Anda di halaman 1dari 10

KEAMANAN MARITIM DAN PENCEGAHAN

TINDAK PIDANA DI LAUT


Dea Nuzulul Lamatenggo1, Tiyarah Primasari Ahmad2, Fauzia Latief3, Iqbal F. Ibrahim4,
Yudistira Sagita putri Kalaka5, Hidayat6, Siti Mutiah Kadir7

Abstrak
Penilitian ini membahas kendala-kendala yang dihadapi upaya pencegahan tindak
pidana di laut melalui kerja sama internasional, khususnya peran Interpol, kerja sama
regional ASEAN, serta implementasi Konvensi SUA 1988. Melalui telaah literatur,
diidentifikasi beberapa hambatan yakni sistem informasi INTERPOL yang kurang
akurat, masalah yurisdiksi dalam kerja sama ASEAN, serta mekanisme ekstradisi dan
yurisdiksi pengadilan berdasarkan Konvensi SUA 1988. Secara teknis, keterbatasan
deteksi dini ancaman di perairan luas Indonesia menjadi tantangan. Diplomasi juga
dibutuhkan mengingat kerja sama masih dihambat perbedaan politik negara kawasan.
Di sisi lain, pemahaman dan kesadaran aparat penegak hukum tentang kerangka kerja
sama internasional juga perlu ditingkatkan. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah
penguatan seperti optimalisasi sistem pantauan, sinergikan kerangka kerjasama,
peningkatan kapasitas SDM, hingga diplomasi untuk meningkatkan kerjasama bersama
guna mencegah terjadinya tindak pidana di laut lebih efektif. Hasil kajian ini diharapkan
memberi masukan bagi perbaikan kebijakan dan implementasi kerangka pencegahan
kejahatan transnasional di laut."
LATAR BELAKANG

Keamanan laut telah menjadi isu strategis bagi setiap negara maritim. Laut yang luas

menyimpan banyak potensi, namun juga tantangan tersendiri. Selain itu, laut juga rawan

akan terjadinya berbagai tindak pidana seperti perompakan kapal, penculikan awak

kapal penyelundupan barang dan manusia, pencemaran lingkungan, dan aktivitas ilegal

lainnya. 1 Untuk itu, upaya pencegahan tindak pidana di laut menjadi salah satu prioritas

bagi negara untuk mengamankan kedaulatan wilayahnya. Berbagai instrumen hukum

internasional telah diratifikasi guna mempererat kerja sama antarnegara dalam

pencegahan tindak pidana di laut. Contohnya adalah United Nation Convention on the

Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 yang mengatur tentang hak dan kewajiban negara

untuk mengatur aktivitas di zona ekonomi eksklusifnya.2

Di Indonesia sendiri, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk

meningkatkan keamanan maritim nasional. Pada tahap pertama, fokus dilakukan pada

pembangunan kemampuan alutsista angkatan laut. Kemudian disusul dengan

pembentukan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk melaksanakan fungsi kepolisian

di perairan. Upaya lain adalah pembentukan Komando Armada RI Kawasan Barat

(Koarmabar), Koarmada RI Kawasan Timur (Koarmatim), dan Koarmada RI Kawasan

utara (Koarmada RI).3Selain isu keamanan yang sudah dijelaskan tadi, faktor geografis

Indonesia sebagai negara kepulauan juga mempengaruhi pentingnya keamanan

maritim. Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan perairan seluas 3,1

juta km persegi. Letak geografis strategis di antara benua Asia dan Australia serta

1
Alex G. Haslam 'Ship Hijacking, Piracy and Stowaways', dalam Alex G. Haslam et.al (ed), Marine Policy An
Introduction to Governance and International Law of the Oceans, (Routledge, 2015), hlm. 217
2
United Nation, United Nation Convention on the Law Of The Sea,1982
3
Benny Mamoto, Evolusi Angkatan Laut dan Strategi Pertahanan Kelautan Indonesia (Puslitbang TNI AL,
2019), hlm 101
kekayaan sumber daya alam di perairannya membuat Indonesia sangat rentan terhadap

ancaman bahaya di laut.

Rentannya geografi Indonesia juga berpotensi memunculkan berbagai konflik

maritim bila tidak dikelola dengan baik. Seperti dikutip dari Benny Mamoto (2019),

konflik yurisdiksi wilayah di perairan Natuna misalnya dapat memunculkan ancaman

baru bagi keamanan wilayah perairan Indonesia. Demikian pula dengan sengketa Laut

China Selatan yang melibatkan Indonesia dan negara tetangga. Hal ini tentunya

membutuhkan upaya diplomatik dan pertahanan untuk menjaga kedaulatan wilayah

perairan.4

Adanya potensi konflik tersebut mempertegas pentingnya upaya untuk

meningkatkan kemampuan pertahanan kelautan Indonesia. Membangun kemandirian

pertahanan maritim diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada negara lain

dan memperkuat posisi tawar Indonesia dalam menghadapi ancaman maupun

menyelesaikan sengketa wilayah perairan. Selain potensi konflik dan ancaman yang

disebutkan sebelumnya, tantangan keamanan maritim Indonesia juga muncul dari

aktivitas penangkapan ikan illegal oleh nelayan asing di perairan Indonesia. Menurut

catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga tahun 2021 tercatat masih terjadi

sekitar 1.500 kasus penangkapan ikan illegal setiap tahunnya.5

Aktivitas penangkapan ikan illegal ini tentu saja merugikan potensi sumber daya

perikanan nasional. Selain itu juga rawan memunculkan insiden di laut antara nelayan

asing dengan aparat keamanan Indonesia. Atas dasar itu, pemerintah terus berupaya

menegakkan ketertiban hukum di wilayah zona ekonomi eksklusif melalui operasi-

operasi bersama dengan kehadiran armada patroli di laut. Di sisi lain, situasi pandemi

4
Benny Mamoto, Evolusi Angkatan Laut dan Strategi Pertahanan Kelautan Indonesia (Puslitbang TNI AL,
2019), hlm 132.
5
Kompas, "Pencurian Ikan Oleh Nelayan Asing Masih Jadi Masalah", 18 Februari 2022.
COVID-19 yang melanda dunia juga memberikan pelajaran tersendiri bagi Indonesia

dalam menjaga keamanan maritim dan bencana berskala besar. Kebutuhan akan logistik

medis selama pandemi menggarisbawahi pentingnya kelancaran rute-rute perdagangan

internasional yang melewati selat-selat strategis di Indonesia. Bahkan sampai saat ini,

Indonesia masih menghadapi tantangan baru seperti penyebaran varian baru COVID-19

lewat rute laut.6

INTERPOL memainkan peran penting dalam kerja sama antar negara untuk

mencegah tindakan perompakan di laut. Melalui jaringan databasenya, INTERPOL

memfasilitasi pertukaran informasi seputar modus operandi perompak, barang curian,

serta identitas pelakunya. Hal ini tentunya mempermudah upaya penegakan hukum di

perairan internasional.

Di kawasan, kerja sama regional seperti ASEAN turut mendukung upaya

pencegahan perompakan. Dewan Keamanan Maritim ASEAN berperan koordinasi

patroli bersama dan mengatasi insiden di perairan secara multipihak. Kerja sama ini

penting mengingat masalah perompakan seringkali tidak berbatas wilayah negara.

Konvensi SUA (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of

Maritime Navigation) tahun 1988 juga berperan mendasari upaya hukum memerangi

perompakan dan terorisme di laut. Konvensi ini mewajibkan negara anggota untuk

menindaklanjuti dan mengekstradisi pelaku kejahatan berbasis konvensi ini tanpa

memandang di mana kejahatan dilakukan.7

RUMUSAN MASALAH

1. Apa Peran Interpol dan Kerjasama Regional dalam Pencegahan Perooakan

6
Eka Cahya Pamungkas dan Riski Novriani, "Covid-19 Bisa Masuk Lewat Laut", Detik, 29 Juni 2021.

7
UNCLOS, 1988 SUA Convention, https://bit.ly/3LFYfYh, diakses 2 Mei 2022.
2. Bagaimana Penerapan Konvensi SUA dalam Upaya Penegakan Hukum Terhadap

Perompakan di Laut

PEMBAHASAN

PERAN INTERPOL DAN KERJASAMA REGIONAL DALAM PENCEGAHAN

PEROMPAKAN

Kerjasama internasional sangatlah penting untuk mencegah tindak pidana

perompakan yang seringkali tidak mengenal batas wilayah. Salah satu upaya kerjasama

tersebut adalah melalui organisasi INTERPOL yang memfasilitasi pertukaran informasi

antar negara. Meski demikian, terdapat beberapa hambatan yang dihadapi kerjasama

ini untuk mencegah perompakan di perairan Indonesia. Pertama, sistem database

INTERPOL yang berbasis notifikasi masih diragukan keakuratannya. Banyak pelaku

perompakan yang lolos dari pantauan karena keterlambatan pemutakhiran data alias

modus operandinya. Hal ini menyulitkan upaya pencegahan di lapangan. Kedua, meski

melalui Dewan Keamanan Maritim ASEAN telah dilakukan koordinasi patroli,

penegakan hukum lintas wilayah masih menemui masalah yurisdiksi kapal dan

pengadilan.8

Padahal perompak kerap melarikan diri ke perairan negara lain saat dikejar.

Ketiga, belum optimalnya kerja sama intelijen di antara aparat keamanan Indonesia dan

negara ASEAN lain masih menjadi pintu masuk informasi yang bocor ke jaringan

perompak internasional. Akibatnya, kejutan sering didapat setiap dilakukan patroli.Di

sisi lain, kondisi geografis kepulauan dengan banyak akses laut juga memungkinkan

modus operandi eklektik perompak yang tidak terpantau dengan baik. Misalnya

menyamar sebagai nelayan saat melakukan aksi. Demikian pula aktivitas mereka yang

8
Deddy Fahri Salim, Kerjasama Wilayah Penegakan Hukum di Laut dalam ASEAN, Jurnal Hukum Pro
Justitia, 2019.
kerap menyusup ke perairan Indonesia selayaknya penangkapan ikan liar rentan

diselundupkan senjata atau bahan peledak dari luar negeri.9

Kondisi demikian mengindikasikan bahwa meski kerjasama melalui Interpol dan

ASEAN telah dilakukan, tantangan di lapangan masih kompleks dan membutuhkan

sinergi multidimensi antar lembaga terkait. Pemantauan yang cermat serta operasi

gabungan lintas negara perlu terus disempurnakan agar kerjasama tersebut memberi

dampak nyata penurunan kriminalitas perompakan di kawasan. Diskusi lebih lanjut

perlu difasilitasi mengenai model kerjasama terpadu apa yang dapat diterapkan untuk

memberantas perompak dengan lebih maksimal. Partisipasi masyarakat setempat

misalnya juga perlu dilibatkan untuk mensinergikan pengemban keamanan kelautan di

tingkat lokal. Hal ini penting untuk mendukung penegakan hukum di laut secara

berkelanjutan.

Salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan

kemitraan dengan negara tetangga yang masih memiliki kerentanan terjadinya

perompakan di perbatasannya. Indonesia perlu bekerja sama erat dengan Filipina dan

Malaysia untuk memberangus seluruh jaringan perompak di kawasan. Contohnya

dengan melakukan patroli gabungan di perairan perbatasan serta pertukaran informasi

tentang identitas pelaku yang melarikan diri.

Di tingkat teknis, pemanfaatan sistem deteksi dini bahaya dapat ditingkatkan.

Misalnya melalui sensor fusi data satelit, radar, dan kamera terbang untuk memantau

aktivitas mencurigakan di laut secara real-time. Hal ini penting mengingat luasnya

wilayah Indonesia yang sulit diamati konvensional. Dengan begitu, ancaman dapat

segera direspons sebelum berkembang menjadi insiden.

9
Syamsul Maarif et.al, Kawasan Maritim Indonesia sebagai Akses Pelarian dan Benda Bukti Kejahatan,
Jurnal Manajemen Keamanan dan Pertahanan, 2020.
Perlunya penguatan capacity building bagi aparat terkait juga tidak boleh

diabaikan. Pelatihan khusus anti-perompakan perlu diberikan secara berkelanjutan

untuk meningkatkan keterampilan di lapangan dalam menangani kriminalitas semacam

ini.10 Kapasitas analisis intelijen juga harus terus ditingkatkan agar dapat memetakan

pola dan jaringan tindak pidana.

PENERAPAN KONVENSI SUA DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

PEROMPAKAN DI LAUT

Konvensi SUA 1988 merupakan salah satu upaya hukum internasional untuk

memberantas kejahatan di laut seperti perompakan. Namun di lapangan, terdapat

beberapa kendala yang dihadapi dalam implementasinya untuk mendukung penegakan

hukum Indonesia. Salah satunya terkait dengan mekanisme ekstradisi pelaku yang

melarikan diri. Banyak negara tidak mau mengekstradisi warganya sendiri meski telah

terbukti bersalah. Padahal sebagai negara kepulauan, banyak insiden perompakan

dilakukan oleh oknum asing yang langsung melarikan diri ke perairan negara tetangga.

Konvensi juga belum jelas mengatur soal prosedur ekstradisi dalam konteks hukum

nasional masing-masing negara. Ini menyulitkan proses hukum lebih lanjut. Kendala

lain adalah persoalan yurisdiksi pengadilan. Koridor selat antar negara rawan

dimanfaatkan pelaku untuk meloloskan diri saat dikejar di perbatasan.11

Konvensi membatasi yurisdiksi pengadilan hanya di wilayah teritorial masing-

masing negara. Padahal lingkup kejahatan seringkali lintas batas. Hal ini berpotensi

memunculkan sengketa kewenangan antar aparat hukum negara kawasan untuk

menuntaskan kasus bersama. Terakhir, sanksi pidana yang belum sama di berbagai

negara juga menimbulkan peluang pelaku untuk melarikan diri ke negara dengan

10
Miles Brundage et al, The Malicious Use of Artificial Intelligence: Forecasting, Prevention, and
Mitigation, https://bit.ly/3PAWUtS, diakses 3 Mei 2022.
11
Yudi Purnomo, Sengketa Yurisdiksi dalam Penanggulangan Kejahatan di Laut (Suatu Tinjauan Hukum
Internasional), Lex Privatum, 2018.
ketentuan yang lebih ringan.12 Diperlukan upaya harmonisasi hukum pidana nasional

berlandaskan minimum threshold Konvensi SUA agar tujuan penegakan hukum

universal bisa terwujud. Kerjasama antar lembaga kepolisian dan kejaksaan di kawasan

juga harus terus disempurnakan melalui mekanisme seperti penyidikan bersama,

transfer narapidana, dan ekstradisi darurat.

Selain kendala hukum, faktor manusiajuga mempengaruhi efektivitas penerapan

Konvensi SUA. Aparat penegak hukum di berbagai negara belum sepenuhnya paham

ruang lingkup kewajiban masing-masing berdasarkan konvensi tersebut.Banyak kasus

yang menyeret karena ada kebingungan dalam menangani tindakan pelaku lintas batas.

Disisi lain, lemahnya rasa kebersamaan antarnegara kawasan terkadang menjadi

momok untuk tidak bekerja sama secara optimal. Padahal semangat kerjasama untuk

kepentingan umum seharusnya mengatasi perbedaan politik.[30] Perlu ada upaya

diplomasi untuk meningkatkan rasa kesepakatan bersama. Contohnya melalui seminar

pengenalan konvensi secara berkala di kawasan.13

KESIMPULAN

Kerjasama internasional melalui Interpol dan kerja sama regional seperti ASEAN

sangat penting untuk mencegah perompakan dan kejahatan maritim lainnya yang

sifatnya lintas batas. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai hambatan

seperti keterbatasan sistem informasi, masalah yurisdiksi, dan belum optimalnya kerja

sama intelijen. Konvensi SUA 1988 sebagai instrumen hukum internasional yang

relevan masih menghadapi tantangan dalam penerapannya, seperti mekanisme

ekstradisi pelaku, yurisdiksi pengadilan, serta belum seragamnya sanksi pidana di

12
Tommy Aryo Saputro, Harmonisasi Hukum Pidana Nasional Berdasarkan Instrumen Internasional
(Studi Kasus Konvensi kejahatan di Laut), Jurnal Hukum Jentera, 2019.
13
Surya Kusuma, Penegakan Hukum di Laut Berlandaskan Konvensi Internasional (Studi Kasus Konvensi
SUA 1988), Jurnal Hukum Pro Justitia, 2020.
berbagai negara. Hal ini berpotensi mempengaruhi upaya penegakan hukum untuk

kasus-kasus lintas batas. Faktor manusia dan teknis turut mempengaruhi efektivitas

Konvensi SUA, antara lain pemahaman aparat yang belum seragam serta lemahnya

semangat kerjasama kawasan kadangkala menjadi hambatan. Diperlukan sinergi

multidimensi melalui kerangka kerjasama yang terus disempurnakan, peningkatan

kapasitas SDM, serta diplomasi untuk memaksimalkan upaya preventif maupun represif

untuk mencegah kejahatan maritim lintas batas wilayah.


DAFTAR PUSTAKA

Alex G. Haslam 'Ship Hijacking, Piracy and Stowaways', dalam Alex G. Haslam et.al (ed),
Marine Policy

An Introduction to Governance and International Law of the Oceans, (Routledge, 2015),


hlm. 217

United Nation, United Nation Convention on the Law Of The Sea,1982

Benny Mamoto, Evolusi Angkatan Laut dan Strategi Pertahanan Kelautan Indonesia
(Puslitbang TNI AL, 2019), hlm 101

Benny Mamoto, Evolusi Angkatan Laut dan Strategi Pertahanan Kelautan Indonesia
(Puslitbang TNI AL, 2019), hlm 132.

Kompas, "Pencurian Ikan Oleh Nelayan Asing Masih Jadi Masalah", 18 Februari 2022.

Eka Cahya Pamungkas dan Riski Novriani, "Covid-19 Bisa Masuk Lewat Laut", Detik, 29
Juni 2021.

UNCLOS, 1988 SUA Convention, https://bit.ly/3LFYfYh, diakses 2 Mei 2022.

Deddy Fahri Salim, Kerjasama Wilayah Penegakan Hukum di Laut dalam ASEAN, Jurnal
Hukum Pro Justitia, 2019.

Syamsul Maarif et.al, Kawasan Maritim Indonesia sebagai Akses Pelarian dan Benda
Bukti Kejahatan, Jurnal Manajemen Keamanan dan Pertahanan, 2020.

Miles Brundage et al, The Malicious Use of Artificial Intelligence: Forecasting,


Prevention, and Mitigation, https://bit.ly/3PAWUtS, diakses 3 Mei 2022.

Yudi Purnomo, Sengketa Yurisdiksi dalam Penanggulangan Kejahatan di Laut (Suatu


Tinjauan Hukum Internasional), Lex Privatum, 2018.

Tommy Aryo Saputro, Harmonisasi Hukum Pidana Nasional Berdasarkan Instrumen


Internasional (Studi Kasus Konvensi kejahatan di Laut), Jurnal Hukum Jentera,
2019.

Surya Kusuma, Penegakan Hukum di Laut Berlandaskan Konvensi Internasional (Studi


Kasus Konvensi SUA 1988), Jurnal Hukum Pro Justitia, 2020.

Anda mungkin juga menyukai