Anda di halaman 1dari 8

KEPEMILIKAN DAN GAJI BAGI ORGAN YAYASAN

oleh: Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H


(Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Undang-undang Yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001 yang
ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 Lembaran Negara (LN) No. 112 Tahun
2001 Tambahan Lembaran Negara (TLN 4132) tentang Yayasan. Undang-undang ini dan telah direvisi
dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16
Tahun 2001 Tentang Yayasan LN No. 115 T.L.N. 4430. Sebelumnya itu, tidak ada satupun peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang Yayasan di Indonesia. Selama ini
keberadaan Yayasan hanya diatur berdasarkan kebiasaan yang ada serta Yurisprudensi. Namun
demikian, tidaklah berarti bahwa di Indonesia sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatur tentang
Yayasan. Secara menyebar beberapa ketentuan perundang-undangan dalam beberapa pasalnya
menyebut adanya Yayasan, seperti; Pasal 365 Pasal 899, 900, 1680 KUHPerdata, kemudian dalam
Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 236 Rv, serta Pasal 2 ayat (7) Undang-undang Kepailitan (Faillissements–
verordening)[1].
Bahkan sejak tanggal 25 Agustus 1961 telah dibentuk Yayasan Dana Landreform oleh Menteri Agraria
sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.[2] Pada tahun 1993, di dalam
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 227/KMK.017/1993, juga telah dikenal Yayasan
Dana Pensiun.[3]
Walaupun Undang-undang Yayasan ini baru berlaku pada tanggal 16 Agustus 2002, namun sebelumnya
itu, Yayasan telah diakui sebagai Badan Hukum. Pengakuan Yayasan sebagai badan hukum didasarkan
pada kebiasaan dan Yurisprudesnsi. Sejak pemberlakuan undang-undang Yayasan, sudah banyak
kritikan dari berbagai kalangan, khususnya pihak pengelola Yayasan. Hal ini karena masih banyaknya hal
yang belum diatur di dalam UUY dan banyaknya pengaturan yang berbeda dengan yang dipraktikkan
selama ini.

Diantara yang tidak diatur adalah tentang kepemilikan yayasan yang sesungguhnya. sedang hal yang
berbeda adalah larangan bagi organ Yayasan untuk menerima gaji/imbalan dari Yayasan. Selama ini
yang diakui sebagai pemilik Yayasan adalah para pendiri Yayasan. Demikian pula organ/ pengurus
Yayasan banyak yang mendapatkan gaji dari Yayasan. Persoalan yang timbul sekarang, siapakah
sesungguhnya pemilik Yayasan dan mengapa organ yayasan dilarang menerima gaji, dan apakah
seluruh organ tidak boleh menerima gaji atau imbalan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka perlu terlebih dahulu mengetahui motif seseorang untuk
mendirikan Yayasan.

