Anda di halaman 1dari 35

MATERI KULIAH

MK AYAT- AYAT DAN HADITS EKONOMI

1. Memahami ayat tentang dasar akuntansi Islam (Mahasiswa mampu


menjelaskan penafsiran Qs al baqoroh 282)

Pengertian akuntansi syariah


Akuntansi syariah adalah bentuk dekonstruksi akuntansi atau pencatatan,
pengklasifikasian, peringkasan transaksi keuangan yang dikembangkan
berlandaskan nilai, prinsip dan ketentuan syariah Islam sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Akuntansi syariah dikenal juga
sebagai akuntansi Islam (Islamic Accounting). Akuntansi syariah diterapkan
untuk mewujudkan terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis,
emansipatoris, transcendental dan teological.

Akuntansi syariah merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi dan


keuangan Islam, digunakan sebagai instrumen pendukung penerapan
nilai-nilai Islami dalam ranah akuntansi. Akuntansi syariah dipandang
sebagai konstruksi sosial masyarakat Islam guna menerapkan
ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi. Akuntansi syariah bukanlah
sebuah ilmu yang tercipta sebagai perlawanan terhadap teori
akuntansi, namun merupakan sebuah penyempurnaan sekaligus
ikatan dari sistem pencatatan aktivitas syariah sebuah usaha.

Akuntansi syariah adalah suatu proses, metode, dan teknik


pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian-
kejadian yang bersifat keuangan dalam satuan uang, guna
mengidentifikasikan, mengukur, dan menyampaikan informasi suatu
entitas ekonomi yang pengelolaan usahanya berlandaskan syariah,
untuk dapat digunakan sebagai bahan mengambil kebijakan ekonomi
dan memilih alternatif-alternatif tindakan bagi para pemakainya.

Berikut definisi dan pengertian akuntansi syariah dari beberapa


sumber buku dan referensi:
 Menurut Harahap (2001), akuntansi syariah adalah bidang baru
dalam studi akuntansi yang dikembangkan berlandaskan nilai-
nilai, etika dan syariah Islam, oleh karenanya dikenal juga
sebagai akuntansi Islam (Islamic Accounting).
 Menurut Nurhayati dan Wasilah (2014), akuntansi syariah
adalah proses akuntansi atas transaksi-transaksi yang sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan
sesuai syariah, karena tidak mungkin dapat menerapkan
akuntansi yang sesuai syariah jika transaksi yang akan dicatat
tidak sesuai dengan syariah.
 Menurut Triyuwono (2012), akuntansi syariah adalah salah satu
dekonstruksi akuntansi modern kedalam bentuk yang humanis
dan syarat nilai dimana tujuan diterapkannya akuntansi syariah
adalah untuk mewujudkan terciptanya peradaban bisnis
dengan wawasan humanis, emansipatoris, transcendental dan
teological.
 Menurut Sumar’in (2012), akuntansi syariah adalah proses
pencatatan, pengklasifikasian, peringkasan transaksi keuangan
yang diukur dalam satuan uang serta pelaporan hasil-hasilnya
berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Tujuan Akuntansi Syariah

Akuntansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis,


karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan
informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders atau entity-
nya dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, jika ada, maka hanya
sebatas hubungan yang bersifat horizontal (hablum min al-nas).
Akuntansi syariah mempunyai kelebihan keterpercayaan dan
akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas
keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan
diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan
kondisi riil sebenarnya.

Usaha untuk memberikan warna lain agar tercipta validitas data dan
tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu
ekonomi, termasuk akuntansi. Islamisasi akuntansi inilah yang
kemudian banyak dikenal dengan sebutan akuntansi syariah. Dengan
akuntansi syariah ini berarti akuntansi tidak lagi value-free, tetapi
berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).

Akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan yang harus


dilakukan sesuai syariah. Dengan berlandaskan Al-Quran dan As-
Sunnah, akuntansi syariah memandang bahwa tujuan dasar dari
akuntabilitas dalam praktiknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang
bersifat horizontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai
akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung-jawabkan
kepada Tuhannya (hablum min al-Allah).

Menurut Wiroso (2011), tujuan yang ingin dicapai dalam menyusun


laporan keuangan berdasarkan prinsip syariah adalah untuk
menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja
serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang
bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Adapun beberapa tujuan dari akuntansi berbasis
syariah adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua


transaksi dan kegiatan usaha.
2. Informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip syariah, serta
informasi aset, kewajiban, pendapatan dan beban yang tidak sesuai
dengan prinsip syariah bila ada dan bagaimana perolehan dan
penggunaannya.
3. Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung
jawab entitas syariah terhadap amanah dalam mengamankan dana,
menginvestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak.
4. Informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh
penanam modal dan pemilik dana syirkah temporer, dan informasi
mengenai pemenuhan kewajiban (obligation) fungsi sosial entitas
syariah, termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat, infak, sedekah
dan wakaf.

Adapun menurut Sumar’in (2012), tujuan akuntansi syariah adalah:

1. Menentukan hak dan kewajiban pihak terkait termasuk hak dan


kewajiban yang berasal dari transaksi yang belum selesai dan atau
kegiatan ekonomi lain, sesuai dengan prinsip syariah.
2. Menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat bagi pemakai
laporan untuk mengambil keputusan.
3. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua
transaksi dan kegiatan usaha.

Asas Akuntansi Syariah

Menurut Agriyanto (2011), terdapat lima asas terkait akuntansi syariah


yaitu keadilan, persaudaraan, keseimbangan), universalisme dan
kemaslahatan. Adapun penjelasan dari ke lima asas akuntansi
syariah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Keadilan (‘adalah)

Adil dalam memberikan, menempatkan dan memperlakukan sesuai


posisinya. Dalam kegiatan usaha, asas keadilan melarang riba,
merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (zalim), unsur
ketidakjelasan (gharar), unsur judi dan sifat spekulatif (maysir), haram
(baik dalam jasa maupun barang serta kegiatan operasional).
b. Persaudaraan (ukhuwah)

Persaudaraan adalah menjalani hubungan secara universal dengan


saling tolong menolong. Prinsip-prinsipnya meliputi saling berealisasi
dan bersinergi, saling menolong, saling mengenal, saling menjamin
dan saling memahami. Dalam transaksi syariah tidak
memperbolehkan mencari keuntungan di atas kerugian orang lain
karena dalam mendapatkan sharing economic atau manfaat,
transaksi syariah menjunjung tinggi sebuah nilai kebersamaan.

c. Keseimbangan (tawazun)

Keseimbangan dilakukan baik dari aspek privat dan publik, material


dan spiritual, bisnis dan sosial, aspek pemanfaatan dan pelestarian,
sektor keuangan dan sektor riil. Selain itu, keuntungan transaksi
syariah yang diperoleh dari menekankan pada maksimalisasi
keuntungan dapat dirasakan oleh semua pihak.

d. Universalisme (syumuliyah)

Universalisme hakikatnya tanpa membedakan ras, golongan, suku


dan agama, yang disesuaikan dengan rahmatan lil’alamin atau
semangat kerahmatan semesta, sehingga dapat dilakukan semua
pihak yang memiliki kepentingan (stakeholder).

e. Kemaslahatan (mashlalah)

Kemaslahatan hakikatnya merupakan segala wujud manfaat dan


kebaikan yang berdasarkan aspek duniawi dan ukrawi, individual dan
kolektif, serta materiil dan spiritual. Agar diakui kemaslahatannya
maka harus terpenuhinya dua unsur yaitu membawa kebaikan
(thayyib) dalam semua aspek secara menyeluruh yang tidak
menyebabkan kemudharatan, serta bermanfaat dan kepatuhan
syariah (halal). Secara keseluruhan unsur-unsur yang menjadi tujuan
maqasid syariah atau ketetapan syariah yang berupa pemeliharaan
terkait keimanan, akidah dan ketaqwaan (din), harta benda (mal), akal
(‘aql), jiwa dan keselamatan (nafs), dan keturunan (nasl), yang mana
unsur tersebut harus dipenuhi supaya transaksi syariah dapat
dianggap bermaslahat.

Prinsip Akuntansi Syariah

Menurut Muhammad (2005), terdapat tiga prinsip utama dalam


akuntansi syariah, yaitu pertanggung jawaban, keadilan, dan
kebenaran. Ketiga nilai tersebut telah menjadi prinsip dasar yang
universal dalam operasional akuntansi syariah. Adapun penjelasan
dari ke tiga prinsip dasar dari akuntansi syariah adalah sebagai
berikut:

a. Prinsip Pertanggungjawaban

Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang


tidak asing lagi di kalangan masyarakat muslim. Pertanggung-
jawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim,
persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sang
Khaliq mulai dari dalam kandungan. Banyak ayat Al-Quran yang
menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai
pelaku amanah Allah di muka bumi. Implikasi dalam bisnis dan
akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik bisnis
harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah
diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait. Wujud
pertanggungjawabannya dalam bentuk laporan akuntansi.

b. Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan sesuai dengan ayat 282 surat Al-Baqarah secara


sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh
perusahaan dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi
adalah sebesar Rp 100juta, maka akuntansi (perusahaan) akan
mencatat dengan jumlah yang sama. Dengan kata lain, tidak ada
window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan. Dengan
demikian, kata keadilan dalam konteks aplikasi akuntansi
mengandung dua pengertian, yaitu: pertama, adalah berkaitan
dengan praktik moral, yaitu kejujuran, yang merupakan faktor yang
sangat dominan. Tanpa kejujuran ini, informasi akuntansi yang
disajikan akan menyesatkan dan sangat merugikan masyarakat.
Kedua, kata adil bersifat lebih fundamental (dan tetap berpijak pada
nilai-nilai etika/syariah dan moral). Pengertian dua inilah yang lebih
merupakan sebagai pendorong untuk melakukan upaya-upaya
dekonstruksi terhadap bangun akuntansi modern menuju pada
bangun akuntansi yang lebih baik.

c. Prinsip Kebenaran

Prinsip kebenaran ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dengan


prinsip keadilan. Sebagai contoh misalnya, dalam akuntansi kita
selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, dan pelaporan. Aktivitas
ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai
kebenaran. Kebenaran ini dapat diciptakan keadilan dalam mengakui,
mengukur, dan melaporkan transaksi-transaksi ekonomi.

Dalilnya qs Al Baqoroh 282 :

ۚ‫َي ا َأُّي َه ا ا َّلِذ ي َن آ َم ُنوا ِإ َذ ا َت َد ا َيْنُتْم ِب َد ْي ٍن ِإ َل ٰى َأَج ٍل ُمَس ًّم ى َف ا ْك ُتُبو ُه‬
‫َو ْل َي ْك ُتْب َب ْيَن ُك ْم َك ا ِت ٌب ِب ا ْل َع ْد ِل ۚ َو اَل َيْأ َب َك ا ِت ٌب َأ ْن َي ْك ُتَب َك َم ا َع َّلَم ُه‬
‫ال َّل ُهۚ َفْل َي ْك ُتْب َو ْل ُيْم ِل ِل ا َّل ِذ ي َع َل ْي ِه ا ْل َح ُّق َو ْل َي َّت ِق ال َّل َه َر َّب ُه َو اَل‬
‫َي ْبَخ ْس ِم ْن ُه َشْي ًئاۚ َفِإْن َك ا َن ا َّلِذ ي َع َل ْي ِه ا ْل َح ُّق َسِف يًها َأْو َض ِع ي ًف ا َأْو‬
‫اَل َي ْس َت ِط يُع َأْن ُيِم َّل ُه َو َفْل ُيْم ِل ْل َو ِل ُّي ُه ِب ا ْل َع ْد ِل ۚ َو اْس َت ْش ِه ُد وا‬
‫َش ِه ي َد ْي ِن ِم ْن ِر َج ا ِل ُك ْم ۖ َف ِإْن َل ْم َي ُك و َن ا َر ُج َل ْي ِن َف َر ُج ٌل َو ا ْم َر َأَت ا ِن‬
‫ِم َّم ْن َتْر َض ْو َن ِم َن ال ُّش َهَد ا ِء َأ ْن َت ِض َّل ِإ ْح َد ا ُهَم ا َفُت َذِّك َر ِإ ْح َد ا ُهَم ا‬
‫ا ُأْلْخ َر ٰى ۚ َو اَل َيْأ َب ال ُّش َه َد ا ُء ِإ َذ ا َم ا ُدُع واۚ َو اَل َتْس َأُم وا َأْن َت ْك ُتُب و ُه‬
‫َص ِغ يًر ا َأْو َك ِب يًر ا ِإ َل ٰى َأَج ِلِه ۚ َٰذ ِل ُك ْم َأْق َس ُط ِع ْن َد ال َّلِه َو َأْق َو ُم ِل ل َّش َها َد ِة‬
‫َو َأْد َنٰى َأاَّل َتْر َتاُبواۖ ِإ اَّل َأ ْن َت ُك و َن ِتَج ا َر ًة َح ا ِض َر ًة ُتِد يُر و َنَه ا َب ْيَنُك ْم‬
‫َفَل ْي َس َع َل ْي ُك ْم ُج َناٌح َأاَّل َت ْك ُتُبو َه اۗ َو َأْش ِه ُد وا ِإ َذ ا َت َبا َي ْع ُتْم ۚ َو اَل ُيَض اَّر‬
ۖ‫َك ا ِت ٌب َو اَل َش ِه ي ٌد ۚ َو ِإ ْن َتْف َع ُل وا َفِإَّن ُه ُفُس و ٌق ِب ُك ْم ۗ َو ا َّتُق وا ال َّل َه‬
‫َو ُيَع ِّل ُم ُك ُم ال َّلُهۗ َو ال َّلُه ِب ُك ِّل َش ْي ٍء َع ِل ي ٌم‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu),
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.

ASBABUNNUZULNYA
Ayat ini merupakan ayat yang paling panjang di dalam Al-Qur’an.

Firman-Nya (‫ )ياأيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه‬ini merupakan
nasihat dan bimbingan dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya yang
beriman, jika mereka melakukan muamalah secara tidak tunai, hendaklah
mereka menulisnya supaya lebih dapat menjaga jumlah dan batas waktu
muamalah tersebut, serta lebih menguatkan bagi saksi. Dan Allah telah
memperingatkan hal tersebut pada akhir ayat, di mana Dia berfirman yang
artinya: “Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu.”

Mengenai firman Allah Ta’ala ini juga, Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari
Ibnu Abbas, ia mengatakan, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan
pemberian utang salam dalam batas waktu yang ditentukan. Utang salam
adalah uang pembayaran lebih dulu, dan barangnya diterima kemudian.
Sedangkan Qatadah menceritakan, dari Abu Hasan Al-A’raj, dari Ibnu
Abbas, aku bersaksi bahwa pemberian hutang yang dijamin untuk
diselesaikan pada tempo tertentu, telah dihalalkan dan diizinkan Allah Ta’ala
Kemudian ia membacakan ayat ini, demikian riwayat Al-Bukhari. Dan
disebutkan di dalam Kitab Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim), dari Ibnu
Abbas, ia menceritakan: “Bahwa Nabi pernah datang di Madinah sedang
masyarakat di sana biasa mengutangkan buah untuk tempo satu, dua, atau
tiga tahun. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"‫ إلى أجل معلوم‬،‫ ووزن معلوم‬، ‫"َم ْن َأْس َلَف َفْلُيْس ِلْف ِفي َك ْيٍل َم ْع ُلوٍم‬
Artinya: “Barangsiapa meminjamkan sesuatu, maka hendaklah ia
melakukannya dengan takaran dan timbangan yang disepakati sampai batas
waktu yang ditentukan.” (HR. Al-Bukhari 2240 dan Muslim 1604)

Firman-Nya (‫ )فاكتبوه‬ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala supaya


dilakukan penulisan untuk memperkuat dan menjaganya. Abu Sa’id, As-
Sya’bi, Rabi’ bin Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid, dan ulama lainnya
mengatakan, sebelumnya hal itu merupakan suatu kewajiban, kemudian
dinasakh (dihapuskan) dengan firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 283
yang artinya: “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” Dalil
lain yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang menceritakan tentang
syariat yang ada sebelum kita dan ditetapkan dalam syariat kita, serta tidak
diingkari, yang isinya menjelaskan tentang tidak adanya (kewajiban untuk)
penulisan dan persaksian.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu


‘alaihi wasallam beliau bercerita: “Ada seorang dari Bani Israil yang
meminta kepada salah seorang Bani Israil (lainnya) agar meminjamkan
kepadanya uang seribu dinar. Kemudian orang yang dimintai pinjaman itu
berkata: ‘Datangkanlah saksi-saksi kepadaku sehingga aku dapat menjadikan
mereka sebagai saksi.’ Lalu orang yang meminjam itu pun berujar:
‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Si pemberi pinjaman itu berkata lagi:
‘Datangkan kepadaku orang yang dapat memberi jaminan.’ Orang itu berujar
pula: ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan.’ Si pemberi pinjaman itu
berujar lagi: ‘Engkau benar.’ Maka si pemberi pinjaman itu menyerahkan
kepadanya seribu dinar dengan batas waktu tertentu. Kemudian orang
(peminjam uang) itu pun pergi ke laut untuk menunaikan keperluannya.
Kemudian ia sangat memerlukan perahu guna mengantarkan uang pinjaman
yang sudah jatuh tempo pembayarannya. Namun ia tidak juga mendapatkan
perahu, lalu ia mengambil sebatang kayu dan melubanginya. Selanjutnya ia
memasukkan uang seribu dinar ke dalam kayu tersebut berikut selembar surat
yang ditujukan kepada pemilik uang itu (pemberi pinjaman). Kemudian ia
melapisinya (agar tidak terkena air). Setelah itu ia membawa kayu itu ke laut.
Selanjutnya ia berucap: ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui
bahwa aku telah meminjam uang seribu dinar kepada si fulan. Lalu ia
meminta kepadaku pemberi jaminan, maka kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah
Allah yang memberi jaminan.’ Dan ia pun menyetujui hal itu. Selanjutnya ia
meminta saksi kepadaku, dan kukatakan kepadanya: ‘Cukuplah Allah sebagai
saksi.’ Dan ia pun menyetujui hal itu. Dan sesungguhnya aku telah berusaha
mencari perahu untuk mengirimkan uang pinjaman itu. Namun aku tidak
mendapatkannya. Kini kutitipkan uang ini kepada-Mu.’ Maka orang itu pun
melemparkan kayu tersebut ke laut hingga tenggelam. Kemudian ia kembali
pulang. Dan ia masih tetap mencari perahu untuk kembali ke negerinya.
Sementara itu si pemberi pinjaman keluar untuk memperhatikan barangkali
ada perahu datang membawa uangnya (yang dipinjamkan). Tiba-tiba ia
menemukan sebatang kayu yang di dalamnya terdapat uangnya, maka ia pun
mengambilnya untuk diberikan kepada keluarganya sebagai kayu bakar.
Ketika ia membelah kayu tersebut ia menemukan uang dan selembar surat.
Kemudian orang yang meminjam uang darinya pun datang dengan membawa
seribu dinar. Peminjam itu berkata: ‘Demi Allah, sebelum mendatangi anda
sekarang ini, aku secara terus-menerus berusaha mencari perahu untuk
mengembalikan uang anda, namun aku tidak mendapatkan perahu sama
sekali.’ Si pemberi pinjaman itu bertanya: ‘Apakah engkau mengirimkan
sesuatu kepadaku?’ Si peminjam menjawab: ‘Bukankah telah kuberitahukan
kepada anda bahwa aku tidak mendapatkan perahu sebelum kedatanganku
ini.’ Si pemberi pinjaman itu berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah
mengantarkan pinjamanmu yang telah engkau letakkan dalam kayu. Maka
kembalilah dengan uangmu yang seribu dinar itu dengan baik.’” (HR. Ahmad
2/348. Sanad hadis ini sahih. Telah diriwayatkan Al-Bukhari dalam tujuh
tempat melalui jalan yang sahih secara muallaq dan dengan memakai sighat
jazm (ungkapan yang tegas).

Firman-Nya (‫ )وليكتب بينكم كاتب بالعدل‬maksudnya dengan adil dan benar serta
tidak boleh berpihak kepada salah seorang dalam penulisannya tersebut dan
tidak boleh juga ia menulis kecuali apa yang telah disepakati tanpa
menambah atau menguranginya.

Firman-Nya (‫ )وال يأبى كاتب أن يكتب كما علمه هللا فليكتب‬maksudnya, orang yang
mengerti tulis menulis tidak boleh menolak jika ia diminta menulis untuk
kepentingan orang lain dan tidak boleh menyusahkannya, sebagaimana Allah
Ta’ala telah mengajarkan kepadanya apa yang sebelumnya tidak
diketahuinya. Maka hendaklah ia berbuat baik kepada orang lain yang tidak
mengenal tulis-menulis, dan hendaklah ia menuliskannya. Sebagaimana yang
disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
"‫"ِإَّن ِم َن الَّصَد َقِة َأْن ُتِع يَن َص اِنًعا َأْو َتْص َنَع ألْخ َر ق‬
Artinya: “Sesungguhnya termasuk sedekah jika engkau membantu seorang
yang berbuat (kebaikan) atau berbuat baik bagi orang bodoh.” (HR. Al-
Bukhari 2518 dan Ahmad).

Dan dalam hadis yang lain juga disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:

" ‫"َم ْن َكَتَم ِع ْلًم ا َيْع َلمه أْلِجَم َيْو َم اْلِقَياَم ِة ِبِلَج اٍم ِم ْن َناٍر‬
Artinya: “Barangsiapa menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, maka ia
akan dikekang pada hari kiamat kelak dengan tali kekang dari api neraka.”
(HR. Ibnu Majah dan Ahmad 2/304)

Mujahid dan Atha’ mengatakan: “Orang yang dapat menulis berkewajiban


untuk menuliskan.”

Firman-Nya (‫ )وليملل الذي عليه الحق وليتق هللا ربه‬maksudnya, hendaklah orang
yang menerima pinjaman mendiktekan kepada juru tulis jumlah hutang yang
menjadi tanggungannya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah melakukan
hal itu.

Firman-Nya (‫ )وال يبخس من شيئا‬maksudnya, tidak menyembunyikan sesuatu apa


pun darinya.

Firman-Nya (‫ )فإن كان الذي عليه الحق سفيها‬maksudnya sebagai upaya


mencegahnya dari tindakan penghamburan uang dan lain sebagainya.

Firman-Nya (‫ )أو ضعيفا‬maksudnya masih dalam keadaan kecil atau tidak


waras.

Firman-Nya (‫ )أو ال يستطيع أن يمل هو‬maksudnya baik karena cacat atau tidak
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

Firman-Nya (‫ )فليملل وليه بالعدل‬maksudnya, maka hendaklah walinya


mengimlakkan dengan jujur.”

Firman-Nya (‫ )واستشهدوا شهيدين من رجالكم‬maksudnya ini adalah perintah untuk


memberi kesaksian disertai penulisan untuk menambah validitasnya
(kekuatannya).

Firman-Nya (‫ )فإن لم يكونا رجلين وامرأتان‬hal ini hanya berlaku pada perkara yang
menyangkut harta dan segala yang diperhitungkan sebagai kekayaan.
Ditempatkannya dua orang wanita menduduki kedudukan seorang laki-laki
karena kurangnya akal kaum wanita.

Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dalam kitab sahihnya, dari Abu


Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

‫ َفَق اَلِت اْم َر َأٌة ِم ْنُهَّن‬،" ‫ َف ِإِّني رأيتُك ن َأْك َث َر َأْه ِل الَّن اِر‬، ‫ َتَص َّد ْقَن َو َأْك ِث ْر َن ااِل ْس ِتْغَفاَر‬، ‫"َيا َم ْعَش َر الِّنَس اِء‬
‫ َم ا رأيُت ِم ْن‬، ‫ وتكُف ْر َن اْلَعِش يَر‬، ‫ "ُتْك ثْر َن الَّلْعَن‬: ‫َأْك َث ُر َأْه ِل الَّن اِر ؟ َق اَل‬- ‫َيا َر ُس وَل ِهَّللا‬- ‫ َو َم ا َلَنا‬:‫َج ْز لة‬
‫ "َأَّم ا‬: ‫ َم ا ُنْقَص اُن اْلَعْقِل َو ال =ِّديِن ؟ َق اَل‬،‫ َيا َر ُس وَل ِهَّللا‬: ‫ َقاَلْت‬." ‫َناِقَص اِت َع ْقٍل َوِد يٍن َأْغ َلَب ِلِذ ي ُلب ِم ْنُك َّن‬
،‫ َو َتْم ُكُث الَّلَي اِلي اَل ُتَص ِّلي‬، ‫ َفَه َذ ا ُنْقَص اُن اْلَعْق ِل‬، ‫ُنْقَص اُن َع ْقِلَها َفَش َهاَد ُة اْم َر َأَتْيِن َتْع دل َش َهاَد َة َر ُج ٍل‬
"‫ َفَهَذ ا ُنْقَص اُن الدين‬، ‫َو ُتْفِط ُر ِفي َر َم َض اَن‬
Artinya: “Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah
istighfar, karena aku melihat kebanyakan dari kalian sebagai penghuni
neraka.” Salah seorang wanita bertubuh besar bertanya: “Mengapa
kebanyakan dari kami sebagai penghuni neraka?” Beliau menjawab: “Karena
kalian banyak melaknat dan tidak bersyukur kepada suami. Aku tidak melihat
orang-orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih dapat menaklukkan
seorang lelaki yang berakal daripada kalian.” Wanita itu bertanya: “Apa yang
dimaksud dengan kekurangan akal dan agama?” Beliau menjawab: “Yang
dimaksud kurang akal adalah kesaksian dua orang wanita sama dengan
kesaksian seorang laki-laki, yang demikian itu termasuk kurangnya akal. Dan
kalian berdiam diri selama beberapa malam, tidak mengerjakan shalat, dan
tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena haidh dan nifas). Dan yang
demikian itu termasuk dari kekurangan agama.” (HR. Muslim 80)

Firman-Nya (‫ )ممن ترضون من الشهداء‬dalam potongan ayat ini terdapat dalil


yang menunjukkan adanya syarat adil bagi para saksi. Dan hal ini adalah
muqayyad (terbatas). Makna ayat muqayyad (mengikat) inilah yang dijadikan
pegangan hukum oleh Imam Syafi’i dan menetapkannya pada setiap perintah
mutlak untuk memberikan kesaksian di dalam Al-Qur’an tanpa ada
persyaratan. Dan bagi pihak yang menolak kesaksian orang yang tidak jelas
pribadinya potongan ayat ini juga menunjukkan bahwa saksi itu harus adil
dan diridhai (diterima).

Firman-Nya (‫ )أن تضل إحداهما‬maksudnya kedua orang wanita tersebut jika


salah seorang lupa atas kesaksiannya

Firman-Nya (‫ )فتذكر إحداهما األخرى‬maksudnya, mengingatkan kesaksian yang


pernah diberikan.

Firman-Nya (‫ )وال يأب الشهداء إذا مادعوا‬ada yang mengatakan, makna ayat ini
adalah, jika mereka dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka hendaklah
mereka memenuhi panggilan tersebut. Demikian pendapat yang dikemukakan
oleh Qatadah dan Rabi’ bin Anas. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala
sebelumnya yang artinya: “Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis.” Dari
sini dapat disimpulkan bahwa hukum memberikan kesaksian adalah fardhu
kifayah. Ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan pendapat jumhur
ulama. Sedangkan yang dimaksud dengan firman-Nya ini yakni untuk
melaksanakan kesaksian, karena hakekat mereka sebagai saksi. Seorang saksi
hakekatnya adalah yang bertanggung-jawab. Jika dipanggil, maka ia
berkewajiban untuk memenuhinya, jika hal itu hukumnya fardhu ‘ain. Jika
tidak, maka berkedudukan sebagai fardhu kifayah. Mujahid, Abu Majlaz, dan
ulama lainnya mengatakan, “Jika anda dipanggil untuk memberikan
kesaksian, maka anda boleh memilih (boleh bersedia dan boleh juga tidak).
Namun jika anda telah menjadi saksi, lalu dipanggil, maka penuhilah
panggilan itu.” Fardu kifayah ialah, suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh sebagian orang, bila tidak ada yang mengerjakan kewajiban tersebut
maka seluruh penduduk wilayah tersebut berdosa. Fardu ‘ain ialah,
kewajiban yang harus dilakukan oleh tiap orang yang mukallaf (dewasa).

Dalam Kitab Sahih Muslim dan Kitab As-Sunan telah disebutkan sebuah
hadis yang diriwayatkan dari jalan Malik, dari Zaid bin Khalid, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

"‫"َأاَل ُأْخ ِبُر ُك ْم ِبَخ ْيِر الُّش َهَداِء ؟ اَّلِذ ي َيْأِتي ِبَش َهاَد ِتِه َقْبَل َأْن ُيْس َأَلَها‬
Artinya: “Maukah kalian aku beritahu tentang sebaik-baik saksi ? Yaitu
orang yang datang dengan mempersiapkan kesaksiannya sebelum diminta
kesaksiannya.” (HR. Muslim 1719, Abu Dawud 3596, At-Tirmidzi
2295/2296, An-Nasai 6029 dan Ibnu Majah 2364)

Adapun hadis yang disebutkan dalam kitab Shahihain, Rasulullah shallallahu


‘alaihi wasallam bersabda:

"‫"َأاَل ُأْخ ِبُر ُك ْم ِبَشِّر الُّش َهَداِء ؟ اَّلِذ يَن َيْش َهُدوَن َقْبَل َأْن ُيسْتْش َهدوا‬
Artinya: “Maukah kalian aku beritahu seburuk-buruk saksi? Yaitu orang
yang memberikan kesaksian sebelum mereka diminta untuk memberikan
kesaksian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Juga diriwayatkan tentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

" ‫"ُثَّم َيْأِتي َقْو ٌم َتْس ِبُق أيماُنهم َش َهاَد َتُهْم َو َتْس ِبُق شهاَدُتهم َأْيَم اَنُهْم‬
Artinya: “Kemudian datang suatu kaum yang sumpah mereka mendahului
kesaksian mereka dan kesaksian mereka mendahului sumpah mereka.”

Dan dalam riwayat lain juga disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam bersabda:

"‫"ُثَّم َيْأِتي َقْو ٌم َيْش َهُدون َو اَل ُيْس َتْش َهدون‬


Artinya: “Kemudian datang suatu kaum yang memberikan kesaksian, padahal
mereka tidak diminta memberikan kesaksian.” (HR. Al-Bukhari 6428 dan
Muslim 2535)
Maka mereka itu adalah saksi-saksi palsu. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu
Abbas dan Hasan Bashri bahwa hal itu mencakup dua keadaan, yaitu
menyampaikan dan memberikan (kesaksian).

Firman-Nya (‫ )وال تسئموا أن تكتبوه صغيرا أو كبيرا إلى أجله‬ini merupakan bagian dari
kesempurnaan bimbingan, yaitu perintah untuk menulis kebenaran baik yang
kecil maupun yang besar. Dia berfirman: “Janganlah kamu merasa bosan
untuk menulis kebenaran bagaimanapun kondisinya, baik yang kecil maupun
yang besar sampai batas waktu pembayarannya.”

Firman-Nya (‫ )ذلكم أقسط عند هللا وأقوم للشهادة وأدنى أال ترتابوا‬maksudnya, inilah yang
kami perintahkan kepada kalian yaitu untuk menulis kebenaran, jika hal itu
dilakukan secara tunai. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah Ta’ala,
maksudnya, lebih adil. Dan lebih dapat menguatkan persaksian, maksudnya,
lebih menguatkan kesaksian. Yakni lebih memantapkan bagi saksi, jika ia
meletakkan tulisannya dan kemudian melihatnya, niscaya ia akan ingat akan
kesaksian yang pernah ia berikan. Karena jika tidak menulisnya, maka ia
lebih cenderung untuk lupa, sebagaimana yang sering terjadi. Dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, maksudnya lebih dekat kepada
ketidakraguan. Dan jika terjadi perselisihan kamu akan kembali kepada
catatan yang pernah kamu tulis sehingga dapat menjelaskan di antara kamu
tanpa ada keraguan.

Firman-Nya (‫)إال أن تكون تجارة حاضرة تديرونها بينكم فليس عليكم جناح أن ال تكتبوها‬
maksudnya, jika jual beli itu disaksikan dan kontan, maka tidak ada dosa jika
kalian tidak menulisnya, karena tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan jika
tidak dilakukan penulisan terhadapnya.

Firman-Nya (‫ )وأشهدوا إذا تبايعتم‬sedangkan mengenai pemberian kesaksian


terhadap jual beli, maka Allah Ta’ala telah berfirman dalam lafaz ini.
Menurut jumhur ulama, masalah tersebut diartikan sebagai bimbingan dan
anjuran semata dan bukan sebagai suatu hal yang wajib.

Dalil yang menjadi landasan hal itu adalah hadis Khuzaimah bin Tsabital-
Anshan, diriwayatkan Imam Ahmad, dari Az-Zuhri, Imarah bin
Khuzaimahal-Anshari pernah memberitahuku bahwa pamannya pernah
memberitahunya, dan pamannya itu adalah salah seorang sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah membeli seekor kuda dari seorang Badui. Lalu Nabi memintanya ikut
untuk membayar harga kudanya tersebut. Maka Nabi berjalan dengan cepat,
sedangkan orang Badui itu berjalan lambat. Kemudian ada beberapa orang
yang menghadang orang Badui tersebut dengan tujuan agar mereka dapat
menawar kudanya itu. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi telah
membelinya. Sehingga sebagian mereka ada yang menawar dengan lebih
tinggi dari harga kuda yang telah dibeli oleh Rasulullah tersebut. Kemudian
si Badui itu berujar kepada Nabi: “Jika engkau benar-benar membeli kuda
ini, maka belilah. Jika tidak, maka aku akan menjualnya.” Maka Nabi pun
berdiri ketika beliau mendengar seruan Badui itu, lalu beliau berkata:
“Bukankah aku telah membelinya darimu.” “Tidak demi Allah, aku tidak
menjualnya kepadamu,” sahut si Badui itu. Kemudian beliau berkata: “Aku
telah membelinya darimu.” Setelah itu, orang-orang mengelilingi Nabi dan si
Badui itu. Keduanya saling mengulangi ucapan mereka. Kemudian si Badui
itu berkata: “Datangkan seorang saksi yang memberikan kesaksian bahwa
aku telah menjualnya kepadamu.” Lalu ada seorang Muslim yang hadir
berkata kepada si Badui itu: “Celakalah kamu, sesungguhnya Nabi tidak
berbicara kecuali kebenaran.” Hingga akhirnya datanglah Khuzaimah, ia
mendengar ucapan Nabi dan bantahan si Badui tersebut, di mana si Badui itu
mengatakan: “Datangkan seorang saksi yang memberikan kesaksian bahwa
aku telah menjualnya kepadamu.” Maka Khuzaimah berkata: “Aku bersaksi
bahwa engkau telah menjualnya kepada beliau.” Maka Nabi menatap kepada
Khuzaimah seraya bertanya: “Dengan apa engkau hendak bersaksi?”
“Dengan membenarkanmu, ya Rasulullah,” jawab Khuzaimah. Maka
Rasulullah menjadikan kesaksian Khuzaimah itu sebagai kesaksian dari dua
orang laki-laki.” Keterangan yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan Nasa’i.

Firman-Nya (‫ )وال يضار كاتب وال شهيد‬ada yang mengatakan, makna ayat tersebut
adalah, tidak diperbolehkan bagi penulis dan saksi untuk memperumit
permasalahan, di mana ia menulis sesuatu yang bertolak belakang dengan apa
yang didiktekan, dan si saksi memberikan kesaksian dengan apa yang
bertentangan dengan yang ia dengar, atau bahkan ia menyembunyikannya
secara keseluruhan. Demikianlah pendapat yang disampaikan oleh Al-Hasan,
Qatadah, dan ulama-ulama lainnya. Ada juga yang mengatakan, artinya,
keduanya (penulis dan saksi) tidak boleh mempersulit. Mengenai firman-Nya
ini, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Ada
seseorang datang. Lalu ia memanggil keduanya untuk menjadi penulis dan
saksi. Kemudian kedua orang tersebut berucap, “Kami sedang ada
keperluan.” Lalu orang itu berkata, “Sesungguhnya kamu berdua telah
diperintahkan untuk memenuhinya.” Maka orang itu tidak boleh mempersulit
keduanya. Lebih lanjut ia menceritakan, hal senada juga telah diriwayatkan
dari Ikrimah, Mujahid, Thawus, Sa’id bin Jubair, Adh-Dhahak, Athiyyah,
Muqatil bin Hayyan, Rabi’ bin Anas, dan As-Suddi.

Firman-Nya (‫ )وإن تفعلوا فإنه فسوق بكم‬maksudnya, jika kamu menyalahi apa yang
telah Allah Ta’al perintahkan, atau kamu mengerjakan apa yang telah
dilarang-Nya, maka yang demikian itu merupakan suatu kefasikan pada
dirimu. Yaitu, kamu tidak akan dapat menghindarkan dan melepaskan diri
dari kefasikan tersebut.

Firman-Nya (‫ )واتقوا هللا‬maksudnya, hendaklah kamu takut dan senantiasa


merasa berada di bawah pengawasan-Nya, ikutilah apa yang diperintahkan-
Nya, dan jauhilah semua yang dilarang-Nya.

Firman-Nya (‫ )يعلمكم هللا‬maksudnya penggalan ayat ini adalah seperti firman


Allah Ta’ala dalam Surah Al-Anfaal 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan
kepadamu furqan.” Al-Furqan artinya, petunjuk yang dapat membedakan
antara yang hak dan yang batil. Dapat juga diartikan di sini dengan
pertolongan.

Firman-Nya (‫ )وهللا بكل شيء عليم‬maksudnya, Allah Ta’ala mengetahui hakikat


seluruh persoalan, kemaslahatan, dan akibatnya. Sehingga tidak ada sesuatu
pun yang tersembunyi dari-Nya, bahkan ilmu-Nya meliputi seluruh alam
semesta.

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, ayat ini secara khusus
ditujukan kepada orang-orang beriman yang melakukan transaksi utang
piutang. Selain itu, dijelaskan juga mengenai perlunya seseorang atau para
pihak untuk menuliskan transaksi utang piutang tersebut. Hai orang-orang
yang beriman, apabila kalian melakukan utang piutang (tidak secara tunai)
dengan waktu yang ditentukan, maka waktunya harus jelas, catatlah
waktunya untuk melindungi hak masing- masing dan menghindari
perselisihan. Yang bertugas mencatat itu hendaknya orang yang adil. Dan
janganlah petugas pencatat itu enggan menuliskannya sebagai ungkapan rasa
syukur atas ilmu yang diajarkan-Nya. Hendaklah ia mencatat utang tersebut
sesuai dengan pengakuan pihak yang berutang, takut kepada Allah dan tidak
mengurangi jumlah utangnya. Kalau orang yang berutang itu tidak bisa
bertindak dan menilai sesuatu dengan baik, lemah karena masih kecil, sakit
atau sudah tua, tidak bisa mendiktekan karena bisu, karena gangguan di lidah
atau tidak mengerti bahasa transaksi, hendaknya wali yang ditetapkan agama,
pemerintah atau orang yang dipilih olehnya untuk mendiktekan catatan utang,
mewakilinya dengan jujur. Persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki.
Kalau tidak ada dua orang laki- laki maka boleh seorang lelaki dan dua orang
perempuan untuk menjadi saksi ketika terjadi perselisihan. Sehingga, kalau
yang satu lupa, yang lain mengingatkan. Kalau diminta bersaksi, mereka
tidak boleh enggan memberi kesaksian. Janganlah bosan-bosan mencatat
segala persoalan dari yang kecil sampai yang besar selama dilakukan secara
tidak tunai. Sebab yang demikian itu lebih adil menurut syariat Allah, lebih
kuat bukti kebenaran persaksiannya dan lebih dekat kepada penghilangan
keraguan di antara kalian. Kecuali kalau transaksi itu kalian lakukan dalam
perdagangan secara langsung (tunai), kalian tidak perlu mencatatnya, sebab
memang tidak diperlukan. Yang diminta dari kalian hanyalah persaksian atas
transaksi untuk menyelesaikan perselisihan. Hindarilah tindakan menyakiti
penulis dan saksi. Sebab yang demikian itu berarti tidak taat kepada Allah.
Takutlah kalian kepada-Nya. Dan rasakanlah keagungan-Nya dalam setiap
perintah dan larangan. Dengan begitu hati kalian dapat memandang sesuatu
secara proporsional dan selalu condong kepada keadilan. Allah menjelaskan
hak dan kewajiban kalian. Dan Dia Maha Mengetahui segala perbuatan
kalian dan yang lainnya(1). (1) Masalah hukum yang paling pelik di semua
perundang-undangan modern adalah kaidah afirmasi. Yaitu, cara-cara
penetapan hak bagi seseorang jika mengambil jalur hukum untuk menuntut
pihak lain. Al-Qur'ân mewajibkan manusia untuk bersikap proporsional dan
berlaku adil. Jika mereka sadar akan itu, niscaya akan meringankan pekerjaan
para hakim. Akan tetapi jiwa manusia yang tercipta dengan berbagai macam
tabiat seperti cinta harta, serakah, lupa dan suka balas dendam, menjadikan
hak-hak kedua pihak diperselisihkan. Maka harus ada kaidah-kaidah
penetapan yang membuat segalanya jelas.

Sedangkan dalam al-Tafsir al-Munir fi al-‘Qidah wa as-Syari’ah wa al-


Manhaj menurut Wahbah Zuhaily, Al Baqarah ayat 282 ini membicarakan
orang-orang Mukmin yang melakukan transaksi jual beli barang dengan
pembayaran kredit atau jual beli saham yang penyerahan kepada pembeli
ditangguhkan terhadap batas waktu tertentu.
Maka, Allah pun memerintahkan agar menulis transaksi tersebut dengan
menyebutkan hari, bulan, dan tahun pembayaran yang dijanjikan dengan
sejelas-jelasnya.

ISI KANDUNGANNYA :
Mengutip buku Bisnis, Ekonomi, Asuransi, dan Keurangan oleh Abdullah
Amrin berikut ini Kandungan Al Baqarah Ayat 282.

1. Setiap transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya


ada bukti tertulis. Namun jika tidak memungkinkan perjanjian tertulis,
hendaknya dihadirkan saksi. Jika ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti
tulisan, diperbolehkan adanya jaminan.
2. Prinsip saling percaya dan menjaga kepercayaan semua pihak. Untuk
menghilangkan keraguan maka hendaklah diadakan perjanjian secara
tertulis atau jaminan. Tapi jika semua pihak saling mempercayai, atau
dalam transaksi tunai yang tidak akan menimbulkan masalah di kemudian
hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan asalkan tetap menjaga
amanah.
3. Orang yang mengetahui fakta harus bersedia menjadi saksi. Bersaksi
dalam kebenaran merupakan bentuk ibadah. Sebaliknya, yang
menyembunyikan kesaksian akan terancam siksa. Sedangkan bersaksi
palsu termasuk dosa besar.
4. Taqwa mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, dalam jual
beli, utang piutang, atau mu’amalat lainnya mesti didasari taqwa.
5. Taqwa juga harus amanah dan menjauhi hal-hal yang merugikan pihak
manapun. Allah SWT maha mengetahui segalanya, maka dari itu setiap
manusia harus menampakkan fakta sebenarnya bila diminta persaksian.

2. Memahami ayat Gadai syariah (mahasiswa mampu menjelaskan penafsiran


qs al mudatsir 38)

‫ُك ُّل َنْف ٍس ِبَم ا َك َس َبْت َر ِه ي َنٌة‬


“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,”

(Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya) dia
tergadaikan, yaitu diazab di dalam neraka disebabkan amal perbuatannya
sendiri.

Pengertian gadai syariah atau Rahn

Gadai syariah atau rahn adalah menjadikan suatu benda yang mempunyai
nilai harga (nilai ekonomis) milik nasabah (rahin) sebagai jaminan (marhun)
atas utang atau pinjaman yang diterima sehingga pihak yang menerima
gadai (murtahin) memperolah jaminan atau kepercayaan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutang bila pihak yang
menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang ditentukan.

Istilah rahn berasal dari bahasa arab, yang berarti gadai, atau dikenal
juga dengan istilah al-habsu. Secara etimologi, ar-rahn artinya tetap
dan lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu
barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran
dari pembayaran dari barang tersebut. Dengan demikian makna gadai
atau rahn dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut
sebagai barang jaminan, agunan, dan rungguhan (Syafi'i, 2000).

Menurut Sabiq (1995), pengertian gadai (rahn) menurut beberapa


ulama, antara lain yaitu: 1) Ulama Syafi’iyah: Menjadikan suatu
barang yang biasanya dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari
harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya. 2)
Ulama Hanabilah: Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu
utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak
sanggup membayar utangnya. 3) Ulama Malikiyah: Sesuatu yang
bernilai harga (mutamawaal) yang diambil dari pemiliknya untuk
dijadikan atas utang yang tetap (mengikat).

Berikut definisi dan pengertian rahn atau gadai syariah dari beberapa
sumber buku:

 Menurut Pasaribu dan Lubis (1996), rahn adalah sesuatu


benda yang dapat dijadikan kepercayaan dari suatu hutang
untuk dipenuhi dari harganya apabila kepercayaan dari suatu
hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang
tidak sanggup membayarkannya dari orang yang berpiutang.
 Menurut Ansori (2006), rahn adalah menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai
jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat)
barangnya itu.
 Menurut Basyir (1983), rahn adalah menjadikan sesuatu benda
bernilai menurut pandangan syara' sebagai tanggungan
hutang; dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
 Menurut Antonio (2001), rahn adalah menahan salah satu
harta salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang
jaminan (marhun) atas pinjaman yang diterimanya. Marhun
tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang
menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutang.
 Menurut Muhammad dan Hadi (2003), rahn adalah menjadikan
barang yang mempunyai nilai harta (nilai ekonomis) sebagai
jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan
boleh mengambil hutang.

Landasan Hukum Gadai Syariah (Rahn)

Dasar atau landasan hukum gadai syariah atau disebut dengan rahn
terdapat dalam Al-Quran, Al-Hadist, dan Ijma Ulama, yaitu sebagai
berikut:
a. Al-Quran

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan


dalam Islam berdasarkan ketentuan di dalam Al-Quran surat Al-
Baqarah ayat 283, yaitu:

‫۞ َو ِإْن ُك ْن ُتْم َع َلٰى َس َف ٍر َو َلْم َتِج ُد وا َك اِتًبا‬


‫َفِر َه اٌن َم ْق ُبوَض ٌةۖ َفِإ ْن َأِم َن َبْع ُض ُك ْم َبْع ًض ا َفْل ُيَؤ ِّد‬
‫ا َّلِذ ي ا ْؤ ُتِم َن َأَم اَنَتُه َو ْلَيَّتِق الَّلَه َر َّبُهۗ َو اَل َتْك ُتُم وا‬
‫ال َّش َه اَد َةۚ َو َمْن َيْك ُتْم َه ا َفِإ َّنُه آِثٌم َقْل ُبُهۗ َو الَّلُه‬
‫ِل‬ ‫ِب‬
‫َم ا َتْع َم ُلوَن َع يٌم‬

Artinya

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

b. Al-Hadist

Ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar-rahn itu dibolehkan,


karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam
rangka hubungan antar sesama manusia. Peristiwa Rasulullah SAW
merahn-kan baju besinya merupakan kasus ar-rahn pertama dalam
Islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW, sebagaimana
diriwayatkan oleh HR.Bukhari, yaitu:

Artinya: "Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW membeli


makanan secara tidak tunai dari seorang Yahudi dengan
menggadaikan baju besinya" (HR. Bukhari).

c. Ijma Ulama

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan.


Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup
tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun
yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu,
pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia
ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap
kebutuhan umatnya.

Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari'ah Nasional No.


25/DSNMUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa,
pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang
dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa
rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu
bepergian.

Rukun dan Syarat Gadai Syariah (Rahn)

Pada umumnya dalam aspek hukum keperdataan Islam (fiqh


mu'amalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa-
menyewa, gadai maupun yang semacamnya mempersyaratkan rukun
dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai. Menurut Ali (2008),
rukun gadai syariah atau rahn adalah sebagai berikut:

a. Aqid (orang yang berakad)

Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi dua orang
yang bertransaksi, yaitu rahin (pemberi gadai), dan murtahin
(penerima gadai). Hal dimaksud, didasari oleh sighat, yaitu ucapan
berupa ijab qabul (serah terima antara pemberi gadai dengan
penerima gadai). Untuk melaksanakan akad rahn yang memenuhi
kriteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh dua pihak atau
lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.

b. Ma'qud 'alaih (barang yang diakadkan)

Ma'qud 'alaih meliputim dua hal, yaitu marhun (barang yang


digadaikan), dan marhun bihi (dain) atau utang yang karenanya
diadakan akad rahn. Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat
mengenai masuknya shighat sebagai rukun dari terjadinya rahn.
Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa shighat tidak termasuk
sebagai rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang
sebagai agunan bagi pemilik barang) dan qabul (pernyataan
kesediaan dan memberi utang, dan menerima barang agunan
tersebut).

c. Shighat (akad gadai)

Shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak


disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini karena akad
gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang.
Apabila akad gadai digantungkan dengan syarat atau disandarkan
kepada masa yang akan datang, maka akad akan fasid seperti halnya
jual beli.

Ulama fiqh menyatakan bahwa syarat-syarat rahn harus sesuai


dengan rukun itu sendiri. Menurut Muttaqien (2009), syarat-syarat ar-
rahn atau gadai syariah adalah sebagai berikut:

1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap


bertindak hukum, kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama
adalah orang yang baligh dan berakal.
2. Syarat Marhun Bih (utang) syarat dalam hal ini adalah wajib
dikembalikan oleh debitur kepada kreditor, utang dapat dilunasi
dengan agunan tersebut, dan utang itu harus jelas dan tertentu.
3. Syarat marhun (agunan) syarat agunan menurut ahli fiqh adalah
harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang,
agunan harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan
hukum Islam, agunan harus jelas dan dapat ditunjukkan, agunan
milik sah debitur, agunan tidak terkait dengan pihak lain, agunan
harus merupakan harta yang utuh dan agunan dapat
diserahterimakan kepada pihak lain, baik materi maupun
manfaatnya.
4. Ulama Hanafiah mengatakan dalam akad itu ar-rahn tidak boleh
dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang, karena akad ar-rahn sama dengan akad jual beli.
Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan
dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal.
3. Memahami ayat tentang upah (Mahasiswa mampu memahami qs attalaq : 6)

a. Pengertian upah
Dalam Islam, upah dikenal dengan istilah ujrah yang artinya upah. Upah
itu sendiri merupakan salah satu bentuk pemberian yang terdapat dalam
suatu akad kerjasama antara seseorang dengan orang lainnya, yang
termasuk ke dalam kategori akad yang dikenal dengan istilah al-Ijarah.
Oleh karena itu dalam melakukan kad upah mengupah perlu memenuhi
rukun dan syarat yang ada dalam ijarah itu sendiri. Di mana hal ini akan
dibahas secara rinci terkait dengan akad Ijarah dalam hukum Islam.
Secara bahasa lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa
jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan
muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa
menyewa, kontrak, atau sewa jasa perhotelan dan lain-lain. Di dalam teori
ekonomi upah diartikan sebagai pembayaran ke atas jasa-jasa fisik
maupun mental yang di sediakan oleh tenaga kerja kepada para
pengusaha.

b. Definisi upah atau ujrah menurut para ahli

1) Menurut Drs. Malayu S. P. Hasibuan mendefinisikan bahwa upah


adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja harian dengan
pedoman atas perjanjian yang disepakati pembayarannya.
2) Sedangkan secara terminologi, ada beberapa definisi al-ijarah yang di
kemukakan oleh ulama fiqih.
Ulama Hanafiyah
"Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan".
Ulama Malikiyah dan Hanabilah
"Suatu akad yan memberikan hak milik atas manfaat suatu barang
mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari
manfaat".
Ulama Syafi'iyah
"Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu
yang bisadiberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu".

Ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang 'ajir (orang yang kontrak
tenaganya) oleh seorang musta'jir (orang yang mengontrak tenaga),
serta pemilikan harta dari pihak musta'jir oleh seorang 'ajir. Di mana
ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai
kompensasi. Transaksi mengontrak 'ajir tersebut adakalanya dengan
menyebutkan jasa pekerjaan itu sendiri. Apabila transaksi tersebut
menyebutkan jasa pekerjaan tertentu, maka yang disepakati itulah
yang merupakan jasa yang harus dilaksanakan.

c. Dasar Hukum Upah


Dasar-dasar hukum yang dapat dijadikan sebagai dalil atas kebolehan
Upah-mengupah (ijarah), salah satunya tertera dalam al-Quran surah
al-Thalaq ayat 6:

‫َأْس ِك ُنو ُه َّن ِم ْن َح ْي ُث َس َك ْن ُتْم ِم ْن ُو ْج ِد ُك ْم َو اَل ُتَض ا ُّر و ُه َّن‬


‫ِلُتَض ِّيُق وا َع َلْي ِه َّن ۚ َو ِإْن ُكَّن ُأواَل ِت َحْم ٍل َفَأْنِف ُق وا َع َلْي ِه َّن‬
‫َح َّتٰى َيَض ْع َن َحْم َلُه َّن ۚ َفِإ ْن َأْر َض ْع َن َلُك ْم َفآُتو ُه َّن‬
‫ُت‬ ‫ا‬ ‫ْن‬ ‫ِإ‬ ۖ ‫ُأ و َّن ۖ ْأَتِم وا َنُك ِب وٍف‬
‫َسْر ْم‬ ‫َع‬‫َت‬ ‫َو‬ ‫ُج َر ُه َو ُر َبْي ْم َم ْع ُر‬
‫َفَس ُتْر ِض ُع َلُه ُأْخ َر ٰى‬

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut


kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah
di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Tafsinya :
(Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri yang ditalak itu (pada tempat kalian
tinggal) pada sebagian tempat-tempat tinggal kalian (menurut kemampuan
kalian) sesuai dengan kemampuan kalian, lafal ayat ini menjadi athaf bayan
atau badal dari lafal yang sebelumnya dengan mengulangi penyebutan
huruf jarr-nya/kata depan dan memperkirakan adanya mudhaf. Yakni pada
tempat-tempat tinggal yang kalian mampui, bukannya pada tempat-tempat
tinggal yang di bawah itu (dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk
menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka tempat-
tempat tinggal yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa butuh untuk
keluar atau membutuhkan nafkah, lalu karena itu maka mereka
mengeluarkan biaya sendiri. (Dan jika mereka itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan bayi kalian) maksudnya menyusukan anak-anak kalian
hasil hubungan dengan mereka (maka berikanlah kepada mereka upahnya)
sebagai upah menyusukan (dan bermusyawarahlah di antara kalian) antara
kalian dan mereka (dengan baik) dengan cara yang baik menyangkut hak
anak-anak kalian, yaitu melalui permusyawaratan sehingga tercapailah
kesepakatan mengenai upah menyusukan (dan jika kalian menemui
kesulitan) artinya kalian enggan untuk menyusukannya; yaitu dari pihak ayah
menyangkut masalah upah, sedangkan dari pihak ibu, siapakah yang akan
menyusukannya (maka boleh menyusukan bayinya) maksudnya menyusukan
si anak itu semata-mata demi ayahnya (wanita yang lain) dan ibu si anak itu
tidak boleh dipaksa untuk menyusukannya.

4. Memahami ayat tentang produksi ( Mahasiswa mampu memahami


penafsiran QS anhl 5-9, 14, 80-81 dan qs almaidah : 62-63

a. Pengertian produksi
Pada dasarnya produksi merupakan sebuah proses yang telah terlahir di
dunia ini semenjak manusia menghuni alam ini. Menurut mendapat
Pyndic pada tahun 2002, proses produksi merupakan penggunaan
kombinasi input dengan tujuan untuk menghasilkan output. Kegiatan
produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. kegiatan
produksilah yang akan mengasilkan barang atau jasa, kemudian
dikonsumsi oleh para konsumsi.
Apakah yang dimaksud dari produksi dalam islam? yaitu merupakan
sebagai usaha manusia dengan tujuan untuk memperbaiki diri manusia
baik itu dalam bentuk kondisi fisik materialnya, moralitas, sebagai sarana
untuk mencapai tujuan hidup yang baik sebagaimana yang telah
dicantumkan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Nilai-nilai tawhid pada kegiatan produksi.
1) Berproduksi bagi seorang muslim ialah merupakan aktualisasi
keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah swt di muka bumi ini,
karena seorang khalifah ia bertugas untuk memakmurkan bumi
dengan ilmu dan amal shalehnya.
2) Melakukan kegiatan produksi merupakan perintah dari Allah swt,
oleh karena itu kegiatan produksi dalam islam merupakan ibadah.
3) Bekerja untuk menghasilkan suatu barang atau jasa dalam rangka
menafkahi keluarganya itu merupakan jihad fi sabilillah
4) Skill yang dimiliki manusia dalam berproduksi sehingga ia mampu
menikmati hasil-hasil produksi dan mendapatkan harta karena
berproduksi, itu semua merupakan nikmat dari Allah swt. maka dari
itu marilah kita bersyukuri atas nikmat yang diberikannya.
5) Melihat pentingnya peranan produksi dalam mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia, Al-qur'an dan Hadits
memerintahkan manusia untuk bekerja keras dalam mencari
penghidupannya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
yang lebih baik.
6) Dalam ajaran islam kegiatan produksi tidak boleh menghasilkan
barang-barang yang haram, contohnya memproduksi daging babi,
khamar, riba, perjudian atau hal-hal lainnya yang dilarang oleh
syariat.
c. Nilai-Nilai Islam Pada Kegiatan Produksi:
1) Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan
akhirat
2) Memenuhi takaran, ketepatan dan kebenaran
3) Berpegang teguh pada kedisplinan dan dinamis
4) Memiliki wawasan yang sosial
5) Mengikuti syarat dan rukun akad dalam bertransaksi
6) Adil dalam bertransaksi
7) Menghindari jenis dan proses produksi yang dilarang oleh agama
islam
8) Menepati janji dan kontrak, baik itu dalam lingkup internal maupun
eksternal
d. Prinsip Produksi Dalam islam:
1) Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi.
2) Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan
memaksimalkan manfaat.
3) Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan
manusia.
4) Tugas manusia dimuka bumi ini sebagai khalifah Allah swt ialah
memakmurkan bumi (ciptaan Allah) dengan ilmu dan amalnya.
Dalam agama islam, berproduksi bukan semata-mata hanya mencari
laba atau keuntungan saja, tetapi juga mewujudkan manfaat bagi
kemaslahatan ummat secara umum, agar mendapatkan keberkahan dari
Allah swt di dalam bekerja (produksi).

Tujuan produksi menurut ajaran agama islam ialah untuk mencapai


falah (kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu juga bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang merupakan fardhu kifayah,
yaitu kebutuhan yang dibutuhkan oleh banyak orang yang kebutuhannya
tersebut bersifat wajib.

e. Dalilnya adalah qs Annahl ayat 5-6

‫َو اَأْلْنَع ا َم َخ َلَق َه ا ۗ َلُك ْم ِفي َه ا ِد ْف ٌء َو َم َنا ِفُع َو ِم ْنَه ا َتْأُك ُلو َن‬
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada
(bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan
sebahagiannya kamu makan.

‫َو َلُك ْم ِفي َه ا َج َم ا ٌل ِح ي َن ُتِر ي ُح و َن َو ِح ي َن َتْس َر ُح و َن‬


Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya
kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.

‫َو َتْح ِم ُل َأْثَق ا َلُك ْم ِإَلٰى َبَلٍد َلْم َتُك و ُنوا َبا ِلِغي ِه ِإاَّل ِبِش ِّق اَأْلْنُف ِس ۚ ِإَّن‬
‫ِح‬
‫َر َّبُك ْم َلَر ُءو ٌف َر ي ٌم‬
Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai
kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
‫َو ا ْلَخ ْي َل َو ا ْلِبَغا َل َو ا ْلَح ِم ي َر ِلَتْر َك ُبو َه ا َو ِز ي َنًة ۚ َو َيْخ ُلُق َم ا اَل َتْع َلُم و َن‬
dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan
(menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya.

‫ي‬ ‫َلى ال َّلِه َق ُد ال َّس ِبي ِل ِم ا ا ِئ ۚ َل َش ا َل َد ا ُك َأ ِع‬


‫َو ْنَه َج ٌر َو ْو َء َه ْم ْج َم َن‬ ‫ْص‬ ‫َو َع‬
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang
bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya
(kepada jalan yang benar).

‫َو َتْس َتْخ ِر ُج وا ِم ْن ُه ِح ْل َيًة‬ ‫َو ُه َو ا َّلِذ ي َس َّخ َر ا ْلَبْح َر ِلَتْأُك ُلوا ِم ْن ُه َلْح ًم ا َطِر ًّيا‬
‫ِلِه‬ ‫ِم‬ ‫ِخ ِف ِه ِل‬
‫َفْض َو َلَع َّلُك ْم‬ ‫َتْل َبُس و َنَه ا َو َتَر ى ا ْلُف ْل َك َم َو ا َر ي َو َتْب َتُغوا ْن‬
‫َتْش ُك ُر و َن‬
Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan
yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu
mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Qs anahl 14

‫َلُك ِم ُلو ِد اَأْل ا ِم‬ ‫ِت‬ ‫ِم‬


‫ْنَع‬ ‫َو ال َّلُه َج َع َل َلُك ْم ْن ُبُيو ُك ْم َس َك ًنا َو َج َع َل ْم ْن ُج‬
‫ُبُيو ًتا َتْس َتِخ ُّف و َنَه ا َيْو َم َظْع ِنُك ْم َو َيْو َم ِإَقا َم ِتُك ْم ۙ َو ِم ْن َأْص َو ا ِفَه ا‬
‫َو َأْو َبا ِر َه ا َو َأْش َع ا ِر َه ا َأَثا ًثا َو َم َتا ًع ا ِإَلٰى ِح ي ٍن‬
Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia
menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang
kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim
dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah
tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).80

‫َلُك ِم ا ْلِج ا ِل‬ ‫َلُك ِم َّم ا َل ِظ‬


‫َل‬ ‫َع‬ ‫َج‬ ‫َو‬ ‫ا‬‫ًن‬ ‫ا‬ ‫َن‬ ‫ْك‬‫َأ‬ ‫َب‬ ‫َن‬ ‫ْم‬ ‫َل‬ ‫َع‬ ‫َج‬ ‫َو‬ ‫اًل‬ ‫اَل‬ ‫َخ َق‬ ‫َو ال َّلُه َج َع َل ْم‬
‫َلُك ْم َس َر ا ِبي َل َتِق ي ُك ُم ا ْلَح َّر َو َس َر ا ِبي َل َتِق ي ُك ْم َبْأَس ُك ْم ۚ َك َٰذ ِلَك ُيِتُّم‬
‫ِنْع َم َتُه َع َلْي ُك ْم َلَع َّلُك ْم ُتْس ِلُم و َن‬
Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan
Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu
pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu
dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu
berserah diri (kepada-Nya).81

Al maidah 62-63

‫ِل‬ ‫ِن‬ ‫ِف‬ ‫ِث ِم‬


‫َو َتَر ٰى َك ي ًر ا ْنُه ْم ُيَس ا ِر ُع و َن ي ا ِإْل ْثِم َو ا ْلُعْد َو ا َو َأْك ِه ُم ال ُّس ْح َت‬
‫ۚ َلِبْئ َس َم ا َك ا ُنوا َيْع َم ُلو َن‬
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera
membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa
yang mereka telah kerjakan itu.

‫ِلِه‬ ‫ِلِه ِإْل‬ ‫ِن‬


‫َلْو اَل َيْنَه ا ُه ُم ال َّر َّبا ُّيو َن َو اَأْلْح َبا ُر َع ْن َقْو ُم ا ْثَم َو َأْك ُم‬
‫ال ُّس ْح َت ۚ َلِبْئ َس َم ا َك ا ُنوا َيْص َنُع و َن‬
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka
mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.

5. Memahami ayat tentang syirkah (Qs anisa 12)

‫۞ َو َلُك ْم ِنْصُف َم ا َتَر َك َأْز َو ا ُج ُك ْم ِإْن َلْم َيُك ْن َلُه َّن َو َلٌد ۚ َفِإ ْن‬
‫َك ا َن َلُه َّن َو َلٌد َفَلُك ُم ال ُّر ُبُع ِم َّم ا َتَر ْك َن ۚ ِم ْن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُيو ِص ي َن ِبَه ا‬
‫َأْو َد ْيٍن ۚ َو َلُه َّن ال ُّر ُبُع ِم َّم ا َتَر ْك ُتْم ِإْن َلْم َيُك ْن َلُك ْم َو َلٌد ۚ َفِإ ْن َك ا َن‬
‫َلُك ْم َو َلٌد َفَلُه َّن الُّثُمُن ِم َّم ا َتَر ْك ُتْم ۚ ِم ْن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُتو ُص و َن ِبَه ا ْوَأ‬
‫َد ْيٍن ۗ َو ِإْن َك ا َن َر ُج ٌل ُيو َر ُث َك اَل َلًة َأِو ا ْم َر َأٌة َو َلُه َأٌخ َأْو ُأْخ ٌت‬
‫ِم َٰذ ِل‬ ‫ِإ‬ ‫َفِلُك ِّل ا ِح ٍد ِم‬
‫ْنُه َم ا ال ُّس ُد ُس ۚ َف ْن َك ا ُنوا َأْك َثَر ْن َك َفُه ْم‬ ‫َو‬
ۚ ‫ُش َر َك ا ُء ِفي ال ُّثُلِث ۚ ِم ْن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُيو َص ٰى ِبَه ا َأْو َد ْيٍن َغ ْيَر ُم َض ا ٍّر‬
‫ِل ِل‬ ‫ِص ِم ِه‬
‫َو َّيًة َن ال َّل ۗ َو ال َّلُه َع ي ٌم َح ي ٌم‬
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Pengertian syirkah

Syirkah merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi yang diatur dalam

Islam, mulai dari jenis, rukun, hingga syarat-syaratnya.

Nahdatul Ulama (NU) dalam rilisnya menyebutkan bahwa syirkah adalah

istilah fiqih untuk jalinan kerja (partership) dalam kepemilikan tasharruf

(pengelolaan).

Menurut Mustahdi dan Mustakim dalam Pendidikan Agama Islam dan Budi

Pekerti (2017) syirkah secara bahasa diartikan sebagai perseroan. Sementara,


secara istilah syirkah merujuk pada suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak

atau lebih yang bersepakat melakukan usaha dengan tujuan memperoleh

keuntungan.

Kegiatan syirkah diperbolehkan sesuai dengan firman Allah dalam surat Shad

ayat 24 sebagai berikut: ‫َو ِإَّن َك ِثيًرا ِّم َن ٱْلُخَلَط ٓاِء َلَيْبِغ ى َبْعُض ُهْم َع َلٰى َبْع ٍض ِإاَّل ٱَّل ِذ يَن َء اَم ُن و۟ا‬

‫ َو َع ِم ُلو۟ا ٱلَّٰص ِلَٰح ِت َو َقِليٌل َّم ا ُهْم‬Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-

orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada

sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan

amal yang saleh, dan amat sedikitlah mereka ini,” (QS Shad ayat 24).

Jenis-jenis syirkah

Secara umum, syirkah dibagi menjadi empat macam, yaitu syirkah 'inan,

syirkah abdan, syirkah wujuh, dan syirkah mufawadah. Berikut penjelasan

keempat jenis syirkah:

1. Syirkah 'inan

Moh Faizal dalam "Syirkah Prinsip Bagi Hasil pada Pembiayaan di Bank

Syari'ah" menyebutkan bahwa syirkah al-inan atau 'inan adalah

persekutuan dua orang atau lebih untuk memasukkan bagian tertentu dari

modal yang diperdagangkan. Keuntungan dalam usaha syirkah 'inan

dibagikan pada seluruh anggota sesuai dengan kesepakatan bersama.

Modal yang dikeluarkan oleh anggota dalam syirkah 'inan harus sama.

Sebagai contoh, Tirta dan Adi ingin menjalankan bisnis penyewaan

kendaraan. Oleh karena itu, masing-masing dari mereka harus


mengeluarkan modal senilai Rp50 dan keduanya juga wajib bekerja

dalam usaha tersebut. Modal yang diberikan harus berupa uang. Modal

lain seperti bangunan atau mobil baru bisa dijadikan modal jika dihitung

nilainya saat akad. Oleh karena itu, jika nantinya usaha tersebut untung

ataupun rugi, maka keduanya memperoleh bagian atau kerugian yang

sama.

2. Syirkah 'abdan atau syirkah amal Syirkah 'abdan atau syirkah amal

adalah jenis usaha yang dilakukan dua pihak atau lebih yang masing-

masing anggota hanya memberikan kontribusi kerja (amal) tanpa

kontribusi modal (mal). Kontribusi kerja dalam syirkah 'abdan tidak

dibatasi kesamaan profesi atau keahlian. Setiap anggota dapat bekerja

dalam ranah yang berbeda-beda sesuai dengan keahliannya masing-

masing. Namun, perlu diketahui bahwa pekerjaan yang dilakukan dalam

syirkah 'abdan merupakan pekerjaan yang halal. Misalnya, Tirta dan Adi

sama-sama berprofesi sebagai nelayan. Keduanya melaut bersama dan

hasil tangkapan akan dijual bersama. Hasil keuntungan berjualan ikan

tersebut mereka bagi berdua dengan keuntungan 40 persen dan 60 persen

sesuai dengan kesepakatan.

3. Syirkah wujuh Mustahdi dan Mustakim menyebutkan bahwa syirkah

wujuh pada hakikatnya masuk dalam syirkah 'abdan. Bedanya, dalam

syirkah wujuh dikenal dengan pihak ketiga yang memberikan kontribusi

modal. Syirkah wujuh sendiri merupakan kerja sama yang didasarkan

pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang dalam

masyarakat. Setiap anggota yang terlibat dalam syirkah wujuh


berkontribusi kerja atau amal. Sementara, pihak ketiga berkontribusi

dalam modal atau mal. Contoh kegiatan syirkah wujuh adalah Tirta dan

Adi ingin membeli barang dari pedagang dengan sistem kredit, dengan

masing-masing sepakat memiliki barang tersebut senilai 50 persen. Jika

barang tersebut laku terjual, maka keuntungannya dibagi dua, sementara

harga pokoknya dikembalikan pada pedagang.

4. Syirkah mufawadah Menurut Moh Faizal, syirkah mufawadah adalah

jenis gabungan dari ketiga syirkah lainnya, yaitu syirkah 'inan, syirkah

'abdan, dan syirkah wujuh. Usaha jenis syirkah mufawadah akan

membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan anggotanya, sementara

kerugiannya ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya. Apabila jenis

syirkahnya berupa syirkah 'inan, maka kerugian ditanggung oleh pemodal

sesuai dengan porsi modal masing-masing. Sementara, pada pada syirkah

wujuh, maka kerugian ditanggung oleh anggota berdasarkan persentase

barang dagangan yang dimiliki.

Rukun dan Syarat Syirkah

Menurut NU, rukun syirkah diatur dalam kitab Al-Fiqhul Islam wa-Adillatuhu yang

ditulis oleh Syeikh Wahbah Al-Zuhaili. Menurut kitab tersebut setidaknya ada tiga

jenis rukun dan syarat syirkah, yaitu:

1. Dua orang yang berakad atau bertransaksi Syarat orang yang bertransaksi atau

melakukan akad harus memiliki kecakapan dalam mengelolah harta atau

tasaruf.
2. Objek transaksi atau ma'qud alaih Objek transaksi dapat berupa pekerjaan atau

modal. Syarat objek yang dijadikan transaksi harus halal dan diizinkan oleh

agama.

3. Akad atau sigat Syarat akad yang sah harus berupa tasarruf atau aktivitas

pengelolaan.

6. Memahami ayat tentang jual beli (Qs al ba275 dan qs al jumuah 9-10)
7. Memahami ayat tentang qard (Qs al baqorah :245)
8. Memahami ayat tentang riba (qs Ali imron 130 dan qs albaqoroh
275,178,179)
9. Memahami tentang pajak dan asuransi (Qs al hasyr :7, Qs al Maidah 2, qs al
anfal :41)
10. Memahami ayat tentang politik ekonomi ( qs yusuf 47-49, 54-55 dan qs
albaqoroh 261-262)
11. Memahami ketentuan tentang hadits yang berkaitan dengan raihn atau gadai
12. Memahami hadits tentang jual beli dan riba.
13. Memahami haditas tentang larangan penimbunan
14. Memahami hadits tentang sharf (pertukaran volute asing)
15. Memahami haditas tentang murobahah
16. Memahami hadits tentang hiwalah
17. Memahami hadits tentang syirkah
DAFTAR PENILAIAN MAHASISWA
STIEMUH PEKALONGAN 2013/2014
SENESTER GANJIL
(KELAS EKOS SORE)

Nama NIM Aktif* Presentasi** UTS UAS Jumlah


(15%) (15%) (30%) (40%) (100%)

* Aktif dinilai dari kehadiran dan hadir lebih dari 15 menit dianggap ABSEN
**Presentasi dengan system pembanding.

FORMAT TUGAS

A. PRESENTASI MAKALAH:

1. Min. 12 lembar.
2. Isi (pendahuluan, permasalahan, penjelasan, kesimpulan dan daftar pustaka).
3. Ejaan Bahasa dengan EYD
4. Referensi.

B. SOFT COPY MAKALAH HARUS


DIKIRIM KE izzaqiss@yahoo.com. Sebelum dipresentasikan.

Anda mungkin juga menyukai