Anda di halaman 1dari 9

1.

Muhammad Faiz Hanindra Sayogatama (17107020022)


2. Anjar dwi kesuma (19107020036)
3. Aldrich Noveandro Rafif Suryopramono (19107020030)
4. Afif Hidayatulloh (19107020033)
5. Riza Nurhamdani (19107020007)

Pendahuluan
Di sekitar kita banyak sekali fenomena dan problem-problem sosial yang tanpa kita sadari
menjadi masalah penting bagi beberapa orang. Oleh karena itu seringkali ketika berhadapan
dengan berbagai masalah sosial kita sulit untuk mengurai latar belakang masalah, pengaruh
kepentingan serta implikasi yang mungkin muncul. Kesulitan memahami kaitan masalah sosial
disebabkan karena keterbatasan kemampuan dalam memetakan variabel yang saling
mempengaruhi. Untuk itu, diperlukan sebuah konsep pemikiran dalam melakukan analisis sosial
agar mampu membaca dan memahami realitas sosial secara utuh.
Analisis sosial sendiri merupakan sebuah usaha untuk menelaah gambaran yang lengkap
mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan historis dan struktural, analisis sosial
menjadi sebuah alat yang memungkinkan kita menangkap realitas sosial yang kita gumuli.
Di dalam penyusunan analisis sosial ini kami mengambil topik pelayanan penyandang disabilitas
di daerah Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Seperti yang kita tahu sebelumnya bahwa di dalam
kehidupan kita masih terdapat ketidakadilan yang dialami beberapa orang, salah satunya adalah
mereka yang mengalami kecacatan atau yang kita kenal sebagai penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Persoalan mengenai penyandang disabilitas merupakan persoalan yang menarik untuk
diperhatikan. Pada sila ke 5 yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila tersebut
merupakan sebuah simbol, kode dan juga teguran keras kepada rakyat Indonesia untuk dapat
mewujudkan sebuah keadilan kepada setiap manusia dan mnghilangkan segala bentuk
diskriminatif. Pasalnya sebagian besar dari penyandang disabilitas menyadari betul akan
kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seperti bekerja, mencari ilmu meraih cita-cita sesuai
dengan kemampuan mereka meskipun memiliki keterbatasan fisik. kendati demikian, hanya
salah satu bagian atau organ tubuh saja yang terbatas, tetapi masih ada bagian-bagian lain yang
masih berfungsi dengan baik dan bisa dioptimalkan guna memenuhi kebutuhan untuk bertahan
hidup. Sehinga para penyandang disabilitas membutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk
berpartisipasi aktif di dalam masyarakat serta demi terwujudnya keadilan di dalam konteks
pembangunan sosial.
Selain itu, persoalan diskriminatif penyandang disabilitas merupakan sebuah masalah sosial. Di
mana masalah tersebut timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia yang bersumber
pada faktor biologis ataupun biopsikologis. Masalah sosial tersebut juga yang mendasari kami
untuk membuat sebuah analisis sosial. Di mana sebagian dari kita terkadang sering mengabaikan
masalah-masalah sosial yang dekat dengan kehidupan kita.
Oleh karenanya sebuah persoalan yang merupakan masalah sosial belum tentu mendapat
perhatian yang sepenuhnya dari masyarakat. Sebaliknya, suatu persoalan yang mendapat sorotan
masyarakat belum tentu merupakan masalah sosial. Keberadaan penyandang disabilitas di
tempat-tempat umum mungkin tidak terlalu diperhatikan masyarakat. akan tetapi, suatu
kecelakaan kereta api yang meminta korban banyak lebih mendapat sorotan masyarakat. Oleh
karena itu dalam membicarakan topik yang dipilih, kami akan berusaha untuk berpikir senetral
mungkin. Karena jika kami terlampau terpaut pada perhatian masyarakat dalam membuat
perencanaan sosial, hasil analisisnya akan meleset.
Perencanaan merupakan alat untuk mendapatkan perkembangan sosial, dengan jalan menguasai
serta memanfaatkan kekuatan alam dan sosial serta menciptakan tata tertib sosial, melalui mana
perkembangan masyarakat terjamin kelangsungannya. Selain itu perencanaan sosial bertujuan
pula untuk mengetahui bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial,
dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial. Oleh karena itu diharapkan
perencanaan sosial ini dapat menjadi alat untuk membantu memberikan pelayanan penyandang
disabilitas. Selanjutnya untuk melaksanakan perencanaan sosial dengan baik, diperlukan
organisasi dan progam progam yang baik serta adanya kedisiplinan di semua pihak yang berarti
menghilangkan kebebasan di pihak lainnya. Hal tersebut bertujuan agar semua pihak bisa fokus
untuk mengatasi persoalan dan menghindari penyalahgunaan yang dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu.

Pemetaan
Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang sama dari
pemerintah, tak terkecuali mereka yang berkebutuhan khusus atau kaum difabel. Kaum difabel
tidak hanya menjadi urusan Dinas Sosial tetapi mereka juga membutuhkan pelayanan yang
adil dalam bidang pendidikan, kesehatan, aksesibilitas fisik pada bangunan hingga hak
berpolitik. Oleh karena itu perlunya mengetahui bagaimana pemberian pelayanan diberikan
oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan
interaksi sosial lainnya.
Jumlah difabel di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data Dinas Sosial
tahun 2011 adalah 35. 264 orang, dan untuk Kota Yogyakarta sendiri berjumlah 3.353 orang
atau sekitar 9. 51 % dari total jumlah kelompok berkebutuhan khusus di DIY. Berdasarkan
jenis kelamin, penyandang cacat di Kota Yogyakarta adalah seperti terlihat dalam tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Jumlah Penyandang Cacat di Kota Yogyakarta Tahun 2011
NO KETERANGAN JUMLAH %
1 Laki-laki 1.836 54,76
2 Perempuan 1.517 45,24
JUMLAH 3.353 100,00

Tahun 2018

Data Dinas Sosial DIY dalam dokumen PPID Dinas Sosial DIY (DIY, 2018) menyebutkan
bahwa jumlah penyandang disabilitas DIY berjumlah 27.094 dengan sebaran lima (5)
Kabupaten/Kota di DIY yaitu Bantul (6324); Gunung Kidul (7694); Kulon Progo (5208); Sleman
(6079); dan Kotamadya (1789). Data tersebut merupakan jumlah penyandang disabilitas yang
terangkum dari semua jenis atau ragam disabilitas di DIY. Dari data tersebut dapat
diklasifikasikan dalam kategori disabilitas dan jenis yang dialami setiap Kabupaten/Kota di DIY
sebagaimana berikut disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Kategori Usia Penyandang Disabilitas

PMKS Kabupaten Kota


No Kulon Gunung Jumlah
Kategori Jenis Distabilitas Progo Bant Kidul Sleman Yogyakarta
ul
1 Mental Psikotik 368 436 172 390 269 1.635
2 Sensorik Netra 366 464 709 366 110 2.015
Runguwicara 391 437 638 418 112 1.996
Eks Kronis 199 176 328 212 160 1.075
Tubuh Kaki 1.023 958 1.223 751 250 4.205
3 Fisik Tubuh Tangan 284 370 594 205 75 1.528
Tubuh Bungkuk 162 186 251 102 31 732
Tubuh Kerdil 27 73 87 35 12 234
4 Intelektual Mental Retardasi 1.438 1.771 1.888 1.591 465 7.153
5 Ganda Ganda 233 427 431 232 67 1.390
Tidak
6 Diketahui N/A 717 1.026 1.373 1.777 238 5.131
Jenis
Kecacatan
Jumlah 5.208 6.324 7.694 6.079 1.789 27.094
Sumber : http://dinsos.jogjaprov.go.id

Melihat permasalahan pemenuhan hak difabel dan tingginya angka penyandang disabilitas
khususnya di DIY, menarik untuk membahas bagaimana pelayanan yang diberikan Balai
Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas guna mengembangkan potensi diri dan
menngoptimalkan pemberdayaan penyandang disabilitas dalam hal memperoleh hak yang sama pada
umumnya. Jika pelayanan yang diberikan dirasa kurang baik maka bisa dijadikan evaluasi bagi
pemangku kebijakan untuk memperbaiki sistem pelayanan bagi penyandang disabilitas. Namun
sebaliknya, jika pelayanan yang diberikan kepada penyandang disabilitas sudah memenuhi standar
pelayanan maka dapat diciptakan inovasi, ide, dan gagasan baru untuk variasi pelayanan agar
pelayanan yang diberikan dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan klien di masa depan.
Selain itu, menjalankan suatu pelayanan akan memunculkan eberapa faktor penghambat dan
pendukung pelayanan yang manakala dapat dijadikan koreksi dan inovasi bagi penyedia pelayanan
untuk menciptakan pelayanan yang sesuai dengan keadaan.

Kemudian dari peran pemerintah terhadap implementasi program tenaga kerja inklusif dari progam-
progam pemerintah bagi penyandang disabilitas di daerah Kabupaten Sleman. Terdapat beberapa
kesimpulan ataupun aspek aspek penting di antaranya.
Aspek pertama yaitu peraturan daerah menindaklanjuti UU No 8 Tahun 2016: Kab. Sleman peran
pemerintah daerah menunjukkan aktif. Pemerintah daerah sudah membuat peraturan dalam masalah
pekerjaan bagi penyandang disabilitas dan sejauh ini belum ada. Dan sejauh ini di dalam persoalan
pekerjaan belum ada institusi kerja yang menerima sanksi dari peraturan daerah. Hal tersebut
membuktikan perusahaan/lembaga pemerintah yang mempekerjakan disabilitas menyebutkan belum ada
sanksi bagi perusahaan/lembaga pemerintah yang tidak mempekerjakan tenaga kerja disabilitas.
Aspek kedua yaitu sosialisasi, pada Kab. Sleman peran pemerintah daerah menunjukkan kurang aktif,
yaitu terkait keberadaan pelaksanaan sosialisasi ke perusahaan, masyarakat, dan keluarga. Hasil
penelurusan menunjukkan sosialisasi kurang aktif, karena hanya dilakukan pada waktu ada penempatan
kerja di perusahaan saja oleh pihak terkait itu saja secara umum bukan khusus penempatan kerja
penyandang disabilitas, sedangkan di keluarga dan masyarakat tidak pernah ada sosialisasi.
Aspek ketiga yaitu aksesibilitas penyandang disabilitas, pada Kab. Sleman peran pemerintah daerah
menunjukkan sangat aktif, yaitu terkait keberadaan aksesibilitas untuk layanan publik, lingkungan kerja,
ruang kerja, sarpras dan adanya informasi yang memadai. Hasil penelurusan menjelaskan telah memadai
hanya saja karena tenaga kerja penyandang disabilitas adalah sebagian besar adalah penyandang
disabilitas daksa ringan, artinya pihak perusahaan tidak harus menyediakan aksesibilitas, karena
menganggap tenaga kerja disabilitas bisa menggunakan fasilitas yang ada seperti non disabilitas

Analisis
Penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai
kedudukan, hak, kewajiban, serta peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam
kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kebijakan pemerintah
yang memperhatikan dan mewadahi tentang hak penyandang disabilitas dalam kegitan
kehidupannya dalam masyarakat. Maka dari itu semua pemerintah memberikan sebuah hak
istimewa bagi mereka para penyandan disabilitas seperti menyediakan pasilitas pasilitas.
1. Pemerintah memberikan sebuah pasilitas umum bagi para penyandang disabilitas,
seperti bus angkutan umum khusu, dan ada pula dari indipidualis masyarakat yang
meneyediakan ojek yang khusu untuk penyandak disabilitas tersebut, bahkan dari
olimpiade dan pekerjaan yang khusus di berikan untuk para penyandang disabilitas.
2. Upaya pemerintah dalam melindungi kehidupan penyandang disabilitas sudah
tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti halnya
yang belum lama ini diterbitkan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma
kebutuhan penyandang disabilitas.
Jika dilihat dari apa yang pemerintah berikan kepada penyandang disabilitas itu merupakan
sebuah rangkulan, kepedulian pemerintah terhadap mereka. Maka dari itu semua kita selaku
masyarakat harus sadar dan mengerti terhadap mereka. Dan kita sebagai manusia harus sadar
dan menjaga pasilitas pasilitas tersebut.

Berdasarkan dari pemetaan yang telah dilakukan, kami menyimpulkan bahwa perlu adanya
perhatian lebih terhadap kelompok penyandang disabilitas dari pemerintah Kabupaten Sleman.
Hal itu mengingat kelompok penyandang disabilitas yang ada di Kabupaten Sleman adalah yang
terbanyak ketiga di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Perhatian lebih dari pemerintah
daerah juga berpotensi untuk mengurangi beberapa faktor yang dirasa merugikan dan kurang
memihak kelompok penyandang disabilitas. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Kurangnya peluang kerja bagi para penyandang disabilitas. Sebagian besar lapangan
kerja biasanya tidak memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk ikut
berkontribusi dalam usaha atau pekerjaan yang dibuka oleh perusahaan, UMKM, ataupun
pegawai pemerintahan.
2. Kurangnya akses bagi para penyandang disabilitas dalam menggunakan fasilitas publik
dan transportasi umum. Beberapa jalan yang ada di Kabupaten Sleman masih belum
ramah terhadap penyandang disabilitas (terutama bagi kelompok tunanetra). Di samping
itu beberapa fasilitas publik ( seperti toilet dan mushola) dan transportasi umum yang ada
juga belum mempunyai akses khusus bagi penyandang disabilitas
3. Pelayanan publik yang kurang memperhatikan kelompok penyandang disabilitas. Dalam
keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 63 Tahun 2004 mengenai
asas pelayanan, dijelaskan bahwa pelayanan publik harus memenuhi asas: trasnparansi;
akuntabilitas; kondisional; partisipatif; kesamaan hak; keseimbangan hak dan kewajiban.
Hal ini juga termasuk dalam memberikan pelayanan kepada kelompok penyandang
disabilitas.

