Anda di halaman 1dari 18

LEMBAGA SERTIFIKASI LEGALITAS KAYU

HUTAN RAKYAT DI INDONESIA


(Tugas Pengelolaan Hutan Rakyat)

Oleh
Kelompok 3

Ezra Zeilika 1614151002


Agung Yoga Pangestu 1614151044
Fansuri Fikri Haikal 1614151050
Fito Apriandana 1614151051

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
1.1 SKEMA SVLK (SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU)

Sertifikasi legalitas kayu di Indonesia didasarkan pada Peraturan Menteri


Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 jo PermenLHK No P.95/Menhut-II/2014
tentang tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari dan Verfikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada
Hutan Hak dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor
P.14/VI-BPPHH/2014 Jo. Perdirjen BUK No. P.1/VI-BPPHH/2015.

Tujuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu adalah untuk membangun suatu alat
verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil sebagai salah satu upaya
mengatasi persoalan pembalakan liar. Hasil verifikasi Legalitas Kayu merupakan
jaminan keabsahan kayu yang menunjukkan bahwa produk yang diperdagangkan
berasal dari sumber yang sah.

Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang
disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang
beredar dan diperdagangkan di Indonesia.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dikembangkan untuk mendorong


implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan
peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia.

Sistem verifikasi legalitas kayu diterapkan di Indonesia untuk memastikan agar


semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki
status legalitas yang meyakinkan. Konsumen di luar negeri pun tidak perlu lagi
meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Unit manajemen hutan
tidak khawatir hasil kayunya diragukan keabsahannya. Industri berbahan kayu
yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah
meyakinkan para pembelinya di luar negeri.
Komitmen Pemerintah dalam memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu
illegal. Perwujudan good forest governance menuju pengelolaan hutan lestari.
Permintaan atas jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikasi dari pasar
internasional, khususnya dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Australia.
Sebagai bentuk “National Insentive” untuk mengantisipasi semakin maraknya
permintaan skema sertifikasi legalitas kayu dari negara asing, seperti skema FSC,
PEFC, dsb.
Manfaat SVLK:
1. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil
sebagai salah satu upaya megatasi persoalan pembalakan liar.
2. SVLK memberi kepastian bagi pasar di Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-
negara tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi oleh Indonesia
merupakan produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal.
3. Memperbaiki administrasi tata usaha kayu hutan secara efektif.
4. Menjadi satu-satunya sistem legalitas untuk kayu yang berlaku di Indonesia
5. Menghilangkan ekonomi biaya tinggi.
6. Peluang untuk terbebas dari pemeriksaan-pemeriksaan yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi.

Tujuan SVLK

1. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil
sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar.
2. Memperbaiki tata kepemerintahan (governance) kehutanan Indonesia dan
untuk meningkatkan daya saing produk kehutanan Indonesia.
3. Meningkatkan daya saing produk perkayuan Indonesia
4. Mereduksi praktek illegal logging dan illegal trading
5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Prinsip SVLK
1. Tata Kelola Kehutanan yang baik (Governance)
2. Keterwakilan (Representatif)
3. Transparansi/keterbukaan (Credibility)

Mulai diberlakukannya SVLK


SVLK mulai berlaku sejak 1 September 2009.

Pelaku utama SVLK


1. Kementerian Kehutanan sebagai pembuat kebijakan, fungsi pembinaan,
menetapkan LP-PHPL atau LV-LK, unit pengelola informasi VLK
2. Komite Akreditasi Nasional, melakukan akreditasi terhadap LP-PHPL dan
LV-LK
3. LP-PHPL & LV-LK, melakukan penilaian kinerja PHPL dan/atau melakukan
verifikasi legalitas kayu berdasarkan sistem dan standar yang telah ditetapkan
pemerintah
4. Auditee (Unit Managemen), pemegang izin atau pada hutan hak yang
berkewajiban memiliki sertifikat PHPL (S-PHPL) atau Sertifikat Legalitas
Kayu (S-LK)
5. Pemantau Independen, masyarakat madani baik perorangan atau lembaga
yang berbadan hukum Indonesia, yang menjalankan fungsi pemantauan
terkait dengan pelayanan public di bidang kehutanan seperti penerbitan S-
PHPL/S-LK

Dasar hokum
1. UndangUndang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo. No.3 tahun 2008 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.30/MenLHK/Setjen/PHPL.3/3/2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang izin,
Hak Pengelolaan, atau pada Hutan Hak
4. Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor
P.15/PHPL/PPHH/HPL.3/8/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur
Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor P.14/PHPL/SET/4/2016
tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK)

Yang harus menerapkan SVLK


1. Pemegang izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan
Alam (HA/Hutan Tanaman Industri (HTI), Rehabilitasi Ekologi (RE)
2. Hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat
3. Pemilik hutan hak (hutan rakyat)
4. Pemilik Ijin pemanfaatan kayu (IPK)
5. Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (IUIPHHK) dan Industri
lanjutan (IUI Lanjutan) dan Tanda Daftar Industri (TDI)

Kayu legal
Kayu disebut legal jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan, system dan
prosedur penebangan, administrasi dan dokemtasi angkutan, pengelohan, dan
perdagangan atau pemindahtangannya dapat dibuktikan memenuhi semua
persyaratan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

Pengaudit VLK
Audit verifiasi legalitas kayu (VLK) dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang
telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan ditetapkan oleh SK
Menteri Kehutanan sebagai Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LV-LK)

Standar legalitas SVLK


Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
P.8/VI-BPPHH/2012 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu, SVLK
memiliki delapan standar legalitas kayu, yaitu :
1. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan negara yang dikelola oleh
pemegang izin dan pemegang hak pengelolaan
2. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan negara yang dikelola oleh
masyarakat (HTR, HKm, HD)
3. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan hak
4. Standar verifikasi legalitas kayu pada pemegang IPK
5. Standar verifikasi legalitas kayu pada pemegang IUIPHHK dan IUI
6. Standar verifikasi legalitas kayu pada TDI (Tanda Daftar Industri)
7. Standar verifikasi legalitas kayu pada industry rumah tangga dan pengrajin
8. Standar verifikasi legalitas kayu pada TPT

SVLK diterapkan secara wajib (mandatory) untuk meningkatkan efisiensi


pengelolaan hutan dan menjaga kredibilitas legalitas kayu dari Indonesia. Seperti
halnya di atur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 64 Tahun 2012 bahwa
ada 40 jenis produk berbasis kayu 16 di anataranya per 1 Januari 2013 wajib
memiliki sertifikat SVLK sedangkan 14 yang lainnya per 1 Januari 2012. Bagi
unit manajemen yang telah mendapatkan sertifikasi lacak balak (Chain of
Custody/CoC), sertifikasi SVLK tetap wajib.
Kegiatan pelaksanaan SVLK

Kegiatan pelaksanaan verifikasi legalitas kayu terdiri dari :

1. Permohonan verifikasi
2. Perencanaan verifikasi
3. Pelaksanaan verifikasi
4. Penerbitan sertifikat legalitas dan sertifikasi ulang
5. Penilikan (Surveillance)
6. Audit khusus

Lama SVLK berlaku


1. Sertifikat VLK bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/Pemegang hak
pengelolaan, IUPHHK-HTR/HKM/HD/HTHR/IPK, IUIPHHK, IUI dengan
modal investasi lebih dari Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di luar
tanah dan bangunan, dan TPT berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan
dan dilakukan penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 12 bulan sekali.
2. Sertifikat LK bagi IUI dengan investasi sampai dengan Rp500.000.000.-
(lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, TDI dan industri rumah
tangga/pengrajin dan pedagang ekspor berlaku selama 6 (enam) tahun sejak
diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 24
bulan sekali.

Resertifikasi
1. Resertifikasi dilakukan sebelum berakhirnya masa aktif Sertifikat LK;
2. Terhadap kepemilikan S-LK yang diperoleh secara kolektif, verifikasi pada
proses re-sertifikasi dilakukan terhadap anggota kelompok yang telah
diverifikasi awal maupun pada penilikan, dan terhadap anggota yang belum
diverifikasi pada proses verifikasi awal maupun pada penilikan, dengan
jumlah yang sama dengan jumlah anggota yang diverifikasi awal, dan dipilih
menggunakan pendekatan random sampling;
3. Pengajuan re-Sertifikasi LK dilakukan selambat-lambatnya 6 bulan sebelum
masa berlaku berakhir;
4. Biaya resertifikasi merupakan beban pemegang izin

Surveillance
1. Surveillance merupakan pengawasan yang dilakukan oleh auditor dan
dilakukan setiap 1 tahun sekali dan selambat-lambatnya 12 bulan sejak
terbitnya S-LK;
2. Jika pemegang izin, pemegang hak pengelolaan atau pemilik hutan hak
menghendaki penilikan dilakukan oleh LVLK (Lembaga Verifikasi Legalitas
Kayu) selain yang menerbitkan S-LK, maka dilakukan verifikasi dari awal;
3. Keputusan hasil penilikan dapat berupa kelanjutan, pembekuan atau
pencabutan S-LK.
4. Jika terdapat perubahan standar verifikasi LK, pada pelaksanaan peniÂlikan
LVLK wajib melakukan verifikasi untuk mengetahui pemenuhannya;
5. Terhadap kepemilikan S-LK yang diperoleh secara kolektif, penilikan
dilakukan terhadap anggota kelompok yang belum diverifikasi pada pro-ses
verifikasi awal dan/atau penilikan sebelumnya, dengan jumlah yang sama
dengan jumlah anggota yang diverifikasi awal, dan dipilih mengguÂnakan
pendekatan random sampling.

Tanda V-legal
Tanda V-Legal adalah tanda yang dibubuhkan pada kayu, produk kayu, atau
kemasan, yang menyatakan bahwa kayu dan produk kayu telah memenuhi standar
PHPL atau standar VLK yang dibuktikan dengan kemepemilikan S-PHPL atau S-
LKPenggunaan tanda V-Legal diatur dalam pedoman penggunakan tanda V-Legal

Dokumen V-legal
Tanda V-Legal adalah tanda yang dibubuhkan pada kayu, produk kayu, atau
kemasan, yang menyatakan bahwa kayu dan produk kayu telah memenuhi standar
PHPL atau standar VLK yang dibuktikan dengan kemepemilikan S-PHPL atau S-
LK
Penggunaan tanda V-Legal diatur dalam pedoman penggunakan tanda V-Legal

Kayu legal
Kayu disebut SAH/LEGAL jika memenuhi kebenaran asal kayu, Ijin,
Penebangan, Sistem dan Prosedur Penebangan, Administrasi dan Dokumen
Angkutan, Pengolahan, Perdagangan/ pemindahtanganannya dapat dibukdkan
memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.

1.1.1 KENDALA SVLK


Kelemahan pelaksanaan SVLK, antara lain kelemahan standar legalitas.
Mekanisme keterlacakan bahan baku tidak menjamin industri hanya menerima
kayu legal. Proses perizinan juga masih mengalami kendala karena SVLK tidak
menelusuri proses keluarnya izin dan hanya berpatokan pada dokumen. Begitu
pula dengan konflik di masyarakat akibat tata batas dan isu sosial yang tidak
menjadi syarat untuk mendapat sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(PHPL).

Persoalan berikutnya, adalah kelemahan pedoman pelaksanaan seperti akses


keterbukaan informasi publik, termasuk jenis dan kedalaman informasi yang tidak
diatur dengan jelas. Tidak ada kewajiban mengumumkan dan menerbitkan resume
publik hasil penilikan.

1.2 SKEMA LEI

Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) adalah organisasi non-profit berbasis


konstituen yang mengembangkan sistem sertifikasi hutan yang mempromosikan
misi untuk pengelolaan sumber daya hutan yang adil dan berkelanjutan di
Indonesia. Sebagai organisasi berbasis konstituen, LEI mempertahankan
kemerdekaan dan transparansi, baik yang diperlukan untuk kredibilitas sertifikasi
hutan.

Visi:
Menjadi organisasi yang bergerak dalam pengelolaan sumber daya alam
berkelanjutan.

Misi:
1. Mengembangkan kema sertifikasi hutan dan sistem pemantauan untuk
pengelolaan sumber daya alam.
2. Mempromosikan dan mendorong pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
3. Mendorong model pengelolaan sumber daya alam multi-stakeholder yang
termasuk partisipasi masyarakat adat.

Pedoman sertifikasi LEI:


1. Sertifikasi Hutan Alam
2. Sertifikasi Hutan Tanaman
3. Sertifikasi Hutan Masyarakat
4. Lacak balak, sistem pelacakan kayu bulat untuk industri yang mengolah hasil
hutan seperti mebel, plywood, gergajian dan pulp.

LEI memiliki 4 (empat) bidang mewakili pemangku kepentingan hutan Indonesia


yang mendukung LEI dalam menggunakan sertifikasi sebagai alat dalam
mencapai pengelolaan hutan lestari:
1. Bisnis.
2. Masyarakat Tradisional dan Petani Hutan.
3. LSM.
4. Penduduk

LEI berpengalaman dalam mengembangkan system sertifikasi pengelolaan hutan


di Indonesia, salah satunya adalah sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari (PHBML). Sebanyak 36 Unit manajemen hutan yang dikelola
masyarakat berhasil memperoleh Sertifikasi PHBML, tersebar di Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, serta Nusa Tenggara Barat.

1.2.1 KENDALA
1.3 SKEMA PEFC

PEFC menggunakan definisi pengelolaan hutan lestari (SFM) yang awalnya


dikembangkan oleh Forest Europe pada tahun 1993 dan kemudian diadopsi
oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa:

"Penatagunaan dan penggunaan hutan dan lahan hutan dengan cara, dan pada
tingkat tertentu, yang mempertahankan keanekaragaman hayati, produktivitas,
kapasitas regenerasi, vitalitas dan potensi mereka untuk memenuhi, sekarang dan
di masa depan, fungsi ekologi, ekonomi dan sosial yang relevan, di tingkat lokal,
nasional, dan global, dan itu tidak menyebabkan kerusakan pada ekosistem lain. "

Meskipun banyak hutan dapat dikelola secara berkelanjutan, bukti independen


terbaik dari hal ini adalah melalui sertifikasi terakreditasi pihak ketiga yang tidak
memihak dan kredibel. PEFC mempromosikan sertifikasi independen ini dan
memberikan mekanisme jaminan untuk menunjukkan kepada konsumen bahwa
kayu yang digunakan dalam produk mereka berasal dari hutan yang dikelola
secara lestari.

PEFC melengkapi prinsip, kriteria, dan indikator yang berasal dari proses
internasional ini dengan persyaratan tambahan, yang dikembangkan melalui
proses multi-pihak untuk menjadikannya operasional sebagai ukuran kinerja di
hutan.

