Anda di halaman 1dari 19

PAPER

DAMPAK IMPLEMENTASI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (SVLK)


TERHADAP KEBERLANJUTAN HUTAN RAKYAT
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sertifikasi Kehutanan
Dosen Pengampu : Dr. Yayan Hendrayana , S.Hut, M.Si.

Disusun oleh :
ROMI HADAD RAMDANI
20210710008

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS KUNINGAN
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kesadaran masyarakat dunia terhadap kelestarian dan asal usul kayu menjadi tolak ukur
penting dalam perdagangan kayu, Illegal logging dan illegal trending telah mendorong
permintaan kayu dari negara negara produsen termasuk Indonesia. Dalam Peraturan Mentri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) NO.P95/Menhut-II/2014 tentang perubahan
atas Peraturan Mentri Kehutanan (Permenhut) NO.P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang
Izin atau pada Hutan Hak, dijelaskan bahwa Sistem Veriikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah
suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta
ketelusuran kayu melalui sertiikasi penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL),
sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK), dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP).
Sistem Veriikasi Legalitas Kayu diterapkan di Indonesia untuk memastikan agar semua
produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang
meyakinkan, terutama bagi konsumen luar negeri, sehingga unit manajemen hutan tidak
khawatir akan hasil kayunya, keabsahannya, Dengan dorongan Sertifikasi pengelolaan hutan
produksi lestari (SPHL) . Sistem SVLK tidak hanya dikenakan pada industri tetapi juga pada
hutan rakyat sebagai penghasil kayu rakyat dan Solusi untuk permasalahan kehutanan tidak
hanya dari aspek silvikultur tetapi juga sosiokultural bahkan aspek politik dan ekonomi.
Kegagalan atau keberhasilan suatu kebijakan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam
banyak dipangaruhi oleh aspek ekonomi politik kehutanan (Nurrochmat et al., 2012).
Implementasi SVLK telah dicanangkan secara mandatori yang berlaku bagi semua
skala usaha industri. Namun demikian banyak kendala yang ditemui di lapangan paska
kebijakan ini ditetapkan terutama untuk industri skala kecil (Gultom et al., 2014)
Konsekuensinya hutan rakyat hanya diterima sebagai suatu cara untuk memanfaatkan sumber-
sumber daya hutan guna meningkatkan pendapatan masyarakat semata-mata dan bukan sebagai
pendekatan yang layak dalam pengelolaan hutan berkelanjutan yang cakupannya lebih luas di
Indonesia.
PEMBAHASAN
1. SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (SVLK)

1.1 Sejarah Terbentuknya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)


Sejarah terbentuknya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) awal mulanya dari
Terbentuknya Peraturan Menteri Kehutanan yang menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan
No.: P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, dan
ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan
No.: P.6/VI-Set/2009 dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.: P.02/IV-
BPPHH/2010 tanggal 10 Februari 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Sistem.
SVLK mulai berlaku pada Juni 2009 Sejak Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Menteri
Kehutanan No.: P.38/Menhut-II/2009 untuk memastikan bahwa semua produk kayu yang
diperdagangkan dan beredar di pasar memiliki status legalitas yang bisa dipertanggung
jawabkan. Itu terjadi ketika Menteri Kehutanan pada saat itu, MS Kaban, menyetujui dan
mengadopsi usulan para pihak menjadi mandatory Standar dan Pedoman Pelaksanaan
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK).
Dalam perjalanannya SVLK terus disempurnakan dengan revisi Permenhut No.:
P.38/Menhut-II/2009 menjadi Permenhut No. P.68/Menhut-II/2011 dan ditambah revisi
Permenhut No.: P.45/Menhut-II/2012 serta Permenhut No.: P.42/Menhut-II/2013. Tuntutan
tentang legalitas produk dan bahan kayu SVLK hadir sebagai sistem yang bersifat wajib untuk
memastikan dipenuhinya semua peraturan yang terkait dengan peredaran dan perdagangan
kayu di Indonesia.
Sementara untuk pasar domestik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah
bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Publik dan BAPPENAS yang sedang
menyiapkan Green Public Procurement dimana pengadaan barang/jasa pemerintah harus
menggunakan kayu/produk kayu yang telah memiliki S-LK. Seiring dengan implementasi
SVLK, keberadaan Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) online yang memantau secara real
time perkembangan ekspor produk industri kehutanan dari Indonesia ke berbagai pasar ekspor
di dunia dan memberikan informasi perkembangan implementasi SVLK sangat membantu para
pihak untuk melihat kinerja pemerintah Indonesia
1.2 Pengertian Sertifikasi Legalitas Kayu
Sertifikasi Legalitas Kayu (SLK) adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu atau
produk kayu dengan melakukan verifikasi keabsahan dan ketelusuran kayu serta pemenuhan
ketaatan terhadap peraturan yang berlaku. Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) adalah surat
keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemilik hutan hak yang menyatakan
bahwa pemegang izin atau pemilik hutan hak telah mengikuti standard legalitas kayu (legal
compliance) dalam memperoleh hasil hutan kayu (Permenhut No.: P.38/Menhut-II/2009 Pasal
1 Ayat 12).
Definisi lain mengatakan bahwa Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) atau TLAS
merupakan sistem verifikasi untuk memastikan pelacakan yang disusun secara multis take
holder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di
Indonesia. Sistem verifikasi legalitas kayu dikembangkan untuk mendorong implementasi
peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal
di Indonesia seperti yang di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.38/Menhut –
II/2009 Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak, Standard dan Pedoman
Penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Peraturan
menteri kehutanan ini juga dilakukan perubahan dengan terbitnya Peraturan Menteri
Kehutanan No.: P.68/Menhut-II/2011 Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan No.:
P.38/Menhut – II/2009 Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak, Standard dan
Pedoman Penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.
Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang
izin atau pemilik hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin atau pemilik hutan hak
telah mengikuti standard legalitas kayu (legal compliance) dalam memperoleh hasil hutan kayu
(Permenhut No.: P.38/Menhut-II/2009 Pasal 1 Ayat 12) Jadi SLK akan diperoleh oleh
pemegang izin atau pemilik hutan hak, jika telah memenuhi SVLK yang dinilai melalui proses
verifikasi. Prinsip dari VLK adalah menguji keterlacakan sejak dari produk kayu mundur ke
sumber/asal-usul kayu dan sekaligus menguji pemenuhan kewajiban dan ketaatan terhadap
peraturan yang berlaku yang mengalur secara konsisten. Karena sertifikat legalitas kayu
bersifat mandatory, maka semua perusahaan kehutanan di Indonesia wajib mengikuti SVLK..
1.3 Lingkup SVLK
