anfusinaa, wamin sayyiaati a’maalinaa, mayyahdillaahu falaa mudlillalah, waman yudlilhu falaa
haadiyalah.
Asyhadu allaa Ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariikalah, waasyhadu anna Muhammadan abduhuu
warasuuluh.
Innallooha wa malaaikatahuu yusholluuna ‘alan Nabi, yaa ayyuhalladziina aamanuu sholluu ‘alaihi wa
sallimuu tasliimaa.
Ya ayyuhaladzi naamanu, taqullooha haqqa tuqaatih, walaa tamuutunna illa waantum muslimuun.
Sebelum Khotib memulai khutbah ini, izinkan khotib mengajak jamaah terutama diri khotib sendiri
marilah kita sama sama meningkatkan ketakwaan kita kepala Allah SWT dan menjauli segala
larangannya.
Sebagai muslim, kita harus senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Itulah yang
dinamakan takwa.
Dalam hal ketakwaan ini mari kita koreksi dan mawas diri. Sehingga ketakwaan kita semakin meningkat.
Imam Ahmad ibn Hambal, ulama besar pendiri mazhab Hambali, di masa akhir hidupnya beliau
berkeinginan pergi ke kota Basrah. Padahal beliau tidak ada janji dengan seorang pun.
Karena saking (sangat) inginnya maka beliau memutuskan untuk pergi. Bahkan dalam sejarahnya, ketika
beliau tiba di sana pada waktu salat Isya’ dan melakukan jamaah, beliau merasa sangat tenang. Setelah
selesai beliau ingin istirahat. Namun, beliau ditegur oleh marbot masjid, “wahai syekh, apa yang Anda
lakukan di sini?”.
Marbot itu tidak tahu bahwa yang ditegur adalah Imam Ahmad ibn Hambal. Maklum waktu itu belum
ada foto, sehingga wajahnya jarang dikenal orang.
Beliau menjawab, “saya ini musafir, saya ingin istirahat, saya mau tidur”. Namun sang marbot
menanggapi Imam Ahmad ibn Hambal dengan kasar, bahkan didorong. Dan pintu masjid pun ditutup
rapat.
Akhirnya, Imam Ahmad ibn Hambal ingin tidur di teras masjid. Tiba-tiba sang marbot mendatanginya lagi
dengan marah-marah, sambil mengatakan, “syekh mau ngapain syekh?”.
Kemudian Imam Ahmad meninggalkan masjid tersebut. Langkah beliau terhenti ketika melihat penjual
roti yang sedang mengaduk adonannya.
Penjual itu tahu kejadian yang menimpa Imam Ahmad. Penjual itu merasa iba. Dari kejauhan penjual roti
itu memanggil Imam Ahmad, “Ya Syekh, sini. Silakan tidur di tempat saya, walaupun tempatnya kecil.”
Begitu Imam Ahmad duduk di belakang penjual roti, beliau melihat gelagat aneh. Si penjual tidak
berbicara ketika ia tidak diajak bicara. Saat tidak bicara penjual roti itu terus membuat adonan roti
sambil senantiasa membaca istighfar. Ketika menaruh garam, baca Astagfirullah. Ketika memecah telur,
baca istigfar. Ketika mengaduk gandum juga begitu. Sampai-sampai Imam Ahmad penasaran.
Karena sangat penasarannya, Imam Ahmad bertanya, “Mas sudah berapa lama Anda lakukan kebiasaan
ini?”. “Oh, sudah lama sekali Syekh, saya menjual roti sudah tiga puluh tahun.” Jawab penjual roti.
Lalu Imam Ahmad kembali bertanya, “apa efek yang Anda rasakan atas kebiasaan Anda?”. “Semua
keperluan saya pasti dikabulkan, kecuali satu keinginan saya belum dikabulkan”. Jawab penjual roti itu.
“Apa itu?”, tanya Imam Ahmad. “Saya ingin bertemu dengan Imam Ahmad ibn Hambal”. Jawab penjual
roti. Mendengar jawaban itu Imam Ahmad langsung takbir, Allahuakbar.[18/5 19.45] Ahmad Rifai:
Barokallohu liwalakum filquranil adzim, wanafaani waiyyakumbimaafiihi minal ayati wadzikrilhakim,
wataqobbalahu minniwaminkum tilawatahu innahu huwassamii’ul’alim.
(Duduk)
Khutbah Kedua
Ya ayyuhaladzi naamanu, taqullooha haqqa tuqaatih, walaa tamuutunna illa waantum muslimuun.
Alhamdulillahirobbil’alamin
Walhamdulillahirobbil’alamin.
Ibaadalloh, innalloha ya’muru bil’adli wal ihsaani waiitaaidzil qurbaa, wayanha ‘anilfahsyaaii walmunkar,
walbaghyi yaidzukum la’allakum tadzakkaruun