Selama ini di Indonesia, pada umumnya Yayasan didirikan dengan memisahkan suatu harta dari
pendirinya, dengan tujuan idiil/sosial yang tidak mencari keuntungan, seperti untuk kepentingan rumah
ibadah, pendidikan, dan memelihara yatim piatu dan menyantuni orang-orang miskin. Yayasan ini
mempunyai pengurus yang diwajibkan mengurus dan mengelola segala sesuatu yang bertalian dengan
kelangsungan hidup Yayasan.
Pada umumnya pendiri merupakan donatur, sekaligus sebagai pengurus, sehingga betul-betul
bertanggung jawab atas kelangsungan Yayasan. Dengan demikian motif mendirikan Yayasan adalah
untuk beramal sesuai dengan tuntunan agama.
Selain tujuan untuk beramal, ada pula Yayasan yang didirikan untuk melestarikan harta warisan yang
telah berlangsung secara turun temurun. Walaupun tidak disebutkan secara jelas bahwa keberadaan
Yayasan itu dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan harta warisan, namun dari kegiatannya terlihat
bahwa ketua Yayasan selalu dipegang oleh ahli waris secara turun temurun. Yayasan seperti ini biasanya
lebih banyak bergerak di bidang pendidikan. Dalam pembentukannya seringkali lembaga pendidikan
terbentuk lebih dahulu daripada Yayasan itu sendiri. Bentuk Yayasan seperti ini dapat dilihat pada
Pondok-Pondok Pesantren. Yayasan dengan motif seperti ini banyak dipengaruhi oleh wakaf, khususnya
wakaf dzurri (ahli), yang banyak menimbulkan masalah karena para pengurus menganggap bahwa
Yayasan itu adalah miliknya. Praktik yang demikian ini juga banyak dilakukan di beberapa negara Timur
Tengah dalam bentuk wakaf. Setelah beberapa tahun ternyata praktik semacam itu menimbulkan
masalah. Banyak di antara mereka menyalah-gunakannya, misalnya ;
1. menjadikan wakaf ahli itu sebagai cara untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta
kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia;
2. wakaf ahli dijadikan alat untuk mengelak tuntutan kreditor atas utang-utangnya yang dibuat oleh
wakif sebelum mewakafkan kekayaannya.[4]
Oleh karena itu, di beberapa negara tertentu, seperti Mesir, Turki, Maroko, dan Aljazair, tanah wakaf
untuk keluarga, karena pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah wakaf bentuk ini tidak produktif[5],
sehingga wakaf ahli ini dibatasi dan malahan dihapuskan, karena tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Ada pula yang mendirikan Yayasan karena terpaksa sebab peraturan perundang-undangan yang
mengharuskan lembaga tersebut berbentuk Yayasan, seperti Rumah Sakit Swasta, Poliklinik, dan
Lembaga Pendidikan Swasta. Yayasan dengan motif ini seringkali melakukan penyimpangan, terutama
dalam kegiatan usahanya. Banyak di antaranya yang melakukan kegiatan bisnis dengan tujuan
keuntungan, karena memang motif mereka sesungguhnya bukanlah untuk mendirikan Yayasan.

Motif lainnya mendirikan Yayasan adalah untuk mengelola kegiatan yang bersifat komersil yang
berkedok Yayasan walau dalam usahanya telah berubah menjadi kerajaan bisnis yang bergerak dalam
bidang pendidikan, kesehatan maupun bidang lainnya. Agar kegiatan usaha yang dilakukannya tidak
terkena pajak yang berkaitan dengan usaha tersebut, maka seseorang membentuk Yayasan. Mereka
beranggapan bahwa Yayasan jika menjalankan kegiatan usaha, akan mendapatkan pembebasan atau
pengurangan pajak. Jadi mereka berlindung di balik Yayasan.. Mengingat motif pendirian Yayasan ini
juga tidak bermaksud untuk beramal melainkan dengan motif untuk keuntungan pribadi pengurusnya,
maka seringkali pula terjadi penyimpangan hukum dengan melakukan penghindaran pajak.

Sebagai wujud kerjasama antar negara, maka di saat kondisi perekonomian di Indonesia mulai
terpuruk, banyak negara asing yang ingin membantu Indonesia. Bantuan ini biasanya disalurkan melalui
Lembaga Swadaya Masyarakat. Pihak penyandang dana mensyaratkan untuk ditunjuk sebagai penyalur
dana, maka haruslah memiliki akte dan berbentuk badan hukum. Bentuk badan hukum yang paling
mudah prosedurnya adalah Yayasan, maka kemudian dibentuklah Yayasan. Hanya saja dalam
praktiknya bantuan yang sebenarnya ditujukan untuk membantu masyarakat, malah dimanfaatkan untuk
keuntungan pengurusnya. Yayasan dengan motif seperti inilah yang paling banyak tumbuh di
masyarakat, dan sekaligus banyak bermasalah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa ada beberapa motif/alasan untuk mendirikan Yayasan,
yaitu:

1. Untuk beramal;
2. Untuk beramal dan sekaligus untuk mempertahankan harta warisan;
3. Terpaksa, karena peraturan perundang-undangan yang mensyarat- kan;
4. Untuk bisnis dan mendapatkan fasilitas pajak;
5. untuk mendapatkan bantuan dana demi kepentingan organnya.
Motif 1 dan 2 sebenarnya berasal dari praktik wakaf. Motif 1 berasal dari wakaf khairi, sedangkan motif 2
berasal dari wakaf dzurri.
Dari beberapa motif yang ada terlihat bahwa yang paling banyak memotivasi orang-orang untuk
mendirikan Yayasan adalah untuk beramal saleh. Jika memang maksud orang mendirikan Yayasan
adalah untuk beramal saleh, maka tindakannya merupakan tindakan sukarela (tabarru) untuk
mendermakan sebagian harta kekayaannya agari bernilai jariyah (kontinyu).
Jadi pemisahan sebagian kekayaan ini tidak dimaksudkan untuk tujuan komersil, melainkan agar orang
yang menghendaki pemisahan itu, termasuk ahli warisnya tidak lagi mempunyai kekuasaan secara nyata
atas kekayaan yang dipisahkannya. Dengan demikian pendiri bukan lagi pemilik atas harta yang
dilepaskannya.