Semua kayu dari hutan negara atau hutan hak wajib menjalani verifikasi legalitas.
Kewajiban ini menjamin asal usul sumber bahan baku. Begitu pula di industri (primer maupun
sekunder), kayu bahan bakunya harus menjalani verifikasi legalitas sampai pada saat menjadi
produk kayu. Produk kayu untuk ekspor memerlukan Dokumen V-Legal. Dokumen V
bertujuan untuk menjamin bahwa bahan baku kayu yang Pengantar Sertifikasi Kehutanan
digunakan untuk membuat produk kayu tersebut berasal dari sumber legal. Eksportir,
bekerjasama dengan lembaga verifikasi yang menerbitkan sertifikasi legalitas kayu, mengurus
penerbitan Dokumen V-Legal. Caranya, dengan mengisi permohonan yang formulirnya bisa
diunduh melalui internet di situs web Unit Pengelola Sistem Informasi Legalitas Kayu di
Kementerian Kehutanan.
Proses pemeriksaan SVLK meliputi pemeriksaan keabsahan asal-usul kayu dari awal
hingga akhir. Itu mulai dari pemeriksaan izin usaha pemanfaatan, tanda-tanda identitas pada
kayu dan dokumen yang menyertai kayu dari proses penebangan, pengangkutan dari hutan ke
tempat produksi kayu, proses pengolahan hingga proses pengepakan dan pengapalan. SVLK
efektif diterapkan di seluruh tipe pengelolaan hutan di Indonesia: hutan alam produksi, hutan
tanaman, hutan rakyat (hutan milik) maupun hutan adat, baik yang berbasis unit manajemen
maupun yang tak berbasis unit manajemen (pemegang izin pemanfaatan kayu). Sesuai dengan
Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.: P.6/VI-Set/2009 tentang Standar
dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas
Kayu maka ruang lingkup standar sebagai berikut:
1. Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari pada
Hutan Negara (IUPHHK-HA/HT/HTI)
2. Standar dan Pedoman Verifikasi Legalitas Kayu dari Hutan Negara (IUPHHK-
HA/HPH, IUPHHK-HTI/HPHTI, IUPHHK RE)
3. Standar dan Pedoman Verifikasi Legalitas Kayu dari Hutan Negara yang Dikelola
oleh Masyarakat (IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm)
4. Standar dan Pedoman Verifikasi Legalitas Kayu Pada IUIPHHK dan IUI Lanjutan
5. Standar dan Pedoman Verifikasi Legalitas Kayu dari Hutan Hak
6. Standar dan Pedoman Verifikasi Legalitas Kayu Bagi Pemegang Izin Pemanfaatan
Kayu (IPK)
1.4 Manfaat Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu
Manfaat yang dapat diperoleh dari SVLK adalah sebagai berikut :
1. SVLK memberi kepastian bagi pasar di Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara
tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi oleh Indonesia merupakan
produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal.
2. Memperbaiki administrasi tata usaha kayu hutan secara efektif.
3. Menghilangkan ekonomi biaya tinggi.
4. Pembinaan secara intensif oleh pemerintah.
5. Peluang untuk terbebas dari pemeriksaan-pemeriksaan yang menimbulkan ekonomi
biaya tinggi
Sedangkan Tujuan dari adanya SVLK adalah :
1. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil sebagai salah
satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar.
2. Memperbaiki tata kepemerintahan (governance) kehutanan Indonesia dan untuk
meningkatkan daya saing produk kehutanan Indonesia.
3. Menjadi satu-satunya sistem legalitas untuk kayu yang berlaku di Indonesia.
4. Menghilangkan wilayah abu-abu yang terbukti telah memunculkan ekonomi biaya
tinggi dan mendorong munculnya pembalakan liar
5. Mereduksi praktek pembalakan liar.
Jadi nilai penting SVLK ini adalah:
1. Image Indonesia membaik
2. Produk kayu Indonesia diakui dan diterima di pasar (internasional)
3. Perbaikan forestry governance (di pemerintah, swasta, masyarakat)
4. Tercapainya kelestarian hutan Indonesia.
2. HUTAN RAKYAT
2.1. Sejarah terbentuknya Hutan Rakyat
Asal-muasal dan evolusi hutan rakyat di Indonesia Sejak 1978, ketika diselenggarakan
Konggres Kehutanan Sedunia dengan tema ’Hutan untuk Rakyat’ (Forest for People), pelan
tapi pasti mulai terjadi pergeseran perspektif tentang peran-peran masyarakat sebagai
penanggungjawab pengelolaan hutan di negara-negara sedang berkembang. Istilah hutan
rakyat muncul dalam perbendaharaan kata di bidang kehutanan di Indonesia yakni dalam satu
artikel yang diterbitkan oleh FAO pada tahun 1978, berjudul “ Kehutanan untuk Pembangunan
Masyarakat Setempat” FAO mendefinisikan hutan rakyat dalam pengertian yang sangat luas
sebagai situasi tertentu dimana aktitivitas kehutanan melibatkan rakyat setempat sebagai satu
kesatuan. Dia meliputi cakupan, hampir semua kelompok masyarakat sipil di Indonesia saat ini
menggunakan istilah Inggris Community-Based Natural Resource Management (CBNRM) and
Community Forestry (Komunitas Kehutanan) dalam membahas kontrol berkelanjutan atas
sumber-sumber daya alam termasuk hutan oleh masyarakat setempat. Sementara itu,
masyarakat setempat, yang telah dibanjiri oleh tambahan beragam kata baru dari pemerintah
dan LSM, terus saja mengacu pada istilah sesuai dengan kenyataan yang ada yang mereka
miliki, yaitu tembawang, wono, alas, hutan talon, dan sebagainya
2.2. Pengertian Hutan Rakyat
Begitu banyak istilah dan penafsiran tentang pengelolaan hutan oleh rakyat setempat
ditemukan di Indonesia, dan pengertian tentang istilah dipahami berbeda-beda oleh para pakar,
LSM-LSM dan pejabat pemerintah. Kadang-kadang hutan rakyat digunakan secara bergantian
dengan Perhutanan Sosial (Kehutanan Sosial). Kadang-kadang hutan rakyat merefleksikan
tingkat keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam, yakni
tercermin dalam istilah-istilah Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat, Pengelolaan Hutan Kolaboratif, dan Pengelolaan Hutan Partisipatif.
Beberapa definisi yang muncul lebih menempatkan rakyat sebagai obyek dari pengelolaan
hutan kemasyarakatan, Pendekatan ini menggambarkan bahwa Program Kehutanan Sosial
pada awal 1980-an, ketika PERUM PERHUTANI memperkenalkan apa yang disebut Sistem
Taungya (Sistem Tumpangsari) dan mendefinisikan Kehutanan Sosial sebagai suatu ”sistem
dimana partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mempertimbangkan penanaman
hutan kembali. Tujuan dari Kehutanan Sosial adalah untuk memperbaiki fungsi hutan melalui
keberhasilan penghijauan dan pada saat bersamaan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial
warga masyarakat setempat”. Kehutanan sosial menjadi satu program utama PERUM
PERHUTANI. Dengan dukungan Ford Foundation, program hutan kemasyarakatan
PERHUTANI kemudian mengadopsi pendekatan-pendekatan partisipatif seperti konsep
penilain pedesaan partisipatif.
Berikut ini adalah beberapa pemahaman umum tentang beragam istilah yang menjelaskan
keterlibatatan masyarakat dalam bidang kehutanan di Indonesia yang dikemukakan:
(1) Kehutanan Sosial (Social Forestry) Kehutanan Sosial merupakan suatu sistem
pengelolaan hutan yang melibatkan rakyat sebagai pengelola hutan sebagai bagian dari
program pengembangan masyarakat. Rakyat atau masyarakat tidak memiliki kontrol atas
sumber daya—pemegang hak pengelolaan hutan tetap berada pada pembuat kebijakan tertinggi
dan terutama. Partisipasi rakyat hanya sebatas amat minimal dan biasanya tujuan dari skema
Kehutanan Sosial adalah untuk mengurangi konflik antara masyarakat dengan unit-unit
pengelola, meningkatkan kontribusi pengelolaan hutan bagi pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat setempat, dan melindungi sumberdaya hutan dari aktivitas-aktivitas ilegal.
(2) Pengelolaan Hutan Bersama (Co-Management of Forestry) Pengelolaan bersama
merupakan satu pendekatan yang merangkum satu kemitraan yang dengannya dua atau lebih
pihak yang berkepentingan secara bersama-sama bermusyawarah, menyepakati, menjamin dan
mengimplementasikan peran dan tanggung jawabnya dalam fungsi-fungsi pengelolaan,
memperoleh manfaat dan bertanggungjawab terhadap kawasan-kawasan, areal atau tatanan
tertentu dari sumber-sumber daya alam.. Ukuran dimana cakupan kerja yang disetujui bisa jadi
seluas kawasan daerah aliran sungai (watershed) atau sesempit sepetak hutan.
(3) Pengelolaan Hutan Kolaboratif Pengelolaan Hutan Kolaboratif bahkan merupakan
pendekatan yang lebih komprehensif dalam pengelolaan hutan bersama-sama antara para
pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta, masyarakat, LSM dan lainnya). Para
pemangku kepentingan membangun konsensus/ persetujuan berkaitan dengan peran-peran,
hak-hak dan tanggung jawab dalam mengelola sumber-sumber daya alam, misalnya hutan.
Kesepakatan-kesepakatan mencakup status batas-batas kawasan hutan, macam ragam hasil
hutan yang dipanen, pengakuan atas peran-peran, hak-hak dan tanggung-jawab, prosedur-
prosedur pengambilan keputusan, mekanisme penyelesaian sengketa, dan perencanaan
manajemen yang komprehensif.
(4) Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) PHBM merupakan satu pendekatan
pengelolaan hutan dimana kontrol dipegang oleh masyarakat setempat. Peran-peran pihak lain,
tanggung jawab, hak-hak dan pemanfaatan-pemanfaatannya ditetapkan oleh masyarakat
setempat. Para petani sebagai pembuat keputusanpuncak, memiliki kontrol sepenuhnya atas
sumber daya hutan-hutan mereka, dibina oleh asosiasi-asosiasi di tingkat dusun atau yang lebih
tinggi. Pihak-pihak lain dilibatkan sebagai mitra pendukung.
(5) Hutan Rakyat, Hutan rakyat dalam arti yang luas meliputi jaminan atas akses dan
kontrol terhadap sumber daya hutan untuk penghidupan masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan hutan dimana mereka tergantung terhadapnya secara ekonomi, sosial, kultural dan
spiritual. Hutan-hutan selayaknya dikelola untuk menjamin keamanan pemanfaatan dari
generasi ke generasi berikutnya dan meningkatkan segala peluang kelestariannya. Hutan rakyat
didasarkan pada tiga prinsip,
1. Hak-hak dan tanggung-jawab atas sumber daya hutan harus jelas, aman dan
permanen
2. Hutan-hutan harus dikelola secara wajar sehingga terjadi alir manfaat dan nilai
tambah
3. Sumber daya hutan harus diwariskan dalam kondisi yang baik guna menjamin
ketersediaannya di masa-masa yang akan datang
Gilmour dan Fisher menegaskan bahwa hutan rakyat memiliki sekurang-kurangnya tiga
keunggulan yang diakui secara luas, ialah:
1. Pengakuan bahwa penduduk setempat mampu memainkan peran penting/kunci dalam
pengelolaan hutan
2. Pengakuan bahwa mereka memiliki hak yang sah untuk diikutsertakan
3. Pengakuan bahwa beberapa taraf pertisipasi merupakan ciri-ciri khas dari hutan rakyat
3. DAMPAK SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (SVLK) TERHADAP
KEBERLANJUTAN HUTAN RAKYAT
Peningkatan bermacam-macam kebijakan yang berkaitan dengan hutan rakyat merupakan
satu indikasi bahwa perjuangan antara kelompok-kelompok masyarakat sipil, yang mendukung
dialihkannya pertimbangan kebutuhan-kebutuhan pokok dari rakyat yang amat tergantung
pada hutan, atau pengakuan atas hak-hak masyarakat setempat terhadap kawasan-kawasan
hutan.
Beberapa LSM mendasarkan kritik mereka terhadap Pemerintah Indonesia dalam hal
dominasi negara, sentralisasi pengelolaan hutan dan penolakan negara untuk mengakui hak-
hak masyarakat lokal (adat) sebagai faktor penyebab deforestasi dan degradasi hutan di
Indonesia. Kelompok masyarakat sipil dan para akademisi pendukung hutan rakyat,
bagaimanapun, mengakui bahwa hutan rakyat bukan juga merupakan obat yang mampu
menyelesaikan seluruh persoalan terkait dengan hutan-hutan Indonesia, dan berargumen bahwa
hutan rakyat harus disertai dengan demokratisasi, desentralisasi kekuasaan dan pengambilan
keputusan, sebagaimana patut pula adanya pemerintahan yang baik.
Dibentuknya Peraturan Pemerintah PP No. 6 / 2007, sebagai perbaikan dari Peraturan
Pemerintah No.34/2002 dan No.1/2004, pada akhirnya menuntun jalan untuk penerapan hutan
rakyat yang lebih luas di Indonesia. Pengelolaan hutan kemasyarakatan saat ini telah
dipraktekkan dengan empat cara: (1) Hutan Desa (2) Kemitraan (3) Hutan Tanaman Rakyat (4)
Hutan Kemasyarakatan Dalam Hutan Desa, hak-hak pengelolaan secara permanen diberikan
oleh Menteri Kehutanan/Pemerintah Daerah kepada lembaga desa.
Menurut PP No.6/2007, Unit Pengelolaan Hutan didirikan di wilayah pemerintah daerah
untuk mengelola kawasan hutan tertentu yang terletak di satu atau lebih wilayah administratif
(kecamatan). Tugas pemerintah termasuk memberdayakan masyarakat dengan cara:
1. Menetapkan status hukum
2. Merangkaikan/menyelaraskan kepentingan-kepentingan dari sektor dan pelaku
yang berbeda-beda
3. Memandu skema bagi hasil produksi/pemanfaatan
4. Bimbingan teknis
5. Pengembangan SDM
6. Penyediaan informasi akses pasar
7. Mengeluarkan ijin pemanfaatan hutan
Sertifikasi hutan dipahami sebagai “satu cara untuk menerapkan secara efektif komitmen
untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, dan komitmen untuk Pembangunan Berkelanjutan.
LEI menjadi organisasi berbasis konstituen, yang di dalamnya terdiri atas LSM-LSM,
masyarakat adat, akademisi, dan wakil-wakil dari sektor swasta. Transformasi ini
mengukuhkan tujuan kerja LEI untuk membangun dan memandu sistem sertifikasi nasional
dengan mandat politik yang kuat.
Menurut Dye (2008) dan Anderson (2003) terdapat sejumlah dampak kebijakan yang perlu
diperhatikan yakni: (1) dampak kebijakan terhadap kelompok target; (2) dampak kebijakan
terhadap situasi atau kelompok lain selain situasi atau kelompok target (efek eksternalitas atau
spillover); (3) dampak kebijakan terhadap kondisi sekarang dan kondisi masa yang akan
datang; dan (4) biaya tidak langsung kebijakan, yang mencakup kehilangan peluang dari
kegiatan-kegiatan.
Kebijakan SVLK dapat memberikan dampak Positif dan Negatif bagi industri maupun
pengelola hutan rakyat, dan ini merupakan acuan pemerintah dan yang menjalankan untuk
mempertimbangkan kebijakannya,antara lain:
1. Industri Sedang dan Besar (Medium & Big Scale Indusytry)
Dampak Positif :

