambut. Kematangan gambut berkaitan dengan kandungan organic, kondisi
batas cair, dan drainase pada suatu lahan. Gambut yang masih mentah dengan kondisi tebal memerlukan
penanganan khusus. Kegiatan rehabilitasi di kawasan gambut ini selain memperhatikan kondisi
ketebalan dan kematangan gambut harus memperhatikan kondisi hidrologi gambut. Kondisi lahan
bergambut harus dalam keadaan basah. Prinsip utama pengelolaan hidrologi di lahan gambut adalah
mempertahankan kondisi tinggi muka air. Pemilihan tanaman untuk kegiatan vegetative disesuaikan
kondisi lahan. Tanaman lokal merupakan pilihan utama dengan sistem pengayaan ataupun penanaman.

Gambar 3.4. a. Jenis Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan metode vegetative di DAS Mentaya
b. Prioritas Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan metode vegetative di DAS Mentaya

Kegiatan sipil teknis termasuk salah satu jenis kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dapat
direkomendasikan untuk memulihkan DAS Mentaya. Kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain
pembuatan teras datas, dam penahan, teras gulud, teras individu, gully plug, dam pengendali, tabat-
gundukan, dan biopori-sumur resapan. Bangunan teras diprioritaskan untuk dibangun pada daerah dengan
ekosistem tanah mineral dan berlereng. Tabat direkomendasikan dibangun pada lahan dengan ekosistem
gambut. Fungsi utama tabat ini adalah mempertahankan muka air gambut. Kondisi gambut yang basah
harus dipertahankan dalam pengelolaan lahan gambut ini. Untuk itu, sistem tokongan atau gundukan
dapat digunakan dalam rangka penanaman pada daerah tergenang. Secara spasial, kegiatan sipil teknis
dalam rangka kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan disajikan pada Gambar 3.5.
- 109 -
Klasifikasi Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Parameter KondisiLahan Di DAS Mentaya Dengan Menggunakan Data
PenginderaanJauh Dan SIG (Rusdiyatmoko A)

Gambar 3.5. Zona Kegiatan Sipil Teknis

4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain:
1. Kondisi kekritisan lahan untuk penilaian kualifikasi DAS Mentaya mencapai 599.339,74 ha (41,12
%). Kondisi kekritisan lahan yang diperhitungkan adalah informasi luasan lahan sangat kritis dan
kritis. Kualifikasi DAS untuk parameter lahan dikategorikan sangat tinggi karena luasan lahan
kritis lebih dari 20%.
2. Kondisi penggunaan lahan di DAS Mentaya hasil pengolahan Landsat 8 menunjukkan sebagian
besar jenis penutupan lahan adalah Perkebunan dan semak belukar. Dari hasi perhitungan indeks
penutupan lahan diperoleh informasi luasan penutupan lahan 53.92% yang terdiri dari penutupan
lahan jenis hutan dan perkebunan.
3. Hasil identifikasi pengelolaan lahan di DAS Mentaya tergolong masih rendah.
4. Hasil pengolahan data dengan SIG menunjukkan bahwa DAS Mentaya dikategorikan DAS yang
dipulihkan. Permasalahan utama yang dihadapi dalam upaya pemulihan DAS adalah tingkat
kekritisan lahan tergolong tinggi sehingga diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan.
5. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan secara vegetatif dan sipil teknis dengan program
kegiatan, yaitu: reboisasi, hutan rakyat dan penghijauan lingkungan, pembuatan tabat dan
gundukan pada ekosistem bergambut, dam pengendali, sumur resapan dan biopori pada ekosistem
daratan/tanah mineral. Target kegiatan RHL dibagi 2 (dua) prioritas, yaitu: prioritas I untuk lahan
dengan kondisi lahan sangat kritis dan kritis dan prioritas II ditargetkan untuk wilayah dengan
kondisi lahan agak kritis.
6. Data penginderaan jauh sangat membantu untuk analisis klasifikasi DAS terutama untuk informasi
kondisi lahan pada parameter yang terkait dengan tutupan lahan yaitu data utama penyusun tingkat
kekritisan lahan, data utama luasan vegetasi yang terdapat di DAS, dan membantu analisis tingkat
pengelolaan lahan di suatu DAS. NDVI dapat digunakan sebagai algorithma untuk membantu
analisis penutupan lahan.

- 110 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

DAFTAR PUSTAKA
Carter, B. (1994). Geographic Information System for Geoscientists, Modelling with GIS. Pergamon. Ontario.
Higginbottom, Thomas, P., dan Elias, S. (2014). Review Assesing Land Degradation and Desertification Using
Vegetation Index Data: Current Frameworks and Future Directions. Remote Sensing, 6:9552-9575.
Kusnama (2008) Batubara Formasi Warukin di Daerah Sampit dan Sekitarnya. Kalimantan Tengah. Jurnal Geologi
Indonesia. 3(1):11 -22.
Lal, R. (1996). Deforestation and Land-Use Effects on Soil Degradation and Rehabilitation in Western Nigeria.II.
Soil Chemical Properties. Land Degradation & Development, 7:87 98.
Nandy, S., Kushwaha, S.P.S., dan Dadhwal, V.K. (2011). Forest degradation assessment in the Upper Catchment of
The River Tonsi using Remote Sensing and GIS. Ecological Indicators. 11:509 513.
Ani, N. (2008). Rehabilitasi Hutan di Indonesia: Akan Kemanakah Arahnya Setelah Lebih Dari Tiga Dasawarsa?.
CIFOR. Bogor.
Ries, J.B. (2010). Methodologies for Soil Erosion and Land Degradation Assessment in Mediterranean-Type
Ecosystems. Land Degradation Development, 21:171- 187.
Rusdiyatmoko, A. (2013). Incorporating Landslide Susceptiblity in Land Rehabilitation (A Case Study: in Middle
Part of Kodil Watershed, Central Java, Indonesia). Thesis Double Degree M.Sc Programme Gadjah Mada
University and Faculty of Geo-Information Science and Earth Observation University of Twente Netherlands.
Suryanta, G., dan Rusdiyatmoko, A. (2010). A quick-Assessment Model for Peat Swamp Forest Rehabilitation
Using SPOT 4 IMAGE. Proceeding PIT MAPIN XVII.
Xu, D., dan Guo, X. (2014). Compare NDVI extracted from Landsat 8 imagery with that landsat 7 imagery.
American Journal of Remote Sensing, 2(2):10-14.
Tagore, G.S. (2012). Mapping of Degraded Lands Using Remote Sensing and GIS Techniques, Journal of
Agriculutral Physics, 12(1):29-36.
Thomas, E.L., dan Luiz, J.C. (2012). Soil Loss, Soil Degradation and Rehabilitation in a Degraded Area in
Guarapuava (Brazil). Land Degradation & Development, 23:72 81.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : Dr. Wikanti Asriningrum, M.Si.


Judul Makalah : Klasifikasi DAS Berdasarkan Parameter Kondisi Lahan Di DAS Mentaya Dengan
Menggunakan Data Penginderaan Jauh Dan SIG
Pemakalah : Agung Rusdiyatdimoko
Jam : 15.30 16.30 WIB
Tempat : Ball Room 2 & 3 (Lt.1)
Diskusi :

Ratih Dewanti (Pustekdata, LAPAN)


Saya tidak melihat adanya keterkaitan antara judul dengan isi (content). Judul akan lebih pas apabila judul diubah
menjadi Analisis Kekritisan Lahan DAS.....dan seterusnya.

Jawaban:
Penelitian ini mengacu pada PP No.60 tahun 2012, Juknis untuk menilai klasifikasi kerusakan DAS dengan
menggunakan parameter fisik, hidrologi dan manajemen lahan. Dan untuk mengenai judul bisa dipertimbangkan
lagi. Saya tidak menyebut PP No 60 tahun 2012 namun saya menjawab dengan mengacu P.60 Tahun 2014 .. P
yang dimaksud adalah permenhut jika ditulis adalah sebagai berikut P. 60 /Menhut-II/2014.

Dony Kushardono (Pusfatja, LAPAN)


Untuk menilai kualitas DAS, apakah dengan data Landsat 8 yang beresolusi menengah sudah cukup baik,untuk
menentukan parameter mengingat untuk menilai kerusakan suatu DAS diperlukan data yang rinci? Untuk NDVI,
seberapa besar tingkat akurasi NDVI dalam menggambarkan tingkat kerapatan vegetasi dalam area penelitian?

Jawaban:
Luas DAS yang dianalisis sangat besar sehingga penggunaan data Landsat 8 sangat cocok digunakan karena
coverage area-nya yang luas. Output yang dihasilkan dalam penelitian ini juga masih dalam skala makro, bukan
detail. Untuk rencana pengelolaan teknis, nantinya akan menggunakan data yang lebih rinci dari yang digunakan
saat ini. Nantinya untuk penelitian lebih rinci akan menggunakan citra yang beresolusi lebih tinggi seperti SPOT dan
yang lainnya.

- 111 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Klasifikasi Tutupan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau Menggunakan


Kombinasi Indeks dari Data Landsat 8 (Studi Kasus: DKI Jakarta)
Sayidah Sulma1,*), Jalu Tejo Nugroho1, Any Zubaidah1, Hana Listi Fitriana1,
Nanik Suryo Haryani1, dan Hidayat1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
*)
E-mail: sulma_sayidah@yahoo.co.id

ABSTRAK-Pemetaan tutupan lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) perlu dilakukan secara berkelanjutan sejalan
dengan pembangunan wilayah yang menyebabkan perubahan tutupan lahan yang cepat. Perubahan tutupan lahan
tersebut diharapkan tetap mempertahankan ketersediaan ruang hijau di suatu daerah. Pada penelitian ini dilakukan
klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra Landsat 8 dengan kombinasi beberapa indeks yaitu Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water Index (NDWI), Normalized Difference Build-up Index (NDBI)
dan Normalized Difference Bareness Index (NDBaI) dengan studi kasus wilayah DKI Jakarta. Citra indeks tersebut
digunakan untuk metode cepat klasifikasi tutupan vegetasi, badan air, lahan terbangun dan tanah terbuka. Kemudian
untuk klasifikasi ruang terbuka hijau (RTH), dilakukan reklasifikasi menjadi kelas RTH dan bukan RTH, dimana RTH
meliputi daerah bervegetasi dan tanah terbuka yang masih berpotensi untuk ditumbuhi tanaman. Akurasi hasil
klasifikasi RTH berdasarkan kombinasi indeks diuji dengan referensi data resolusi tinggi yaitu citra Pleiades dan
diperoleh akurasi sebesar 80.90%.

Kata kunci:Tutupan lahan, RTH, NDVI, NDWI, NDBI, NDBaI, Landsat 8

ABSTRACT-Mapping of land cover and green open space (RTH) should be carried out continuously in line with
regional development that led to a land cover change. Land cover change had to preserve the availability of green
space in an area. In this research, land cover classification using Landsat 8 with a combination of several indices that
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water Index (NDWI), Normalized Difference
Build-up Index (NDBI) and Normalized Difference Bareness Index (NDBaI) with the case study areas of DKI Jakarta.
The index image is used for fast method of classification of vegetation cover, water bodies, built area and bare land.
Then the reclassification into class of RTH and not RTH, which the RTH covers an area of vegetated and bare land that
still has the potential to overgrown plants. The accuracy of classification based on a combination of indices tested with
the reference high-resolution data that is the image of the Pleiades and obtained an accuracy of 80.90%.

Keywords: Land cover, green open space, NDVI, NDWI, NDBI, NDBaI, Landsat 8

1. PENDAHULUAN
Pemetaan tutupan lahan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) perlu dilakukan secara berkelanjutan sejalan
dengan pembangunan wilayah yang menyebabkan perubahan tutupan lahan yang cepat. Perubahan tutupan
lahan tersebut diharapkan tetap mempertahankan ketersediaan ruang hijau di suatu daerah. Berdasarkan
PerMen PU No. 05/PRT/M/2008, Ruang Terbuka Hijau didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Departemen Pekerjaan Umum, 2008).
Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk pemetaan tutupan lahan dan ruang terbuka hijau
merupakan salah satu cara yang memberikan banyak keunggulan dibandingkan dengan pengamatan langsung
di lapangan. Metode yang telah banyak digunakan khususnya untuk pemetaan RTH dari data satelit adalah
dengan klasifikasi visual ataupenggunaan citra indeks vegetasi. Penelitian pemetaan RTH menggunakan
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dari data Landsat 8 diantaranya telah dilakukan oleh
Febrianti & Sofan (2014) dan menggunakan NDVI dari data SPOT 6 oleh Febrianti et al. (2015).
Dalam penelitian ini akan dilakukan klasifikasi tutupan lahan menggunakan kombinasi beberapa indeks
yaitu NDVI, NDWI, DDBI dan NDBaI dari data Landsat 8. NDVI pada dasarnya digunakan untuk
mengukur pertumbuhan tanaman dan untuk menentukan daerah yang ditutupi oleh vegetasi. Dalam
perhitungan NDVI digunakan panjang gelombang cahaya tampak merah dan inframerah dekat. Dasar
perhitungan tersebut adalah pigmen dalam daun atau klorofil sangat menyerap cahaya tampak (0,4 0,7 m)
dalam proses fotosintesis, sementara itu struktur sel daun sangat memantulkan cahaya inframerah dekat
(0,7-1.1 m). Semakin banyak daun pada tanaman maka akan semakin mempengaruhi pantulan atau
- 112 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

penyerapan pada panjang gelombang tersebut (NASA, 2015). Normalized Difference Water Index (NDWI)
merupakan salah satu indeks vegetasi untuk mengukur molekul air pada vegetasi yang berinteraksi dengan
radiasi matahari yang masuk. Chen et al. (2006) menggunakan NDWI sebagai salah satu indeks untuk
mengetahui karakteristik tutupan lahan di suatu wilayah. Di samping itu Senanayake et al. (2013) juga
menggunakan NDWI dalam analisis tutupan lahan bervegetasi untuk pemisahan objek air dan awan. Nilai
indeks NDWI besar atau meningkat pada vegetasi yang memiliki kandungan air, atau indeks meningkat dari
objek tanah kering hingga ke air terbuka (Molidena et al., 2012). Zha et al. (2003) membangun Normalized
Difference Built-up Index (NDBI) untuk mengidentifikasi dengan cepat daerah perkotaan dan daerah
terbangun. Pembuatan indeks didasarkan pada respon spektral yang unik pada lahan terbangun dimana
memiliki reflektansi yang tinggi pada panjang gelombang inframerah pendek (SWIR) dibandingkan pada
panjang gelombang inframerah dekat (NIR). Zhao & Chen (2005) membangun indeks Normalized
Difference Bareness Index (NDBaI) untuk mengkelaskan lahan bera atau lahan terbuka dari citra Landsat.
NDBaI cukup sensitif untuk membedakan lahan bera, lahan semi bera dan lahan yang dibudidayakan. Kanal
yang digunakan adalah kanal inframerah pendek (SWIR) dan inframerah thermal (TIR).
Penggabungan citra indeks tersebut diharapkan dapat membantu dalam klasifikasi untuk beberapa kelas
tutupan lahan. Berdasarkan definisi RTH, maka RTH bukan saja daerah bervegetasi namun juga meliputi
lahan terbuka yang masih dapat ditanami vegetasi. Sehingga dalam penelitian ini, akan dilakukan
pengkelasan RTH yang meliputi daerah bervegetasi juga lahan/tanah terbuka yang masih berpotensi untuk
ditanami. Hasil klasifikasi tersebut akan diverifikasi menggunakan referensi data satelit resolusi tinggi yaitu
Pleiades untuk mengetahui tingkat akurasinya.

2. METODE
Lokasi penelitian adalah wilayah Provinsi DKI Jakarta. Data yang digunakan terdiri dari data satelit
Landsat 8 sensor OLI dan TIRS Level 1T path/raw 122/064 tanggal 25 Agustus 2013 dan 13 September
2014, serta data satelit Pleiades tanggal 12 Juli 2013. Gambar 1 memperlihatkan citra Landsat 8 untuk
wilayah Jakarta dan citra Pleiades untuk sebagian wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Data yang
digunakan sudah terkoreksi geometrik dan radiometrik. Dari koreksi radiometrik diperoleh data dengan nilai
reflektansi Top of Atmosphere (ToA).

DKI Jakarta DKI Jakarta DKI Jakarta

Landsat 8, 25 Agustus 2013 Landsat 8, 13 September 2014 Pleiades, 12 Juli 2013

Gambar 1. Citra Landsat 8 dan Pleiades wilayah DKI Jakarta

Untuk klasifikasi tutupan lahan pada data Landsat 8 digunakan indeks NDVI, NDWI, NDBI dan NDBaI.
Rumus perhitungan NDVI secara matematik ditulis sebagai berikut (Purevdorj et al,1998; NASA, 2015):
NDVI = NIR-RED/NIR+RED..............................................................................................................(1)
Rumus untuk NDWI yakni sebagai berikut (Gao, 1996; Chen at al., 2006):
NDWI = NIR-SWIR/NIR+SWIR ......................................................... ...............................................(2)
Rumus untuk NDBI yakni sebagai berikut (Zha et al., 2003; Xu 2007):
NDBI = SWIR-NIR/SWIR+NIR .........................................................................................................(3)
Rumus untuk NDBaI yakni sebagai berikut (Zhao & Chen, 2005; Chen et al., 2006):
NDBaI = dSWIR-dTIR/dSWIR+dTIR .......................................................................................................... (4)

- 113 -
Klasifikasi TutupanLahan dan Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Kombinasi Indeks dari Data Landsat 8 (StudiKasus: DKI
Jakarta) (Sulma, S., et al.)

Dalam hal ini:


NIR, RED, SWIR masing-masing adalah reflektansi band inframerah dekat, band sinar tampak merah
dan inframerah pendek, sedangkan dSWIR dan dTIR masing-masing adalah nilai digital band inframerah
pendek dan band inframerah termal.
Citra indeks tersebut digunakan untuk klasifikasi vegetasi, badan air, bangunan dan tanah terbuka dengan
penerapan threshold nilai indeks. Untuk penentuan threshold atau rule set yang akan digunakan, tahap awal
dilakukan perhitungan indeks pada data Landsat 8 tanggal 25 Agustus 2013 karena berdekatan waktunya
dengan data Pleiades yaitu tanggal 12 Juli 2013, sehingga mudah untuk verifikasi dan diasumsikan belum
ada perubahan tutupan lahan. Selanjutnya membuat training area/sample pada masing-masing citra indeks
tersebut, yang mewakili kelas tutupan lahan vegetasi, badan air, bangunan dan tanah terbuka. Penentuan
training area dilakukan dengan referensi citra Pleiades untuk mendapatkan kelas tutupan lahan yang
homogen pada setiap piksel citra indeks dari Landsat 8. Berdasarkan training area kemudian dihitung
kisaran dan rata-rata nilai setiap indeks yaitu indeks NDVI, NDWI, NDBI dan NDBaI untuk masing-masing
kelas. Untuk mendapatkan kelas RTH dilakukan reklasifikasi dari keempat kelas menjadi kelas RTH dan
bukan RTH, dimana RTH meliputi daerah bervegetasi dan tanah terbuka.
Untuk verifikasi RTH dari kombinasi indeks citra Landsat 8, digunakan data Pleiades sebagai referensi.
Tahap awal dilakukan interpretasi visual dan delineasi data Pleiades untuk mengkelaskan daerah RTH dan
bukan RTH. Perhitungan akurasi dilakukan dengan menumpangsusunkan kelas RTH dari Landsat 8 dengan
hasil klasifikasi RTH dari data Pleiades menggunakan proses union, kemudian dikelaskan daerah yang
beririsan (corrected), daerah yang masuk kelas lain (omission) dan daerah tambahan dari kelas lain
(commission). Kemudian akurasi hasil klasifikasi RTH berdasarkan kombinasi indeks citra Landsat 8
dihitung menggunakan metode uji ketelitian klasifikasi confusion matrix yang mengacu pada Short (1982)
Dalam Purwanto (2014) dengan rumus sebagai berikut:

Akurasi (%) = Corrected / (Omission + Comission + Corrected) x100%................................................... (5)

3. HASIL dan PEMBAHASAN


Dalam klasifikasi tutupan lahan serta RTH digunakan kombinasi beberapa indeks yaitu NDVI untuk
mengkelaskan tutupan vegetasi, NDWI untuk badan air, NDBI untuk lahan terbangun dan NDBaI untuk
lahan bera atau tanah terbuka. Pada Gambar 2. diperlihatkan citra hasil perhitungan masing-masing indeks.
Pada citra NDVI dapat dilihat semakin tinggi nilai indeks (berwarna merah) menunjukkan tingkat kerapatan
dan tutupan vegetasi yang semakin baik. Pada citra NDWI secara dapat dilihat semakin tinggi nilai indeks
(warna merah) menunjukkan kandungan air yang semakin tinggi. Dalam Molidena et al (2012) disebutkan
nilai indeks NDWI tinggi pada vegetasi yang memiliki kandungan air, atau indeks meningkat dari objek
tanah kering hingga ke air terbuka. Nilai indeks tinggi pada citra NDBI menunjukkan lahan
terbangun.Sedangkan pada citra NDBaI, terlihat nilai indeks yang lebih tinggi pada lahan terbangun dan
lahan terbuka. Untuk klasifikasi RTH nantinya akan dilakukan reklasifikasi menjadi kelas RTH (Vegetasi
dan tanah terbuka) dengan non RTH (Lahan terbangun dan air).

- 114 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

-0.3 NDVI 0.8 -0.45 NDWI 0.7

-0.8 NDBI 0.3 -0.7 NDBaI 0.3

Gambar 2. Citra indeks NDVI, NDWI, NDBI dan NDBaI

Ketika menerapkan beberapa indeks untuk klasifikasi tutupan lahan terdapat beberapa permasalahan
dalam penentuan threshold, karena masih terdapat percampuran objek dalam setiap indeks, misalnya dalam
indeks NDWI masih ada sedikit percampuran antara objek air dan vegetasi. Untuk memecahkan
permasalahan tersebut, terlebih dahulu dilakukan analisis spektral setiap band pada setiap objek pada training
area yang telah ditentukan sebelumnya. Pada Gambar 3 dapat dilihat pola spektral masing-masing objek
(training sample) di daerah kajian pada Band 1-Band 7 dan Band9 - Band 11 citra Landsat 8 LDCM.
Sedangkan Tabel 1 menunjukkan nilai indeks pada setiap kelas tutupanlahan berdasarkan training sampel.
Pada pola spektral objek vegetasi terlihat pola khas yang membedakan dengan objek lainnya yaitu pada Band
4, Band 6 mempunyai pantulan atau spektral yang kecil sedangkan pada Band 5 memiliki pantulan yang
tinggi. Objek air memiliki pantulan yang khas pada Band 4, Band 5 dan Band 6 dimana pada Band 4 nilai
spektral tinggi sedangkan pada Band 5 dan Band 6 semakin kecil karena terserap oleh air.

- 115 -
Klasifikasi TutupanLahan dan Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Kombinasi Indeks dari Data Landsat 8 (StudiKasus: DKI
Jakarta) (Sulma, S., et al.)

