Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pelayanan publik merupakan perwujudan pemerintah dalam upaya untuk

meningkatkan kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia, pada prinsipnya sudah

menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh negara guna meningkatkan kualitas

hidup orang banyak, akan tetapi dalam penyelengaraannya banyak sekali yang tidak

sesuai dengan kebutuhan, diberbagai bidang kehidupan dan bermasyarakat, di sini

yang dapat menjadi perhatian lebih adalah penyandang disabilitas dimana negara

berkewajiban untuk memenuhi tuntutan mereka yang juga merupakan warga negara

Indonesia dalam melaksanakan fungsi sosial dimana untuk mendapatkan perlakuan

yang sama dalam mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia

dengan baik dan bebas seperti masyarakat lainnya. Banyak kendala yang dihadapi

para penyandang disabilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari jika

dibandingkan dengan orang normal disekelilingnya. Bagi penyandang disabilitas

terkadang mereka merasa terasingkan oleh lingkungannya karna tindakan

diskriminatif dan dipandang sebelah mata oleh orang sekitar ketika sedang

melakukan aktivitas ditempat umum, disisi lain ada pula yang memberikan belas

kasih terhadap mereka. (Naufal, 2020).

Di Indonesia penyandang disabilitas telah dilindungi dan di jamin

kelangsungan hidupnya serta memiliki hak asasi dan kedudukan hukum yang sama

oleh undang-undang Nomor 8 tahun 2016, penyandang disabilitas merupakan

seseorang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan sensorik

1
dalam waktu yang lama. Disebutkan juga kesamaan kesempatan adalah keadaan

yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang

disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara

dan masyarakat. (Writer, 2018)

Setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

memiliki hak, kewajiban, harkat dan martabat yang sama dan sederajat di mata

hukum oleh sebab itu terkhususnya penyandang disabilitas mereka harus

mendapatkan perlindungan dari pemerintah untuk menghindari dari tindakan

diskriminasi dan tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Penyandang disabilitas

juga dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

seperti layaknya orang normal biasa. Peran pemerintah disini perlu menjadi

perhatian adalah akses pelayanan public bagi penyandang disabilitas dimana dalam

Undang-Undang No 25 tahun 2009 dijelaskan bahwa penyandang disabilitas

dimudahkan dalam mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan pelayanan publik

guna melaksanakan fungsi sosial dengan baik, akan tetapi pada kenyataannya

Undang-Undang tersebut tidak dapat dijadikan pegangan bagi penyelenggara

pemerintahan, dimana masih banyak pelayanan publik yang belum efektif dan tidak

ramah bagi penyandang disabilitas.

Dari data Dinas Sosial DIY terdapat 7.930 orang penyandang disabilitas

dengan rincian sebagai berikut :

2
Tabel 1. Data penyandang disabilitas tahun 2019 dari Dinas Sosial DIY
Fisik Buta/Netra Rungu/Wicara Mental/Jiwa
Kota/Kabupaten
L P L+P L P L+P L P L+P L P L+P
Kulon Progo 145 107 252 80 57 137 96 88 184 192 187 379
Bantul 226 170 396 109 109 218 179 181 360 276 207 483
Gunungkidul 194 161 355 100 97 197 149 141 290 277 250 527
Sleman 217 182 399 113 116 229 176 160 336 301 265 566
Yogyakarta 168 169 337 87 69 156 156 136 292 141 110 110
Jumlah 950 789 1.739 489 448 937 756 706 1.462 1.187 1.019 2.206

Fisik & Mental Lainnya Total


Kota/Kabupaten
L P L+P L P L+P L P L+P
Kulon Progo 42 44 86 47 36 83 602 519 1.121
Bantul 76 67 143 112 119 231 978 853 1.831
Gunungkidul 81 62 143 35 40 75 836 751 1.587
Sleman 89 92 181 127 83 210 1.023 898 1.921
Yogyakarta 45 29 74 182 178 360 779 691 1.470
Jumlah 333 294 627 503 456 959 4.218 3.712 7.930

Sumber: Website Kependudukan DIY (Admin, Statistik Penduduk D.I. Yogyakarta, 2021)

3
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa penyandang disabilitas tersebar di

lima kota/kabupaten yang terletak di DIY. Pada tahun 2019 Sleman menjadi

tertinggi dengan 1.921 penyandang disabilitas yang menjadi fokus penelitian.

Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik dimana didalamnya berasaskan kesamaan hak. Masih banyaknya pelayanan

publik yang dilakukan oleh intansi terkait selalu mengesampingkan hak-hak bagi

para penyandang disabilitas tidak terkecuali pada pelayanan publik dalam

pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM D) bagi penyandang disabilitas. Kasus

yang sering terjadi terkait pelayanan SIM banyak orang berfokus pada masyarakat

secara umum jika berbicara fisik mereka dapat dengan mudah mengurus dan

mendapatkan pelayanan publik dengan prima, bandingkan dengan penyandang

disabilitas dimana mereka selalu menjadi orang yang selalu dikesampingkan dalam

mendapatkan hak-hak mereka terkhususnya pada pelayanan publik dalam

pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM). Penyandang disabilitas sama seperti

masyarakat pada umumnya dimana dalam mendapatkan pelayanan publik seperti

pembuatan SIM D mereka juga harus mendapatkan pelayanan yang prima dari

instansi terkait.

Dalam prosedur mendapatkan SIM ada beberapa proses yang harus

dilakukan seperti pendaftaran terlebih dahulu, mengisi formulir yang disediakan

oleh petugas dan tahap berikutnya melakukan tes tertulis dan praktik dengan

kendaraan yang menggunakan simulasi yang ada dijalan beserta rambu-rambu yang

biasa kita temukan dijalanan. Untuk penyandang disabilitas sendiri mereka

diharuskan memiliki surat keterangan kesehatan rekomendasi dokter yang

4
merupakan syarat wajib untuk melihat kelayakan mereka sebagai difabel saat

menggunakan kendaraan bermotor, dimana untuk Polres Sleman akan dirujuk ke

rumah sakit akdemik UGM karena di sana ada pelayanan untuk difabel terkait surat

keterangan kesehatan pembuatan SIM. Jika sudah memenuhi syarata yang telah

ditetapkan oleh pihak kepolisian barulah mereka mendapatkan SIM D. (Rahmi,

2018).

Salah satu kasus yang ditemukan oleh peneliti dimana masih belum

efektivnya pelayanan yang diberikan kepada difabel oleh Polres Sleman sebagai

intansi yang bertanggung jawab memberikan pelayanan SIM (surat izin

mengemudi) terutama SIM D bagi kaum disabilitas, dari tahun 2015 hingga 2018

satuan lalu lintas polres sleman baru memberikan 37 penyandang disabilitas dalam

ujian mendapatkan surat izin mengemudi (SIM) D yang dimana banyak sekali

kendala dilapangan dihadapi Polres Sleman sebagai contoh dengan keterbatasan

kemampuan bahasa isyarat yang dimiliki petugas kepolisian dalam memberikan

pelayanan SIM D bagi tuna rungu diperparah dengan tidak didampingi pihak

keluarga atau yayasan yang menaungi mereka. Dari data yang didapat itu pula

hingga saat ini polres Sleman belum memiliki petugas yang dapat berbahasa isyarat,

sehingga dalam pelaksanaan pelayananan publik bagi disabilitas menjadi terhambat

(Natalia, 2015).