• Mendorong pelaku usaha untuk tertib izin usaha dan penatausahaan hasil hutan
• Mendorong untuk tertib manajemen, sehingga dapat evaluasi kinerja industri
• Syarat supaya tetap bisa ekspor
Dampak Negatif :

• Belum memberikan nilai tambah yang signiikan


• Tambahan biaya (sertiikasi) terhadap biaya produksi
• Belum ada peningkatan akses pasar
• Kebijakan SVLK yang dinamis, membuat iklim usaha semakin tidak pasti
2. Industri Kecil dan Mikro (Small & Micro Scale Industry)
Dampak Positif :

• Mendorong pelaku usaha untuk tertib izin usaha dan penatausahaan hasil hutan
• Mendorong untuk tertib manajemen, sehingga dapat evaluasi kinerja industri
• Syarat supaya tetap bisa ekspor
Dampak Negatif:

• Belum memberikan harga output yang tinggi


• Biaya sertiikasi besar, mensyaratkan berkelompok memberi dampak tanggung renteng
padahal tiap industri memiliki tujuan sendiri
• Administrasi memberatkan apalagi SVLK tidak berdampak terhadap eksistensi industri
khususnya pasar lokal
• Biaya penilikan masih memberatkan apalagi apalagi Lembaga Penilai dan Veriikasi
Independen (LP & VI) mayoritas berada di Jakarta/ibukota propinsi. Jumlah LP & VI
terdekat masih kurang utamanya pada daerah penghasil kayu rakyat dan industri
• Syarat administrasi yang rumit memicu adanya celah tambahan biaya transaksi
• Adanya celah negosiasi auditor dan industri akan membuat kualitas sertiikasi kurang
baik
• Penambahan biaya untuk manajemen / tenaga industri pengurusan syarat SVLK
3. Petani Hutan Rakyat (Private Forest Farmers)
Dampak Positif : Legalisasi hutan rakyat
Dampak Negatif :