Sejalan dengan akarnya dalam kehutanan kecil dan keluarga, dan nilai-nilai
pembangunan pedesaan dan sebagai sistem sertifikasi pilihan untuk pemilik hutan
kecil, PEFC adalah sistem global pertama yang mewajibkan kepatuhan terhadap
semua konvensi ILO yang mendasar pada awal tahun 2001, pengaturan tolok ukur
baru untuk masalah sosial, terutama di lingkungan sosial pedesaan.

Mendapatkan sertifikasi Manajemen Hutan Berkelanjutan PEFC menunjukkan


bahwa praktik manajemen memenuhi persyaratan untuk praktik terbaik dalam
pengelolaan hutan lestari, termasuk:

 Keanekaragaman ekosistem hutan dipertahankan atau ditingkatkan


 Rentang layanan ekosistem yang disediakan hutan dipertahankan
o mereka menyediakan makanan, serat, biomassa dan kayu
o mereka adalah bagian penting dari siklus air, bertindak sebagai penyerap
yang menangkap dan menyimpan karbon, dan mencegah erosi tanah
o mereka menyediakan habitat dan tempat berlindung bagi manusia dan
satwa liar; dan
o mereka menawarkan manfaat spiritual dan rekreasi
 Bahan kimia diganti oleh alternatif alami atau penggunaannya diminimalkan
 Hak dan kesejahteraan pekerja dilindungi
 Pekerjaan lokal dianjurkan
 Hak - hak masyarakat adat dihormati
 Operasi dilakukan dalam kerangka hukum dan mengikuti praktik terbaik
Persyaratan ini merupakan bagian dari Tolok Ukur Keberlanjutan PEFC,
seperangkat lebih dari 300 kriteria yang menjadi dasar bagi sistem sertifikasi
nasional yang dinilai selama pengesahan PEFC .

Sistem nasional diperlukan untuk memenuhi atau melampaui semua kriteria.

Cara mendapatkan sertifikasi PEFC:

Sertifikasi Manajemen Hutan Berkelanjutan PEFC hanya tersedia di negara-


negara dengan sistem sertifikasi nasional yang didukung oleh PEFC .

Proses untuk memperoleh sertifikasi PEFC mungkin sedikit berbeda tergantung


pada negara dan jenis sertifikasi.

Tahap-tahap penting yang diperlukan untuk mendapatkan Sertifikasi Manajemen


Hutan Berkelanjutan meliputi:

 Menjadi akrab dengan opsi dan persyaratan sertifikasi yang tersedia di


negara Anda. Informasi ini dapat diperoleh di situs web sistem sertifikasi
nasional PEFC-endorsed yang relevan.
 Pastikan bahwa praktik manajemen Anda memenuhi persyaratan
pengelolaan hutan berkelanjutan yang ketat dari PEFC.
 Temukan lembaga sertifikasi yang diakui PEFC di negara Anda (jika
negara Anda tidak terdaftar, silakan pilih "PEFC Council"); membuat
kontak awal melalui telepon, e-mail atau pertemuan pribadi.
 Aturlah badan sertifikasi independen untuk menilai praktik pengelolaan
hutan Anda terhadap standar pengelolaan hutan lestari nasional dan
periksa apakah semua persyaratan terpenuhi. 
Ini dilakukan dengan membuat aplikasi formal untuk sertifikasi
Manajemen Hutan Berkelanjutan dengan badan sertifikasi pilihan
Anda. Berdasarkan aplikasi ini, Anda akan menerima proposal, termasuk
perkiraan biaya. Biaya sertifikasi Pengelolaan Hutan Berkelanjutan PEFC
ditetapkan oleh badan sertifikasi individu; karena sifat persaingan dari
harga bisnis sertifikasi dapat berbeda menurut negara dan lembaga
sertifikasi.
 Sediakan semua dokumentasi yang relevan seperti yang diminta oleh
lembaga sertifikasi.
 Kunjungan lapangan oleh auditor dari lembaga sertifikasi akan
diatur. Kunjungan lapangan termasuk kunjungan ke lokasi terpilih di hutan
dan tinjauan dokumentasi lebih lanjut, dan wawancara dengan staf terkait.
 Selesaikan, jika perlu, masalah ketidakpatuhan apa pun. Ini adalah
prasyarat sebelum sertifikat Pengelolaan Hutan berkelanjutan dapat
diterbitkan.
 Jika praktik manajemen Anda ditemukan sesuai dengan persyaratan
sertifikasi, Anda akan diberi sertifikat PEFC. Sertifikat ini biasanya
berlaku untuk jangka waktu tiga tahun. Anda akan diminta untuk
menyerahkan hutan Anda ke audit verifikasi tahunan untuk memastikan
bahwa operasi Anda terus mematuhi persyaratan.
 Perpanjang sertifikasi. Untuk memperbarui sertifikasi Anda setelah
berakhirnya sertifikat sertifikasi, Anda akan diminta untuk menjalani audit
sertifikasi baru.

Manfaat Sertifikasi PEFC

Dengan meningkatnya permintaan untuk produk dari hutan yang dikelola


secara bertanggung jawab, kepentingan bisnis dalam sertifikasi lacak balak
sepanjang rantai nilai kayu melonjak.
Sertifikasi Lacak Balak PEFC menawarkan beberapa manfaat penting.

