Anda di halaman 1dari 5

Nama : I Made Surya Putra Winata

NIM : 2104551459
Mata Kuliah : Hukum Pengangkutan
Kelas : A

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM PENGANGKUTAN

Dalam peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air JT 904 di laut Bali, tanggung jawab
pengangkut, yaitu Lion Air, tercermin dalam prinsip-prinsip Hukum Pengangkutan dan
Undang-Undang tentang Penerbangan. Pengangkut memiliki kewajiban utama untuk
memastikan keselamatan penumpang, yang dalam kasus ini berhasil terpenuhi karena
semua penumpang selamat meskipun pesawat mengalami kecelakaan. Selain itu,
pengangkut juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan pesawat dalam kondisi
laik terbang dan memberikan informasi yang jelas kepada penumpang mengenai situasi
penerbangan, termasuk kondisi cuaca yang buruk saat pendaratan di Bandara Ngurah
Rai. Setelah kejadian, tanggung jawab pengangkut meliputi perawatan terhadap
penumpang yang terluka serta partisipasi dalam penyelidikan kecelakaan untuk
mengetahui penyebabnya dan melakukan perbaikan guna meningkatkan keselamatan
penerbangan di masa depan. Namun, evaluasi yang lebih mendalam oleh otoritas
penerbangan dan badan penyelidikan kecelakaan penerbangan diperlukan untuk
memahami secara rinci tanggung jawab pengangkut dalam kasus ini.

Pada dasarnya, transportasi udara terjadi melalui perjanjian antara pihak yang
mengoperasikan transportasi (pihak pengangkut) dan individu atau entitas yang
menggunakan layanan transportasi tersebut (penumpang). Berdasarkan Pasal 1 angka 29
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UUP), perjanjian
pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak
penumpangdan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo
dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa
lainnya. Dalam ketentuan Pasal 140 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2009 dijelaskan bahwa
Perjanjian mengenai pengangkutan antara pengangkut dan penumpang yang telah
disepakati dapat dibuktikan dengan adanya tiket penumpang dan dokumen muatan,
dengan begitu penumpang dalam hal ini sebagai konsumen jasa penerbangan telah
diberikan perlindungannya oleh suatu undang-undang.

Menurut ilustrasi dalam kasus yang telas dijelaskan dalam soal tersebut dalam
konteks hukum, penumpang memiliki hak untuk menuntut ganti rugi dalam kasus
kecelakaan pesawat udara karena mereka sebagai pihak yang menggunakan layanan
pengangkutan. Sementara itu, pihak yang bertanggung jawab untuk mengganti kerugian
secara perdata adalah pihak pengangkut, yang dalam kasus ini adalah maskapai
penerbangan.Selain itu, sesuai dengan Pasal 1 angka 12 dari Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan
Udara, menjelaskan bahwa Kecelakaan pesawat udara adalah kejadian saat pesawat
dioperasikan yang mengakibatkan kerusakan parah pada peralatan atau fasilitas yang
digunakan, serta menimbulkan korban jiwa atau cedera serius.

Melihat dari pada itu, jika dilihat dalam kerangka hukum, tanggung jawab
terhadap kecelakaan penerbangan yang menimpa Pesawat Lion Air Boeing 737-800 NG
dengan nomor penerbangan JT 904 diletakkan pada pihak pengangkut, yakni
perusahaan penerbangan. Adapun Tanggung jawab yang diberikan sesuai dalam prinsip
dalam hukum pengangkutan yaitu, Konsep tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan
(based on fault liability), Konsep tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah
(presumption of liability), Konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (liability
without fault) atau tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability).

Dalam situasi tersebut di mana semua penumpang selamat, tanggung jawab


maskapai penerbangan dapat dievaluasi dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
yang terdapat dalam hukum pengangkutan dan undang-undang penerbangan. Menurut
prinsip-prinsip ini, maskapai penerbangan bertanggung jawab atas keselamatan
penumpang dan barang bawaan, serta memiliki kewajiban untuk memberikan
kompensasi atas kerugian yang muncul.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, maskapai
penerbangan bertanggung jawab atas keselamatan penumpang dan barang bawaan
selama proses penerbangan. Meskipun seluruh penumpang selamat, maskapai
penerbangan tetap bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan penumpang
selama penerbangan. Mereka juga wajib memberikan kompensasi atas kerugian yang
mungkin dialami penumpang, seperti biaya perawatan di rumah sakit bagi yang
memerlukan.