35000

30000

25000

Digital Number
20000 tanah terbuka

15000 lahan terbangun

air
10000
vegetasi
5000

0
Band1 Band2 Band3 Band4 Band5 Band6 Band7 Band9 Band10Band11

Gambar 3. Pola spektral setiap objek di daerah kajian

Setelah diperoleh pola spektral masing-masing objek, digunakan operasi logic (Boolean operator)
berdasarkan band spektral yang digabungkan dengan citra hasil indeks. Metode ini juga telah diterapkan oleh
Chen et al. (2006). Sebagai contoh, sesuai pola spektral (Gambar 3) dan threshold indeks (Tabel 1) untuk
pemisahan objek vegetasi digunakan kombinasi operasi (Band 5 Band 4)>0, (Band 5 band 6)>0 dan
(0,33>NDVI>0.77), karena hanya vegetasi yang memiliki nilai spektral (Band 5 Band 4)>0, (Band 5
band 6)>0. Kemudian untuk untuk objek air digunakan kombinasi operasi (Band 4 Band 5)>0, (Band 5
Band 6)>0 dan (0.08>NDWI>0.7). Untuk kelas lahan terbangun dan tanah terbuka digunakan kombinasi
antara indeks NDBI dan NDBaI karena ketika menerapkan kombinasi spektral tiap band tidak terbentuk
kelas yang berbeda secara signifikan, namun ketika menggabungkan antara indeks NDBI dan NDBaI
khususnya untuk kelas tanah terbuka terbentuk kelas yang lebih tepat. Untuk kelas tanah terbuka digunakan
operasi (-0.02>NDBI>0.04) dan (-0.37>NDBaI>-0.3), sedangkan untuk lahan terbangun digunakan threshold
(-0.18>NDBI>0.3).

Tabel 1. Nilai indeks pada setiap kelas tutupan lahan berdasarkan training sample
Jumlah Piksel NDVI NDWI
Kelas
Sample Min Max Mean Min Max Mean
Vegetasi 119 0.33 0.77 0.54 -0.04 0.44 0.26
Badan Air 151 -0.40 0.11 -0.33 0.08 0.70 0.49
Lahan terbangun
107 0.05 0.29 0.11 -0.30 0.18 -0.22
(bangunan)
Tanah terbuka 31 0.11 0.33 0.21 -0.04 0.02 0.02
Jumlah Piksel NDBI NDBaI
Kelas
Sample Min Max Mean Min Max Mean
Vegetasi 119 -0.44 0.04 -0.26 -0.49 -0.25 -0.40
Badan Air 151 -0.7 -0.08 -0.49 -0.67 -0.60 -0.67
Lahan terbangun
107 -0.18 0.30 0.22 -0.51 0.00 -0.28
(bangunan)
Tanah terbuka 31 -0.02 0.04 -0.02 -0.37 -0.30 -0.33

Gambar 4 memperlihatkan kelas tutupan lahan berdasarkan kombinasi band dan threshold citra indeks.
Sedangkan Gambar 5 menunjukkan gabungan dari semua kelas pada citra tanggal 13 September 2013 dan 25
Agustus 2014. Hasil klasifikasi tutupan lahan ini kemudian direklasifikasi untuk mendapatkan kelas RTH
dan non RTH dan diuji akurasi menggunakan acuan data Pleiades.

- 116 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Vegetasi Air Lahan terbangun Tanah terbuka

Gambar 4 . Kelas tutupan lahan berdasarkan threshold citra indeks dan kombinasi band

13 September 2013 25 Agustus 2014

Gambar 5. Tutupan Lahan wilayah DKI Jakarta dari citra Landsat 8 tanggal 13 September 2013 dan 25 Agustus 2014

Perhitungan akurasi dilakukan terhadap hasil klasifikasi RTH dari citra Landsat tanggal 25 September
2013. Adapun kelas RTH yang digunakan merupakan gabungan dari kelas vegetasi dan kelas tanah terbuka,
sehingga dari klasifikasi tutupan lahan yang terdiri dari 4 kelas (vegetasi, tanah terbuka, lahan terbangun dan
air) dilakukan reklasifikasi menjadi 2 kelas (RTH dan non RTH).
Perhitungan akurasi dilakukan dengan menumpangsusunkan kelas RTH dari beberapa indeks tersebut
dengan hasil klasifikasi RTH dari data Pleiades pada enam Area of Interest (AoI) menggunakan proses
union, kemudian dikelaskan daerah yang beririsan (corrected), daerah yang masuk kelas lain (omission) dan
daerah tambahan dari kelas lain (commission). Hasil akurasi yang diperoleh pada beberapa keenam AoI
adalah sebesar 80.90 %. Tabel 2 memperlihatkan hasil perhitungan akurasi untuk setiap AoI dan keseluruhan
AoI. Secara umum di setiap AoI terdapat omission error yang lebih tinggi dibandingkan commision error,
artinya masing ada beberapa wilayah yang tidak terkelaskan sebagai RTH berdasarkan kombinasi citra
indeks tersebut.

- 117 -
Klasifikasi TutupanLahan dan Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Kombinasi Indeks dari Data Landsat 8 (StudiKasus: DKI
Jakarta) (Sulma, S., et al.)

Tabel 2. Akurasi klasifikasi RTH


Luas (m2) Accuracy
No AoI
Commision Ommision Corrected (%)
1 Aoi 1 17,623 95,992 886,288 88.64
2 Aoi2 428,482 450,223 3,125,087 78.05
3 Aoi3 63,710 106,007 780,435 82.14
4 Aoi4 103,194 112,486 780,130 78.34
5 Aoi5 155,713 168,436 1,229,161 79.13
6 Aoi6 110,752 79,523 720,039 79.10
Rata-rata accuracy 80.90

Setelah dilakukan verifikasi citra tutupan lahan pada data tanggal 13 September 2013 menggunakan data
Pleiades 12 Juli 2013 kemudian dilakukan penerapan threshold atau rule setpada data tanggal 25 Agustus
2014, namun masih diperlukan verifikasi lebih lanjut untuk hasil penerapan pada data tahun lainnya. Citra
tutupan lahan tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 5. Dari tutupan lahan tahun 2013 dan 2014 terlihat ada
perubahan terutama adanya pengurangan vegetasi dan penambahan lahan terbangun. Adapun luas masing-
masing tutupan lahan tersebut dan perubahannya dapat dilihat pad Tabel 3.

Tabel 3. Luas tutupan lahan tahun 2013 dan 2014


Luas (km2)
No Tutupan Lahan
2013 2014 Perubahan
1 Vegetasi 166.24 112.82 -53.42
2 Lahan terbangun 442.84 474.79 +31.95
3 Tanah Terbuka 12.25 30.95 +18.70
4 Air 20.13 22.89 +2.76

4. KESIMPULAN
Kombinasi indeks NDVI, NDWI, NDBI dan NDBaI memberikan hasil yang cukup baik pada klasifikasi
tutupan lahan dan ruang terbuka hijau dengan tingkat akurasi sebesar 80,90 %. Namun perlu pengujian lebih
lanjut untuk lokasi penelitian dan waktu data yang berbeda.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN dan Kepala
Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini, serta Kepala
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN yang telah menyediakan data Landsat 8 dan Pleiades.

DAFTAR PUSTAKA
Chen, Z.M., Babiker, I.S., Chen, Z.X., Komaki, K., Mohamed, M.A.A., dan Kato, K. (2004). Estimation of interannual
variation in productivity of global vegetation using NDVI data. International Journal of Remote Sensing,
25(16):31393150.
Chen, X.L., Zhao, H.M., Li, P.X., dan Yin, Z.Y. (2006). Remote Sensing Image-based Analysis of the Relationship
Between Urban Heat Island and Land use/cover changes. Remote Sensing of Environment 104: 133-146.
Departemen Pekerjaan Umum (2008) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Jakarta.
Febrianti, N., dan Parwati, S. (2014). Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta Berdasarkan Analisis Spasial dan Spektral
Data Landsat 8. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh
Febrianti, N., Pasaribu, J.M., dan Sulma, S. (2015). Analisis Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta Menggunakan Data
SPOT 6. Prosiding PIT MAPIN
Gao, B. (1996). NDWI-A Normalized Difference Water Index for Remote Sensing of Vegetation Liquid Water From
Space. Remote Sensing Environment. 58:257-266.
Molidena, E., dan As-syakur, A.R. (2012). Karakteristik Pola Spektral Vegetasi Hutan dan Tanaman Industri
berdasarkan Data Penginderaan Jauh. Prosiding PIT MAPIN XIX.
NASA (2015) Measuring Vegetation (NDVI & EVI). Cited in http://earthobservatory.nasa.gov/Features/Measuring
Vegetation/measuring_vegetation_2.php [23 Maret 2015]
- 118 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Purevdorj, T.S., Tateishi, R., Ishiyama, T., dan Honda, Y. (1998). Relationshipsbetween Percent Vegetation Cover and
Vegetation Indices. InternationalJournal of Remote Sensing, 19(18):35193535
Purwanto, A.D., Asriningrum, W., Winarso, G., dan Parwati, E. (2014). Analisis Sebaran dan Kerapatan Mangrove
Menggunakan Citra Landsat 8 di Segara Anakan, Cilacap. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh.
Senanayake, I.P., Welivitiya, W.D.D.P., dan Nadeeka, P.M. (2013). Remote sensing based analysis of urban heat
islands with vegetation cover in Colombo city, Sri Lanka using Landsat-7 ETM+ data. Urban Climate 5:19-35.
Xu, H. (2007). Extraction of Urban Built-up Land Features from Landsat Imagery Using a Thematic oriented Index
Combination Technique. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 73(12):1361-1391.
Zhao, H.M., dan Chen, X.L. (2005). Use of normalized difference bareness index in quickly mapping bare areas from
TM/ETM+. Geoscience and Remote Sensing Symposium, 3(2529):16661668.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : Dr. Wikanti Asriningrum, M.Si.


Judul Makalah : Klasifikasi Tutupan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Kombinasi Indeks
dari Data Landsat 8 (Studi Kasus: DKI Jakarta)
Pemakalah : Sayidah Zulma
Jam : 15.30 16.30 WIB
Tempat : Ball Room 2 & 3 (Lt.1)
Diskusi :

Dede Dirgahayu (Pusfatja, LAPAN)


Belum disebutkan prosentase dari RTH, apakah berdasarkan luasan tertentu atau berdasarkan lokasinya. Perlu juga
dirinci lebih lanjut definisi vegetasi penutup RTH agar di dapatkan hasil yang akurat.

Jawaban:
Kriteria RTH yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua bentuk vegetasi dan ruang terbuka yang masih bisa
ditanami oleh tanaman, walaupun definisi dari vegetasi masih ada batasan-batasan lainya seperti RTH yang meliputi
ruang public tapi untuk makalah ini hanya membahas vegetasi lahan terbuka

Mahdi Kartasasmita (LAPAN)


Sebaiknya melakukan analisis terlebih dahulu terhadap kelebihan dan keterbatasan dari masing-masing indeks. Perlu
juga diberi hubungan keterkaitan antar indeks

Jawaban:
Terimakasih atas masukan dan saran dari Pak Mahdi dan akan bisa bermanfaat untuk penelitian-penelitian lebih lanjut.

- 119 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Studi Perbandingan Metode Klaster Fuzzy pada Sistem


Informasi Retrieval Citra Danau ( Study Kasus: Citra Google Earth )
Yuli Sudriani1,*)
1
Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI)
*)
E-mail: yuli@limnologi.lipi.go.id

ABSTRAK-Retrival citra merupakan salah satu implementasi dari pengelompokan fuzzy untuk memanggil citra
berdasarkan citra inputan. Tulisan ini menganalisis performa dari empat (4) metode pengelompokan pemanggilan citra
danau berdasarkan citra google - earth. Tujuan dari sistem adalah untuk memanggil citra dengan berbagai kondisi citra
danau menggunakan citra google-earth dan mendapatkan informasi tentang danau berdasarkan hasil keluaran system.
Tulisan ini akan membandingkan empat (4) metode klaster fuzzy yaitu Fuzzy C-Means (FCM), Fuzzy K-Means (FKM),
Fuzzy C Shell (FCS), Fuzzy Possibilistic C - Means (FPCM). Parameter perbandingan antara lain kecepatan dalam
melakukan pemanggilan citra, kevalidan hasil, dan ketepatan hasil retrival. Analisis dari performa sistem telah diuji
dengan membandingan citra inputan dengan citra keluaran yang terdiri dari citra inputan dan berbagai jenis dari citra
acuan yang ada. Kunci dari retrival citra danau adalah ekstraksi fitur. Perbandingan metode klaster menggunakan dua
fitur ekstraksi yaitu fitur tekstur menggunakan metode signal processing menggunakan pendekatan two-level
decomposition wavelet transform (DWT2) dan ekstraksi fitur warna menggunakan metode histogram warna. Pada
kesamaan temuan (index matching) menggunakan metode Eucledian distance. Disimpulkan bahwa dengan
menggunakan fitur fitur ekstraksi yang sama untuk tiap metode klaster fuzzy, maka metode klaster FCM memberikan
99% output citra sesuai dengan citra yang diinput didalam database dan FCM membuktikan sebagai salah satu metode
retrival citra danau yang lebih daripada metode fuzzy yang lainnya. FPCM merupakan metode retrival citra yang
memiliki hasil 47 persen hasil yang akurat pada citra noise tetapi kurang stabil terhadap kecepatan ketika retrival.

Kata kunci: Kata kunci : Citra danau, klaster, Fuzzy C-Mean ( FCM ), Fuzzy K-Means ( FKM ), Fuzzy C-Shell ( FCS ),
Retrival, Fuzzy Possibilistic C-Means (FPCM )

ABSTRACT-Image retrieval is an implementation of fuzzy clustering to retrieve image based on query image. This
paper was analyzed the performance four ( 4 ) method of fuzzy clustering lake image based on google - earth . The
purpose of this system was to retrieve image with all condition of lake image using google-earth image and to get the
information about lake based on output image. This paper compared four fuzzy cluster method like Fuzzy C-Means (
FCM ), Fuzzy K-Means ( FKM ), Fuzzy C Shell ( FCS ), Fuzzy Possibilistic C-Means (FPCM ). The parameter of
comparation are fast retrieve image, best validation result and best accurate lake image. The analyzing of system
perfomance had been tested with compare between input image and various image to retrieve.The key of lake image
retrieval is feature extraction. It compare using two feature extraction, that are texture feature using signal processing
method with two level decomposition wavelet transform ( DWT2 ) and color feature extraction using color histogram.
For image matching using eucledian distance. Findings indicate that : using same features extraction for every cluster
method , FCM clustering method has 99% is matching with query image and FCM is the most stable clustering fuzzy
method than the other fuzzy clustering method. For FPCM, it has 47 % for accurate output with noise image but less
steady for fast retrieve image.

Keywords: Lake Image, Clustering, Fuzzy C-Mean ( FCM ), Fuzzy K-Means ( FKM ), Fuzzy C-Shell ( FCS ), retrieval,
Fuzzy Possibilistic C-Means ( FPCM )

1. PENDAHULUAN
Retrival citra adalah suatu proses pemanggilan kembali citra yang diinginkan dari koleksi citra yang
berjumlah besar berdasarkan informasi atau fitur ( warna, bentuk, tekstur, spasial layout, dan lain lain ) yang
diekstraksi dari citra itu sendiri. Content-based image retrieval juga dikenal dengan nama query by image
content (QBIC) atau content-based visual information retrival (CBVIR) (Manimala & Hemachandran, 2012;
Setia 2004). Retrival citra danau merupakan salah satu pengembangan penelitian dari retrival citra untuk
melakukan proses temu kembali citra danau pada database sehingga menghasilkan informasi yang tepat dan
akurat terkait informasi di dalam citra danau tersebut. Retrival citra danau tidak lepas dari permasalahan
ekosistem danau diantaranya adalah kerusakan daerah tangkapan air, kerusakan sempadan, pencemaran
perairan dan resiko bencana. Diharapkan sistem informasi retrival citra akan menghasilkan informasi
informasi dan hasil analisisanalisis yang dibutuhkan terhadap citra danau. Database citra danau akan berisi

- 120 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

dua ratus delapan belas citra danau google-earth. Google - earth dipilih dikarenakan merupakan salah satu
citra yang sering dijadikan acuan untuk analisismenganalisis kondisi danau di Indonesia.
Pengenalan citra dimulai dengan melakukan ekstraksi ciri (feature extraction) dari suatu citra, yaitu
mengenali citra berdasarkan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya. Tiap citra akan dilakukan
perhitungan dan kemudian diproses sebelum dilakukan pengambilan kembali-citra (Manimala &
Hemachandran, 2012). Permasalahan yang ingin diangkat adalah belum adanya sistem informasi terhadap
citra danau dan metode untuk menghasilkan proses pencarian citra danau untuk mencari informasi yang
terdapat di dalam citra danau atau lebih dikenal dengan sistem informasi retrival citra danau. Pencarian citra
menggunakan retrival menjadi sangat penting ketika citra yang ingin dicari memiliki database yang besar.
Database yang besar sangat menyulitkan pengguna untuk mencari citra sehingga membuang waktu. Untuk
itulah sistem retrieval citra danau ini dikembangkan. Pengembangan dari retrival citra danau selanjutnya
adalah hasil analisisanalisis terhadap kondisi danau berbasis citra dengan pendekatan retrival citra danau.
Tulisan ini berfokus kepada pengembangan sistem informasi pada retrival citra danau yang terdiri dari:
(1). Perbandingan metode pengelompokan fuzzy terhadap citra danau menggunakan metode pengelompokan
FCM, FKM, FCS, dan FPCM. (2). Analisis performa sistem dengan pengujian antara citra danau inputan dan
citra danau pada database dan diluar database (3). Rekomendasi metode terbaik yang digunakan untuk
sistem. Tulisan tentang sistem informasi retrival citra danau belum banyak dilakukan. Masih sedikit tulisan
yang membahas retrival citra danau. Salah satu tulisan sebelumnya adalah inputan citra berupa text untuk
mencari hasil citra danau yang optimal yang membahas tentang inputan text yang harus disesuaikan dengan
output yang diinginkan. Apabila menginput citra tentang air maka output citra hasil harus air dan bukan
danau atau sungai (Ning et al., 2006). Akan tetapi, tulisan ini belum dianggap sempurna dikarenakan inputan
masih berupa semantic atau text dan belum ditemukan pencarian berbasis konten citra danau (Datta et al.,
2008; Dave, 1992; Setia, 2004).
Untuk itu, tulisan ini akan mengkaji tentang perbandingan metode-metode klaster fuzzy dalam
mendapatkan hasil output yang optimal pada implementasi sistem informasi retrival citra danau berdasarkan
konten. Citra yang digunakan dalam tulisan ini adalah citra danau yang memiliki tingkat intensitas warna
yang tinggi, menggunakan citra pada googleearth ukuran citra danau inputan harus m x m (harus sama)
dengan citra danau pada database, extension file untuk citra adalah .bmp, sistem retrival citra yang dibangun
berupa aplikasi desktop (offline), ruang lingkup database citra dalam sistem adalah citra danau pada google-
earth. Tujuan penelitian ini yakni membandingkan empat metode klaster fuzzy menggunakan dua fitur
ekstraksi fitur data citra googleearth. Hasil klaster (pengelompokan) akan divalidasi secara komputerisasi
untuk mendapatkan metode yang terbaik. Metode ini digunakan untuk menganalisis dan mengelompokan
data sesuai fiturfiturnya. Hasil dari tulisan ini adalah tercapainya implementasi metode klaster fuzzy terbaik
dan stabil dalam aplikasi sistem informasi terhadap citra danau, dan mempercepat pencarian terhadap
informasi citra danau yang diperlukan pada database yang besar.
Tulisan ini akan dibagi menjadi lima bagian yaitu pendahuluan yang membahas tentang latar belakang
dan alasan penulisan. Bagian kedua mempresentasikan metode yang digunakan, deskripsi tentang sistem
informasi retrival citra danau. Penjelasan singkat tentang metode digunakan untuk pembaca yang belum
mengenal metode yang dipakai. Pada bagian ketiga akan membandingkan metode pengelompokan dengan
menggunakan fitur ekstraksi yang sama. Hasil dan analisisanalisis akan dipresentasikan di bagian keempat.
Bagian kelima akan membahas tentang kesimpulan.

2. METODE
2.1 Proses Retrival Citra Danau
Proses berjalannya sistem adalah sebagai berikut :
1. Pada citra - citra danau didatabase akan diberikan link yang berisi informasi terkait citra danau.
2. Terdapat pilihan tombol dalam melakukan metode pengelompokan yaitu FCM, FKM, FCS, FPCM
dan memilih klaster yang diinginkan dengan kesamaan fitur ekstraksi hasil output citra adalah citra
dengan tingkat kemiripan (warna, teksture) yang paling mendekati citra inputan.
3. Menggunakan ekstraksi fitur untuk mengekstrak fitur-fitur yang terdapat pada citra danau. Fitur yang
diambil adalah warna, dan tekstur. Fitur yang telah diekstrak akan disimpan dalam bentuk dimensi
vektor [4].
4. Melakukan retrival yaitu melakukan pengambilan citra dengan memasukkan citra yang ingin diambil
dengan menggunakan metode klaster.

- 121 -
StudiPerbandingan Metode Klaster Fuzzy Pada Sistem Informasi Retrival Citra Danau (StudiKasus : Citra Google - Earth)
(Sudriani, Y.)

5. Melakukan indexing output citra yang ditampilkan menggunakan perhitungan Eucledian distance untuk
menghitung jarak titik pusat dari citra yang dimasukkan dengan citra-citra yang ada dalam
pengelompokannya (Jike & Qui, 2008).
6. Membandingkan metode untuk mengelompokkan citra-citra dalam database ke dalam kluster-kluster
dengan pengujian masing-masing metode.

Gambar 1. Proses Sistem Retrival Citra danau

Pada Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa proses pada sistem retrival citra danau memiliki dua proses yaitu
proses searching dan proses training. Pada proses training merupakan proses pada citra di dalam database
yang mana citra citra yang berada di dalam database dengan nama koleksi citra melakukan proses ekstrasi
fitur warna dan tekstur tiap citra pada koleksi citra. Setelah mendapatkan ekstraksi fitur berupa matriks
vektor maka dilakukan proses pengelompokan fuzzy dengan membandingkan empat metode yaitu FCM,
KCM, FCS, dan FPCM. Setelah mendapatkan hasil dari pengelompokan fuzzy maka dilakukan proses
indexing atau urutan citra berdasarkan kesamaan citra yang ada dan hasilnya akan masuk ke dalam database
fitur. Pada proses searching, sistem melakukan pencarian citra yang mendekati citra yang berada di dalam
database fitur. Citra yang diinput adalah citra yang berada di dalam database, citra berada di luar database
dan citra yang diberikan noise yang mana dilakukan proses ekstraksi fitur warna dan tektur sehingga
mendapatkan hasil ekstraksi fitur tiap citra. Proses similarity matching merupakan proses selanjutnya dari
proses searching, dengan membandingkan antara ekstraksi fitur pada citra inputan dan ekstraksi fitur di
database citra . Nilai yang mendekati kesamaan dari nilai inputan citra maka merupakan citra hasil retrival.