5
BIODATA RESPONDEN WAWANCARA UJI SIM D
( UNTUK PENYANDANG DISABILITAS)

Jenis
Nama Gol Tempat
NO No SIM Permoho Tgl Lahir Alamat
Lengkap SIM Lahir
nan

Perpanjan
1 Toni D 1449-9805-000019 21/05/1982 Sleman Maguwoharjo, Sleman
g

Pak Toni yang berdomisili di Sleman sedang melakukan pembuatan SIM D

khusus penyandang disabilitas memberikan pernyataan “Covid-19 sangat

mengganggu kegiatan saya mas sekarang juga lagi PPKM jadi terbatas”. [Toni,

hasil wawancara, 20 September 2021].

Pandemi Covid-19 yang mempunyai dampak cukup besar diberbagai sektor

kehidupan manusia. Tidak kalah penting yang merasakan dampak dari pandemi ini

ialah disektor pelayanan publik dimana Efektivitas pelayanan publik menjadi

terhambat semenjak adanya kemunculan pandemi Covid-19. Dengan adanya

pandemi ini otomatis membawa perubahan terhadap tatanan kehidupan yang baru

disebut juga the new normal. Dimana masyarakat diharuskan menyesuaikan diri

untuk mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah seperti

pembatasan interaksi sosial, menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan,

serta selalu menjaga kesehatan imun tubuh.

Dikutip dari suara.com dimana organisasi Kesehatan dunia (WHO)

mengatakan penyandang disabilitas memiliki resiko lebih tinggi akan terpapar

terhadap virus covid-19 ini. Adapun beberapa alasan meraka rentan akan

penyebaran virus tersebut dikarekan (Rahmawati & Anggraeni, 2020):

1. Hambatan fisik untuk mengakses fasilitas kebersihan

6
2. Harus menyentuh banyak benda umum

3. Kesulitan dalam menjaga jarak fisik

4. Kesulitan mengakses informasi

Jika dalam kondisi normal saja para disabilitas ini sulit unuk mendapatkan

pelayanan yang prima apalagi diperparah dengan adanya pandemic covid-19 ini.

Secara praktiknya belum ada perhatian khusus dari pemerintah terhadap

penyandang disabilitas dimasa pandemi ini. Padahal mereka juga butuh akan

pemenuhan hak-hak serta mendapatkan perlindungan, pelayanan kesehatan dan

sosial hingga pendampingan selama pandemi.

Layanan SIM D sudah diatur sesuai dengan Undang-Undang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 pasal 80 huruf (e) tentang SIM D

berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat. Dengan

adanya pandemi Covid-19 peneliti ingin melihat kualitas pelayanan yang dilakukan

Polres Sleman dalam memberikan pelayanan publik bagi penyandang disabilitas

guna mendapatkan SIM. Sleman yang menempati posisi pertama dalam jumlah

disabilitas terbanyak di provinsi DIY dimana Peneliti juga melihat masih kurang

informasi menjelaskan tentang disabilitas untuk mendapatkan pelayanan SIM

terutama yang terjadi dikabupaten Sleman. Peneliti juga ingin menggali lebih dalam

kendala apa saja yang terjadi dalam pelaksanaannya apakah sudah optimal dalam

memberikan pelayanan dikarenakan masih kurangnya sosialisasi bagi penyandang

disabilitas untuk mendapatkan SIM D di Kabupaten Sleman.

1.2 Rumusan Masalah

7
Melihat penjelasan dari latar belakang diatas dapat menjadi acuan maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “BAGAIMANA PELAYANAN

SIM DIMASA PANDEMI COVID-19 BAGI PENYANDANG DISABILITAS

DALAM PERSPEKTIF NEW PUBLIC SERVICE DI POLRES SLEMAN

2019-2020?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pelayanan yang dilakukan

Polres Sleman dalam memberikan pelayanan SIM bagi disabilitas dalam perspektif

new public service dimasa pandemi Covid-19 ini.

8
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan peniliti dapat menjadi salah satu acuan bagi

pemerintah dalam mewujudkan pelayanan yang prima di Polres Sleman dan juga

meningkatkan pelayanan pembuatan SIM terkhususnya penyandang disabilitas

dimasa pandemi Covid-19.

1.4.2 Secara Praktis

1. Penelitian ini dapat dijadikan refrensi untuk penelitian berbasis

kesejahteraan sosial.

2. Bagi Pemerintah dan pihak Polres Sleman hasil dari penelitian tersebut

apalagi di masa pandemi ini dapat dijadikan acuan informasi atas

kinerja, serta masukan demi mewujudkan kinerja pelayanan SIM yang

baik bagi penyandang disabilitas.

9
1.5 Tinjauan Pustaka

Pertama, penelitian oleh Abdu Rahman dan Mushlih Ambrie (2020) tentang

PELAYANAN PEMBUATAN SURAT IZIN MENGEMUDI BAGI

MASYARAKAT BERKEBUTUHAN KHUSUS DI KEPOLISIAN RESOR

KOTA BANJARMASIN. Penelitian ini menjelaskan letak kepuasan masyarakat

terhadap pemangku kepentingan dimana itu adalah Kepolisian Indonesia. Langkah

responsif yang dilakukan Kepolisian Indonesia ialah dengan memberikan akses

yang sama kepada orang dengan kebutuhan spesifik. Dalam penelitian ini juga

menjelaskan bahwa masih sangat sedikit sekali literatur dan hasil dari penelitian

yang berbicara tentang pola dan penjelasan tentang pelayanan publik yang

disediakan bagi orang-orang yang berkebutuhan khusus.

Kedua, penelitian oleh Zaki Abid Budiman dan Pudji astuti (2018) tentang

IMPLEMENTASI PEROLEHAN SIM D BAGI PENYANDANG DISABILITAS

DI WILAYAH SURABAYA. Tujuan dari penelitian ini menjelaskan sejauh mana

implementasi perolehan SIM D di wilayah Surabaya dalam penelitian ini pula

dijelaskan dalam prosesnya terkait faktor sarana dan fasilitas dalam perolehan SIM

D memiliki persoalan terkait kendaraan yang mereka gunakan karna tidak

memenuhi standar yang sudah ditetapkan Satpas Colombo, sehingga

mengakibatkan kegagalan dari pihak pemohon untuk mendapatkan SIM D.

