Anda di halaman 1dari 15

Nama: Sofia Nurjannah

Kelas: 9-G
Absen: 28

Apa salahku?

Cahaya sang surya kini kembali bangkit dari ujung timur menyinari dunia dengan sinar
hangatnya yang membawa kehidupan. Bunyi jam alarm yang khas mengusik tidur lelap milik
Dila, matanya terasa sangat berat seakan tak ada cara untuk membukanya. Diraihlah jam
alarm itu dan ia lirik pukul berapa sekarang.

"Jam 5...." gumamnya pelan dengan berat, sekuat tenaga ia beranjak dari tempat tidur
miliknya dan melakukan rutinitas yang selalu ia rutin lalukan.

"Kak, ayo bangun!" Ujar wanita paruh baya dari dapur, kedua tangannya sibuk memasak
untuk keluarga kecil miliknya itu. Tentu saja Dila menuruti apa yang ibundanya katakan,
meski tetap ada rasa kantuk menyelimuti sekujur tubuhnya.

Dengan berbalut handuk, cepat cepat bergegas memasuki kamar yang didominasi oleh
warna kelabu layaknya langit yang mendung, ditambah pula dengan motif awan yang
terdapat dibeberapa bagian dinding kamar miliknya. Tangan kananya meraih seragam osis
biru putih yang telah ia siapkan sedari malam.

Beberapa rutinitas kecil tentu tak ia lewati begitu saja, contohnya menggunakan sedikit
pewangi, dan bercermin melihat bagaimana penampilannya kini, terasa sudah pas diraihlah
tas ransel berwarna hitam dengan garis biru tua yang menampilkan kesan yang tak begitu
polos baginya.

Begitu dia keluar dari kamar miliknya dan bergerak menuju dapur panggilan ibunya
terdengar dari ruangan yang ingin ia tuju. "Kak, pakein adek baju!" Pinta ibundanya, tentu
hal itu disahuti dengan jawaban iya oleh Dila yang merupakan sang Kakak. Terlihatlah adik
laki lakinya yang mungil hanya berbalut handuk kedinginan di pagi hari, hembusan nafas
pelan dan senyuman timbul pada wajah Dila melihat adiknya yang medekat karena
kedinginan.

Ia menengok kanan kiri mencari di mana letak seragam rompi hijau milik adiknya yang
diletakkan oleh ibundanya itu, hingga matanya menangkap kemeja dan rompi mungil yang
terletak di atas meja ruang tamu, ia tau bahwa itu pasti milik adiknya yang telah disiapkan
oleh ibunya, sebelum itu ia meletakkan ransel miliknya pada sofa yang terletak pada ruang
tamu.

Segeralah ia mengoleskan minyak kayu putih agar adiknya menjadi lebih harum dan tidak
dikeroyok oleh nyamuk nyamuk nakal, memakaikan seragam adiknya dan memberikan
bedak pada wajah adiknya.

Kembali lagi ibunya Dila meminta tolong untuk menyiapkan nasi untuk ayah, ibu, dirinya, dan
adiknya lelakinya yaitu Dian. Sudah dipastikan jawaban Dila adalah iya, melihat ibunya yang
nampak sibuk memasukan ini itu pada tas besar.

Sesudahnya ia raih beberapa lauk pauk maupun sayur untuk dirinya dan adik laki laki
kesayangannya, sejak kecil Dila mapaun Dian memang sudah dididik agar mandiri dan tak
suka bermanja manja saat dewasa.

Ekor mata Dila menangkap pesan yang membuat ponsel genggang miliknya bergetar
menimbulkan nada dering khas, ia meraih ponselnya dan melihat dari siapa pesan itu
dikirim.
Sebelah alis Dila terangkat saat melihat pesan itu berasal dari salah satu teman masa
kecilnya sekaligus tetangganya yang merupakan teman seangkatan di sekolahan Dila.

Aris kalau ga salah;


Dil, berangkat ga?
You;
Pake nanya.

Tak menghiraukan tentang angin badai apa yang menerpa teman usil masa kecil Dila, hari ini
jelas jelas merupakan hari Senin dan disekolahannya tidak ada acara apapun yang membuat
murid murid di sekolahnya untuk belajar dirumah.

Dengusan pelan dari Dila yang cukup keheranan oleh pertanyaan aneh Aris. Tapi tak begitu
ia pedulikan, ia beranjak dari meja menaruh piring bekas sarapan miliknya dan mencuci
tangan diwastafel. Disebelah Dila merupakan kulkas, iya lewati lemari pendingin itu meski
sudut pandangannya melihat pantulan bayangan hitam besar dengan taring besar tak lupa
mata merah menyala.