Pesan yang jelas dan transparan


Tindakan sederhana untuk dapat memasukkan logo PEFC pada produk atau
lini produk berkomunikasi kepada pelanggan dengan cara yang jelas, ringkas
dan transparan bahwa kayu dan produk hutan non-kayu telah bersumber dari
hutan yang dikelola secara lestari.

Akses ke pasar
Sertifikasi Chain of Custody menawarkan kepada perusahaan akses ke pasar
yang menuntut produk ramah lingkungan dan keuntungan pasar dalam
kaitannya dengan perusahaan dengan produk yang tidak bersertifikat. Ini
meningkatkan nilai merek.

Kepercayaan
Sertifikasi lacak balak memungkinkan perusahaan untuk yakin tentang sumber
kayu dan produk berbasis kayu mereka.

Keterlacakan
Sertifikasi lacak balak menawarkan jaminan bahwa kayu akhir dan / atau
produk non-kayu dapat dilacak kembali ke sumber yang berkelanjutan dan
bahwa proses produksi yang digunakan untuk mengubah produk jadi telah
dilaksanakan dengan menghormati standar lingkungan, ekonomi dan sosial.

Manajemen risiko
Sertifikasi lacak balak mencakup sistem uji tuntas untuk mengecualikan kayu
dari sumber yang tidak diketahui, ilegal dan kontroversial. Dengan
menerapkan dan memelihara sistem Lacak Balak yang kuat, perusahaan dapat
memberikan jaminan bahwa produk mereka tidak mengandung kayu dari
sumber ilegal.

Kepemimpinan bisnis pada keberlanjutan


Dengan memilih sertifikasi Lacak Balak PEFC, bisnis di sektor kayu dan
kehutanan dapat meningkatkan keunggulan kompetitif mereka dibandingkan
pemasok lain dalam rantai nilai.

Ketersediaan dan pilihan


Dua pertiga dari kawasan hutan bersertifikat dunia disertifikasi dengan standar
PEFC. Itu saat ini lebih dari 300 juta hektar, menawarkan pasokan serat dan
kayu berserat terluas.

1.3.1 KENDALA PEFC

Namun, yang terpenting, PEFC mengakui bahwa keragaman hutan dan


masyarakat yang bergantung pada mereka untuk mata pencaharian mereka berarti
bahwa standar "satu ukuran cocok untuk semua" bukanlah solusi.

Selain itu, kecuali semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan
kebijakan dan implementasi kebijakan berkelanjutan, pengelolaan hutan lestari
tidak dapat dicapai.

PEFC bekerja sama dengan sistem sertifikasi hutan nasional yang disesuaikan
dengan kondisi setempat dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk
mendorong pengiriman produk yang bersumber berkelanjutan ke pasar

1.4 SKEMA IFCC


Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang
disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang
beredar dan diperdagangkan di Indonesia.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dikembangkan untuk mendorong


implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan
peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia.

IFCC-KSK (Indonesian Forestry Certification Cooperation )

Kerjasama Sertifikasi Kehutanan Indonesia) adalah Sebuah organisasi nasional


yang menginisiasi penyelenggaraan sertifikasi kehutanan di Indonesia dengan
menggunakan skema PEFC (Programme For The Endorsement Of Forest
Certification), yang meliputi antara lain tetapi tidak terbatas pada sertifikasi hutan,
hasil hutan termasuk hasil industri pengelolahannya dan rantai kustodi.

Tujuan Skema Sertifikasi Kerjasama Sertifikasi Kehutanan Indonesia


(IFCC)

a) Memberikan keyakinan kepada pelaku pasar dan publik bahwa hutan yang
disertifikasi dengan skema Standar Sertifikasi IFCC adalah hutan yang dikelola
secara sistematis dan menerapkan prinsip- prinsip keberlanjutan;

b) Memungkinkan unit manajemen (UM) dan industri hasil hutan untuk


menggunakan label dan mengkomunikasikan bahwa produk berasal dari hutan
yang telah bersertifikat; dan
c) Memungkinkan pelanggan dan konsumen untuk menentukan pilihan dalam
membeli produk yang telah bersertifikat pengelolaan hutan lestari.

Ruang Lingkup / Kegiatan

IFCC-KSK bermaksud untuk bergabung sebagai anggota penuh PEFC dan


sebagai National Governing Body PEFC di Indonesia.
Lingkup kegiatan IFCC-KSK antara lain adalah:

• Membangun dan memperkuat kerjasama antara masyarakat bisnis dan


masyarakat umum dalam mencapai pengelolaan hutan secara lestari.
• Membangun hubungan yang saling menghargai dan produktif dengan semua
pihak terkait, baik di Indonesia maupun di dunia internasional
• Menjalin kerjasama dalam sertifikasi kehutanan dengan lembaga
pemerintahan, antara lain Kementerian Kehutanan,Badan Standardisasi
Nasional (BSN), dan Komite Akreditasi Nasional (KAN)
• Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan auditor, serta uji kompetensi