Ketiga, penelitian oleh Dewi Khoirunisa dan Pudji Astuti tentang (2017)

FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI PASAL 80 HURUF E UNDANG-

UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN

ANGKUTAN JALAN TERHADAP HAK PEROLEHAN SIM BAGI

10
PENYANDANG DISABILITAS, dari penelitian ini menjelaskan bahwa fakta yang

terjadi menjelaskan bahwa polres kota setempat belum menerbitkan SIM bagi

penyandag disabilitas tersebut. Dalam keterangan yang dijelaskan melalui metode

wawancara peneliti menemukan adanya informasi yang tidak sejalan dari pihak

polsek setempat dengan mengatakan kurang adanya kesadaran dari penyandang

disabilitas dalam mengurus SIM. Akan tetapi berbanding terbalik dengan

pernyataan dari pihak penyadag disabilitas yang diwakilkan pihak PPDI Kota

Madiun, bahwa mereka sebenarnya berkeinginan membuat SIM akan tetapi tidak

adanya tanggapan terhadap pelayanan khusus perolehan SIM D dikarenakan

mereka tidak mendapat tanggapan terkait pengajuan perolehan SIM D di Polres

madiun.

Keempat, penelitian oleh Sugi Rahayu dan Utami Dewi (2013) tentang

Pelayanan Publik Bidang Transportasi bagi Difabel di Daerah Istimewa

Yogyakarta, penelitian berisi tentang analisa peneliti terhadap pelayanan public

bidang transportasi dengan mengidentifikasi alternatif solusi yang dapat

diaplikasikan dalam memberikan pelayanan bidang transportasi yang adil bagi

penyadang disabilitas. dari hasil penelitian ini pula ada beberapa aspek yang

membuat pemenuhan kebutuhan terhadap kaum difabel ini tidak optimal. Dengan

contoh mulai dari pelayanan seperti ketenagakerjaan, sosial, Pendidikan,

aksebilitas, dan fasilitas secara keseluruha mereka tidak mendapatkan pelayanan

yang baik dan maksimal.

11
Kelima, penelitian oleh Bagus Aji Kuncoro (2014) di dalam jurnalnya yang

berjudul EVALUASI PROSES PEROLEHAN SURAT IJIN MENGEMUDI (SIM

D) BAGI PENYANDANG CACAT DI KABUPATEN SIDOARJO. Berdasarkan

hasil dari penelitian ini pembuatan SIM D bagi penyandang disabilitas hampir sama

dengan pembuatan SIM pada orang normal pada umumnya. Adapun hambatan yang

adanya perbedaan persepsi yang dilakukan oleh petugas dalam memberikan

pelayanan sebagi pemohon dimana hingga saat ini pemerintah belum bisa

memberikan solusi terkait kebutuhan surat izin mengemudi bagi para penyandang

cacat. Disini pemerintah hanya memberikan perhatian kepada para penyandang

cacat hanya berdasarkan belas kasih (charity).

Keenam, penelitian oleh Heryanto Monoarfa (2012) dalam jurnalnya yang

berjudul Efektivitas dan Efisiensi Penyelenggaraan Pelayanan Suatu Tinjauan

Kinerja Lembaga Pemerintahan. Penelitian ini membahas perlu adanya

profesionalitas pelayanan public terkait dengan efektivitas dan efisiensi yang

dilakukan pemerintah. Jika dilihat dari sudut idealnya pemerintah harus

memberikan produk pelayanan yang berkualitas yang paling utama dari aspek biaya

dan waktu pelayanan. Akses publik ini dapat dijadikan tolak ukur dan efisiensi jika

biaya dan waktu pelayanan ini berjalan dengan baik. Jika pelayanan publik lebih

banyak memakan waktu dan biaya maka dapat diindikasikan bahwa indikator

tersebut untuk melihat intensitas korupsi dalam sistem layanan birokrasi.

Ketujuh, penelitian oleh Antimus Xaverius Ansfridho dan Dody Setyawan

(2019) dalam penelitiannya berjudul EFEKTIVITAS PENCAPAIAN KINERJA

PROGRAM PELATIHAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS dalam studi

12
kasusnya yang dilakukan di kota Batu dimana berdasarkan jurnal tersebut dikatakan

telah memenuhi standar efektivitas pencapaian kinerja program pelatihan bagi

penyandang disabilitas. Diaman para penyandang disabilitas ini merasa terbantu

denga adanya program pelatihan kerja dari pemerintah Kota Batu untuk dapat

keluar dari masalah sosial dan ekonomi yang sudah melekat pada penyandang

disabilitas. Pemerintah memberikan mereka pelatihan karya berupa kursus sablon

yang dilaksanakan dinas sosial Kota Batu demi tercapainya tujuan dan perubahan

nyata bagi penyandang disabilitas. pelatihan ini juga diharapkan dapat merubah

sudut pandang dan pola pikir masyarakat pada umumnya terhadap para penyandang

disabilitas agar dapat diterima oleh masyarakat luas serta membuka akses bagi

mereka dalam penyediaan lapangan pekerjaan.

Kedelapan, yaitu penelitian dari Sugi Rahayu dan Sugi Utami (2013)

tentang PELAYANAN PUBLIK BAGI PEMENUHAN HAK-HAK

DISABILITAS DI KOTA YOGYAKARTA. Berisi tentang hak bagi penyandang

disabilitas agar mendapatkan hak-hak mereka yang layak dan terfasilitasi. Berbeda

dari yang sebelumnya disini peneliti menekankan agar bahwa difabel juga

merupakan bagian masyarakat yang juga berhak mendapatkan pelayanan public

yang memadai. Selama ini yang dirasakan kaum difabel mereka kurang

mendapatkan pelayanan publik yang setara dengan non-difabel. Oleh karna itu

beberapa saran yang diberikan dalam penelitian ini agar eksistensi mereka tetap

terjaga dimana pemerintah yaitu dinas sosial membantu menyalurkan memberikan

pekerjaan sesuai bidang dan kemampuan mereka. Dengan upaya tersebut juga

13
pemerintah membantu meniadakan stigmasi dan diskriminasi bagi kaum

penyandang disabilitas.

Kesembilan, yaitu penelitian dari Edi Suharto (2008) dalam penelitiannya

yang berjudul PENERAPAN KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK BAGI

MASYARAKAT DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS. Dalam penelitiannya

menjelaskan Indonesia memiliki permasalahan mendasar terkat pelayanan publik.

Selain efektivitas dari pengorganisasian dan partisipasi publik dalam

pelaksanaannya yang masih rendah. Dampak dari permasalahan tersebut dimana

produk layanan yang diberikan pemerintah tersebut belum memuaskan bagi para

penggunanya.selain itu pelayanan public di Indonesia belum responsive terhadap

masyarakat dengan kebutuhan khusus, termasuk terhadap kelompok rentan,

penyandang cacat, lansia, dan komunitas adat terpencial. Bukti nyata pada

permasalahan ini banyak pandangan sinis dan sikap diskriminatif yang diterima

oleh penyadag disabilitas yang menganggap mereka tidak pantas berada diruang

publik.

Kespuluh, Analisa dari Indri Dwi Apriliyanti dan Agus Pramusinto (2020)

tentang Bab 6 Perubahan dalam Normal Baru: Meredefinisi Birokrasi di Masa

Pandemi. Dalam tulisannya ini menganalisis tentang dampak perubahan yang

terjadi pada cara kerja birokrasi dan pelayanan publik setelah terjadinya pandemi

COVID-19. Peneliti menjelaskan dengan model WFH (Work From Home) yang

menggunakan teknologi, pemerintah diberbagai daerah banyak melakukan inovasi

pelayanan publik untuk tetap mempertahankan pelayanan yang prima dimasa

pandemi ini.

14
Tabel 2. Tinjauan Pustaka
No Nama Penulis Judul Ringkasan
1 Abd Rahman dan Mushlih Ambrie Pelayanan Pembuatan Surat Izin Dari kesimpulan yang dilakukan peneliti bahwa polresta Banjarmasin
(2020) Mengemudi Bagi Masyarakat sudah melakukan pelayanan SIM dengan baik mulai dari sarana dan
Berkebutuhan Khusus Resor Kota prasarana yang diberikan sudah memadai .
Banjarmasin.
2 Zaki abid Budiman dan Pudji Astuti Implementasi Perolehan SIM D Bagi Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti ada beberapa saran yang
(2018) Penyandang Disabilitas Wilayah diberikan agar kedepannya implementasi pelayanan SIM D di wilayah
Surabaya. surabaya lebih baik :
1. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan dapat memberikan
kebijakan kepada penyandang disabilitas, karena apa yang terjadi
dilapangan disabilitas masih harus membawa kendaraan pribadinya
untuk melakukan tes praktek, hal tersebut tentunya sangat
membebankan dari segi biaya dan dari segi kelayakan.
2. dalam memberikan pelayanan diharapkan petugas lebih optimal
dalam memberikan pelayanan bagi penyandang disabilitas guna
mendapatkan SIM D bagi Disabilitas.
3. untuk kedepannya para penyandang disabilitas dapat diberikan
pengetahuan tentang tata tertib berlalu lintas.
3 Dewi Khoirunisa dan Pudji Astuti Faktor Penghambat Implementasi Pasal Kedepannya diharapkan petugas lapangan dari polresta madiun
(2017) 80 Huruf E Undang-Undang Nomor 22 memahami sepenuhnya tentang prosedur. pada ujian praktik dalam
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan pelayanan perolehan SIM bagi penyandang disabilitas (tuna daksa).
Angkutan Jalan Terhadap Hak Kesulitan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas (tuna daksa) kota
perolehan SIM Bagi Penyandang Madiun terhadap pemenuhan haknya dalam perolehan SIM D yaitu
Disabilitas. penyandang disabilitas (tuna daksa) kota Madiun kurang mengetahui
dan memahami perbedaan atau kekhususan prosedur perolehan SIM D
setara SIM C maupun SIM D setara SIM A secara terperinci.
4 Sugi Rahayu dan Utami Dewi Pelayanan Publik Bidang Transportasi Berisi tentang fasilitas sarana dan prasarana yang belum terpenuhi bagi
(2013) Bagi Difabel Di Daerah Istimewa kaum penyandang difabel, penelitian ini bertempat di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta (DIY), penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang
bersifat wawancara.

15
5 Bagus Aji Kuncoro (2014) Evaluasi Proses Perolehan Surat Ijin Hambatan yang terjadi dilapangan yang dihadapi oleh para penyandang
Mengemudi (SIM D) Bagi Penyandang cacat dalam mendapatkan Surat Ijin Mengemudi antara lain adalah
Cacat Kabupaten Sidoarjo. adanya perbedaan pandangan dari petugas kepolisian dalam
memberikan Surat Ijin Mengemudi bagi pemohon disabilitas.
6 Heryanto Monoarfa (2012) Efektivitas Dan Efesiensi Sistem administrasi Negara yang efisien dan efektif bukan
Penyelengaraan Pelayanan Suatu mencerminkan dari hasil koreksi dan pengaduan dari public, tetapi
Tinjauan Kinerja Lembaga merupakan hasil ciptaan kreatif atas dasar pengelolaan pemerintahan
Pemerintahan yang proaktif terhadap berbagai keperluan public.
7 Antimus Xaverius Ansfrido dan Efektivitas Pencapaian Kinerja Program pelatihan diberikan oleh Dinas Sosial Kota Batudapat
Dody setyawan (2019) Program Pelatihan Bagi Penyandang dikatakan sesuai dengan standar yang ditetapkan, program ini
Disabilitas. diharapkan kedepannya dapat membantu penyandang disabilitas untuk
menjadi solusi agar mereka terlepas dari jerat kemiskinan dan
pemberdayaan bagi penyandang disabilitas.
8 Sugi Rahayu dan Dwi Utami (2013) Pelayanan Publik Bagi Pemenuhan . Oleh karena itu, sejumlah saran dikemukakan agar masyarakat
Hak-Hak Disabilitas Di Kota berkebutuhan khusus (difabel) mampu eksis dan berkembang dalam
Yogyakarta. kehidupan bermasyarakat. Pertama, peningkatan anggaran yang
dikhususkan untuk pemenuhan hak-hak difabel. Kedua, sosialisasi
kepada masyarakat bahwa difabel adalah membutuhkan pendampingan
dan pelayanan yang setara dengan non-difabe
9 Edi Suharto (2008) Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam
Bagi Masyarakat Dengan Kebutuhan serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku
Khusus internal dalam birokrasi. Yang terpenting adalah adanya suatu standar
pelayanan publik, yang menjelaskan kepada masyarakat apa pelayanan
yang menjadi kewajiban mereka, karna bagaimanapun mereka berhak
mendapatkan pelayanan terbaik.
10 Indri Dwi Aapriliyanti dan Agus Perbubahan Dalam Normal Baru : Tulisan ini menganalisis tentang dampak perubahan yang terjadi pada
Pramusinto (2020) Meredefinisi Birokrasi Di Masa cara kerja birokrasi dan pelayanan publik setelah terjadinya pandemi
Pandemi COVID-19. Argumen pokok tulisan ini adalah bahwa pandemi telah
mendorong pemerintah melakukan perubahan dalam pola kerja
kebijakan dan pelayanan publik.

16
Dilihat dari studi-studi terdahulu dapat disimpulkan bahwa hanya sedikit

sekali yang membahas kinerja pelayanan dilakukan pemerintah terhadap

pemenuhan hak-hak bagi kaum penyandang disabilitas. Ditambah lagi dalam kasus

ini dengan adanya pandemi yang menyerang seluruh dunia membuat perubahan dan

adaptasi yang baru bagi Indonesia dimana pemerintah harus sigap dan tanggap

walaupun dengan kondisi seperti ini namun tetap memberikan pelayanan terbaik,

karna pelayanan publik yang mendapat imbas yang cukup besar dari pandemi ini.

disini peneliti ingin melihat sampai dimana pelayanan yang diberikan Polres

Sleman terhadap penyandang disabilitas dalam perspektif new public service di

masa pandemi Covid-19.

1.6 Kerangka Teoritik

1.6.1 Teori Pelayanan Publik

1.6.1.1 Pengertian Pelayanan Publik Baru ( New Public Service)

New Public Service adalah paradigma yang berdasar atas konsep-konsep

yang pada hakikatnya sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Peran dari

pemerintah adalah mengolaborasikan antara nilai-nilai yang ada sehingga kongruen

dan sesuai kebutuhan masyarakat. Sistem nilai dalam masyarakat adalah dinamis

sehingga membutuhkan pelayanan yang prima dari pemerintah. Harapan sekaligus

tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas,

prosedur yang jelas, cepat dan biaya yang pantas terus disuarakan dalam

perkembangan penyelenggaraan pemerintahan. Harapan dan tuntutan masyarakat

untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas muncul seiring dengan

terbitnya kesadaran bahwa warga negara memiliki hak untuk mendapatkan

17
pelayanan yang baik, dan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan

publik yang berkualitas.

Menurut Denhardt & Denhardt (2007) dalam bukunya berjudul “The New

Public Service: Serving, not Steering”, menekankan bahwa otoritas publik tidak

boleh dijalankan seperti organisasi tetapi melayani dengan cara yang berdasarkan

suara, wajar, tidak memihak, tulus dan bertanggung jawab. Disini harus menjamin

kebebasan penduduk, dan kewajiban terhadap daerah setempat dengan

menitikberatkan pada kepentingan daerah setempat.

Dalam NPS, gagasan tentang kepentingan publik merupakan konsekuensi

dari pemahaman tentang berbagai kualitas yang ada di mata publik. Kualitas

mencakup kesopanan, keterusterangan, dan tanggung jawab adalah nilai-nilai yang

dipertahankan dalam administrasi publik. Sudut pandang new public service

menyatakan bahwa kewajiban pemberi pelayanan harus lebih terkoordinasi kepada

penduduk, bukan kepada pelanggan, pemilih, dan bukan klien.

Mengutip dari (Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2007:4-5) Pelayanan

publik atau pelayaan umum dapat didefiniskan sebagai segala bentuk jasa

pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada

prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di

pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha

Milik Daerah, dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam

rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pada hakikatnya penyelenggara pelayanan publik disini adalah pemerintah.

Jadi pelayanan publik diartikan sebagai suatu proses dimana pemerintah

18
memberikan pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh pegawai

pemerintahan, khusunya intansi terkait yang bertanggung jawab terhadap

pelayanan masyarakat tersebut.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik

merupakan bukti nyata dari pemerintah terhadap masyarakat dimana anatara

penerima dan pemberi pelayanan merasakan apa yang disebut dengan pelayanan

publik baik berupa jasa atau barang yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi,

atau dari suatu Lembaga perusahaan yang bertujuan untuk membantu atau

mengarahkan proses kegiatan yang dituju.

1.6.1.2 Unsur Pelayanan

Sebagaimana dikutip oleh Moenir, A.S (2008:186), ada 4 unsur yang tidak

dapat dilepaskan dari proses kegiatan pelayanan publik meliputi :

1. Tugas pelayanan

Tugas pelayanan disini adalah suatu intansi atau organisasi harus

memiliki standar dalam memberikan pelayanan publik kepada

masyarakat guna memberikan pelayanan yang prima.

2. Sistem dan prosedur pelayanan

Guna memberikan pelayanan yang baik dan tertib perlu adanya

informasi terkait sistem dan prosedur layanan yang dapat dimengerti

dengan mudah dirancang oleh pemerintah agar dapat diterima dan

dilakasanakan dengan baik oleh masyrakat.

19
3. Pelaksanaan pelayanan

Untuk memeberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat

pelaksanaan pelayanan sudah seharusnya merencanakan program

secara matang agar proses pelaksanaan berjalan dengan terstruktur dan

sistematis, agar masyarakat tidak berbelit-belit dan tidak membuat

mereka mereka merasa kesulitan mendapatkan pelayanan public yang

prima dari pemerintah atau swasta.

4. Kegiatan dalam pelayanan

Demi menunjang kegiatan dalam pelayanan kepada masyrakat

diharapkan pemerintah tidak membeda-bedakan dalam memberikan

pelayanan agar tidak terjadi tindakan diskriminasi karna sudah

dilindungi oleh undang-undang.

1.6.1.3 Kualitas pelayanan publik

Menurut Sinambela (2010, hal:6) bahwa secara teoritis untuk mencapai

tujuan pelayanan publik pada dasarnya agar masyarakat merasa puas dan terlayani

dengan baik. Untuk mencapai hal itu pelayanan publik dapat tercermin dari

beberapa aspek:

20
1. Transparan

Pelayanan ini memiliki sifat yang terbuka tanpa adanya hal yang harus

ditutupi dari public, kemudian dapat diakses dengan mudah,

membuktikan bahwa organisasi publik tersebut berjalan dengan baik.

2. Akuntabilitas

Pelayanan yang bertanggung jawab penuh sesuai dengan perundang-

undangan.

3. Kondisional

Berpegang pada prinsip efisien dan efektivitas, dimana pelayanan yang

sesuai dengan kondisi dan kemampuan sipemberi dan penerima

pelayanan public tersebut.

4. Partisipatif

Partisipatif merupakan pelayanan yang mendorong masyarakat akan

sadarnya penyelenggaraan akan adanya pelayanan publik dengan

melihat, kebutuhan, aspirasi dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan hak

Harus memiliki pelayanan yang adil tanpa membeda-bedakan suku, ras,

agama, status sosial, golongan dan lain-lain. Agar tidak ada terjadinya

tiondakan diskriminatif yang menyebabkan pelayanan tersaebut tidak

berjalan dengan semestinya.

6. Keseimbangan dan hak kewajiban

Keadilan merupakan hal terpenting dalam memberikan pelayanan agar

21
antara pemberi dan penerima pelayanan merasakan kepuasan atas

layanan publik tersebut.

1.6.1.4 Prinsip-prinsip pelayanan publik baru (New Public Service)

Adapun prinsip-prinsip yang ditawarkan Denhart & Denhart (2007) dalam

bukunya adalah sebagai berikut:

1. Melayani Warga Negara, bukan customer (Serve Citizens, Not

Customer)

New Publik Service melihat bahwa pemerintah bukan aktor utama

dalam menjalankan apa yang menjadi kepentingan publik.

Administrator publik adalah aktor penting dalam sistem

kepemerintahan yang lebih luas yang terdiri dari warga negara,

kelompok, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga lainnya.

2. Mengutamakan Kepentingan Publik (Seeks the Public Interest).

New Public Service berpandangan aparatur negara bukan aktor utama

dalam merumuskan apa yang menjadi kepentingan publik.

Administrator publik adalah aktor penting dalam sistem

kepemerintahan yang lebih luas yang terdiri dari warga negara,

kelompok, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga lainnya. Administrator

negara mempunyai peran membantu warga negara mengartikulasikan

kepentingan publik. Warga negara diberi suatu pilihan di setiap tahapan

22
proses kepemerintahan, bukan hanya dilibatkan pada saat pemilihan

umum.

3. Kewarganegaraan lebih berharga daripada Kewirausahaan (Value

Citizenship over Entrepreneurship).

New Public Service melihat keterlibatan masyarakat dalam proses

administrasi dan pemerintahan lebih penting ketimbang pemerintahan

yang digerakkan oleh semangat wirausaha. New Publik Service

beranggapan bahwa kepentingan publik akan lebih baik bila dibentuk

dan diciptakan oleh pemerintah bersama-sama dengan rakyatnya yang

memiliki komitmen untuk memberi sumbangansih berarti pada

kehidupan bersama dari pada oleh perusahaan berjiwa wirausaha yang

bertindak seolah uang dan kekayaan publik itu milik mereka.

4. Berpikir Strategis, Bertindak Demokratis (Think Strategically,

ActDemocratically).

Gagasan utama di balik prinsip ini adalah bahwa kebijakan dan program

untuk menangani kebutuhan publik dapat merespons secara efektif dan

cepat ketika dikelola melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif.

Prinsip ini berkaitan dengan bagaimana administrasi menerjemahkan

atau mengimplementasikan kebijakan publik sebagai ekspresi dari

kepentingan publik.

23
5. Tahu kalau Akuntabilitas Bukan Hal Sederhana (Recognize that

accountability is not Simple).

pemerintah tidak hanya harus mengutamakan kepentingan pasar, tetapi

juga konstitusi, hukum, nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-nilai politik,

standar profesi, dan pemenuhan kepentingan warga negara. Menurut

new public service, efisiensi, efektivitas dan kepuasan pelanggan

adalah penting, tetapi pemerintah juga harus bertanggung jawab atas

kinerja mereka dari perspektif etika, prinsip-prinsip demokrasi dan

kepentingan publik. Birokrat bukanlah seorang wirausahawan dalam

usahanya sendiri yang hasil atau kegagalan dari keputusan yang

diambilnya diterima oleh dirinya sendiri. Semua warga negara

menanggung risiko gagal mengimplementasikan kebijakan publik.

Oleh karena itu, akuntabilitas kepada pemerintah bersifat kompleks dan

serbaguna, dengan banyak aspek seperti akuntabilitas profesional,

hukum, politik dan demokrasi. Tanggung jawab pemerintah kepada

masyarakat, khususnya kepada daerah, masih sangat lemah, dan banyak

yang tidak menyadari transparansi semua kegiatan dan pelaporan

keuangan di daerahnya. Hal ini mencerminkan kurangnya akuntabilitas

pemerintah terhadap demokrasi.

24
6. Melayani Ketimbang Mengarahkan (Serve Rather than Steer).

sebagai pelaksana pelayanan publik instansi pemerintah perlu untuk

berbagi, kepemimpinan berdasarkan membantu warga negara

mengekspresikan dan melaksanakan kepentingan mereka, daripada

mengontrol mereka atau mengambil keputusan yang belum tentu

menjadi bagian dari kepentingan mereka.

7. Menghargai Manusia, Bukan Sekedar Produktivitas (Value People, Not

Just Productivity).

Lembaga publik dan jaringan partisipatifnya akan lebih berhasil dalam

jangka panjang jika mengacu pada kepemimpinan bersama berdasarkan

non-diskriminasi dan saling menghormati melalui proses kolaboratif.

Tujuannya adalah untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik

sesuai dengan nilai-nilai dasar demokrasi dan mencegah kemungkinan

pelanggaran demokrasi.

1.6.1.5 Standar pelayanan publik

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar

pelayanan, bentuk jaminan dari pemberi kepada penerima layanan dalam proses

pengajuan permohonannya. Ini merupakan bentuk pedoman bagi pelaksana

pelayanan publik serta sebagai alat kontrol masyarakat sebagai penerima layanan

atas kinerja penyelenggara pelayanan.

25
Dengan demikian dibuatlah dan ditetapkan pelayanan sesuai dengan sifat,

jenis dan karakterisik layanan yang akan diselenggarakan dengan memeperhatikan

kebutuhan dan kondisi lingkungan.

Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri PAN nomor

63/KEP/M.PAN/7/2003, sekurang-kurangnya meliputi:

1. Prosedur pelayanan;

2. Waktu Penyelesaian;

3. Biaya Pelayanan;

4. Produk Pelayanan;

5. Sarana dan Prasarana;

6. Kompetensi petugas pelayanan

1.6.1.6 Dimensi-dimensi pelayanan publik baru (New Public Service)

Menurut Denhardt & Denhardt (2007) dalam bukunya berjudul “The New

Public Service : Serving, not Steering” Dimensi untuk mengukur keberhasilan

penerapan layanan New Public service dapat dilihat dari Keberhasilan penerapan

standar pelayanan publik dan konsep kualitas terendah memerlukan aspek-aspek

yang dapat mempertimbangkan realitas pengelolaan sektor publik yang lebih

partisipatif, transparan, dan bertanggung jawab. Ada sepuluh aspek untuk

mengukur keberhasilan ini :

1. Tangible

Menekankan pada penyediaan fasilitas, peralatan fisik, personel dan

komunikasi.

26
2. Reability

Kemampuan unit layanan untuk memberikan persis apa yang

dijanjikan.

3. Responsiveness

Kesediaan untuk mendukung penyedia layanan dalam memenuhi

kualitas layanan yang diberikan.

4. Competence

Tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan keterampilan yang baik

oleh aparatur dalam memberikan layanan.

5. Courtessy

Ramah, sikap tulus atau perilaku yang menanggapi permintaan

pelanggan dan bersedia melakukan kontak atau hubungan pribadi.

6. Credibility

Kejujuran dalam setiap usaha untuk mendapatkan kepercayaan dari

masyarakat.

7. Security

Layanan yang diberikan dijamin dan bebas risiko.

8. Access

Ada fasilitas komunikasi dan kedekatan.

9. Communication

Kemampuan penyedia layanan untuk mendengarkan suara pelanggan,

keinginan untuk memberika layanan terbaik untuk mereka, serta

27
keinginan untuk terus-menerus menyampaikan informasi baru kepada

masrakat.

10. Understanding Customer

Melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.

1.6.1.7 Jenis-jenis pelayanan publik

Berdasarkan MENPAN No. 63/KEP/MENPAN/ 7/ 2003 yang isinya ada

beberapa kegiatan pelayanan umum atau publik lainnya, diantaranya:

1. Pelayanan adminstratif

Pelayanan jenis ini menghasilkan dokumen-dokumen penting yang

dibutuhkan masyarakat. Dokumen yang dimaksud berupa KTP, akte

kelahiran, sertifikat kepemilikan tanah, buku pemilik kendaraan

bermotor (BPKB), surat izin mengemudi (SIM), surat tanda kendaraan

bermotor (STNK) dan lain-lain.

2. Pelayanan barang

Pelayanan jenis ini menghasilkan berbagai bentuk atau kebutuhan jenis

barang yang digunakan oleh masyarakat. Beberapa contoh pelayanan

barang yaitu, jaringan internet, jaringan telpon, air bersih, dan lain-lain.