Dengan demikian Hakikat pemisahan harta adalah, pemilik tidak lagi mempunyai hubungan dengan harta
kekayaan yang dilepaskannya, karena agama menganjurkan bahkan mewajibkan demikian. Perintah
untuk memisahkan sebagian harta benda (dalam arti menafkahkan) disebutkan di dalam Al-Qur’an
sebanyak kurang lebih 73 kali, belum lagi dalam bentuk hadist. Beberapa firman Allah yang dapat
dijadikan petunjuk umum misalnya;

Surah Al-Baqarah ayat 267 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…

Surah Ali Imran ayat 92 yang artinya:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan sesungguhnya Allah
mengetahuiNya”.

Oleh karena pendiri bukan lagi pemilik dari kekayaan yang dipisahkan, maka pendiripun tidak
dapat melakukan klaim sebagai pemilik Yayasan hanya karena alasan harta yang dilepaskan berasal dari
pendiri. Lalu siapa pemilik Yayasan yang sesungguhnya?

Pertanyaan ini dapat terjawab dengan Teori Kekayaan Bertujuan (doel vermogen) yang merupakan teori
yang paling tepat diterapkan untuk Yayasan dari sekian banyak teori Badan hukum. Teori ini dipelopori
oleh Brinz. [6]
Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum, karena itu badan hukum bukan
subjek hukum dan hak-hak yang diberikan kepada badan hukum pada hakikatnya hak-hak tanpa subjek
hukum. Namun demikian tidak dapat disangkal, adanya hak-hak atas kekayaan, sedangkan tidak ada
manusia yang menjadi pendukung hak-hak itu. Dengan kata lain, kekayaan badan hukum dipandang
terlepas dari yang memegangnya. Jadi hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak
yang tidak ada yang mempunyainya, dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang
terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan. Di sini yang terpenting kekayaan
tersebut diurus dengan tujuan tertentu tanpa perduli siapakah badan hukum itu apakah manusia atau
bukan, apakah kekayaan itu merupakan hak-hak normal atau tidak.

Dengan demikian yang menjadi pemilik dari Yayasan bukanlah pendiri atau pengurus melainkan adalah
pihak yang dituju oleh pendirian/keberadaan Yayasan tersebut. Jika Yayasan itu adalah Yayasan
pendidikan maka pemiliknya adalah para mahasiswa, sedangkan jika itu panti jompo/asuhan maka
pemiliknya adalah para penghuni panti. Dengan demikian kepemilikan dari Yayasan ini merupakan
kepemilikan bersama (mede eigendom) yang tidak sempurna, karena pemilik tidak dapat berbuat bebas
terhadap harta milik Yayasan. Salah satu bukti lagi bahwa Yayasan itu bukan milik dari pendiri atau organ
lainnya adalah di dalam undang-undang Yayasan tidak satupun organ yang diberi kewenangan untuk
membubarkan Yayasan.
Permasalahan lain yang muncul adalah adanya larangan bagi organ Yayasan untuk mendapatkan gaji,
padahal selama ini para organ, baik pengurus terlebih bagi pendiri, selalu mendapatkan imbalan/gaji dari
Yayasan.

Jika diperhatikan Penjelasan Umum UU Yayasan, maka dapat diketahui bahwa, tidak semua orang
mendirikan Yayasan dengan tujuan beramal, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya
diri para pendiri, pengurus, dan pengawas. Sebagaimana telah dikemukan sebelumnya bahwa ada
Yayasan yang pendirinya mengambil manfaat dan cenderung menyalahgunakan Yayasan karena
memang motifnya bukan untuk beramal. Selain itu ada juga orang mendirikan Yayasan karena hanya
untuk berlindung di balik Yayasan.