"Astaghfirullah..." gumamnya sehabis beranjak pergi dari dapur, nafas lega pun ia utarakan
seakan telah selesai memikul beban berat. Kini kakinya berdiri pada ruang tamu, tangannya
meraih ransel yang sebelumnya ia letakkan. Dila mengenok sana kemari mengelilingi sudut
ruangan mencari hawa keberadaan milik ayah tercintanya tapi nihil. "Bunda, ayah dimana?"
Tanyanya yang bingung dimana ayahnya berada.
Bunda Dila yaitu Mita merespon pertanyaan putri sulungnya itu. "Ada digarasi lagi manasin
mobil, siap siap gih." Ujarnya mengingatkan pada Dila yang memberi anggukan,
menandakan bahwa ia mengerti.
Langit mulai terang benderang menampilkan biru cerah tanpa sang awan kelabu, sorot
matahari berwarna emas juga menyisiri sepanjang jalan Dila dengan Ayahnya Putra selama
perjalanan. Semakin saat semakin ramai saja arus perjalanan Jakarta Timur yang selalu sibuk
tersebut.

Jam 06.25 WIB Dila tiba di sekolah, tak lupa ia menyalimi tangan ayahnya dan meminta
untuk dijemput pada pukul 13.10 WIB. Kakinya berpijak pada tanah, menuruni mobil yang
akan dibawa melaju oleh ayahnya untuk pergi kekantor.

Kini ia melewati gerbang bersama anak anak seragam putih biru lain yang nampak berlalu
lalang pula. Kakinya bergerak melewati anak anak lain.
"Dila"

Kakinya yang sedari tadi fokus melangkah terdiam seketika, merasa seperti ada yang
memanggil ia menengok kearah belangkang yang merupakan sumber di mana suara itu tadi
terdengar. Terasa janggal, karena yang ia dengar merupakan suara wanita paruh baya seperti
ibunya tapi yang ia lihat tak ada satupun wanita paruh baya di sekitarnya.

Dila terdiam cukup lama hingga ada anak yang menyentuh pundaknya nampak khawatir
dengan Dila yang tiba tiba diam sedadi tadi. "Kamu ga papa?" Ujarnya dengan wajah
khawatir.

Lamunan gundah Dila buyar setelah mendengar kekhawatiran salah satu siswi itu. "Ah, iya ga
papa maaf." Ujarnyq diakhiri senyum canggung dan bergegas menuju kelas 9A yang
merupakan kelas yang ia tempati tahun ini.

Kakinya tiba pada kelasnya itu, tak lama pula ia langsung mendekati meja miliknya, menaruh
ransel miliknya. Sesekali juga ia melirik siapa saja yang sudah datang pagi ini, kepalanya ia
dongakkan melirik sekarang sudah pukul berapa. "Jam 7 kurang 20 menit." Gumamnya
pelan, dari dalam ransel tangannya meraih buku untuk mata pelajaran pertama.

Ia merasa jenuh dengan situasi saat ini, Dila memang tak punya begitu banyak teman. Ia
cenderung merupakan gadis tertutup yang pemalu dengan orang orang, yang membuatnya
tak begitu memilki begitu banyak teman. Sesekali pula ia melirik teman temannya yang
saling berbincang, dia ingin ikut namun tak punya keberanian.

Dia terbawa arus dalam lamunannya bagaimana jika Dila ikut bergabung tapi dia takut
dengan respon teman sekelasnya. "Oi." Panggilan yang berhasil membuyarkan semua hasil
pikiran yang dipikirkan oleh Dila sedari tadi. Tentu ia reflek menoleh siapa yang berkata 'oi'
tapi justru yang ia lihat adalah Aris kembali.

Dila merasa bahwa yang Aris panggil adalah dirinya "apa?" Tanyanya kepada Aris.
Aris tak langsung menjawab "belekmu keliatan." Katanya dengan tidak menuruni volume
suaranya itu

Tentu hal itu membuat Dila gelisah. Dengan cepat jari telunjuknya ia gesekekkan pada kedua
matanya secara bergilir "Masih ada?" Tanyanya tapi Aris tak merespon, ia curiga bahwa Aris
hanya mengerjainya.

Ding.... Dong...

Bel berbunyi menandakan bahwa ham pelajaran akan dimulai, sebelum itu Dila mendengus
pada Aris tidak terima bahwa ia tadi dijahili olehnya. Aris pun pergi menjauh dari kelas 9A
menuju kelas 9E di mana kelas tersebut merupakan kelas yang ditempati oleh Aris saat ini.

"Ada ada saja." Dila masih tak terima, dia masih menggerutu apa yang Aris lakukan dengan
dirinya.

Jam pelajaran PPKN berlangsung membosankan dan sekaligus menakutkan bagi Dila, sedari
guru masuk dan menerangkan saat jam pelajaran ke 5. Rasa gelisah menyelimuti
perasaannya, karena entah mengapa guru tersebut seperti hanya fokus padanya tak seperti
biasa yang ia ketahui.

Dia melirik kesana kemari, tapi hingga dia tak sengaja melihat kaki guru itu. Wajahnya
langsung pucat, segerelah ia merapalkan semua doa doa yang ia ingat secara pelan pelan.
Tentu saja tingkah yang Dila lakukan memicu rasa penasaran teman semejanya, bernama
Lina. Ia berbisik pelan kepada Dila "sst, Dil. Napa kamu?" Tanyanya dengan suara volume
kecil.