Dalam konteks hukum pengangkutan, maskapai penerbangan juga memiliki


tanggung jawab terhadap keselamatan penumpang dan barang bawaan. Meskipun
seluruh penumpang selamat, maskapai penerbangan tetap bertanggung jawab atas
keamanan dan kenyamanan penumpang selama penerbangan. Mereka juga wajib
memberikan kompensasi atas kerugian yang mungkin dialami penumpang, seperti biaya
perawatan di rumah sakit bagi yang memerlukan.

Dalam hal tersebut, penumpang dan/atau pengirim barang tidak perlu


membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, dan hanya cukup dengan
memberitahukan adanya kerugian yang terjadi pada saat kecelakaan tersebut. Karena
perusahaan penerbangan sebagai pengangkut dianggap bersalah maka sebagai
kompensasinya, perusahaan penerbangan hanya memberikan ganti kerugian sebatas
yang telah ditetapkan oleh konvensi internasional atau peraturan perundang-undangan
nasional yang berlaku. Pada Pasal 165 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 diatur tentang
besaran ganti kerugian tersebut yaitu “Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang
yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal
141 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri”. Jumlah ganti kerugian tersebut
merupakan ganti kerugian yang diberikan pihak pengangkut diluar ganti kerugian yang
diberikan oleh lembaga asuransi.

Merujuk peraturan menteri terkait yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor


77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara pada Pasal 3
mengatur jumlah ganti kerugian yaitu: “Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang
yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-Iuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a ditetapkan sebagai berikut :

a. penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat


kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya
dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp.1.250.000.000,00
(satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang;
b. penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang sematamata ada
hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang
tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau pada saat proses turun dari
pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar udara tujuan danl atau
bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang;
c. Penumpang yang mengalami cacat meliputi:
1) penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu
paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan
ganti kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh
juta rupiah) per penumpang; dan
2) penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan
diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam lampiran yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
d. Cacat Tetap Total sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1 yaitu kehilangan
penglihatan total dari 2 (dua) mata yang tidak dapat disembuhkan, atau
terputusnya 2 (dua) tangan atau 2 (dua) kaki atau satu tangan dan satu kaki pada
atau di atas pergelangan tangan atau kaki, atau Kehilangan penglihatan total dari
1 (satu) mata yang tidak dapat disembuhkan dan terputusnya 1 (satu) tangan atau
kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki.
e. penumpang yang mengalami luka-Iuka dan harus menjalani perawatan di rumah
sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/ atau rawat
jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.”

Berdasarkan ilustrasi diatas, dinyatakan bahwa semua penumpang selamat meski 44


diantaranya sempat dirawat di rumah sakit maka akan diberikan ganti kerugian sebesar
biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp. 200.000.000,00 sesuai ketentuan Pasal 3
poin e Peraturan Menteri tersebut. Namun, tanggung jawab perusahaan penerbangan
yang terbatas sejumlah ganti kerugian yang diatur peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diberikan pengecualian yaitu apabila penumpang dan/atau pengirim
barang yang mengalami kerugian tersebut dapat membuktikan bahwa perusahaan
penerbangan termasuk pegawai, agen atau perwakilannya melakukan kesalahan yang
disengaja (willful misconduct), sehingga perusahaan penerbangan bertanggung jawab
tidak terbatas (unlimited liability). Dengan demikian, berdasarkan prinsip-prinsip
hukum pengangkutan dan undang-undang tentang penerbangan, maskapai
penerbangan bertanggung jawab atas keselamatan penumpang dan barang bawaan serta
wajib memberikan kompensasi atas kerugian yang mungkin dialami penumpang,
termasuk biaya perawatan di rumah sakit bagi yang memerlukan.

Anda mungkin juga menyukai