Demi pencapaian tujuan Yayasan serta untuk menjamin agar Yayasan tidak disalahgunakan, maka
seseorang yang menjadi pembina, pengurus, dan pengawas Yayasan harus bekerja secara suka rela
tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap. Selain itu, dalam UU Yayasan dicantumkan larangan untuk
memberikan kepada pihak ketiga, kecuali pemberian tunjangan sumbangan yang bersifat sosial dan
kemanusiaan.

Dengan demikian kegiatan usaha Yayasan bukan ditujukan untuk kepentingan pengurusnya, melainkan
tetap dipergunakan untuk kepentingan umum. Jadi penekanannya bukan pada keuntungan
(profit) melainkan pada kemanfaatan (benefit). Dengan adanya pembatasan itu, maka walaupun
perusahaan yang bersangkutan pailit, tetapi Yayasan masih tetap dapat melakukan misinya, sebab dana
yang dimiliki masih jauh lebih besar daripada yang diikutsertakan dalam perusahaan.
Saat ini UUY telah melarang pemberian kontra prestasi bagi organ Yayasan, baik pembina, pengurus,
maupun pengawas. Namun jika dilihat beratnya beban tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh
organ Yayasan, terkhusus kepada pengurus, maka tidak adil juga rasanya jika penguruspun tidak
diperkenankan untuk menerima gaji, . Persoalannya, apakah seluruh organ Yayasan sama sekali tidak
dimungkinkan untuk memperoleh imbalan materi dari Yayasan?

Organ Yayasan yang dikenal oleh UUY yaitu, pembina, pengurus dan pengawas.. Pendapat yang umum
bahwa organ Yayasan adalah orang-orang yang ingin beramal. Pembina pada umumnya adalah pendiri,
yaitu orang yang melepas hartanya untuk pendirian Yayasan. Sedang pengurus dan pengawas pada
dasarnya adalah pekerja sosial, sehingga tidak seharusnya memperoleh kontra prestasi. Hal senada
dikemukakan oleh Ratnawati Prasodjo[7] bahwa orang yang mau mendapat gaji janganlah jadi
pengurus. “Jadi kalau memang pengurus itu memang tidak mau kalau tidak digaji, ya jangan jadi
pengurus. Memang hakikat dari suatu yayasan pengurusnya itu bekerja secara sukarela karena itu
merupakan pengabdian. Bahkan kalau melanggar atau mengambil sesuatu yang dapat menyebabkan
berkurangnya nilai kekayaan Yayasan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
penggelapan.
Smith-Bucklin,[8]mengemukakanbahwa, mengelola organisasi nirlaba dalam mencapai maksud dan
tujuannya sangatlah kompleks. Hal ini diakibatkan oleh strukturnya yang mengandalkan kepemimpinan
sukarela (volunteer leadership). Oleh karena itu, sebelum menggariskan misi Yayasan, maka faktor
sukses suatu Yayasan dimulai dari adanya “komitmen” dari para Pendiri dan Pengurus. Komitmen Pendiri
dan Pengurus (yang bersedia menanggalkan kepentingan pribadinya) dan dengan sukarela berkorban
untuk kepentingan Yayasan merupakan suatu modal awal yang sangat berharga bagi Yayasan.
Namun Pemberian kontra prestasi terhadap organ Yayasan bukanlah persoalan hitam putih. Oleh karena
itu, perlu pengkajian yang mendalam dan harus dipertimbangkan dari beberapa segi.

Dari sisi agama, seseorang yang melakukan pemberian kepada orang lain harus dilandasi dengan niat
yang ikhlas, artinya tidak mengharapkan imbalan. Sebagaimana diketahui bahwa motif seseorang
menyumbangkan hartanya (Pendiri) dengan mendirikan Yayasan, adalah untuk menolong sesama
manusia atau untuk beramal shaleh. Oleh karena itu, bagi pendiri yang mengambil manfaat dari
kekayaan Yayasan dapat diidentikkan dengan penarikan kembali wakaf.