28
3. Pelayanan jasa

Pelayanan jenis ini merupakan bentuk jasa yang disediakan pemerintah

untuk memudahkan masyarakat dalam beraktivitas sebagai contoh :

transportasi, Pendidikan, Kesehatan, dan lain-lain.

1.6.1.8 Pelayanan SIM

SIM merupakan hasil dari pelayanan publik yang diberikan instansi dalam

fungsi satuan lalulintas (SATLANTAS). SIM merupakan alat bantu yang

digunakan pihak kepolisian untuk melihat masyarakat layak atau tidak dalam

menggunakan kendaraan bermotor. Pelayanan jenis ini bersifat pelayanan yang

admisntratif.

SIM juga bentuk perlindungan yang dilakukan kepolisian terhadap

masyarakat Indonesia agar dapat terhindar dari kecelakaan dan permasalahan

hukum berkenaan dengan hak mengemudi kendaraan bermotor.

Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan SIM,

termasuk SIM D yaitu :

1. Syarat usia minimal usia 17 tahun untuk SIM A, C, dan SIM D, usia 20

tahun untuk SIM B I, usia 21 tahun untuk B II, 22 tahun untuk SIM B I

umum.

2. Kesehatan pendengaran diukur dari kemampuan mendengar dengan

jelas bisikan dengan satu telingatertutup untuk setiap telinga dengan

jarak 20 cm (senti meter) dari dauntelinga, dan kedua membran telinga

harus utuh.

29
3. Dalam batas normal dan tidak ditemukan keganjilan fisik. Bagi

pemohon SIM disabilitas selama bisa mengemudikan kendaraan

bermotor, kedisabilitasannya tidak mengganggu dalam mengendarai

kendaraan bermotor dan harus ada surat pengantar dokter umum atau

dokter kepolisian.

1.6.2 Disabilitas

Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2016, Penyandang Disabilitas adalah setiap

orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik

dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat

mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif

dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Untuk lebih jauh ada

beberapa jenis disabilitas :

1.6.2.1 Disabilitas fisik

Ketika seseorang mengalami gangguan fungsi tubuh. Kelainan ini dapat

terjadi saat melahirkan atau akibat kecelakaan, penyakit, atau efek samping

pengobatan. Beberapa jenis termasuk kelumpuhan, kehilangan anggota tubuh

karena amputasi, dan cerebral palsy.

1.6.2.2 Disabilitas sensorik

Di mana seseorang mengalami fungsi panca indera yang terbatas. Jenis

kecacatan ini termasuk gangguan bicara, pendengaran, dan penglihatan.

1.6.2.3 Disabilitas mental

30
Penyandang disabilitas intelektual memiliki keterbatasan akibat gangguan

mental atau serebral. Cacat intelektual, termasuk gangguan bipolar, gangguan

kecemasan, depresi, dan gangguan mental lainnya. Penyandang disabilitas

intelektual dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi, berpikir, mengambil

keputusan, dan mengekspresikan pikiran mereka.

1.6.2.4 Disabilitas intelektual

Cacat mental dapat digambarkan sebagai kecerdasan di bawah rata-rata,

kesulitan memproses informasi, pembatasan komunikasi, komunikasi sosial, dan

kepekaan terhadap lingkungan. Beberapa bentuk kecacatan intelektual adalah

sindrom Down dan pertumbuhan terhambat.

1.7 Definisi Koseptual

1.7.1 Pelayanan publik baru ( new public service)

Pemerintah ini tidak dijalankan sebagai perusahaan, tetapi melayani

masyarakat secara demokratis, adil, adil, tidak diskriminatif, adil dan bertanggung

jawab. Di sini pemerintah harus menjamin hak-hak warga negara dan memenuhi

kewajibannya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.

31
1.7.2 Disabilitas

Disabilitas adalah bentuk dimana seseorang dengan keadaan yang tidak

normal dalam melakukan kegiatan sehari-hari sehingga membutuhkan pelayanan

khusus atau perhatian khusus dari orang sekitar atau pemerintah.

32
1.8 Definisi Operasional

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pelayanan yang dilakukan Polres Sleman dalam memberikan pelayanan SIM
bagi disabilitas dalam perspektif new public service dimasa pandemi Covid-19 ini.
VARIABEL INDIKATOR
Tangiable (bentuk fisik) 1. Fasilitas kendaraan khusus disabilitas
2. Ruang dan fasilitas khusus disabilitas
Reliability (kehandalan) 1. Prioritas pelayanan bagi pemohon SIM disabilitas
Responsiveness (daya 1. Pelayanan cepat bagi disabilitas
tanggap) 2. Tanggapan terhadap keluhan dan Penanganan
keluhan pemohon SIM disabilitas
Competence 1. Keterampilan petugas melayani pemohon SIM
(kompetensi) disabilitas
Courtessy (kesopanan) 1. Sikap pelayanan petugas kepada pemohon SIM
disabilitas
Credibility (kredibilitas) 1. Biaya pelayanan yang sesuai ketentuan
Security (keamanan) 1. Penerapan protokol kesehatan bagi pemohon
disabilitas
Acces (akses) 1. Akses yang didapatkan pemohon disabilitas dalam
pelayanan SIM
Communication 1. Komunikasi petugas dengan pemohon SIM
(komunikasi) disabilitas dalam Penyampaian beberap poin yang
di butuhkan oleh pemohon SIM disabilitas
Understanding customer 1. Pemahaman petugas terhadap apa yang diinginkan
(pemahaman kustemer) dan dibutuhkan pemohon terutama disabilitas

33
1.9 Metode Penelitian

1.9.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Dikutip dari (Suwendra, 2018) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan berupa lisan atau kata-kata dari data deskriptif dengan

mengamati prilaku yang dilakukan orang-orang.

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu dengan memakai pola

gabungan, dan kemudian digabungkan kelanjutannya dengan proses analisis data yang bersifat

induktif. Peneliti ini melakukan penelitian yang menggambarkan kejadian atau masalah

dilapangan yaitu melihat kualitas Pelayanan SIM dimasa Pandemi Covid-19 bagi Penyandang

Disabilitas di Polres Sleman, khususnya pelayanan SIM D bagi penyandang Disabilitas di

Polres Sleman.

1.9.2 Data dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam peneliti guna memperoleh data-data yang

berhubungan dengan penelitian ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu:

1.9.2.1 Data Primer

Data primer datang dari observasi dilakukan peneliti yang langsung didapat dari tangan

pertama yang menyangkut pendapat dari responden tentang variable penelitian. Yang disini

menjadi objek penelitian yaitu wawancara terhadap pihak Polres sleman dan Para penyandang

disabilitas dari pusat rehabilitasi YAKKUM guna melihat efektivitas pelayanan SIM D bagi

kaum disabilitas yang ada di kabupaten Sleman dimasa pandemi ini.

1.9.2.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data-data yang didapatkan dari berbagai macam sumber

sehingga bisa saja sifatnya tidak faktual. Data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku,

34
informasi dari internet, arsip-arsip, dan dokumen-dokumen yang memiliki keterkaitan sau

dengan lainnya terhadap variable penelitian ini.

1.9.3 Unit Analisis

Unit analisis dapat diartikan sebagai fokus penelitian yang akan diteliti. Guna dari

penelitian ini untuk menjawab permasalahan yang akan diteliti. Maka unit analisis dari

penelitian ini adalah pelayanan SIM Polres Sleman.

1.9.4 Lingkup Penelitian

Peneliti ingin mengetahui sejauh mana pelayanan yang diberikan Polres Sleman

terhadap pelayanan SIM D bagi penyandang disabilitas dimasa pandemi ini. Karna banyak

sekali permasalahan baru yang muncul kemudian akan dihadapi pelayanan publik dimasa

pandemi ini termasuk pelayanan SIM yang dilakukan oleh Polres Sleman.

1.9.5 Teknik Pengumpulan Data

Setelah peneliti mendapatkan data dan informasi dari objek penelitian yang diteliti,

maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menyajikan data secara utuh tanpa tambahan

maupun pengurangan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.

Maka teknik pengumpulan dalam penelitian ini adalah:

1.9.5.1 Studi Pustaka

Dengan melakukan studi Pustaka maka mencoba untuk mencari solusi dari

permasalahan yang ada dengan cara-cara yang ilmiah salah satunya dengan studi Pustaka. Studi

Pustaka merupakan teknik pengumpulan data atau informasi dengan menelaah dari sumber

yang didapat seperti jurnal ilmiah, buku refrensi, ensiklopedia, karangan ilmiah, serta dari

sumber sumber lain yang terpercaya baik dalam bentuk tulisan maupun dalam format digital

yang relevan sesuai dengan objek yang diteliti (Arikunto, 2006). Maka dalam penilitan ini,

35
studi Pustaka sangat relevan karna banyak sekali literatur-literatur ilmiah yang berbentuk

tulisan maupun digital yang bersangkutan dengan kualitas pelayanan SIM yang dapat dijadikan

sebagai bahan studi pustakanya.

1.9.5.2 Wawancara

Menurut Lexy J. Moleong (1991:135) yang mendifinisikan bahwa wawancara

bertujuan untuk mendapatkan informasi melalui tatap muka dengan tujuan percakapan tertentu

yang membutuhkan responden dan peneliti sebagai pencari informasi agar memperoleh

informasi secara lisan dengan mendapatkan data tujuan yang bisa menjelaskan masalah

penelitian. Adapun dalam kasus ini peneliti akan terjun langsng kelapangan untuk

mendapatkan data secara lengkap dan terperinci dan melakukan tanya jawab kepada responden

yaitu dari pihak pelayanan SIM di polres Sleman serta pusat rehabilitasi YAKKUM terkait.

Adapun objek tersebut secara mendalam yaitu pihak:

1. staff penyelenggara pembuatan SIM

2. petugas lapangan penguji kendaraan bermotor bagi disabilitas.

3. Penyandang disabilitas dari pusat rehabilitasi YAKKUM yang mendapatkan

pelayanan.

1.9.5.3 Observasi

Observasi merupakan metode yang akurat dan mudah untk melakukan pengumpulan

data yang bertujuan mencari tahu akan sesuatu untuk dipahami dalam penelitian. Observasi

juga merupakan salah satu tolak ukur yang banyak digunakan untuk mengukur proses dan

tingkah laku individu yang akan diteliti dan amati. Dalam penelitian ini penulis sebagai peneliti

ingin melihat sudah sejauh mana tingkat kepuasan terhadap pelayanan sim D bagi disabilitas

36
dalam perspektif new public service, yang diterima penyandang disabilitas terhadap pelayanan

yang diberikan oleh Polres Sleman untuk mendapaatkan SIM dan melihat lebih dalam untuk

menemukan permasalahannya.

1.9.5.4 Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan suatu metode pengempulan data kualitatif dimana

dengan menganalisis dokumen-dokumen yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan

gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya. Maka

dengan metode ini penulis mendapatkan data atau catatan-catatan yang berhubungan dengan

peneletian sebagai contoh : gambaran umum polsek sleman, struktur organisasi pelayanan SIM

polsek Sleman, keadaan kantor layanan SIM disablitas polsek Sleman, catatan-catatan serta

foto-foto dokumentasi pelayanan SIM bagi disabilitas polsek Sleman dan sebagainya. Dengan

menggunakan metode ini sebenarnya untuk melengkapi data yang belum didapatkan melalui

metode daftar Pustaka, wawancara dan observasi.

1.9.6 Teknik Analisa Data

Untuk mencapai tujuan penelitian yang akan dicapai maka penulis akan dimulai dengan

menelaah seluruh data yang sudah tersedia dari berbagai sumber yang telah didapatkan seperti

daftar Pustaka, wawancara, dokumentasi, dan observasi. Sehingga nantinnya hal-hal pokok

dari penilitian ini dapat dikendalikan oleh penulis sebagai tanggung jawab dari penelitian ini

dengan cara disusun secara sistematis.

Dalam hal ini penulis menggunakan analisa data kualitatif, dimana data yang diperoleh

dianalisa dengan metode deskriptif dengan cara berfikir induktif yaitu penelitian dimulai dari

fakta-fakta yang bersifat empiris dengan cara mempelajari suatu proses, suatu penemuan yang

37
terjadi , mencatat, menganalisa, menafsirkan, melaporkan serta menarik kesimpulan dari proses

tersebut.

Menurut Bogdan dan Becklin, yang dikutip oleh Lexi J. Mulong (1991), analisis data

kualitatif adalah upaya bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah data ke dalam

unit-unit yang dapat dikelola, menggabungkan, mencari dan menemukan pola, dan

menemukan pola. Putuskan apa yang penting dan apa yang telah dipelajari apa yang dapat

dibagikan kepada orang lain.

Langkah-langkah penulis dalam menganalisis data adalah dengan cara sebagai berikut:

1. Reduksi data

Untuk mempermudah penulis guna mendapatkan gambaran yang lebih jelas dalam

penelitiannya dengan banyaknya data yang didapatkan dan memilah-memilih data

tersebut perlu adanya yang disebut dengan metode reduksi data atau mereduksi

data berarti merangkum data yang telah kita dapatkan dengan demikian akan

memfokuskan pada hal-hal penting dan menemukan pola penelitian agar lebih

mudah dipahami

2. Penyajian data

Setelah metode mereduksi data selesai, maka Langkah selanjutnya adalah

menyajikan data. Penyajian data ini dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat,

bagan, tabel, hubungan antar kataegori dan sejenisnisnya. Tujuan dari metode ini

untuk memudahkan dan memahami apa yang terjadi, merencanakan peran kerja

berdasarkan apa yanag telah dipahami tersebut.

3. Verifikasi data

Verifikasi ini merupakan metode penarikan kesimpulan berdasarkan bukti-bukti

yang valid dan konsisten saat melakukan penelitian.

38
39
40

Anda mungkin juga menyukai