Struktur Organisasi IFCC-KSK

Prinsip-prinsip dasar IFCC

Skema sertifikasi IFCC didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:


a) Definisi dan persyaratan pengelolaan hutan lestari didasarkan pada prinsip-
prinsip dan kriteria yang disepakati secara internasional, yang ditetapkan oleh
organisasi-organisasi antar pemerintah, seperti Konferensi PBB tentang
lingkungan dan pembangunan (KTT Bumi) pada tahun 1992, Konvensi-konvensi
PBB, ITTO dan ILO;

b) Undang-undang dan peraturan nasional dan daerah yang berkaitan dengan


pengelolaan hutan dan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja dan hak- hak
pekerja, merupakan bagian integral persyaratan pengelolaan hutan lestari;

c) Persyaratan pengelolaan hutan lestari mengintegrasikan perbaikan yang


berkelanjutan. Prinsip perbaikan terus- menerus juga diterapkan dalam revisi

d) Persyaratan pengelolaan hutan lestari ditetapkan di tingkat nasional dan


didasarkan pada pengetahuan ilmiah yang terbaru, serta memperhatikan
kebutuhan masyarakat Indonesia termasuk masyarakat yang hidupnya bergantung
pada sumberdaya hutan;

e) Persyaratan pengelolaan hutan lestari ini ditetapkan dalam proses multi-


stakeholder, terbuka, transparan, dan berbasis konsensus mengikuti prinsip-prinsip
yang diakui secara internasional dan persyaratan pengaturan standar yang
ditetapkan oleh Organisasi Standardisasi Internasional (ISO);

f) Pemisahan antara proses-proses penyusunan standar, proses sertifikasi, dan


proses akreditasi ke dalam lembaga- lembaga independen berfungsi untuk
meredam adanya potensi konflik kepentingan.

g) Kesesuaian dengan standar skema sertifikasi IFCC dinilai oleh lembaga


sertifikasi pihak ketiga;
h) Ketidakberpihakan, kompetensi dan prosedur dari lembaga sertifikasi dinilai
dan disurvei oleh lembaga akreditasi;

i) Ketidakberpihakan dan kompetensi lembaga akreditasi dikonfirmasi melalui


keanggotaan lembaga akreditasi dalam Forum Akreditasi Internasional (IAF) dan
perjanjian multi-lateral;

j) Penilaian kesesuaian termasuk fungsi sertifikasi dan akreditasi mengikuti


persyaratan yang diakui secara internasional untuk penilaian kesesuaian yang
ditetapkan oleh ISO;

k) Semua lembaga dan fungsi-nya masing-masing dalam skema sertifikasi IFCC


harus didukung oleh prosedur penyelesaian sengketa yang efisien.

1.4.1 KENDALA IFCC

1.5 SKEMA FSC (FOREST STEWARDSHIP COUNCIL)


Forest Stewarhip Council (FSC) adalah sebuah organisasi internasional
independen, non-profit, non-pemerintah yang dibentuk untuk mendukung dan
mempromosikan manajemen hutan bertanggung jawab (responsible forest
management) terhadap pengelolaan hutan di dunia yang layak secara lingkungan,
bermanfaat secara sosial dan berkesinambungan secara ekonomi melalui standard
setting, sertifikasi yang independen, dan label pada produk hutan. Forest
Stewardship Council (FSC) didirikan tahun 1993 sebagai respon kekhawatiran
atas deforestasi global, dan berkantor pusat di Bonn, Jerman.
Forest Stewarship Council (FSC) adalah satu-satunya sistem sertifikasi hutan
yang diakui secara internasional oleh organisasi lingkungan (WWF dan
Greenpeace), perusahaan (Tetra Pak) dan organisasi sosial (National Aboriginal
Kehutanan Association of Canada), serta pemilik dan pengelola hutan, pengolahan
dan juru kampanye, dan juga individu.4 Organisasi-organisasi seperti Greenpeace
telah membantu untuk membangun, dukungan, dan memang mempromosikan
FSC, karena sistem ini menawarkan jaminan pengelolaan hutan yang bertanggung
jawab dari perspektif ekologi, sosial, dan ekonomi.

Pengelolaan hutan ekologis dan bertanggung jawab secara sosial dapat,


dipraktekkan di seluruh dunia. Pengelolaan hutan seperti ini berusaha untuk
memastikan bahwa ekosistem hutan tidak rusak, dan berdampak terhadap
kehidupan tumbuhan dan hewan didalamnya. Sesuai dengan Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pasal 50 dilarang memanfaatkan hutan
tanpa mendapat izin untuk wisata, penggembalaan, serta perambahan atau
penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. Hutan
yang dikelola secara berkelanjutan dengan mengedepankan aspek lingkungan,
misalnya konservasi keanekaragaman hayati, pengurangan emisi karbon,
rehabilitasi hutan, dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat, masyarakat
sekitar hutan.