Ketentuan dalam perwakafan menetapkan bahwa, begitu ikrar wakaf diucapkan maka gugurlah
kepemilikan wakif dan beralih menjadi milik Allah. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya qarinah dalam
Hadis Umar ibn Al-Khattab[9] tentang wakaf, bahwa harta wakaf tidak bisa diperjualbelikan, tidak bisa
diwariskan, dan tidak bisa pula dihibahkan.
Sementara dalam ketentuan tentang hibah, Rasulullah SAW mengibaratkan:

Perumpamaan orang yang menarik kembali sedekahnya- dapat dibaca zakat, infak, hibah, wasiat, dan
wakaf- adalah seperti anjing yang muntah-muntah, kemudian mengambil kembali muntahnya itu, dan
memakannya lagi (Riwayat Muslim).[10]
Dengan menqiyaskan tindakan wakaf sama dengan hibah, maka dapat diambil pemahaman bahwa,
menarik kembali harta wakaf hukumnya haram. Dengan demikian bagi Pendiri sama sekali tidak boleh
mendapatkan manfaat/imbalan, termasuk gaji / upah atau honor.

Namun bagi Pengurus yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berat dan juga situasi
perekonomian yang begitu buruk, tidak adil jika ketentuan yang melarang pengurus menerima upah atau
honor tetap masih dipertahankan atau diperlakukan secara mutlak. Walaupun diketahui bahwa tujuan
Yayasan adalah bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sehingga seseorang yang melibatkan diri
di dalam organ Yayasan harus bekerja secara sukarela, tetapi jangan dilupakan bahwa mereka juga
mempunyai tanggung jawab yang lain.

Di samping kewajiban terhadap Yayasan, pengurus juga mempunyai tanggung jawab terhadap
keluarganya. Oleh karena itu, kemungkinan pemberian imbalan kepada pengurus, terlebih kepada
pengurus yang lebih banyak mencurahkan perhatian dan waktunya untuk kepentingan Yayasan patut
dikaji ulang. Seorang pengurus bukanlah seorang pemodal atau pekerja, sehingga seorang pengurus
dapat diqiyaskan dengan seorang amil.

Di dalam Islam tidak ada larangan atau dibolehkan bagi pengurus wakaf untuk mengambil manfaat dari
harta wakaf. Hal ini sesuai dengan Hadis Umar Ibn Khattab:[11], yaitu
Tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara-cara
yang ma’ruf.

Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah kadar yang biasanya berlaku.

Hal penting yang harus diingat, bahwa Yayasan mempunyai tujuan sosial, sehingga motif utama organ
yang bekerja pada Yayasan tersebut adalah untuk amal. Di samping itu organ yang bekerja pada
Yayasan adalah sukarelawan yang biasanya mempunyai kesibukan lain.

Sisi lain yang perlu dipertimbangkan adalah profesionalisme di dalam pengelolaan Yayasan serta
kemampuan Yayasan itu sendiri. Dewasa ini tantangan yang dihadapi oleh Yayasan semakin besar
sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan akan transparansi, akuntabilitas, serta efisiensi, dan
efektifitas dalam pengelolaan kegiatan operasional Yayasan. Kelemahan pengelolaan Yayasan di
Indonesia adalah karena Yayasan belum dikelola secara profesional, tidak efisien, tidak transfaran, tidak
adanya akuntabilitas, serta lemahnya pengawasan. Sulit dipastikan penyebab kekurangprofesionalan di
dalam pengelolaan Yayasan.

