Anda di halaman 1dari 3

Ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam meganalisis kajian yang

dilakukan oleh Stefan Wild. Menilik sedikit ke belakang, Stefan Wild juga mengomentari
statement yang dikeluarkan oleh Christhop Luxenberg yang mengatakan bahwa adanya bahasa
Syro-Aramic yang diadopsi oleh al-Qur’an, menunjukkan bahwa al-Qur’an bukanlah firman
Tuhan yang sebenarnya. Sedangkan Stefan Wild berpendapat bahwa adanya kata Syro-Aramaic
tersebut tidak menggambarkan al-Qur’an sebagai sebuah entitas yang mengadopsi bahasa lain,
akan tetapi lebih condong dalam menggambarkan keadaaan sosial-geografis bangsa arab ketika
al-Qur’an diturunkan.1

Pemaparan di atas adalah salah satu bentuk komentar yang dilontarkan oleh Wild
terhadap para orientalis yang telah memberikan analisisnya terhadap al-Qur’an. Apabila kita lihat
jelas sekali bahwa Wild dalam memberikan statement sangat berhati-hati. Kajian yang suguhkan
oleh Wild adalah kajiannya terhadap konsep pewahyuan al-Qur’an. Ia berfokus pasa unsur n-z-l
yang kita ketahui berderivasi menjadi banyak makna. Namun begitu, kata yang berderivasi dari
n-z-l memiliki rung lingkup, perantara, waktu dan makna yang bervariasi.2

Sebelumnya, Wild menjelaskan derivasi pertama bahwa Allah tidak menjadi subyek atas
apa yang ada di dalamanya, khususnya pada ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan derivasi kedua
menunjukkan hasil dari sebuah proses. Kemudian berlanjut pada derivasi yang keempat
menunjukkan bahwa Allah memiliki kepedulian terhadap mahluknya.3

Konsep yang ditawarkan oleh Wild di sini memang terlihat meyakinkan, namun agaknya
konsep ini berbeda dengan apa yang digulirkan oleh sarjana muslim, seperti Muhammad Sahrur.
Ia mengatkaan bahwa tanzil atau bentuk derivasi kedua dari n-z-l adalah proses pemindahan
objek di luar kesadaran manusia, sedangkan inzal atau bentuk derivasi keempat memiliki makna
proses pemindahan materi di luar kesadaran manusia. Jelas sekali bahwa ada perbedaan antara
objek dan materi, objek berarti merujuk pada hal konkrit sedangkan materi lebih ke arah abstrak.

Konsep yang ditawarkan oleh Sahrur berfokus pada transformasi al-Qur’an dari
kalamullah menjadi kalam insan, yaitu nabi Muhammad. Dengan adanya proses transformasi ini,
dan ditambah dengan sifat ummi nabi Muhammad, hal ini menambah kemukjizatan yang ada

1
Moh. Achwan Baharuddin, “Konsep Pewahyuan Al-Qur’an Menurut Stefan Wild”, Suhuf, Vol. 8, No. 01, 2015,
166.
2
Ibid, 169.
3
Ibid, 169.
pada diri Muhammad dan umat Islam. Selain itu, al-Qur’an yang kaya akan bahasa menunjukkan
bahwa adanya kesinambungan dari zaman manusia pertama hingga saat ini.

Kembali kepada konsep pewahyuan yang digagas oleh Wild, ia lebih menekankan logika
multi-dimensi. Hal ini sebenarnya tidak jauh beda dengan apa yang diusung oleh Sahrur, akan
tetapi apa yang digagas oleh Wild terkesan bertele-tele dengan konsep deritativ-nya dan juga
Wild lebih condong dengan konsep pewahyuan yang diyakini oleh umat Islam. Sebagai
tambahan, para cendekia muslim meyakini bahwa pewahyuan al-Qur’an memiliki beberapa
dimensi, antara lain dimensi ilahiyah, dimensi ini adalah dimensi yang berisi proses transformasi
dari kalamullah kepada malaikat. Kemudian, setelah al-Qur’an di tanzil oleh Allah kepada kalam
malaikat, selanjutnya malaikat mentrasformasi kepada kalam insani atau bisa disebut dengan
inzal.

Lebih lanjut konsep yang ditawarkan oleh Wild tentang pewahyuan yang dibagi menjadi
tiga, yakni tanzil, inzal dan nuzul tidak ia katakan berhubungan secara langsung, namun
ketiganya saling teraplikasikan. Kemudian karena semakin populernya kajian asbab al-nuzul,
seolah menjadi dukungan dengan apa yang digagas oleh Wild.

Di awal pembahasan dijelaskan bahwa derivasi dari n-z-l juga memiliki rentang waktu
yang berbeda. Di sini Wild berspekulasi bahwa ia meliharnya dengan term Mekkah dan
Madinah. Namun, ia melihat bahwa hal tersebut tidaklah tepat, karena baik di Mekkah maupun
Madinah, nabi juga mengalami nuzul, tanzil dan inzal. Lebih lanjut, Wild juga mengatakan
bahwa tanzil di Madinah bersifat nasikh dan tanzil di Mekkah bersifar mansukh. Statement yang
dilontarkan oleh Wild ini dapat kita sanggah bahwasanya al-Qur’an diturunkan secara berangsur-
angsur dan melihat fenomena yang terjadi di masyarakat, karena sebab inilah akhirnya ada istilah
asbab al-nuzul dalam kajian pewahyuan al-Qur’an. Apabila digunakan pendapat yang Wild
gaungkan, maka seolah mengindikasikan bahwa wahyu yang turun di Mekkah bersifat orisinal
dan wahyu yang turun di Madinah bersifat adaptasi atau modifikasi.

Maka dari itu, kajian terhadap pewahyuan harus terbebas dari historisitas yang bersifat
diakronis.kajian yang digagas oleh Wild mencoba untuk menguatkan bahwa asumsi mengenai
asbab al-nuzul bukanlah sesuatu yang menentukan pewahyuan surat al-Qur’an. Dapat diartikan
bahwa asbab al-nuzul di dalam sebuah pewahyuan adalah sebuah penunjang dari luar, sedangkan
nuzul, tanzil dan inzal merupakan penunjang dari dalam, namun kesemuanya tersebut bukanlah
al-Qur’an.

Anda mungkin juga menyukai