FSC sebagai organisasi internasional masuk ke Indonesia tahun 2013, tetapi


sistem sertifikasi FSC sudah digunakan oleh para pengelola hutan di Indonesia
sejak tahun 2000. Unit pengelola hutan di Indonesia yang pertama kali
mendapatkan sertifikasi FSC adalah Perhutani, pada tahun 1990. Audit sertifikasi
FSC dilakukan oleh Smartwood, salah satu lembaga sertifikasi terakrediatasi FSC
pada saat itu.
Saat ini FSC di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan public awareness
(kesadaran masyarakat) tentang manfaat label FSC bagi kalangan konsumen dan
bisnis.

Luas hutan bersertifikat FSC hingga tahun 2017 meliputi 2,755.000 hektar, dan
terdapat lebih dari 250 industri berbasis kayu dan kertas mendapatkan sertifikasi
FSC-COC. Penerapan Sertifikasi FSC di Indonesia Di Indonesia untuk produk
consumer goods yang menggunakan label FSC dan telah beredar di pasaran
adalah Tissue Tessa, Susu Ultrajaya, Teh Kotak, Buavita

1.5.1 KENDALA FSC


Faktor-Faktor yang Menghambat Tidak Efektifnya Sertifikasi FSC (Forest
Stewarship Council) di Indonesia
Dalam proses penyertifikasian hutan bertanggung jawab, salah satunya dengan
menggunakan skema sertifikasi FSC tidak selalu berjalan dengan mulus atau
kurang efektif. Berbagai hambatan pun kerap kali di jumpai diantaranya adalah
standar sertifikasi yang cukup berat dirasakan serta adanya hambatan yang
bersifat non teknis. Pemahaman terhadap kriteria-kriteria dan indikator-indikator
standar pengelolaan hutan lestari dari skema sertifikasi yang akan dipilih adalah
cara terbaik untuk mengurangi beratnya pemenuhan standar tersebut. Hambatan
yang dialami dalam penyertifikasian berasal dari berbagai faktor, yaitu:

 Hambatan Penerapan Standar Produksi Hutan FSC (Forest Stewarship


Council) bagi Pemerintah.

1. Kurangya edukasi atau penyuluhan terhadap masyarakat mengenai hutan


lestari yang dilindungi. Hal ini merupakan bentuk hambatan dasar yang
dialami untuk melakukan sertifikasi hutan.

2. Aturan pemerintah yang tidak sesuai dengan kondisi hutan saat ini.
Pemerintah Indonesia meminta agar Forest Stewarship Council (FSC)
mengevaluasi aturan sertifikat produk hutan buatan tahun 1994 atau „1994
rule‟. Aturan yang dibuat FSC ini dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi
hutan Indonesia saat ini. Padahal, sebagian besar HTI di Indonesia baru
dibangun setelah 1994. Maka itu pemerintah berusaha membantu dengan
mengusulkan ke FSC agar syarat deforestasi dalam 1994 rule diubah. Dalam
pertemuan ini FSC menargetkan penyelarasan “1994 rule” untuk Indonesia
agar segara tuntas sesuai dengan kondisi lokal dan industri kehutanan dan
Indonesia segera memperoleh sertifikasi dari FSC. Hal ini juga akan
menunjang masuknya FSC di Indonesia. Finalisasi (penyelarasan) standar
nasional khususnya Indonesia ini merupakan agenda terbesar FSC ungkap
Direktur Eksekutif FSC Kim Carstensen.

3. Belum adanya survei tentang kepedulian konsumen terhadap pembelian


produk-produk ramah lingkungan. Hal utama mengenai permasalahan ini
konsumen belum mengetahui terhadap produk yang ramah lingkungan
sehingga kurang adanya minat konsumen terhadap produk ramah lingkungan.
Awareness konsumen terhadap produk ramah lingkungan sudah ada tetapi
pengetahuan mereka terhadap produk apa saja yang ramah lingkungan
kurang.

4. Legalitas Kayu. FSC sangat memperhatikan mengenai legalitas kayu bagi


pengelolaan hutan yang bertanggung jawab di seluruh dunia. Sebenarnya ini
adalah prinsip utama dalam pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.
Semua negara memiliki peraturan untuk hal tersebut termasuk Indonesia,
tetapi tingkat penerapan peraturan ini berbeda-beda di seluruh dunia.
5. Mencegah penebangan kayu secara illegal. Kementrian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLH) berencana menduetkan dua sertifikasi SVLK dengan
FSC dalam industri kayu demi mencegah penebangan kayu secara illegal.
Dua sertifikat itu sama bagusnya untuk menjaga hutan tetap terjaga
kelestariannya. Meski memiliki tujuan yang sama untuk mencegah kerusakan
hutan, namun keduanya memiliki posisi yang berbeda. SVLK bersifat wajib
(mandatory) serta merupakan basis dasar bagi semua industri hasil hutan di
Indonesia sedangkan sertifikat FSC bersifat sukarela yang tergantung dari
permintaan pasar.