Dila merespon panggilan Lina, ia takut untuk bersuara karena itu Dila mencoba memberikan
kode dari mata untuk melihat gurunya. Wajah Lina nampak linglung, tak paham apa yang
Dila utarakan. Suatu ide terpikirkan oleh Dila, tangannya mencobek secarik kertas dengan
pelan dan menuliskan sesuatu.

Liat kaki guru, jangan panik baca doa aja

Dia memberikan sobekan kertas tersebut kepada Lina, Lina pun langsung mencuri
kesempatan untuk memandang bagian bawah gurunya. Raut wajah pucat pun tak terelakkan
juga bagi Lina. "Dil...aku takut Dil..." bisiknya pada Dila.

"Aku juga Lin." balas Dila berbisik pula.


Mereka berdua akhirnya saling menggenggam tangan dan membaca doa apa saja yang
mereka ingat. Hingga akhirnya jam pelajaran PPKN itu selesai, nafas lega Dila dan Lina
akhirnya bisa mereka hembuskan bersama.

Tapi sebelumnya guru itu pergi, ia berujar "Dila nanti ikut saya kekantor ya." Dia berkata
dengan senyum tua lapuk sebelum keluar dari kelas.
Tentu saja Dila enggan menuruti apa yang dikatakan oleh guru yang kakinya tidak menapak
tadi. Pada kedua kakinya terasa terikat dengan 2 rantai besi yang sangat berat, rasa enggan
dan khawatir campur aduk. Hingga akhirnya Dila tak menuruti apa yang dikatakan olehnya
tadi.

Tentu itu membuat beberapa temannya memandangnya heran. Merasa bahwa teman teman
sekelasnya membutuhkan penjelasan akhirnya ia mengangkat suara. "Ga usah didengerin,
gurunya tadi ga napak, tanya aja ma Lina dia juga liat." Lina mengagguk membenarkan apa
yang dikatakan oleh Dila, hanya dengan sepenggal kalimat itu membuat suasana kelas yang
tadinya ceria seketika menjadi suram.

Jam pelajaran PPKN berakhir dilanjutkan dengan jam istirahat, tubuhnya beranjak keluar
kelas, menuju kantin. Kaki Dila melewati lorong kosong yang tak sengaja menarik perhatian
salah satu anak kecil. Lidah Dila berdecak pelan tentang musibah yang menimpanya lagi
bertubi tubi.

"Mbak.. main yuk mbak.." tak dihiraukan permintaan anak kecil itu oleh Dila. Anak kecil
dengan baju ala zaman belanda yang sudah sobek sobek dan dipenuhi oleh darah.

Langkah Kaki Dila semakin melebar dan cepat meninggalkan hantu anak kecil itu pada lorong
kosong angker tersebut. "Lain kali muter ajalah.." gumamnya resah, tak ingin diikuti oleh
anak kecil itu lagi dan kapapun itu. Dila berjalan cepat dengan pandangan kebawah yang
membuatnya tak bisa melihat kearah depan dengan jelas.

Brukk!!

"Duh.. duh.." Hendak ingin melewati kantin Dila tertabrak oleh anak laki laki sampai dia
terjatuh, tangannya mengelus bagian tubuhnya yang terasa sakit. "Maaf maaf." Ucapnya
meminta maaf terlebih dahulu, dari yang ia tau lebih baik meminta maaf terlebih dahulu dari
pada langsung marah dan terpiculah pertikaian.

"Jalan pake mata." Suara familiar terdengar pada telinga Dila, sontak ia mendongak
memastikan siapa pemilik suara yang selalu ia anggap menyebalkan ini. Secara reflek sebelas
alisnya bekedut kesal saat mengetahui siapa yang mengatakan kalimat menyebalkan itu.
Segeralah ia beranjak bangkit dari jatuhnya dan pergi menjauhi Aris yang selalu
membuatnya jengkel karena jahilannya yang menyebalkan bagi Dila.

Derap langkah kaki saling susul menyusul mengikuti Dila, merasa jenuh dengan Aris yang
mengikutunya sedari tadi Dila berbalik menghadap Aris. "Kenapa?"

Aris tak langsung menjawab, kedua tangannya ia silangkan dan balas menatap Dila yang
beradu pandang dengannya. "Ga papa, emang kenapa?" Jawabnya sambil menggendikkan
bahu dan membuang pandang dari Dila "Dan, hati hati." Sambungnya dengan pandangan
yang sedikit pilu kepada Dila.

Dila merasa aneh dengan perkataan Aris barusan "Ah sudahlah." Gumamnya menggeleng
bingung, dan pergi menjauhi Aris yang masih mematung.

Angka 13.15 WIB nampak menyala dengan jelas pada ponsel genggam milik Dila, digenggam
lah benda persegi panjang mungil dengan erat erat. Ditataplah langit biru dengan sang surya
tepat diatas mereka semua, dihiasi oleh awan berat mengambang dengan bentuk yang
selalu berubah ubah dan bergerak sepanjang hari.

Para siswa siswi berlalu lalang layaknya lautan murid melewati gerbang, sudah 10 menit
berlalu akhirnya lautan siswa siswi mulai reda dan menyepi menyisakan cukup beberapa saja
yang masih menetap begitu pula dengan para pedagang yang kini dagangannya laris.

Did... Did....

Bunyi klakson mobil berhasil membuat Dila tersadar dari dunia khayalan yang ia masuki
sejenak. Tak pakai selang lama setelah teradar ia cari dari mana suara klakson itu berbunyi
hingga sepasang mata milik Dita mengetahui dari mana itu bersumber. Sebuah mobil avanza
warna putih yang ia kenali, langkah kakinya bergerak menuju mobil tersebut yang
merupakan mobil milik ayahnya yaitu Putra.

Jalanan ramai selalu menjadi ciri khas Jakarta, banyaknya mobil, motor maupun kendaraan
lain menyusuri jalan beraspal dengan strip putih sepanjang jalan berwarna hitam. Tatapan
kosong Dila selalu hadir mengamati jalanan melihat apa saja yang hadir dalam perjalanan
pulang siang hari mereka.

****

"Assalamualaikum." Ucap Dila memasuki ruang tamu rumahnya, sejenak ia menunggu


jawaban dari bunda atau adik kecilnya namun nihil hasilnya. Disela sela itu Putra menyusul
putrinya yang berada di ruang tamu.

Tangan putra menepuk pelan punda Dila. "Bunda ma adik lagi dirumah kakek, lusa
pulangnya." Sebutnya lalu pergi kearah dapur mengambil makan siang yang sudah tersedia
di dalam lemari pendingin rumah mereka. "Ayah juga bakal lembur nanti malam, pulangnya
kira kira jam 11." Lanjut Putra yang diberi anggukan oleh Dila.

Jam sift sang mentari kini selesai digantikan oleh rembulan untuk menghiasi langit yang
sudah berubah menjadi hitam, bersama teman temannya yaitu bintang mereka menghiasi
malam bersama. Angin silir mengoyak ngoyak dedaunan pada pepohonan yang ada, suara
kendaraan berlalu lalang pun mulai berkurang kini.

Bola lampu pada rumah Dila menyala terang menyinari sesisi rumah tanpa memberikan
kegelapan. Satu persatu langkah kakinya menuruni anak tangga dan tiba di ruang tamu
dengan kondisi rambut basah.

"Sepi.."gumamnya, ia raih remot televisi dan menekan tobol power yang membuat
televisinya menyala menampilkan acara televisi malam ini, tubuhnya ia rebahkan
sepenuhnya pada sofa abu abu kesayangan milik keluarga Dila. Tetapi meski sudah mencoba
mencari kesibukan perasaan Dila tak kunjung nyaman.

Pojok ruang tamu tersebut terasa mencekam, Dila mengabaikan hal itu dan fokus menikmati
acara televisi ditemani oleh ponsel genggam kesayangan miliknya. Namun kesenangan itu
hanya berlangsung sementara. Ekor matanya menangkap sosok bayangan hitam yang
mengintip dibalik jendela, saat ia dekati sosok itupun langsung menghilang. Tanda tanya tak
henti henti muncul dalam pikiran Dila, dia mengunci jendela dan menutup gorden dengan
rapat berfikir bahwa hal tersebut hanyalah seorang pencuri yang memata matai.

Jam dinding menunjukkan sekarang jam 9 malam, rasa kantuk mulai menyelimuti diri Dila,
masih disela sela kantuknya ia tersadar dengan nada dering pada ponselnya.

segera ia mengecek hal apa yang membuat ponselnya kembali bergetar dan ternyata ia
mendapatkan pesan dari beberapa orang, mulai dari ibunya, aris lagi dan sebuah nomor tak
dikenal. Rasa penasaran mulai menggelitik pada lubuk hatinya, tentu ia membacanya
terlebih dahulu pada kolom notifikasi.

+62 xxx xxx 321;


Sendirian di rumah?
Raut wajah pikuk dan heran dapat terlihat jelas pada wajah Dila kini, ia menganggap nomor
itu berasal dari orang aneh yang salah nomor. Tapi entah mengapa sejak ia membaca pesan
tersebut perasaan gundah seakan selalu mengganggunya sedari tadi. Pikiran Dila mulai liar
kemana mana, siapa orang itu, dari mana ia dapat nomornya, atau kebetulan apa tersebut.

Segala hal yang dipikirkan oleh Dila tetap saja tak berhasil meredakan pikiran liarnya
sekarang. Ia beranjak menyibak gorden yang menutupi jendela di samping pintu rumah. "Ga
ada siapa siapa kan?" Kembali gorden itu dia kembalikan seperti semula dan mendekat
kearah sofa. Kedua tangannya fokus mengetik nama dalam kolom pencarian kontak yang
bertuliskan 'ayah'

Drttt. Drtt....

Bunyi dering menunggu untuk diangkat bergema pada ruang tamu tersebut, alis Dila
berkedut resah tentang hal yang baru terjadi. "Angkat dong..." gumam resah Dila, bibir
bawahnya secara spontan ia gigit karena takut dengan hal hal yang ada dalam pikirannya.

Praaanggg!!!

Perhatian Dila langsung tertuju dengan suara pecahan barang tersebut yang berasal dari
dapur, wajahnya nampak pucat kini. Ia meneguk salivanya karena merasa horor dengan
situasi tersebut, dengan perlahan dan enggan ia mendekat dan memasuki dapur. Dapat
terlihat, pecahan piring yang pecah dengan posisi dijatuhkan mendatar pada tengah dapur.

"Ayah... bunda... Dila takut.." dengan tubuh gemetar Dila mendekat pada pecahan piring
tersebut, dengan perlahan lahan dibersikanlah sisa pecahan dengan hati hati. Ia istirahat
sejenak, melirik pada ponsel genggamnya memikirkan siapa nomor tak dikenal tersebut.

Bulu kuduknya berdiri, merasa ngeri dengan situasi sekarang dengan cepat dia berlari
menaiki anak tangga dan memasuki kamarnya. BRAK!! suara hantaman pintu yang ia tutup
secara reflek hingga tak sengaja menghantamnya. Kedua matanya melirik panggilan tak
terjawab miliknya. "Ga diangkat..." gumamnya, alisnya berkedut karena cemas.

Sesaat kemudian kedua kakinya lemas, tubuhnya menyender pada pintu kamar yang
terkunci. Bayangan bayangan mengerikan yang ada apa pikirannya menambah rasa takut
pada diri Dila, dia membayangkan bagaimana jika ada sesuatu yang akan menariknya dari
bawah kasur, bulu kuduknya kembali bergidik ngeri. Secara spontan Dila meloncat ke arah
kasurnya dan menyelimuti diri, masih tak patah semangat, ia tetap mencoba menelpon
Ayahnya agar kembali secepatnya. "Ayo dong yah..." gumamnya berkali kali. Merasa jenuh
Dila beralih pada nomor Ibunya, dia menunggu sejenak dan wajah bahagia terukir, ibunya
menjawab panggilan Dila.
Dari telepon itu suara ibunya terdengar. "Ya kak? Kenapa nelpon malem malem?" Nada
kebingungan jelas terdengar dari ponsel itu.

"Bu, Kakak takut. Piring rumah tiba tiba -eh" nada kikuk terdengar pada suara Dila, takut
dengan bagaimana respon bundanya.

"Piring kenapa?" Tanya Mita kembali.

Hembusan nafas berat Dila utarakan, bahwa ia harus jujur dari pada kondisi memburuk.
"Piring rumah pecah, tapi pecahnya itu kaya dijatuhin secara horizontal ato dari atas
mendatar gitu bu..." sesekali lidah Dila berbelit karena takut akan Mita yang marah.
Mita tak langsung menjawab, membuat Dila semakin takut.

"Jatuhnya dekat lemari piring?" Tanya Mita di sisi lain.

Secara reflek saja Dila menggeleng karena kebiasaannya. "Di tengah dapur.." seketika saja ia
merasa merinding lagi saat mengingat hal apa yang ia lihat tak lama tadi.

"Pintu rumah dikunci?" Lanjut Mita

"Belum, Ayah lembur. Pulangnya jam 11." Jawabnya, Dila melihat pukul berapa sekarang.
Angka pada ponselnya menunjukkan pukul 22.20 WIB.

"Udah telpon ayah?" -Mita

"Udah, tapi ga dijawab." -Dila

Mita merasa khawatir dengan kondisi putri sulungnya yang ketakutan di rumah sendirian
tersebut. "Udah gini aja, kamu banyak banyak baca doa. Sama jangan matiin telpon, Bunda
bakal nyamperin kamu." Sambung Mita.

Dila mengiyakan apa yang dikatakan oleh Mita. Hingga selang waktu Dila merasa lebih
tenang dan jam menunjukkan pukul 11 malam membuatnya semakin lega. Tapi sejenak ia
berfikir gangguan malam ini telah selesai. BRAAAKKK!! Jendela kamarnya terbuka paksa
oleh angin yang sangat kencang tiba tiba saja.

Hujan deras mulai mengguyur daerah tempat tinggal mereka tiba tiba saja. Dengan kilatan
yang sangat terang dan guntur yang sangat kencang membuat Dila ketakutan seorang diri di
dalam kamarnya. Jantung Dila berdegup sangat kencang, merasa sangat terkejut dengan
guntur yang sering kali menggelegar di atas langit.

"Bun..." JDERRR!!
"BUNDAAA!!!" Teriak Dila histeris ketakutan dengan guntur yang saling beradu auman.
Kedua telinganya ia tekan berharap suara guntur dapat terhalangi sedikit saja pada
telinganya, namun usahanya nihil.

Mita yang di sisi lain mendengarkan jeritan Dila yang ketakutan, panik dan meminta Adik
iparnya yaitu Habib untuk menaikkan kecepatan mobil yang mereka tumpangi melaju
menuju rumah keluarga Mita.

Isakan tangis Dila tedengar samar samar dari balik selimut yang melindunginya dari dingin
untuk sementara waktu. Angin sering kali menabrak paksa jendela kamar Dila yang
membuat jendela itu terbuka satu persatu dan menghasilkan suara yang amat berisik.

"Takut..." Dila tarik lebih erat selimutnya untuk menutupi seluruh bagian tubuhnya. Di
tengah cekamnya malam itu, dari luas selimut pesan notifikasi yang beruntun membuat
ponsel miliknya kian berbunyi terus menerus.

Dila menghiraukannya, takut akan apa yang terjadi jika ia menarik selimutnya. Seperti tiba
tiba akan ada sesuatu yang menganggetkannya lalu menarik ia entah kemana.

Hujan kini mereda, tapi angin badai tak kunjung mereda. Melihat hal itu Dila menguatkan
nyalinya untuk turun dan menutup jendela yang kini menganga seperti hewan yang meminta
untuk diberi makan. Dengan jantung yang berdebar begitu cepat karena ketakutan, kakinya
kini menapak lantai yang sebelumnya berada di atas kasur.

Baru saja ingin melangkah, tapi kaki kirinya terasa sangat berat, seakan ada yang menahan
kakinya. Keringat dingin mengguyur wajah Dila, wajah pucatnya kembali setelah sekian
kalinya. Tangannya gemetar, ekor matanya tak sengaja melihat apa yang dari bawah kasur
dan hal tersebutlah yang mencekram kaki kirinya.

Dila menjerit dalam batin, ketakutan dengan apa yang ia lihat saat ini. Sekuat tenaga ia tetap
menarik kaki kirinya dan mengabaikan sosok hitam yang mencekram kaki kirinya.

Hingga akhirnya kaki kiri Dila terlepas tiba tiba saja, di saat bersamaan derap langkah kaki
yang menaiki anak tengga kian jelas terdengar pada telinga Dila. Jantungnya kini seakan akan
dapat keluar kapan saja karena saking cepatnya berdetak.

Crieett...

"Aya-..." Wajahnya yang suram seketika menjadi berseri ketika melihat wajahnya ayahnya,
yang berada di ambang pintu kamarnya. Tapi tak lama menjadi suram kembali saat melihat
kaki yang tidak menapak. "Ini bukan ayah.." sambungnya dalam batin.
Sorot mata tajam Dila mengacu padanya yang berpenampilan seperti ayahnya. Beberapa
langkah mundur Dila dapatkan, berusaha menjaga jarak dari orang tersebut. Sontak saja,
senyum mekar pada wajah orang tersebut. "Anda, sudah sadar ya?" Ucapnya mendekati
Dila.

Tentu Dila tak ingjn di dekati orang tersebut, dia kembali mundur beberapa langkah, hingga
akhirnya dia terpojok di dinding kamarnya. "Sial..."

Orang tak menapak itu semakin dekat kepadanya, dengan segala usaha Dila mencoba
menjauh dari orang tersebut kini nihil. Tatapannya serasa amat mencekam batin Dila yang
kini sangat takut.

Hingga di tengah cekamnya suasana itu mobil milik Putra melaju melewati pekarangan yang
membuat fokus Dila teralihkan, makhluk itu semakin mendekat hingga Dila reflek berlari dan
melompat melewati jendela, yang membuatnya kini berada di atap atap rumah.

Tentu hal itu menimbulkan kegaduhan, Putra segera menaiki anak tangga menghampiri Dila
setelah melihat panggilan yang tak terjawab sebanyak 15 kali. Putra sangat terkejut dengan
apa yang ia lihat kini, makhluk yang memiliki tampilan sama persis dengannya membuat
putri sulungnya ketakutan hingga berani menaiki atap.

Banyak tetangga yang datang karena khawatir dengan kondisi Dila yang berada di atap.
"Neng Dila ada apa?" Seru salah satu tetangganya yang khawatir akan Dila.

Makhluk itu menatap Putra lekat lekat sejenak lalu kembali mendekat ke arah Dila, angin
kencang berhembus sekali lagi membuat Dila mulai kehilangan keseimbangan. Terasa juga
Dila yang seakan ditarik menuju pinggir atap perlahan lahan yang membuatnya terkejut.
"BUNDAAA!!" Tangis Dila yang takut mencengkram atap gemetar.

"DILA!!" Teriak Mita ketakutan, tetangga yang peka akan kondisi segera membawakan
tangga ataupun matras untuk membantu Dila turun. "Mbah, ini Dila di ikutin apa si?!" Tanya
Mita ketakutan dengan Dila.

Ricuh sekali kondisi di malam tersebut membuat Dila ketakutan, dia juga tidak merasa
bahwa ternyata dipenuhi oleh luka cakaran. Mita segera memeluk putri sulungnya yang kini
bergetar hebat.

Sisi lain Putra yang masih bersama dengan makhluk itu tercekik, terasa seperti tangan yang
tak terlihat. Wajah Putra mulai membiru karena tak mendapat asupan oksigen yang
membuatnya lemas, pandangannya menggelap hingga akhirnya pingsan tak sadarkan diri.

********
Pagi hari kini menyambut setelah malam yang suram menghantui keluarga kecil tersebut.
Putra yang sebelumnya pingsan kini tersadar dari pingsannya semalam, kepalanya seakan
terasa ingin pecah karena saking sakitnya.

Di samping Putra yang masih terkapar terdapat Mita yang menemaninya sepanjang malam,
ketika ia melihat Putra yang siuman air mata tak tertahankan terjatuh lolos dari mata Mita ia
menangis tersedu sedu.

"Mas Putra.. kenapa kita mas, kenapa harus kita yang diganggu.." isak Mita yang tak dapat
menahan sendunya saat melihat 2 orang tersayangnya terluka akibat inseden semalam.
"Kenapa si mas, kita punya salah apa ama si Silfa.."

"Lo, kenapa kamu mikirnya Silfa?" Putra terheran heran dengan perkataan Mita yang
membuatnya terkejut mengingat dengan inseden sebelum mereka menikah.

"Itu lo mas, Silfa ngasih pesan ke aku. Isinya mirip ngasih peringatan kalau ada yang dateng
kerumah, tau tau ternyata buat gangguin Dila!" Ujar Mita

Tentu Putra keheranan dengan semua ini, mengingat bahwa mereka semua harusnya telah
damai tapi ternyata masih ada bercik api yang tersisa membuatnya cemas akan anggota
keluarganya apabila diganggu, terutama Dila yang kerap kali diganggu.

"Dila mau di titipin aja ke pakde gimana?" Tawar Putra.

"Ya pakde yang mana mas! Pakde siapa namanya haduh." Geram Mita dengan perkataan
Putra.

"Itu, Pakde Rodi kalau tidak salah dia juga sering punya urusan sama makhluk ghaib,
agamanya juga bagus." Lanjut Putra.

Mita merenung, memikirkan apa yang dikatakan oleh Putra. Dadanya terasa berat saat
memikirkan akan berpisah dengan putri sulungnya, apalagi rasa cemasnya kian tumbuh
sejak kemarin dan Dila mengaku bahwa sebelum sebelumnya ia juga sering diganggu namun
hanya diam.

"Tanyain Dila aja, bukan Bunda yang ngalamin kemarin." Pasrah Mita, mengingat bahwa hal
tersebut yang dapat menolong Dila dari gangguan untuk sementara.

Hingga di lain pada teras rumah, dengan berbalut selimut kamarnya ia duduk di pinggiran
taman mini rumahnya yang berhias banyak tanaman maupun bunga yang beragam. Tatapan
kosong, nampak tak percaya akan kejadian semalam memilih menikmati hilir angin yang
menghibur dirinya meski sejenak saja.
Di sebelahnya sosok wanita yang cantik nan anggun itu kerap kali mengajak Dila berbicara,
namun hanya Dila diamkan karena ia tau bahwa ia membalas perkataan hantu tersebut
hanya akan menambah masalah padanya.

Hingga keheningan datang membuat hantu itu jenuh dan menampilkan sosok aslinya dan
seakan menakuti nakuti Dila namun nihil, ia merasa bahwa semalam lebih mengerikan dari
pada yang ia alami sekarang.

"Dila." Panggil Mita yang segera disahuti oleh Dila, Mita duduk di samping Dila yang
membuat hantu itu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Bukannya Bunda ngerasa kamu beban, nggak gitu. Tapi kamu mau ga tinggal bareng pakde
Rodi pas semester ini selesai lalu lanjut kelas 9 di sana?" Tawar Mita yang nampak ragu
dengan jawaban Dila.

Tentu dila terkejut dan tidak menyangka hal tersebut, namun setelah dipikir kembali itu
masuk akal bahwa ia akan di titipi ke pakde Rodi yang hebat berurusan oleh makhluk halus,
agamanya juga kuat serta kuat dalam bela diri.

"Iya." Ucapnya setelah memikirkan itu dalam dalam, mengingat bahwa ialah yang menjadi
target dan sudah ditandai bahwa lebih baik dialah yang pergi.

Isak tangis Mita kembali mengisi taman yang hening itu, dengan lembut ia memeluk dan
mengusap usap rambut Dila yang berada dalam pelukannya. "Maaf ya Dila, Bunda sama
Ayah punya banyak orang yang ga suka ama kita, jadinya Dila mulu yang kena."

Dila diam, tak membalas perkataan Bundanya. Lebih memilih menepuk nepuk punggung
Mita yang sedih itu.

Hingga lambat laun Mita yang menyelesaikan semester keduanya yang akan beranjak
menuju kelas 9, akan segera berangkat bersama pakde Rodi menuju kampung halamannya.
Namun hal yang tak terduga bahwa ternyata Aris ikut pergi bersama Dila, gelak tawa dari
orang orang sekitarnya saat mengetahui bahwa Aris pergi bersama karena apa.

"Semangat Ris, menggapai masa depanmu." Goda salah satu teman Aris saat mengatahui
akan keberangkatan mereka berdua.

"Ah, berisik amat aelah!" Seru Aris yang tak terima di goda oleh temannya, ia masih
menatap Dila yang berpamitan dengan tetangga yang kerap kali membantu keluarga
ataupun dirinya di saat kesusahan.
"Dila berangkat dulu ya." Sapa Dila saat hendak menaiki bus dengan banyaknya jajanan dari
tetangganya yang menyayangi kepergian Dila.

"Hati hati ya!" Ujar Dian dengan suara melengking khas anak kecil, disertai lambaian tangan
mungilnya, memberi selamat tinggal pada kakaknya yang menaiki bus.

"Ga nangis?" Celetuk Aris saat menengok kebelakang melihat Dila, tentunya ia pikir Dila
hanya cuek dan memilih untuk diam tapi ternyata ia salah. Dia ternyata menangis tanpa
suara, untung saja Aris peka dan segera mendampingi Dila yang menangis tersedu sedu saat
bus mereka melaju meninggalkan rumah dan keluarganya.

"Shh, udah ga papa." Usaha Aris yang menenangkan Dila berhasil, Dila tertidur nampaknya
karena kelelahan. Kepalanya menyender pada dinding kaca yang membuat tidurnya tak
nyaman, tangan Aris mengarahkan kepala Dila agar menyender pada bahunya. Seringai puas
mekar pada wajahnya, namun ia tak sadar bahwa Pakde Rodi sedang memperhatikan gerak
geriknya dari belakang.

"Waduh, anak muda sekarang nyeremin ya. Sat set banget" ucap Pakde Rodi yang berjalan
melewati mereka berdua.

Rona merah menyebar pada wajah Aris yang memang menyari kesempatan yang
membuatnya diam tak berkutik dengan apa yang diucapkan oleh pakde Rodi sepanjang
perjalanan.

Guncangan pelan berhasil membuat Dila terbangun dari tidur nyenyaknya, dengan mata
yang masih berat ia mencoba mengumpulkan kesadaran sebanyak mungkin.

"Bangun Dil, ini mau nyampe terminal." Masih dengan Aris yang berusaha membangunkan
Dila dengan pelan, usaha berhasil. Dila bangun walau masih lemas tapi ia berhasil bangun
menuruni bus yang kini telah tiba pada terminal di dini hari.

Udara dingin seakan menusuk kulit Dila yang membuatnya menggigil kedinginan, sering ia
menggosok gosokkan kedua tangannya lalu menghembuskan nafas panas, berharap bahwa
itu dapat membuatnya lebih hangat. Hal itu dilihat oleh Putra dan diberi tawa olehnya yang
Dila anggap itu ejekan.

Setelah berjalan selama 30 menit kini mereka tiba pada pemukiman desa yang sudah
nampak mulai ramai dengan orang yang bersiap siap dengan pekerjaan apa yang akan
mereka lakukan di sawah.
15 menit mereka berjalan menyusuri jalan setapak desa hingga akhrinya sampai pada rumah
pakde Rodi pada pukul 06.10 pagi, rasa lelah akhirnya dapat mereka melepaskan rasa letih.

"Ayo masuk." Tawar pemilik rumah kepada mereka berdua.

Rumah khas Jawa dengan dinding kayu dan interior klasik menambah kesan tradisional pada
rumah tersebut. Dila dan Aris masih saja mengikuti Pakde berkeliling mengenali rumah yang
akan mereka tempati untuk beberapa tahun.

"Yang ini kamarnya mbak Dila, yang situ kamarnya mas Aris." Unjuk Pakde dengan tangan
kanannya pada kedua pintu kayu itu secara bergilir.

"Bisa taruh dulu barang barangnya, lalu mandi juga nanti sarapan." Lanjut pakde
meninggalkan mereka berdua, Aris dan Dila juga memasuki kamar mereka masing masing
setelah saling lirik sejenak.

Tas ransel dan beberapa tas lain Dila lemparkan pelan menuju samping ranjang, termenung
sejenak ia di sana. Kedua matanya melirik keseliling kamar baru miliknya, rasa penasaran
menggelitik perasaan Dila, ditengoknya setiap celah yang ada di kamar tersebut.

"Aman." Gumamnya pelan.

"Mbak Dila ayo makan!" Panggil bu Sri, suami dari Pakde Rodi. Segera Dila menghampiri
sumber suara tersebut.

Sudah beberapa lama mereka tinggal hingga akhirnya kembali memutuskan ke kota di mana
mereka lahir untuk melanjutkan pendidikan dan menembus jalan mereka masing masing,
begitu pula yang Aris ternyata yang memendam rasa pada Dila hingga kini dan masih pula
mengejarnya.

Anda mungkin juga menyukai