• Petani merasa belum memerlukan SVLK, yang terpenting adalah bagaimana memenuhi
kebutuhan sehari-hari
• Petani masih menganut sistem tebang butuh untuk mencukupi perekonomian
• Biaya sertiikasi besar, mensyaratkan petani berkelompok memberi dampak tanggung
renteng yang menyulitkan
• Belum meningkatkan partisipasi dalam pelestarian hutan
Dampak positif yang dirasakan oleh pihak pengusaha industri kecil, sedang, maupun
besar adalah memiliki “Assessment” untuk syarat ekspor dan manajemen usaha lebih tertib,
sehingga dapat mengevaluasi kinerja industri demi eksistensi industri itu sendiri. Sedangkan
dampak yang kurang menguntungkan pengusaha sedang dan besar adalah belum ada
penambahan akses pasar dan peningkatan harga output karena menggunakan kayu
bersertiikasi. Selain itu kebijakan yang mudah berubah, dalam waktu yang singkat membuat
iklim usaha semakin tidak pasti.
Bagi pengusaha kecil dan mikro, pengurangan biaya assessment untuk SVLK
berdasarkan PermenLHK Nomor P.96/Menhut-II/2014 perlu disertai dengan persyaratan
kelompok yang berdampak secara tanggung renteng bagi semua anggota kelompok masih
menjadi kendala. Melihat pengalaman dari negara lain, persepsi beberapa pelaku usaha di
Amerika bahwa pertimbangan kompleksitas dan biaya sertiikasi menjadi poin penting untuk
tetap mempertahankan keuntungan. Mereka lebih peduli bagaimana memperoleh keuntungan
kompetitif dan memperluas akses pasar daripada sertiikasi (Montague, 2011)
Di sisi lain Pratiwi et al. (2015 ) menyatakan bahwa SVLK memiliki persyaratan
administrasi yang lebih sederhana dan murah dibanding Forest Stewardship Council (FSC).
Melalui skema FSC mendapatkan jaminan harga produk yang lebih tinggi dari konsumen.
Upaya untuk meraih keberhasilan program SVLK diperlukan dukungan Pemda khususnya
untuk melakukan sosialisasi tentang masalah perizinan bagi syarat SVLK dan melakukan
pendampingan di tingkat petani. Kebijakan SVLK berlaku baik untuk peredaran barang kayu
dalam negeri maupun ke luar negeri. Namun, sejauh ini SVLK tidak berdampak kepada barang
kayu untuk permintaan lokal karena konsumen tidak mensyaratkan serifikasi.
Selama ini petani merasa belum memerlukan SVLK, yang terpenting adalah bagaimana
memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya. Penambahan biaya sertifikasi dan rumitnya
administrasi menjadi beban yang tidak ringan, sementara tidak ada peningkatan harga kayu
rakyat (Nurrochmat et al., 2016). Pemerintah perlu memberikan sosialisasi lebih intensif dan
pendampingan agar petani dan usaha kecil dapat mengadopsi kebijakan dengan lebih baik.
Koordinasi pusat ke daerah selayaknya ditingkatkan, mengingat implementasi
kebijakan SVLK tidak hanya berdampak terhadap target yaitu industri dan hutan rakyat, tetapi
juga memberikan pengaruh kepada pemerintah daerah, yaitu :
1. Kebijakan pusat yang mudah berubah berdampak terhadap kurang adanya kepastian
dalam pelaksanaan SVLK
2. Pemerintah daerah (Pemda) kabupaten/ kota kurang terlibat terkait kewenangan
terhadap daerah (UU Nomor 23 tahun 2014), sementara di lain pihak sosialisasi masih
terbatas dilakukan.
3. Monitoring industri yang telah sertiikasi SVLK belum terealisasi karena Lembaga
Penilai dan Veriikasi Indenpen (LP & VI ) tidak berkoordinasi dengan Pemda
(keperluan data base), apakah suatu industri lulus veriikasi atau tidak. Sehingga Pemda
belum dapat memantau kegitan SLK di lapangan. Koordinasi antara lembaga veriikasi
dan Pemda perlu dilakukan untuk memantau peredaran kayu.
4. Tumpang tindih kebijakan pemeriksaan peredaran kayu Surat Keterangan Asal Usul
(SKAU) dan SVLK Secara khusus kajian ini juga melihat bagaimana dampak
penambahan biaya sertiikasi pada industri mikro, kecil, sedang dan besar yang
didasarkan klasiikasi industri atas jumlah tenaga kerja (berdasarkan klasiikasi Badan
Pusat Statistik/BPS) terhadap biaya input industri.
Pelaksanaan SVLK memberi dampak baik kepada industri sedang besar, kecil dan
mikro. Industri sedang dan besar kayu yang menjadi sample meliputi: industri pengergajian
kayu, industri pengawetan kayu, industri kayu lapis, industri kayu lapis laminasi, industri
veneer, industri barang bangunan kayu, industri kerajinan dan ukiran kayu serta industri mebel
kayu di Indonesia.Penambahan biaya sertiikasi pada industri sedang besar (sesuai PermenLHK
Nomor P.96/Menhut-II/2014) memberikan dampak penambahan biaya kurang lebih 3% dari
keseluruhan biaya input.
Keberadaan SVLK belum memberikan dampak berupa harga output yang lebih tinggi
dan belum berpengaruh terhadap kelestarian hutan rakyat. Pemasalahan hutan rakyat masih
mendasar menganut sistem tebang butuh untuk menyokong kehidupan sehari-hari. Hal yang
senada juga ditemukan pada kelompok tani hutan rakyat di Jawa Tengah bahwa dengan
masyarakat merasa tidak diuntungkan dengan adanya SVLK (Erbaugh et al., 2016).
Keberadaan SVLK juga tidak dapat menjawab kebutuhan mereka. Secara ekonomi, sertiikasi
SVLK untuk hutan rakyat adalah logika yang aneh dan bisa mengurangi luasan hutan rakyat di
pedesaan (Nurrochmat et al., 2014) Di sisi lain bagi industri kecil dan mikro, adanya beban
biaya sertiikasi SVLK tanpa memperoleh premium price (dari konsumen) berpotensi membuat
industri tutup dan menjadi konsekuensi negatif lebih lanjut bagi petani. Tidak hanya di
Indonesia, bahkan di Rusia pun, sertiikasi hutan belum memberikan manfaat yang positif bagi
masyarakat dan industri kecil dan menengah.
Sertifikasi telah mengakibatkan perusahan kecil dan menengah tutup dan masyarakat
lokal kehilangan akses untuk kayu gergajian serta harga kayu bakar menjadi meningkat
(Tysiachniouk & McDermott, 2015). Sebelumnya Lesniewska & McDermott (2014)
menyatakan bahwa penerapan kebijakan yang sama antara industri berskala ekspor dengan
industri kecil, justru akan membatasi partisipasi masyarakat sipil dan menciptakan hambatan
pasar (barrier) yang tidak proporsional bagi produsen lokal yang berskala kecil. Tujuan
pemerintah Indonesia untuk membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel dan eisien
sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar dan peningkatan daya saing
produk kehutanan merupakan awal yang baik. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut akan
tercapai apabila sertiikasi diberlakukan secara adil berdasarkan skala usaha industri dan pasar-
pasarnya.
KESIMPULAN
Terdapat disharmoni antara kebijakan yang dikeluarkan Kementerian LHK dan
Kementerian Perdagangan, hal ini diduga merupakan penyebab hambatan dalam implementasi
SVLK. Kebijakan SVLK, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah (Kementerian LHK maupun
Kementerian Perdagangan) menunjukkan perubahan yang cepat, sementara pengguna
kebijakan (industri dan hutan rakyat) tidak dapat mengikuti secara cepat perubahan tersebut
dalam penerapan SVLK di lapangan. Perubahan kebijakan yang cepat menunjukkan adanya
permasalahan sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan yaitu saat proses formulasi
kebijakan maupun tahap adaptasi kebijakan yang disertai dengan pendampingan. Regulasi
terkait SVLK umumnya masih parsial dan tidak terintegrasi, dimana regulasi yang dikeluarkan
oleh Kementerian LHK lebih difokuskan pada pengelolaan hutan dan berusaha mengurangi
hambatan untuk industri kecil baik segi biaya maupun teknis.
Belum banyak dampak positif yang dirasakan oleh industri maupun petani hutan rakyat
setelah pelaksanaan SVLK. Pemberlakuan SVLK membuka akses ekspor dan mendorong
pelaku usaha untuk tertib usaha, tetapi SVLK belum mampu menjadi insentif pasar bagi
pemilik SVLK tersebut. SVLK belum mampu memberikan peningkatan harga output
(premium price). Bagi industri kecil/mikro (syarat kelompok dan dampak tanggung renteng
masih memberatkan), SVLK belum memberikan akses pasar yang baru, administrasi
memberatkan, apalagi kepemilikan sertifikat SVLK juga tidak berdampak terhadap eksistensi
industri khususnya pasar lokal, ineisiensi biaya penilikan karena Lembaga Penilai dan
Veriikasi Independen (LPVI) mayoritas berada di Jakarta/ibukota propinsi, dan syarat
administrasi yang rumit. Petani merasa belum memerlukan SVLK, yang terpenting adalah
bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena biaya sertiikasi yang cukup besar bagi
petani, maka petani disyaratkan untuk berkelompok dalam mengajukan sertiikasi yang
memiliki dampak tanggung renteng bagi anggota kelompok taninya.
Secara umum SVLK juga belum dapat meningkatkan partisipasi dalam pelestarian
hutan. Berdasarkan fakta pada tingkat kelompok tani, kebijakan SVLK pada hutan rakyat dan
perdagangan kayu di tingkat lokal belum efektif. Penambahan biaya sertiikasi terhadap biaya
input tidak memberatkan bagi industri sedang, besar, dan kecil, tetapi memberikan dampak
yang memberatkan bagi industri mikro. Biaya lain yang lebih memberatkan adalah biaya untuk
memenuhi persyaratan SVLK yaitu segala macam perizinan industri. Kesulitan utama IKM
belum sepenuhnya terselesaikan dari segi modal usaha, pemasaran, dan kesulitan bahan baku,
sehingga implementasi SVLK di tingkat yang paling rendah masih menemui hambatan.
Pembentukan asosiasi atau koperasi untuk industri kecil dipandang sebagai salah satu solusi
yang baik dari sisi ekonomi maupun kelembagaan.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander Hinrichs, D. R. (2008). SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA. JAKARTA, INDONESIA:


ISBN 978-979-18-5951-6.

Elvida Yosei Suryandari, D. D. (2015). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 14 No.1,
2017 : 19-37. DAMPAK IMPLEMENTASI SERTIFIKASI VERIFIKASI LEGALITAS KAYU TERHADAP
KEBERLANJUTAN INDUSTRI DAN HUTAN RAKYAT (Impacts of Timber Legality Veriication
System Implementation on the Sustainability of Timber Industry and Private Forest)

Krystof Obidzinski, A. D. (2015). Verifikasi Legalitas Kayu di Indonesia dan Usaha Kehutanan Skala
Kecil. Jakarta: Program Penelitian CGIAR pada Hutan, Pohon dan Wanatani (CRP-FTA), l
(EuropeAid/ENV/2010-242904/TPS).

Librianna Arshanti, ,. H. (2016). Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 14. MASALAH DAN
KEBIJAKAN SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI: PENERAPAN
ADVOCACY HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI: PENERAPAN ADVOCACY (Policy and Issues of
Sustainable Natural Forest Management Certification:Implementation of Advocacy Coalition
Fr, p-ISSN 0216-0897 .

MARYUDI, A. (2007). Jurnal Ilmu Kehutanan. SERTIFIKAT LESTARI PT. DIAMOND RAY: ASET ATAU
BEBAN? , Volume I No. 1.

Siti Latifah, R. H. (2016). Pengantar Sertifikasi Kehutanan. Medan: Program Studi Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara - Multi-Stakeholder Forestry Programme 3 (MFP3).

Anda mungkin juga menyukai