Anda di halaman 1dari 6

Tugas UAS Teori Ketahanan Nasional

Lukman Yuwan Najib

23/525644/PMU/11561

Trans-national Crime Illegal Fishing: Perspektif Rezim dan Implikasi terhadap

Ketahanan Pangan-Bahari Indonesia

Pendahuluan

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN adalah sebuah kerjasama regional

yang terdiri dari 10 negara dengan penduduk sebesar 600 juta jiwa. Sebagai suatu kawasan

yang terintegrasi dengan lautan, ASEAN adalah produsen dan konsumen utama perikanan

dan hasil laut. Sektor perikanan di ASEAN menyumbang sekitar seperempat dari total

produksi ikan di dunia, sebesar 90,63 juta ton pada tahun 2016 (FAO, 2018). Dari total

produksi, empat negara menjadi produsen ikan terbesar di ASEAN, yaitu Indonesia,

Thailand, Vietnam, dan Filipina (Invest in ASEAN, 2018). Data dari Food and Agriculture

Organization, pada 2018, Indonesia merupakan negara produsen ikan terbesar di ASEAN,

dengan total pendaratan sebesar 6 juta ton, diikuti oleh Vietnam (2,71 juta ton) dan Myanmar

(2,70 juta ton). Di lain sisi, sektor perikanan merupakan sumber lapangan kerja dan

pendapatan penting di ASEAN. Di Indonesia sendiri, terdapat 2,6 juta nelayan secara

keseluruhan (FAO, 2018). Indonesia yang berada pada letak geografis di antara dua perairan

utama—Samudera Pasifik dan Samudera Hindia—menjadikan Indonesia sebagai pusat

aktivitas penangkapan ikan ilegal. Diperkirakan aktivitas penangkapan ikan ilegal telah

merugikan Indonesia sebesar 3 miliar dollar setiap tahunnya. Penangkapan ikan secara ilegal,

tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU) telah diakui oleh PBB sebagai salah satu dari tujuh

ancaman utama terhadap keamanan maritim dunia (Chapsos et al, 2019; Ma X, 2020). Food

and Agriculture Organization mendefinisikan penangkapan ikan ilegal ke dalam tiga kategori;
penangkapan ikan ilegal mengacu pada aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan tanpa izin

oleh kapal asing di perairan di bawah yurisdiksi negara lain, atau dengan cara lain apa pun

yang melanggar undang-undang dan peraturan perikanan negara bagian tersebut;

penangkapan ikan yang tidak dilaporkan mengacu pada penangkapan ikan yang tidak tercatat

secara resmi; dan penangkapan ikan yang tidak diatur mengacu pada aktivitas penangkapan

ikan yang dilakukan di wilayah di mana tidak ada tindakan pengelolaan yang berlaku.

Mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia telah melakukan

penangkapan sebanyak 83 kapal ikan yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal, tidak

dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing) di perairan Indonesia pada Januari hingga Juli

2022. Dari 83 kapal tersebut, sebanyak 11 kapal ikan asing berasal dari Malaysia, Filipina,

dan Vietnam, sementara 72 kapal dari Indonesia (Antara News, 2022). Statistik tersebut

menjadi rambu-rambu bahwa penangkapan ikan ilegal dapat berkontribusi langsung terhadap

munculnya kerawanan pangan di Indonesia.

Perspektif Rezim pada Illegal Fishing

Sebagai sebuah institusi dan wadah kerjasama regional, ASEAN memiliki beberapa rezim

yang bertujuan untuk menangani kasus penangkapan ikan ilegal, di antaranya Regional Plan

of Action (RPOA), ASEAN-South East Asian Fisheries Development Center (ASEAN-

SEAFDEC) dan Coral Triangle Initiative (CTI). Eksistensi rezim tersebut pada batasan

tertentu memunculkan sifat ambivalen. Pada satu sisi, rezim yang ada dapat digunakan

sebagai wadah bagi negara-negara ASEAN untuk menangani penangkapan ikan ilegal

melalui kerangka kerjasama multilateral yang dianggap lebih efisien. Di sisi lain, jumlah

rezim yang terlampau banyak justru menciptkan overlapping antar rezim yang berimplikasi

pada tidak adanya mekanisme yang well-established karena banyaknya solusi yang

ditawarkan antar rezim. Secara lebih lanjut, ASEAN sebagai organisasi regional utama

menghadapi beberapa kendala terkait usaha penanganan penangkapan ikan ilegal. Pertama
adalah kapal penangkap ikan ilegal yang tidak dilarang untuk melakukan penangkapan ikan

di laut lepas berdasarkan undang-undang maritim yang berlaku (Gallic dan Cox, 2006).

Secara regulatif, ASEAN tidak memiliki sanksi dan hukuman yang tegas bagi kapal-kapal

penangkap ikan ilegal, sehingga kapal dan nelayan ilegal yang melakukan pelanggaran tidak

dikenakan sanksi serta bebas melakukan aktifitas penangkapan ikan ilegal di laut kawasan

ASEAN. Kedua, kurangnya pemantauan, pengendalian dan pengawasan di kawasan ASEAN

yang semakin memperparah masalah aktifitas penangkapan ikan ilegal. Ketiga, terbatasnya

pemeriksaan rutin terhadap kapal penangkap ikan ilegal di kawasan ASEAN. Rendahnya

inspeksi di kawasan laut ASEAN menyebabkan rendahnya kemungkinan pemberian sanksi

dan hukuman bagi penangkap ikan ilegal.

Secara lebih lanjut, adanya celah dalam kerangka hukum internasional mengenai laut saat ini

berimplikasi pada terjadinya kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di luar jangkauan

peraturan nasional dan internasional. Kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur adalah

kegiatan yang dilakukan oleh kapal yang tidak memiliki kewarganegaraan atau kapal yang

mengibarkan bendera negara yang bukan anggota organisasi perikanan terkait sehingga tidak

menganggap dirinya terikat oleh peraturan yang ada. Di lain sisi, adanya overlapping rezim

tidak mampu menangani masalah penangkapan ikan ilegal secara holistik dan komprehensif.

Selain itu, rezim penanganan penangkapan ikan ilegal di ASEAN juga tidak mengindahkan

eksistensi nelayan lokal. Chapsos et al (2019) menyatakan bahwa komunitas nelayan lokal

tidak hanya menjadi bagian dari masalah penangkapan ikan ilegal, tetapi nelayan lokal juga

harus diikutsertakan sebagai bagian dari solusi. Pemerintah harus mencurahkan sumber daya

yang lebih besar untuk pembentukan lembaga pemerintahan yang inklusif, perumusan

kebijakan, dan implementasi peraturan perundang-undangan. Komunitas nelayan lokal harus

dipertimbangkan dalam skenario ini. Selain itu, kerjasama antara daerah dan pemerintah
perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kepercayaan antara rezim dan komunitas masyarakat

ASEAN (Chapsos et al, 2019; Eriksson et al, 2019).

Implikasi terhadap Ketahanan Pangan-Bahari Indonesia

Meningkatnya ancaman yang diakibatkan oleh penangkapan ikan ilegal, didukung dengan

lemahnya penegakan hukum peraturan perikanan, serta kurangnya pengawasan dan

koordinasi pengelolaan kolektif perikanan menjadikan langkah-langkah penanganan melalui

mekanisme kerjasama multilateral menjadi penting. Upaya penanganan permasalahan

multilateral dinilai jauh lebih baik, karena permasalahan penangkapan ikan ilegal menjadi

masalah bersama yang dihadapi hampir seluruh negara ASEAN. Perkembangan ini juga

menunjukkan keseriusan peningkatan kerjasama antar negara untuk memerangi penangkapan

ikan ilegal di kawasan ASEAN (Ramadhan, 2017; Sudirman et al, 2019). Melalui pendekatan

ketahanan nasional, Indonesia sebagai kekuatan regional di ASEAN dalam hal ini memiliki

tugas ganda, yaitu menjaga wilayah perairan nasional dari aktifitas penangkapan ikan ilegal

dan mendeliberasi kebijakan yang firm dan well-established yang dapat digunakan oleh rezim

penanganan penangkapan ikan ilegal di ASEAN.


Secara umum, kegiatan penangkapan ikan ilegal di kawasan perairan Indonesia telah

merugikan Indonesia pada dua sisi, yaitu sisi ekonomi dan sisi ketersediaan ikan sebagai

bagian dari ketahanan pangan-bahari nasional. Mengutip data dari Lembaga Ketahanan

Nasional, indeks ketahanan pangan-bahari yang merupakan turunan dari gatra sumber

kekayaaan alam, walaupun berada pada kondisi Cukup Tangguh (berwarna hijau), mengalami

penurunan angka. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan dan pengurangan kuantitas

sumber daya alam di Indonesia. Dalam konteks ketahanan pangan-bahari, penangkapan ikan

ilegal dapat mengurangi kuantitas dan keberlimpahan ikan di perairan Indonesia, dimana

perikanan sebagai bagian dari produk bahari adalah salah satu unsur di dalam gatra ketahanan

sumber kekayaan alam. Dalam konteks rezim, Indonesia memiliki peran yang vokal dalam

menyuarakan dan mendeliberasikan kebijakan di dalam mekanisme kerjasama multilateral.

Data dari Lembaga Ketahanan Nasional menunjukkan bahwa gatra pertahanan dan keamanan

mengalami kenaikan angka pada tahun 2021-2022. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan

luar negeri dan diplomasi sebagai salah dua unsur yang membentuk gatra pertahanan dan

keamanan, berhasil dilaksanakan dengan baik. Dalam kaitannya dengan rezim penanganan

aktifitas penangkapan ikan ilegal di kawasan ASEAN, Indonesia sebagai salah satu kekuatan

regional memiliki peran sentral dan memainkan peran penting untuk mendeliberasi kebijakan

yang firm dan well-established untuk menuntaskan permasalahan penangkapan. Dengan

demikian, pengukuran ketahanan pangan-bahari yang diberangkatkan dari gatra sumber

kekayaan alam dan gatra pertahanan keamanan, dapat dijadikan sebagai benchmark bagi

Indonesia untuk dapat mengamankan ketersediaan pangan bahari, sekaligus menjadi

momentum bagi Indonesia untuk memainkan peran sentral di ASEAN dalam upaya

penanganan penangkapan ikan ilegal.


Referensi

Antara News. KKP Seized 83 Illegal Fishing Vessels in January-June 2022 Period. Tersedia
dalam https://en.antaranews.com/news/243321/kkp-seized-83-illegal-fishing-vessels-
in-jan-jun-2022-period [diakses pada 2 Desember 2023]

Chapsos I, Koning J, Noortmann M. Involving local fishing communities in policy making:


Addressing Illegal fishing in Indonesia. Marine Policy. 2019 Nov 1;109:103708.

Eriksson B, Johansson F, Blicharska M. Socio-economic impacts of marine conservation


efforts in three Indonesian fishing communities. Marine Policy. 2019 May 1;103:59–
67.

Food and Agriculture Organization (FAO). 2018. The state of world fisheries and
aquaculture, FAO, Rome. http://www.fao.org/state-of- fisheries-aquaculture. [diakses
pada 2 Desember 2023]

Gallic B le, Cox A. An economic analysis of illegal, unreported and unregulated (IUU)
fishing: Key drivers and possible solutions. Marine Policy. 2006 Nov 1;30(6):689–95.

Invest Sea. The Costly Impact of Illegal Fishing in Indonesia. tersedia dala
https://investsea.org/the-costly-impact-of-illegal-fishing-in-indonesia/ [diakses pada 2
Desember 2023]

Ma X. An economic and legal analysis of trade measures against illegal, unreported and
unregulated fishing. Marine Policy. 2020 Jul 1;117:103980.

Ramadhan, U.E. (2017) Upaya Kerjasama Pemerintah Indonesia-Filipina dalam


Memberantas Kegiatan IUU-Fishing di Perbatasan Kedua Negara Khususnya Laut
Sulawesi 2014-2016. Journal of International Relations. 3 (4). 138-146.

Sudirman, et all. (2019). Implementasi RPOA-IUU di Kawasan Asia Tenggara. Jurnal


Hubungan Internasional. pp. 315-330.

Anda mungkin juga menyukai