Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH SEJARAH PEMINATAN

KONFLIK DI ASIA TIMUR

Guru yang mengajar :


I Wayan Agus Edi Andika Sutrisna, S. Pd

Oleh
Kelompok 4 :
1. I G.N.Bgs.F Parawesya Raja Bima Putra (03)
2. I Gede Putu Wija Widnyana (07)
3. I Made Yudiantara Putra (14)
4. Ni Kadek Rina Dwi Cahyanti (24)
5. Ni Putu Maesya Sasih Artiwi (31)

SMA NEGERI 1 PENEBEL


TAHUN PELAJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puja dan puji syukur kehadapan tuhan yang maha esa karena telah
memberi kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah sejarah peminatan dengan materi
"KONFLIK ASIA TIMUR". Serta kami ucapkan terimakasih kepada guru mata pelajaran
sejarah peminatan yang telah membimbing kami pada saat proses pembuatan makalah.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini memberikan banyak manfaat kepada pembaca

Penebel, Januari 2024

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Latar belakang ............................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah .......................................................................................................... 1
C. Tujuan penulisan ........................................................................................................... 2
D. Manfaat penulisan ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................ 3
A. Sengketa Teritorial di Asia Timur ................................................................................ 3
1. Sengketa teritorial Cina dan Jepang .............................................................................. 3
2. Sengketa teritorial Jepang dan Korea Selatan ............................................................... 4
B. Kegagalan Reunifikasi Korea........................................................................................ 5
C. Sengketa Kepulauan Spratly, Paracel, dan Scarborough Shoal .................................... 6
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 10
A. kesimpulan .................................................................................................................. 10
B. Saran ............................................................................................................................ 10
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Asia Timur merupakan wilayah yang sejak lama penuh dengan dinamika dalam hal
hubungan antar negara didalamnya. Di kawasan ini terdapat negara seperti Republik Rakyat
China dengan jumlah peduduk terbesar di dunia dan perkembangan ekonomi yang pesat, lalu
Jepang dengan keunggulan teknologinya, Korea Utara dengan kekuatan nuklirnya, serta
Taiwan dengan ketegasan untuk tetap berdiri sendiri sebagai sebuah negara bebas.
Dibalik potensi ekonomi yang besar dan derasnya arus perdagangan di kawasan Asia Timur,
ternyata kawasan ini memiliki tingkat kerawanan dalam hubungannya satu sama lain, yang
berupa masalah sengketa teritorial, ketegangan akibat konflik warisan sejarah masa lalu
seperti Perang Dunia ke-2 dan Perang Korea. Ancaman terhadap keamanan nasional masing
masing negara menimbulkan ketegangan dan kecurigaan sehingga memicu peningkatan
kapabilitas militer. Keamanan nasional secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana
bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan sebagai kondisi tidak
adanya ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar. Terdapat kecenderungan bahwa suatu
bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dipaksa untuk mengorbankan
nilai nilai yang dianggapnya penting, jika dapat menghindari perang atau terpaksa
melakukannya, negara tersebut akan berusaha untuk dapat keluar sebagai pemenang.

B. Rumusan masalah
1. Apa saja penyebab terjadinya sengketa teritorial di Asia Timur?
2. Bagaimana jalannya konflik sengketa teritorial di Asia Timur?
3. Jelaskan penyebab kegagalan reunifikasi Korea!
4. Jelaskan penyebab, jalannya konflik serta penyelesaian konflik tentang sengketa
Kepulauan Spratly, Paracel, dan Scarborough Shoal!
C. Tujuan penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui sengketa teritorial Cina dan Jepang
2. Untuk mengetahui kegagalan reunifikasi Korea
3. Untuk mengetahui sengketa Kepulauan Spartly, Paracel, dan Scarborough Shoal

D. Manfaat penulisan
Dengan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang konflik
yang terjadi di Asia Timur
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sengketa teritorial di Asia Timur


1. Sengketa Teritorial Cina dan Jepang
Cina dan jepang bersengketa dalam memperebutkan wilayah The Senkaku/Diao Yu.
Wilayah Senkaku/Diao Yu ini berada dibagian timur Taiwan, sekitar 120 mil dan berada 200
mil dari bagian timur Cina, serta 200 mil dari bagian barat daya Okinawa. Alasan yang
membuat terjadinya perebutan wilayah ini bukanlah sumber daya alam yang ada pada lima
gugus kepulauan ini, melainkan jalur menuju wilayah yang memiliki sumber daya alam
berharga, seperti minyak. Wilayah ini juga mengalami klaim yang sengit karena lima
gugusan pulau ini tidak memiliki penghuni dan hanya merupakan tanah yang tidak memiliki
potensi dari sumber daya alamnya. Alasan tidak adanya penghuni yang ada di kepulauan
Senkaku ini membuat jepang secara historis terlebih dahulu melakukan penyelidikan terhadap
daerah ini secara legal dan formal melalui Treaty of Simonoseki pada tahun 1895. Adapun isi
dari Treaty of Simonoseki mengatakan bahwa kepulauan Senkaku sudah memasuki wilayah
administrasi Okinawa. Namun, Cina tetap mengklaim bahwa jepang telah melakukan klaim
yang salah. Pasalnya, jika mengingat letak kepulauan Senkaku akan jelas tampak bahwa
Kepulauan Senkaku seharusnya menjadi kepemilikan Taiwan.
Awal mula sengketa kepulauan Senkaku adalah karena hasil studi yang dilakukan oleh
UNCAFE (United Nation Committee for Asia and Far East) yang menyatakan bahwa
kepulauan Senkaku memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah berupa minyak bumi
dan sumber daya alam gas. Konflik di Pulau Senkaku antara Jepang dan China masih belum
terselesaikan sampai saat ini. Perselisihan yang terjadi antara China dan Jepang dalam
perebutan wilayah teritorial Kepulauan Senkaku terjadi karena besarnya potensi sumber daya
alam yang ada di Kepulauan Senkaku itu sendiri. Selain melimpahnya sumber daya alam
yang terkandung, kepulauan Senkaku juga memiliki nilai strategis yang akan menguntungkan
siapapun yang memilikinya. Bagi China, jika bisa mendapatkan Pulau Senkaku, maka pulau
tersebut bisa dijadikan pangkalan pertahanan militer angkatan laut China. Ditambah lagi
mengingat dari tujuan awal China, China ingin menerapkan kebijakan One China
Principle yaitu kebijakan hanya memiliki satu China, dan Taiwanlah merupakan target
terbesar China jika bisa mendapatkan Pulau Senkaku. Dengan China menguasai pulau
Senkaku, Taiwan akan semakin berinteraksi dan menjalin hubungan kerjasama. Pada
akhirnya China ingin Taiwan bersatu kembali dengan China. China akan dapat membuktikan
lebih kuat lagi tentang legitimasi Prinsip Satu China kepada Dunia Internasional dan lebih
khusus lagi kepada negara-negara yang masih meragukan “One China Principle“. Adapun
Jepang, pulau ini juga memiliki nilai yang tinggi, karena Jepang telah mengakui bahwa
pertumbuhan militer China sangat maju dan Jepang menganggap China sebagai ancaman
bagi Jepang dan negara-negara sekitarnya. Ketika Senkaku dikuasai Jepang, maka Senkaku
akan digunakan sebagai pangkalan militer pertahanan Jepang. Ketika China menyerang
Jepang, Senkaku adalah pertahanan pertama Jepang. Selain itu, dengan lemahnya legitimasi
yang berpengaruh pada China, hal ini akan memukul China sehingga akan menyulitkan
China untuk menarik Taiwan kembali ke pangkuannya. Hal inilah yang menyebabkan konflik
Senkaku antara Jepang dan China semakin parah.
2. Sengketa Teritorial Jepang dan Korea Selatan
Jepang memiliki sengketa teritorial dengan Korea Selatan dalam wilayah Liancourt
Rock. Wilayah ini diklaim oleh kedua negara karena memang keduanya menganggap wilayah
ini adalah wilayah administrasi negaranya. Bahkan, kedua negara menamai kepulauan ini
dengan nama yang berbeda, walaupun yang dituju adalah tempat yang sama. Jepang menamai
pulau ini dengan sebutan Tekeshima, sedangkan Korea Selatan mengklaim wilayah ini
dengan sebutan Pulau Dokdo.
Klaim Korea Selatan pada wilayah Liancourt Rock ini didasarkan pada dokumen yang
sudah ada sejak abad ke-8. Dari dokumen dokumen yang ada, disebutkan bahwa Korea
Selatan telah membangun pangkalan persenjataan dan pelabuhan di wilayah Liancourt Rock
ini. Korea Selatan juga menyatakan klaimnya atas Liancourt Rock dengan menunjukkan
bukti kesejarahan, yang menunjukkan bahwa Liancourt Rock merupakan bagian Korea
Selatan dari dinasti Choson, yang sebelumnya juga merupakan kepemilikan dari Goryeo.
Klaim Jepang atas Liancourt Rock adalah adanya pendudukan warga jepang di Liancourt
Rock sejak tahun 1650 menjadi bukti bahwa Liancourt rock adalah wilayah Jepang.
Disamping itu, dikatakan masih banyak lagi bukti yang mendukung klaim tersebut, yaitu
dokumen dokumen yang dikeluarkan pada tahun 1900-an. Pada awal abad 20-an wilayah ini
dijadikan oleh Jepang sebagai tempat untuk mencari makanan dengan berburu.
Ketegangan antara Korea dan Jepang semakin memanas
pada tahun 2005 setelah Dewan Prefektur Shimane mengesahkan peraturan yang
menyatakan kepulauan itu merupakan bagian wilayah Shimane, pernyataan tersebut
memicu gelombang demonstrasi di Seoul. Pada bulan Agustus 2012, President Korea Selatan
saat itu, Lee Myung Bak, mengunjungi pulau–pulau terpencil yang disengketakan. Hal
ini memicu kemarahan Jepang disertai dengan menarik duta besarnya dari Seoul.
Langkah pemerintah Jepang terhadap Korea yaitu Jepang bersikukuh mengajukan sengketa
pulau Takeshima/Dokdo ke mahkamah internasional untuk penyelesaian sengketa.
Namun, Korea menolak untuk menyelesaikan sengketa Pulau Takeshima/Dokdo ke
mahkamah internasional. Dalam tulisan ini dibahas tentang alasan Korea Selatan bersikukuh
menggunakan perundingan bilateral dan Jepang bersikukuh menyerahkan sengketa ke
Mahkamah Internasional dalam sengketa Pulau Dokdo/Takeshima. Klaim keduanya masih
berlangsung sampai sekarang. Klaim kedua negara atas wilayah ini terlihat tidak terlalu
menimbulkan konflik atau ketegangan diwilayah Asia Timur. Hal ini karena tidak adanya
negara dengan kekuatan besar yang ikut campur dalam penyelesaian masalah. Amerika
Serikat yang notebene adalah sekutu kedua negara ini, lebih memilih untuk tidak berpihak
kepada kubu manapun untuk mempertahankan kepercayaan masing masing negara.

B. Kegagalan Reunifikasi Korea


Kegagalan reunifikasi Korea karena adanya keegoisan pemimpin dan adanya campur
tangan negara besar. Keegoisan pemimpin yang dimaksud disini adalah ketidakmauan negara
dalam mengendurkan rasa toleransi antarnegara. Alasan yang diberikan oleh kedua negara
karena tidak ingin penyerahan negara karena ideologi yang berbeda, walaupun sebenarnya
ideologi yang dianut merupakan ideologi yang dibawa oleh negara lain. Keegoisan lainnya
adalah ketidakterbukaan kedua negara dalam bidang kerjasama. Dalam pemerintahan Kim
Jong II, sempat dilakukan pertemuan antara pemimpin Korea Utara dan Korea Selatan yang
sempat memberikan harapan atas terjadinya reunifikasi.
Dalam pemerintahan Kim Jong II, meskipun keadaan negara sedang dalam gencatan
senjata keadaan tersebut tidak terlalu panas dan hampir tidak terdengar adanya ketegangan
yang memuncak seperti yang terjadi pasca kepemimpinan Kim Jong Un. Pada kepemimpinan
Kim Jong Un membuat reunifikasi semakin kentara dengan kerasnya tindakan-tindakan yang
dilakukan, yang dianggapnya sebagai pemberi efek deterence. Melihat ideologi yang dianut,
kedua ideologi negara ini dibawa oleh dua negara yang berbeda, yaitu Rusia dan Amerika
Serikat. Alasan belum terjadinya reunifikasi di Korea adalah adanya keterlibatan kedua
negara ini. Korea Utara yang menganut sistem sosial komunis sesuai dengan negara yang
membawanya, yaitu Rusia, sedangkan Amerika Serikat membawa pengaruh demokrasi
liberal pada Korea Selatan. Perang ideologi ini sangat tampak pada perang korea 1950-1953.
Pada tahun 1950, paham komunis yang dibawa oleh Rusia memengaruhi hampir 90%
wilayah Korea. Baru kemudian pada tahun 1951 terdapat pengaruh Amerika dan PBB pada
ideologi demokrasi liberal di Korea. Pada tahun 1953,dibagilah wilayah Korea seperti yang
saat ini kita ketahui.

Pada perang Korea tersebut, kedua negara besar bahkan memberikan pasokan
persenjataan pada Korea Utara dan Korea Selatan. Tidak hanya persenjataan, tetapi juga
kedua negara Korea diberikan pelatihan militer dan senantiasa didukung pergerakannya.
Belum terjadinya reunifikasi Korea karena kedua negara ini masing masing ingin menguasai
wilayah Asia Timur. Jika salah satu pihak berhasil mengontrol wilayah ini, dimungkinkan
akan adanya negara superpower yang juga dapat mengontrol Asia Timur dan dunia.
Usaha reunifikasi ini telah beberapa kali menjadi agenda sendiri. Pembentukan Four
Party Talks, Six Party Talks, dan The Trilateral Coordination and Oversight Group adalah
bentuk nyata usaha penyelesaian konflik dan reunifikasi Korea. Namun cara cara ini gagal
dilakukan dan malah hanya dijadikan ajang promosi kerjasama oleh Amerika Serikat dan
Cina.

C. Sengketa Kepulauan Spartly, Paracel, dan Scarborough Shoal


Kepulauan Spartly, Paracel, dan Scarborough Shoal adalah tiga bagian yang banyak
diklaim oleh negara di sekitarnya. Paracel sendiri diklaim oleh negara Cina, Taiwan, dan
Vietnam. Scarborough Shoal diklaim oleh Cina dan Filipina. Spartly diklaim oleh Brunei,
Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Klaim atas tiga kepulauan tersebut banyak didasarkan pada
UNCLOS. Permasalahan ini terus berkembang karena klaim yang diberikan dapat terlihat
jelas kalau Cina sebenarnya memang tidak memenuhi bukti bahwa kepulauan tersebut adalah
bagian dari daerahnya. Taiwan dan Vietnam secara tegas menyatakan bahwa kepulauan
Paracel dan Spartly bukan merupakan daerah kedaulatan negara Cina karena sebelum tahun
1940 Cina tidak mengklaim wilayah kedaulatan tersebut. Sebelumnya, pada abad ke-17
Vietnam terlebih dahulu mengklaim wilayah Paracel dan Spartly sebagai wilayah kedaulatan
negaranya. Klaim Cina dan Filipina atas Scarborough Shoal dan Spartly juga didasarkan pada
UNCLOS. Jika kita melihat, memang wilayah keduanya ini lebih condong ke negara Filipina.
Peraturan UNCLOS sendiri menyatakan bahwa batas wilayah laut adalah 200 mil ZEE, 12
mil wilayah perairan, dan 350 mil zona pendukung kehidupan.
Permasalahan ini dilatarbelakangi oleh dua factor penting, yaitu : pertama, letak yang
strategis yakni laut China Selatan merupakan jalur Pelayaran perdagangan dan jalur
komunikasi Internasional yang menghubungkan samudra Hindia dan samudra Fasifik,
beruntung dari segi Geografi karena dikelilingi oleh sepuluh Negara pantai. Kedua, sumber
daya alam yakni kekayaan alam yang terkandung di wilayah Kepulauan Spartly memiliki
kandungan minyak dan gas alam yang besar. Sumber daya alam ini merupakan salah satu
produk yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi Negara. Yang menjadi objek fokus
utama sengketa antara Negara-negara sekawasan (China, Taiwan, Singapura, Philipina,
Vietnam, Malaysia, Brunei Darrusalam) yaitu dua pulau utama yang terdapat di wilayah laut
tersebut, khususnya Kepulauan Spartly.
Konflik di Laut Cina Selatan semakin memanas pada dekade terakhir yang melibatkan
beberapa negara di Asia Tenggara dengan Cina sebagai pengklaim terbesar wilayah Laut
Cina Selatan. Bahkan, beberapa pengamat menganggap konflik yang muncul kembali ke
permukaan pasca perang dingin ini adalah konflik yang rumit untuk dipecahkan karena
ketidakpastian konfigurasi politik internasional. Konflik di Laut Cina Selatan ini pada
utamanya berkisar pada kepemilikan Kepulauan Paracel dan Spratly yang dituntut secara
sepihak oleh beberapa negara di sekitarnya seperti RRC, ROC (Taiwan), Vietnam, Filipina,
Malaysia dan Brunei Darussalam. Ketiga negara pertama menuntut kedua gugusan kepulauan
itu dan yang menarik adalah ketiga negara tersebut mengklaim berdasarkan alasan historis,
bahwa sejak masa lampau bangsa merekalah yang telah menguasai dan memanfaatkan kedua
gugusan kepulauan tersebut.dan hak berdaulatnya atas keempat gugus kepulauan yang
terdapat di dalam sembilan garis putus-putus di LCS. Klaim kedaulatan Tiongkok terhadap
keempat gugus kepulauan di LCS atas hak historis berdasarkan faktor penemuan, penamaan,
dan sejarah penyelenggaraan kekuasaan pemerintah yang telah berlangsung selama lebih dari
2.000 tahun. Dikatakan bahwa Laut Cina Selatan masuk ke dalam wilayah kekuasaan dinasti
kuno Cina yang tidak hanya dikuasi oleh satu dinasti namun beberapa dinasti karena
kekuasaan dinasti akan berakhir saat penguasa yang tampil adalah penguasa yang lemah,
sehingga kekuasaannya ditantang oleh dinasti lain yang lebih kuat sekaligus sebagai pendiri
dinasti baru. Dalam hal ini patut dipertanyakan apakah klaim tersebut masih relevan untuk
dipakai sebagai dasar klaim wilayah Laut Cina Selatan.
Pada tanggal 4 September 1958, Pemerintah RRC mengeluarkan Deklarasi mengenai
laut teritorial Cina (Declaration of the Goverment of the People’s Republic of China on
China’s Territorial Sea ). Seperti China, Taiwan mengklaim kedaulatan gugusan pulau di
Laut China Selatan dan yuridiksi atas perairan yang berbatasan dengan Laut China Selatan:
Spratlys (Nansha), Paracel (Xisha), Pratas (Dongsha), Macclesfield Bank (Zhongsha). Pulau
Taiping, yang juga dikenal sebagai Itu Aba dan berbagai nama lain, adalah pulau terbesar di
gugusan Kepulauan Spratlys. Adapun Vietnam yang ikut mengeluarkan klaimnya atas
wilayah Laut Cina Selatan pada 1975 dengan mengeluarkan ‘Kertas Putih tentang Kepulauan
Hong Sa (Paracell) dan Truong Sa (Spratly)’ yang menyatakan suksesi dari Prancis
merupakan alasan dari klaim yang diajukan oleh Vietnam Selatan. Selama periode kedua,
Vietnam membuat klaim mutlak tentang kedaulatannya atas Kepulauan Spratly yang
mencakup laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif, dan landas kontinen pada
12 Mei 1977.
Serta Klaim terbaru dari Filipina didasarkan pada kedekatan geografis, keamanan nasional,
okupasi efektif, dan kontrol serta ketentuan hukum dari ZEE, dan tidak yang didukung
dengan bukti solid dan hukum internasional. Malaysia mengumumkan Undang – undang
Landas Kontinen yang hampir mendekati ketentuan – ketentuan Konvensi Jenewa 1958
tentang Landas Kontinen. Klaim Malaysia atas bagian selatan Kepulauan Spratly diperkuat
dengan menerbitkan Peta Malaysia 1979 yang menentukan batas – batas daerah Landas
Kontinen Malaysia. Seperti Malaysia, Brunei mengklaim wilayah paling selatan dari
Kepulauan Spratly, termasuk Luconia Reef dan Rifleman Bank (Nanwei Tan) dan lebih dari
200 mil zona maritim berdasarkan ketentuan landas kontinental di UNCLOS 1982. Dari
seluruh negara tersebut hanya Filipina yang menggugat Cina di Pengadilan Arbitrase Den
Haag (PCA) pada 2013 melalui Nota Diplomatik Filipina No. 13-0211. Filipina menuding
Cina mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan mereklamasi demi membangun
pulau buatan. 2 RRC di lain pihak, pada 19 Februari 2013 dan 1 Agustus 2013 menyatakan
bahwa tidak setuju dengan proses arbitrase dan tidak akan ikut dalam proses persidangan
Mahkamah Arbitrase yang dibentuk.
Penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan (LCS) ini sudah diupayakan sejak lama. Cina
sendiri selalu mengusulkan adanya penyelesaian secara bilateral. Namun, saran ini ditolak
oleh negara-negara yang bersengketa karena dianggap penyelesaian secara bilateral hanya
akan menguntungkan Cina, mengingat Cina sebagai superpower di dunia, terutama di
kawasan Asia Timur. Akhirnya, negara-negara yang bersengketa berusaha menyelesaikan
permasalahan ini melalui Badan Arbitrase Internasional.
Terkait hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah proses Arbitrase dapat tetap berjalan
dengan adanya pernyataan tidak setuju dari Cina. Penyelesaian sengketa wilayah laut ini
mengacu pada UNCLOS 1982 dimana secara umum cara penyelesaian sesuai dengan Pasal
33 Piagam PBB, bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui negosiasi, enquiry,
mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan lain dengan cara damai dan sesuai dengan pilihan
sendiri. Pada pasal tersebut memberikan pilihan yang bersifat alternatif sehingga tindakan
Filipina untuk membawa sengketa langsung ke jalur arbitrase tidak menyalahi aturan dasar
yang berlaku yaitu Piagam PBB. Selanjutnya terkait proses Arbitrase, mengacu pada Pasal 9
Lampiran VII UNCLOS, yang pada infonya menerangkan bahwa ketidakhadiran pihak dalam
suatu penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Arbitrase tidak menghentikan proses
penyelesaian. Akan tetapi sebelum mengambil keputusan nantinya, Mahkamah Arbitrase
harus yakin bahwa mahkamah tersebut mempunyai yurisdiksi terhadap kasus yang diajukan
dan tuntutannya dapat ditemukan baik secara fakta maupun hukum.
Pada 12 Juli 2016 Pengadilan Arbitrase di Den Haag mengeluarkan putusan dimana berisi
poin – poin:
1. Klaim Cina atas hak historis atau hak berdaulat lainnya terhadap wilayah laut di Laut Cina
Selatan meliputi juga ‘Nine dash line’ adalah bertentangan dengan konvensi dan dinyatakan
tidak sah. Klaim historis ini dianggap telah melebihi batasan yang ditentukan oleh Konvensi.
2. Pada Mischief Reef and Second Thomas Shoal tidak mampu diperuntukan sebagai Laut
Teritorial, Zona Ekonomi Ekslusif, ataupun Landas kontinen Cina. Lalu untuk Subi Reef,
Gaven Reef (South), and Hughes Reef tidak juga dapat dikategorikan sebagai Laut Teritorial,
ZEE, ataupun landas kontinen namun dapat digunakan sebagai baseline untuk mengukur
lebar dari laut terotorial. Sedangkan Scarborough Shoal, Gaven Reef (North), McKennan
Reef, Johnson Reef, Cuarteron Reef, and Fiery Cross Reef dalam kondisi alami dinyatakan
sebagai batu-batuan yang tidak dapat digunakan untuk kehidupan manusia juga bukan
merupakan ZEE maupun landas kontinen
3. Status Mischies Reef dan Second Thomas Shoal adalah Zona Ekonomi Ekslusif Filipina
4. Cina dianggap telah melanggar kedaulatan Filipina dan pasal – pasal pada konvensi dengan
melakukan operasi militer, penyerangan terhadap nelayan, melakukan illegal fishing Cina
juga dinilai telah melakukan perusakan laut dengan melakukan reklamasi pada beberapa titik
di Laut Cina Selatan. Berdasarkan hasil putusan Arbitrase Internasional sudah seharusnya
Cina menghormati kedaulatan Filipina dan putusan ini pun mementahkan cina dari sengketa
Laut Cina Selatan karena klaim mendasar Cina yaitu Nine-dash line berdasarkan klaim
historis dinyatakan tidak dapat diterima dan menyalahi konvensi.
Upaya penyelesaian konflik ini sudah dilakukan sejak tahun 1970an baik melalui upaya-
upaya bilateral maupun multilateral. Dalam upaya-upaya tersebut telah disepakati beberapa
hal seperti kerjasama pengelolaan wilayah Kepulauan Spratly, maupun pembagian sumber
daya alam. Akan tetapi konflik ini belum selesai karena belum ada kesepakatan mengenai hak
kepemilikan wilayah Kepulauan tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konflik di Asia Timur kebanyakan disebabkan oleh batas-batas wilayah yang ditetapkan
tidak jelas, banyak peta berbeda yang menyebabkan garis batas tidak diterima oleh negara-
negara yang yang telah merdeka. Masalah ini memiliki potensi konflik bagi negara-negara
dikawan Asia Timur yang dapat mengancam stabilitas dan perdamaian dunia karena
permasalahan intern suatu negara juga dapat menimbulkan konflik.

B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan pembaca dapat menggunakan makalah ini
sebagai penambah wawasan dan sebagai referensi sejarah mengenai konflik yang pernah
terjadi di Asia Timur. Kami menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepan
kami akan lebih fokus dan lebih detail dalam menjelaskan mengenai makalah diatas dengan
sumber sumber yang lebih banyak dan dapat dipertanggungjawabkan.

Anda mungkin juga menyukai