- 122 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

2.2 Ekstraksi Fitur Warna ( Color Histogram)

Salah satu teknik dasar yang digunakan untuk mendapat fitur warna adalah dengan menghitung selisih
histogram dari citra dan citra lainnya pada database atau koleksi citra (Dave, 1992). Pada kasus ini nilai
warna diwakili oleh nilai histogram citra yang menjadi acuan dan histogram citra database. Teknik ini lebih
dikenal dengan quadratic distance. Langkah-langkah untuk mendapatkan qudratic distance (Mallat, 1989)
yakni sebagai berikut :
Membaca citra simpan sebagai I1 dengan map1 rgb colorspace.
Membaca citra acuan simpan sebagai I0 dengan map0rgb colorspace.
Konversi map1 ke hsv1hsv colorspace. Konversi map0 ke hsv0hsv colorspace
Menghitung histogram h dari citra dan Menghitung histogram g dari citra acuan.
Rumus: h(A,B,C)(a,b,c)=N.prob (A=a,B=b,C=c)Dimana A,B,C mempresentasikan 3 warna R,G,B
( Red, Green, Blue ) atau mempresentasikan H,S,V dan N adalah jumlah piksel dari suatu gambar

Menghitung perbedaan antara nilai piksel citra dengan citra acuan ( h g ). Rumus :

( , )
= )( ( , , ) ( , , ))^

Pada rumus ini akan memberi perbandingan dengan format bin di histogram Gambar h dan Gambar g.
Sehingga dihasilkan suatu matriks yang berisikan isi dari keseluruhan kesamaan antar citra h dan citra g
yang direpresentasikan dengan matriks A
Menghitung similarity matriks A yang didapat dari hsv citra
/
= + +

Menghitung jarak histogram Quadraticd(h,g) yang digunakan untuk retrival citra berbasis
konten dari rumus:
( , )=( ) ( )
rumus d (h,g) merupakan rumus untuk menghitung jarak quadratic dengan huruf d adalah jarak yaitu melihat
jarak terdekat antara nilai suatu citra yang ingin diinput dengan citra yang ada di dalam database citra
terutama citra danau maninjau. Rumus h adalah citra yang ada pada dalam database. Dan rumus g adalah
citra yang diinput. A adalah suatu matriks kesamaan. Rumus matriks A di atas didapat dengan melihat
kesamaan nilai dari warna yang dipresentasikan dalam bentuk bin. Dan seluruh nilai korelasi yang
berhubungan disebut Matriks A. Rumus pada matriks A yaitu A(i,j) merupakan hasil nilai dari RGB (red,
green, dan blue) dari citra dengan Di,j adalah jarak antara warna i dan warna j di ruang RGB (red, green,
blue ). Proses diatas digunakan untuk mengubah citra dalam bentuk RGB menjadi HSV.

2.3 Ekstraksi Fitur tekstur ( wavelett transform feature )

Tekstur merupakan karakter yang penting pada analisisanalisis berbagai tipe citra. Tekstur mendeskripsikan
kedalaman dan tampilan dari citra. Sistem ini menggunakan metode signal processing dengan menggunakan
pendekatan two-level decomposition wavelettransform ( DWT2) (Datta et al., 2008).

Sintak untuk konversi daricitra RGB ke grayscale adalah I = rgb2gray (RGB)

Keterangan: : I = rgb2gray ( RGB ) melakukan konversi citra RGB ke gambar dengan intensitas grayscale
proses ini dilakukan dengan menghilangkan warna dan saturasi. Perintah proses dekomposisi citra
menggunakan syntaks sebagai berikut :

[C,S] = wavedec2(X,N,'wname') [C,S] = wavedec2(X,N,Lo_D,Hi_D)

- 123 -
StudiPerbandingan Metode Klaster Fuzzy Pada Sistem Informasi Retrival Citra Danau (StudiKasus : Citra Google - Earth)
(Sudriani, Y.)

Yang mana wavedec2 adalah fungsi analisis wavelet dua dimensi. Proses energi setiap koefisien digunakan
syntax matlab yaitu:

[Ea,Eh,Ev,Ed] = wenergy2(C,S) [Ea,EDetail]=wenergy2(C,S)

Yang mana ketika proses dekomposisi citra selesai dilakukan maka nilai dari dekomposisi citra akan
dimasukkan ke dalam syntax wenergy2 untuk melakukan perhitungan energi koefisien setiap gambar yang
ada (Mallat, 1989).
[Ea,EDetail]=wenergy2(C,S) mengembalikan nilai Ea dan Edetail dari penjumlahan vektor Ea, Eh, Ev, Ed.
2.4 Metode Pengelompokan Fuzzy C Means ( FCM )

Fuzzy C-Means ( FCM ) adalah suatu teknik pengelompokan data di mana keberadaan tiap-tiap data dalam
suatu kelompok ditentukan oleh nilai keanggotaan. Konsep dasar FCM, menentukan pusat kelompok yang
akan menandai lokasi rata-rata untuk tiap-tiap kelompok (Kusumadewi, 2006). FCM adalah suatu
metode pengelompokan yang memungkinkan satu bagian dari data untuk memiliki dua atau lebih kelompok
(Karim, 2011). Pada kondisi awal pusat pengelompokan masih belum akurat. Tiap-tiap data memiliki derajat
keanggotaan untuk tiap-tiap kelompok. Dengan cara memperbaiki pusat kelompok dan nilai keanggotaan
tiap-tiap data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat kelompok akan bergerak menuju lokasi
yang tepat. Algoritma FCM adalah sebagai berikut (Kusumadewi, 2006).

a. Menentukan :

1. Matriks X berukuran dengan n = jumlah data yang akan dikelompokkan, m = jumlah


variable (kriteria). Xij adalah data sampel ke-i (i=1,2,n), variable ke-j (j=1,2,m).
2. Jumlah kelompok yang akan dibentuk =
C ( 2).
3. Pangkat atau pembobot = w ( > 1).
4. Maximum iterasi.

5. Kriteria penghentian = (nilai positif yang sangat kecil).


6. Iterasi awal, t = 1, dan = 1.
b. Membentuk matriks partisi awal U0 sebagai berikut :
A= [U11(x1) ...... U1n(Xn)]
Uc1(x1) ...... Ucn(Xn)
Dimana matrik partisi awal dipilih secara acak. Ucn adalah nilai dari sebuah matrik berdasarkan baris dan
kolom, begitu juga terhadap x.
c. Menghitung pusat kelompok (Vij), untuk setiap kelompok :

d. Memperbaiki derajat keanggotaan setiap data pada setiap kelompok (perbaiki matrik partisi), sebagai
berikut :

Dimana i (i=1,2,c), variable ke-k (j=1,2,n).


e. Menentukan kriteria pemberhentian, yaitu perubahan matriks partisi pada iterasi sekarang dengan iterasi
sebelumnya, sebagai berikut :

- 124 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Perulangan pada metode Fuzzy C-Means (FCM) didasarkan pada minimisasi fungsi objektif sebagai berikut
(Ross, 2005) :

2.5. Metode Pengelompokan Fuzzy C Shell ( FCS )

Algoritma FCS dirancang secara khusus untuk memisahkan struktur melingkar dalam gambar karena
menggunakan jarak dari lingkaran ke titik pusat yang sesuai di fungsi objektifnya (Ali et al., 2008).
Algoritma pengelompokan FCS diberikan sebagai berikut (Habibie, 2010) :
a. Menentukan banyak kelompok ( yang ingin dibuat, 2 k < n , dengan n adalah jumlah dari data.
Menentukan pangkat (pembobot) = m, antara 1 < m < .

b. Menentukan counter iterasi j = 0. Inisialisasi fuzzy c-partisi U0. Dimana U adalah matrik.

Dimana matrik pastisi awal dipilih secara acak. U = adalah nilai dari sebuah matrik berdasarkan baris dan
kolom, begitu juga terhadap x.

c. Menghitung pusat kelompok ( vi ) , dan jari-jari kelompok ( ri ) dengan menggunakan persamaan

Menggunakan metode pengganda dengan perkalian nisial untuk iterasi pertama dari persamaan tersebut.
d.Menghitung Jarak ((Dik )2 yang mana merupakan jarak antara vector ke k dan prototype ke I yang
didefinisikan sebagai berikut :

||.|| adalah jarak euclid, pusat Vt dan jari jari rt dari bentuk dasar shell cluster. Definisi diatas didasarkan pada
mengukur kuadrat jarak, jadi (Dik)2 adalah nilai determinan untuk sebuah titip xk, dan prototipe (vi,ri).

e. Perbaharui anggota iterasi ke j, Uik dengan persamaan :

memeriksa nilai kekonvergenan dengan membandingkan Uj dan Uj-1 dalam nilai norma yang sesuai. Jika |Uj-
Uj-1|< e, maka berhenti.

2.6 Metode Pengelompokan Fuzzy K Means ( FKM )

Metode FKM adalah metode yang diterapkan untuk menganalisis data dan memperlakukan pengamatan data
sebagai objek berdasarkan lokasi dan jarak antara berbagai titik input. Setiap cluster memiliki titik pusat.
Jarak yang digunakan dalam pengelompokan kebanyakan tidak mewakili jarak spasial. FKM menemukan
jumlah dari cluster yang berbeda dan pusat klasternya. Algoritma dari FKM adalah sebagai berikut :
a. Kumpulan set K memilih jumlah klaster K
b. Inisialisasi memilih starting point k yang mana digunakan untuk mengestimasi inisial dari pusat data
klaster.
- 125 -
StudiPerbandingan Metode Klaster Fuzzy Pada Sistem Informasi Retrival Citra Danau (StudiKasus : Citra Google - Earth)
(Sudriani, Y.)

c. Proses klasifikasi mengevaluasi setiap point dari sekumpulan data dan meletakkanya ke klaster yang
memiliki titik pusat terdekat dari pusat data set
d. Perhitungan titik pusat apabila setiap point di data set dimasukkan kedalam sebuah cluster, maka
dibutuhkan perhitungan ulang untuk pusat data dari inisial k yang baru
e. Kriteria konvergensi Langkah (c) dan (d) dilakukan perulangan sampai tidak ada titik pusat data yang
berpindah atau point data berubah.

2.7 Metode Pengelompokan Fuzzy Possibilistic C-Means ( FPCM )

Metode ini sangat bermanfaat apabila citra memiliki noise. Dikarenakan metode ini akan meminimalisir
noise dan outliers yang ada di citra.Rumus

Yang mana jika i adalah angka positif, dan Uik [0,1]. Persamaan keanggotaan adalah :

Parameter i dievaluasi untuk setiap cluster yang berbeda. Hal itu menentukan jarak dari derajat
keanggotaan. Dengan rumus :

2.8. Noise pada citra


Noise yang digunakan adalah gaussian. Besarnya noise tergantung dari nilai mean dan variance
yangdigunakan. Penamaan citra noise mengikuti format yaitu [citra_asli]_[mean]_[variance].tiff

3. HASIL dan PEMBAHASAN


Pengujian akan dilakukan dengan menggunakan inputan citra. Pengujian yang dilakukan bertujuan untuk
mengevalusi sistem retrieval citra danau. Isu dalam retrival citra yang diangkat adalah sebagai berikut : (1).
Akurasi (Reliability) yaitu Setelah sistem dilakukan pengujian secara berulang, pengujian untuk sistem
dalam menghasilkan output yang reliable atau akurat (2). Keterulangan (Repeatability) yaitu pengujian
sistem tetapkonsisten atau tidak setelah beberapa kali dilakukan proses retrieval citra (3). Kecepatan
pencarian yaitu menguji kecepatan sistem dalam proses retrival citra diantara masing masing metode
pengelompokan fuzzy.

3.1. Pengujian terhadap Ketepatan dan Keterulangan


Untuk menguji akurasi dan keterulangan pada retrival citra dengan menggunakan berbagai jenis query yaitu
1. Query dengan citra pada database
2. Query citra diluar database merupakan citra yang tidak terdapat dalam database, tetapi memiliki objek
yang mirip dengan citra-citra pada database
3. Query dengan menggunakan citra pada database yang telah diberi noise.

3.1.1. Pengujian terhadap Query dengan citra pada database


Pengujian ini akan menggunakan database dengan jumlah cluster sebanyak 20 cluster. Query
yang digunakan adalah citra yang ada pada database. Pengujian akan dilakukan sebanyak 30 kali
pengujian.Pada pengujian citra pada database dapat dilihat bahwa tingkat output citra dalam retrival pada
database citra danau mencapai 99% dengan total kegagalan sebanyak 1 persen untuk FCM, FPCM, K-
means yang mana FCS mengalami kegagalan pada 1 kali percobaan.

- 126 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 2. Uji Retrival Citra danau Pada Database

3.1.2.Pengujian terhadap Query dengan citra diluar database


Pengujian terhadap query dengan citra diluar database digunakan untuk melihat
sejauh mana performa sistem berjalan untuk menguji sistem bisa berjalan pada citra danau di
dalam database dan citra diluar database. Fitur ekstraksi berperan penting dalam hasil retrival citra
danau yang dicari. Semakin banyak fitur ekstrasi yang dimasukkan maka tingkat keakuratan hasil
output citra danau semakin baik. Pengujian ini akan dikatakan berhasil apabila citra danau inputan
dan citra danau output memiliki hasil yang mendekati sama.

Gambar 3. Uji Retrival Citra Danau Diluar Database

Dari gambar di atas keberhasilan dalam retrival sebanyak 20 pengujian atau sekitar 67 persen dan
merupakan metode terbaik dibandingkan metode yang lain.
3.1.3 Pengujian terhadap query dengan citra noise di dalam database
Pengujian ini akan menggunakan database dengan jumlah cluster sebanyak 20 cluster.
Query yang digunakan adalah citra yang telah diberi noise. Pengujian akan dilakukan sebanyak 30
kali. Pengujian ini akan dikatakan berhasil apabila citra danau inputan dan citra danau output
memiliki hasil yang mendekati sama dengan citra inputan. Noise citra akan dimasukkan kedalam
database sebanyak 10 citra yang telah diberikan noise. Noise ini untuk menguji apakah sistem bisa
mengenali citra. Dari gambar dibawah disimpulkan bahwa FPCM merupakan metode yang terbaik
untuk melakukan retrival citra yang telah diberikan noise karena kemampuannya untuk
menghilangkan noise dan outlier pada citra yang disusul dengan FCS dan FCM dengan
keberhasilan sebesar 44 persen dan FCM sebesar 34 persen.
- 127 -
StudiPerbandingan Metode Klaster Fuzzy Pada Sistem Informasi Retrival Citra Danau (StudiKasus : Citra Google - Earth)
(Sudriani, Y.)

Gambar 4. Uji Retrival Citra Danau Dengan NoiseDidalam Database

3.1.4 Pengujian terhadap query dengan citra noise di luar database


Pengujian menggunakan citra diluar database untuk menguji apakah sistem dapat mengenali citra
apabila citra inputan berasal dari luar database yang telah diberikan noise. Dari gambar dibawah dapat
disimpulkan bahwa citra danau yang telah diberikan noise dapat dilakukan retrival dengan metode FPCM
sebesar 27 persen disusul oleh FCS sebesar 20 persen dan FCM sebesar 14 persen.

Gambar 5. Uji Retrival Citra danau Dengan Noise Di luar Database

- 128 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

3.2. Pengujian terhadap kecepatan

Gambar 6. Hasil pengujian 4 metode Pengelompokan Fuzzy Terhadap citra danau

Parameter pengujian terhadap kecepatan dengan menganalisis kecepatan pada masing masing
metode fuzzy dalam melakukan proses retrival citra danau. Satuan kecepatan yang digunakan
menggunakan hitungan dalam second (S). Saat proses klaster, sistem telah melakukan analisis terhadap
database dan melakukan indexing citra dan hasilnya akan disimpan ke dalam file. Sehingga saat proses
retrival citra hanya mencari ke dalam file hasil analisis tersebut dan file indexing yang dilakukan saat
klaster. Pada tabel pengujian diatas dapat disimpulkan bahwa diantara empat metode maka metode FCM
adalah metode paling stabil pada waktu retrival citra danau dibandingkan metode yang lain seperti FPCM
yang melakukan retrival lebih lamban dan tidak stabil. K-means dan FCS menjadi salah satu metode yang
kurang stabil sehingga belum bisa sebagai acuan untuk metode klaster citra danau.

4. KESIMPULAN
Dari beberapa pengujian yang telah dilakukan untuk sistem retrival citra danau menggunakan citra
pada google earth maka dapat disimpulkan bahwa sistem yang baik salah satunya adalah sistem yang
memiliki kecepatan dan stabil dalam melakukan retrival citra danau sehingga mengambil metode FCM
sebagai metode terbaik dalam kestabilan retrival citra danau diantara beberapa metode walaupun memiliki
kekurangan dalam melakukan retrival citra danau yang telah diberikan noise. Metode FCM memberikan
hasil retrival dengan kecepatan rata - rata sebesar 0,87325257 S dan berhasil dalam melakukan retrival
sebesar 99 persen pada retrival citra pada database citra danau, dan memiliki 67 persen retrival citra danau
diluar database. Berdasarkan percoban yang dilakukan maka metode fuzzy merupakan metode yang lebih
cepat dalam melakukan otomatisasi daripada metode konvensional lainnya dikarenakan fitur yang digunakan
yaitu fitur warna dan tekstur. Gambar citra berskala masih bisa dilakukan retrieve dan tidak berpengaruh dari
hasil output yang dihasilkan tetapi belum bisa melakukan retrieve pada pergeseran atau rotasi. Kesalahan
pada proses pemanggilan yang dihasilkan bisa lebih kecil jika memperkecil klaster tetapi berdampak tidak
terujinya sistem yang dibuat.

DAFTAR PUSTAKA
Manimala, S., dan Hemachandran, K. (2012). Content Based Image Retrieval using Color and Texture. Signal & Image
Processing : An International Journal (SIPIJ).
Christiano, C., Constantino, V., Pilar, B., Maria, D.P., dan Javier, T. (2010). A Comparison of Fuzzy Clustering
Algorithms Applied to Feature Extraction on Vineyard. Lecturer notes. Universitas Politecnica de madrid
Yong, R., Thomas, S., dan Hu (1998). Image Retrieval: Current Techniques, Promising Directions, and Open Issue.
Journal of Visual Communication and Image Representation 10: 3962
Jeong, S. (2001). Histogram-Based Color Image Retrieval. Cited in http://scien.stanford.edu/pages/labsite/2002/
psych221/projects/02/sojeong/, [ 27/10/2014]
James, B.C., Ehrlich, R., dan Full, W. (1984). Fuzzy c-means Clustering Algorithm, University of south carolina : USA
Mallat S (1989) A theory for multiresolution signal decomposition: the wavelet representation, IEEE Pattern Analysis
and Machine Intel. 11(7): 674693.

- 129 -
StudiPerbandingan Metode Klaster Fuzzy Pada Sistem Informasi Retrival Citra Danau (StudiKasus : Citra Google - Earth)
(Sudriani, Y.)

Sasmita, Reandy, N., Hizir, S., Subianto, dan Muhammad (2009) Perbandingan Metode Fuzzy C-Means (Fcm) Dan
Fuzzy C-Shell (Fcs) Menggunakan Data Citra Satelit Quickbird ( Studi Kasus Daerah Peukan Bada, Aceh Besar ),
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Datta, R., Joshi, D., Li, J., dan Wang, J.W. (2008). Image Retrieval: Ideas, Influences, and Trends of the New Age,
ACM Computing Surveys.
Dave, R. (1992), Generalized Fuzzy C-Shell Clustering and Detection of Circular and Elliptical Boundaries. Pattern
Recognition, 25(7):713-721.
Setia, W. (2004). Content Based Image Information Retrieval, proceeding komputer and sistem intelijen,Universitas
Gunadharma : Jakarta
Jike, G., dan Qui, Y. (2008). Concept Similarity Matching Based on Semantic Distance,fourth International Conference
on Semantics, Knowledge and Grid
Iman, T., Christina, L., dan Sudriani, Y. (2005). Retrival Citra Berbasis Konten dengan Pendekatan Klasterisasi Samar,
Fakultas Ilmu Komputer, Binus, Jakarta.
Ning, R., Ning, H., dan Hen, W. (2006). Semantic-Based Image Retrieval in Remote sensing Archive: An Ontology
Approach, EEE Beihang University, Beijing, China.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : Drs. Kustiyo, M.Si.


Judul Makalah : Perbandingan Metode Klaster Fuzzy Pada Sistem Informasi Retrieval Citra Danau
Study Kasus : Citra GoogleEarth
Pemakalah : Yuli Sudriani
Jam : 09:00-10:30 WIB
Tempat : Ball Room 2 (Lt.1)
Diskusi :

Dede Dirgahayu (Pusfatja, LAPAN)


Dibandingkan dengan metode konvensional lebih cepat mana dengan metode retrival yang digunakan?

Jawaban:
Hasil 0,8 second dengan 30 sample bisa dibilang sangat cepat. Belum tahu metode konvensional itu seperti apa

Risti (IPB)
Jelaskan masing-masing metode yang digunakan dalam penelitian?

Jawaban:
FCM : Selama proses iterasi, ditentukan lokasi titik dan kemudian dibandingkan menggunakan nilai kenaggotaan. FCS :
Proses melingkar, input ditengan dan database di pinggir. FKM : Sama dengan FCS. FPCM : Berdasarkan nilai bobot.
Semakin besar nilai bobot akan semakin menghilangkan noise.

Mahdi Kartasasmita (LAPAN)


Apakah rotasi, pergeseran dan skala citra berpengaruh pada proses retrival?Apakah error yang dihasilkan bisa lebih
kecil jika memperkecil klasifikasi?

Jawaban:
A. Skala masih bisa diretrive, untuk rotasi dan pergeseran belum diketahui karena tidak dilakukan dalam penelitian ini.
B. Ya bisa, tetapi akan berdampak pada tidak terujinya sistem yang dibuat

- 130 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Pengujian Metode Grid (kisi-kisi) untuk Membuat Ground Control Point


(GCP ) sebagai Langkah Awal Kontrol Kualitas Geometrik
Randy Prima Brahmantara1,*), Kustiyo1, dan Dianovita1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderan Jauh (Pustekdata), LAPAN
*)
E-mail: randy.prima@lapan.go.id

ABSTRAK -Kontrol kualitas geometrik erat hubungannya dengan akurasi koordinat pixel dalam citra dan koordinat
bumi. Kontrol kualitas geometrik merupakan hal penting untuk mendukung ketepatan dalam menganalisis perubahan
lahan dan pembuatan mosaik citra. Kualitas geometri diukur berdasarkan jumlah galat geometri pada titik-titik GCP.
Semakin kecil galat, makasemakin baik kualitas geometrinya. Data Landsat 8 level 1T memiliki akurasi
geometrikglobal dengan tingkat kayakinan (confidence global accuracy) 90% adalah 12 meter atau kurang dari
setengah resolusi pixelnya. Tujuan penelitian ini yakni mengukur ketepatan metode grid untuk membuat GCP. Dengan
metode ini diharapkan akan menambah banyak GCP yang akan digunakan untuk menguji kualitas geometri citra jika
dibandingkan dengan penentuan titik GCP secara manual. Metode ini menggabungkan antara pembuatan titik-titik GCP
secara otomatis dan metode image registration untuk mengukur perubahan geometri pada titik GCP. Dalam pengujian
ini juga menggunakan 8 data Landsat 8 level 1T path/row 116/066 yaitu di wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat yang
diakuisisi pada tahun 2013 dan 2014. Hasil pengujian metode ini menunjukkan GCP yang dihasilkan dengan
menggunakan metode grid telah mampu membuktikan akurasi geometrik data Landsat 8 level 1T dengan rata-rata
RMSET untuk keseluruhan data yang diuji adalah 0,45 piksel dengan rata-rata jumlah titik GCP adalah 210,5 titik.
Jumlah rata-rata titik GCP ini dua kali lipat jika dibandingkan dengan GCP yang dibuat secara manual di database
INCAS.

Kata kunci:grid, GCP, galat, Landsat 8 1T.

ABSTRACT -Quality control is closely related to the geometrical accuracy of the coordinates of the pixel in the image
and the coordinates of the earth. Geometry quality control is essential to support the accuracy in analyzing land
changes and mosaic production of images. Geometry quality measured by total of geometric error at GCPpoints.If the
total error is small, so the quality of its geometry is good. Landsat 8 1T have global confidence accuracy of 90% is 12
meters or less than half the pixel resolution. The purpose of this paper is to measure the accuracy of the grid method to
make GCP. With this method is expected to add much GCP will be used to test the quality of the image geometry when
compared with GCP point determination manually. This method combines the manufacture of GCP points
automatically and the image registration method for measuring changes in geometry at the point of GCP. In this test
also uses eight Landsat 8 1T-level path / row 116/066 in the area of Bali and West Nusa Tenggara which was acquired
in 2013 and 2014. The results of this method show GCP produced using a grid method has been able to prove the
accuracy of the geometry of Landsat data 8 levels 1T with an average RMSET for the entire data tested is ,.45 pixels
with the average number of points GCP is 210,5 points. The average number of GCP point is doubled when compared
with GCP points that have beenmade manually in INCAS databases.

Keywords: grid, GCP, error, Landsat 8 1T.

1. PENDAHULUAN
Satelit Landsat Data Continuty Mission (LDCM) atau yang disebut juga Landsat 8 telah diluncurkan pada
tanggal 11 Februari 2013, waktu peluncuran 1:02 p.m., dari VAFB (Vandenberg Air Force Base), California
dengan wahana peluncur Atlas-V-401. LAPAN telah melakukan pengembangan stasiun penerimaan data
satelit LDCM di Parepare dan Rumpin untuk merekam citra LDCM mulai tahun 2013. Data Landsat 8 level
1T memiliki akurasi geometri global dengan tingkat kayakinan (confidence global accuracy) 90% adalah 12
meter (http://landsat.usgs.gov/landsat8.php diakses 15 Agustus 2015).
INCAS (Indonesias National Carbon Accounting System) memanfaatkan data Landsat 8 level 1T untuk
menghitung perubahan lahan di seluruh Indonesia. Dalam hal ini diperlukan data yang memiliki ketelitian
geometrik yang tinggi. Sehingga secara temporal dapat meningkatkan ketelitian dalam perhitungan
perubahan lahan yang lebih akurat. Salah satu proses yang ditempuh dalam pengolahan data pada program
INCAS adalah kontrol kualitas geometrik.
Kontrol kualitas geometrik sangat erat hubungannya dengan akurasi koordinat pixel dalam citra dengan
koordinat bumi. Kontrol kualitas geometrik merupakan hal penting untuk mendukung ketepatan dalam
menganalisis perubahan lahan dan membuat mosaik citra. Hal ini berlaku untuk semua citra dengan berbagai
- 131 -
Pengujian Metode Grid (kisi-kisi) Untuk Membuat GCP (Ground Control Point)Sebagai Langkah Awal Kontrol Kualitas Geometri
(Brahmantara, R.P., et al.)

macam citra yang diambil dari satelit maupun dari foto udara. Kualitas geometri diukur berdasarkan error
atau kesalahan geometrik pada titik-titik GCP yang ditulis dalam satuan meter. Semakin kecil error, maka
semakin baik kualitas geometriknya.
Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengukur ketepatan metode grid untuk membuat GCP.
Dengan metode ini diharapkan akan menambah banyak GCP yang akan digunakan untuk menguji kualitas
geometri citra Landsat 8 level 1T (ortho product). Sehingga bisa memenuhi persyaratan untuk pengukuran
confidence global accuracy 95% yaitu 100 GCP

2. METODE
Dalam pengujian ini menggunakan 8 citra Landsat 8 level 1T path/row 116/066 yaitu di wilayah Bali dan
Nusa Tenggara Barat yang diakuisisi pada tahun 2014 dengan. Pada path/row ini sebagian besar adalah
wilayah perairan sehingga walaupun menggunakan metode grid akan mendapatkan sedikit titik GCP jika
dibandingkan dengan path/row yang didominasi oleh daratan.

Gambar2-1.Contoh citra Landsat 8 level 1T path/row 116/066.

Untuk mengukur kualitas ketelitian geometrik, tentu dibutuhkan data acuan atau citra reference. Citra
reference yang dipilih adalah citra GLS2000 yang juga digunakan oleh USGS dalam mengukur kualitas
geometrik. Titik-titik kontrol akan dibuat dengan menggunakan metode grid. Yaitu dengan mengambil titik-
titik kontrol setiap 50 pixel pada sumbu x dan 50 pixel pada sumbu y pada citra reference. Berikut ini
gambaran metode pengambilan titik-titik kontroldengan menggunakan metode grid.

Gambar 2-2. Metode grid

Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat mengambil titik sampel yang merata di seluruh
bagian scene. Citra Landsat 8 memiliki ukuran rata-rata 7500x7500, sehingga titik sampel yang terbentuk
sebanyak 22500 titik. Masing masing titik acuan memiliki koordinat bumi (dalam easting dan northing) dari
citra reference. Dari masing-masing titik kontrol akan dikembangkan dalam bentuk window atau chip dengan
ukuran 21x21 pixel dengan koordinat titik tengahnya adalah koordinat titik kontrol yang diperoleh dari
metode grid. Ukuran window dipilih berdasarkan hasil pengukuran beberapa kali percobaan terhadap
pengaruh ukuran window. Semakin besar ukuran window, akan cenderung semakin turun nilai korelasinya.
Hal tersebut karena semakin banyak piksel yang dilibatkan dalam perhitungan korelasi jika menggunakan
window yang lebih besar, ditambah faktor perubahan lahan yang terjadi akan semakin mengurangi nilai
korelasi. Window berukuran 21x21 dapat memberikan jumlah GCP yang cukup ketika digunakan batas
maksimum korelasi 0.75.
- 132 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Window kemudian digeser ke kanan, ke kiri, ke atas dan ke bawah hingga sejauh 3 pixel, sehingga
membentuk sebuah matriks korelasi berukuran 7x7. Matriks korelasi ini berisi semua hasil perhitungan
korelasi setiap pergeseran window. Dalam matiks ini bisa ditemukan nilai maksimum korelasi. Besar
pergeseran titik sampel dapat diukur dengan letak nilai maksimum korelasi pada matriks korelasi. Jika citra
tes tidak bergeser terhadap citra reference maka nilai maksimum korelasi berada di tengah matriks korelasi.
Dalam pengujian ini band yang digunakan yakni band 5 (Near Infra Red). Berikut ini disajikan contoh
pengukuran matriks korelasi salah satu titik pada citra Landsat 8 path/row 116/066 band 5.

Gambar 2-3. Matriks citra tes (Landsat 8 16bit)

Gambar 2-4. Matriks citra reference (GLS2000 8bit)

Gambar 2-5. Matriks korelasi 7x7 (nilai korelasi telah dikalikan 100)

Matriks ini menggambarkan hasil perhitungan korelasi GCP window. Titik awal perhitungan dimulai dari
tengah matriks. Kemudian untuk memperoleh sebuah matriks korelasi maka GCP window harus digeser.
Pergeseran dilakukan ke kanan, ke kiri, ke bawah, dan ke atas. Metode pergeseran titik perhitungan korelasi
ini untuk mencari error pergeseran yang ditentukan berdasarkan keberadaan nilai korelasi maksimum.

- 133 -
Pengujian Metode Grid (kisi-kisi) Untuk Membuat GCP (Ground Control Point)Sebagai Langkah Awal Kontrol Kualitas Geometri
(Brahmantara, R.P., et al.)

Gambar 2-6. Grafik korelasi


Grafik korelasi ini memudahkan dalam menganalisis pengaruh kehetogenan objek yang ada dalam sebuah
GCP window. Semakin heterogen, semakin mudah dalam menentukan titik maksimum dan tentunya akan
membuat pengukuran error pergeseran menjadi lebih akurat.
Proses di atas dapat digambarkan secara sederhana dengan Diagram alir berikut ini

Gambar 2-7. Diagram Alir Proses Pengujian Metode Grid untuk Membuat GCP

Penyaringan titik-titk GCP yang akan digunakan untuk perhitungan RMS error hanya menggunakan
ambang batas nilai korelasi maksimum. Dalam pengujian ini belum menyertakan perhitungan regresi untuk

- 134 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

menghitung keterkaitan antar GCP. Sehingga yang didapatkan adalah error yang bersifat independent di
masing-masing GCP kemudian dikalkulasi RMS errornya.
Gambar 2-8 merupakan gambar persebaran titik kontrol yang telah tersaring.

Gambar 2-8. Persebaran titik control pada citra tes

Untuk masingmasing scene dibuat tabel untuk menghitung akurasi geometrik. Tabel tersebut meliputi
kolom berisi nilai koordinat sumbu x refrensi (X), nilai koordinat sumbu y refrensi (Y), nilai koordinat
sumbu x citra (X), nilai koordinat sumbu y citra (Y).
Kemudian kolom berikutnya menghitung nilai error pada citra diperoleh dari koordinat titik sampel cek
dikurangi koordinat titik sampel tersebut. Error dihitung dalam dua sumbu yaitu error sumbu x dan error
sumbu y seperti pada persamaan:

Errorx = Xtes Xref ..............................................................................(1)


Errory = Ytes Yref ..(2)

Errorxy = + .(3)

Titik-titik GCP yang dihasilkan dari metode ini diuji dengan menggunakan data Landsat 8 Level 1 T yang
memiliki karakteristik akurasi geometrik 12 meter. Pengujian dilakukan dengan menggunakan perhitungan
RMS dari jumlah GCP yang dihasilkan oleh metode ini. Rumus RMS yang digunakan dalam pengujian
yakni sebagai berikut.


RMS = ..(4)

3. HASIL dan PEMBAHASAN


Guna mendukung pengujian metode ini, telah dibuat sebuah file teks yang berisi nomor titik, koordinat x
dan y titik kontrol pada citra tes, koodinat x dan y pada citra acuan, nilai korelasinya, error x (dalam satuan
piksel) dan error y (dalam satuan piksel).

Tabel 3.1 Contoh file teks untuk pengujian metode

Nomor
titik X citra Y citra X ref Y ref Korelasi error X error Y
18473 45058500000000 -97828500000000 45058500000000 -97828500000000 0.981 0.0 0.0
19072 44908500000000 -98428500000000 44908500000000 -98428500000000 0.981 0.0 0.0
12103 34558500000000 -91528500000000 34558500000000 -91528500000000 0.975 0.0 0.0
13039 39958500000000 -92428500000000 39958500000000 -92428500000000 0.972 0.0 0.0
- 135 -
Pengujian Metode Grid (kisi-kisi) Untuk Membuat GCP (Ground Control Point)Sebagai Langkah Awal Kontrol Kualitas Geometri
(Brahmantara, R.P., et al.)

Metode grid ini menghasilkan titik-titik kontrol yang banyak di setiap citra Landsat 8 level 1T. Jika
ukuran standar citra Landsat 8 adalah 7500x7500 maka dengan menggunakan grid berukuran 50 pixel akan
dihasilkan 22500 titik. Dari keseluruhan titik tersebut, dihitung nilai korelasinya antara citra acuan dan citra
tes. Titik yang memiliki nilai korelasi diatas 0.75 akan dimasukkan dalam kelompok GCP. Jumlah anggota
dalam kelompok GCP disebutkan sebagai jumlah GCP. Jumlah GCP di setiap citra tes berbeda. Hal ini
disebabkan karena karakter tutupan yaitu awan, bayangan awan dan perubahan fase tanaman di masing-
masing citra berbeda. Dari keseluruhan jumlah GCP tersebut dihitung nilai Errorxy untuk mengetahui akurasi
GCP. Dalam Pengujian metode ini, metode grid diuji dengan menggunakan citra Landsat 8 Level 1 T yang
memiliki akurasi 12 meter atau kurang dari satu piksel. Berikut ini hasil pengujian GCP yang dihasilkan dari
metode grid yang digunakan untuk menghitung akurasi geometri data Landsat 8 level 1T.

Tabel 3.2. Jumlah GCP yang dihasilkan dengan menggunakan metode grid.

JGCP Errorxy <2 % RMS Nama File


390 293 75,12821 0.37 LC81160662013115LGN01\L8uts116066m_250413_nutm50_30_toa_50v3.gcp
281 201 71,53025 0.42 LC81160662013211LGN00\L8uts116066m_300713_nutm50_30_toa_50v3.gcp
303 214 70,62706 0.49 LC81160662013163LGN00\L8uts116066m_120613_nutm50_30_toa_50v3.gcp
359 248 69,08078 0.33 LO81160662014182DKI00\L8uts116066m_010714_nutm50_30_toa_50v3.gcp
355 242 68,16901 0.48 LO81160662014150DKI00\L8uts116066m_300514_nutm50_30_toa_50v3.gcp
271 178 65,68266 0.56 LO81160662014070DKI00\L8uts116066m_110314_nutm50_30_toa_50v3.gcp
294 185 62,92517 0.40 LC81160662014070LGN00\L8uts116066m_110314_nutm50_30_toa_50v3.gcp
203 123 60,59113 0.54 LO81160662014294DKI00\L8uts116066m_211014_nutm50_30_toa_50v3.gcp

Dari hasil perhitungan akurasi geometrik dengan menggunakan nilai RMS yang mengacu dari tabel di
atas, maka GCP yang dihasilkan dengan menggunakan metode grid telah mampu membuktikan akurasi
geometrik data Landsat 8 level 1 dengan rata-rata RMS untuk keseluruhan data Landsat 8 level 1 T yang
diuji adalah 0,45.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil pengujian metode ini maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Dengan menggunakan metode grid jumlah GCP bisa ditingkatkan, GCP yang dihasilkan dengan
menggunakan metode grid dapat digunakan sebagai pengukur kualitas geometrik.
Penyaringan titik-titik dengan menggunakan batas korelasi di atas 0.75 kurang efektif untuk mencari
GCP, akibatnya terdapat GCP yang memiliki errorx atau errory lebih dari 1 piksel dengan prosentase
hampir 40% dari total GCP, sehingga diperlukan sebuah regresi untuk menyaring GCP yang saling terkait
dan perlu dilakukan pada kontrol kualitas geometrik lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Dianovita, dan Mahendra, R. (2014). Kajian Geometri Citra Landsat 8 Level 1 T, Seminar Nasional Penginderaan Jauh.
Kho D (2014) Pengertian dan Analisis Korelasi Sederhana dengan Rumus Pearson, www.teknikelektronika.com
[September 2015]
Latroup, R. (2012). Geometric Correction of Imagery, http://www.crssa.rutgers.edu[September 2015]
Lopez, A., Javier, F., Gordo, A., dan David, A. (2008). Sample Size and ConfidenceWhen Applying The NSSDA
Storey, J., Choate, M., dan Lee, K. (2014). Landsat 8 Operational Land Imager On-Orbit GeometricCalibration and
Performance, www.mdpi.com/journal/remotesensing. [September 2015]
United States Geological Survei (2015) Landsat 8 OLI (Operational Land Imager) and TIRS (Thermal Infrared Sensor),
https://lta.cr.usgs.gov/L8. [September 2015]

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : Drs. Kustiyo, M.Si.


- 136 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Judul Makalah : Pengujian Metode Grid (kisi-kisi) Untuk Membuat GCP (Ground Control Point) Sebagai
Langkah Awal Kontrol Kualitas Geometri
Pemakalah : Randy Prima Brahmantara
Jam : 09:00-10:30 WIB
Tempat : Ball Room 2 (Lt.1)
Diskusi :

Dede Dirgahayu (Pusfatja, LAPAN)


Apakah grid memilih secara otomatis atau dibuat dari iterasi-iterasi kolom barisnya?

Jawaban:
Regresi yang dimaksud berkaitan dengan GCP regresi linear square

Risti (IPB)
Jika referensi ternyata bias, bagaimana cara mengatasinya?

Jawaban:
Dipenelitian tidak menggunakan pendekatan bias, yang digunakan data landsat sebagai referensi.

Mahdi Kartasasmita (LAPAN)


Mengapa tidak menggunakan 50x50 untuk menghitung korelasi?

Jawaban:
Belum menemukan window yang tepat.

Taufik (LAPAN)
Memungkinkan atau tidak jika yang diambil nilai minimal agar bisa memperkecil nilai error?

Jawaban:
Memungkinkan.

- 137 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Pemilihan Scene Citra Multitemporal Landsat-8 untuk Pembuatan Mosaik


berdasarkan Parameter Radiometrik dari Histogram dan Scattergram
Haris Suka Dyatmika1,*), dan Liana Fibriawati1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN
Jl. Lapan No 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710
*)
E-mail: haris.suka@lapan.go.id

ABSTRAK -Citra penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan, termasuk juga untuk pemanfaatan pada skala global.
Mosaik citra multitemporal wilayah Indonesia merupakan contoh untuk pemanfaatan citra penginderaan jauh pada skala
makro. Salah satu citra satelit yang banyak digunakan untuk berbagai keperluan yakni citra Landsat-8, karena resolusi
temporal, spasial dan spektralnya sesuai untuk banyak tema pemanfaatan yang bersifat makro. Citra Landsat-8 dapat
digunakan untuk mosaik citra multitemporal seluruh wilayah Indonesia. Landsat-8 memiliki resolusi temporal 16 hari
yang memungkinkan suatu wilayah (dalam suatu scene citra) diakuisisi beberapa kali dalam satu tahun. Namun, tidak
semua scene citra Landsat-8 yang diakuisisi bagus jika digunakan untuk data mosaik multitemporal. Dengan pemilihan
scene berdasarkan parameter radiometrik citra, diharapkan dapat dihasilkan mosaik yang baik dan pengolahan yang
lebih efisien. Penelitian ini menganalisis hubungan parameter radiometrik dari histogram dan scattergram citra dengan
pemilihan scene untuk keperluan mosaik multitemporal. Histogram dan scattergram mewakili keadaan radiometrik
citra seperti misalnya rerata, standar deviasi, modus dan median yang ditampilkan secara visual. Data yang digunakan
yaitu citra Landsat-8 dengan Area of Interest (AOI) daerah Kalimantan dan Lombok. AOIcitra tersebut kemudian
dianalisis histogram dan scattergram datanya. Dari analisis histogram dan scattergram didapatkan bahwa semakin
sedikit pergeseran histogram antar data dan semakin sebaran data pada scattergram membentuk sudut 45 derajat maka
menunjukkan semakin mirip radiometrik citranya.

Kata kunci:Landsat-8, mosaik, histogram, scattergram

ABSTRACT -Remote sensing imagery has been utilized, including for the utilization on a global scale. Multitemporal
image mosaic of Indonesia is an example for the utilization of remote sensing imagery on a global scale. One of
thesatellite imagerythat was widely used for various purposes was Landsat-8 image due to the temporal, spatial and
spectralresolution whichis suitablefor manyutilization themes.Landsat-8 can be used for multitemporal image mosaic of
the entire region of Indonesia.Landsat-8 has 16 days temporal resolution which allows aregion (scene image) acquired
in a several times one year.However, not all theacquired Landsat-8sceneis proper when used for multitemporal mosaic.
Observing radiometric parameters for scene selectioncould be generated a good image mosaic and more efficient
processing.This study analyzed the relationship between radiometric parameters from image histogram and
scattergram withscene selection for multitemporal mosaic purposes.Histogram and scattergram representing
radiometric imagery context such as mean, standard deviation, median and mode which is displayed visually.The data
used were Landsat-8 imagery with the Area of Interest (AOI) in Kalimantan and Lombok.Thenthe histogram and
scattergram of the imageAOIbe analyzed.From the histogram and scattergram analysis could be obtained thatthe less
shift between the datas histogramand the morethe scattergram forming 45 degreeangle for thedistribution of the data
then indicates the more similar the radiometric of the image.

Keywords: Landsat-8,mosaic, histogram, scattergram

1. PENDAHULUAN
Teknologi penginderaan jauh bisa digunakan untuk berbagai macam aplikasi dalam skala makro
(regional, nasional, maupun global). Satelit penginderaan jauh dengan resolusi rendah hingga menengah
dapat digunakan untuk skala nasional sampai global seperti misalnya MODIS dan Landsat-8. Program
penginderaan jauh INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System) menggunakan citra Landsat-5,
Landsat-7 dan Landsat-8 sebagai data primer untuk perhitungan karbon secara nasional di Indonesia. Produk
mosaik dari Land Cover Change Analysis (LCCA ) dari INCAS mempunyai aplikasi yang luas untuk
manajemen penggunaan lahan dan perencanaan wilayah di Indonesia (LAPAN, 2014).
Landsat-8 memiliki resolusi temporal 16 hari, sehingga suatu wilayah (scene citra) diakuisisi sekitar 22
kali dalam satu tahun. Untuk membuat mosaik multitemporal citra Landsat-8 tahunan dapat dilakukan
pemilihan scene yang akan dibuat mosaik dari sejumlah scene yang diakuisisi dalam tahun tersebut.
Indonesia merupakan negara tropis yang selalu diliputi awan sepanjang tahun, mengakibatkan jarang citra
bebas awan dapat direkam dalam satu kali akuisisi citra. Sehingga diperlukan penggabungan 2 citra atau
- 138 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

lebih untuk mendapatkan citra bebas awan. Pemilihan citra bertujuan untuk mendapatkan satu set citra
dengan cakupan citra bebas awan yang maksimum namun dengan jumlah scene citra yang minimum.
Statistik cloud cover yang tersedia pada meta data kurang memadai jika digunakan sebagai acuan untuk
pemilihan scene, hal terbaik yang dilakukan adalah dengan penilaian visual citra secara langsung. Citra
dengan cloud cover 50% biasanya keseluruhan citranya dipengaruhi atmosfer dan bayangan sehingga
menjadi sulit untuk digunakan ataupun ditutup. Kendala lainnya adalah statistik cloud cover tidak
menyediakan informasi distribusi spasial. (LAPAN, 2014).
Dalam hal mosaik tahunan, sebaiknya data yang digunakan adalah data yang mirip radiometriknya agar
mosaik yang dihasilkan seamless. Data yang mirip radiometriknya bisa didapatkan dengan memilih citra
dengan kondisi atmosfer dan tutupan lahan yang mirip. Hal ini diprediksi dapat dilakukan dengan
membandingkan data-data yang akan dibuat mosaik yakni dengan mengamati histogram dan scattergram
datanya.
Histogram secara umum merupakan grafik intisari dari data kuantitatif (Kaplan et al., 2014). Histogram
citra digambarkan secara sederhana sebagai suatu bar grafik dari intensitas piksel piksel. Intensitas piksel
diplot sepanjang sumbu-x dan jumlah pemunculan untuk tiap intensitasnya direpresentasikan pada sumbu-y
(Murinto et al., 2008). Histogram merepresentasikan nilai statistik suatu set data. Salah satu keuntungan
menggunakan histogram adalah dapat memudahkan membaca data set yang besar. Histogram menyediakan
informasi rerata, standar deviasi, modus, median dan fungsi sebaran dari data (Dean et al., 2009).
Scattergram membantu pencarian kelas, data menyimpang, kecenderungan dan korelasi. Scattergram tiga
dimensi dengan animasi, simbol-simbol yang berbeda dapat menambah dimensi variabel menjadi tiga atau
lebih banyak lagi (Hoffman et al., 2002). Elvidge et al. (1995) mengembangkan metode Scattergram
Controlled Regression (SCR) secara otomatis. Metode ini menerapkan regresi pada area piksel yang tidak
berubah (no change). Area piksel yang tidak berubah diasumsikan meliputi data mayoritas piksel dalam
suatu scene citra. Area piksel yang tidak berubah dipilih secara manual berdasarkan pada scattergram data
kanal infra-merah dekat dari data subjek dengan data referensi. Kanal infra merah dekat digunakan karena
pada panjang gelombang ini daerah daratan dan perairan terpisah dengan jelas, sehingga garis piksel data
yang tidak berubah dapat ditentukan. Data subjek kemudian direktifikasi menurut parameter dari
scattergram tersebut.
Makalah ini mencoba menelaah alternatif metode pemilihan scene citra. Pemilihan scene citra dilakukan
dengan melihat histogram dan scattergram antar citra multitemporal pada area yang sama. Dari
membandingkan histogram dan scattergram antar citra multitemporal, diharapkan dapat diketahui kemiripan
radiometrik suatu citra.

2. METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat-8 Level 1T. Data dipilih dari beberapa
wilayah di Indonesia yakni di dalam pulau Kalimantan dengan path&row117 062 dan pulau Lombok dengan
path&row155 066. Digunakan tiga citra pada masing-masing area yang telah dipilih. Data 1, 2, 3 dalam
pulau Kalimantan direkam pada tanggal 5 Mei, 8 Juli dan 24 Juli 2014 sedangkan pulau Lombok direkam
pada tanggal 7 Mei, 10 Juli dan 27 Agustus 2014 (Gambar 1).
Data kemudian dikonversikan menjadi reflektansi TOA (Top Of Atmosphere) menggunakan faktor skala
radiometrik yang disediakan di file metadata (MTL) menurut persamaan dari USGS (2015). Data dengan
tutupan awan paling sedikit akan dijadikan data referensi untuk seleksi scene-scene lainnya.

Data 3 cloud cover 6.61%


Data 1 cloud cover 17.45% Data 2cloud cover 49.03%

- 139 -
Pemilihan Scene MosaikMultitemporal Citra Landsat-8 Berdasarkan Parameter Radiometrik dari Histogram dan Scattergram
(Dyatmika HS, et al.)

Data 1 cloud cover 8.33% Data 2 cloud cover 4.17% Data 3 cloud cover 3.75%
Gambar 1.Data Landsat-8 pada pulau Kalimantan (atas) dan pulau Lombok (bawah)

Masing-masing data kemudian diambil sampel AOI (Area Of Interest) sekitar 160 160 piksel pada area
yang sama. Kemudian dari AOI tersebut dibuat histogram dan scattergram datanya. Untuk mendapatkan
area yang bersih dari awan, nilai digital number untuk masukan histogram dan scattergram hanya diambil
pada daerah 60-100 % dari ketinggian histogram. Hal ini mengasumsikan bahwa nilai histogram pada daerah
ketinggian 60-100 % adalah data yang variabilitasnya rendah. Gambar 2 menunjukkan daerah dengan
variabilitas yang rendah di daerah II, karena di luar daerah ini dapat diasumsikan sebagai daerah bayangan,
perairan pada daerah I (pada awal nilai histogram) dan awan pada daerah III (pada akhir nilai histogram).
Nilai yang diplot dalam scattergram diambil pada daerah dengan nilai reflektansi yang sama pada
pembuatan histogram (daerah II).

Gambar 2. Pengambilan nilai histogram

Dibuat pertampalan histogram dan scattergram antara data referensi dengan data yang diuji, kemudian
diamati sebaran datanya dan dibandingkan nilai mean antara keduanya. Gambar 3 menampilkan langkah
langkah yang dikerjakan dalam penelitian ini.

Gambar 3. Langkah kerja Pemilihan Scene Citra Multitemporal Landsat-8 untuk Pembuatan Mosaik

- 140 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Telah dilakukan pembandingan data-data Landsat-8 sesuai dengan langkah kerja (Gambar 3).
Pembandingan dilakukan dengan beberapa cara yakni secara visual, dengan mengamati histogram dan
mengamati scattergram datanya. Gambar 4 menunjukkan visualisasi data yang dipotong (AOI) masing-
masing data.

AOI Data 1 AOI Data 2 AOI Data 3

AOI Data 1 AOI Data 2 AOI Data 3

Gambar 4. AOI data Landsat-8 pada pulau Kalimantan (atas) dan pulau Lombok (bawah)

Ketika citra telah dikoreksi radiometrik, seharusnya nilai reflektansi di citra sama jika objeknya juga
sama. Namun hal tersebut sangat sulit terjadi, karena banyak dan kompleksnya distorsi dalam proses
pencitraan pada citra satelit penginderaan jauh. Diasumsikan bahwa citra dengan liputan awan paling sedikit
adalah mempunyai nilai reflektansi yang mendekati nilai objek sebenarnya.

Tabel 1. Hasil histogram dan scattergram

Kalimantan 24Juli vs 5Mei 2014 Kalimantan 24Juli vs 8Juli 2014


Histogram Scattergram Histogram Scattergram

Kanal
Biru

Kanal
Hijau

- 141 -
Pemilihan Scene MosaikMultitemporal Citra Landsat-8 Berdasarkan Parameter Radiometrik dari Histogram dan Scattergram
(Dyatmika HS, et al.)

Kanal
Merah

Kanal
NIR

Kanal
SWIR1

Kanal
SWIR2

Lombok 27Agustus vs 7 Mei 2014 Lombok 27Agustus vs 10Juli 2014


Histogram Scattergram Histogram Scattergram

Kanal
Biru

Kanal
Hijau

Kanal
Merah

Kanal
NIR

- 142 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Kanal
SWIR1

Kanal
SWIR2

Pada histogram tersebut, warna merah menunjukkan histogram referensi, warna hijau menunjukkan
histogram data yang diuji dan warna kuning adalah daerah pertampalan antara histogram referensi dan
histogram data yang diuji. Area kuning ini menunjukkan nilai reflektansi yang sama antara citra referensi
dan citra data diuji, sedangkan pada scattergram, dapat dilihat melalui posisi sebaran data. Warna-warna
pada scattergram menunjukkan intensitas kemunculan suatu nilai reflektansi. Warna merah mengindikasikan
nilai yang paling banyak muncul (modus), berturut-turut ke warna kuning, hijau, kemudian biru
(intensitasnya semakin berkurang). Dibuat juga garis bantu 45o untuk mempermudah interpretasi posisi
sebaran data pada scattergram.
Selanjutnya dilakukan perhitungan statistik untuk memperoleh rerata reflektansinya, tampak pada Tabel 2
berikut.

Tabel 2.Hasil perhitungan rerata pada masing-masing AOI


Kanal
Kanal Hijau Kanal Merah Kanal NIR Kanal SWIR 1 Kanal SWIR 2
Biru
Kalimantan 1
Rerata1 (24 Juli) 0.081 0.064 0.036 0.310 0.121 0.041
Rerata2 (5 Mei) 0.078 0.061 0.034 0.299 0.122 0.040
Rerata 2/ Rerata 1 0.97 0.97 0.95 0.97 1.01 1
Kalimantan 2
Rerata1 (24 Juli) 0.081 0.064 0.036 0.310 0.121 0.041
Rerata2 (8 Juli) 0.102 0.082 0.055 0.317 0.127 0.050
Rerata 2/ Rerata 1 1.26 1.3 1.53 1.02 1.05 1.23
Lombok 1
Rerata1 (27 Agustus) 0.082 0.066 0.040 0.296 0.114 0.043
Rerata2 (7 Mei) 0.076 0.059 0.033 0.286 0.107 0.037
Rerata 2/ Rerata 1 0.93 0.91 0.83 0.97 0.94 0.85
Lombok 2
Rerata1 (27 Agustus) 0.082 0.066 0.040 0.296 0.114 0.043
Rerata2 (10 Juli) 0.079 0.061 0.035 0.278 0.102 0.036
Rerata 2/ Rerata 1 0.96 0.92 0.88 0.93 0.88 0.81

Penghitungan nilai rerata masing-masing data akan memperkuat interpretasi histogram dan scattergram
yang telah diolah dan ditampilkan pada Tabel 3 secara kuantitatif. Sebagai contoh, pada AOI data 1 pulau
Kalimantan, terlihat histogram berhimpit dan scattergrammendekati garis 45o memperkuat hasil ini, nilai
rasio rerata 2/ rerata 1 juga bernilai mendekati 1, artinya data yang dibandingkan mirip. Sebaliknya pada
AOI data 2 pulau Kalimantan, terlihat histogram bergeser dan scattergram yang menyimpang dari garis
45o memperkuat hasil ini, nilai rasio rerata 2/ rerata 1 juga bernilai cukup menyimpang dari 1 sampai di
angka 1.53 pada kanal merah artinya data yang dibandingkan berbeda. Selanjutnya ketika rasio Rerata 2/
- 143 -
Pemilihan Scene MosaikMultitemporal Citra Landsat-8 Berdasarkan Parameter Radiometrik dari Histogram dan Scattergram
(Dyatmika HS, et al.)

Rerata 1 bernilai lebih dari 1.00, bisa dikatakan citra yang diuji cenderung lebih terang. Sebaliknya jika rasio
Rerata 2/ Rerata 1 bernilai kurang dari 1.00, maka citra yang diuji cenderung lebih gelap dibanding citra
referensi.
Pengamatan visual pada data citra, hasil histogram dan scattergram pada data 2 wilayah di pulau
Kalimantan yang liputan awannya hampir 50% menunjukkan interpretasi yang sangat berbeda antar data.
Hal ini menunjukkan bahwa wilayah bersih di dalam scene ini tetap terpengaruh atmosfer yang membuat
data ini menyimpang. Berbeda dengan hal di atas, data-data sisanya mirip baik secara visual, dilihat pada
histogram maupun scattergram. Bahkan pada data 1 wilayah di pulau Kalimantan, walaupun liputan
awannya hampir 20% namun radiometrik citranya mirip dengan data referensi.

4. KESIMPULAN
Histogram dan scattergram dapat digunakan untuk pemilihan scene citra untuk alternatif selain
menggunakan liputan awan pada metadata maupun secara visual. Histogram dan scattergram menyediakan
informasi yang lebih detail dibanding dengan menggunakan liputan awan dan lebih kuantitatif dibanding
penilaian visual. Semakin sedikit pergeseran histogram antar data dan semakin mendekati garis 45 derajat
sebaran data scattergram, berarti semakin mirip radiometrik citranya.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini difasilitasi Bidang Teknologi Pengolahan Data (Teklahta), Pusat Teknologi dan Data
Penginderaan Jauh (Pustekdata) LAPAN. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kustiyo, M.Si
dalam hal pengembangan software yang digunakan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Dean, S., dan Illowsky, B. (2009). Descriptive Statistics: Histogram. Cited inhttps://legacy-textbook-qa.cnx.org
/content/m 16298/1.11/. [20 Oktober 2015]
Elvidge, C.D., Yuan, D., Weerackoon, R.D., dan Lunetta, R.S. (1995). Relative Radiometric Normalization of Landsat
Multispectral Scanner (MSS) Data Using an Automatic Scattergram-Controlled Regression. Photogrametric
Engineering & Remote Sensing. 61(10):1255-1260.
Hoffman, P.E., dan Grinstein, G.G. (2002). Information Visualization in Data Mining and Knowledge Discovery.
Morgan Kaufmann Publishers. University of Massachusetts, Lowell MA.
Justice, C.O., Vermote, E., Townshend, J.R.G., Defries, R., Roy, D.P., Hall, D.K., Salomonson, V.V., Privette, J.L.,
Riggs, G., Strahler, A., Lucht, W., Myneni, R.B., Knyazikhin, Y., Running, S.W., Nemani, R.R., Wan, Z., Huete
A.R., Leeuwen, V.W., Wolfe, R.E., Giglio, L., Muller, J.P., Lewis, P., dan Barnsley, M.J. (1998). The Moderate
Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS): land remote sensing for global change research. Geoscience and
Remote Sensing IEEE Transactions.36(4):1228-1249.
Kaplan, J.J., Gabrosek, J.G., Curtiss, P., dan Malone, C. (2014). Investigating Student Understanding of Histograms.
Journal of Statistics Education, 22(2).
LAPAN (2014) The Remote Sensing Monitoring Program of Indonesias National Carbon Accounting System :
Methodology and Products, Version 1. LAPAN IAFCP. Jakarta.
Murinto, Willy, P.P., dan Sri, H. (2008). Analisis Perbandingan Histogram Equalization dan Model Logarithmic Image
Processing (LIP)untuk Image Enhancement. Jurnal Informatika 2(2):200-208.
USGS (2015) Using the USGS Landsat 8 Product. Cited inhttps://landsat.usgs.gov/Landsat8_Using_Product.php [20
Oktober 2015]

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015

Moderator : Drs. Kustiyo, M.Si.


Judul Makalah : Pemilihan Scene Mosaik Multitemporal Citra Landsat-8 Berdasarkan Parameter Radiometrik
dari Histogram dan Scattergram
Pemakalah : Haris Suka Dyatmika
Jam : 09:00-10:30 WIB
Tempat : Ball Room 2 & 3 (Lt.1)
- 144 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Diskusi :

Ferman (BPJ Pare-pare, LAPAN)


Apakah penelitian ini dilakukan tanpa melihat dari sisi spasial data awan?

Jawaban:
Penelitian ini hanya membandingkan warna mungkin bisa dijadikan masukan untuk penelitian selanjutnya.

Dede Dirgahayu (Pusfatja, LAPAN)


Berapa citra yang akan dipilih? Apakah yang paling bagus atau ada beberapa data yang dipilih?

Jawaban:
Data yang diambil adalah data yang mirip dengan referensi.

Mahdi Kartasasmita (LAPAN)


Dalam penentuan kualitas citra, apakah dari visual atau dari jarak antar histogram?

Jawaban:
Kualitas ditentukan dari jarak histogram.

Bambang Trisakti (Pusfatja, LAPAN)


1) Bagaimana jika dalam pemilihan scene dilakukan pembagian koordinat?
2) Bagaimana data jika hasilnya sama bagus atau semua tidak bagus?

Jawaban:
1) Lebih baik dilakukan pembagian scene.
2) Dalam pemilihan digunakan citra referensi yang dijadikan acuan dalam penentuan citra hasil.

- 145 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

ORAL PRESENTATION

Pengujian Metode Korelasi Pearson untuk Image Registration pada Citra


SPOT-6 Ortho
Randy Prima Brahmantara1,*), Kustiyo1, dan Sukentyas Estuti Siwi1
1
Pusat Teknologi dan Data - LAPAN
*)
E-mail: randy.prima@lapan.go.id

ABSTRAK pengukuran kualitas geometrik sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi perbedaan geometrik
antar citra terutama citra hasil ortho rektifikasi. Untuk itu, diperlukan sebuah metode guna mempermudah dan
mempercepat proses pengukuran kualitas geometrik. Salah satu metode yang digunakan adalah menggunakan Korelasi
antar digital number dalam suatu luasan tertentu. Perhitungan ini lebih dikenal dengan Image Matching atau di
beberapa literatur menyebutnya sebagai Digital Image Correlation (DIC ). Dalam tulisan ini akan membahas tentang
pengujian metode Korelasi Pearson untuk menghitung nilai korelasi antar digital number dalam suatu luasan tertentu
yang disebut Ground Control Point (GCP ) chip. Kemudian korelasi perlu dihitung berkali-kali dengan menggeser GCP
chip tersebut sejauh radius cari untuk menemukan nilai korelasi tertinggi. Dari lokasi korelasi maksimum ini dihitung
nilai pergeseran atau galat geometri antar citra. Metode pengukuran galat geometri antar citra ini disebut image
registration .Pengujian metode ini dilakukan dengan menggunakan dua citra SPOT 6 level ortho standar tahun 2013
dan 2014 yang mengambil area pengamatan di Jakarta. Citra Tahun 2013 dijadikan acuan dan citra tahun 2014
dijadikan sebagai citra tes. Hasil dari pengujian ini menunjukkan nilai RMSET dari 50 titik GCP chip berukuran 21x21
dengan menggunakan band red sebesar 2.391652149 dalam satuan piksel. Jika hasil tersebut dikalikan dengan resulusi
spasial SPOT-6 multispectral yaitu 6 meter maka menghasilkan nilai 14.34991289 meter.
Kata kunci: korelasi Pearson, digital number, GCP chip, digital image correlation, image registration

ABSTRACT -geometric quality assessment is needed to provide information about the differences between the
geometry of the images, especially the ortho rectifiedn images. It required a method to simplify and accelerate the
process of quality measurement geometry. The method that can calculate the correlation between the digital number in
a particular area. This calculation is known as Image Matching or in some literature called it a DIC (Digital Image
Correlation). In this paper will discuss the testing method for calculating the Pearson correlation between the value of
the digital number in a certain area called GCP (Ground Control Point) chip. Then the correlation should be
calculated many times by shifting the GCP chip in the searching radius to find the highest correlation value. From the
location of the maximum correlation is calculated geometric shift or error between the images. Geometric error
measurement method between the image geometry is called image registration. This method of testing is done by using
two images SPOT 6 ortho standard in 2013 and 2014 that took the area of interest in Jakarta. Image of the year 2013
as a reference image and the image of the year 2014 as the sensed image. The results from this test showed RMSET
value from 50 GCP chips (size 21x21 pixels using red band) is 2.391652149 pixels. If the result is multiplied by the
spatial resolution of SPOT6 multispectral (6 meter) then produces the value 14.34991289 meters.
Keywords: Pearson Correlation, digital number, GCP chip, digital image correlation, image registration

1. PENDAHULUAN
Pengukuran kualitas geometri sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi perbedaan geometrik antar
citra terutama citra hasil ortho rektifikasi. Perbedaan geometrik bisa dilihat ketika membandingkan citra dari
sensor yang sama di area tertentu. Seperti pada Gambar 1.1 yang menunjukkan adanya perbedaan antara
kedua citra SPOT 6 (citra GCP chip dan citra tes) yang dilakukan dioverlay di ErMapper dengan
menggunakan komposisi 3 kanal RGB. Kanal merah ditempati oleh band 3 dari citra tes dan kanal hijau
ditempati oleh band 3 citra GCP chip. Hasil penggabungan kedia kanal tersebut jika tidak terdapat
pergeseran akan berwarna kuning, warna kuning terbentuk dari dua warna dasar yaitu merah dan hijau,
sehingga pada objek yang tidak mengalami pergeseran akan menunjukkan warna kuning yang berarti objek
yang sama berada pada letak yang sama pada kedua citra.

- 146 -
Pengujian Metode Korelasi Pearson Untuk Image Registration Pada Citra SPOT 6 Ortho (Brahmantara RP, et al.)

(a) (b)

(c)

Gambar 1.1.Perbandingan citra SPOT 6 multispectral band 3, (a) kanal merah yang ditempati citra tes
SP6_MS_20140418_05593919_ToA.ers, (b) kanal hijau ditempati oleh citra gcp_window21x21_0.ers
berukuran 21x21 piksel diambil dari citra SP6_MS_201308270243586_ToA.ers

Pengukuran perbedaan geometrik antar citra jika dilakukan mengunakan interpretasi visual akan
membutuhkan waktu yang lama, untuk itu dibutuhkan sebuah metode untuk mengukur perbedaan geometri
yang lebih cepat dan lebih akurat. Interpretasi visual mengandalkan data derajat keabuan dari sekumpulan
piksel pada suatu area. Derajat kebuan ini bisa dipahami oleh sistem komputer dengan istilah digital number.
Hubungan antara kedua citra dapat diukur dengan pola digital number pada piksel-piksel yang berkumpul
pada suatu area. Berikut ini adalah contoh pola digital number pada objek bangunan

Gambar 1.2Pola digital number pada objek bangunan

- 147 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Objek dalam suatu citra yang telah melewati proses ortho rektifikasi memiliki koordinat bumi yang
seharusnya sama jika dibandingkan dengan citra ortho lainnya pada scene yang sama. Untuk itu, salah satu
solusi untuk permasalahan ini adalah dengan menggunakan metode image registration. Metode image
registration adalah proses overlay dua atau lebih gambar dari scene yang sama diambil pada waktu yang
berbeda, dari sudut pandang yang berbeda, dan atau sensor yang berbeda. Metode ini menyamakan secara
geometrik antara dua citra, yaitu citra reference dan citra tes (Zitova & Flusser, 2003).
Untuk menyamakan secara geometrik diperlukan identifikasi kemiripan objek pada kedua citra untuk
kemudian menghitung persamaan perubahan atau perbedaan geometriknya. Hubungan kemiripan suatu objek
ditentukan dengan menggunakan sebuah metode yaitu image correlation atau image matching. Image
matching adalah proses menemukan poin yang sesuai dalam dua atau lebih gambar dari scene yang sama dan
merupakan proses penting untuk berbagai aplikasi seperti image registration (Gianinetto, 2012; Parmehr et
al., 2014), Deteksi perubahan (Qin & Gruen, 2014; Sadeghi et al., 2013), dan untuk pemodelan tiga dimensi
dan ilmu pemetaan (Ahmadi et al., 2010; Ekhtari et al., 2009; Lerma et al., 2013; Mohammadi & Malek,
2014; Soheilian et al., 2013). Di beberapa literatur lain konsep image matching dikenal dengan Digital
Image Correlation (DIC) (Pohl & Weibrecht, 1975; Keating et al., 1975).
Konsep penggunaan korelasi untuk mengukur pergeseran dalam dataset telah lama dikenal, dan hal itu
diterapkan pada gambar digital setidaknya sejak 1972 (Pohl & Weibrecht, 1975; Keating et al., 1975). DIC
pada awalnya banyak digunakan di bidang mekanika yang dipimpin oleh para peneliti di University of
South Carolina pada awal tahun 1980 (Chu et al., 1985; Bruck et al., 1989; Peters & Ranson, 1982) dan telah
dioptimalkan dan ditingkatkan dalam beberapa tahun terakhir (Sutton et al., 2000; James et al., 1990; Smith
& Tong, 1998; Tiwari et al., 2007; Kobayashi, 1993) Umumnya, DIC bergantung pada proses implementasi
dari koefisien korelasi yang ditentukan dengan memeriksa intensitas piksel di dalam bagian array pada dua
atau lebih gambar yang sesuai dan penggalian fungsi pemetaan deformasi antar gambar.
Cross correlation merupakan metode standar yang biasa digunakan untuk mengevaluasi derajat kemiripan
antara dua sinyal. Hal tersebut merupakan dasar pendekatan untuk image matching (Duda & Hart, 1973).
Namun dalam tulisan ini akan menampilkan hasil pengujian metode korelasi Pearson untuk menghitung
korelasi citra sebagai dasar dalam image registration citra penginderaan jauh. Dengan asumsi Korelasi
pearson mampu menghasilkan standart deviasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan cross correlation
pada himpunan nilai korelasi dalam matrik korelasi. Hal ini diperlkukan untuk meningkatkan keyakinan
terhadap registrasi titik GCP pada kedua citra (citra acuan dan citra tes)

2. METODE
Pengujian metode korelasi pearson dalam tulisan ini dilakukan dengan menggunakan dua citra SPOT 6
level orto yaitu SP6_MS_20140418_05593919_ToA sebagai citra tes dan SP6_MS_201308270243586_ToA
sebagai citra acuan. kedua citra tersebut berada pada daerah yang sama yaitu di Jakarta dengan tanggal
perekaman yang berbeda. Penamaan kedua citra tersebut telah mengalami perubahan dari penamaan standar
dari astrium karena telah melewati proses koreksi radiometri dengan menggunakan aplikasi yang
dikembangkan di Bidang Teknologi Pengolahan Data, LAPAN. Kedua citra tersebut memiliki proyeksi
UTM zona 48S. Hal ini memudahkan dalam pengukuran pergeseran objek di kedua citra.
Untuk mengukur image registration telah dibuat sebanyak 50 titik kontrol. Semua titik kontrol dibuat
secara manual dengan membuat titik pada citra acuan. Titik dibuat di atas objek yang tidak mengalami
perubahan untuk waktu yang relatif lama seperti persimpangan jalan, rumah, gedung, jembatan dll. Berikut
ini persebaran titik kontrol pada citra acuan.

- 148 -
Pengujian Metode Korelasi Pearson Untuk Image Registration Pada Citra SPOT 6 Ortho (Brahmantara RP, et al.)

Gambar 2.1 Persebaran titik kontrol pada citra acuan

Titik tersebut hanya berada pada salah satu piksel sehingga hanya memiliki satu nilai digital number.
Korelasi atar citra belum bisa dihitung dengan satu digital number. Maka dibuat lah sebuah Chip dengan
ukuran tertentu. Chip atau lebih dikenal sebagai GCP chip merupakan sekumpulan piksel yang mengelilingi
GCP dan mewakili area kecil yang memiliki ciri khas (Schowengerdt, 2007). Dalam pengujian ini
menggunakan window ukuran 21x21 piksel.
Window dengan ukuran 21x21 bertujuan untuk mengukur korelasi citra reference dengan citra tes.
Korelasi sederhana merupakan suatu teknik statistik yang dipergunakan untuk mengukur kekuatan hubungan
2 variabel dan juga untuk dapat mengetahui bentuk hubungan antara 2 variabel tersebut dengan hasil yang
sifatnya kuantitatif. Kekuatan hubungan antara 2 variabel yang dimaksud di sini adalah apakah hubungan
tersebut erat, lemah, ataupun tidak erat sedangkan bentuk hubungannya adalah apakah bentuk korelasinya
linear positif ataupun linear negatif.
Kekuatan hubungan antara 2 variabel biasanya disebut dengan koefisien korelasi dan dilambangkan
dengan symbol r. Nilai koefisian r akan selalu berada di antara -1 sampai +1. Koefisien korelasi sederhana
disebut juga dengan Koefisien Korelasi Pearson karena rumus perhitungan Koefisien korelasi sederhana ini
dikemukakan oleh Karl Pearson yaitu seorang ahli Matematika yang berasal dari Inggris. Rumus ini disebut
juga dengan Pearson Product Moment.

..........................................................................(1)
Dimana :
rxy = Nilai koefisien korelasi
X = pengamatan variabel citra reference
Y = pengamatan variabel citra tes
N = jumlah pasangan X dan Y

Variabel citra yang digunakan adalah digital number. Jumlah variabel dari window berukuran 21x21 pixel
adalah 441 variabel.
Untuk mencari koordinat yang tepat (matched), diperlukan beberapa kali perhitungan korelasi. Hal ini
diperlukan karena adanya kemungkinan pergeseran koordinat objek pada citra tes. Dengan asumsi bahwa
kedua citra tepat bertumpukan ketika koefisien korelasinya maksimum atau mendekati 1, maka diperlukan
iterasi untuk mencari korelasi maksimum. Pencarian dibatasi sejauh radius cari yang dihitung dalam satuan
piksel dan berporos pada titik GCP. Besar radius cari mempengaruhi jumlah koefisien korelasi. Misalnya,
untuk radius cari sama dengan satu piksel, maka window tersebut digunakan untuk menghitung korelasi pada
titik GCP, dan seluruh piksel yang berjarak 1 piksel dari titik GCP. Karena piksel dalam citra tersusun dalam
bari dan kolom sehingga dapat digambarkan seperti berikut:

- 149 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 2.2.Radius cari

Warna hijau adalah titik GCP, dan warna kuning adalah piksel yang berada pada radius 1 piksel dari
GCP, sehingga terdapat 9 koefisien korelasi dalam radius cari sama dengan satu piksel. Dalam tulisan ini
menggunakan radius cari sebesar 3 piksel di masing-masing titik GCP. Hal ini didasari oleh karakteristik
citra SPOT 6 level ortho yang memiliki akurasi geometri sebesar 10 meter (CE90) (Geo Airbus DS, 2015)).
Namun karakteristik tersebut berlaku untuk nilai RMS error bukan error per titik kontrol. Sehingga
diperlukan pencarian error yang lebih besar dari RMSnya. Sedangkan resolusi spasial SPOT 6 multispektral
adalah 6 meter. Dengan radius 3 piksel ini dapat mendeteksi nilai pergeseran objek pada titik kontrol hingga
3 piksel atau 18 meter. Proses matching ini dilakukan pada semua titik kontrol untuk mengetahui nilai
pergeseran dalam image registration.
Keseluruhan tahap image mathing di masing-masing titik GCP digambarkan dalam sebuah diagram alir
sebagaimanaGambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3. Diagram alir proses image matching

Perhitungan galat geometri citra tes terhadap citra acuan (50 GCP chip) dilakukan dengan menggunakan
root mean square error (RMSE ). Penulis menggunakan perhitungan RMSE atas dasar beberapa jurnal yang
menyatakan bahwa di bidang geoscience, banyak menampilkan/menggunakan RMSE sebagai perhitungan

- 150 -
Pengujian Metode Korelasi Pearson Untuk Image Registration Pada Citra SPOT 6 Ortho (Brahmantara RP, et al.)

standar untuk banyak model galat (McKeen et al., 2005; Savage et al., 2013; Chai et al., 2013). Berikut ini
rumus untuk menghitung RMSE.

( )
RMSEx = (2)
( )
RMSEy = .(3)

RMSET = + (4)
Keterangan :
RMSEx : RMSE pada sumbu x
RMSEy : RMSE pada sumbu y
RMSET : RMSE total pada sumbu x dan y
x : Nomer kolom atau koordinat bumi (easting, latitude) pada citra tes
x : Nomer kolom atau koordinat bumi (easting, latitude) pada citra acuan
y : Nomer baris atau koordinat bumi (northing, longitude) pada citra tes
y : Nomer baris atau koordinat bumi (northing, longitude) pada citra acuan
n : Jumlah titik GCP atau GCP chip

3. HASIL dan PEMBAHASAN


Pengujian metode ini menghasilkan beberapa nilai, antara lain: nilai korelasi maksimum, galat pergeseran
sumbu x dan sumbu y, yang diukur dari masing-masing GCP chip. Guna mempermudah dalam melakukan
analisis hubungan antara koefisien korelasi dengan nilai galat pergeseran, maka penulis membuat kurva yang
menghubungkan antara galat pergeseran dan koefisien korelasi.

Perbandingan Korelasi dan Galat


3.5
3
2.5
2
1.5 galat X (piksel)
1
galat Y(piksel)
0.5
0 Korel-max
-0.5 0 10 20 30 40 50 60
-1
-1.5
Nomer GCP

Gambar 3.1. Grafik perbandingan korelasi dan galat

Dari data perbandingan korelasi dan galat, nilai koefien korelasi tidak mempengaruhi galat. Nilai galat
berbeda-beda di setiap GCP. Kenaikan nilai korelasi tidak berhubungan dengan perubahan nilai galat. Hal ini
dikarenakan koefisien korelasi memiliki fungsi untuk mendeteksi kemiripan pola objek yang terdapat pada
GCP chip dengan citra korelasi, sedangkan galat dipengaruhi oleh terjadinya perbedaan koordinat objek pada
GCP chip dan citra tes.
Rendahnya koefisien korelasi disebabkan oleh perubahan pola digital number pada objek yang teramati.
Dari data pengujian ini ditemukan nilai terendah koefisien korelasi pada GCP chip nomer 5 dengan nilai
0.585041, untuk itu perlu dilakukan pengecekan secara visual untuk mendapatkan informasi penyebab
rendahnya nilai koefisien korelasi. Berikut ini citra perbandingan atara GCP chip dengan citra tes yang

- 151 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

dilihat secara visual untuk membuktikan adanya perubahan lahan yang menyebabkan nilai koefisien korelasi
menjadi rendah.

(a) (b)

(c)
Gambar 3.2. Perbandingan citra SPOT 6 multispectral band 3, (a) kanal merah yang ditempati citra tes
SP6_MS_20140418_05593919_ToA.ers yang sejajar (overlap) dengan GCP chip, (b) kanal hijau
ditempati oleh citra gcp_window21x21_5.ers berukuran 21x21 piksel diambil dari citra
SP6_MS_201308270243586_ToA.ers

Dengan menggunakan rumus RMSE, maka diperoleh nilai RMSET dari 50 titik GCP chip berukuran
21x21 dengan menggunakan band red sebesar 2.39 dalam satuan piksel. Jika hasil tersebut dikalikan dengan
resulusi spasial SPOT6 multispectral yaitu 6 meter maka menghasilkan nilai 14.35 meter. Hasil ini
menunjukkan bahwa diantara kedua citra SPOT 6 multispectral level ortho standar memiliki selisih 4.35
meter dari klaim yang disampaikan Astrium atau Airbus, yang mengkaji kendala dalam pengujian ini yakni
tidak adanya citra acuan yang dianggap benar secara geometrik seperti yang dipublikasikan oleh USGS
berupa GLS2000 (Global Line Survei). GLS2000 merupakan citra Landsat yang diakuisisi sekitar tahun
2000 yang telah melaui ortho rektifikasi yang dianggab memiliki ketepatan geometrik yang tinggi yang bisa
dijadikan acuan dalam pengukuran kualitas geometrik Landsat.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengujian yang diperoleh dari perhitungan matematis dan dibantu dengan validasi
secara visual pada kedua citra diperoleh kesimpulan bahwa korelasi pearson dapat digunakan untuk
identifikasi objek pada dua citra dengan menggunakan prinsip digital image correlation yang diaplikasikan
untuk image registration.

DAFTAR PUSTAKA
Chai, T., dan Draxler, R.R. (2014). Root Mean Square Error (RMSE) Or Mean Absolute Error (MAE)? Arguments
Against Avoiding RMSE In The Literature, Geosci. Model Dev, 7:12471250
Duda, R.O., dan Hart, P.E. (1973). Pattern Classification and Scene Analysis, Wiley.

- 152 -
Pengujian Metode Korelasi Pearson Untuk Image Registration Pada Citra SPOT 6 Ortho (Brahmantara RP, et al.)

Geo Airbus, D.S. (2015). SPOT 6/7 Satellite Imagery, citied in http://www.geo-airbusds.com/en/147-spot-6-7-satellite-
imagery [2 September 2015]
Mather, P.M. (2005). Computer processing of remotely-sensed images : an introduction,Wiley. ISBN: 978-0-470-
02101-9
Rao, Y.R., Prathapani, N., dan Nagabhooshanam, E. (2014). Application Of Normalized Cross Correlation To Image
Registration, IJRET: International Journal of Research in Engineering and Technology eISSN: 2319-1163 pISSN:
2321-7308
Schowengerdt, R.A. (2007). Remote Sensing: Models and Methods for Image Processing, Elsevier Inc. ISBN: 978-0-
12-369407-2
Sedaghat, A., dan Ebadi, H. (2015). Distinctive Order Based Self-Similarity Descriptor for Multi-sensor Remote
Sensing Image Matching, ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 108:6271
Wikipedia (2015). Digital Image Correlation, citied in https://en.wikipedia.org/wiki/Digital_image_correlation [ 15
September 2015]
Wikipedia (2015). Pearson Product-Moment Correlation Coefficient, citied in https://en.wikipedia.org/wiki/Pearson
_product-moment_correlation_coefficient [7 September 2015]
Zitova, B., dan Flusser, J. (2003). Image Registration Methods: a survey, Image and Vision Computing 21:9771000.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA POSTER


PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Judul Makalah : Pengujian Metode Korelasi Pearson untuk Image Registration pada Citra SPOT 6
Ortho Standar
Pemakalah : Randy Prima Brahmantara
Jam : 10.30-15.00
Tempat : Ball Room 2 & 3
Diskusi :

Erna Sri Adiningsih (Pustekdata, LAPAN):


Mengapa digunakan korelasi Pearson pada image registration SPOT 6? Apa asumsi-asumsi yang mendasari?

Jawaban:
Korelasi pearson memiliki standar deviasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan cross correlation. Dalam image
registration ini kami menghendaki adanya standart deviasi yang besar untuk meyakinkan adanya pergeseran atau tidak
adanya pergeseran. Dengan asumsi semakin besar deviasi pada matrik korelasi maka akan meningkatkan keyakinan
bahwa kedua citra telah ter-registered .
Asumsi semakin besar deviasi pada matrik korelasi maka akan meningkatkan keyakinan bahwa kedua citra telah ter-
registered .

anonim:
Mengapa tidak menggunakan radius cari 2 piksel, karena 2x6m > 10m?

Jawaban:
Dengan menggunakan radius cari lebih dari 2 piksel, diharapkan bisa mendeteksi adanya titik yang memiliki error lebih
dari 2 piksel (18 meter). Spesifikasi error pergeseran yang disampaikan pada web resmi (http://www.geo-
airbusds.com/en/147-spot-6-7-satellite-imagery) adalah untuk error RMS dari keseluruhan titik kontrol dengan kriteria
CE 90 bukan error di masing-masing titik kontrol.

- 153 -
S EMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

POSTER PRESENTATION

Mosaik Bebas Awan Citra Resolusi Tinggi


Ferman Setia Nugroho1,*)
1
Balai Penginderaan Jauh Parepare, LAPAN
*)
E-mail: ferman.setia@lapan.go.id

ABSTRAK Mosaik bebas awan citra resolusi tinggi sangatlah dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang maupun
kebutuhan yang lain. Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan tutupan awan yang banyak sehingga dibutuhkan
citra resolusi tinggi yang memiliki lebar perekaman yang luas dan resolusi temporal yang tinggi sehingga untuk
melakukan mosaik bebas awan citra resolusi tinggi bisa dilakukan dengan cepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kemampuan SPOT 6/7 dalam memenuhi kebutuhan mosaik bebas awan citra resolusi tinggi untuk wilayah
Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SPOT 6/7 mampu memenuhi kebutuhan mosaik bebas awan citra
resolusi tinggi untuk wilayah Indonesia.

Kata kunci: mosaik bebas awan, SPOT 6/7, rencana tata ruang

ABSTRACT - Cloud-free mosaic image of high resolution is needed in spatial planning or other needs. Indonesia has a
large area and a lot of cloud cover so it takes a high-resolution image recording which has a broad width and high
temporal resolution so as to make a mosaic of cloud-free high-resolution image can be done quickly . The aim of this
study was to determine the ability SPOT 6/7 to meet the needs of cloud-free mosaics for a high resolution image of
Indonesia. Results of this study indicate that SPOT 6/7 is able to meet the needs of cloud-free mosaics for a high
resolution image of Indonesia.

Keywords: cloud-free mosaic, SPOT 6/7, spatial planning

1. PENDAHULUAN
Satelit penginderaan jauh resolusi tinggi pertama-tama dikembangkan Amerika Serikat, kemudian
negara-negara lain juga mengembangkan satelit penginderaan jauh resolusi tinggi, seperti Jepang, India, dan
China, dan negara lainnya. Satelit-satelit tersebut mempunyai kemampuan memberikan data citra resolusi
tinggi yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang aplikasi, antara lain di bidang pertahanan dan
keamanan nasional, transportasi udara dan laut, pertambangan, infrastruktur, pemetaan, pengelolaan
bencana, pertanian, kehutanan dan pemantauan lingkungan, rekayasa, konstruksi, dan deteksi perubahan
lahan. Indonesia telah memanfaatkan data citra satelit penginderaan jauh milik negara lain untuk kebutuhan
nasional, seperti pada pelaksanaan akuisisi data inderaja melalui stasiun bumi Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) Balai Penginderaan Jauh Parepare dan telah meningkatkan jumlah data yang
diarsipkan di Bank Data inderaja LAPAN. Selain menerima data citra satelit penginderaan jauh secara
mandiri dari stasiun bumi tersebut, LAPAN juga melakukan kerjasama dengan penyedia data citra satelit
inderaja lainnya untuk kepentingan pengguna. Data citra satelit tersebut di atas didistribusikan kepada
pengguna baik pengguna internal LAPAN maupun pengguna eksternal, dan juga untuk berbagai bidang
aplikasi, untuk keperluan penelitian , penataan ruang , perairan/hidrologi, kehutanan , penggunaan lahan,
pertambangan, hankam, promosi/dan lainnya. Kemudian distribusi data berdasarkan pengguna adalah untuk
perguruan tinggi, TNI/hankam, internal LAPAN, instansi pemerintah dan instansi swasta (Bakara, 2014).
Pemanfaatan data citra satelit penginderaan jauh resolusi tinggi oleh instansi pemerintah dan instansi
swasta nasional masih banyak menggunakan data citra yang dibeli dari negara lain, mengakibatkan
pemanfaatan data citra satelit resolusi tinggi nasional tidak optimal. Maka untuk mengoptimalisasi
pemanfaatan data citra satelit penginderaan jauh tersebut, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 6 Tahun
2012 tentang penyediaan, penggunaan, pengendalian kualitas, pengolahan dan distribusi data satelit
penginderaan jauh resolusi tinggi. Maka untuk implementasi Inpres No. 6 Tahun 2012, yaitu optimalisasi
perlu dibuat suatu desain pengelolaan pengadaan dan pendistribusian data satelit penginderaan jauh resolusi
tinggi. LAPAN sebagai instansi yang mempunyai tugas salah satunya adalah mengembangkankan dan
pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan pengadaan data citra satelit dan pengolahan data satelit
resolusi tinggi untuk kebutuhan nasional. Kemudian dalam pengendalian kualitas data citra dilakukan
bersama-sama LAPAN dan Badan Informasi Geospasial (Bakara, 2014).

- 154 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Mosaik bebas awan citra resolusi tinggi sangatlah dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang maupun
kebutuhan yang lain. Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan tutupan awan yang banyak sehingga
dibutuhkan citra resolusi tinggi yang memiliki lebar perekaman yang luas dan resolusi temporal yang tinggi
sehingga untuk melakukan mosaik bebas awan citra resolusi tinggi bisa dilakukan dengan cepat. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan SPOT 6/7 dalam memenuhi kebutuhan mosaik bebas
awan citra resolusi tinggi untuk wilayah Indonesia. Alasan pemilihan SPOT 6/7 adalah karena SPOT 6/7
memang direkam oleh LAPAN, selain itu dari segi resolusi spasial yang tinggi dimana memiliki resolusi
spasial 1,5 meter untuk sensor pankromatik dan lebar cakupan perekaman yang lebar yaitu 60km (bila
dibandingkan dengan citra lain misalkan: Worldview1 17 km, Worldview2 16.4 km, Worldview3 13.1 km,
Geoeye1 15.2 km, Quickbird 16.8 km, Ikonos 11.3 km, dll.) dan panjang sampai dengan 600 km dalam satu
kali perekaman. (DigitalGlobe, 2015). Gambar 1. menunjukkan model perekaman yang dapat dilakukan oleh
SPOT 6/7.

(a) (b) (c) (d) (e)

Gambar 1. Model Perekaman SPOT 67. (a) Standard Data Collection: Long Strip. (b) Standard Data Collection:
Target. (c) Single Pass | Multi-Strip Collection (d) Single Pass | Corridor Collection (e) Single Pass | Stereo Capability
(Sumber: Astrium, 2015)

SPOT 6 diluncurkan 9 September 2012, SPOT 7 diluncurkan 30 Juni 2014, SPOT 6 dan SPOT 7
merupakan satelit konstelasi dimana kedua satelit tersebut memiliki spesifikasi yang sama sehingga bisa
saling melengkapi. Sudut perekaman bisa diatur dari 5o sampai dengan 45o dimana untuk waktu yang
dibutuhkan untuk merekam satu lokasi yang sama adalah dari 26 hari sampai dengan 1 hari. Untuk melihat
secara rinci waktu yang dibutuhkan untuk merekam satu lokasi yang sama dapat dilihat pada Tabel 1 yang
akan disajikan berikut:

Tabel 1. Waktu yang Dibutuhkan untuk Merekam Daerah yang Sama


(Sumber: Astrium, 2015)

Hanya SPOT 6 atau Konstelasi SPOT 6


Sudut Perekaman
Hanya SPOT 7 dan SPOT 7
5o 26 hari 13 hari
20o 7 hari 4 hari
o
30 5 hari 2 hari
45o 2 hari 1 hari

2. METODE

Penelitian ini akan menunjukkan hasil persentase perbandingan luas daratan terhadap tutupan mosaik
bebas awan citra resolusi tinggi, sehingga dalam penelitian ini dilakukan mosaik bebas awan SPOT 6/7
setelah melalui tahapan-tahapan yang akan dijelaskan pada Gambar 2.

- 155 -
Mosaik Bebas Awan Citra Resolusi Tinggi (Nugroho, FS)

Inventarisasi Cloud-Masking Pansharpening Hasil Mosaik % Luas Citra


Data SPOT 6/7 dan Proses Mosaik Bebas Awan Terhadap Luas
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
(Sumber: Hasil Pengolahan)

Seluruh proses pengerjaan mosaik bebas awan menggunakan Pixel Factory yang dikembangkan oleh
Astrium. Pixel Factory tidak hanya terbatas untuk citra SPOT 6/7 saja, akan tetapi bisa juga untuk citra-citra
lain semisal Landsat, Pleiades, Worldview, dan lain sebagainya. Secara metode pada dasarnya hampir sama
hanya saja berbeda resolusi spasialnya saja. Inventarisasi data SPOT 6/7 dilakukan per pulau besar dimana
masing-masing pulau besar tersebut merupakan satu project. Adapun data yang digunakan untuk proses
mosaik ini adalah data dengan level RSENSOR. Terdapat 7 project utama yaitu Sumatera, Jawa, Bali Nusa
Tenggara, Papua, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan. Untuk mendapatkan citra yang bebas awan maka
dilakukan cloud masking dimana dalam penelitian ini digunakan cloudwiz yang merupakan perangkat lunak
yang dikembangkan oleh Astrium. Terdapat pohon keputusan untuk memisahkan mana awan dan mana objek
bukan awan seperti terdeskripsikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Pohon Keputusan untuk Memisahkan Awan dan Bukan Awan


(Sumber: Anonim)

Setelah dilakukan cloud masking maka tahapan selanjutnya adalah proses koreksi geometri menggunakan
auto point measurement untuk bundle adjusment dimana dalam penelitian ini belum tersedia ground control
point yang mencukupi sehingga hanya mengutamakan keseragaman koordinat antar strip citra. Tahap
selanjutnya adalah pansharpening untuk mendapatkan citra berwarna dengan resolusi spasial 1,5 m yang
kemudian dilanjutkan proses mosaik dimana lokasi yang tertutup awan akan digantikan dengan citra yang
tidak ada awan dari perekaman pada tanggal yang lain sehingga didapatkanlah mosaik citra SPOT 6/7 bebas
awan. Setelah tahapan mosaik bebas awan maka tahapan yang terakhir adalah menghitung persentase luas
citra terhadap luas daratan dimana hasil tersebut bisa menggambarkan kemampuan SPOT 6/7 dalam
memenuhi kebutuhan mosaik bebas awan citra resolusi tinggi.

3. HASIL PEMBAHASAN
Perekaman SPOT 6 di LAPAN dimulai pada bulan Juni 2013, adapun area yang direkam masih sangat
minim, dapat dilihat pada Gambar 4. Sedangkan perekaman SPOT 6/7 untuk seluruh wilayah Indonesia baru
dilaksanakan mulai bulan September 2014. Data yang dipakai untuk proses mosaik ini dibatasi sampai bulan
maret 2015 untuk proses mosaik, jadi masih sangat minim data untuk dilakukan mosaik, sehingga belum
menggambarkan kemampuan maksimal SPOT 6/7 dalam melakukan perekaman untuk mosaik bebas awan.
Namun keuntungan dari range waktu yang tidak terlalu jauh bisa meminimalisir perubahan penggunaan
lahan.

- 156 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 4. Cakupan Perekaman SPOT 6 Juni 2013-September 2014


(Sumber: Hasil Pengolahan)

Gambar 5. Hasil Mosaik Bebas Awan SPOT 6/7 Juni 2013-Maret 2015
(Sumber: Hasil Pengolahan)

Gambar 5 menunjukkan hasil mosaik bebas awan SPOT 6/7 Juni 2013-Maret 2015. Hasil tersebut
diperoleh dari pemrosesan SPOT 6 sebanyak 802 strip/rekaman dan SPOT 7 sebanyak 307 strip/rekaman
yang merupakan hasil dari pemilahan data yang kualitas bagus atau tutupan awan rendah dari total jumlah
perekaman sampai dengan 22 Oktober 2015 yang berjumlah 8353 strip untuk SPOT 6 dan 2885 strip untuk
SPOT 7, jadi bisa dikatakan hanya 10% saja data yang digunakan mengingat Indonesia yang merupakan
negara tropis dengan tutupan awan yang sangat tinggi.

Tabel 2. Data masukan dan persentase perbandingan luas daratan terhadap tutupan mosaik bebas awan
(Sumber: Hasil Pengolahan)

Luas Citra
Jumlah SPOT 6 Jumlah SPOT 7 Ukuran Data Luas Daratan Luas Citra
Pulau Terhadap Luas
(strip) (strip) (GB) (km2) (km2)
Daratan (%)
Kalimantan 151 45 436 544.150 399.254 73,37
Sumatera 205 34 439 473.481 425.896 89,95
Papua 110 29 319 420.540 303.567 72,19
Sulawesi 147 51 336 174.600 168.495 96,50
Jawa 70 38 170 128.297 112.369 87,59
Maluku 51 28 145 74.505 63.487 85,21
Bali Nusa Tenggara 68 82 219 72.876 67.489 92,61

Pulau Kalimantan masih banyak yang belum terekam karena sedikit sekali citra yang tidak tertutup
awan, ditambah lagi perekaman untuk daerah Kalimantan bagian tengah, timur dan utara baru dimulai Bulan
September 2014 sehingga daerah tersebut masih banyak yang belum tersedia citranya. Pulau Papua masih

- 157 -
Mosaik Bebas Awan Citra Resolusi Tinggi (Nugroho, FS)

dalam proses pengerjaan sehingga sementara baru Provinsi Papua saja, belum termasuk Provinsi Papua
Barat. Tabel 2 menunjukkan jumlah strip, ukuran data, luas daratan, luas citra, dan hasil persentase luas citra
terhadap luas daratan, dimana persentase tertinggi ditunjukkan oleh pulau sulawesi yaitu sebesar 96,50%.
Persentase terendah sebesar 72,19% ditunjukkan oleh Pulau Papua karena memang masih dalam proses
pengerjaan. Dari Tabel 2 tersebut maka bisa disimpulkan bahwa SPOT 6/7 mampu memenuhi kebutuhan
mosaik bebas awan citra resolusi tinggi untuk wilayah Indonesia.

4. KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SPOT 6/7 mampu memenuhi kebutuhan mosaik bebas awan
citra resolusi tinggi untuk wilayah Indonesia

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh personil Balai Penginderaan Jauh Parepare yang telah
memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Tim Redaksi dan Mitra Bestari atas masukan dan koreksinya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Cloudwiz User Manual version 1.0. Astrium Geoinformation Services. Parc Technologique du Canal 15
Avenue de l'Europe 31522 Ramonville Saint-Agne.
Astrium. (2015). SPOT 6|SPOT 7 Technical Sheet. Cited in http://www2.geo-
airbusds.com/files/pmedia/public/r12317_9_SPOT 6-7_technical_sheet.pdf . [22 Oktober 2015]
Bakara, J. (2014). Sistem Menejemen Data Citra Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi Untuk Kebutuhan Nasional.
Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014. IPB International Convention Center. Bogor.
DigitalGlobe. (2015). WorldView3 Data Sheet. Cited in https://dg-cms-uploads-
production.s3.amazonaws.com/uploads/document/file/95/DG_WorldView3_DS_forWeb_0.pdf. [22 Oktober 2015]
DigitalGlobe. (2015). WorldView2 Data Sheet. Cited in https://dg-cms-uploads
production.s3.amazonaws.com/uploads/document/file/98/DG_WorldView2_DS_PROD.pdf. [22 Oktober 2015]
DigitalGlobe. (2015). WorldView1 Data Sheet. Cited in https://dg-cms-uploads-
production.s3.amazonaws.com/uploads/document/file/99/WorldView1-DS-WV1.pdf. [22 Oktober 2015]
DigitalGlobe. (2015). GeoEye1 Data Sheet. Cited in https://dg-cms-uploads-
production.s3.amazonaws.com/uploads/document/file/97/DG_GeoEye1.pdf. [22 Oktober 2015]
DigitalGlobe. (2015). QuickBird Data Sheet. Cited in http://global.digitalglobe.com/sites/default/files/QuickBird-DS-
QB-Prod.pdf. [22 Oktober 2015]
DigitalGlobe. (2015). Ikonos Data Sheet. Cited in
http://global.digitalglobe.com/sites/default/files/DG_IKONOS_DS.pdf. [22 Oktober 2015]

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA POSTER


PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Judul Makalah : Mosaik Bebas Awan Citra Resolusi Tinggi


Pemakalah : Ferman Setia Nugroho
Jam : 10.30-15.00
Tempat : Ball Room 2 & 3
Diskusi :

Udhi Catur Nugroho (Pusfatja, LAPAN):


Apa bedanya dengan metode mozaik cloud free landsat?

Jawaban:
Metode mosaik yang dilakukan untuk SPOT maupun Landsat pada dasarnya sama saja, yang membedakan hanyalah
resolusi spasialnya saja.

Samsul Arifin (Pusfatja, LAPAN):


Mosaik ini data akuisisi dari tahun berapa sampai dengan berapa? Karena kalau terlalu jauh selisih tahun kuatir sudah
ada perubahan lahan.

- 158 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Jawaban:
Mosaik SPOT-6 & 7 ini menggunakan data dari 2013-2015 sehingga perubahan lahan belum begitu signifikan.

Fadila Muchsin (Pustekdata, LAPAN):


Mengapa tidak dilakukan proses BundleAdjustment? Bagaimana akurasi geometri antar citra?

Jawaban:
Proses koreksi geometri menggunakan auto point measurement untuk bundle adjusment dimana dalam penelitian ini
belum tersedia ground control point yang mencukupi sehingga hanya mengutamakan keseragaman koordinat antar strip
citra.

- 159 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

POSTER PRESENTATION

Penambahan Citra Satelit dengan Sistem Ingest DataDoors di LAPAN


Ogi Gumelar1,*), Rubini Jusuf1, Rita Silvana Arlis1 , dan Riyan Mahendra Saputra1
1
Pusat Teknologi dan Data, LAPAN
*)
E-mail: ogumelar@yahoo.com;ogumelar@gmail.com;ogi.gumelar@lapan.go.id

ABSTRAK-Penambahan citra satelit menggunakan SCIMr (perangkat lunak dari DataDoors Appliance) memang unik
dan menarik jika dilihat secara visual. Sistem "ingest" dapat disebut sebagai sistem pencarian citra satelit semi-
automatisasi dan sistem penyajian katalog sistem informasi. Citra optis dan radar dapat dideteksi keduanya oleh SCIMr
sedangkan untuk proses ingest citra seperti data radar tingkat kesulitannya dapat dibilang lebih dibandingkan citra optis.
Citra seperti SPOT 6 dan 7, MODIS, NPP dan lainnya belum dapat dilakukan ingest secara sempurna sedangkan citra lain
seperti ALOS 2 PALSAR, Sentinel, citra hasil Pixel Factory belum berhasil di ingest sebagian karena hasil citra Pixel
Factory dapat diubah secara manual dan tidak standar. Selain raster, SCIMr dapat pula menambahkan data ke dalam
DataDoors baik itu berupa berkas vektor maupun berkas metadata saja. Kustomisasi tidak dapat dilakukan dalam program
SCIMr ini karena tidak bersifat open source.

Kata kunci:citra satelit, web katalog, ingesting, DataDoors, metadata, raster format

ABSTRACT- DataDoors Appliance serves image satellite using SCIMr software in unique way and interesting if we
see by visual. Ingesting system can we called as a half automated system in finding satellite image and catalog
information system for imagery. Optical and radar image can be detected very well by SCIMr, the structure of radar
seem to be more difficult to be ingested. There were several images which are not standard from the other images and
those non standards cannot be displayed in catalog system. For example forsome image satellites like SPOT-7, MODIS,
NPP cannot be ingested by SCIMr perfectly and also image like ALOS 2 PALSAR, Sentinel, Pixel Factory product
cannot be ingested partially because Pixel factory is a customized product.We can see how low spatial resolution
images can have bigger swath whichcan cover all of area in Indonesia in one or several images. DataDoors system
provides several format options which can be selected by user according own user specification.Changing
configuration system in SCIMr cannot be done by public because this SCIMr is not open source type.

Keywords: Image satellite, web catalog, ingesting, DataDoors, metadata, raster format

1. PENDAHULUAN
Ketersediaan citra satelit dapat disajikan dalam berbagai cara baik secara geospasial maupun berbasis
tekstual. Secara sederhana pencarian citra satelit berbasis geospasial lebih memudahkan pengguna dalam
mencari wilayah yang diinginkan menggunakan Area Of Interest (AOI) akan tetapi dalam hal ini menjadi
kendala jika pengguna tidak terbiasa menggunakan aplikasi sistem geografis. Sementara itu untuk pencarian
berbasis tekstual lebih mudah menggunakannya tetapi akan sulit mendapatkan wilayah yang diinginkan.
Citra satelit itu sendiri terbagi secara spasial atas tiga kategori umum pertama citra resolusi spasial rendah,
menengah dan tinggi. Selain itu untuk segi platform-nya baik dari space borne, air borne dan ground
kemudian citra yang dibahas dalam tulisan ini masih dalam seputar space borne maka selanjutnya
pemahaman citra satelit yang tersedia di LAPAN merupakan citra hasil perekaman dengan wahana satelit.
Sensor terbagi dua secara garis besar walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat sensor lain dalam
muatan satelit yaitu sensor optis dan radar. Ketersediaan citra LAPAN diidentifikasi menggunakan perangkat
lunak DataDoors The Supplemental Content Ingestion Manager (SCIMr).

1.1 Definisi
Ingest itu sendiri berarti proses identifikasi citra satelit dengan cara ekstraksi citra raster bersama
informasi metadatanya agar dapat dibuat citra tampilan dan informasi parameter yang dibutuhkan oleh
pengguna citra satelit.
Nilai no data yaitu jika citra bukan tile yang utuh maka nilai tersebut dapat diwakili sebagai no data.
Nilai no data dapat bervariasi mulai dari nilai rendah (latar belakang hitam) sampai nilai tinggi (latar
belakang putih; nilai sebenarnya tergantung dari kedalaman bit citra), atau dapat bernilai negatif untuk data
elevasi. Selain itu pengertian no data values juga dapat diartikan sebagai populasi titik asal yang terhimpun
dari informasi metadata, serta dapat diganti dengan memasukkan sebuah nilai atau kitaran nilai yang

- 160 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

mewakili no data values dalam data yang di-ingest. Sedangkan menurut sebuah referensi "Concept and
Techniques of Geographic Information System" bahwa nilai null not zero yang berarti nilai kosong bukan nol
itu diambil untuk mewakili sebuah nilai yang menyatakan kondisi nilai pada suatu atribut tidak diketahui
atau hilang.
Vault merupakan sebuah kumpulan berkas atau data yang ada di jaringan. Berkas-berkas ini dapat
ditemukan di berbagai lokasi melalui jaringan dengan syarat memiliki persamaan jenis berkas dan sumber
resolusi yang sama. Berkas ini terkunci dan tak tersentuh oleh pengguna.
Product merupakan turunan dari vault yang berupa kumpulan instruksi yang diaplikasikan berdasarkan
permintaan. Product ini bukan hasil copy data akan tetapi sebuah kumpulan pengolahan yang dapat
diaplikasikan ketika data dipesan.
Archive merupakan kumpulan dari beberapa product. Kumpulan ini disajikan terhadap permintaan data
melalui web client dan dipetakan dalam sebuah organisasi.

1.2 DataDoors
DataDoors merupakan sistem yang dirancang untuk mengelola aset data geospasial dan secara otomatis
DataDoors dapat menghasilkan sebagai produk berkualitas secara efisien dan efektif. Data yang diolah serta
dikelola oleh DataDoors didistribusikan ke tenaga ahli dan pembuat kebijakan untuk memenuhi kebutuhan
citra satelit. Penggunaan DataDoors melalui komunikasi internet yang aman dan pencarian citra satelit via
lokal maupun remote. Arsip data geospasial dapat bersifat umum maupun rahasia seperti citra satelit, citra
aerial, peta topografi, dan data DEM dari ArcView atau web browser.
DataDoors menyajikan informasi mengenai liputan ketersediaan data dan menampilkan data kepada
pengguna, serta pengguna dapat memesan data sesuai kebutuhannya. Proses pengolahan dengan algoritma
yang dapat diubah sesuai keinginan kita atau standar pengolahan citra satelit seperti koreksi ortorektifikasi,
indeks vegetasi, deteksi perubahan lahan dan klasifikasi penggunaan lahan atau penutup lahan dilakukan
oleh sistem DataDoors. DataDoors terbagi atas tiga sistem utama, pertama sistem web katalog DataDoors
kemudian yang kedua merupakan sistem web admin serta terakhir program SCIMr.
Pada sistem admin kita dapat mendaftarkan, menghapus dan mengubah pengguna, selain itu konfigurasi
template surat elektronik yang diberikan kepada pengguna. Konfigurasi pada lembar tagihan, lisensi citra
satelit, laporan aktivitas pengolahan, harga citra satelit dan lain sebagainya. Pemantauan citra hasil proses
ingesting dapat dilakukan pada segmen ini. Kita dapat memonitor citra satelit yang gagal diproses atau
kesalahan lainnya yang muncul ketika sistem berjalan. DataDoors dapat mengakses citra yang validitasnya
sudah diuji sebelumnya sebagian daftar citra satelit yang valid tersebut dapat dilihat pada gambar tabel di
bawah ini.
Tabel 1. Tabel Daftar Jenis Data yang Didukung Datadoors
(Sumber: DataDoors Support Manual Version 3.24, 2014)

No Jenis Data yang Dikenali dan Didukung Sistem DataDoors


1 ALOS AVNIR-2 multispectral, all 4 bands
2 ALOS PRISM panchromatic
3 DMC SLIM-6-22 Multispectral
4 DMC SLIM-6 Multispectral
5 DigitalGlobe QuickBird Fused, BGRN bands
6 DigitalGlobe QuickBird Fused, natural color bands
7 DigitalGlobe QuickBird Fused, natural color bands Mosaic
8 DigitalGlobe QuickBird Multispectral, all 4 bands
9 DigitalGlobe QuickBird Panchromatic
10 DigitalGlobe WorldView Panchromatic
11 DigitalGlobe WorldView Panchromatic Mosaic
12 DigitalGlobe WorldView-2 Fused, BGRN bands
13 DigitalGlobe WorldView-2 Fused, natural color bands
14 DigitalGlobe WorldView-2 Multispectral, BGRN bands
15 DigitalGlobe WorldView-2 Multispectral, all 8 bands
16 DigitalGlobe WorldView-2 Panchromatic
17 EPF - (Miscellaneous Maps & Charts)
18 GeoEye GeoEye-1 Fused
19 GeoEye GeoEye-1 Multispectral
20 GeoEye GeoEye-1 Panchromatic
21 GeoEye IKONOS-2 Fused
22 GeoEye IKONOS-2 Multispectral
23 GeoEye IKONOS-2 Panchromatic
24 GeoEye OrbView-5 Multispectral
25 GeoEye OrbView-5 Panchromatic
26 Landsat (7) ETM+ Multispectral
27 Landsat (7) ETM+ Panchromatic

- 161 -
Penambahan Citra Satelit dengan Sistem Ingest DataDoors di LAPAN, (Gumelar, O. et al.)

28 Landsat (7) ETM+ Thermal


29 Landsat TM multispectral, all 7 bands
30 OrbView OrbView-3 Multispectral
31 OrbView OrbView-3 Panchromatic
32 PLEIADES Fused
33 PLEIADES Multispectral
34 PLEIADES Panchromatic
35 RADARSAT-2 Extended High
36 RADARSAT-2 Fine
37 RADARSAT-2 Fine Quad Polarization, Single Look Complex
38 RADARSAT-2 ScanSAR Narrow
39 RADARSAT-2 ScanSAR Wide
40 RADARSAT-2 Standard
41 RADARSAT-2 Standard Quad Polarization, Single Look Complex
42 RADARSAT-2 Ultra-Fine, Single Look Complex
43 RADARSAT-2 Wide
44 RADARSAT-1 wide-beam
45 RADARSAT-1 standard-beam
46 RADARSAT-1 fine-beam
47 RADARSAT-1 extended-low
48 RADARSAT-1 extended-high
49 RADARSAT-1 extended high Single Look Complex
50 RADARSAT-1 extended low Single Look Complex
51 RADARSAT-1 fine-beam Single Look Complex
52 RADARSAT-1 standard-beam Single Look Complex
53 RADARSAT-1 wide-beam Single Look Complex
54 RADARSAT-1 ScanSAR wide
55 RADARSAT-1 ScanSAR narrow
56 RPF - (Miscellaneous Maps & Charts)
57 SPOT (1-3) HRV Multispectral
58 SPOT (1-3) HRV Panchromatic
59 SPOT (4) HRVIR Fused
60 SPOT (4) HRVIR Monochromatic
61 SPOT (4) HRVIR Multispectral
62 SPOT (5) HRG False Color Fused 2.5
63 SPOT (5) HRG False Color Fused 5
64 SPOT (5) HRG Multispectral
65 SPOT (5) HRG Natural Color Fused 2.5
66 SPOT (5) HRG Natural Color Fused 5
67 SPOT (5) HRG Panchromatic 2.5
68 SPOT (5) HRG Panchromatic 5
69 SPOT (5) HRS Stereoscopic
70 RapidEye Multispectral 16bit Unsigned
71 RapidEye Multispectral 16bit signed
72 TERRASARX SpotLight, Single Polarization, HH
73 TERRASARX SpotLight, Single Polarization, VV
74 TERRASARX SpotLight, Dual Polarization, HH/VV
75 TERRASARX HighResolution SpotLight, 300 MHz, HH
76 TERRASARX HighResolution SpotLight, 300 MHz, VV
77 TERRASARX HighResolution SpotLight, 300 MHz, HH/VV
78 TERRASARX HighResolution SpotLight, 150 MHz, HH
79 TERRASARX HighResolution SpotLight, 150 MHz, VV
80 TERRASARX HighResolution SpotLight, 150 MHz, HH/VV
81 TERRASARX StripMap, Single Polarization, HH
82 TERRASARX StripMap, Single Polarization, VV
83 TERRASARX StripMap, Dual Polarization, HH/VV
84 TERRASARX StripMap, Dual Polarization, HH/HV
85 TERRASARX StripMap, Dual Polarization, VV/VH
86 TERRASARX ScanSAR

2. ALAT DAN BAHAN


Perangkat lunak yang digunakan adalah SCIMr, DataDoors Appliance (DDA) selain itu perangkat lunak
yang digunakan untuk menguji citra satelit adalah QGIS, ASF, NEST, ArcGIS dan lainnya. Pemeriksaan
dengan perangkat GIS ini menjadi acuan untuk dapat membandingkan antara informasi yang ada di metadata
dengan yang tersedia di citra. Misalnya kedalaman bit dapat diketahui berapa jumlah nilai digital dengan
perangkat QGIS atau NEST. Ukuran baris dan kolom bisa diverifikasi apakah ukuran citra yang diperiksa
sesuai dengan yang direkam dalam metadata. Nilai minimum dan maksimum dapat dilihat menggunakan
perangkat GIS tersebut. Citra satelit yang dikumpulkan untuk dikelola menjadi suatu informasi ketersediaan
citra yaitu:
1. Landsat
- 162 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Operasional (Landsat 7 dan Landsat 8)


Landsat 5 TM, dan Landsat 4 dan 5 MSS
Landsat 1, 2, 3 (media terakhir dalam bentuk film)
2. SPOT
SPOT 6 dan 7, SPOT 5
SPOT 4, SPOT 2 (sudah tidak beroperasi tetapi ada di dalam arsip BDPJN)
3. Resolusi tinggi hasil kerja sama antar berbagai Instansi
Rapid eye, Ikonos, Geoeye, Pleiades, Quick bird, WorldView 1, WorldView 2
4. Radar
ALOS PALSAR, Radarsat, TerraSARX, Citra Sentinel (Hasil unduhan tak berbayar)
ERS-1, JERS (bentuk terakhir dalam CD, DVD)
5. Resolusi rendah
NOAA, MTSAT, MODIS AQUA dan TERRA, NPP

3. HASIL PEMBAHASAN

3.1 Proses Ingesting Data dengan SCIMr

Gambar 1. Tampilan GUI SCIMr DataDoorsVersion 3.30.3.9297


(Sumber: SCIMr Graphical User Interface DataDoors, 2015)

Gambar 1 di atas merupakan tampilan graphic user interface dari SCIMR dimana perangkat ini dapat
mengekstrak citra satelit penginderaan jauh secara keseluruhan dengan automatis. Versi ini merupakan versi
3.28.0.8975 dengan tambahan fitur deteksi data resolusi rendah seperti NOAA, MODIS, NPP, VIIRS. Untuk
jenis data terdiri dari ALOS (sensor AVNIR, PRISM dan PALSAR) selain itu jenis pilihan data lainnya yang
terdeteksi berupa WorldView 2 fullband atau 8 band, 3 band true color dan 4 band. SCIMr juga mendeteksi
citra satelit Perancis dengan format metadata DIMAP, jenis data yang terdeteksi mulai dari citra SPOT 2,
- 163 -
Penambahan Citra Satelit dengan Sistem Ingest DataDoors di LAPAN, (Gumelar, O. et al.)

SPOT 4, SPOT 5, SPOT 6/7 (dalam tahap pengembangan), Pleiades, EPF, Generic, GeoDatabase Shapefile,
Geoeye, GeoEye (MrSID with XML), ingest From Text File, IRS, KOMPSAT, Landsat (CEOS format),
Landsat 5, Landsat 7 ETM +, Landsat 8, LIDAR (Non-Temporal), LIDAR (Temporal), Metadata Extractor,
MODIS HDF4, NOAA (format LAPAN), Orbview, RADARSAT-1, RADARSAT-2, RapidEye, RPF,
Shapefile, Shapefile (Temporal), SPOT CAP, SPOT Vegetation, Terra SAR-X, Vector, VIIRS.
Sistem DataDoors memiliki algoritma yang dapat membaca dan menulis dari berbagai format berkas dan
jenis sensor. Salah satu keunggulan DataDoors adalah kemampuan mengambil berbagai format dan
menampilkan pilihan produk dan menerjemahkan format tersebut untuk diseminasi berkas tertentu. Sistem
ini membutuhkan suatu metode yang kuat (robust) dalam mengatur sumber data menjadi sebuah inti
basisdata. SCIMr merupakan perangkat lunak yang dapat menambahkan atribut data secara langsung ke
dalam basis data sedemikian sehingga dapat dipersiapkan dan dikonfigurasi untuk tampilan dan transformasi.
Alur kerja dasar dari sistem ini termasuk: 1) membuat sebuah vault dan pilihan produk, 2) penambahan
data ke dalam vault atau product, dan 3) konfigurasi data untuk diseminasi atau penjualan. Bagian berikut
memberikan sebuah pondasi dari proses dan petunjuk untuk metode penyisipan referensi ke dalam citra,
peta, terrain dan vektor ke dalam basisdata DataDoors. Gambar 2 di bawah memberikan sebuah deskripsi
tentang keseluruhan alur kerja serta gambar ini juga dapat menjadi acuan dalam melakukan ingest data.
SCIMr membutuhkan sebuah user yang telah terdaftar dalam akun pengguna DataDoors, selain itu akun
harus memiliki role sebagai Product Maintainer.

Gambar 2. Alur Kerja Penambahan Citra


(Sumber: DataDoors Support Manual Version 3.24, 2014)

3.2 Jenis Data yang Didukung


Kemampuan SCIMr DataDoors dalam mendukung berbagai jenis data dan format serta SCIMr dapat
mengakses informasi metadata yang tersisipkan dalam citra satelit (seperti tanggal akuisisi, liputan awan,
sudut incidence dan lainnya) ketika proses ingest berjalan. Tabel 2 berikut menjelaskan informasi nama
provider satelit dengan keterangan sensor, jenis metadata dan raster format.

Tabel 2.Jenis dan Sensor Citra Satelit yang Didukung SCIMr


(Sumber: DataDoors Support Manual Version 3.24, 2014)

Provider Sensor Metadata Raster Format

Astrium / SPOT DIMAP GeoTIFF


AlSat-1
Beijing-1 DIMAP GeoTIFF
DEIMOS-1 DIMAP GeoTIFF

- 164 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Provider Sensor Metadata Raster Format

NigeriaSat-1 DIMAP GeoTIFF


UK-DMC DIMAP GeoTIFF
UK-DMC2 DIMAP GeoTIFF
FORMOSAT DIMAP GeoTIFF
FORMOSAT-2 DIMAP GeoTIFF
PLEIADES DIMAP 2 GeoTIFF
JP2
SPOT (1-3) HRV SPOTCAP (Binary) SPOTCAP
DIMAP SPOTVIEW GeoTIFF
DIMAP SPOTSCENE GeoTIFF
SPOT (4) HRVIR SPOTCAP (Binary) SPOTCAP
DIMAP SPOTVIEW GeoTIFF
DIMAP SPOTSCENE GeoTIFF
SPOT (5) Vegetation 2 ASCII HDF
SPOT (5) HRS DIMAP SPOTVIEW GeoTIFF
DIMAP SPOTSCENE GeoTIFF
DIMAP REF3D GeoTIFF
SPOT (6) DIMAP 2 GeoTIFF
JP2
TerraSar-X XML GeoTIFF

Digital Globe GeoEye GeoEye-1 ASCII NITF


GeoTIFF
GeoEye IKONOS-2 ASCII NITF
GeoTIFF
DigitalGlobe QuickBird XML GeoTIFF
MrSID
NITF
DigitalGlobe WorldView 1 XML GeoTIFF
MrSID
NITF
DigitalGlobe WorldView 2 XML GeoTIFF
MrSID
NITF
OrbView-3 PVL NITF
OrbView-5 PVL GeoTIFF
NITF

KARI (Korea Aerospace


KOMPSAT-2 (1R, and 1G) DIMAP GeoTIFF
Research Institute)

KARI GeoTIFF
Indian Remote Sensing
1A/1B PVL FAST
Satellites
1C/1D PVL FAST
GeoTIFF
RESOURCESAT-1 PVL FAST
GeoTIFF
National Space
Development Agency of ALOS AVINIR-2 PVL CEOS
Japan (NASDA)

- 165 -
Penambahan Citra Satelit dengan Sistem Ingest DataDoors di LAPAN, (Gumelar, O. et al.)

Provider Sensor Metadata Raster Format

ALOS PRISM PVL CEOS


GeoTIFF
RADARSAT
RADARSAT-1 PVL CEOS
International (RSI)
RADARSAT-2 XML GeoTIFF

RapidEye RapidEye XML GeoTIFF


JP2
NITF
PIX

Landsat (4-5) TM PVL FAST


United States Geological
Survey (USGS) GeoTIFF
NLAPS
Binary CEOS
Landsat (7) ETM+ PVL FAST
GeoTIFF
NLAPS
Binary CEOS

Landsat (7) PVL GeoTIFF

varied ArcInfo Band Interleaved (BIL)


Generic Nontemporal
Formats Digital Terrain Elevation Data (DTED)

ERDAS Imagine Image (IMG)


ESRI ASCII Grid
ESRI Binary Grid
GeoJPEG2000 (JPG2)
GeoTIFF/TIFF, with or without World file (TIFF)
Multi-resolution Seamless Image Database (MrSID)
National Imagery Transmission Format (NITF)
PCI Geomatics Database File(PIX)
Raster Product Format
ECRG
USGS Digital Elevation Model (DEM)

Informasi daftar tabel di atas masih mengacu pada petunjuk manual versi 3.24 dimana citra Landsat 8,
SPOT 6 dan SPOT 7 belum dimasukkan. Sedangkan untuk jenis metadata seperti DIMAP, DIMAP 2,
SPOTCAP, ASCII, XML, PVL, KARI, Binary dan lainnya dapat dikenali oleh SCIMr. Selain berdasarkan
jenis metadata pengenalan format raster seperti Geotiff, JP2000, FAST, NLAPS, CEOS, PIX, NTF dan
lainnya juga sudah disiapkan dalam program SCIMr ini. Informasi tipe data dan deskripsi ditampilkan di
awal tab Source dalam GUI SCIMr, gambar GUI Source dapat dilihat di Gambar 1.
Catalog Weed area adalah suatu wilayah yang didefinisikan sebagai wilayah minimum untuk menghapus
poligon-poligon kecil yang muncul sebagai nodata, untuk tujuan katalog dan pengolahan citra. Hal ini sangat
penting untuk kumpulan data fuzzi dimana nilai no data overlap pada tingkat yang signifikan. Obyek
bayangan dan lahan terbangun didalam kumpulan data mungkin dianggap sebagai nodata jika nilai catalog
weed area yang dimasukkan terlalu kecil. Sedangkan jika memilih Catalog Weed area terlalu besar maka
tepi atau pojok citra dianggap sebagai no data ataublank. Tombol Suggestion pada pilihan Catalog Weed
area memberikan saran atas weeding berdasarkan proyeksi dan resolusitertentu.Minimal Weeding, Medium
Weeding, Heavy Weeding, Extra heavy weeding.
Terdapat pilihan citra ingest yaitu temporal atau nontemporal, yang dimaksud temporal di sini berarti
citra memiliki lebih dari satu waktu dan perekaman untuk satu scene satu waktu, contohnya citra raw atau
citra yang masih memiliki atribut metadata tiap scene nya. Misalnya untuk citra PixelFactory (data tersebut
termasuk data nontemporal karena memiliki waktu perekaman satelit lebih dari satu dalam citra yang sama).
- 166 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Untuk lebih memahami kategori temporal ataupun nontemporal maka dapat kita pilih berdasarkan kriteria di
bawah ini:

1. Citra Satelit yang diolah seperti citra ortorektifikasi, citra mosaik atau citra dengan color balancing
seharusnya masukan sebagai produk nontemporal ketika proses ingest berlangsung.
2. Metadata tidak ditemukan untuk produk nontemporal
3. Data temporal dapat dijadikan data nontemporal ketika proses ingest berlangsung akan tetapi kemampuan
SCIMr untuk mencari data yang hilang. Muncul berbagai ketidakkonsistenan pada basis data
nontemporalseperti ketidakmampuan mencari scene berdasarkan tanggal akuisisi atau liputan awannya.
4. Gunakan tabel dibawah ini untuk menentukan temporal atau non temporal.

Tabel 3. Tabel Temporal dan Non-Temporal


(Sumber: DataDoors Support Manual Version 3.24, 2014)

Atribut Citra Temporal Non Temporal


Citra satelit (data yang belum diolah atau raw) X
Citra satelit (hasil olahan maksudnya telah dikoreksi orto, mosaik,
X
color balancing)
Citra foto udara X
Data elevasi X
Peta X
Tanggal akuisisi X
Lisensi tiap citra X
Metadata tiap scene X
Metadata atau penamaan data yang tidak dapat dirubah dari
X
vendor satelit
Tanggal akuisisi per produk (multi temporal, kisaran waktu) X
Lisesnsi tiap produk X
Metadata tiap produk X

3.3 Proses Ingesting ALOS dengan SCIMr


Proses ingesting citra menggunakan SCIMr terbilang "user friendly" dalam pengoperasiannya karena
yang dilakukan operator adalah mengarahkan direktori citra satelit yang dituju kemudian membuat kategori
masing-masing citra. Dibutuhkan ketelitian dan rutinitas yang harus dilakukan dalam pengerjaannya
mengingat citra satelit akan terus bertambah perekamannya seiring waktu. Contoh proses ingest untuk citra
ALOS dapat dilihat dalam Gambar 3.

- 167 -
Penambahan Citra Satelit dengan Sistem Ingest DataDoors di LAPAN, (Gumelar, O. et al.)

Gambar 3. Hasil Identifikasi Citra ALOS-1 PALSAR di SCIMr


(Sumber: SCIMr Graphical User Interface DataDoors, 2015)

Bila kita lihat hasil ingest citra ALOS terdiri dari tiga jenis PALSAR yang pertama single band (HH),
dual polarisasi band (HH+HV) dan polarisasi penuh (HH-HV-VV-VH). Semua citra ALOS PALSAR ini
dikenali dalam citra resolusi spasial 12.5 m dengan format raster 16 bit unsigned polarimetric data dan
jumlah masing-masing citra 1 buah.

Gambar 4. Hasil Identifikasi Citra ALOS-2 dan ALOS-1 di SCIMr


(Sumber: SCIMr Graphical User Interface DataDoors, 2015)

Sedangkan citra ALOS -2 PALSAR masih belum terdeteksi dengan baik sampai bulan September 2015
ini dimana terlihat dari hasil scan SCIMr tipe data ALOS 1 dan 2 berbeda yaitu ALOS (PALSAR) dan
ALOS (SAR), tetapi resolusi tidak diketahui dan bit yang terdeteksi berjumlah 8 unit dengan jenis metadata
CEOS. Menurut PALSAR handbook, resolusi tiap mode berbeda-beda seperti untuk spotlight mode (0,625
m), Ultra fine mode (2,5 m), Ultra-fine, High-sensitive (Full (Quad.) pol.) (3,125 m), Fine, Fine (Full
(Quad.) pol.)) (6,25 m), serta untuk (ScanSAR nominal [14MHz], ScanSAR nominal [28MHz], ScanSAR
wide) (25 m). Kemudian untuk sensor id dapat dilihat dari summary.txt pada atribut Lbi sensor yaitu SAR
untuk satelit ALOS 2 atau PALSAR untuk ALOS.
Tab vault ini mendeskripsikan parameter apa saja yang digunakan oleh SCIMr setelah citra dikenali
program, baik itu dari resolusi spasial, ukuran tile, tanggal akuisisi dan lainnya. Perubahan secara manual
dapat dilakukan dalam tahap ini walupun secara otomatis sudah dilakukan oleh program. Tile size disini
dapat diperoleh dari metadata ketika citra satelit di-ingest.

- 168 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

3.3.1 Proses Verifikasi PALSAR


ALOS PALSAR merupakan penampakan tingkatan karakteristik hamburan balik (backscatter) objek
pada permukaan bumi (Soenarmo, 2009). PALSAR kepanjangan dari Phased Array L-Band Synthetic
Arperture Radar, sensor ini berada di dalam satelit ALOS. Sedangkan untuk ALOS-2 hanya membawa
sensor PALSAR saja. Citra ALOS 2 yang dijadikan perbandingan yaitu IMG-HH-ALOS2030763740-
141218-UBSR1.5RUD dengan polarisasi tunggal HH. Frame-nya masih sama mengikuti kaidah penamaan
ALOS lama yaitu 3740 dimana level 1.5 terlihat dari nama scene-nya. Ukurannya untuk satu kanal sekitar 1-
1.5 GB dimana jumlah ini dua kali ukurannya dari standar ALOS 1. Gambar 5 berikut merupakan informasi
metadata dan kelengkapan data yang ada dalam satu paket ALOS-2 PALSAR.

Gambar 5. Informasi isi berkas ALOS-2

Dari informasi summary.txt ALOS-2 kita dapat ekstrak informasi bahwa tanggal perekaman PALSAR
adalah 18 Desember 2014. Level produk citra tersebut 1.5 RUD berformat CEOS dengan resampling
tetangga terdekat serta zona utm 48. Selain informasi batas koordinat kedalaman 16 bit diinformasikan dalam
summary.txt. Ukuran berkas ALOS-2 tanggal 18 Desember 2014memiliki jumlah baris dan kolom sebesar
22.722 dan 27.719 unit sedangkan ukuran ALOS pertama PALSAR sekitar 6500 dan 5800 unit (untuk
ALOS-1 PALSAR level 1.5 GUA dari sample ALPSRP050697120).
ALOS-2 dibuka dengan software NEST 5.0.12 maka informasi yang tersedia dapat disajikan dengan baik
dari tampilan maupun akses metadata ALOS-2. Kanal yang ditampilkan terdapat dua citra pertama
amplitudo dan intensitas dari polarisasi HH. Nomor orbit 3076 yang berarti bahwa satelit ALOS-2 mengorbit
ke 3076 kalinya dan pada orbit tersebut melintasi wilayah Indonesia pada zona 48. Metadata aslinya dapat
diakses dengan NEST walaupun perangkat ini belum mendukung untuk koreksi citra ALOS Level 1.5 RUD.

Gambar 6. Tampilan Metadata ALOS dengan Perangkat Lunak NEST

- 169 -
Penambahan Citra Satelit dengan Sistem Ingest DataDoors di LAPAN, (Gumelar, O. et al.)

Gambar 7. Tampilan Citra ALOS-2 Wilayah Jakarta

Gambar 7 merupakan tampilan ALOS 2 wilayah Jakarta Utara dimana terlihat dengan jelas kapal yang
ada di lautan dan perbedaan vegetasi yang ada di sekitarnya. Sedangkan tampilan ingest ALOS 1 PALSAR
hasil DataDoors dapat dilihat pada Gambar 8. Sistem DataDoors dapat mengakses metadata citra satelit yang
di-ingest serta menampilkan summary.txt dalam kolom Summary, preview dan metadata seperti pada gambar
bagian kiri. Resolusi spasial yang digunakan merupakan kebijakan dari DataDoors dalam membuat
resampling-nya secara default, selain itu tanggal akuisisi dan liputan awan ditampilkan. Namun pada contoh
ALOS PALSAR di bawah tidak ada tampilan awan karena memang citra radar tidak berawan.

Gambar 8. ALOS PALSAR dalam DataDoors Web Catalog

Selain citra ALOS ditampilkan juga citra NPP Suomi Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS)
pada Gambar 9 dengan level data Environmental Data Record (EDR), karena level data yang baru dapat
diujicobakan hingga saat ini hanya EDR saja. Citra NPP VIIRS terdiri dari 5 kanal resolusi tinggi (I-bands),
16 resolusi moderate (M-bands) dan kanal Day or Night (DNB).

- 170 -
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

Gambar 9. NPP VIIRS dalam DataDoors Web Catalog

Citra Landsat 8, SPOT 6/7 dan citra hasil pengolahan Pixel Factory juga telah di-ingest oleh SCIMr dan
dapat ditampilkan dalam DataDoors Web Catalog seperti terlihat dalam Gambar 10 berikut. Citra hasil
pengolahan Pixel Factory merupakan citra non-temporal yang disajikan dalam DDWC menjadi citra mosaik
dengan quicklook-nya berisi kosong.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 10. (a) Citra SPOT 7 (b) Citra Landsat 8 (c) SPOT 6 dan (d) Citra Hasil Pengolahan Pixel Factory.

4. KESIMPULAN
Secara garis besar proses ingesting untuk citra dapat dimasukkan ke dalam kategori yang umum diolah
seperti (Landsat 5,7 dan 8, SPOT 2, 4, 5, 6 dan 7), citra terbaru (Pleiades, WorldView 3), citra non temporal
(mosaik, citra hasil olahan) dan citra yang sama sekali belum dapat diproses oleh DataDoors ( seperti
LAPAN A2, Lapan Tubsat, ALOS 2, Sentinel dan lainnya). Kategori ini dibuat berdasarkan hasil ingest yang

- 171 -
Penambahan Citra Satelit dengan Sistem Ingest DataDoors di LAPAN, (Gumelar, O. et al.)

tidak dapat diolah, hasil yang kurang baik dan ingest untuk citra baru. Penyesuaian citra satelit seperti jumlah
band atau jumlah bit dapat diketahui melalui perangkat SCIMr ini. Berbagai jenis satelit, jenis metadata dan
tipe format raster dikenali banyak sekali oleh SCIMr walaupun jenis yang dibutuhkan untuk LAPAN tidak
seluruhnya akan tetapi banyaknya pengenalan jenis citra ini memudahkan pengguna SCIMr dalam mengenali
lebih banyak jenis citra dalam satu sensor ataupun berbagai jenis raster dalam satu jenis metadata. Citra yang
di-ingest sebaiknya memiliki metadata, lisensi dan format berkas umum, karena citra turunan yang sudah
mengalami perubahan informasi dari aslinya. Informasi metadata yang sudah tidak sama maka dikategorikan
sebagai citra non temporal. Citra non temporal misalnya seperti citra hasil konversi raster dari Pixel Factory
selain itu hasil citra raster .ers, .hdr, .tiff, arc raster dan lainnya. Sistem operasional DataDoors sudah berjalan
akan tetapi masih digunakan oleh pengguna internal. Selain itu pengguna luar dapat mengakses DataDoors
Web Catalog dan DDWC tersebut masih dibatasi untuk hak akses dari pengguna luar. Saat ini jika ditemukan
masalah atau troubleshooting maka dilakukan komunikasi melalui surat elektronik dan teleconference
dengan pihak pengembang.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada P.T. Bhumi Prasaja selaku pihak pendukung kegiatan DataDoors yang merupakan
hasil kerjasama LAPAN dengan AIRBUS.

DAFTAR PUSTAKA
DataDoors Support Manual v 3.24.
DataDoors User Manual v3.24.
Gonzalez, R.C., dan Woods, R.E. (2009). Digital Image Processing, PEARSON.
Gumelar, O. (2015). DataDoors Appliance Sebagai Perangkat Sistem Informasi Penyedia Citra Satelit. Cited in
http://pustekdata.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2015/2643/DataDoors-Appliance-sebagai-perangkat-sistem-
informasi-penyedia-citra-Satelit. [23 Oktober 2015].
Gumelar, O. (2014). Pengembangan Modul Konversi Metadata LDCM/Landsat-8 sesuai Format ISO 19115/19139.
Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh Nasional.
Hermawati, F.A. (2013). Pengolahan Citra Digital. Yogyakarta:Penerbit ANDI.
http://global.jaxa.jp/projects/sat/alos2/pdf/daichi2_e.pdf. [28 Oktober 2015].
http://inderaja-catalog.lapan.go.id/core/WebHelp/#DataDoors Support Manual. [23 Oktober 2015].
http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS-2/en/doc/fdata/PALSAR-2_xx_Format_CEOS_E.pdf [22 Juni 2015].
http://rammb.cira.colostate.edu/projects/npp/Beginner_Guide_to_VIIRS_Imagery_Data.pdf [10 Juni 2015]
Jensen, J.R. (2007). Remote Sensing of the Environment an Earth Resource Perspective. PEARSON.
Lee, J.S., dan Pottier, E. (2009). Polarimetric Radar Imaging from Basic to Applications. CRC Press.
Sten, A., Gorte, B.G.H., dan Meer, F.V.D. (1999). Spatial Statistics for Remote Sensing. Kluwer Academic Publisher.
Yeung, A.K.W., dan Lo, C.P. (2012). Concept and Techniques of Geographic Information System. New Delhi:PHI
Learning Private Limited.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA POSTER


PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Judul Makalah : Penambahan Citra Satelit LAPAN dengan Sistem Ingest DataDoors
Pemakalah : Ogi Gumelar
Jam : 10.30-15.00
Tempat : Ball Room 2 & 3
Diskusi :

Erna Sri Adiningsih (Pustekdata, LAPAN):


Apakah sistem DataDoors sudah operasional? Jika iya, apa masih ada kendala dan bagaimana upaya penanganan?

Jawaban:
Sistem DataDoors sudah beroperasional dari pengguna internal sedangkan untuk pengguna luar masih dibatasi hak
aksesnya. Pengguna luar baru bisa mengakses alamat publik http://inderaja-catalog.lapan.go.id/dd3/ ini saja serta untuk
mendaftar bisa dilakukan dan belum secara automatis.

- 172 -

Anda mungkin juga menyukai