Pertimbangan lain adalah, kemampuan Yayasan khususnya kemampuan ekonomi Yayasan. Sebagai
contoh Yayasan The Imperial Cancer Research Fund menawarkan gaji sebesar 70.000 (tujuh puluh
ribu) pound sterling setahun untuk jabatan Direktur Keuangan dan Pencarian Dana.[12] Mereka berani
menawarkan gaji yang tinggi bagi seorang pengurus yang profesional, karena memang kemampuan
keuangannya telah mapan sehingga berani menawarkan gaji yang besar.
Menurut Chatamarrasjid,[13] Undang-Undang Yayasan telah memberikan jalan keluar sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 6 UU No.16 Tahun 2001, yaitu dengan mengangkat
pelaksana kegiatan atau Pengurus Harian. Pelaksana kegiatan atau Pengurus Harian Yayasan inilah
yang melaksanakan kegiatan Yayasan sehari-hari. Pengurus Harian ini tidak dilarang oleh Undang-
Undang untuk menerima imbalan atau kontra prestasi. Ketentuan Undang-Undang di atas harus
ditafsirkan, bila pengurus adalah pelaksana kegiatan atau Pengurus Harian, maka ia berhak menerima
imbalan atau kontra prestasi. Bila organ Yayasan melakukan pekerjaan untuk kepentingan Yayasan,
maka Yayasan harus membayar segala biaya atau ongkos dalam melaksanakan pekerjaan dimaksud.
Penafsiran yang demikian adalah keliru, sebab yang dimaksud dengan pelaksana kegiatan atau
pengurus dalam Pasal ini adalah pegawai. Jika memang benar yang dimaksud pengurus harian adalah
pengurus itu sendiri, bagaimana mungkin pengurus mengangkat dirinya sendiri. Demikian pula dengan
penafsiran Pasal 16 yang dimaksudkan bukanlah gaji atau upah atas pekerjaan sehari-hari dari
pengurus, melainkan biaya yang dikeluarkan oleh organ yang berkaitan dengan kepentingan Yayasan.
Misalnya biaya transportasi atau biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan oleh pengurus dari uang pribadi
pengurus. Cara penafsiran yang demikian ini jelas mengandung ketidakbenaran, dan jauh dari tuntutan
reformasi yang menuntut adanya transparansi. Cara yang terbaik dan aman adalah dengan
menetapkannya di dalam Peraturan Pelaksanaan atau melakukan revisi Undang-Undang.

Selain dari sisi agama, sisi lain yang perlu dipertimbangkan adalah profesionalisme di dalam
pengelolaan Yayasan serta kemampuan Yayasan itu sendiri. Dewasa ini tantangan yang dihadapi oleh
Yayasan semakin besar sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan akan transparansi, akuntabilitas,
serta efisiensi, dan efektifitas dalam pengelolaan kegiatan operasional Yayasan. Kelemahan
pengelolaan Yayasan di Indonesia adalah karena Yayasan belum dikelola secara profesional, tidak
efisien, tidak transfaran, tidak adanya akuntabilitas, serta lemahnya pengawasan. Sulit dipastikan
penyebab kekurangprofesionalan di dalam pengelolaan Yayasan.

Dibayar atau tidaknya serta jumlah yang dibayarkan kepada pengurus Yayasan tergantung pada
beberapa faktor antara lain; kedudukan, waktu dan cara kerja, serta berat ringannya pekerjaan yang
harus dikerjakan. Kalau ia tidak dapat lagi mengerjakan pekerjaan lain, atau seluruh waktunya untuk
Yayasan, dan pekerjaan mereka dilakukan dengan professional, kiranya layak bila memperoleh
kompensasi, tetapi untuk penyantun seyogyanya tidak dibayar.

Orang-orang yang bekerja di Yayasan biasanya dibayar lebih rendah daripada orang yang bekerja pada
perusahaan dengan tujuan memperoleh laba walaupun mempunyai kedudukan yang sama. Saat ini
perbedaaan yang demikian menjadi semakin kecil, terutama untuk yang bekerja pada Yayasan yang
besar. Pada tahun 1991 The Imperial Cancer Research Fund menawarkan gaji sebesar 70.000 (tujuh
puluh ribu) pound sterling setahun untuk jabatan Direktur Keuangan dan Pencarian Dana.[14]
Di Indonesia, menuruti penelitian yang pernah dilakukan oleh Chatamarrasjid terungkap bahwa dari 150
(seratus lima puluh buah Yayasan) ternyata bahwa, hanya 5 (lima) Yayasan (3,3%) yang mencantumkan
dalam Anggaran Dasarnya, pasal yang menyatakan bahwa kepada Pendiri dan Pengurus tidak diberikan
imbalan atau keuntungan yang bersifat materi dari Yayasan. Hal ini memberikan kesan terselubung
bahwa ada Pendiri/Pengurus yang memperoleh kontra prestasi dari Yayasan yang bersangkutan.[15]
Berbeda dengan hasil penelitian yang saya lakukan di Makassar pada tahun 2001, bahwa ternyata di
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga tidak dicantumkan bahwa para pengurus
mendapatkan imbalan. Namun di dalam praktiknya, banyak pengurus yang mendapatkan imbalan dari
Yayasan. Bahkan ada yang memperoleh berbagai macam tunjangan, misalnya tunjangan transport,
kesehatan, keluarga dan sebagainya, sehingga penghasilan yang diperolehnya malah lebih tinggi
daripada seorang pejabat tertinggi sebuah Universitas Negeri. Pencantuman berbagai macam tunjangan
bahkan terkesan mengada-ada.
Pertimbangan lain adalah, kemampuan Yayasan khususnya kemampuan ekonomi Yayasan. Sebagai
contoh Yayasan The Imperial Cancer Research Fund yang berani menawarkan gaji yang tinggi bagi
seorang pengurus yang profesional, karena memang kemampuan keuangannya telah mapan sehingga
berani menawarkan gaji yang besar.
Menurut Chatamarrasjid, Undang-Undang Yayasan telah memberikan jalan keluar sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 6 UU No.16 Tahun 2001, yaitu dengan mengangkat
pelaksana kegiatan atau Pengurus Harian. Pelaksana kegiatan atau Pengurus Harian Yayasan inilah
yang melaksanakan kegiatan Yayasan sehari-hari. Pengurus Harian ini tidak dilarang oleh Undang-
Undang untuk menerima imbalan atau kontra prestasi. Ketentuan Undang-Undang di atas harus
ditafsirkan, bila pengurus adalah pelaksana kegiatan atau Pengurus Harian, maka ia berhak menerima
imbalan atau kontra prestasi. Bila organ Yayasan melakukan pekerjaan untuk kepentingan Yayasan,
maka Yayasan harus membayar segala biaya atau ongkos dalam melaksanakan pekerjaan dimaksud.
Ratnawati Prasodjo sependapat dengan Chatamarrasjid yang mengatakan kalau pengurus itu
berstatus karyawan murni dan bukan merupakan pendiri dan terafiliasi dengan pendiri, maka dapat digaji.
Saya kurang sependapat dengan pendapat dari Ratnawati Prasodjo karena penafsiran yang demikian
menurut saya kurang tepat, sebab yang dimaksud dengan pelaksana kegiatan atau pengurus dalam
Pasal ini adalah pegawai. Jika memang benar yang dimaksud pengurus harian adalah pengurus itu
sendiri, bagaimana mungkin pengurus mengangkat dirinya sendiri. Demikian pula dengan penafsiran
Pasal 16 yang dimaksudkan bukanlah gaji atau upah atas pekerjaan sehari-hari dari pengurus, melainkan
biaya yang dikeluarkan oleh organ yang berkaitan dengan kepentingan Yayasan. Misalnya biaya
transportasi atau biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan oleh pengurus dari uang pribadi pengurus.
Penafsiran yang demikian ini jelas mengandung ketidakbenaran, dan jauh dari tuntutan reformasi yang
menuntut adanya transparansi. Cara yang terbaik dan aman adalah dengan menetapkannya di dalam
Peraturan Pelaksanaan atau melakukan revisi terhadap Undang-Undang. Dengan demikian ada dasar
bagi pengurus untuk mendapatkan gaji tanpa melanggar hukum. Hanya saja gaji seorang pengurus tidak
lebih besar dari gaji seseorang yang bekerja pada badan hukum lain di luar Yayasan yang mempunyai
kedudukan yang sama.

Dalam Pasal 5 UUY No. 28 Tahun 2004 mengatur bahwa, kekayaan yayasan dialarang dialihkan atau
dibagikan secara langsung atau tidak lagi baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk
lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Pengecualian diberikan
kepada Pengurus, bahwa seorang pengurus dapat menerima gaji, upah, atau honorarium dengan syarat:

1. Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas;
2. Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh;
3. Ditetapkan oleh Pembina, dan disesuaikan dengan kemampuan kekayaan Yayasan.
Dengan demikian seorang pengurus dapat saja memperoleh gaji dengan syarat yang sangat ketat
seperti; pengurus bukanlah pendiri, serta berekrja secara langsung dan penuh, serta besarnya ditentukan
oleh Pembina. Dengan demikian satu-satunya organ yang dapat memperoleh gaji hanyalah pengurus,
sedang Pembina dan pengawas tidak dapat memperoleh gaji.

Anda mungkin juga menyukai