Anda di halaman 1dari 22

PEMBANGUNAN EKONOMI

PEDESAAN

Landasan Pembangunan Desa


LANDASAN PEMBANGUNAN
DESA
A. Kerangka Hukum
1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 tentang Pembentukan
Komite Nasional Daerah
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
4. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan
Daerah (disempurnakan)
6. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang DPRD Gotong
Royong dan Sekretariat Daerah (disempurnakan)
Lanjutan..

7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok


Pemerintahan Daerah
8. Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965 tentang Desapraja
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
10. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah
12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah.
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
Lanjutan…

14. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4548);
15. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
16. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa;
17. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan;
18. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
Lanjutan…

18. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;
19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006 tentang
Penetapan dan Penegasan Batas Desa;
20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang
Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan;
21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Penyerahan Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota Kepada Desa;
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2006
tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Kelurahan;
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2006 tentang
Pedoman Administrasi Desa;
Lanjutan..

24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007


tentang Perencanaan Pembangunan Desa;
25. SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas dan Menteri Dalam Negeri 0008/M.PPN/01/2007/050/
264A/SJ tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang
Tahun 2007; dan
26. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan
Kelurahan.
B. Pemberdayaan
Pemberdayaan memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan
desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan sesuai
dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Desa yang
otonom memberikan ruang gerak yang luas dalam perencanaan
pembangunan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dan tidak banyak
dibebani oleh program kerja dari dinas atau instansi pemerintah. Jika
otonomi desa dapat terwujud, maka tidak perlu terjadi urbanisasi tenaga
potensial ke kota, karena desa mampu menyediakan lapangan kerja yang
cukup dan menyusun rencana strategis pengembangan sumber daya alam
dan manusia secara terpadu.
Untuk melakukannya diperlukan peningkatan kapasitas dan konsistensi
kebijakan yang memberikan wewenang kepada desa untuk mengatur
kebutuhannya. Langkah pertama yang perlu dilakukan dengan
mengidentifikasi potensi dan sumber daya yang ada.
Lanjutan…

United Nations (1956: 83-92), mengemukakan proses


pemberdayaan masyarakat sebagai berikut :
Getting to know the local community
Mengetahui karakteristik masyarakat setempat (lokal) yang akan
diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang membedakan
masyarakat desa yang satu dengan lainnya. Mengetahui hubungan
timbal balik antara petugas pendamping dengan masyarakat.
Gathering knowledge about the local community
Mengumpulkan pengetahuan menyangkut informasi mengenai
pola kehidupan masyarakat setempat. Pengetahuan merupakan
informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, jenis
kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi,
termasuk pengetahuan tentang nilai, sikap, ritual dan custom, jenis
pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun
informal.
Lanjutan…

 Identifying the local leaders


Segala usaha pemberdayaan masyarakat akan apabila tidak didukung oleh
pimpinan atau tokoh masyarakat setempat. Oleh karena itu dalam proses
pemberdayaan, faktor "the local leaders" harus selalu diperhitungkan karena
mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat.
 Stimulating the community to realize that it has problems
Di dalam masyarakat yang terikat dengan adat kebiasaan, sadar atau tidak
sadar masyarakat tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang
perlu dipecahkan. Karena itu, diperlukan pendekatan persuasif agar
masyarakat menyadari adanya masalah yang perlu dipecahkan, dan
kebutuhan yang perlu dipenuhi.
 Helping people to discuss their problem
Memberdayakan masyarakat mengandung makna mendorong dan
merangsang inisiatif untuk melibatkan diri dalam pembahasan masalah serta
merumuskan alternatif pemecahan dalam suasana kebersamaan.
Lanjutan..

 Helping people to identify their most pressing problems


Masyarakat dibimbing agar mampu mampu mengidentifikasi permasalahan
yang dihadapi serta menetapkan skala prioritas yang paling berpengaruh
terhadap kebutuhan dasar. Masalah yang paling krusial dan berdampak
pada tatanan kehidupan sosial yang lebih luas yang harus diutamakan
untuk dipecahkan.
 Fostering self-confidence
Membangun rasa percaya diri masyarakat dalam menghadapi berbagai
persoalan. Rasa percaya diri merupakan modal utama untuk membangun
Keswadayaan.
 Deciding on a program ction
Masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program yang akan
dilakukan. Program aksi perlu ditetapkan berdasarkan skala prioritas, yaitu
rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas
tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya.
Lanjutan…

 Recognition of strengths and resources


Memberdayakan masyarakat berarti meningkatkan kapasitas masyarakat
dalam mengkaji lingkungan internal dan eksternal (kekuatan dan
sumber daya yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan
permasalahan dan kebutuhannya).
 Helping people to continue to work on solving their problems
Pemberdayaan masyarakat merupakan serangkaian tindakan terencana
yang diarahkan untuk merubahan kehidupan yang lebih baik secara
berkelanjutan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
 Increasing people!s ability for self-help
Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat ialah untuk
meningkatkan kapasitas dan kemandirian agar masyarakat mampu
menolong diri sendiri. Keswadayaan menjadi nilai-nilai dasar dalam
upaya pembangunan masyarakat.
C. Kemandirian Lokal

Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian


lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses
pemberdayaan masyarakat desa harus dilakukan secara
desentralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip sentralisasi,
deterministik, dan homogen merupakan kebijakan yang harus
dihindari.
Terdapat dua prinsip dasar yang selayaknya dianut dalam proses
pemberdayaan :
1.Menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk
mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang
dipilihnya sendiri.
2.Mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta.
Lanjutan…

Berkaitan dengan prinsip tersebut, maka kebijaksanaan yang perlu ditempuh


oleh pemerintah pada setiap tingkatan, mulai dari nasional sampai
kabupaten/kota melalui penataan kelembagaan pemerintah, dalam arti
menghilangkan struktur birokrasi yang menghambat terciptanya peluang atau
ruang yang dimaksud, termasuk peraturan perundang- undangan, dan atau
sebaliknya, membangun struktur birokrasi yang dititikberatkan pada pemberian
pelayanan pada masyarakat serta peraturan perundangan yang memudahkan
atau meningkatkan aksesibilitas masyarakat di segala aspek kehidupan.
Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan
aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan
di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat
(choice) untuk menyalurkan aspirasinya (voice). Lebih dari itu kemandirian lokal
sangat tergantung bagaimana masyarakat desa dapat memegang kendali
penyelenggaraan pembangunan dan menentukan sendiri keputusan yang
dianggap penting untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
D. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat bukan jargon politik, studi dari World Bank,
IMF dan UNHCR (Abdul A.S, 2002:104) menunjukkan bahwa proyek
pembangunan yang melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan
dan pelaksanaannya ternyata lebih baik dari tatacara konvensional yang
bersifat top down.
Berikut ini dikemukan beberapa alasan mengapa partisipasi itu
penting dalam proses pembangunan;
1.Partisipasi dalam praktek yang sederhana telah lama terbangun
dalam pemahaman, kesadaran dan kehidupan masyarakat.
2.Partisipasi memungkinkan perubahan yang lebih besar dalam cara
berfikir, bersikap dan bertindak manusia. Hal ini sulit dilakukan jika
perubahan ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil atau kelompok
tertentu yang tidak terlibat langsung.
Lanjutan…

3. Pemecahan permasalahan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat


secara menyeluruh hanya dapat dilakukan melalui proses interaksi,
kerjasama dan berbagi peran
4. Penggunaan sumber daya dan pelayanan bagi masyarakat tidak dapat
tercapai oleh gagasan yang dibangun oleh pemerintah atau pengambil
kebijakan saja, karena sumber daya pendukung lebih banyak dimiliki
oleh individu, kelompok atau organisasi masyarakat. Oleh karena itu,
kontribusi dan kerangka mekanisme pelayanan harus melibatkan
masyarakat sebagai pemilik dan pengguna pelayanan itu.
5. Partisipasi merupakan suatu proses pelibatan orang lain terutama
kelompok masyarakat yang terkena langsung untuk merumuskan
masalah dan mencari solusi secara bersama.
6. Masyarakat memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan
program yang lebih baik, termasuk tujuan, pengetahuan, situasi, struktur
sosial dan pengalaman menggunakan teknologi untuk kepentingannya.
Lanjutan…

7. Masyarakat akan lebih termotivasi untuk berkerja sama dalam


program pembangunan, jika ikut terlibat dan bertanggungjawab di
dalamnya.
8. Dalam kehidupan demokratis, secara umum masyarakat menerima
bahwa mereka berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai
tujuan dan harapan yang ingin dicapai.
9. Banyak permasalahan pembangunan dibidang pertanian,
kesehatan, ekonomi, pendidikan dan kelembagaan yang tidak
mungkin dipecahkan dengan pengambilan keputusan perorangan.
Partisipasi kelompok sasaran dalam keputusan kolektif sangat
dibutuhkan.
E. Otonomi Desa
Otonomi desa ditandai dengan adanya kewenangan untuk
menyelenggarakan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan
desa, pembinaan kemyasarakatan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa berdasarkan prakars masyarakat, hal asal usul dan
adat istiadat desa.
Kewenangan desa menurut pasal 19 UU No. 6/2014 :
1.Kewenangan berdasarkan hal asal-usul
2.Kewenangan lokal berskala desa
3.Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah daerah kabupaten.
4.Kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah
provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
F. Prinsip-prinsip Otonomi Desa

 Demokrasi, yakni kekuasan dari, oleh dan untuk rakyat.


 Peran serta masyarakat, yakni pengikutsertaan masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, serta pemilikan
pembangunan.
 Prinsip keadilan dan pemerataan, yakni pendapatan nasional dan
hasil pengelolaan sumber daya nasional yang ada di daerah harus
disalurkan secara adil, merata, berimbang antara pusat dan daerah
serta antardaerah.
 Mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah dalam
kerangka NKRI.
 Konstitusionalisme berdasarkan Pancasila.
 Kemandirian dan saling ketergantungan antardaerah dalam wadah
NKRI.
Lanjutan…

 Pemberdayaan masyarakat, otonomi yang bertumpu pada


peranserta masyarakat.
 Asas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan; asas
desentralisasi adalah penyerahan kewenangan pemerintahan
oleh pemerintah daerah otonomi dalam kerangka NKRI;
dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang kepada Gubernur
sebagai wakil kepala pemerintahan dan/atau perangkat pusat di
daerah; Tugas pembantuan adalah penugasan dari
pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa
untuk melaksanakan tugas tertentu disertai pembiayaan, sarana
dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskannya.

Prinsip utama otonomi desa adalah kewenangan membuat


keputusan sendiri melalui semangat keswadayaan yang telah lama
dimiliki oleh desa, dalam satu kesatuan wilayah perdesaan
G. Kebijakan dan Strategi

 Pemantapan peraturan dengan percepatan


penyelesaian tentang peraturan desa melalui
peraturan pemerintah, keputusan presiden,
keputusan menteri, peraturan daerah, dan
peraturan desa.
 Mengembangkan kemandirian kelembagaan
pemerintahan desa, lembaga adat dan
lembaga lain.
 Memperkuat peranan lembaga adat dan
mengembangkan hak ulayat.
 Meningkatkan kerjasama antardesa.
 Meningkatkan pola pengembangan desa, tingkat
perkembangan dan pembentukan desa baru.
 Penguatan kelembagaan masyarakat desa dengan
menata struktur organisasi dan manajemen
pemerintahan desa, BPD, BUMDes, asosiasi BPD,
Asosiasi Pemdes, lembaga adat dan LKD.
Lanjutan…

 Keuangan desa melalui pengembangan sumber pendapatan dan


kekayaan desa serta manajemen perimbangan keuangan desa.
 Membangun sistem informasi dan adminsitrasi pemerintahan desa
yang mudah, cepat dan murah.
 Standarisasi, kriteria, norma dan prosedur untuk meningkatkan
sumber daya kepala desa, BPD, lembaga adat, LKD, pengurus
BUMDes dan P3D.
DAFTAR BACAAN
• Mubyarto, dkk (2000) Otonomi Masyarakat Desa: Perspektif “Orang
Daerah” dan “orang Desa” di
• Muhammad, S. (2000) Manajemen Strategik; Konsep dan Kasus.
Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
• Nur Fauzi dan R. Yando Zakaria (2000) Mensiasati Otonomi
Daerah: Panduan Fasilitasi Pengakuan dan
• Owin Jamasy dkk. (2001) Pembangunan Pertanian melalui
Pemberdayaan Masyarakat Desa. Jakarta: Bina Swadaya dan
DFID.
• Pemulihan Hak-Hak Rakyat. Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan
Agraria-INSIST Press.
• Wahjudin Sumpeno. 2004. Perencanaan Desa Terpadu. Edisi
Kedua. Reinforcement Action and Development. Banda Aceh

Anda mungkin juga menyukai