Hambatan Penerapan Standar Produksi Hutan FSC (Forest Stewarship


Council) bagi masyarakat

1. Minimnya pemahaman dan kesadaran masyarakat atau konsumen di


Indonesia dalam mengkonsumsi produk-produk yang baik dan ramah
terhadap lingkungan serta terlacak secara bertanggung jawab pada setiap
proses pengolahannya sehingga perlu di.
2. Berhubungan dengan hambatan di pemerintah sama halnya dengan hambatan
di masyarakat yaitu, minimnya pengetahuan masyarakat terhadap
pemeliharaan yang perlindungan Sumber Daya Alam (SDA) yakni hutan. Hal
ini merupakan salah satu bentuk hambatan, dimana saat ini belum semua
masyarakat kita peduli terhadap lingkungan terutama hutan. Padahal seperti
yang kita ketahui bahwa hutan adalah paru-paru dunia, dan Indonesia salah
satu negara yang memiliki hutan terluas di dunia.

3. Konflik tumpang tindih kepemilikan lahan yang menghambat efektifitas tata


kelola hutan di Indonesia. Ketidakpastian areal kawasan hutan ini memicu
munculnya konflik dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan
kawasan hutan. Dalam hal ini terjadi konflik vertical yaitu aturan pemerintah
daerah bertentangan dengan masyarakat dan perusahaan. Konflik vertikal
adalah konflik yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan. Pihak-pihak di
luar masyarakat tersebut antara lain; Pemerintah Pusat, Departemen
Kehutanan, Pemerintah Daerah, Pengusaha Kayu dll.

4. Pembukaan lahan perkebunan rakyat yang tidak terkontrol oleh pemerintah


(perambahan). Hal ini sering sekali terjadi karena memang lahan itu sendiri
tidak memiliki batas-batas yang jelas. Sehingga masyarakat terkadang tidak
memperhatikan mengenai hal tersebut.

5. Sebuah Penelitian oleh ahli Indonesia dan Internasional menyoroti


terpinggirkannya kedudukan masyarakat adat di Indonesia. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa adanya pelanggaran atas tanah adat dan hak atas
sumber daya yang dilakukan oleh perusahaan penebangan kayu dan
perkebunan yang masih merajalela. Badan ekolabel Forest Stewarship
Council (FSC) harus menghentikan sertifikasi atas hutan Indonesia sampai
hak-hak masyarakat adat tersebut mendapat perlindungan.
Hambatan Penerapan Standar Produksi Hutan FSC (Forest Stewarship
Council) Perusahaan

Perusahaan-perusahaan yang berbasis hasil hutan di Indonesia yang sudah


memiliki sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) seharusnya lebih
mudah mendapatkan sertifikasi dari FSC. Sebab sebelumnya, Direktur Eksekutif
FSC Kim Carstensen memastikan jika sebuah perusahaan telah memiliki SVLK
maka tidak perlu memulai dari nol lagi, dan dianggap sudah mengerti dengan
standar-standar dalam manajemen hutan yang baik. SVLK ini merupakan hal
dasar bagi semua industri hasil hutan di Indonesia dalam memastikan legalitas
kayu.
Dalam proses sertifikasi ini pasti ada bentuk hambatan yang dialami beberapa
perusahaan yang telah menggunakan sertifikasi FSC tersebut diantaranya: Faber
Castle, SIG Combibloc, Tetrapak, IKEA, dan Tissue Tessa. Adapun hambatan
yang dialami oleh perusahaan tersebut adalah:

1. Persyaratan untuk memperoleh sertifikasi kurang lengkap dan biaya dalam


penyertifikasian mahal Hal ini merupakan salah satu hambatan dalam
memperoleh sertifikasi FSC. Karena dalam mendapatkan sertifikasi FSC
sebuah perusahaan harus mengikuti persyaratan yang telah ditentukan oleh
lembaga sertifikasi dan biaya untuk sertifikasi ini tidaklah murah.

2. Dalam melakukan sertifikasi hutan, perusahaan harus memikirkan juga tentang


pengelolaan hutan bukan hanya keuntungan semata.

Hambatan Penerapan Standar Produksi Hutan FSC (Forest Stewarship


Council) bagi Pengelola Hutan

Hambatan-hambatan lain yang kerap kali ditemui pada pengelolan hutan, yakni:

1. Hambatan Perilaku
Secara psikologis, aparatur pemerintahan seringkali merasa bahwa aparat yang
memiliki status yang lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan masyarakat
di sekitar hutan. Demikian juga sebaliknya masyarakat merasa bahwa mereka
lebih rendah dan kurang pengetahuannya dibandingkan denga aparat
pemerintahan.

2. Hambatan Kebijakan
Aparatur pemerintahan sudah terbiasa bekerja dengan memakai pedoman aturan
yang baku yang bersifat instruktif dan top down. Cara-cara lama dalam
pengambilan kebijakan tersebut tercermin dalam bentuk Surat Keputusan dll.

3. Hambatan Sistem Manajemen


Diakui ataupun sampai saat ini sistem manajemen pengelolaan hutan masih
mengikuti model perencanaan hutan yang konvensional.
4. Hambatan Sumber Daya Manusia
Konsep pembangunan yang berfokus pada masyarakat merupakan konsep yang
baru bagi aparat pemerintahan, sehingga butuh waktu untuk memperkenalkan
konsep ini yang bisa diterima oleh masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai