Anda di halaman 1dari 8

MATERI : INKLUSI DAN AKUNTABILITAS SOSIAL DESA

SUB-MATERI 1

“Pengertian dan Aspek-Aspek Pokok Inklusi Sosial”

Inklusi dan akuntabilitas sosial merupakan konsep-konsep yang saling terkait. Keduanya
merupakan proses dan kondisi yang sama pentingnya serta saling melengkapi dan
menyempurnakan upaya pemajuan desa sebagaimana diamanatkan UU Desa. Inklusi
sosial mungkin akan melahirkan partisipasi warga, namun tanpa akuntabilitas sosial
partisipasi itu berarti berlangsung tanpa pengetahuan dan informasi yang memadai
mengenai apa dan untuk apa keterlibatan tersebut ditujukan. Pembahasan pada bagian
ini dibatasi pada dua hal yaitu mengenai pengertian inklusi sosial dan selanjutnya terkait
aspek-aspek pokok inklusi sosial.

Di akhir materi ini Anda diharapkan mampu menjelaskan dan pengertian dasar inklusi
sosial serta aspek-aspek pokok dalam inklusi sosial. Melalui dua kemampuan tersebut
Anda diharapkan mampu mengembangkan imajinasi mengenai wujud inklusi sosial
dalam kehidupan Desa. Namun sebelum kita mulai pembahasan mengenai pengertian
inklusi sosial, kita perlu tunjukkan pijakan hukum inklusi sosial.

Pijakan hukum inklusi sosial

Pewujudan inklusi sosial merupakan mandat Undang-Undang Dasar 1945 yang


diturunkan ke dalam sejumlah Undang-Undang dan Peraturan lain, di antaranya sebagai
berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3277);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
1
Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4400);
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5495);
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4168);
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pelaporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4614);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5539);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 57);

2
15. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN)
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak;
16. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor
1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan
Kewenangan Lokal Berskala Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 158);
17. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor
2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan
Keputusan dalam Musyawarah Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 159);
18. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Pembangunan
dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 1261);
19. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 14/PRT/M/2017 Tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung
( Berita Negara Republik Indonesia tahun 2017 nomor 1148);
20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis
Peraturan di Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2091); 21.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 jo
Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2093).

Pengertian inklusi sosial

Secara sederhana, inklusi sosial dapat dipahami sebagai menggabungkan,


memasukkan, atau merangkul. Kondisi yang berlawanan dengan inklusi sosial ialah
eksklusi sosial. Eksklusi sosial berarti mengecualikan atau mengucilkan individu atau
kelompok sosial tertentu dalam kehidupan desa, baik dalam pergaulan sosial, politik,
atau melalui kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh desa. Eksklusi sosial dapat
terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Namun sebagai konsep, inklusi sosial
memiliki pengertian yang lebih khusus.

World Bank mendefinisikan inklusi sosial sebagai proses peningkatan kondisi-kondisi


yang memungkinkan individu dan kelompok untuk terlibat di dalam kehidupan
masyarakat, yaitu peningkatan kemampuan, kesempatan, dan martabat individu atau
kelompok rentan dengan tetap berpijak pada situasi atau identitas mereka yang rentan
itu. Dalam pengertian tersebut, inklusi sosial dipahami sebagai proses yang bertitik
pangkal pada peningkatan kemampuan, peluang, dan martabat individu atau kelompok

3
rentan. Proses peningkatan dilakukan agar mereka yang rentan dapat mengambil
bagian secara utuh dalam kehidupan masyarakat tanpa mengubah situasi atau
identitas mereka.

Sebagai contoh: kelompok miskin di pedesaan tidak perlu untuk menjadi kaya terlebih
dahulu untuk melaksanakan haknya untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa.
Dengan kata lain, situasi ekonomi tidak dapat menjadi penghalang bagi pemenuhan hak
hak warga desa dalam menjalankan hak mereka. Demikian pula dengan status sosial.
Seseorang yang berasal dari warga terpandang (kerabat Kepala Desa, misalnya) tidak
lebih istimewa dibanding seorang warga dari kalangan jelata. Keduanya memiliki hak
yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa. Contoh lain: perempuan
tidak perlu menjadi laki-laki, penyandang tuna netra tidak perlu melakukan operasi
mata, agar perempuan dan penyandang tuna netra tersebut dapat terlibat secara penuh
dalam kehidupan masyarakat.

Selain pengertian dari World Bank (WB) di atas, ada pengertian lain yang sangat
relevan untuk memahami pengertian inklusi sosial. Definisi dari Ra’is (2017:92)
mengartikan inklusi sosial sebagai proses yang memungkinkan individu atau kelompok
tertentu untuk dapat berpartisipasi sebagian atau seluruhnya dalam kehidupan sosial
mereka. Sementara Ditjen PPMD Kemendesa PDTT mengartikan inklusi sosial sebagai
pendekatan yang mendorong proses membangun hubungan sosial dan penghormatan
terhadap individu serta komunitas, sehingga mereka yang marjinal dan mengalami
prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan
ekonomi, sosial, politik, budaya (Ditjen PPMD Kemendesa PDTT 2019: vi).

Pengertian inklusi sosial oleh Ra’is dan Ditjen PPMD Kemendesa PDTT di atas sama-
sama menekankan partisipasi penuh individu atau kelompok rentan dalam kehidupan
sosial. Ditjen PPMD Kemendesa PDTT malah merinci lebih spesifik ruang partisipasi
tersebut, yaitu pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Sementara, lain dari pengertian WB yang menggunakan identitas sebagai acuan dari
mereka yang tidak beruntung (disadvantage), frasa ‘kelompok tertentu’ serta ‘mereka
yang marjinal dan mengalami prasangka’ mampu mencakup berbagai sumber
kerentanan yang dialami oleh individu atau kelompok.

Pengertian dari Ra’is menyiratkan proses yang serupa dengan pengertian WB di awal
meski tanpa memperjelas poin yang diutamakan dalam proses tersebut. Sementara
Ditjen PPMD Kemendesa PDTT lebih menekankan pendekatan serta kondisi yang
hendak dicapai melalui inklusi sosial, meski tanpa tanpa indikasi cara yang perlu
ditempuh untuk mewujudkan inklusi sosial sebagaimana didapati dalam definisi dari
WB.

4
Deretan pengertian lain dapat ditambahkan namun di sini kita akan cukupkan pada tiga
pengertian tentang inklusi sosial di atas. Dengan mengambil aspek-aspek yang paling
menonjol dari ketiga pengertian tersebut, kita dapat mendefinisikan Inklusi sosial
sebagai berikut: proses peningkatan kemampuan serta martabat individu atau
kelompok rentan dan peningkatan kondisi lingkungan yang memungkinkan bagi individu
atau kelompok rentan tersebut untuk berpartisipasi secara penuh dalam pengambilan
keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Dengan pengertian tersebut, kita akan mendapatkan beberapa aspek penting dalam
pengertian inklusi sosial. Pertama inklusi sosial merupakan proses, dan sebagai proses,
kedua, inklusi sosial dilakukan demi peningkatan kemampuan serta martabat individu
atau kelompok rentan. Aspek ketiga ialah peningkatan kondisi lingkungan dan keempat
penekanan pada terwujudnya partisipasi individu dan kelompok secara penuh. Masing
masing aspek di atas akan dibahas di bagian berikut.

Aspek-aspek pokok inklusi sosial

Aspek-aspek pokok dalam inklusi sosial perlu dimengerti dengan baik. Selanjutnya di
sini akan dibahas masing-masing aspek tersebut satu per satu.

Pertama inklusi sosial merupakan proses. Dengan kata lain inklusi sosial merupakan
suatu rangkaian kerja. Penekanan pengertian proses ini penting untuk menegaskan
bahwa inklusi sosial memang harus diupayakan, diperjuangkan, atau diikhtiarkan.
Inklusi sosial tidak dapat diharapkan terjadi secara alamiah, misalnya, atas dasar
keyakinan segolongan penduduk yang menganggap bahwa “para pemimpin desa
adalah orang-orang baik”. Selanjutnya penekanan pada proses juga menegaskan
bahwa inklusi sosial memerlukan perencanaan matang, tujuan-tujuan spesifik, dan
indikator-indikator yang terukur dalam kerangka waktu tertentu. Dengan demikian,
selain harus diperjuangkan atau diupayakan, kemajuan/kemunduran inklusi sosial juga
perlu untuk dapat diukur dengan baik.

Aspek kedua ialah peningkatan kemampuan serta martabat individu atau kelompok
rentan. Aspek ini menegaskan bahwa arah inklusi sosial diprioritaskan bagi mereka
yang rentan (vulnerable group), kurang beruntung (disadvantages), tereksklusi, atau
yang termarjinalkan; apapun faktor dari kerentanan tersebut (agama/kepercayaan,
kondisi mental/fisik, kesehatan, usia, gender, etnis, status ekonomi, dll.). Dalam
prioritas tersebut, inklusi sosial mengarahkan agenda strategis pada dua hal, yaitu
peningkatan kemampuan dan martabat. Peningkatan kemampuan meliputi segala hal
terkait kemampuan yang bernilai ekonomi hingga kemampuan literasi yang terkait
dengan kesadaran politik, budaya, dan kemampuan mengembangan interaksi serta
relasi sosial. Peningkatan martabat dimaksudkan sebagai mengapreasiasi dan
memuliakan hakikat kelompok
5
rentan sebagai manusia yang setara dengan manusia lain; sama bermartabat dan sama
berharga diri dengan manusia lain.

Gambar 1
Aspek-Aspek Pokok Inklusi Sosial

Peningkatan kemampuan dan martabat


inklusi sosial merupakan individu/kelompok rentan
proses

Inklusi sosial

Peningkatan kondisi lingkungan individu/kelompok rentan dalam kehidupan


Partisipasi penuh desa

Aspek ketiga ialah peningkatan kondisi lingkungan. Aspek kedua menekankan


peningkatan kapasitas subyektif individu atau kelompok rentan, sementara aspek ketiga
ini terarah pada pengembangan kondisi objektif dimana individu atau kelompok rentan
tersebut berada.

Aspek ketiga ini sangat penting, karena di sinilah tanggung jawab Pemerintah Desa dan
pemangku kekuasaan lain dituntut. Kondisi lingkungan menyangkut ketersediaan
infrastruktur yang aksesibel bagi individu atau kelompok rentan, peluang (opportunity),
hingga kebijakan yang inklusif dan kondusif bagi keterlibatan individu atau kelompok
rentan. Namun secara umum, kondisi lingkungan juga berarti lingkungan sosial. Selain
pemerintah desa yang bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana yang
memungkinkan partisipasi seluruh warga, masyarakat juga perlu mendapatkan edukasi
berkelanjutan hingga tidak ada lagi gejala-gejala pengucilan seseorang atau
sekelompok orang dalam pergaulan sosial.

Aspek keempat ialah partisipasi secara penuh. Puncak dari tiga aspek pertama adalah
keterlibatan individu atau kelompok rentan dalam seluruh sektor kehidupan sosial desa,
mulai dari pengambilan keputusan dan politik, ekonomi, hingga budaya. Aspek ini
menegaskan bahwa sebagaimana saudara-saudara mereka yang lain, individu atau
kelompok rentan memiliki hak yang sama untuk hidup secara layak dan bermartabat,
baik sebagai manusia maupun sebagai warga desa/warga negara.

6
Sampai di sini semoga keterangan mengenai pengertian dan aspek-aspek pokok inklusi
sosial di atas dapat Anda pahami dengan baik. Selanjutnya, untuk memastikan perihal
tersebut, Anda perlu menjawab beberapa soal kuis.

(daftar pustaka dapat disimak setelah Sub-Materi 4)


7

Anda mungkin juga menyukai