Rekomendasi
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam melindungi Hak Asasi Manusia bagi
Penyandang Disabilitas di Indonesia. Sebagai salah satu negara yang turut dalam
penandatanganan konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Indonesia mengesahkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of
Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Selain itu, disahkan juga
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menggantikan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Pergeseran penyebutan cacat menjadi difabel merupakan bentuk perubahan paradigma yang terus
berkembang hingga kini. Semula melihat Penyandang Disabilitas melalui pendekatan
spiritualisme, yang mana Penyandang Disabilitas dianggap sebagai hukuman/dosa akibat
perbuatan yang menyalahi norma masyarakat atau agama. Lalu berkembang menjadi dianggap
sebagai orang yang sakit, lalu berkembang menjadi bagian dari warga negara yang memiliki hak
untuk hidup (civil rights model) dan terakhir muncul bahwa difabel adalah bagian dari
masyarakat. Paradigma inilah yang meyakini bahwa Penyandang Disabilitas dengan kondisinya
yang berbeda tidak bisa diekslusifkan keberadaannya, namun perlu mewujudukan kondisi yang
inklusif di Indonesia.
Penyandang Disabilitas menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 diartikan sebagai setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Penyandang Disabilitas memiliki
berbagai keterbatasan yang tidak dimiliki masyarakat non disabilitas. Dengan keterbatasannya,
Penyandang Disabilitas ingin mengembangkan dirinya melalui kemandirian yang bermartabat,
memiliki hak dan akses yang sama dalam pelayanan publik, dan inklusivitas dalam berbagai
aspek pembangunan Indonesia.
Salah satunya yaitu kurangnya peluang kerja bagi para penyandang disabilitas. Dan saran dari
kami yaitu:
1. Untuk pengampu kebijakan, Kementerian Sosial dan Direktorat Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas, menugaskan penyuluh sosial/Pendamping Penyandang
Disabilitas (PPD) dan atau Tenaga Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas
(TKSPD) dengan ragam disabilitas dalam mendampingi keluarga dan penyandang
disabilitas agar memiliki kemandirian kerja di sektor formal.
2. Pemerintah Daerah harus men-support regulasi UU No 8 Tahun 2016 dalam bentuk
Peraturan Gubernur dan Peraturan Daerah. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
menyosialisasikan UU No 8 Tahun 2016 pada lembaga pemerintahan/perusahaan yang
memberikan peluang kerja bagi penyandang disabilitas dengan memperhatikan segala
aksesibilitas sesuai dengan ragam disabilitas penyandang disabilitas. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah memberikan reward dalam bentuk bantuan pengadaan aksesibilitas
dan atau konsesi/pengurangan pajak, mempermudah perijinan kepada perusahaan yang
berprestasi dalam ketenagakerjaan/memperkerjakan/merekrut tenaga kerja penyandang
disabilitas sesuai dengan yang diharuskan (kouta 1 persen atau 2 persen).
3. Kemenaker/Kemensos dan stakeholder menyusun JOB FRIENDLY bagi ragam
disabilitas berbasis kompetensi. Disnakertrans Prov/Kab/Kota meningkatkan peran dan
fungsi jabatan fungsional Pengawas dan Pengantar Kerja (fungsi sosialisasi dan advokasi)
berdasar ragam disabilitas. Kolaborasi Disnakertrans dan Dinsos Prov/Kab/Kota dalam
peningkatan dan pengembangan SDM Peksos/Pensos/PPD/TKSPD dengan
Pengawas/Pengantar Kerja (mitra/pendamping kerja) melalui Bimtek Ketenagakerjaan
Penyandang Disabilitas.
4. Pemerintah/Pemerintah Daerah/Perusahaan dan stakeholder berkolaborasi atau kerjasama
untuk penyusunan Kurikulum Kerja berbasis Kompetensi bagi Penyandang Disabilitas
Dalam Rangka Persiapan Kerja pada Perusahaannya. Lembaga pemerintahan/perusahaan
perlu peningkatan pada (1) aspek rekrutmen dan seleksi yang berpedoman pada UU No 8
Tahun 2016, (2) memperhatikan kompetensi penyandang disabilitas (tingkat pendidikan,
pengalaman kerja, dan keterampilan), (3) meningkatkan perilaku pelaksana (stakeholder)
berpihak pada penyandang disabilitas, (4) kejelasan informasi pelayanan dalam lembaga
pemerintahan/perusahaan, (5) aspek penanganan pengaduan saran dan masukan, aspek
kemudahan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, kejelasan prosedur perekrutan, (6)
memperjelas persyaratan aksesibilitas meliputi: kemudahan persyaratan menjadi tenaga
kerja di perusahaan/lembaga pemerintahan dan aksesibilitas di lingkungan kerja
(perusahaan/lembaga pemerintahan), (7) mempermudah penyandang disabilitas dalam
mengakses pekerjaan di perusahaan/lembaga pemerintahan, (8) memberikan perhatian
dan reward/penghargaan bagi tenaga kerja penyandang disabilitas yang memiliki kinerja
yang baik, (9) menambah jaringan sosial terkait lembaga penyedia tenaga kerja
penyandang disabilitas.

Pembagian tugas analisis sosial :


Pendahuluan
1. Afif Hidayatullah
Pemetaan

1. Muhammad Faiz Hanindra Sayogatama

Analisis

1. Aldrich Noveandro Rafif Suryopramono (faktor negatif)


2. Riza Nurhamdani (faktor positif)
Rekomendasi
1. Anjar Dwi Kesuma

Daftar Pustaka :
Anwar,Yesmil.2017. Sosiologi untuk Universitas.Bandung:PT Refika Aditama.

Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. 2017. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.

Tarsidi, Didi. 2011. Kendala Umum yang Dihadapi Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan
Publik. Universitas Pendidikan Indonesia : JASSI ANAKKU, Vol 10. No 2

Undang -Undang Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyandang Disabilitas

Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 04 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang

Disabilitas.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Ikawati,dkk.2020. Dampak sosial implementasi program tenaga kerja inklusif bagi penyandang
disabilitas. B2P3KS Press Yogyakarta. Kementrian sosial republik Indonesia.

Kurniawan, Imam (2018) GAMBARAN AKTUALISASI DIRI PENYANDANG DISABILITAS DI


YOGYAKARTA. Skripsi thesis, Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai