Fikrul Islam
Fikrul Islam
UnOffical
KitabTsaqofah.wordpress.com
1
Daftar Isi
2
36. POLA PIKIR SAINS DAN POLA PIKIR RASIONAL ............................................................................................... 127
37. PSIKOLOGI, SOSIOLOGI DAN ILMU PENDIDIKAN ............................................................................................ 132
38. M A B D A` .................................................................................................................................................................. 138
39. KESADARAN POLITIK .............................................................................................................................................. 141
40. GAYA PENGUNGKAPAN YANG BERCIRIKAN PEMIKIRAN DAN YANG BERCIRIKAN SASTRA ............. 147
3
1. MUQADDIMAH
Membina diri dengan mendalami Tsaqafah Islamiyah adalah kewajiban atas kaum muslimin, baik
mendalami nash-nash syar'iy, atau sarana-sarana yang memungkinkannya untuk mendalami dan
menerapkan nash-nash tersebut. Tiada beda apakah mendalami tsaqafah yang berkenaan dengan hukum-
Hanya saja, satu hal yang sangat menyakitkan umat ini adalah semenjak Barat memaklumkan
perang terhadap negeri-negeri Islam, sekaligus memerangi kebudayaan dan peradabannya. Barat kemudian
Sehingga akhirnya kaum Muslimin berpaling dari tsaqafah Islam, menyusul peristiwa pendegradasian
kekuasaan Islam dan ketergelinciran kaum muslimin dari selamatnya perasaan akan kemuliaan Islam.
Semua itu adalah akibat adanya propaganda-propaganda yang sesat dan menyesatkan terhadap Islam dan
Karenanya, kami pandang ada suatu keperluan untuk menyebarkan sebagian tsaqafah Islamiyah ini,
dengan harapan agar kiranya umat manusia, baik yang Islam maupun yang bukan, akan gandrung dengan
apa yang mampu membenahi akal mereka, memperbaiki perasaan mereka, dan mengobati kemerosotan
Kepada Allah jua kami memohon, semoga berkenan memberi pertolongan kepada kaum muslimin
untuk menegakkan apa yang diwajibkan atas mereka; yakni membina diri dengan tsaqafah Islam,
mengemban dakwah Islam, dan menyebarluaskan tsaqafahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
4
2. ISLAM SUATU METODE KEHIDUPAN YANG UNIK
Islam adalah suatu pola hidup yang khas, yang sangat berbeda dengan pola hidup lainnya. Islam
mewajibkan pemeluknya untuk hidup dalam satu warna kehidupan tertentu dan konstan, yang tidak berganti
dan berubah karena situasi maupun kondisi. Islampun mengharuskan mereka untuk selalu mengikatkan
diri dengan pola kehidupan tersebut dengan membentuk suatu kepribadian, yang menjadikan jiwa dan piki-
rannya tidak akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan, kecuali berada dalam pola kehidupan itu.
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan
hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth 'ariidlah), yakni makna-
makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Dengan
demikian akan dapat digali (diistinbath) berbagai cara pemecahan setiap masalah yang muncul dalam
kehidupan manusia. Islam menjadikan cara-cara pemecahan problema kehidupan tersebut bersandar pada
suatu landasan fikriyah (dasar pemikiran) yang dapat memancarkan seluruh pemikiran tentang kehidupan.
Kaidah itupun telah ditetapkan pula sebagai suatu standar pemikiran, yang dibangun di atasnya setiap
pemikiran cabang (setiap pikiran baru yang muncul). Sebagaimana halnya Islam telah menjadikan hukum-
hukum tentang pemecahan problema kehidupan, pemikiran dan ideologi, serta pandangan-pandangan
tentang berbagai pendapat baru sebagai sesuatu yang terpancar dari Aqidah Islam, yang digali dari garis-
Islam memberikan batasan-batasan kepada manusia dengan pemikiran tertentu, tetapi tidak
membatasi aktivitas berpikir manusia, bahkan memberikan kebebasan kepada akal manusia. Islampun
mengikat perilaku manusia dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum tertentu, namun tidak
Oleh karena itu, pandangan seorang muslim terhadap kehidupan dunia ini adalah suatu pandangan
yang penuh dengan cita-cita, serius, realistis, dan proporsional; artinya dunia harus diraih, tetapi bukan
menjadi tujuan dan tidak boleh dijadikan tujuan. Seorang muslim akan bekerja di penjuru dunia ini,
memakan rizqi yang berasal dari Allah, menikmati perhiasan-perhiasan dan rizqi yang baik (halal), yang
telah dianugerahkan Allah kepada hambaNya, dengan kesadaran penuh bahwa dunia ini hanyalah tempat
perdagangan dengan metodenya yang khas, sebagaimana menerangkan tata cara shalat. Islam mengatur
masalah pernikahan dengan caranya yang unik, sebagaimana mengatur masalah zakat. Islampun
5
menjelaskan cara-cara pemilikan harta-benda berikut cara membelanjakannya dengan tata cara yang khas,
sebagaimana menjelaskan masalah-masalah haji. Islam juga memberikan perincian tentang transaksi dan
mu'amalat dengan cara yang khas, sebagaimana merinci masalah do'a dan ibadah. Islam menjelaskan pula
masalah huduud (seperti had pencurian, zina, peminum khamr, dan lain-lain, pen.) dan jinayat (hukum
pidana), serta sanksi-sanksi hukum lainnya, sebagaimana menjelaskan tentang siksa Jahannam dan
kenikmatan Jannah. Di samping itu, Islampun telah menunjukkan suatu bentuk pemerintahan dan metode
penerapannya, sebagaimana telah memberikan suatu dorongan internal (berdasarkan rasa taqwa) untuk
menerapkan hukum-hukum Islam dengan tujuan mencari keridlaan Allah SWT. Begitu juga, Islam
memberikan petunjuk bagaimana mengatur hubungan negara dengan negara, ummat dan bangsa lainnya,
sebagaimana memberi petunjuk untuk mengemban da'wah ke seluruh penjuru dunia. Syari'at Islam telah
mengharuskan kaum muslimin, memiliki sifat-sifat yang mulia, dan hal itu harus dianggap sebagai hukum-
hukum Allah SWT, bukan karena sifat itu terpuji menurut pandangan manusia.
Demikianlah, Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan dengan
manusia lainnya, sebagaimana mengatur hubungannya dengan Allah SWT dalam suatu keserasian
pemikiran berikut cara memecahkan masalahnya. Maka jadilah manusia sebagai mukallaf (yang dibebani
hukum), yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan suatu dorongan (motivasi), metode, arah, dan
tujuan tertentu.
Islam mewajibkan seluruh manusia untuk menempuh satu-satunya jalan ini dan meninggalkan jalan-
jalan yang lain. Islam memberikan ancaman siksa yang amat pedih di akhirat kelak, sebagaimana
memperingatkan datangnya sanksi-sanksi yang berat di dunia ini. Manusia, pasti akan merasakan salah
satu jenis siksa itu, jika ia menyimpang dari jalan Islam, walaupun hanya seujung rambut.
Oleh karena itu, seorang muslim akan menjalani kehidupan ini dengan suatu pemahaman yang khas
tentang kehidupan tertentu. Ia hidup dengan suatu corak dan pola kehidupan yang tertentu pula, sebagai
konsekuensi dari pemelukannya terhadap Aqidah Islam, dan kewajibannya untuk mentaati perintah Allah
SWT dan menjauhi laranganNya, serta kewajibannya untuk tetap berpegang teguh kepada hukum-hukum
Islam. Jadi memiliki suatu pemahaman tertentu tentang kehidupan dan menjalani suatu pola kehidupan
tertentu, adalah wajib bagi setiap muslim dan seluruh kaum muslimin, tanpa ada keraguan sedikitpun.
Sesungguhnya Islam telah menjelaskan semua itu dengan gamblang dalam Kitab Al-Qur'an dan
Sunnah Rasulullah, yang tercakup dalam masalah aqidah dan hukum-hukum syari'atnya.
6
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Islam bukan hanya sekedar agama ritual belaka, bukan pula
sekedar ide-ide teologi atau kepasturan. Akan tetapi Islam adalah suatu metode kehidupan tertentu, di mana
setiap muslim dan seluruh kaum muslimin wajib menjalani kehidupannya sesuai dengan metode ini.
7
3. ISLAM ADALAH MAFAHIM BAGI KEHIDUPAN, BUKAN SEKEDAR
MAKLUMAT
Mafahim Islam bukanlah pemahaman kepasturan, bukan pula informasi-informasi kegaiban tanpa
dasar. Mafahim Islam tidak lain adalah pemikiran-pemikiran yang memiliki penunjukan-penunjukan nyata,
yang dapat ditangkap akal secara langsung, selama masih berada dalam batas jangkauan akalnya. Namun
bila hal-hal tersebut berada di luar jangkauan akalnya, maka hal itu akan ditunjukkan secara pasti oleh
Karena itu, seluruh mafahim Islam berada di bawah penginderaan secara langsung, atau pada
sesuatu yang dapat diindera secara langsung yang menunjukkan adanya pemahaman itu. Dengan kata lain,
seluruh pemikiran Islam merupakan mafahim. Sebab dapat dijangkau oleh akal, atau ditunjuk oleh sesuatu
yang dapat dijangkau oleh akal. Tidak ada satu pemikiranpun di dalam Islam yang tidak memiliki mafhum.
Artinya, pemikiran itu memiliki fakta dalam benak dan dapat dijangkau oleh akal. Atau dapat diterima
dengan sikap pasrah (memuaskan akal dan jiwanya) dan dipercaya secara pasti, bahwa faktanya ada di
dalam benak dan apa yang menunjuknya dapat dijangkau oleh akal.
Dengan demikian di dalam Islam tidak ditemukan hal-hal ghaib yang tidak masuk akal sama sekali
(semacam dogma yang dipaksakan, pen.). Tetapi masalah-masalah ghaib yang diharuskan Islam untuk
diimani adalah masalah ghaib yang dapat diterima melalui perantaraan akal, yaitu melalui sumber yang
dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal, yang tidak lain adalah Al-Qur'an dan Hadits-hadits mutawatir.
Berdasarkan hal ini, maka pemikiran-pemikiran Islam bersifat nyata, faktual, dan ada di dalam
kehidupan. Sebab, semua pemikiran-pemikiran ini memiliki fakta di dalam benak, didasarkan pada proses
penginderaan dan bersandarkan pada akal. Karena itu, sebenarnya akal manusia menjadi asas bangunan
Aqidah dan hukum-hukum Islam merupakan pemikiran yang memiliki fakta dan dapat dijangkau
dengan riil, baik itu berupa hal-hal ghaib ataukah hal-hal nyata, juga keputusan akal terhadap sesuatu (ide),
atau hukum atas sesuatu (pemecahan masalah), atau berita dari dan tentang sesuatu. Semuanya ini ada
faktanya dan pasti adanya. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran Islam, hukum-hukumnya, hal-hal yang
real inderawi, atau hal-hal ghaib, semuanya adalah kenyataan yang memiliki fakta di dalam benak dan
8
Aqidah Islamiyah adalah keimanan kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-
rasulNya, Hari Kiamat, dan Qadla-Qadar. Pembenaran terhadap semua ini dibangun dari kenyataan yang
ada, dan tiap-tiap dari keimanan tersebut memiliki fakta di dalam benak.
Iman kepada Allah, Al Qur'an, dan kenabian Muhammad saw dibina di atas penemuan bahwa wujud
(eksistensi) Allah itu azali, tidak ada awal dan akhir bagiNya. Dan akal telah menemukan secara inderawi
bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah berdasarkan kemu'jizatannya bagi manusia yang dapat diindera di setiap
waktu. Akalpun telah menemukan secara inderawi bahwa Muhammad saw adalah Nabi Allah dan
RasulNya berdasarkan bukti yang nyata bahwa beliau adalah yang membawa Al-Quran sebagai kalamullah
yang membuat manusia tak berdaya untuk membuat yang semisalnya. Maka ketiga hal ini, yaitu wujud
(eksistensi) Allah, Al-Qur'an sebagai Kalamullah, dan Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, dapat
ditangkap oleh akal dengan perantaraan indera dan dapat diimani. Dengan demikian tiga hal di atas
memiliki fakta yang dapat diindera dalam benak dan merupakan fakta yang nyata.
Adapun Iman kepada malaikat, kitab-kitab sebelum Al-Qur'an (seperti Taurat dan Injil), Nabi dan Rasul
sebelum Rasulullah saw (seperti Musa, Isa, Harun, Nuh, Adam as), dibangun berdasarkan khabar dari Al-
Qur'an dan Hadits mutawatir. Kaum muslimin diperintahkan membenarkan adanya semua itu. Dan itu
semua memiliki fakta dalam benak, karena bersandarkan pada sesuatu yang terindera, yaitu Al Qur'an dan
Hadits mutawatir. Berarti seluruhnya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta dari ide-ide (Islam),
Sedangkan Iman kepada Qadla dan Qadar, dibangun di atas akal berdasarkan pengamatan terhadap
perbuatan manusia; bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia atau telah menimpa dirinya (arti
Qadla); dan berdasarkan penangkapan secara aqliy dan inderawi, bahwa khasiat (karakteristik) yang
dimiliki benda bukanlah diciptakan oleh benda itu sendiri (arti Qadar). Buktinya, suatu pembakaran tidak
akan terjadi kecuali dengan derajat panas atau aturan tertentu (misalnya pembakaran kayu perlu derajat
panas tertentu yang lain dengan pembakaran besi, pen.). Seandainya khasiyat itu diciptakan oleh api itu
sendiri, maka kebakaran itu dapat terjadi sesuai dengan kehendaknya, tanpa tergantung pada derajat panas
atau aturan tertentu. Dengan demikian maka jelaslah bahwa khasiat itu diciptakan Allah SWT, bukan
ciptaan yang lainnya. Oleh karena Qadla dan Qadar dapat ditangkap oleh akal secara langsung dengan
perantaraan indera. Maka, keduanya itu diimani, menjadi fakta dalam benak, dan merupakan fakta yang
terindera. Dengan demikian, keduanya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta dari ide, yang
9
Berdasarkan penjelasan di atas, maka aqidah Islam merupakan mafahim yang pasti adanya dan pasti
penunjukannya. Aqidah Islam memiliki fakta dalam benak seorang muslim yang dapat menginderanya,
atau mengindera sesuatu yang dapat menunjukkannya. Dengan demikian Aqidah Islam akan dapat
Sedangkan hukum-hukum syara', kedudukannya adalah sebagai pemecah terhadap kenyataan atau
problematika hidup manusia. Di dalam menyelesaikan semua problema hidup ini diharuskan terlebih
dahulu mengkaji dan memahami masalah yang dihadapi. Lalu mempelajari hukum-hukum Allah yang
berkaitan dengan problema tersebut, dengan memahami nash-nash syara' yang berkaitan dengannya.
Kemudian pemahaman tersebut dipertimbangkan untuk mengetahui apakah itu hukum Allah atau bukan.
Jika penerapan itu tepat, menurut pandangan seorang mujtahid, maka pemahaman itu pun merupakan
hukum Allah. Jika tidak tepat, maka dicarilah makna atau nash lain, hingga ditemukan yang tepat dengan
kenyataan itu. Dengan demikian, maka hukum-hukum Syara' merupakan pemikiran yang memiliki fakta
dalam benak (mafhum), sebab hukum-hukum syara' merupakan pemecahan yang dapat diindera untuk suatu
masalah yang nyata, yang dipahami dari nash-nash yang ada. Maka berdasarkan hal ini hukum-hukum
Dengan demikian sesungguhnya aqidah Islam dan hukum-hukum syara' bukanlah pengetahuan
yang semata-mata untuk dihafal, dan bukan pula sekedar pemuas akal. Tetapi, keduanya merupakan
mafahim yang mendorong manusia untuk berbuat, menjadikan perbuatannya selalu terkait, terikat, dan
teratur karenanya. Atas dasar inilah, maka seluruh ajaran Islam merupakan mafahim yang mengatur
10
4. MAFAHIM ISLAM ADALAH PATOKAN-PATOKAN TINGKAH LAKU
MANUSIA DALAM KEHIDUPAN
Pemikiran-pemikiran Islam adalah berupa mafahim, bukan sekedar ma'lumat yakni informasi-
informasi yang hanya berupa pengetahuan. Arti keberadaannya sebagai mafahim adalah bahwasanya
pemikiran-pemikiran Islam memiliki makna yang menunjukan suatu kenyataan dalam kehidupan.
Pemikiran-pemikiran tersebut bukan sekedar keterangan terhadap hal-hal yang disangka keberadaannya
secara logis. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, setiap makna yang ditunjuk olehnya memiliki fakta-
fakta yang dapat diindera oleh setiap manusia; baik itu merupakan mafahim yang membutuhkan pemikiran
dan perenungan yang mendalam, atau berupa mafahim yang dapat dipahami dengan mudah. juga apakah
makna itu merupakan hal-hal yang dapat diindera, yakni yang memiliki fakta inderawi, seperti ide-ide yang
berkaitan dengan pemecahan problema hidup, pemikiran-pemikiran, dan opini-opini umum, ataukah
merupakan hal-hal ghaib tetapi yang menghkabarkannya kepada kita adalah sesuatu yang dapat dipastikan
keberadaannya oleh akal secara inderawi, seperti adanya Malaikat, Sorga atau Neraka. Jadi seluruh
pemikiran Islam adalah berupa fakta-fakta riil yang memiliki penunjukan-penunjukan (makna) yang nyata
dalam jangkauan indera atau benak manusia. Dengan kata lain merupakan fakta yang memiliki penunjukan
Hanya saja, penunjukan yang nyata tersebut bukanlah merupakan pembahasan semisal astronomi,
pengetahuan tentang kedokteran, atau konsep pemikiran yang berkaitan dengan ilmu kimia yang telah
disampaikan kepada kita guna memanfaatkan apa yang ada dalam alam semesta. Tetapi sebaliknya, penun-
jukan-penunjukan itu merupakan patokan-patokan tingkah laku manusia dalam kehidupan dunia ini dan
untuk menuju kehidupan akhirat, tak ada hubungannya dengan selain itu. Patokan-patokan itu datang
sebagai petunjuk dengan membawa rahmat, peringatan dan nasehat. Juga untuk memecahkan problema
hidup yang timbul dari perbuatan manusia serta menentukan bentuk tingkah lakunya.
Jika kita menelusuri mafahim ini dalam nash-nash yang menjadi sumber mafahim tersebut, yakni
nash-nash yang menerangkan pemikiran-pemikiran yang melahirkan mafahim tersebut, maka akan kita
dapati bahwa seluruh nash yang ada, datang dalam bentuk ini (sebagai patokan tingkah laku manusia) tidak
dalam bentuk lain; dan terbatas hanya pada pembahasan ini. Jadi, nash-nash Al Qur'an dan Sunnah, baik
dari segi manthuqnya (apa yang ditunjuk oleh lafadz), atau dari segi mafhumnya (apa yang ditunjuk oleh
makna lafadz), ataupun dari segi dilalahnya, seluruhnya terbatas dalam satu cakupan, yaitu aqidah dan
11
hukum-hukum yang terpancar dari aqidah, termasuk pemikiran-pemikiran yang dibangun di atas aqidah
Oleh karena itu setiap muslim diwajibkan memahami bahwa nash-nash syari'ah, yaitu Al Qur'an
dan Sunnah, datang untuk diamalkan, dan khusus ditujukan terhadap tingkah laku manusia dalam
kehidupan. Dengan kata lain, setiap muslim wajib menyadari dua hal dalam Islam, yaitu:
Pertama : Bahwasanya Islam datang dengan membawa mafahim sebagai patokan untuk mengatur tingkah
lakunya dalam kehidupan dunia ini, dan menuju kehidupan akhirat. Kemudian, ia pun mengambil setiap
pemikiran Islam sebagai patokan (peraturan) untuk mengatur tingkah lakunya sesuai dengan peraturan
tersebut. Jadi yang menonjol dalam Islam adalah segi amaliyah (praktis), bukan segi ta'limiyah (teoritis)
semata. Perlu diketahui, jika Islam diambil dari segi teori semata, tentu akan kehilangan shibghah (warna)
aslinya, yaitu kedudukannya sebagai patokan untuk mengontrol tingkah laku manusia; dan akhirnya Islam
pun hanya akan sekedar menjadi pengetahuan belaka, sebagaimana ilmu geografi dan sejarah. Dengan
demikiaan Islam akan kehilangan daya hidup (power) yang ada padanya, dan iapun tidak akan menjadi
Islam yang murni, tetapi hanya sekedar pengetahuan Islam, yang dapat ditandingi oleh kaum orientalis kafir
yang tidak mengimani apa yang mereka pelajari dari Islam, dan orang-orang yang mempelajarinya hanya
untuk menghantam Islam dan pemeluknya. Dua orang tersebut akan sama kedudukannya dengan seorang
Muslim yang 'alim, yang beriman pada ajaran Islam, tetapi mensifatinya sekedar sebagai pengetahuan atau
kepuasan intelektual, tanpa terlintas dalam hatinya untuk megambil ajaran-ajaran Islam sebagai patokan
Oleh karena itu, mengetahui pemikiran-pemikiran Islam dan hukum syara' tanpa merealisasikannya
sebagai patokan tingkah laku manusia dalam kehidupan ini adalah suatu penyakit yang menjadikan Islam
tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku kaum muslimin dewasa ini.
Kedua : Wajib disadari oleh setiap muslim tentang Diinul Islam, bahwasanya Al Qur'an dan Sunnah
diturunkan tidak lain sebagai Diin dan Syari'at, bukan sekedar pengetahuan atau ilmu semata. Dan
keduanya, tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan manapun, baik itu ilmu sejarah, geografi, ilmu
Ayat-ayat yang tercantum dalam Al Qur'an tentang bulan, bintang, planet, gunung, sungai, hewan,
"(Dan) matahari berjalan (berputar pada lingkaran yang ditentukan) sampai ia berakhir (pada batas
12
"(Api neraka) yang menembus ke dalam" (QS Al Humazah: 7)
Begitu juga ayat-ayat lain yang serupa dengan kedua ayat tersebut, tidak memiliki suatu petunjuk
pun terhadap ilmu pengetahuan. Ayat-ayat itu bermaksud mengajak manusia memperhatikan kekuasaan
Allah, menjadi petunjuk terhadap keagungan Allah, serta memberi petunjuk kepada manusia tentang hal-
hal yang dapat menundukkan akalnya, akan sangat perlunya beriman kepada Allah SWT.
Jadi ayat-ayat tersebut adalah bukti-bukti kekuasaan dan keagungan Allah SWT, serta merupakan
himbauan kepada akal manusia untuk melakukan pengamatan, agar ia sadar dan mengambil petuah dari
ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat itu bukanlah dimaksudkan untuk sekedar pembahasan di bidang sains atau
Jadi, pemikiran-pemikiran Islam yang terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah tidaklah sekedar
sebagai pengetahuan atau pembahasan teoritis, tetapi diturunkan untuk memecahkan problematika
kehidupan manusia; dan merupakan patokan-patokan bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan dunia,
13
5. SYAKHSHIYAH ( Kepribadian Manusia )
Kepribadian dalam diri setiap orang, terdiri dari pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Tidak
ada hubungannya dengan wajah, bentuk tubuh, kerapian busana atau hal-hal lainnya. Sebab, semua itu
hanyalah asesoris semata. Adalah suatu kedangkalan berpikir, bila seseorang menyangka asesoris semacam
ini sebagai salah satu faktor kepribadian atau berpengaruh terhadap kepribadian. Sebab, manusia dapat
dibedakan melalui akal dan tingkah lakunya, dan inilah yang akan menunjukkan tinggi rendahnya derajat
seseorang. Oleh karena tingkah laku manusia dalam kehidupan ini tergantung pada mafahimnya. Maka
dengan sendirinya tingkah laku manusia pun terikat erat dan tidak bisa dipisahkan dengan mafahim yang
dimilikinya.
Tingkah laku (suluk) adalah perbuatan-perbuatan manusia yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Tingkah laku ini, berjalan secara pasti sesuai dengan
kecenderungan-kecenderungan (muyul) yang ada pada diri manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu, mafahim dan kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh manusia adalah penyangga
bagi syakhshiyahnya.
Sedangkan apa yang dimaksud dengan 'mafahim', dari apa sebenarnya mafahim ini tersusun, apa
saja yang dapat dihasilkannya, kemudian apa yang dimaksud dengan kecenderungan (muyul), apa yang
menimbulkannya dan apa saja pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya, maka hal ini memerlukan penje-
Mafahim adalah makna-makna pemikiran, bukan makna-makna lafadz. Sedangkan lafadz adalah
ucapan-ucapan yang menunjukkan makna-makna tertentu yang mungkin ada dalam kenyataan dan
di hadapannya
luluhlah keperkasaannya
hancurlah mereka".
14
Makna syair diatas dapat ditemukan dalam kenyataan, dan dapat dijangkau oleh panca indera,
walaupun untuk menemukannya diperlukan kedalaman dan kecemerlangan berpikir. Namun bila Penyair
berdendang:
"Mereka berkata
Menembuskan tombak
Di hari pertempuran
Dan kemudian
Kujawab mereka
'Andaikan
Maka makna syair ini tidak terwujud sama sekali dalam kenyataan. Seseorang tidak mampu menembuskan
tombak pada dua orang sekaligus, dan dalam kenyataannya tidak ada seorangpun yang menanyakan hal itu.
Juga tidak mungkin ia menusukkan tombak sepanjang satu mil. Makna-makna yang terdapat dalam kalimat
Adapun arti yang ditunjukkan oleh pemikiran, adalah apabila makna yang dikandung oleh suatu
lafadz memiliki fakta yang dapat diindera, atau yang bisa digambarkan dalam benak sebagai sesuatu yang
dapat diindera. Maka, makna tersebut menjadi mafhum bagi orang yang bisa mengindera atau
menggambarkannya dalam benak. Tetapi, tidak menjadi mafhum bagi orang yang belum dapat mengindera
atau menggambarkannya, meskipun orang tersebut memahami langsung makna kalimat yang disampaikan
kepadanya, atau yang ia baca. Oleh karena itu mutlak bagi seseorang untuk menerima ungkapan yang
dibaca atau didengarnya dengan cara berfikir; dengan kata lain hendaklah ia memahami makna-makna pada
kalimat sebagaimana yang ditunjukkan oleh maksud kalimat tersebut, bukan yang diinginkan atau
dikehendaki oleh orang yang mengucapkannya. Dan pada saat yang sama ia harus memahami pula fakta
15
dari makna-makna tersebut dalam benaknya, dengan cara mempersonifikasikan kenyataan tersebut
Berdasarkan penjelasan di atas, mafahim adalah makna-makna yang bisa dijangkau yang memiliki
fakta dalam benak, baik fakta yang bisa diindera di luar, atau berupa fakta yang diyakini keberadaanya di
luar, dengan suatu keyakinan yang didasarkan kepada suatu fakta (bukti) yang bisa diindera. Selain dari hal
diatas, yaitu berupa makna-makna lafadz atau kalimat saja, tidak bisa disebut sebagai mafhum melainkan
Mafahim ini terbentuk dari upaya mengkaitkan fakta/realita dengan pengetahuan (bila kita ingin
memahami hakekat dari sesuatu, pent.) atau dengan mengkaitkan (setiap) pengetahuan dengan kenyataan
(bila ingin mengetahui realitanya). Setelah terbentuknya mafahim itu maka akan lebih jelas lagi bila
didasarkan pada satu atau lebih landasan (ideologi) yang dijadikan tolok ukur untuk fakta dan pengetahuan
ketika ia berfikir. Dengan kata lain mafahim itu akan lebih jelas bila memiliki cara berpikir tertentu
terhadap kenyataan dan pengetahuan (yang ia miliki), maka akan terbentuklah pada orang tersebut suatu
pola pikir (yang khas) dalam memahami kata-kata, kalimat serta makna-maknanya sesuai dengan kenyataan
yang tergambar dalam benaknya. Kemudian barulah dia menentukan sikap terhadapnya. Dengan demikian
aqliyah adalah cara yang digunakan dalam memahami atau memikirkan sesuatu. Dengan kata lain, aqliyah
adalah cara yang digunakan dalam mengkaitkan kenyataan dengan pengetahuan atau sebaliknya, yang
disandarkan kepada satu atau lebih landasan (ideologi). Dari sinilah timbulnya perbedaan pola berpikir
(aqliyah); seperti pola pikir Islami, pola pikir komunis, pola pikir kapitalis, pola pikir anarkis atau pola pikir
yang teratur.
Adapun apa yang dihasilkan oleh mafahim, maka hal itu adalah sebagai penentu tingkah laku
manusia terhadap kenyataan yang dapat dipikirkannya, juga sebagai penentu corak kecenderungan manusia
terhadap kenyataan tersebut, apakah diterima ataukah ditolak. Bahkan kadang-kadang dapat membentuk
Akan halnya kecenderungan (muyul); adalah keinginan yang mendorong manusia untuk memenuhi
kebutuhannya, dan senantiasa terikat dengan mafahim yang ia miliki tentang hal-hal yang direncanakan
Sedangkan yang menimbulkan kecenderungan itu adalah energi dinamis yang mendorong
seseorang untuk memenuhi kebutuhan naluri dan jasmani, serta daya pikir yang mengkaitkan antara
"kemampuan/potensi dengan mafahim". Dengan kecenderungan tersebut, atau keinginan yang terkait
dengan mafahim tentang kehidupan, maka akan terbentuklah pola sikap (nafsiyah) manusia.
16
Berdasarkan keterangan di atas, maka 'nafsiyah' adalah cara yang digunakan manusia untuk
memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya. Dengan kata lain 'nafsiyah' adalah cara yang digunakan untuk
mengikat dorongan memenuhi kebutuhan dengan mafahim. Nafsiyah itu adalah gabungan antara keinginan
manusia yang bergejolak secara pasti dan normal dalam dirinya, dengan mafahim terhadap sesuatu yang
Dari aqliyah dan nafsiyah ini, terbentuklah syakhshiyah (kepribadian manusia). Walaupun akal dan
pemikiran ada secara fitri dan pasti keberadaanya pada setiap manusia, akan tetapi pembentukan aqliyah
terjadi dari hasil usaha manusia sendiri. Demikian juga dengan kecenderungan, walaupun ada secara fitri
dan pasti keberadaanya, tetapi pembentukan nafsiyah terjadi dari hasil usaha manusia itu sendiri. Sebab
yang menjelaskan makna suatu pemikiran sehingga menjadi mafhum adalah adanya satu atau lebih
landasan (ideologi) yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk pengetahuan dan kenyataan ketika seseorang
berpikir. Dan karena yang menjelaskan dan menentukan keinginan sehingga menjadi suatu kecenderungan
adalah gabungan (kombinasi) yang terjadi antara kecenderungan dan mafahim. Maka adanya satu atau
lebih landasan (ideologi) yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk pengetahuan dan kenyataan ketika
manusia berfikir, mempunyai pengaruh yang terbesar dalam membentuk aqliyah dan nafsiyah. Berarti juga
memiliki pengaruh besar dalam membentuk syakhsiyah dengan suatu cara yang khas, yang berbeda dengan
yang lain.
Apabila yang membentuk Aqliyah adalah hal-hal yang sama dengan apa yang digunakan untuk
membentuk Nafsiyah, yaitu membutuhkan satu atau lebih landasan (ideologi), maka pada saat itu
terbentuklah pada diri manusia suatu kepribadian yang mempunyai corak dan warna tertentu yang berbeda
Tetapi apabila yang membentuk Aqliyah adalah hal-hal yang berbeda dengan apa yang digunakan
untuk membentuk nafsiyah, yaitu berupa satu atau lebih landasan (ideologi) yang berbeda, maka dapat
dikatakan bahwa aqliyah seseorang berbeda dengan nafsiyahnya, dengan kata lain ia akan memiliki pola
sikap yang berbeda dengan pola pikirnya. Sebab dengan keadaan tersebut ia akan mengkaitkan
kecenderungannya kepada satu atau lebih landasan (ideologi) yang masih ada dalam dirinya sejak semula
(sebelum mempunyai pola pikir yang baru, pent.). Dengan demikian ia akan mengaitkan
kecenderungannya dengan mafahim (lama) yang berbeda dengan mafahim (baru) yang telah membentuk
aqliyahnya, kemudian akan terbentuk pada dirinya suatu kepribadian yang kacau, yang tidak memiliki
corak dan warna tertentu, sehingga pemikirannya berbeda dengan kecenderungannya. Hal ini disebabkan
17
karena ia memahami kata-kata, kalimat-kalimat dan kejadian-kejadian dengan cara yang bertentangan
Oleh karena itu usaha memperbaiki kepribadian manusia dan pembentukannya adalah dengan cara
mewujudkan satu landasan (ideologi) tertentu yang digunakan secara bersamaan bagi aqliyah maupun
nafsiyahnya. Dengan kata lain landasan (ideologi) yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk pengetahuan
dan kenyataan ketika manusia berfikir, harus digunakan pula untuk menggabungkan kecenderungan
dengan mafahim. Dengan cara ini terbentuklah sebuah kepribadian yang dibangun atas suatu landasan
ideologis serta tolok ukur tertentu, yang mempunyai corak warna tertentu.
18
6. SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH
Islam telah memperbaiki diri manusia secara sempurna guna mewujudkan adanya suatu
syakhshiyah tertentu yang khas, dan berbeda dengan yang lain. Islam telah memperbaiki pemikiran dengan
aqidah Islam, yaitu menjadikan aqidah sebagai landasan berfikir (qa'idah fikriyah) yang menjadi dasar
pemikiran manusia yang dapat membina dan membentuk mafahimnya; agar ia mampu membedakan antara
pemikiran yang benar dan yang salah tatkala melakukan standarisasi suatu pemikiran dengan aqidah Islam.
Ia menjadikan aqidah Islam sebagai dasar untuk membina dan membentuk mafahimnya, karena Islam
merupakan qa'idah fikriyah. Dengan demikian disamping akan terbentuk aqliyah yang dibangun
berdasarkan aqidah, sehingga ia memiliki aqliyah yang khas, yang berbeda dengan yang lain, juga memiliki
suatu tolok ukur yang benar untuk setiap pemikiran/ide. Dengan demikian ia akan selamat dari keterge-
linciran dan kesalahan serta kerusakan berfikir. Ia akan tetap benar dalam berfikir, dan tepat dalam
Pada saat yang sama, Islam telah mengatur perbuatan manusia yang muncul dari kebutuhan jasmani
dan gharizahnya dengan hukum-hukum syara' yang terpancar dari aqidah Islam. Peratuan-peraturan
tersebut adalah peraturan yang benar, yang mengatur gharizah, bukan menindasnya; yang dapat menga-
rahkan dan bukan membiarkanya liar tanpa kendali. Islam menawarkan pemenuhan seluruh kebutuhannya
secara serasi dan harmonis, sehingga ia merasakan kebebasan dan ketenangan. Disamping itu Islam
menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan manusia secara harmonis, sehingga mendatangkan ketenangan
dan ketentraman. Islam telah menjadikan aqidah Islam sebagai aqidah yang dapat difikirkan (dijangkau
oleh aqal), sehingga tepat untuk dijadikan sebagai landasan berfikir yang digunakan sebagai tolok ukur
terhadap seluruh pemikiran yang ada, dan dijadikan pula sebagai suatu pemikiran yang menyeluruh tentang
alam semesta, manusia dan kehidupan. Sebab, manusia hidup di bumi yang merupakan bagian dari alam
semesta, maka pemikiran yang menyeluruh tersebut harus dapat memecahkan seluruh simpul-simpul
Oleh karena itu pemikiran menyeluruh yang disodorkan Islam ini, sangat layak dijadikan sebagai
mafhum umum, yaitu sebagai tolok ukur yang dapat digunakan secara langsung pada saat terjadinya
perpaduan antara dorongan jasmani dan naluri dengan mafahim manusia terhadap masalah yang dihadapi,
Dengan demikian Islam telah menanamkan dalam diri manusia suatu qa'idah fikriyah yang pasti,
yang berfungsi sebagai tolok ukur yang paten bagi mafahim maupun kecenderungan-kecenderungannya
19
pada waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, ia berfungsi sebagai standart bagi aqliyah dan nafsiyahnya,
sehingga dapat menghasilkan suatu kepribadian khas, yang berbeda dengan kepribadian yang lain.
Dari sini kita dapati, bahwasanya Islam membentuk Syakhshiyah Islamiyah seseorang dengan
aqidah Islam. Dengan aqidah itulah dibentuk aqliyah dan nafsiyahnya. Jelaslah bahwa aqliyah Islamiyah
adalah berfikir atas dasar Islam. Artinya, menjadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum tentang
berbagai pemikiran mengenai kehidupan. Aqliyah Islamiyah tidaklah hanya dimiliki oleh orang-orang
cerdik pandai atau kaum intelektual/pemikir saja, tetapi cukup bila seseorang menjadikan Islam sebagai
asas bagi seluruh pemikirannya secara praktis dan faktual, agar ia memiliki suatu aqliyah Islamiyah dalam
dirinya.
Adapun nafsiyah Islamiyah adalah menjadikan seluruh kecenderungannya atas dasar Islam.
Artinya, ia jadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum dalam aktifitas pemenuhan kebutuhan
(jasmani dan naluri). Nafsiyah ini tidak hanya dimiliki oleh kaum sufi (yang menghabiskan waktunya untuk
beribadah), atau orang-orang yang fanatik terhadap agamanya, Tetapi cukuplah bila seseorang menjadikan
Islam sebagai standar bagi seluruh aktifitas pemenuhan kebutuhan (jasmani dan naluri)nya secara praktis
Dengan aqliyah dan nafsiyah Islamiyah tersebut, terbentuklah syakhshiyah Islamiyah seseorang
tanpa memperhatikan lagi apakah ia seorang 'alim ataukah jahil; apakah ia melaksanakan fardlu, sunnah,
meninggalkan yang haram dan makruh; atau apakah ia melakukan lebih dari itu. Dengan kata lain
mengerjakan berbagai perbuatan yang mendatangkan ketaatan dan disukai Allah serta menjauhi hal-hal
setiap orang yang berfikir di atas landasan Islam dan menjadikan hawa nafsunya tunduk terhadap Islam,
untuk mengembangkan aqliyah tersebut, sehingga memiliki kemampuan untuk menilai (membanding-
bandingkan) setiap pemikiran. Islampun memerintahkan untuk melakukan amal-amal perbuatan yang
wajib, mandub (sunah) serta amal-amal perbuatan yang disukai Allah, meninggalkan sebanyak mungkin
perbuatan-perbuatan yang haram, makruh, atau syubhat, untuk memperkuat nafsiah tersebut sehingga
memiliki kemampuan untuk menolak setiap kecenderungan yang berlawanan dengan Islam. Semua itu
berfungsi untuk meningkatkan derajat Syakhsiyah dan menjadikan dirinya berjalan di jalan yang luhur dan
mulia, tetapi bukan berarti orang yang tidak mengerjakan semua itu tidak memiliki Syakhsiyah Islamiyah.
Dia tetap memiliki Syakhsiyah Islamiyah, sebagaimana halnya orang-orang awam yang tingkah lakunya
20
dianggap Islami, begitu pula para pelajar yang terbatas hanya mengerjakan perbuatan-perbuatan yang wajib
dan meninggalkan yang haramnya saja. Mereka masih memiliki Syakhsiyah Islamiyah, walaupun kadar
Syakhsiyah Islam. Yang penting dalam menentukan bahwa seseorang memiliki Syakhsiyah Islamiyah
adalah tindakan yang menjadikan Islam sebagai asas bagi pemikiran dan kecenderungannya. Dari sini dapat
diketahui adanya perbedaan tingkatan Syakhsiyah Islamiyah, Aqliyah Islamiyah (pola pikir islam) dan
Oleh karena itu, suatu kesalahan besar bagi mereka yang menggambarkan bahwa Syakhsiyah
Islamiyah itu ibarat "Malaikat". Besar sekali bahayanya (pendapat) orang-orang semacam itu dalam
masyarakat. Sebab, mereka akan mencari "malaikat" di tengah-tengah masyarakat manusia dan pasti
mereka tidak akan menemukannya, sekalipun pada dirinya sendiri. Akibatnya merekapun dihinggapi rasa
putus asa, kemudian menjauhkan diri dari kaum Muslimin. Para pengkhayal ini telah menyangka bahwa
Islam itu hanya khayalan belaka; dan mustahil diterapkan (dalam kehidupan). Islam itu ibarat sesuatu yang
amat indah, yang tidak mungkin bagi manusia mampu menerapkannya atau dapat meraihnya, yang pada
akhirnya mereka menjauhkan dan menghalangi manusia dari Islam, dan melumpuhkan serta mematikan
Padahal Islam datang ke dunia untuk diterapkan secara nyata. Islam adalah sesuatu yang riil bukan
suatu hal yang sulit untuk menerapkannya. Setiap manusia, betapapun lemah pemikirannya, dan
bagaimanapun kuatnya naluri serta kebutuhan jasmaninya, memiliki kemungkinan untuk menerapkan Islam
pada dirinya dengan mudah, setelah sebelumnya memahami aqidah Islam dan mempunyai sosok
kepribadian yang Islami. Sebab dengan hanya menjadikan aqidah Islam sebagai suatu tolak ukur bagi pola
pikir dan kecenderungan (jiwa)nya, kemudian berjalan sesuai dengan tolak ukur tersebut maka pastilah ia
memiliki syakhshiyah Islam. Kemudian ia perkuat syakhshiyahnya dengan menambah tsaqafah Islam
untuk mengembangkan pola pikirnya dan dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan (amal ibadah) yang
mendorongnya untuk taat (kepada Allah) dalam rangka memperkuat nafsiyah (jiwa)nya, sehingga ia
berjalan mencapai derajat yang luhur dan tetap (mempertahankan) derajatnya yang tinggi itu di dunia, serta
21
7. ALLAH ADALAH DZAT YANG HAKIKI BUKAN SEKEDAR
KHAYALAN DALAM OTAK
Banyak orang di muka bumi ini, terutama di dunia Barat, yang meyakini dan mengimani adanya
Tuhan. Tetapi keyakinan dan keimanan mereka ini didasarkan pada suatu anggapan, bahwa Tuhan itu
hanyalah sekedar ide (pandangan), bukan sesuatu yang riil (yakni mempunyai pengaruh terhadap kehidu-
pan). Mereka beranggapan bahwa iman akan adanya "Tuhan" berarti iman kepada "Ide ketuhanan", suatu
ide yang menurut mereka bagus, karena selama manusia mengkhayalkan ide tersebut, meyakini dan tunduk
pada khayalannya itu, ia akan terdorong menjauhi keburukan dan mengerjakan kebajikan. Dan ini menurut
mereka merupakan dorongan dari dalam, yang pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dorongan dari luar.
Oleh karena itu mereka beranggapan bahwa beriman akan adanya Tuhan merupakan suatu keharusan, dan
(keimanan semacam ini) harus digalakkan agar manusia tetap terdorong secara sukarela melakukan
kebajikan dengan dorongan dari dalam, yang mereka namakan sebagai waaziu'ud diini (bisikan hati).
Orang-orang (yang berpandangan) semacam itu sangat mudah terjerumus kedalam atheisme; atau
murtad dari sesuatu yang mereka imani; pada saat akal mereka mulai berfikir dan mencoba menjangkau
hakekat wujud Tuhan (yang mereka khayalkan). Apabila akal belum mampu menjangkaunya, atau
menjangkau pengaruh/tanda adanya Khaliq, mereka dengan segera mengingkari wujud Tuhan dan kufur
terhadap Allah. Lebih celaka lagi, keyakinan bahwa Tuhan itu hanya suatu ide (pemikiran/khayalan) bukan
sesuatu yang riil, akan menjadikan pula perbuatan baik dan buruk hanya sekedar ide, bukan sesuatu yang
riil. Akibatnya manusia mengerjakan atau menjauhi suatu perbuatan menurut kadar khayalannya tentang
Penyebab mereka memiliki iman semacam itu adalah karena mereka tidak menggunakan akalnya
dalam beriman kepada Allah. Mereka tidak berusaha menguraikan secara aqliy simpul masalah besar, yaitu
pertanyaan alami mengenai alam semesta, manusia dan kehidupan, tentang apa yang ada sebelum dan
sesudah kehidupan dunia, dan hubungan ketiga unsur (alam, manusia, dan kehidupan) tersebut dengan apa
yang ada dengan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Namun demikian mereka terima pemecahan ini
dari orang-orang yang diinginkannya (gereja), Mereka mempertahankan keimanannya ini tanpa berusaha
menjangkau eksistensi yang mereka imani. Memang banyak diantara mereka yang berusaha menggunakan
akalnya, namun mereka selalu mendapat jawaban, bahwa agama itu berada di luar akal manusia (misteri),
sehingga hal ini memaksanya untuk berdiam dan tidak bertanya lagi.
22
Sesungguhnya yang benar adalah bahwa Allah itu (suatu Dzat yang) hakiki bukan hanya sekedar
ide (khayalan) belaka. WujudNya pun dapat dijangkau dan di indera, meskipun suatu hal yang mustahil
untuk menjangkau dan melihat DzatNya. Bukankah anda melihat bahwa, seseorang dapat meyakini adanya
pesawat hanya semata-mata dengan mendengarkan suaranya yang menggema di udara, meskipun ia duduk
Dengan kata lain, melalui perantaraan indera yang dapat mendengarkan bunyi pesawat terbang ia
memahami adanya pesawat tersebut meskipun ia sendiri tidak melihat dan tidak mampu mengindera
Dzatnya. Dari sinilah ia meyakini keberadaan pesawat (yang ada di udara) hanya dari mendengar suaranya.
Yaitu membenarkan dengan pasti dan yakin keberadaan pesawat terbang tersebut. Memahami
"keberadaan" pesawat berbeda dengan memahami dzat pesawat. Memahami dzatnya tidak akan diperoleh
karena tidak mampu menjangkau dzatnya. Sedangkan memahami keberadaannya dapat diperoleh dengan
pasti hanya melalui suara (pesawat)nya. Wujud (eksistensi) pesawat terbang adalah suatu hal yang riil,
bukan semata-mata ide khayalan. Demikian pula halnya dengan segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh indera manusia maka keberadaannya adalah hal yang pasti dan meyakinkan karena dapat
disaksikan dan diindera, begitu juga adanya sifat saling membutuhkan antara suatu benda dengan dzat
lainnya adalah sesuatu yang pasti, karena manusia dapat menyaksikan dan menginderanya. Gugusan
bintang-bintang di angkasa sangat membutuhkan aturan (agar bisa beredar dengan rapi) begitu pula api
memerlukan si pemakai untuk bisa menyala; begitulah halnya dengan segala sesuatu yang dapat diindera
pasti membutuhkan kepada yang lain. Segala sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain, tidak mungkin
bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir), sebab bila ia bersifat azali tentu tidak akan membutuhkan
kepada yang lain. Dengan adanya sifat membutuhkan kepada yang lain inilah, menunjukkan bahwa ia tidak
bersifat azali. Dengan demikian merupakan suatu kepastian bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau dan
diindera seluruhnya adalah mahluk secara pasti. Sebab benda-benda tersebut bersifat azali, jadi dengan kata
lain merupakan mahkluk (ciptaan) Sang Pencipta. Penginderaan terhadap makhluk-makhluk (Allah)
sebagaimana penginderaan terhadap suara pesawat adalah sesuatu yang pasti. Keberadaan Khaliq yang
suara, merupakan sesuatu yang pasti juga. Jadi keberadaan Khaliq bagi makhluk-makhlukNya adalah
Manusia telah memahami (keberadaan) makhluk-makhluk itu dengan indera dan akalnya. Dengan
penginderaan terhadap makhluk-makhluk itulah maka manusia dapat memahami keberadaan Khaliq
dengan pasti. Dengan demikian keberadaan (eksistensi) Khaliq merupakan sesuatu yang hakiki (riil),
23
karena eksistensiNya dapat dijangkau oleh manusia melalui inderanya. Dia bukanlah sekedar ide (khayalan)
Ditinjau secara aqliy, Al-khaliq wajib bersifat azali. Sebab, jika Dia tidak bersifat azali tentulah
membutuhkan kepada yang lain, bila demikian halnya berarti Dia makhluk. Oleh karena itu alam real tidak
bersifat azali, sebab membutuhkan aturan dan keadaan tertentu yang tidak bisa lain kecuali harus selalu
Begitu pula halnya dengan materi yang bersifat tidak azali karena membutuhkan yang lain, tidak
bisa berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain kecuali dengan proporsi dan aturan tertentu serta tidak
bisa lain kecuali terikat pada aturan. Jadi materi itu bersifat membutuhkan kepada yang lain. Oleh karena
itu, baik alam real maupun materi bukanlah pencipta. Sebab, keduanya tidak bersifat azali dan qadim
(terdahulu). Maka, tidak ada kemungkinan pencipta yang lain, selain Allah ta`ala. Dengan kata lain Dialah
yang bersifat azali dan qadim, yang sebagian orang menyebutnya "Allah, God, Sang Hyang Widi, atau
semisalnya. Semuanya menunjukkan maksud yang sama yaitu Allah, pencipta yang Azali dan Qadim.
Walhasil, Allah itu adalah Dzat yang hakiki, yang dapat dijangkau eksistensiNya oleh indera
manusia melalui keberadaan makhluk-makhlukNya, Tatkala manusia takut kepada Allah, sebenarnya ia
takut kepada Dzat yang benar-benar ada, yang dapat dijangkau eksistensiNya melalui indera. Dan ketika
dia beribadah kepada Allah serta bertaqarrub kepadaNya, sebenarnya ia tengah beribadah kepada Dzat yang
benar-benar ada, yang dapat dijangkau keberadaanNya oleh indera manusia. Begitu juga, ketika ia
memohon keridlaan Allah, sesungguhnya ia tengah meminta keridlaan dari Dzat yang ada secara hakiki
yang dapat dijangkau eksistensiNya oleh indera manusia. Oleh karena itu, tatkala manusia takut dan
beribadah kepada Allah serta memohon keridlaanNya, semua itu dilakukannya dengan penuh keyakinan
24
8. MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH
Secara fitri, dalam diri manusia terdapat kecenderungan untuk mensucikan sesuatu (taqdis).
Berdasarkan fitrahnya itulah, manusia melakukan ibadah terhadap sesuatu. Berarti ibadah merupakan
manifestasi (hasil reaksi) alami dari naluri beragama (gharizah tadayyun). Oleh karena itu manusia akan
merasakan suatu ketentraman dan kebahagiaan, tatkala melakukan ibadah. Sebab ketika itu ia telah meme-
Namun demikian masalah ibadah tidak boleh diserahkan begitu saja kepada persepsi dari dalam
(Wijdan) untuk menentukan apa yang seharusnya diibadahi. Sebab hanya mengandalkan wijdan senantiasa
memiliki kecenderungan terjadi kesalahan dan dapat menyeret ke jurang kesesatan. Sebagian besar
sesembahan manusia yang disembah berdasarkan dorongan wijdan saja adalah suatu hal yang sebenarnya
harus dilenyapkan dan sebagian besar yang disucikan oleh manusia berdasarkan wijdan saja adalah suatu
hal yang harus direndahkan. Apabila wijdan dibiarkan menentukan sendiri apa yang selayaknya disembah
oleh manusia, maka hal ini dapat membawa kepada kesesatan dalam beribadah yaitu selain kepada sang
pencipta; atau dapat menjerumuskannya pada perbuatan khurafaat, dengan maksud untuk mendekatkan diri
Hal seperti itu bisa saja terjadi, sebab wijdan adalah suatu perasaan yang terbentuk dari naluriah
semata (ihsaas gharizy); atau suatu perasaan yang muncul dari dalam manusia yang nampak akibat adanya
suatu kenyataan yang diindera atau dirasakan berinteraksi dengan manusia, atau bisa juga muncul dari suatu
proses pemikiran yang dapat membangkitkan perasaan itu apabila manusia kembali hanya mengandalkan
perasaannya saja untuk sampai pada kesimpulan di atas tanpa disertai proses berpikir maka kemungkinan
besar akan terjerumus dalam kesesatan atau kesalahan. Misalnya saja pada suatu malam anda melihat
sebuah bayang-bayang hitam, sehingga menyangka itu adalah musuh. Maka anda akan digerakkan oleh
naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa') sebagai bentuk rasa takut. Kemudian perasaan anda
mengambil reaksi terbaik yaitu dengan cara berlari. Tindakan seperti ini tentu saja merupakan suatu
kesalahan, sebab anda telah berlari karena takut terhadap sesuatu yang mungkin tidak ada. Dan andapun
lari dari sesuatu yang seharusnya dilawan, sehingga reaksi anda adalah munculnya rasa takut yang (dengan
berlari) adalah tindakan yang salah. Akan tetapi jika anda menggunakan akal dan memikirkan perasaan
yang mencengkram diri anda, sehingga anda putuskan sikap reaksi yang seharusnya, maka akan jelaslah
bagi anda, tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Barangkali akan jelas kemudian, bahwa bayangan itu
hanyalah sebuah tiang listrik, pohon, atau hewan, sehingga lenyaplah rasa takut dalam diri anda, dan anda
25
dapat terus berlalu. Dan mungkin juga akan jelas bagi anda, bahwa bayangan itu adalah seekor binatang
buas, sehingga tidak mungkin anda berlari dihadapannya. Anda harus berusaha mencari perlindungan;
dengan memanjat pohon misalnya, atau berlindung di dalam rumah. Maka andapun akan selamat.
Oleh karena itu, manusia tidak diperbolehkan (begitu saja) memenuhi tuntutan gharizah, kecuali
disertai dengan penggunaan akal. Dengan kata lain, tidak boleh ia melakukan suatu tindakan yang semata-
mata berasal dari dorongan wijdan saja, tetapi sebaliknya harus menggabungkan akal dengan wijdan.
Berdasarkan hal ini maka taqdis (mensucikan sesuatu), harus dibangun berdasarkan proses berpikir yang
disertai perasaan wijdan. Sebab taqdis adalah hasil manifestasi dari gharizah tadayyun. Bentuk manifestasi
ini tidak boleh ada tanpa melalui proses berpikir, karena dapat menjerumuskan manusia kejurang kesesatan
dan kesalahan. Manusia, wajib memenuhi gharizah tadayyun, tetapi setelah melalui proses berpikir, yaitu
setelah menggunakan akalnya. Oleh karena itu, ibadah tidak boleh dikerjakan, kecuali sesuai dengan hasil
penunjukan akal, sehingga ibadah itu benar-benar ditujukan kepada Dzat yang secara fithri patut disembah,
Dialah Al-khaliq yang mengatur segala sesuatu, yang (DzatNya) senantiasa dibutuhkan manusia.
Akal manusia memastikan bahwa ibadah hanya dilakukan kepada Al-Khaliq, karena Dialah yang
mempunyai sifat azali (tak berawal dan berakhir) dan wajibul wujud (wajib keberadaannya). Manusia tidak
boleh melakukan ibadah kepada selain Al-Khaliq. Dialah yang telah menciptakan manusia, alam semesta
dan kehidupan ini, Yang memiliki sifat-sifat sempurna secara mutlaq. Jika seseorang telah meyakini
keberadaanNya, maka ia akan mengharuskan dirinya untuk menyembah dan melakukan ibadah kepadaNya
semata.
Adanya pengakuan bahwa Dia adalah Al-Khaliq, baik secara fithri ataupun aqliy, mengharuskan
seseorang yang mengakuinya untuk beribadah kepadaNya. Sebab, ibadah adalah suatu bentuk manifestasi
perasaannya terhadap keberadaan Al-Khaliq. Ibadah merupakan bentuk manifestasi rasa syukur tertinggi
yang wajib dilakukan oleh makhluk kepada Dzat yang telah memberinya nikmat penciptaan dan pengadaan.
Fithrah manusia dan akal manusia mengharuskan adanya ibadah. Sedangkan akal memastikan bahwa yang
berhak disembah, disyukuri, dan dipuji adalah Al Khaliq, bukan selainNya (makhluk). Oleh
karena itu kita menyaksikan bahwa orang-orang yang pasrah (menyerahkan diri) hanya kepada wijdan saja
sebagai bentuk manisfestasi taqdisnya tanpa menggunakan akalnya, mereka terjerumus dalam kesesatan
sehingga menyembah banyak sesembahan, disamping pengakuannya terhadap wujud Al-Khaliq yang
Wajibul Wujud dan bersifat tunggal (Esa). Akan tetapi ketika membangkitkan manifestasi gharizah taday-
yun, mereka mensucikan yang lain. Mereka melakukan ibadah kepada Al Khaliq, tetapi juga sekaligus
kepada makhluk-makhlukNya baik dengan anggapan sebagai Tuhan yang layak disembah atau menyangka
26
bahwa Al Khaliq menitis pada suatu benda, ataupun menganggap Al Khaliq akan ridla apabila dilakukan
Fithrah manusia telah memastikan adanya Al-Khaliq. Tetapi manisfestasi taqdis yang harus
dilakukan tatkala muncul sesuatu yang menggerakkan rasa keberagamaannya akan menyebabkan taqdis
terhadap apa saja yang dianggapnya layak untuk disembah. Mungkin sesuatu itu dianggap sebagai Al-
Khaliq, atau yang disangkanya sebagai Al-Khaliq akan ridla dengan tindakannya itu, atau dianggap Al-
Khaliq menitis/menjelma pada benda yang ia sembah, disamping Al Khaliq Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, adanya persangkaan banyaknya tuhan yang disembah dialihkan kepada dzat yang
disembah, bukan terhadap ada atau tidaknya Al-Khaliq. Maka penolakan terhadap adanya banyak tuhan
yang disembah harus dijadikan sebagai penolakan dzat yang disembah (selain Allah), mengharuskan dan
menjadikan ibadah semata-mata kepada al-Khaliq yang azali dan wajibul wujud.
Berdasarkan hal ini Islam datang sebagai landasan (hidup) bagi seluruh manusia. Islam menyatakan
bahwa ibadah hanyalah dilakukan terhadap dzat yang wajibul wujud. Dialah Allah SWT. Islam telah
menjelaskan secara rinci tentang semua itu melalui dorongan aqal secara jelas. Islam melontarkan
pertanyaan tentang sesuatu yang wajib disembah. Merekapun menjawab, bahwa Dia adalah Allah. Mereka
"Katakanlah, kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?
Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah'. maka apakah kamu tidak ingat ? Katakanlah: "Siapakah yang
mempunyai langit yang tujuh dan yang mempunyai Arsy yang agung?'. Mereka akan menjawab;
'Kepunyaan Allah'. Katakanlah:'Maka apakah kamu tidak bertaqwa?'Katakanlah :'Siapakah yang ditanga-
nNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang dia melindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu
mengetahui?'Mereka akan menjawab: 'kepunyaan Allah'. Maka dari jalan manakah kamu ditipu?
Sebenarnya kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-
orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan lain
besertaNya. Kalau ada tuhan lain besertaNya masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang
diciptakan-Nya,dan sebagian tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lainnya." (TQS Al Mu'minuun:
84-91)
Dengan pengakuan bahwasanya Allah pencipta segala sesuatu, ditangan-Nyalah terletak kekuasaan
atas segala sesuatu maka mereka pun telah mengharuskan diri mereka sendiri untuk beribadah kepada Allah
semata. Sebab sesuai dengan pengakuan mereka ini, hanya Dialah (Allah) yang berhak disembah. Dalam
27
banyak ayat lainnya dijelaskan, bahwa selain Allah, tidak dapat berbuat apapun yang dapat menjadikannya
"Katakanlah, tunjukkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta
menutup mata hatimu. Siapakah tuhan selain Allah yang mampu mengembalikan kepadamu?" (QS Al
An'aam: 46)
"(Dan) Tuhanmu adalah yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Pemurah lagi
"(Dan) sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah, yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan" (QS
Shaad: 65)
"Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Maha Esa (Allah)" (QS Al Maidah: 73)
Semua ayat di atas menunjukkan tidak ada yang berhak disembah, kecuali Dzat yang wajibul wujud. Dialah
Islam datang dengan ajaran "Tauhidul ibadah" terhadap Dzat yang wajibul wujud, yang secara
aqliyah maupun fitri, telah ditetapkan keberadaanNya. Banyak ayat-ayat Al Qur'an memberi petunjuk yang
"Ilaah", menurut arti bahasa, tidak memiliki arti lain, kecuali "Yang disembah" (Al Ma'buud). Dan
secara syar'i tidak ditemukan adanya arti lain, selain arti itu. Maka arti "laa ilaaha", baik secara lughawi
atau syar'iy, adalah "laa ma'buuda". Dan "illallah", secara lughawi ataupun syar'iy, artinya adalah Dzat
Berdasarkan hal ini, makna dari syahadat pertama dalam Islam, bukanlah kesaksian atas ke-Esaan
Al-Khaliq semata, sebagaimana anggapan kebanyakan orang. Tetapi arti yang dimaksud dalam syahadat
tersebut adalah adanya kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, yang
memiliki sifat wajibul wujud, sehingga peribadahan dan taqdis semata-mata hanya untukNya. Dan secara
pasti menolak serta menyingkirkan segala bentuk ibadah kepada selain Allah SWT.
Jadi, pengakuan terhadap adanya Allah, tidaklah cukup sekedar pengakuan tentang ke-Esaan Al-
Khaliq, tetapi harus disertai adanya pengakuan terhadap ke-Esaan. Sebab, arti "laa ilaaha illallah" adalah
"laa ma'buuda illallaahu". Oleh karena itu, syahadat seorang muslim, yaitu bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, mewajibkan kepada dirinya untuk melakukan ibadah hanya kepada Allah, dan membatasi ibadahnya
28
semata-mata kepada Allah saja, sehingga arti tauhid di sini adalah "Tauhidut taqdis" terhadap Al-Khaliq,
29
9. Al QADRIYATU AL GHAIBIYAH
Al Qadriyatul Ghaibiyah adalah sikap berserah diri kepada qadar dan mengembalikan segala sesuatu
yang dihadapi manusia dalam kehidupan ini kepada ketentuan yang bersifat ghaib, dan bahwasanya
perbuatan manusia itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Perbuatan manusia tidak lain adalah musayyar,
diarahkan oleh kekuatan ghaib, tanpa dapat memilih bagaikan bulu yang diterbangkan oleh angin ke arah
manapun.
Ide tersebut di atas telah menyebar dan merasuk ke dalam pembahasan aqidah, semenjak akhir masa
Khilafah Abbasiyyah dan berlanjut terus hingga sekarang. Kewajiban beriman kepada qadla dan qadar
telah dijadikan sebagai sarana memasukkan ide ini ke tengah-tengah kaum muslimin. Akibatnya,
muncullah orang-orang yang gagal usahanya dengan menyandarkan diri kepada ide tersebut, sekaligus
menjadikannya sebagai alasan kegagalan mereka. Begitu pula orang-orang yang malas dan bodoh, telah
menyandarkan diri kepada ide tersebut, sekaligus menjadikannya sebagai dalih kemalasan dan kebodohan
mereka, sehingga banyak orang yang bersikap pasrah terhadap kezhaliman yang menimpa mereka,
kemiskinan yang mencabik-cabik kehidupan mereka, kehinaan yang melanda mereka dan kemaksiatan
yang mendominasi perbuatan mereka. Sikap ini disebabkan merasuknya ide tersebut yang dijadikan
sebagai aqidah, dimana mereka menganggap bahwa tindakan ini merupakan penyerahan diri kepada qadla
Ide ini masih terus mendominasi pemikiran dan tingkah laku kaum muslimin. Padahal apabila
masalah ini diamati, akan diketahui bahwa ide qadriyatul ghaibiyah tidak pernah muncul pada masa
shahabat, bahkan tidak pernah terfikirkan sama sekali. Seandainya para shahabat mengikuti ide ini, tentulah
mereka tidak pernah mengembangkan Islam dan menaklukkan negeri/daerah baru, dan tidak akan
mempersulit diri serta membiarkannya diarahkan kemana saja. Merekapun akan berkata sebagaimana apa
yang dikatakan orang-orang sesudahnya, "Apa yang telah ditaqdirkan pasti akan terjadi baik anda berbuat
maupun tidak". Namun demikian, kaum muslimin yang bijaksana dari kalangan shahabat saat itu, telah
menyadari bahwa suatu benteng tidak akan bisa ditaklukkan tanpa adanya pedang (perang); musuh hanya
akan dapat dikalahkan dengan kekuatan; rizki akan diperoleh dengan suatu usaha; penyakit harus dihindari;
peminum khamr (yang muslim) wajib didera; pencuri harus dipotong tangannya; penguasa harus dimintai
tanggung jawabnya dan manuver-manuver politik harus direkayasa dan dilakukan terhadap musuh. Tidak
mungkin mereka meyakini selain itu, sedangkan mereka telah melihat langsung pasukan kaum muslimin di
bawah pimpinan Rasulullah saw telah dikalahkan pada perang Uhud, akibat detasemen panah menyalahi
30
perintah pimpinan (komando Rasul) serta menyaksikan pula kemenangan pada perang Hunain, setelah
mereka kalah sebab pasukan yang lari dari medan perang karena takut dari serangan panah telah kembali
bertempur, ketika dipanggil oleh Rasulullah, yang saat itu tetap teguh dalam medan peperangan bersama
Sesungguhnya Allah SWT telah mengajarkan kepada kita untuk selalu mengikatkan setiap sebab
dengan musababnya, serta menjadikan sebab menghasilkan musabab (akibat), seperti misalnya api
mempunyai sifat membakar sehingga tidak terjadi pembakaran tanpa sebab api, begitu pula dengan pisau
yang digunakan untuk memotong, tentu tidak akan terjadi pemotongan tanpa adanya pisau. Allah SWT
telah menciptakan manusia, lalu dalam dirinya dijadikan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Begitu
pula Allah SWT telah memberikan ikhtiar kepada manusia untuk memilih jalan yang dikehendaki. Dia
bisa makan ataupun berjalan kapan saja ia kehendaki. Ia belajar lalu mengerti, ia membunuh lalu dikenakan
hukuman (qishash), ia meninggalkan jihad sehingga menjadi hina dan ia meninggalkan usaha mencari
nafkah lalu jadilah ia miskin. Oleh karena itu tidak ada Qadriyah ghaibiyah, baik dalam realita kehidupan
Adapun masalah qadla dan qadar sama sekali tidak ada kaitannya dengan ide qadriyatul ghaibiyah
di atas, sebab yang dimaksudkan dengan qadla adalah segala perbuatan atau kejadian yang dilakukan atau
menimpa manusia secara terpaksa. Misalnya manusia melihat dengan mata bukan dengan hidung;
mendengar dengan telinga bukan dengan mulut dan tidak mempunyai kekuasaan atas denyut jantung, atau
petir yang menyambar di langit, gempa bumi yang menggoncang sehingga menimbulkan malapetaka bagi
manusia, atau jatuhnya seseorang dari atas genteng atau rumah kemudian menimpa orang lain sehingga
mati. Semua perbuatan tersebut termasuk ke dalam pengertian qadla. Oleh karena itu manusia tidak akan
dihisab atau dimintai tanggungjawab atas semua kejadian tersebut di atas, dan hal itu tidak ada kaitannya
Sedangkan qadar adalah khasiyat suatu benda yang menghasilkan sesuatu atau mengakibatkan
terjadinya sesuatu. Misalnya kemampuan membakar yang dimiliki oleh api; kemampuan memotong yang
dimiliki oleh pisau, naluri mempertahankan jenis yang diperuntukkan bagi manusia dan sebagainya.
Namun demikian, semua khasiyat-khasiyat tersebut tidak mampu melakukan suatu perbuatan
kecuali dengan adanya si pelaku yang menggunakan khasiyat-khasiyat benda tersebut. Sehingga bila ia
melakukan sesuatu atas kehendaknya sendiri maka yang bertindak sebagai pelaku adalah manusia itu
sendiri, bukan qadar yang terdapat pada sesuatu yang dimanfaatkannya. Sebagai contoh, jika seseorang
membakar rumah dengan api, maka dialah yang dikatakan sebagai pembakar, jadi pelakunya bukan api
31
yang mempunyai khasiyat membakar. Maka manusia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan
pembakaran tersebut, sebab dialah yang telah memanfaatkan qadar/khasiyat, lalu mengerjakan sesuatu
menurut kehendaknya sendiri. Qadar tak mampu melakukan perbuatan tanpa adanya seorang pelaku,
begitu pula qadla, tak ada kaitannya dengan perbuatan manusia yang sifatnya ikhtiariah. Jadi keduanya
tidak ada hubungan dengan perbuatan manusia yang bersifat ikhtiariah. Begitu pula tidak ada kaitannya
dengan nidzamul wujud (hukum alam) dari segi penguasaannya terhadap manusia, melainkan keduanya
termasuk dalam sistem alam ini yang berjalan sesuai dengan peraturan yang telah diciptakan oleh Allah
Dengan demikian berarti manusia mampu memberikan pengaruh dalam usaha mencari nafkah hidup
atau dalam perjalanan hidupnya. Dia mampu pula meluruskan penguasa yang zhalim atau
memberhentikannya. Dia juga mampu mempengaruhi setiap perbuatannya yang tergolong dalam perbuatan
yang ikhtiariyah.
Oleh karena itu Ide Al Qadriyah al Ghaibiyah tidak lain merupakan salah satu bentuk khurafat dan
khayalan/imajinasi belaka.
32
10. RIZKI SEMATA-MATA DARI SISI ALLAH
Rizki tidak identik dengan pemilikan, sebab rizki adalah pemberian. Dalam bahasa Arab Razaqa
berarti A'tha, yaitu memberikan sesuatu. Sedangkan yang dinamakan pemilikan adalah penguasaan
terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu untuk memperoleh harta yang diperbolehkan syara'. Rizki dapat
berupa rizki halal ataupun haram; tetapi kedua duanya dinamakan rizki juga. Misalnya, harta yang
diperoleh seorang pekerja sebagai upah kerjanya. Begitu pula harta yang diperoleh seorang penjudi dari
perjudian yang dilakukannya. Semuanya adalah harta yang diberikan Allah SWT kepada kedua orang itu,
tatkala mereka memeras tenaganya dalam mengusahakan suatu pekerjaan yang biasanya dapat
mendatangkan rizki.
Banyak orang yang menyangka bahwa mereka sendirilah yang memberikan rizki untuk dirinya.
Sebagai contoh seorang pegawai yang menerima gaji tertentu karena telah menguras tenaganya, menyangka
bahwa dialah yang mendatangkan rizki kepada dirinya sendiri. Dan tatkala orang itu mendapatkan
kenaikan gaji karena bekerja lebih keras atau karena memang berusaha memperoleh kenaikan gaji, dia pun
menyangka bahwa dirinyalah yang mendatangkan rizki itu (berupa kenaikan gaji). Seorang pedagang yang
memperoleh keuntungan dari usahanya menyangka pula bahwa dialah yang mendatangkan rizki bagi
dirinya sendiri. Demikian juga dengan seorang dokter yang mengobati pasien lalu menerima upah,
menyangka bahwa ia memberikan rizki kepada dirinya sendiri, dan lain sebagainya. Banyak orang
menyangka demikian karena mereka belum memahami hakekat "keadaan" (usaha) yang dapat
mendatangkan padanya rizki. Sehingga mereka menyangka usahanya itu sebagai sebab (datangnya rizki).
Seorang muslim meyakini dengan pasti bahwasanya rizki itu berasal dari sisi Allah SWT, bukan
berasal dari manusia. Dan bahwasanya setiap keadaan (usaha) yang biasanya mendatangkan rizki tidak
lain adalah kondisi tertentu yang berpeluang menghasilkan rizki. Tetapi ia bukan merupakan sebab
datangnya rizki. Apabila usaha dianggap sebagai sebab, maka setiap usaha pasti akan menghasilkan rizki.
Padahal kenyataannya tidak demikian. Kadang-kadang "keadaan" (usaha) itu ada diupayakan, tetapi rizki
tidak datang. Ini menunjukkan bahwa usaha bukan merupakan sebab, melainkan hanya berupa "cara/usaha"
Disamping itu tidak mungkin kita menganggap bahwa "keadaan/ usaha" yang biasanya dapat
mendatangkan rizki, adalah sebab untuk mendatang rizki. Demikian juga tidak bisa dikatakan bahwa orang
yang mengupayakan suatu usaha, dialah yang mendatangkan rizki pada dirinya sendiri melalui usaha
tersebut, sebab pengertian ini bertentangan dengan nash-nash Al Quir'an yang qath'i, baik ditinjau dari
33
dalalahnya (penunjukannya maknanya) dan tsubutnya (sumbernya). Dan apabila setiap sesuatu
(pengertian) bertentangan dengan nash yang qath'i, baik dalalahnya maupun sumbernya maka harus dipilih
nash yang qath'i, kemudian mengambilnya dan menolak selainnya. Banyak ayat-ayat Al Qur'an yang
menunjukkan dengan keterangan yang jelas dan gamblang serta tidak dapat menerima ta'wil lain
bahwasanya rizki adalah semata-mata dari sisi Allah SWT, bukan berasal dari manusia.
Semua yang dijelaskan tadi memberi kepastian kepada kita bahwasanya apa yang kita saksikan
berupa sarana atau cara yang dapat mendatangkan rizki, maka hal itu semata-mata adalah berupa "cara
"(Dan) makanlah dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu" (QS Al Maidah: 88).
"Allahlah yang menciptakan kamu, kemudan memberikan rizki" (QS Ar Ruum: 40).
"Nafkahkanlah sebagian rizki yang diberikan Allah kepadamu" (QS Yaasiin: 47).
"Sesungguhnya Allah memberikan rizki kepada siapa yang dikehendakiNya" (QS Ali Imran: 37).
"Allahlah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu" (QS Al Ankabuut: 60).
"Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka" (QS Al An'aam: 151).
"Kamilah yang akan memberi rizki pada mereka dan kepadamu" (QS Al Israa': 31).
"Benar-benar Allah akan memberi rizki kepada mereka" (QS Al Hajj: 58)
"Allah meluaskan rizki kepada siapa yang dikehendakiNya" (QS Ar Ra'ad: 26)
"Maka mintalah rizki itu dari sisi Allah" (QS Al Ankabuut: 17)
"(Dan) tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rizkinya" (QS
Huud: 6)
Ayat-ayat tersebut diatas begitu pula ayat-ayat lain yang amat banyak jumlahnya penunjukan maknanya
bersifat qath'i, tidak terkandung di dalamnya kecuali makna yang satu dan tidak mempunyai ta'wil yang
lain, bahwasanya rizki semata-mata berasal dari sisi Allah bukan dari yang lain.
melakukan berbagai macam pekerjaan setelah diberikan (oleh Allah) pada diri mereka kesanggupan untuk
memilih dan melaksanakan cara/usaha yang biasanya mendatangkan rizki. Merekalah yang harus
mengusahakan segala bentuk cara/usaha yang dapat menghasilkan rizki dengan ikhtiar mereka, akan tetapi
bukan mereka yang mendatangkan rizki, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat diatas. Bahkan hanya
34
Allahlah yang memberikan rizki kepada mereka dalam berbagai keadaan/cara, tanpa memandang apakah
rizki itu halal ataukah haram, dan tanpa melihat apakah cara/usaha itu termasuk suatu hal yang dibolehkan,
diharamkan atau diwajibkan oleh Allah. Begitu juga tanpa memandang apakah dengan usaha/cara itu dapat
Walaupun begitu Islam telah menjelaskan tata cara mana bagi seorang muslim diperbolehkan dan
mana yang dilarang mengusahakan usaha/cara yang dapat mendatangkan rizki. Dalam hal ini Islam
menjelaskan sebab-sebab pemilikan, bukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki, dan membatasi
pemilikan dengan sebab-sebab yang telah ditentukan. Tidak boleh seorangpun berhak memiliki suatu rizki
kecuali dengan sebab-sebab yang telah ditentukan oleh syara', karena hal itu merupakan rizki yang halal.
Selain itu ada rizki yang haram, walaupun semuanya (baik rizki yang halal maupun yang haram) berasal
35
11. TIADA KEMATIAN TANPA DATANGNYA AJAL
Banyak orang yang menyangka bahwa penyebab kematian itu bermacam-macam. Kadang-kadang
suatu kematian didahului oleh suatu penyakit yang mematikan seperti AIDS, leuchemia, penyakit sampar
atau karena tertusuk pisau, tertembak, terbakar api, terpenggal kepalanya, serangan jantung (stroke) dan
sebagainya. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah sebab-sebab yang secara langsung menyebabkan
datangnya kematian. Artinya, kematian itu datang karena sebab-sebab tersebut. Berdasarkan kenyataan
seperti itu terkenal di kalangan mereka sebuah pepatah: "Banyak sebab untuk mati tapi hasilnya satu, yaitu
mati".
Pada hakekatnya kematian dan sebab kematian adalah satu, yaitu sampainya ajal, tidak ada sebab
yang lainnya. Bebagai contoh di atas yang seringkali terjadi dan dapat menghantarkan kepada kematian
hanya merupakan suatu kondisi yang menghantarkan kepada kematian, dan bukan sebab-sebab kematian
itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, suatu sebab akan menghasilkan musabab atau akibat secara pasti; dan satu
musabab tidak akan terjadi melainkan dengan hanya satu sebab bagi musabab sendiri. Berlainan dengan
keadaan/kondisi, ia merupakan suatu kondisi yang berkaitan dengan hal ikhwal tertentu (pembunuhan,
hukuman mati, penyakit yang mematikan dan sebagainya) yang dapat menghasilkan sesuatu berdasarkan
kebiasaan. Tetapi keadaan/kondisi kadang-kadang menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan
atau bahkan tidak menghasilkan sesuatu apapun. Kadang-kadang ditemukan adanya keadaan (yang
mematikan) tetapi kematian tidak terjadi, dan terkadang ditemukan kematian tanpa didahului oleh suatu
keadaanpun.
Memang banyak hal/kasus yang dapat menghantarkan kepada kematian. Tetapi hubungan keduanya
itu tidak bisa dijadikan sebagai postulat kausalitas, karena kadang-kadang 'kasus/peristiwa' berbahaya itu
terjadi tetapi tidak mengakibatkan kematian. Dan sebaliknya, kematian bisa datang tanpa didahului oleh
suatu peristiwa/kasus semacam itu. Sebagai contoh orang yang tertusuk pisau dan menderita luka parah
sehingga --menurut analisa medis-- seharusnya ia mati, tetapi ternyata ia tidak mati, bahkan kemudian
sembuh dan sehat wal afiat. Begitu juga kadang-kadang terjadi kematian tanpa sebab yang jelas, yaitu di
luar perhitungan medis, seperti serangan jantung yang membawa kematian seseorang secara mendadak.
Kejadian-kejadian di atas tadi banyak ditemui dan diketahui oleh para dokter, ribuan kasus yang
diterima oleh rumah sakit-rumah sakit, suatu sebab yang biasanya secara pasti dan lazim dapat
menghantarkan kematian pada seseorang ternyata orang tersebut tidak mati, sebaliknya malah kematian itu
36
bisa datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebab-sebabnya. Berdasarkan hal ini para dokter umumnya
menggambarkan keadaan pasien yang "hidup segan mati tak mau" sebagai: seseorang (yang menderita
penyakit mematikan) yang menurut ilmu kedokteran tidak memiliki harapan (hidup) lagi tetapi memiliki
kemungkinan sembuh, namun hal ini berada di luar pengetahuan kita. Begitu pula pendapat mereka
terhadap seseorang yang keadaannya tidak membahayakan atau dalam keadaan sehat, namun secara tiba-
Semua itu adalah fakta kehidupan yang telah disaksikan oleh manusia maupun ahli-ahli kedokteran
dengan mata kepalanya sendiri. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa sesuatu peristiwa yang dapat
mengakibatkan kematian bukan merupakan sebab kematian. Andaikan hal itu dianggap sebagai sebab,
tentu akan menghasilkan kematian secara pasti. Dan kematian tidak dapat terjadi dengan kasus yang lain,
oleh karena tidak dapat menghasilkan kematian secara pasti, meskipun dalam satu kasus saja dan kematian
bisa datang karena berbagai macam cara, walaupun dalam satu kasus/peristiwa saja, maka hal ini
menunjukkan secara pasti bahwa hal itu bukan sebab melainkan "kondisi" saja. Sedangkan sebab kematian
yang sebenarnya yang menghasilkan musabab adalah sesuatu hal yang lain bukan seperti yang dijelaskan
dalam "kasus/kondisi" diatas. Adapun sebab kematian yang sebenarnya, hal itu berada di luar kemampuan
akal untuk mengetahuinya karena berada di luar jangkauan indera manusia. Maka manusia harus mencari
petunjuk dari Allah SWT tentang masalah ini. Hendaknya hal ini dapat dibuktikan dengan dalil yang qath'i
baik dalalahnya maupun sumbernya. Allah SWT melalui beberapa ayat dalam Al Qur'an telah
memberitakan kepada kita bahwa sebab dari kematian adalah sampainya ajal, dan bahwasanya (Dzat) yang
mematikan adalah Allah SWT. Kematian hanya datang karena ajal dan hanya Allahlah yang mematikan.
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang
"Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati
ketika tidurnya maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan
jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
"... Tuhanku ialah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan" (QS Al Baqarah: 258).
"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam
37
"Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian
"Maka jika telah datang batas waktunya (ajal), mereka tak dapat mengundurkannya barang
Semua ayat-ayat tersebut di atas dan banyak lagi ayat lainnya adalah qath'i tsubut yaitu bersumber
pasti dari Allah dan qath'i dilalah yaitu bahwasanya Allahlah yang mematikan (makhluq). Dan sesungguh-
nya sebab datangnya kematian adalah sampainya ajal bukan berupa "keadaan/kondisi" yang dapat
Oleh karena itu, seorang muslim wajib beriman berdasarkan akal dan syara' bahwa apa yang
disangkanya sebagai sebab kematian hanya merupakan "keadaan" bukan berupa sebab, dan bahwa sebab
itu suatu hal yang berbeda. Juga syara' telah menetapkan melalui dalil yang qath'i bahwasanya kematian
itu berada di tangan Allah. Dan Allah SWT adalah Dzat yang berhak mematikan dan sebab kematian adalah
datangnya ajal. Apabila ajal datang, maka kematian tidak dapat diundurkan ataupun dimajukan walaupun
sedetik, dan manusia tidak akan mampu menghindarinya atau lari dari kematian secara mutlak. Dan mati
Adapun yang diperintahkan kepada manusia adalah agar bersikap waspada dan menjauhkan dirinya
dari "keadaan/kondisi" yang biasanya dapat menghantarkan pada kematian, yaitu dengan cara menjauhkan/
menghindari dari suatu keadaan/kondisi yang biasanya mengakibatkan kematian. Adapun mati maka
manusia tidak perlu takut atau lari dari kematian. Sebab tidak mungkin ia mampu menghindarinya secara
mutlak.
Manusia tidak akan mati kecuali jika telah sampai padanya ajal. Tak ada bedanya apakah ia mati
biasa, terbunuh, terbakar, atau yang lainnya. Yang jelas, kematian dan ajal berada di tangan Allah SWT.
38
12. KEMA'SHUMAN RASUL
Kema'shuman para Nabi dan Rasul ditetapkan kepastiannya berdasarkan akal. Sebab keberadaannya
sebagai Nabi atau Rasul telah memastikan bahwa dia ma'shum dalam hal penyampaian risalah (tabligh)
yang datang dari Allah. Apabila terjadi suatu cacat yang memungkinkan hilangnya sifat kema'shuman,
meskipun dalam satu masalah saja, berarti ada kemungkinan terjadinya cacat pada seluruh masalah. Jika
itu terjadi, maka akan rusaklah nilai kenabian dan kerasulan secara keseluruhan. Kepastian bahwa
seseorang adalah nabi atau rasul yang diutus Allah, berarti pula bahwa ia bersifat ma'shum dalam masalah
Kema'shuman dalam hal tabligh bersifat pasti, sehingga ingkar/ kufur terhadap sifat ini berarti kufur
terhadap risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut, atau kufur terhadap kenabiannya yang telah ditetapkan
oleh Allah. Adapun kema'shuman dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan perintah dan
larangan Allah, maka yang menjadi suatu kepastian bahwa Rasul/Nabi ma'shum dalam perbuatan yang
termasuk kategori dosa-dosa besar (Al kabaair) sehingga seorang Nabi atau Rasul tidak mungkin
melakukan suatu perbuatan yang termasuk dosa besar secara mutlak. Sebab, mengerjakan suatu dosa besar
berarti telah terjerumus dalam "kemaksiatan". Padahal ketaatan itu tidak dapat dipisah (harus utuh), begitu
juga kemaksiatan tidak bersifat parsial. Jika kemaksiatan telah mewarnai suatu perbuatan, maka ia akan
merambat pada masalah tabligh (penyampaian risalah). Hal ini jelas bertentangan dengan (hakekat) risalah
dan kenabian. Oleh karena itu para Nabi dan Rasul bersifat ma'shum terhadap dosa-dosa besar,
Adapun terhadap dosa-dosa kecil (Ash shaghaair) para ulama berbeda pendapat, apakah para Nabi
dan Rasul ma'shum dari perbuatan dosa-dosa kecil. Sebagian mengatakan para Nabi/Rasul tidak ma'shum
dari mengerjakan dosa-dosa kecil, sebab hal itu tidak termasuk kategori "maksiyat". Sedangkan sebagian
lainnya mengatakan, para Nabi/Rasul ma'shum dari mengerjakan dosa-dosa kecil, sebab hal itu sudah
Yang benar adalah bahwa semua yang haram untuk dikerjakan dan yang wajib dilakukan, yaitu
berupa seluruh jenis fardlu dan seluruh bentuk yang haram, maka dalam hal ini para Nabi dan Rasul bersifat
ma'shum. Dengan demikian mereka ma'shum dari mengerjakan sesuatu yang diharamkan atau
meninggalkan suatu kewajiban. Baik hal itu termasuk dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil. Ini berarti
mereka ma'shum dari mengerjakan setiap sesuatu yang termasuk perbuatan ma'siyat.
39
Selain itu dalam tindakan yang termasuk khilaful aula (tidak mengerjakan yang terbaik/paling
layak), maka mereka tidaklah ma'shum. Dibolehkan mereka mengerjakan tindakan khilaful aula secara
mutlaq. Sebab, ditinjau dari berbagai sudut manapun, hal itu tidak termasuk dalam jenis maksiyat.
Demikianlah, dapat dipastikan secara aqliy, adanya sifat ma'shum pada Nabi dan Rasul yang
Sayyidina Muhammad saw adalah seorang Nabi dan Rasul. Beliau, sebagaimana Nabi dan Rasul
lainnya ma'shum dari kesalahan dalam menyampaikan sesuatu yang berasal dari Allah SWT. Hal ini
bersifat pasti sebagaimana yang telah ditunjukkan dengan dalil-dalil aqal maupun syara'. Rasulullah saw
tidak pernah menyampaikan satu hukum pun, kecuali dari al wahyu. Allah berfirman:
"Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah memberi peringatan kepadamu dengan al wahyu" (QS.
Al Anbiyaa: 45)
Maksud ayat itu adalah: katakanlah kepada mereka wahai Muhammad, bahwasanya aku hanyalah
memberi peringatan kepadamu dengan al wahyu yang diturunkan kepadaku. Dengan kata lain, peringatan-
peringatan kepadamu hanya terbatas pada yang di wahyukan saja. Dan Allah SWT-pun berfirman:
"(Dan) Dia (Muhammad) tidaklah mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya. Apa yang
Lafadz ( ) dalam bentuk umum, mencakup Al Qur'an dan selain Al Qur'an. Tidak ditemukan
satu nash pun, baik dari Al Qur'an maupun Sunnah yang mengkhususkan (mentakhshish) wahyu tersebut
hanya dengan Al Qur'an saja. Maka ia tetap dalam bentuk umum. Artinya, seluruh ucapan Rasulullah saw
dalam masalah tasyri', hanya berupa wahyu yang diwahyukan kepadanya. Tidak dibenarkan melakukan
pengkhususan arti lafadz tersebut, bahwa apa yang diucapkan Rasul saw hanyalah Al Qur'an saja, tetapi
lafadz itu tetap dalam bentuk umum yang mencakup Al Qur'an dan Hadits.
Adapun pengkhususan ayat ini dengan hanya apa yang disampaikan Allah berupa tasyri', hukum-
hukum, aqaaid, pemikiran-pemikiran dan kisah-kisah, serta tidak tercakup di dalamnya persoalan uslub
(cara) dan sarana-sarana dalam membuat strategi peperangan, misalnya, teknik penyerbukan tanaman
korma, dan lain sebagainya. Maka hal itu disebabkan beliau memiliki kedudukan sebagai Rasul. Dan
pembahasan di sini berkenaan dengan keberadaan beliau sebagai Rasul dan apa yang dibawa oleh beliau
tidak mencakup hal lain. Maka yang dikhususkan di sini adalah topik pembicaraan dalam ayat tersebut di
atas. Lafadz yang berbentuk umum, tetap dalam bentuk keumumamnya, dalam batas cakupan topik
40
pembahasan. Maka apa yang dibahas di atas tidak termasuk kategori pengkhususan, berdasarkan firman
Allah SWT:
"Katakan Muhammad, aku hanyalah memberi peringatan kepadanu dengan al wahyu" (QS Al
Anbiya': 45)
"Yang diwahyukan kepadaku, adalah "Aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata." (QS
Shaad: 70)
Ayat tersebut menjelaskan, bahwasanya yang termasuk dalam pembahasan ini adalah yang
berkenaan dengan masalah aqaaid, hukum, dan setiap masalah yang diperintahkan oleh Allah untuk
disampaikan dan memberi peringatan kepada manusia. Oleh karena itu, tidak tercakup penggunaan
cara/taktik atau perbuatan jibiliyah, yakni perbuatan alamiyah manusia yang telah menjadi tabiat
penciptaannya, seperti makan, cara berjalan, berbicara, dan lain sebagainya. Jadi, dalam hal ini kekhususan
adalah dalam perbuatan dan pemikiran manusia, bukan masalah cara dan sarana, atau yang semisal dengan
itu.
Maka setiap perkara yang dibawa oleh Rasulullah, yang berkaitan dengan perbuatan manusia
(af'aalul 'ibaad) dan pemikiran-pemikirannya adalah berasal dari wahyu Allah. Wahyu mencakup
perkataan, perbuatan, dan diamnya Rasul saw atas sesuatu. Sebab, kita diperintahkan mengikuti beliau dan
"Apa yang dibawa oleh Rasul ke padamu, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu" (QS Al Ahzaab:
21)
Berdasarkan dua ayat tersebut maka ucapan, perbuatan, dan diamnya Rasulullah, merupakan dalil
syar'iy. Semua itu adalah wahyu dari Allah. Rasulullah saw telah menerima al wahyu dan menyampaikan
segala sesuatu yang diterimanya dari Allah SWT kepada manusia. Beliau memberikan alternatif tata cara
pemecahan problematika kehidupan sesuai dengan wahyu, tanpa menyimpang sedikitpun. Allah SWT
berfirman:
"Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku" (QS Al Ahqaaf 9)
"Katakanlah: 'Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku."(
QS Al A'raaf: 203).
41
Pengertian ayat ini bahwa aku hanya mengikuti wahyu yang diturunkan kepadaku oleh Allah SWT.
Hal ini berarti membatasi meneladani Rasulullah dengan apa yang telah diterima dari Allah SWT. Semua
itu teramat jelas dan gamblang, bahwa apa yang diperintahkan kepada Rasulullah saw untuk
Kehidupan Rasulullah saw, yang berkaitan dengan masalah tasyri', dalam menjelaskan hukum-
hukum kepada manusia/masyarakat sesuai dengan wahyu. Beliau saw, dalam banyak persoalan hukum,
seperti zhihar, li'aan, dan lain sebagainya, menanti turunnya al wahyu. Beliau tidak mengucapkan sesuatu
hukum/ketetapan, atau mengerjakan dan mendiamkan sesuatu yang berkaitan dengan tasyri', kecuali semua
Di kalangan sahabat, kadang-kadang terjadi kerancuan antara hukum-hukum yang termasuk dalam
perbutan manusia dan pemikiran (ide) atas sesuatu, dengan masalah sarana atau cara. Merekapun bertanya
kepada Rasulullah saw apakah hal itu berupa wahyu, atau suatu pendapat pribadi (Rasul) dan suatu
kesepakatan (sesuai yang dimusyawarahkan). Jika Rasulullah saw mengatakan bahwa itu adalah wahyu,
mereka semuanya diam. Mereka mengetahui bahwa hal itu bukan berasal dari diri Rasulullah saw. Akan
tetapi jika Rasulullah saw mengatakan bahwa itu adalah suatu pendapat pribadi (Rasul) atau sesuatu yang
dimusyawarahkan, merekapun melakukan dialog dengan Rasulullah saw. Dan terkadang, Rasul saw
mengikuti pendapat mereka, sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa perang Badar, Khandaq, dan Uhud.
Dalam hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan apa yang disampaikan oleh Allah, beliau katakan kepada
mereka:
Jika Rasulullah saw diperbolehkan mengucapkan susuatu yang berkaitan dengan masalah tasyri',
tanpa disandarkan pada al wahyu, lalu untuk apa beliau menunggu-nunggu turunnya al wahyu, sebelum
beliau menetapkan suatu hukum, begitu juga mengapa para sahabat bertanya pada beliau, apakah sesuatu
itu berasal dari al wahyu atau pendapat pribadi Rasulullah. Jika tidak demikian tentu Rasul akan menjawab
secara langsung pertanyaan mereka atau mereka akan mengajukan pendapat tanpa meminta penjelasan.
Oleh karena itu, Rasulullah saw tidak pernah berkata, bertindak, atau berdiam diri atas sesuatu,
kecuali semua itu berasal dari wahyu Allah, bukan dari pendapatnya sendiri. Dan tidak perlu diragukan
42
lagi bahwa beliau saw bersifat ma'shum dalam menyampaikan segala sesuatu yang datang dari sisi Allah
SWT.
43
13. RASULULLAH SAW BUKAN MUJTAHID
Rasulullah saw sama sekali tidak pernah berijtihad. Dan Rasulullah saw tidak patut berijtihad, baik
ditinjau secara syar'i ataupun aqli. Ditinjau secara syar'i, banyak ayat-ayat Al Qur'an secara jelas menunjuk-
kan bahwa semua ucapan, peringatan dan apa yang beliau lakukan tidak lain hanyalah bersumber dari
"Katakanlah Muhammad aku hanya memberi peringatan kepadamu dengan al wahyu (QS Al
Anbiya 45)
"Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku" (QS Yunus l5).
"(Dan) Tidaklah ia mengucapkan seseuatu berasal dari hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain
Sedangkan ditinjau secara aqli dapat dipastikan, bahwa Rasul saw tidak pernah melakukan ijtihad,
karena Beliau saw sering menunggu turunnya al wahyu dalam menentukan sejumlah besar masalah hukum,
disaat munculnya kebutuhan yang mendesak untuk menjelaskan atau menentukan hukum Allah. Jika
memang beliau diijinkan untuk berijtihad, mengapa beliau menangguhkan satu keputusan hukum (sampai
turunnya wahyu). Bisa saja beliau berijtihad sendiri. Tindakan beliau (yang terbukti kebenarannya)
menangguhkan suatu keputusan hukum sampai turunnya wahyu, menunjukkan bahwa beliau tidak diijinkan
melakukan ijtihad. Dan memang beliau tidak pernah melakukannya. Disamping itu Rasulullah saw adalah
orang yang wajib dijadikan panutan mutlak. Jika beliau melakukan ijtihad, berarti memungkinkan
terjadinya suatu kesalahan pada diri beliau. Andaikan beliau salah dalam ijtihad, sementara kita diwajibkan
mengikutinya, berarti kita diwajibkan mengikuti kesalahan. Kemungkinan yang demikian ini adalah
Memberikan peluang terjadinya kesalahan pada diri Rasulullah saw (dengan menganggapnya
sebagai seorang mujtahid), juga bertentangan dengan hakekat risalah dan kenabian itu sendiri. Sebab,
pengakuan terhadap risalah (Islam dan kenabian), mengharuskan tidak bolehnya terjadi kesalahan pada diri
Rasul dan Nabi, dan mustahil terjadi kesalahan dalam masalah tabligh (penyampaian dari Allah melalui
Rasul).
Oleh karena itu, Rasulullah saw tidak patut bertindak sebagai seorang mujtahid sama sekali.
Seluruh ucapan, perbuatan dan diamnya beliau semata-mata adalah wahyu dari Allah.
44
Juga tidak boleh mengatakan bahwa Allah SWT tidak akan membiarkan beliau melakukan
kesalahan, dan bahwasanya Allah SWT akan segera menjelaskan kesalahan (ijtihad) Rasul. Sebab,
kesalahan dalam ijtihad, jika itu berasal dari Rasul saw, maka ia menjadi kewajiban atas kaum muslimin
untuk mengikutinya, sampai datangnya penjelasan (koreksi). Penjelasan itulah yang akan menetapkan
hukum yang baru yang berbeda dengan hukum sebelumnya, di mana kaum muslimin diperintahkan
mengikutinya dan meninggalkan hukum pertama. Ini adalah pendapat yang batil. Tidak pantas hal itu
(relativitas hukum) ada pada Allah atau pada diri Rasulullah saw.
Perlu dicatat di sini bahwa Rasulullah saw tidak pernah menetapkan satu hukumpun berdasarkan
ijtihad yang kemudian dikategorikan sebagai hukum-hukum Allah, lalu disampaikannya kepada
masyarakat. Namun demikian yang terbukti berdasarkan nash Al Qur'an dan As Sunnah yang shahih, dapat
difahami bahwa Rasulullah saw hanyalah menyampaikan sesuatu yang berupa wahyu semata. Bahkan jika
terjadi suatu peristiwa, kemudian wahyu belum turun, maka beliau akan menunggu sampai wahyu
diturunkan.
Adapun ayat-ayat yang digunakan oleh orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah saw telah
melakukan ijtihad dalam berbagai masalah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat tersebut, antara lain seperti:
"Tidak pantas bagi seorang nabi memiliki tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan (dalam jumlah
"Allah telah memaafkan engkau, mengapa engkau ijinkan mereka" (At Taubah 43).
"Janganlah engkau menshalat jenazahkan salah seorang yang mati diantara mereka dan janganlah
Demikian juga ayat-ayat atau hadits-hadits Rasulullah yang senada dengan itu.
Semua nash-nash tersebut di atas tidak ada hubungannya dengan masalah ijtihad baik dalam
menentukan suatu hukum, maupun menyampaikannya pada manusia/masyarakat yang kemudian beliau
mencabut kembali tindakan atau keputusan hukumnya, lalu dikoreksi dengan hukum yang lain. Nash-nash
tersebut di atas hanya menunjukkan adanya teguran "halus" terhadap pelaksanaan suatu hukum.
Artinya, tidak pernah ada suatu kejadian, di mana Rasulullah menyampaikan hukum tertentu,
kemudian turun suatu ayat yang menjelaskan kesalahan hukum yang ditentukan oleh Rasulullah saw
sebelumnya karena salah dalam berijtihad. Rasulullah saw hanyalah mengerjakan suatu penerapan hukum-
hukum Allah yang telah diturunkan melalui wahyu. Terhadap hukum-hukum Allah lalu beliau sampaikan
45
kepada semua manusia. Jadi hukum itu telah disyari'atkan dan beliau telah diperintahkan untuk
perintah Allah SWT. Tetapi, di dalam pelaksanaannya terdapat tindakan beliau yang tidak melakukan
(uslub) yang terbaik/paling layak (khilaful aula), lalu beliau mendapat "teguran" dari Allah. Ayat-ayat
tersebut berisi teguran atas tindakan Rasul saw yang tidak memilih langkah yang terbaik/paling layak, jadi
bukan berupa koreksi terhadap hasil ijtihad Rasul saw atau berupa tasyri' yang menentukan hukum baru
yang hukum sebelumnya ditentukan Rasul berdasarkan ijtihadnya semata. Hukum mantuq (arti lafadz) dan
mafhum (makna lafadz) telah menunjukkan hal ini, misalnya firman Allah SWT:
"Tidak patut bagi seorang nabi untuk memiliki tawanan, sebelum ia melumpuhkan (dalam jumlah
Ayat ini memberi petunjuk bahwa masalah "tawanan perang" telah ditetapkan hukumnya, yaitu dengan
telah dipenuhinya syarat adanya "pelumpuhan (dalam jumlah besar) terhadap musuh dimuka bumi". Hal
"Sehingga apabila kamu telah melumpuhkan mereka (dalam jumlah besar) maka tawanlah mereka".
Yang dimaksud dengan ( ) dan ( ) adalah melakukan pembunuhan dalam jumlah besar
Tidak diragukan lagi, dalam perang Badar, para shahabat telah membunuh banyak orang, sehingga
memporakporandakan musuh mereka. Tidak disyaratkan melumpuhkan dalam jumlah besar di bumi
Para sahabat setelah membunuh sebagian besar musuh dalam perang Badar, barulah dilakukan
penawanan terhadap sekelompok orang. Ayat itu sendiri menunjukkan, bahwa setelah melumpuhkan
musuh dalam jumlah besar baru boleh dilakukan tindakan penawanan. Maka ayat itu telah memberi
petunjuk dengan dalil yang jelas bahwa penawanan telah dibolehkan sebelumnya berdasarkan keterangan
ayat tersebut.
Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa Rasulullah saw telah melakukan ijtihad dalam masalah
"hukum tawanan perang". Dan tidak berarti tindakan penawanan dalam kasus perang Badar tersebut adalah
suatu dosa, karena tidak sesuai dengan hukum yang ditentukan dalam ayat tersebut. Malahan ayat tersebut
menjelaskan, bahwa dalam kasus ini, tindakan penerapan hukum tawanan yang lebih utama adalah
46
memperbanyak lagi pembunuhan terhadap musuh, agar kegentaran itu (terhadap musuh) lebih dahsyat.
Kemudian turun ayat tersebut, yang memberikan "teguran" atas tindakan penerapan hukum di atas. Dengan
kata lain ia merupakan "teguran" terhadap salah satu perbuatan Rasul dalam salah satu peristiwa yang sudah
diketahui (sudah ada) hukumnya tetapi penerapannya tidak sesuai dengan teknik yang terbaik (paling
layak). Memang para nabi tidaklah ma'shum dalam hal mengerjakan sesuatu yang kurang tepat, maka boleh
mereka mengerjakannya. Dan bila mereka melakukan hal itu, maka Allah memberi teguran kepada mereka.
"Allah telah memaafkan engkau. Mengapakah engkau ijinkan mereka." (QS At Taubah: 43)
Ayat ini sama sekali tidak menujukkan adanya tindakan ijtihad. Sebab, Rasulullah saw memang
diperbolehkan memberi ijin maupun tidak untuk berperang kepada siapa saja yang beliau kehendaki. Yang
"Maka apabila mereka (orang-orang munafiq) meminta ijin kepadamu karena suatu keperluan,
berilah ijin kepada siapa saja yang kamu kehendaki diantara mereka" (QS An Nuur: 62)
Ayat ini dengan jelas menunjukkan adanya kebolehan bagi Rasulullah saw memberikan ijin kepada
mereka.
Tetapi dalam peristiwa tersebut, yakni saat Perang Tabuk tatkala mempersiapkan pasukan dalam
keadaan sulit, maka tindakan yang lebih utama adalah tidak memberikan ijin kepada orang-orang munafiq
untuk tidak pergi berperang. Tatkala Rasulullah saw memberikan ijin, maka Allah SWT memberikan
Ayat 43 dari surat At Taubah bukanlah suatu koreksi terhadap ijtihad beliau atau penentuan tasyri'
terhadap hukum baru yang tidak sesuai dengan hukum hasil ijtihad Rasulullah dalam hal pemberian ijin
tersebut. Ayat itu pun merupakan teguran terhadap tindakan alternatif yang tidak tergolong yang paling
"Janganlah engkau menshalat-jenazahkan salah seorang yang mati diantara mereka (orang
munafiq), dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya (untuk ziarah). Sesungguhnya mereka itu kafir
terhadap Allah dan RasulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (QS At Taubah: 84)
47
"Jika Allah mengembalikan kamu kepada segolongan diantara mereka itu (orang munafiq), mereka
minta ijin kepada engkau untuk ikut berperang, maka katakanlah kepada mereka, kamu tiada akan keluar
Dalam ayat 83 (At Taubah) di atas, Allah memberikan penjelasan agar Rasulullah saw tidak lagi
melibatkan mereka dalam peperangan-peperangan yang beliau lakukan. Ini bertujuan untuk melecehkan
dan menakut-nakuti mereka. Dan pada ayat berikutnya QS At Taubah 84, Allah melakukan tindakan
penghinaan terhadap mereka selain yang ditunjukkan oleh ayat sebelumnya. Sikap demikian dilakukan
tatkala Rasulullah mengancam terhadap orang-orang munafiq untuk melumpuhkan kekuatan mereka.
Ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya tindakan ijtihad yang dilakukan oleh
Rasulullah saw dalam menentukan suatu hukum, kemudian datang ayat yang mengandung ketentuan
hukum lain yang berbeda dengan hasil ijtihad Rasul sebelumnya. Tetapi justru menunjukkan suatu tasyri'
baru terhadap status orang-orang munafiq yang hukum tersebut sama dengan ayat-ayat lain berkenaan
dengan kaum munafiq, yang berulang-ulang disebut dalam surat At Taubah. Disini, tidak ada koreksi
terhadap ijtihad Rasul atau peringatan terhadap suatu kesalahan beliau baik dengan dalil yang jelas
pengertian dan penunjukkannya atau menurut arti lafadz dan maknanya. Ayat itu sendiri diturunkan pada
tahun ke-9 Hijriyah, setelah Perang Tabuk, ketika Abu Bakar ash Shiddiq memimpin kaum muslimin dalam
ibadah haji. Adapun apa yang diriwayatkan mengenai sebab nuzul ayat ini atau ayat-ayat yang
sebelumnya ataupun mengenai penjelasan kejadian-kejadian tersebut, sebagian besar tidak mencapai
tingkatan shahih. Sedangkan riwayat-riwayat shahih tentang asbabun nuzul ayat-ayat tersebut, tergolong
hadits ahad yang bersifat zhanniy, dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang qath'iy, yang
menandaskan bahwa tabligh Rasulullah saw dalam menerapkan dan menyampaikan hukum-hukum Allah,
adalah bersumber dari wahyu semata. Beliau tidak mengikuti atau mengucapkan sesuatu pun kecuali dari
"Tidaklah aku mengikuti sesuatu kecuali apa yang diwahyukan kepadaku". (QS Al-Ahqaaf: 9).
Oleh karena itu, tidak ada satu indikasi pun dari seluruh ayat-ayat tersebut di atas yang menunjukkan
terdapat tindakan ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Juga, tidak ada satu penetapan hukum baru
atau koreksi atas hukum-hukum terdahulu hasil ijtihad Rasul saw. Yang ada hanyalah suatu "teguran"
kepada Rasul saw mengenai perbuatan yang telah beliau lakukan yang status hukum itu sendiri, sudah jelas
diketahui oleh beliau melalui wahyu sebelum Rasulullah saw mengerjakannya. Ditinjau secara aqliy
48
maupun syar'iy, keberadaan Rasulullah sebagai seorang mujtahid atau adanya wewenang beliau melakukan
ijtihad adalah suatu yang terlarang. Rasulullah saw tidak patut melakukan ijtihad dalam menentukan suatu
hukum yang beliau sampaikan kepada manusia, baik melalui ucapan, perbuatan, atau diamnya beliau.
Karena ayat-ayat yang sumber maupun dalalahnya qath'iy, telah menunjukkan bahwa beliau saw, tidak
mengucapkan, mengikuti, atau pun memberi peringatan, kecuali berasal dari wahyu.
Dari sini jelaslah, bahwa Rasulullah saw dan para rasul yang lainnya, tidak patut melakukan
kesalahan dalam hal penyampaian risalah yang diterimanya dari Allah kepada manusia, baik itu akibat
kesalahan ijtihad, ataupun kesengajaan. Sebab, semua itu berarti menghilangkan sifat ma'shum yang wajib
49
14. UKURAN PERBUATAN
Sebagian besar manusia menjalani kehidupannya tanpa berlandaskan pegangan (petunjuk). Mereka
melakukan berbagai perbuatan dengan tidak berdasarkan pada tolok ukur tertentu sehingga mereka dapat
memberikan penilaian terhadapnya. Oleh karena itu sering kita jumpai mereka melakukan perbuatan-
perbuatan buruk yang mereka sangka sebagai perbuatan terpuji, atau sebaliknya mereka meninggalkan
Sebagai misal, Seorang wanita muslimah yang keluar rumah dan berkeliaran di kota-kota
metropolitan negeri-negeri Islam, seperti Beirut, Damaskus, Kairo atau Baghdad, dengan enaknya ia
berjalan sambil menampakkan 'keindahan' dan kecantikannya. Wanita ini menyangka bahwa tindakannya
itu sebagai sesuatu yang baik, sesuai dengan zaman. Demikian pula seorang tokoh Islam yang alim, wara'
dan rajin sekali mendatangi masjid-masjid, tetapi dia menolak membicarakan hal-hal yang menyangkut
tingkah laku penguasa yang rusak (tidak Islami) dengan alasan bahwa hal itu termasuk urusan politik.
Sedangkan terlibat dalam urusan politik, menurutnya, adalah termasuk dalam perbuatan yang buruk.
Sesungguhnya wanita tadi juga 'tokoh kita' ini, dua-duanya telah terjerumus dalam perbuatan dosa.
Mengapa? Karena wanita itu telah mempertontonkan auratnya, dan 'tokoh kita' ini tidak mau menperhatikan
urusan kaum muslimin. Keadaan ini terjadi, karena kedua-duanya tidak memiliki tolok ukur bagi amal
perbuatan mereka. Padahal jika mereka memilikinya tentu tidak akan dijumpai perbuatan yang
bertentangan dengan mabda (ideologi Islam) yang secara nyata telah mereka ikrarkan. Oleh karena itu
adanya tolok ukur yang berfungsi menilai setiap perbuatan, adalah suatu keharusan bagi setiap manusia,
Dan Islam telah menetapkan bagi manusia suatu tolok ukur untuk menilai segala sesuatu, sehingga
dapat diketahui mana perbuatan yang terpuji yang harus segera dilakukan dan mana perbuatan tercela yang
harus segera ditinggalkan. Tolok ukur itu tidak lain adalah syara'. Sehingga apabila syara' menilai
perbuatan itu terpuji, maka itulah yang terpuji, dan apabila syara' menilainya tercela maka itulah yang
tercela. Tolok ukur ini bersifat abadi, karenanya perbuatan yang terpuji seperti jujur, menepati janji,
berbakti pada orang tua tidak akan berubah menjadi perbuatan tercela, dan sebaliknya sesuatu yang tercela
tidak akan berubah menjadi sesuatu yang terpuji. Bahkan apa yang dinyatakan terpuji oleh syara' akan
terpuji selamanya, begitu pula apa yang dicela oleh syara', selamanya akan tetap tercela.
Dengan demikian manusia akan dapat berjalan (di muka bumi ini) di atas jalan yang lurus. Setiap
perbuatan yang dilakukannya, senantiasa berdasarkan petunjuk sehingga ia mengetahui hakekat segala
50
sesuatu (perbuatan). Berbeda halnya bila syara' tidak menetapkan ukuran baik dan buruk untuk tiap-tiap
perkara, kemudian akal dijadikan sebagai tolok ukur maka akan terjadi kekacauan dan ketidakpastian.
Sebab suatu perkara bisa saja dianggap terpuji pada suatu keadaan, tapi tercela pada keadaan yang lain.
Akal manusia kadangkala memuji suatu perbuatan di masa sekarang, tapi esok hari dicelanya. Atau suatu
perbuatan dipandang terpuji di satu negeri tetapi di negeri lain dicela. Maka hukum atas segala sesuatu
menjadi tidak jelas dan berubah-ubah seperti tiupan angin, sehingga pujian dan celaan adalah sesuatu yang
nisbi, bukan lagi hakiki. Pada saat seperti ini seseorang dapat terjerumus dalam perbuatan tercela, tetapi
menyangkanya sebagai perbuatan yang terpuji. Atau ia akan menjauhkan diri dari perbuatan terpuji karena
Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang menjadikan hukum-hukum syara' sebagai tolok ukur atas
semua perbuatannya dengan memuji atau mencela sesuatu hanya berdasarkan syara' semata.
51
15. IMAN TERHADAP ISLAM MENGHARUSKAN TERIKAT DENGAN
HUKUM SYARA'
Seluruh amal perbuatan manusia yang menjadi pilihannya tidak memiliki suatu status hukum
sebelum datangnya pernyataan dari syara'. Amal perbuatan itu tidak tergolong wajib, sunnah, haram,
makruh, ataupun mubah. Manusia dibiarkan melakukan amal itu sesuai dengan apa yang dianggapnya
sebagai maslahat. Sebab, tidak ada "taklif" (beban hukum) sebelum sampainya pernyataan syara'. Allah
SWT berfirman:
"(Dan) Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang Rasul" (QS Al
Isra': 15)
Berdasarkan ayat tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa Allah SWT memberikan jaminan
kepada hambaNya; bahwa tidak akan diazab seorang manusia (yang diciptakanNya) atas perbuatan yang
dilakukannya, sebelum diutus seorang Rasul kepada mereka. Jadi mereka tidak akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Sebab, mereka tidak terbebani oleh satu
hukumpun. Tatkala Allah SWT mengutus seorang Rasul kepada mereka, maka terikatlah mereka dengan
risalah yang dibawa oleh rasul tersebut dan tidak ada alasan lagi untuk tidak mengikatkan diri terhadap
"(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu" (QS An Nisaa:
165).
Dengan demikian, siapapun yang tidak beriman kepada Rasul tersebut, pasti tidak akan dimintai
hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta
mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya, iapun akan dimintai pertanggungjawaban tentang
penyelewengan terhadap salah satu hukum dari hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.
52
Atas dasar hal ini maka setiap muslim diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan
hukum-hukum Islam, karena wajib atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala
"...apa yang dibawa/diperintahkan oleh Rasul (berupa hukum) kepadamu maka terimalah dia. Dan
Di sini tidak bisa dikatakan bahwa apa yang tidak diperintahkan atau tidak dilarang oleh Rasul,
maka hal itu tidak dibebankan atas kalian (manusia bebas melakukannya). Sebab beban hukum menurut
syara' adalah 'aam (mencakup seluruh perbuatan) sebagaimana umumnya risalah (Islam) untuk setiap
perbuatan manusia, dan bukan untuk perbuatan-perbuatan tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Wahai sekaliam manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu
Oleh karena itu telah menjadi suatu hal yang pasti bahwa apapun yang dibawa Rasul berupa suatu
hukum akan mencakup setiap perbuatan. Dan apa-apa yang dilarang oleh beliau juga mencakup setiap
perbuatan.
Dengan demikian setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi
kebutuhannya atau mencari suatu kemaslahatan, maka wajib baginya secara syar'iy mengetahui hukum
Allah tentang perbuatan tersebut sebelum melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum
syara'.
Begitu juga tidak dapat dikatakan bahwa ada hal-hal yang tidak ada ketentuan syara'nya, lalu
manusia diberi kebebasan memilih, apakah akan melakukannya atau tidak. Bila demikian halnya berarti
syari'at Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok, kecuali untuk masa dan keadaan tertentu (di masa
Rasul saja). Tentu saja hal ini bertentangan dengan syari'at itu sendiri, serta kenyataan yang sesuai
dengannya.
Memang syari'at tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci terhadap segala sesuatu,
sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum yang sudah terperinci tersebut. Tetapi, Islam
datang dengan makna-makna umum yang berkaitan dengan problema hidup dan dengan suatu titik pandang
53
bahwa sasarannya adalah manusia, tanpa memandang waktu dan tempat. Kemudian berlaku juga di bawah
makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang lain. Jika muncul suatu permasalahan atau
kejadian baru, maka harus dikaji dan difahami keadaannya. Kemudian, untuk memecahkannya dilakukan
"istinbath" dari makna yang bersifat umum yang terkandung dalam syari'at, maka jadilah hasil istinbath
dari suatu pendapat sebagai satu hukum Allah dalam problema/peristiwa tersebut.
Kaum muslimin telah melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah saw, hingga lenyapnya
Daulah Khilafah Islam dari muka bumi ini. Bahkan masih ada diantara kaum muslimin yang berpegang
teguh kepada syari'at Islam dan menjalankan kehidupannya atas dasar syari'at Islam. Di masa Abu Bakar
ra muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai di zaman Rasulullah saw; begitu pula telah
muncul persoalan-persoalan baru di masa Harun Al-Rasyid yang tidak ditemui di masa Abu Bakar ra.
Disini para mujtahidin, yang jumlahnya saat itu ribuan, menggali status hukum terhadap masalah yang
Demikianlah sikap kaum muslimin yang dilakukan terhadap setiap masalah dan kejadian baru,
karena syari'at Islam mencakup seluruh aspek perbuatan manusia, tidak ada satu pun problema hidup atau
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim senantiasa mengkaitkan seluruh perbuatannya dengan
hukum sayri'at Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan apapun, kacuali jika sesuai dengan perintah
54
16. ASAL SUATU PERBUATAN TERIKAT DENGAN HUKUM SYARA'
BUKAN MUBAH ATAUPUN HARAM
Pengertian mubah adalah apa yang ditunjukkan oleh dalil sam'i (dalil yang sampai pada kita melalui
riwayat) yang berasal dari seruan syari'at Allah yang mengandung dua pilihan antara mengerjakan atau
meninggalkan. Jadi, mubah adalah apa yang menjadi pilihan seseorang antara berbuat atau meninggalkan
berdasarkan syara'.
Ibahah (kebolehan) termasuk salah satu hukum syara', sedangkan mubah adalah hukum syara'nya.
Hukum syara' membutuhkan dalil yang menunjukkan kedudukan hukum tersebut. Selama tidak ada dalil
yang menunjukkannya maka hukum syara' tentang hal itu tidak ada.
Mengetahui hukum Allah atas perbuatan yang menunjukkan mubah membutuhkan pula adanya dalil
syara'. Tidak adanya dalil syara' atas suatu perbuatan tidak menunjukkan bahwa perbuatan itu mubah,
karena tidak adanya dalil tidak menunjukkan hukum ibahah atau tidak pula menunjukkan adanya suatu
hukum pun atas perbuatan tersebut, akan tetapi hanya menunjukkan belum adanya hukum atas perbuatan
itu. Serta menunjukkan wajibnya mencari dalil untuk mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut,
sehingga dapat ditentukan sikapnya. Dengan demikian mengetahui hukum syara' dalam suatu perbuatan
tertentu adalah wajib bagi setiap mukallaf agar dapat memutuskan sikapnya atas perbuatan itu, apakah dia
harus mengerjakan atau meninggalkan. Jadi ibahah adalah seruan dari syara' untuk memilih antara dua
pilihan mengerjakan atau meninggalkan. Maka selama tidak mengetahui seruan syara', seseorang tidak
akan mengetahui hukum syara'. Dengan demikian selama tidak ditemukan seruan syara' tentang kebolehan,
maka tidak ada hukum mubah. Dengan sendirinya tidak ada hukum bagi perbuatan manusia sebelum
datangnya syara'.
Atas dasar inilah maka menentukan perbuatan itu mubah, mandub, makruh, fardlu, dan haram harus
didasarkan pada (adanya) dalil sam'i tentang hukum-hukum tersebut. Tidak adanya dalil sam'i tidak
mungkin menetapkan suatu hukum atas perbuatan tersebut, dan tidak mungkin menetapkan pula bahwa
perbuatan ini mubah, ataupun haram atau hukum lainnya dari hukum yang lima di atas, kecuali setelah
diketahui adanya dalil sam'i yang menetapkannya. Ini bukan berarti meninggalkan tuntutan untuk mencari
hukum Allah atas perbuatan tersebut, dan membatalkan hukum syara' atau meninggalkan tugas dan
kewajiban hidup dengan alasan tidak mengetahui hukum Allah, karena semuanya ini tidak dibenarkan oleh
hukum syara'. Akan tetapi perbuatan manusia membutuhkan pengetahuan tentang hukum Allah, yaitu
diwajibkannya mencari dalil-dalil syar'i dan menyesuaikan dalil-dalil dengan fakta tersebut sehingga dapat
55
diketahui hukum Allah atas perbuatan itu, apakah haram, makruh, mubah, mandub, atau fardlu. Hal ini
disebabkan tolok ukur perbuatan bagi seorang muslim berupa perintah dan larangan. Allah yang telah
mewajibkan setiap muslim untuk mengetahui lebih dahulu hukum Allah atas perbuatan yang akan
dilakukannya, apakah itu haram, makruh, mubah, mandub, ataukah fardlu. Jadi setiap perbuatan mesti
berkaitan dengan hukum yang lima tadi, antara haram, makruh, mubah, mandub, atau fardlu. Dan setiap
perbuatan yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui lebih dahulu hukumnya, karena Allah akan
"Maka demi Rabb-mu, pasti kami akan menanyakan (menghisab) mereka tentang apa yang mereka
"Kami tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat Al Qur'an dan kamu tidak
mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya."
Yang dimaksud dengan "Kami menjadi saksi" dalam ayat di atas berupa pemberitahuan dari Allah
kepada hambaNya bahwa Dia menyaksikan perbuatan mereka dan bahwasanya Dia akan menghisab dan
menanyakan mereka. Rasulullahpun menjelaskan tentang wajibnya melakukan perbuatan sesuai dengan
"Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka
tertolak."
Para sahabat r.a selalu bertanya kepada Rasul saw lebih dahulu tentang perilaku mereka hingga mereka
Ibnul Mubarak telah mengeluarkan hadits bahwa Usman bin Madh'un telah datang kepada Rasul
saw dan bertanya: Apakah aku diizinkan melakukan ikhtisha' (pengebirian)? Jawab Rasul; 'Bukan
tergolong umatku yang melakukan pengebirian, baik terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain, dan
sesungguhnya pengendalian syahwat bagi umatku adalah shaum. Kemudian dia bertanya lagi: 'Apakah aku
diizinkan melakukan perjalanan (melancong ke berbagai negara)? maka Rasul menjawab: "Perjalanan
(melancong) bagi umatku adalah jihad fisabilillah." Ibnu Madh'unpun bertanya lagi; "Apakah aku diizinkan
bertapa? Maka Rasul menjawab lagi: 'Bertapanya umatku adalah duduk di dalam masjid sambil menunggu
56
shalat". Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa para sahabat selamanya tidak mendahulukan perbuatan,
kecuali bertanya lebih dahulu kepada Rasul. Seandainya asal dari perbuatan adalah mubah, niscaya mereka
akan melakukannya, dan mereka tidak akan bertanya kepada Rasul karena apabila Allah mengharamkan
(perbuatan tersebut) tentu mereka akan meninggalkannya, kalau tidak mereka tentu melakukannya dan
Adapun diamnya Syari' (Allah SWT) terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dijelaskan hukumnya,
sedangkan manusia melakukannya bukan berarti tidak ada ketentuan hukum dari Syari' (tentang perbuatan
tersebut) baik itu berupa ucapan ataupun perbuatan, bahwa hal ini merupakan dalil untuk membolehkan
perbuatan yang nash tidak melarangnya secara jelas baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan (Rasul).
Akan tetapi arti diam di sini ialah bahwa perbuatan yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Rasul
saw bahwasanya orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Rasul telah mengerjakannya, menunjukkan
bolehnya perbuatan-perbuatan itu saja, tidak menunjukkan perbuatan-perbuatan mereka (manusia) secara
mutlaq, karena diamnya Rasul (taqrir) atas perbuatan-perbuatan tersebut (yang merupakan pengakuan
Maka diamnya Rasul saw terhadap suatu perbuatan dapat dianggap sebagai dalil yang
membolehkannya, dengan syarat hal itu diketahui oleh beliau, misalnya dikerjakan di hadapan beliau atau
telah sampai beritanya kepada beliau. Sedangkan, apabila diamnya Rasul terhadap suatu perbuatan karena
belum sampai beritanya pada beliau atau telah terjadi di luar kekuasaan (wilayah Islam) meskipun beliau
mengetahuinya, maka hal ini tidak dianggap pengakuan yang termasuk salah satu macam dalil-dalil syara'.
Yang dimaksud taqrir/pengakuan yang menunjukkan kebolehan, adalah diamnya Rasul, bukan
diamnya Al Qur'an, karena Al Qur'an merupakan kalamullah, Allah Maha Mengetahui atas setiap
perbuatan, baik yang belum, sedang terjadi maupun yang akan terjadi. Oleh karena itu, tidak dapat
dikatakan bahwa tidak adanya penjelasan dari Al Qur'an (tentang suatu perbuatan) berarti hukum atas
perbuatan itu didiamkan, akan tetapi yang dimaksud diam dalam suatu perbuatan adalah diamnya Rasul
saw dengan syarat beliau mengetahuinya, yaitu suatu perbuatan dikerjakan di hadapan Rasul atau berada
Sebagai contoh sikap sebagian shahabat yang mengambil dalil atas dibolehkannya 'azl
(menumpahkan air mani di luar tempatnya) karena Nabi saw mendiamkannya, dalil tersebut adalah riwayat
57
"Kami melakukan 'azl sedangkan Al Qur'an masih turun".
Artinya, Rasul saw masih hidup. Hal ini difahami dari teks riwayat "sedangkan Al Qur'an masih turun".
Kalimat ini adalah kiasan bahwa Rasul saw masih ada ditengah-tengah mereka, namun beliau tidak mela-
rangnya. Begitu juga sebagian para mujtahid beralasan mengambil dalil atas dibolehkannya memakan
daging biawak, karena diamnya Rasul di mana telah diriwayatkan bahwa daging biawak telah dihidangkan
di atas nampan lalu dimakan (para shahabat) sedangkan Rasul saat itu tidak memakannya. Sikap Rasul yang
mendiamkan para sahabat memakan daging biawak yang telah dihidangkan di rumah beliau menunjukkan
kebolehannya. Oleh karena itu, diamnya Syari' atas suatu perbuatan yang telah diketahuinya adalah dalil
tentang kebolehannya, bukan sebaliknya tidak adanya penjelasan dan ketentuan hukum dari Syari' terhadap
suatu perbuatan dijadikan dalil untuk membolehkan perbuatan tersebut. Terdapat perbedaan antara
diamnya Syari' (Rasul) dengan tidak adanya penjelasan ditinjau dari segi dalalah.
Dari sini jelaslah bahwa asal setiap perbuatan merupakan hukum syara' yang wajib bagi seseorang
untuk mencari dalil syara' yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan itu sebelum dilakukan.
Ditetapkannya status hukum suatu perbuatan sebagai mubah, fardlu, mandub, haram, atau makruh,
ditentukan dari adanya dalil sam'iy bagi hukum tersebut, yaitu dalil yang bersumber dari Al Kitab, Sunnah,
58
17. IBAHAH ADALAH HUKUM ASAL BAGI SEGALA
SESUATU/BENDA YANG DIMANFAATKAN
Al Asyaa`, yaitu segala sesuatu yang dimanfaatkan, pada hakekatnya berbeda dengan perbuatan.
Yang dimaksud segala sesuatu itu adalah benda/materi yang digunakan oleh manusia. Sedangkan perbuatan
adalah apa-apa yang dilakukan manusia berupa aktivitas, baik ucapan atau perbuatan, untuk memenuhi
kebutuhannya.
Perbuatan manusia selalu berhubungan dengan atau menggunakan sesuatu agar kebutuhannya
terpenuhi, seperti makan, minum, berjalan, berdiri dan sebagainya, yang kesemuanya itu termasuk dalam
kategori perbuatan/tindakan. Sedangkan jual beli, sewa-menyewa, perwakilan, jaminan, dan lain-lain
Kedua jenis perbuatan tersebut berhubungan dengan sesuatu/materi yang digunakan. Misalnya,
perbuatan makan berhubungan dengan benda-benda seperti roti, apel, daging babi, dan lain-lain. Begitu
pula, perbuatan minum berhubungan dengan benda-benda seperti air, madu, khamr dan lain-lain. Seluruh
benda mempunyai status hukum syara', sebagaimana halnya dengan perbuatan. Pertanyaannya, apakah
hukum atas benda-benda itu sesuai dengan hukum perbuatan yang terkait dengannya, yaitu wajib, haram,
sunnah/mandub, makruh dan mubah; ataukah ia mempunyai hukum tersendiri, tidak mengikuti hukum
perbuatan; atau bahkan tidak mempunyai hukum, sehingga hukum yang ada hanya menyangkut perbuatan
saja.
Yang terbayang dalam benak manusia umumnya adalah, bahwa benda/materi dan perbuatan
merupakan satu kesatuan. Perbuatan tidak terpisahkan dari benda, dan sebaliknya. Dengan demikian, jika
dikehendaki maka keduanya memiliki nilai. Sedangkan bila keduanya dipisah, maka dengan sendirinya
salah satu di antara keduanya tidak mempunyai nilai apa-apa. Berdasarkan pandangan ini dapat
disimpulkan, bahwa status hukum perbuatan juga paralel dengan status hukum benda yang berhubungan
dengan perbuatan tersebut. Para ulama di masa kemunduran Islam terjebak pada pemikiran yang tidak
membedakan benda dengan perbuatan, hingga sebagian dari mereka menetapkan bahwa hukum asal bagi
segala sesuatu adalah mubah, demikian juga dengan perbuatan. Sebagian yang lain mengatakan bahwa
hukum asal bagi segala sesuatu adalah haram, termasuk dalam hal ini perbuatan.
Sesungguhnya menurut syariat Islam terdapat perbedaan antara benda dengan perbuatan. Ulama'
yang menelusuri/mendalami nash-nash dan hukum-hukum syara', mendapati bahwa syara' telah membatasi
59
hukum-hukum terhadap perbuatan dengan lima macam status yaitu wajib, haram, mandub/sunnah, makruh
dan mubah.
Hukum syara' didefinisikan sebagai seruan Syaari' (Allah) yang berkaitan dengan perbuatan
manusia. Hukum syara' hanya ditujukan untuk perbuatan, tanpa memperhatikan benda yang berkaitan
dengan perbuatan tersebut. Dengan kata lain hukum syara' berhubungan dengan perbuatan saja, tidak
Hukum ini menyangkut perbuatan saja. Adapun benda (mata dagangan) yang berhubungan dengan
jual-beli, ada diantaranya yang dihalalkan Allah, seperti anggur dan ada pula yang diharamkannya seperti
khamr. Dengan demikian hukum syara' dalam hal ini berkaitan dengan perbuatan jual-beli dan hukum
haram adalah untuk perbuatan riba (meminjamkan dan menukar uang dengan riba); tanpa melihat
sesuatu/benda yang berhubungan dengan perbuatan tersebut. Sedang mengenai benda maka seseorang
yang menelusuri nash-nash syara' akan mengetahui bahwa Allah menentukan sifat atas benda dengan halal
dan haram saja, dan bukan dengan sebutan wajib, sunnah atau makruh. Allah menjadikan halal atau haram
"Katakanlah; 'Terangkanlah kepadaku tentang rizqi yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagian lainnya) halal". (QS. Yunus: 59).
"(Dan) janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ini halal
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang
60
"(Dan) mengharamkan bagi mereka makanan yang khabits (buruk, menjijikkan, berbahaya, najis
"Hai Nabi mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu" (QS. At-Tahrim: 1).
Nash-nash tersebut diatas menentukan bahwa benda hanya memiliki dua alternatif status hukum --
yaitu halal atau haram, tidak ada status yang ketiga, dan tidak ada alternatif status selain itu.
Menghalalkan atau mengharamkan suatu benda merupakan urusan Allah. Tidak boleh seorangpun
turut campur denganNya dalam menentukan halal dan haram. Setiap orang yang bertindak demikian,
dengan berlandaskan pendapat pribadi, maka ia berdosa, mengada-ada dan melampaui batas terhadap
Allah. Halal atau haram adalah dua sifat yang salah satunya pasti ada untuk setiap benda yang dapat
diindera, yang diciptakan oleh Allah SWT, seperti benda yang dapat dimakan, dipakai (pakaian), diken-
darai, didiami, yang dapat digunakan atau tidak dapat digunakan (afkir).
Apabila kita mendalami nash-nash syara', pada dasarnya Allah menetapkan bahwa hukum asal
segala sesuatu/benda adalah mubah. Allah membolehkan kita memanfaatkan segala sesuatu/benda yang
ada, yang diperoleh manusia dari usahanya. Allah hanya mengecualikan, dari yang umum itu, sebagian
(kecil) benda yang diharamkanNya melalui nash secara khusus. Hukum Ibahah tersebut dapat difahami
dari nash-nash syara' secara global dan umum. Ada diantara nash-nash syara' yang secara global (mujmal)
"Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk (dimanfaatkan oleh) kamu" (QS.
Al-Baqarah: 29).
Ada pula penentuan mubah dengan lafadz yang bersifat umum, misalnya:
apa yang ada di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmatNya lahir dan bathin"
61
Sedangkan nash lainnya ada yang bersifat umum sekaligus memberikan perinciannya, seperti ayat-
"Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
"(Dan) Dia mengadakan kapal untukmu, supaya berlayar di lautan dengan perintahNya dan Dia
mengadakan untukmu sungai-sungai. Dan Dia yang menyuruh matahari dan bulan berguna untuk
kepentinganmu keduanya beredar menurut jalannya dan Dia yang memerintahkan malam dan siang berguna
untuk kepentinganmu dan Dia yang memberikan sebagian dari apa yang kamu minta dan kalau kamu hitung
nikmat Allah itu niscaya tidak dapat kamu menghitungnya" (QS. Ibrahim: 32-34).
"(Dan) Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu kami tumbuhkan dengan air itu
pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon korma yang tinggi-tinggi yang mempunyai
mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rizqi bagi hamba-hamba (Kami)" (QS. Qaaf: 9 - 11).
"Katakanlah siapa yang mengharamkan perhiasan (dari) Allah yang telah diadakan untuk hamba-
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
"Katakanlah: 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang memakannya, kecuali makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT membolehkan segala sesuatu yang ada untuk
manusia. Adapun yang dilarang adalah pengecualian, yang ditetapkan dengan nash yang bersifat khusus.
Begitu pula ditemui dalam hadits berbagai nash yang mengharamkan beberapa benda misalnya bahwa
diriwayatkan Rosul SAW telah melarang memakan keledai jinak, binatang buas yang bertaring dan setiap
62
Allah selaku Syaari' (pembuat hukum) telah membolehkan sesuatu/benda dengan kata lain
menghalalkannya. Sebab arti dari ibahah yang berkaitan dengan benda adalah halal sebagai lawan dari
haram. Apabila ditemukan nash yang mengharamkan sebagian benda, maka pengecualian ini hanya sebatas
benda itu. Halal dan haram yang ditujukan kepada benda merupakan sifat baginya. Tidak ada sifat bagi
benda selain kedua macam sifat tersebut. Dibolehkannya sesuatu (halal) tidak memerlukan dalil bahwa
sesuatu itu boleh, karena dalil-dalil yang bersifat umum dalam nash-nash syara' telah membolehkan segala
sesuatu. Adapun larangan terhadapnya maka itulah yang memerlukan dalil, karena hukum haram adalah
pengecualian atau pengkhususan dari keumuman dalil yang membolehkan sesuatu, berarti ia harus
mempunyai nash. Oleh karena itu hukum asal bagi segala sesuatu adalah mubah. Dengan kata lain
hukumnya halal.
63
18. HUKUM SYARA' PASTI MENGANDUNG MASLAHAT
"(Dan) tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi seluruh umat
Maksud ayat diatas adalah bahwa Rasulullah saw telah datang dengan membawa syariat yang
"Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman" (QS Yunus:
57).
"Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuham-mu sebagai petunjuk
Maksud dari "petunjuk" dan "rahmat" dalam ayat diatas adalah dengan membawa manfaat bagi
manusia atau menjauhkan kemadlaratan dari dirinya. Inilah yang disebut "maslahat". Sebab, arti dari
Yang menentukan apakah sesuatu itu maslahat atau tidak adalah wewenang syara' semata. Sebab,
syara' datang memang membawa maslahat dan dialah yang menentukan/menyebutnya untuk manusia,
karena yang dimaksud maslahat adalah kemaslahatan/kepentingan manusia itu sendiri sebagai makhluk.
Bahkan yang dimaksud dengan maslahat bagi individu, adalah kemaslahatannya berkenaan dengan sifatnya
sebagai "manusia", bukan keberadaannya sebagai individu (pribadi). Memang, kemaslahatan dapat
ditentukan berdasarkan syara' atau berdasarkan akal manusia. Akan tetapi, jika akal manusia dibiarkan
menentukannya sendiri, maka teramat sulit bagi manusia untuk menentukan hakekat kemaslahatan tersebut.
Sebab, akal manusia memiliki kemampuan yang terbatas. Ia tidak mampu menetapkan apa yang
menjangkau dzat dan hakekatnya selaku manusia. Oleh karena itu, akal tidak akan mampu menentukan
64
apa yang sebenarnya maslahat bagi manusia. Bagaimana mungkin ia dapat menetapkan, sementara ia tidak
Hanya Allah-lah yang mampu menjangkau hakekat manusia, sebab Dialah yang menciptakan
manusia. Oleh karena itu, hanya Dialah yang berhak menentukan apa-apa yang menjadi maslahat dan
Walaupun manusia dapat menduga apakah sesuatu itu mengandung manfaat atau mafsadat untuk
dirinya, tetapi ia tidak mungkin menentukan dengan pasti dan rinci. Apabila kemaslahatan tergantung pada
persangkaan manusia, maka akan mengakibatkan terjerumusnya manusia itu ke dalam kebinasaan. Sebab
kadang-kala manusia menyangka sesuatu itu mengandung maslahat, tetapi ternyata tidak demikian. Berarti
ia telah menetapkan bahwa sesuatu itu mafsadat untuk manusia, sedang ia menganggapnya maslahat,
menyangka bahwa sesuatu itu adalah mafsadat, kemudian terbukti hal itu sebaliknya. Disini ia telah
menjauhkan kemaslahatan dari diri manusia, karena ia menganggapnya sebagai mafsadat, sehingga ia
Begitu pula kadang-kadang hari ini akal manusia memandang atau memutuskan sesuatu itu
maslahat, kemudian esok harinya menyatakan sebagai mafsadat. Atau sebaliknya, sekarang sesuatu
dinyatakan sebagai mafsadat, esok harinya ia menyatakan sebagai maslahat. Berarti ia telah menetapkan
bagi sesuatu itu mengandung maslahat sekaligus mafsadat. Hal ini tidak boleh dan tidak mungkin ada.
Sebab segala sesuatu pada suatu kondisi hanya mempunyai satu kemungkinan, yaitu berupa mafsadat atau
maslahat. Tidak mungkin keduanya berpadu dalam satu kondisi. Jika tidak, berarti maslahat yang
ditentukannya bukan maslahat yang hakiki, tetapi maslahat sekedar dugaan (nisbi).
Dengan demikian maka wajib tidak membiarkan akal untuk menentukan apa sebenarnya yang
dimaksud dengan maslahat, sebab yang berhak menentukannya adalah syara'. Syara'lah yang menentukan
mana maslahat dan mana mafsadat yang sebenarnya (hakiki). Akal hanyalah memahami suatu kenyataan
(kejadian) sebagaimana adanya (tanpa ditambah-tambah). Kemudian akal memahami pula nash-nash
syar'iy yang berkaitan dengan kenyataan tersebut, lalu nash-nash itu diterapkan terhadap kenyataan. Jika
telah diterapkan dan sesuai dengan pembahasan, maka dikatakan atau mafsadat berdasarkan nash-nash
syar'iy. Apabila tidak sesuai dengan kenyataan tersebut, maka dicari nash yang mempunyai makna yang
sesuai dengan kenyataan tersebut, agar ia mengetahui maslahat yang telah ditetapkan oleh syara', dengan
65
Jadi maslahat harus didasarkan pada syara' , bukan pada akal. Ia senantiasa menyertai syara'.
Dimana ada syara', pasti ada maslahat. Sebab syara'lah yang menentukan kemaslahatan bagi mansusia
66
19. HUKUM TIDAK BERUBAH KARENA PERUBAHAN WAKTU DAN
TEMPAT
Dewasa ini otak kaum Muslimin dicengkeram oleh suatu keyakinan/anggapan bahwa Islam itu
bersifat fleksibel/elastis, dan berjalan sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi atau politik pada setiap
waktu dan tempat. Artinya, Islam berkembang agar penerapan hukum-hukumnya sesuai dengan kejadian
dan kondisi serta tuntutan manusia dan yang telah menjadi kebiasaan dewasa ini.
Mereka berdalih bahwa anggapan-angggapan itu didasarkan pada suatu kaidah, yang menurut
"Tidak bisa ditolak adanya perubahan hukum karena adanya perubahan zaman".
Berdasarkan kaidah yang keliru inilah mereka kemudian melakukan aktifitas berlandaskan realita yang ada.
Mereka bertindak sesuai dengan tuntutan keadaan. Apabila mereka diingatkan dengan hukum-hukum
Syara', mereka mengatakan bahwa hukum-hukum itu hanya khusus untuk waktu tertentu, sedangkan Islam
mengharuskan ummatnya untuk terus menyesuaikan diri dengan zaman dan bertindak dengan hal-hal yang
sesuai dengan zaman dan tempat. Akibatnya mereka membolehkan adanya bank-bank yang menjalankan
sistem riba, dan perusahaan-perusahaan terbatas (PT). Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah suatu
bentuk kemaslahatan yang realistis/nyata. Karena itu Islam harus luwes menerimanya, sebab Islam itu
Para wanita bersolek dan bercampur dengan laki-laki asing (bukan mahram), tanpa ada suatu
keperluan yang diijinkan oleh syara'. Kemudian begadang bersama laki-laki asing hingga larut malam pada
acara pesta-pesta. Semua ini (menurut mereka) adalah suatu hal yang harus diterima dan ditolerir oleh
Islam, sebab sudah menjadi tuntutan zaman. Mereka mengatakan: Bagaimana mungkin Islam itu
bertentangan dengan zaman, padahal kaidah syara' menyatakan bahwa: 'Islam itu dapat berubah karena
Mereka juga mengatakan bahwa hukum poligami kini tidak berlaku lagi, sebab zaman tidak dapat
menerimanya lagi. Hukum potong Tangan, atau hukum rajam tidak lagi perlu dibahas dan dipelajari, karena
hukum-hukum itu sudah basi, tidak layak lagi dengan tuntutan zaman...
Demikianlah 'kaidah-kaidah' ini terus dibicarakan di tengah-tengah ummat Islam, ketika mereka
mulai berpaling dari Islam, merobohkan pondasi dan sendi-sendinya, serta melenyapkan peraturan-
67
peraturan dan syia'r-syi'arnya. Ide-ide seperti ini mulai muncul pada akhir abad kesembilan belas, pada
saat pemikiran ummat ini anjlok dari puncak kejayaannya. Kaum Imperialispun seperti mendapatkan
santapan yang lezat, hingga akhirnya pemahaman mereka sampai ke tingkat seperti ini.
Hukum-hukum Syari'at Islam adalah tata-aturan dari Allah untuk memecahkan problematika
kehidupan manusia, tatkala manusia hendak memenuhi kebutuhan-kebutuhan naluriah dan jasmaniyahnya.
Hukum-hukum itu telah diberikan Syari' (Allah) melalui Al Quran dan As Sunnah, yang dua hal ini
merupakan satu-satunya sumber hukum syari'at dalam Islam. Karena itu hukum syara' didefinisikan
sebagai Seruan Syari' (Allah) yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Dengan demikian hukum syara'
haruslah digali dan dipastikan bahwa hal itu merupakan seruan dari Syari'. Berarti harus digali dari nash,
yang tidak lain adalah Al Quran dan As Sunnah atau sumber yang telah disahkan oleh keduanya, yaitu ijma'
Atas dasar inilah sumber hukum Syari'at Islam itu hanya ada satu, yaitu kitabullah dan Sunnah
rasulNya, yang dari dua sumber ini digali pemecahan-pemecahan yang dihadapi manusia dan mengatasi
perselisihan di antara mereka. Apakah zaman dan tempat itu (menjadi sumber hukum) sebagaimana Kitab
atau sunnah?? Atas dasar apa, seorang manusia dapat mengatur problematikanya sendiri atau suatu
masyarakat dapat mengatur hubungan sesama anggotanya, sedangkan Allah SWT telah mewajibkan agar
mereka mengambil pemecahan problema (kehidupannya) dengan hukum-hukum yang digali dari
mengharuskan manusia untuk mempelajari fakta/realita problema itu, kemudian mencari hukum Allah yang
berkaitan dengan masalah itu dengan cara menggalinya dari Al Quran dan As-Sunnah atau dari sumber
Oleh karena itu wajib bagi setiap individu Muslim, ketika merealisasikan syari'at Islam dalam
masyarakat, hendaknya mempelajari realita masyarakat itu secara teliti, kemudian dipecahkan dengan
syari'at Allah. Dia harus melakukan perobahan secara mendasar, berdasarkan mabda' Islam, tanpa
memperhatikan lagi tolok ukur yang lainnya, baik situasi ataupun kondisi yang menyimpang dari Islam.
Setiap hal yang menyimpang dari Islam haruslah dihilangkan, dan setiap perbuatan yang diperintahkan
Islam wajib diupayakan dan diterapkan. Sedangkan realita masyarakat hendaknya selalu terikat dengan
dengan waktu dan tempat, akan tetapi harus selalu merujuk kepada kitabullah dan sunnah RasulNya
68
20. PENDAPAT SEORANG MUJTAHID ADALAH HUKUM SYAR'IY
Berbagai cara telah ditempuh untuk membelokkan kaum muslimin dari keterikatannya terhadap
hukum syara'. Termasuk cara yang paling keji adalah adanya pendapat yang mengada-ada dari sementara
orang yang menyatakan bahwa "pendapat imam madzhab" seperti imam Syafii, Ja'far Shadiq dan Abu
Hanifah bukanlah merupakan hukum syara', melainkan hanya pendapat mereka. Karenanya, kitapun tidak
perlu mengikatkan diri pada pendapat mereka. Orang-orang ini berdalih bahwa hukum syara' itu hanyalah
nash-nash Al Qur'an dan Hadits. Sebagai konsekuensinya, maka mereka membatasi hukum-hukum syara'
hanya pada apa yang tercantum dalam nash secara jelas, yang dapat difahami dengan sekedar membacanya.
Ini berarti berbagai problema dan masalah-masalah baru yang beragam tidak tercantum secara tegas dalam
nash-nash syara', sehingga tidak ada ketentuan hukum syara' atas masalah-masalah itu. Dengan demikian
setiap orang boleh mengikuti pendapatnya masing-masing, sehingga akal turut campur dalam menentukan
pemecahan masalah dan apa saja yang sesuai dengan hawa nafsunya. Sungguh ini adalah suatu kedustaan
yang nyata dan kebohongan terang-terangan terhadap syari'at Allah serta pelecehan terhadap ijtihad,
Al-Qur'an dan hadits, yang merupakan sumber syari'at Islam, datang dalam bentuk garis-garis besar
dan makna-makna umum. Nash-nash Al-Qur'an dan hadits berupa teks hukum yang menunjuk pada satu
atau beberapa fakta. Oleh karena itu, nash-nash tersebut harus difahami sesuai dengan yang ditunjukkan
oleh hukum yang bisa diambil dengan "manthuq", yakni makna yang ditunjukkan oleh suatu lafadz; atau
diambil dengan "mafhum", yakni makna yang ditunjukkan oleh makna suatu lafadz; bisa juga diambil
dengan "iqtidlaa", yakni makna yang dituntut oleh manthuq dan mafhumnya. Lafadz-lafadz tersebut
memiliki makna bahasa dan makna hukum. Disamping itu ada nash-nash lain yang juga terdapat dalam
Al-Qur'an dan hadits, yang berfungsi untuk mengkhususkan (mentakhshish) lafadz-lafadz yang berbentuk
umum, atau mengikat (mentaqyid) lafadz-lafadz yang "muthlaq". Lafadz-lafadz itupun memiliki "qarinah"
dan menentukan jenis hukum yang ditunjuk oleh suatu "perintah", apakah itu wajib, mandub, atau mubah;
serta menentukan jenis "larangan" apakah itu haram atau makruh. Demikian juga, qarinah-qarinah itu
menentukan apakah lafadz-lafadz tersebut khusus untuk satu kejadian atau umum untuk seluruh peristiwa;
dan lain sebagainya, dari apa yang tercantum dalam nash. Oleh karena itu, lafadz-lafadz tersebut harus
difahami secara hukum, bukan semata-mata secara dhahir (harfiah) atau secara logis.
69
Tidaklah mengherankan, jika kemudian timbul ikhtilaf dalam memahami satu nash. Sehingga
terhadap satu nash terdapat dua pendapat yang berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain. Ini baru
dilihat dari segi pemahaman atau penunjukkan suatu lafadz. Ditambah lagi dengan adanya perselisihan
terhadap keabsahan suatu hadits, apakah bisa diterima atau tidak. Kemudian muncul pula ikhtilaf tentang
hukum-hukum yang diambil dari hadits tersebut, apakah bisa diterima atau tidak. Akibatny, terjadilah
ikhtilaf dalam pendapat ketika menentukan kedudukan suatu makna tertentu bahwa makna tersebut
merupakan hukum syara', atau makna yang berbeda dengan itu, atau bahkan bertentangan. Semuanya dapat
dikatakan sebagai hukum syara', walaupun berbilang jumlahnya, berbeda-beda, atau bahkan bertentangan.
Sebab hukum syara' adalah 'Seruan Syaari' (Allah dan RasulNya) yang berkaitan dengan perbuatan hamba.'
Dan seruan Syaari' yang dibawa oleh wahyu perlu difahami oleh pihak yang diseru --yaitu manusia-- agar
dapat menjadi suatu hukum syara' baginya. Sebab suatu nash, supaya dapat diterapkan, memerlukan pema-
haman tertentu.
Jadi, seruan syaari' dianggap sebagai hukum syara' ketika telah difahami makna apa yang
ditunjukkan oleh suatu nash, yang terbukti keabsahannya sebagai berasal dari Al Qur'an atau hadist.
Sedangkan apabila seruan itu belum ditetapkan keabsahannya dan belum difahami makna apa yang ditunjuk
oleh suatu dalil (pemahaman dilalahnya), maka tidak dapat dianggap sebagai hukum syara'. Oleh karena
itu yang menjadikan suatu nash sebagai seruan Syaari' atau bukan adalah pemahaman terhadap nash itu
sendiri. Berarti hukum syara' merupakan pendapat yang diambil dari nash. Inilah yang dianggap sebagai
seruan Szyari'. Dengan demikian pendapat seorang mujtahid adalah hukum syara', selama disandarkan
kepada Al-Qur'an dan As Sunnah atau dalil-dalil syara' yang ditunjuk oleh kedua sumber itu (yaitu Ijma'
dan Qiyas).
Berdasarkan hal ini, pendapat seorang mujtahid terdahulu, baik pendiri mazhab atau bukan, adalah
hukum syara'. Demikian juga pendapat para mujtahid dewasa ini, dan mujtahid lain dimanapun dan
kapanpun mereka berada adalah merupakan hukum syara', selama mereka menggalinya dengan ijtihad yang
benar, yang bersandar pada dalil-dalil syara'. Rasulullah saw telah menetapkan diterimanya suatu
pemahaman terhadap nash sebagai hukum syar'i. Beliau juga mendiamkan (mengakui) terjadinya ikhtilaf
dalam pemahaman nash tersebut. Sebagai contoh, segera setelah berangkatnya kelompok-kelompok
(qabilah) dalam perang Khandaq, beliau memerintahkan seorang muazhin untuk berseru kepada kaum
muslimin:
70
"Siapa saja yang mendengar dan taat, jangan melakukan shalat ashar kecuali di (kampung) Bani
Quraidhah".
Para Shahabatpun berbeda-beda memahami seruan ini. Sebagian meninggalkan shalat ashar di Madinah
dan tidak melakukannya sampai mereka tiba di Bani Quraidhah. Sebagian lain memahami, bahwa yang
dimaksud adalah agar mereka bergegas-gegas, sehingga mereka shalat ashar terlebih dahulu, dan kemudian
pergi ke Bani Quraidhah setelah menunaikan shalat. Lalu kedua hal ini disampaikan kepada Rasulullah
saw dan beliau menetapkan bahwa kedua pemahaman tersebut dapat diterima.
Para Shahabat ra telah berikhtilaf dalam memahami Al Qur'an dan hadist. Pendapat mereka berbeda
satu dengan lainnya. Setiap pendapat mereka adalah hukum syara'. Mereka telah berijma', bahwa pendapat
yang dikemukakan mujtahid manapun yang berasal dari nash adalah merupakan hukum syara'.
Oleh karena itu, baik hadist maupun ijma' shahabat telah menunjukkan bahwasanya pendapat yang
digali oleh mujtahid manapun dianggap sebagai hukum syara' yang wajib diikuti oleh orang yang
menggalinya (mujtahid itu sendiri), juga bagi siapa saja yang telah menyetujui pemahaman tersebut, atau
71
21. MACAM-MACAM HUKUM SYARA'
Hukum syara' adalah "Seruan Syaari' (Allah dan RasulNya) yang berkaitan dengan amal perbuatan
hamba (manusia)'. Hukum syara' ditetapkan berdasarkan adanya seruan yang dapat diketahui bentuknya
dengan mengetahui arti dari seruan itu. Seruan Syari' adalah hal-hal yang terdapat dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah, yang berupa perintah dan larangan. Oleh karena itu pemahaman terhadap hukum syara' sangat
bergantung pada pemahaman terhadap Kitabullah dan As-Sunnah, sebab keduanya adalah asal tasyri' dan
sumber hukum.
Hanya saja tidak setiap seruan Syaari' itu wajib dilaksanakan dan mendapatkan siksa jika
meninggalkannya, atau haram dilakukan dan mendapat siksa jika mengerjakannya. Akan tetapi hal itu
sangat tergantung pada jenis seruannya. Oleh karenanya, merupakan suatu perbuatan dosa dan kelancangan
terhadap Diinullah, jika seseorang secara terburu-buru menetapkan sesuatu bahwa itu adalah fardlu, hanya
karena ia membaca satu ayat atau satu hadits yang menunjukkan adanya perintah untuk melakukan sesuatu.
Demikian juga halnya dengan seseorang yang secara tergesa-gesa mengeluarkan fatwa tentang sesuatu
bahwa ini adalah haram, karena ia membaca satu ayat atau satu hadits yang menunjukkan adanya perintah
untuk meninggalkannya.
Akhir-akhir ini kaum muslimin telah diuji dengan banyaknya orang yang terjerumus ke dalam
perbuatan-perbuatan tersebut, yakni mereka secara terburu-buru menghalalkan atau mengharamkan suatu
perkara, setelah mereka membaca satu perintah atau larangan yang terdapat dalam satu ayat atau sebuah
hadits. Kebanyakan hal ini terjadi di kalangan mereka yang menyangka dirinya mengerti sebelum
mempelajari hukum syara', dan jarang didapati pada orang yang telah memahami makna tasyri'. Oleh
karena itu merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin untuk memahami jenis seruan Syaari' sebelum
mengeluarkan pendapatnya yang menyangkut penentuan jenis hukum syara'. Dengan kata lain ia harus
memahami makna ayat atau hadits dengan pemahaman yang didasari pada hukum syara' dan bukan sekedar
pemahaman lughawiyah, agar tidak melakukan kesalahan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah
Seruan Syaari' dapat dipahami melalui nash, atau dengan adanya indikasi (qarinah) yang
menentukan arti dari nash. Tidak setiap perintah adalah wajib dan tidak setiap larangan adalah haram.
Suatu perintah bisa berupa mandub atau mubah, begitu pula suatu larangan bisa berupa makruh. Misalnya,
72
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada Hari Kemudian
serta mereka tidak mengharamkan apa-apa yang diharamkan Allah dan RasulNya.." (QS At-Taubah: 29).
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan jihad. Dan perintah tersebut adalah wajib, yang apabila
ditinggalkan akan mendapatkan siksa dari Allah SWT. Akan tetapi ketentuan perintah itu fardlu tidak
muncul hanya karena adanya sighatul amr (bentuk kalimat yang berupa perintah) saja, melainkan karena
adanya indikasi-indikasi lain, yang menunjukkan bahwa perintah tersebut menuntut suatu perbuatan secara
pasti. Indikasi (qarinah) yang dimaksud adalah nash-nash yang lain, seperti misalnya firman Allah SWT:
"(Dan) jika kamu tidak pergi berperang, maka Allah akan mengadzab kamu dengan adzab yang
Sesungguhnya Allah SWT melarang perbuatan zina. Dan larangan dalam ayat ini menunjukkan haramnya
perbuatan zina, dimana Allah akan menyiksa para pelakunya. Walaupun demikian status hukum haram
tersebut tidak muncul hanya karena adanya bentuk kalimat larangan saja, melainkan berdasarkan indikasi-
indikasi lainnya, yang menunjukkan bahwa larangan itu bersifat pasti. indikasi itu berupa nash-nash lain,
"Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang berakibat buruk" (Al-Isra': 32).
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya
73
"Shalat jamaah itu lebih utama dari shalat sendirian bandingannya dua puluh tujuh derajat".
Sesungguhnya Beliau memerintahkan shalat berjamaah, meskipun tuntutan tersebut tidak menggunakan
bentuk perintah.
"Aku pernah mencegah kalian dari ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah".
Sesungguhnya Beliau memerintahkan untuk melakukan ziarah kubur. Namun demikian perintah atau
seruan dalam kedua hadits diatas adalah mandub (sunat) dan bukan fardlu. Hukum mandub tersebut
ditetapkan dari indikasi-indikasi yang lain, misalnya diamnya Rasullullah saw terhadap sekelompok orang
yang shalat sendirian, atau diamnya Beliau terhadap orang yang tidak melakukan ziarah kubur. Sikap beliau
ini menunjukkan bahwa seruan itu tidak berupa tuntutan atau seruan yang pasti.
"Barang siapa yang mampu (kaya) tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku".
Juga tatkala kita membaca larangan Rasulullah saw tentang tabattul (membujang), yaitu tidak menikah,
Maka dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw mencegah seorang muslim yang mampu
(kaya) untuk membujang, sebagaimana tercantum dalam hadits yang pertama. Sedang dalam hadits yang
kedua, Beliau melarang setiap orang untuk tidak menikah selamanya (sepanjang umurnya). Namun
demikian bukan berarti tidak beristri atau tidak bersuami bagi orang yang mampu/kaya itu haram
hukumnya, dan tidak bersuami/beristri selama-lamanya adalah haram. Akan Tetapi larangan ini
menunjukkan bahwa perbuatan itu hukumnya makruh. Status makruh ini diperoleh berdasarkan indikasi-
indikasi yang lain. Misalnya diamnya Rasulullah saw terhadap sebagian orang mampu/kaya tetapi belum
menikah dan diamnya Rasulullah terhadap sebagian shahabat yang tidak menikah.
74
"Apabila selesai ditunaikan haji, maka berburulah kamu".
"Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi". (QS Al-Jumu'ah: 10).
Sesungguhnya dalam kedua ayat tersebut di atas, Allah SWT memerintahkan berburu setelah
melepaskan pakaian ihram, dan memerintahkan bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan shalat
jum'at. Akan tetapi perintah berburu seusai melepaskan pakaian ihram tersebut bukanlah wajib atau
mandub. Demikian pula perintah untuk bertebaran di muka bumi seusai shalat jum'at tidak berarti wajib
atau mandub. Keduanya menunjukkan hukum mubah. Hukum ini diketahui dari adanya indikasi yang lain,
yaitu bahwa Allah SWT telah memerintahkan berburu setelah menanggalkan pakaian ihram, dimana
perbuatan itu dilarang sebelumnya. Demikian pula Allah telah memerintahkan agar bertebaran di muka
bumi seusai shalat jum'at, yaitu perbuatan yang dilarang Allah ketika masuk waktu shalat jum'at. Qarinah
(indikasi) itu menunjukkan bahwa perkara tersebut adalah mubah, artinya perbuatan berburu dan bertebaran
Atas dasar inilah, sesungguhnya untuk mengetahui jenis hukum dari suatu nash, sangat bergantung
pada pemahaman secara syar'i terhadap nash tersebut dan hubungannya dengan qarinah/indikasi yang
menunjukkan makna seruan yang terdapat dalam nash tersebut. Dari sini jelas bahwa hukum Syara' itu
bermacam-macam.
Setelah diteliti terhadap semua nash dan hukum-hukum, maka ditentukan bahwa hukum syara' itu
3. Mandub (sunnah)
4. Makruh
5. Mubah
Hal ini karena seruan Syaari' (Allah) bisa berupa tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan; atau tuntutan
meninggalkan suatu perbuatan; atau memberikan pilihan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu
75
perbuatan. Dan tuntutan tersebut ada yang bersifat pasti, dan ada yang tidak pasti. Jika tuntutan
mengerjakan itu bersifat pasti maka akan menjadi fardlu; dan jika tuntutan itu tidak pasti maka akan menjadi
hukum mandub. Sedangkan jika tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan bersifat pasti, maka
hukumnya haram. Tetapi bila sifatnya tidak pasti, maka hukumnya makruh. Adapun tuntutan yang
memberikan alternatif untuk mengerjakan suatu per buatan atau meninggalkannya, maka hukumnya
menjadi mubah.
Jelaslah bahwa hukum syara' itu hanya ada lima macam, yaitu fardlu, haram, mandub, makruh, dan
76
22. SERUAN DAN BENTUK KALIMAT PERINTAH
Kaum muslimin dalam kehidupan ini diwajiban berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Perintah dan larangan Allah ini terpancar melalui lisan/ucapan Rasulullah saw yang tercantum dalam Al
Qur'an dan Sunnah. Kemudian dari kedua sumber itu digali (diistimbath) hukum-hukum dan apa-apa yang
layak dijadikan sebagai sumber hukum di samping Al Qur'an dan Sunnah, yaitu Ijma sahabat dan Qiyas.
Hukum-hukum ini diambil dari perintah dan larangan yang tercantum dalam Al Qur'an dan Sunnah.
Sedangkan perintah yang terdapat dalam Kitab dan Sunnah tidak selalu berbentuk kalimat perintah, melain-
kan tersusun dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu suatu kesalahan jika orang menduga bahwa arti dari
perintah Allah adalah bahwa Allah memerintahkan sesuatu dalam bentuk "if'al!", yakni kata perintah yang
menyerukan mengerjakan sesuatu. Tetapi, yang sebenarnya adalah bahwa Allah dalam memerintahkan
sesuatu, ada yang berbentuk perintah, ada pula dalam bentuk-bentuk lainnya. Misalnya, ketika Allah
berfirman:
"Menunaikan (ibadah) haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah" (QS Ali Imran: 97).
Meskipun bukan dalam bentuk perintah, kedua ayat tersebut di atas menunjukkan adanya perintah
Allah. Berbeda halnya dengan perintah Allah dalam ayat-ayat berikut ini. "Dirikanlah shalat" (QS
Al Baqarah 110)
"Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah
77
Dalam kedua ayat tersebut seruan Allah diberikan dalam bentuk perintah.
Jadi perintah Allah adalah seruan Allah kepada hambaNya untuk melakukan suatu perbuatan, baik
seruan tersebut tersusun dalam bentuk perintah atau dalam bentuk kalimat berita. Tidak bisa dikatakan
bahwa suatu hal/perbuatan tidak wajib karena belum ditemukan suatu nash yang memerintahkannya dengan
alasan tidak tersusun dalam bentuk kalimat perintah, tetapi hanya tersusun dalam bentuk kalimat berita saja.
Begitu juga tidak benar bila dikatakan bahwa suatu perkara menjadi wajib karena tersusun dalam bentuk
kalimat perintah. Sebab kadang-kadang suatu perkara menjadi wajib, padahal tidak tersusun dalam bentuk
kalimat perintah, dan sebaliknya suatu perkara tidak wajib, padahal tersusun dalam bentuk kalimat perintah.
Karena yang dimaksud "perintah" adalah seruan untuk melakukan sesuatu tanpa memandang bentuk
kalimat yang digunakannya, sebab suatu perintah tidak selamanya dibatasi dalam bentuk kalimat perintah.
78
23. FARDLU KIFAYAH MERUPAKAN KEWAJIBAN ATAS SETIAP
MUSLIM
Fardlu merupakan seruan Syaari' (Allah dan RasulNya) yang berkaitan dengan tuntutan yang
bersifat pasti untuk melakukan suatu perbuatan, contohnya seperti firman Allah SWT:
"Berangkatlah kamu sekalian dengan perasaan ringan atau berat, dan berjihadlah di jalan Allah"
"Barangsiapa yang mati dan tidak ada bai'at di atas pundaknya (kepada khalifah), maka ia telah mati
Semua nash-nash tersebut diatas berupa seruan Syaari' yang berkaitan dengan tuntutan untuk
melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang bersifat pasti. Adapun yang menentukan tuntutan itu
bersifat pasti adalah adanya qarinah (indikasi) yang berkaitan dengan tuntutan tersebut, sehingga tuntutan
Hukum fardlu tidak akan gugur dalam kondisi apapun sampai perbuatan yang diwajibkan itu
terlaksana. Sedangkan orang yang meninggalkan perbuatan fardlu, maka ia akan mendapatkan siksa. Ia
79
tetap berdosa selama belum melaksanakannya. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara fardlu 'ain
dengan fardlu kifayah, semuanya adalah fardlu untuk seluruh kaum muslimin.
Namun demikian semua itu adalah fardlu, yang telah ditetapkan oleh seruan Syaari' (Allah dan
Rasul) dan berkaitan dengan tuntutan yang bersifat pasti untuk melakukan suatu perbuatan.
Oleh karena itu, setiap usaha yang bertujuan untuk memisahkan antara fardlu 'ain dengan fardlu
kifayah dilihat dari sisi sama-sama sebagai suatu kewajiban adalah suatu perbuatan dosa kepada Allah SWT
dan dapat menyesatkan dari jalan Allah, serta merupakan suatu ajakan keliru untuk mengabaikan
Akan halnya dari segi gugurnya suatu kewajiban atas orang-orang yang diwajibkan menunaikannya,
maka antara fardlu 'ain dan fardlu kifayah juga tidak ada perbedaan. Suatu (perbuatan) fardlu tidak akan
gugur kewajiban pelaksanaannya hingga kewajiban tersebut ditunaikan sebagaimana yang dituntut oleh
syara'. Sama saja, apakah tuntutan itu ditujukan untuk setiap kaum muslimin (fardlu 'ain), seperti halnya
shalat lima waktu, atau ditujukan kepada seluruh kaum muslimin (fardlu kifayah) seperti halnya bai'at
kepada khalifah. Semua ini tidak akan gugur kecuali bila perbuatan itu dilaksanakan, dengan kata lain
sampai shalat itu ditunaikan, dan telah terwujud adanya khalifah sehingga terlaksana bai'at kepadanya
(khalifah yang terpilih). Dengan demikian kewajiban fardlu kifayah tidak akan gugur atas setiap kaum
muslimin, apabila hanya ada sebagian saja yang berusaha untuk melaksanakannya, sampai fardlu tersebut
terealisir secara nyata. Oleh karena itu setiap kaum muslimin tetap memikul dosa selama pelaksanaan
Dengan demikian merupakan kesalahan apabila dikatakan bahwa fardlu kifayah adalah suatu
kewajiban yang apabila sebagian kaum muslimin telah berusaha melaksanakannya, gugurlah kewajiban
tersebut bagi yang lain. Akan tetapi fardlu kifayah adalah suatu kewajiban yang apabila sebagian kaum
muslimin telah (berhasil) menunaikannya, maka gugurlah kewajiban tersebut bagi yang lainnya. Sehingga
gugurnya kewajiban tersebut adalah sesuatu yang nyata, sebab perbuatan yang dituntut tersebut telah
ditunaikan, dan terlaksana sehingga tidak ada lagi tanggungan. Inilah yang dimaksud dengan fardlu kifayah
80
Oleh karena itu, sesungguhnya mendirikan Daulah Islamiyah adalah kewajiban atas seluruh kaum
muslimin. Dengan kata lain, diwajibkan atas setiap muslim. Kewajiban ini tidak akan gugur/hilang atas
seorang muslim manapun, hingga Daulah Islamiyah berdiri. Jika sebagian kaum muslimin telah berusaha
mendirikan Daulah Islamiyah, tidak berarti kewajiban itu telah gugur bagi siapa saja dari kaum muslimin,
selama Daulah Islamiyah belum berdiri. Kewajiban itu tetap dibebankan kepadatas setiap muslim dan
mereka tetap berdosa sampai Daulah Islamiyah berdiri. Dan dosa itu tidak akan gugur, hingga seorang
muslim terlibat langsung dalam usaha untuk mendirikan Daulah Islamiyah secara terus menerus, sampai
berdirinya daulah.
Demikian juga halnya dengan jihad terhadap penjajah Perancis1 di Aljazair yang merupakan
kewajiban untuk seluruh kaum muslimin. Ketika penduduk Aljazair bangkit untuk melawan Perancis, tidak
berarti kewajiban tersebut telah gugur atas setiap kaum muslimin, hingga pasukan Perancis dapat diusir
Begitulah halnya setiap fardlu kifayah tetap menjadi kewajiban atas setiap muslim, dan tidak akan
gugur kewajiban tersebut sampai perbuatan yang dituntut itu benar-benar telah terwujud dan terlaksana
dengan sempurna.
1 Buku ini diterbitkan pada tahun 1958 pada saat Perancis masih menjajah Aljazair.
81
24. PENENTUAN HUKUM-HUKUM IBADAH SEMATA-MATA DARI
SISI ALLAH
Ibadah merupakan puncak taqdis yang paling tinggi dan merupakan hal yang fithri dalam diri
manusia. Sebab, ibadah adalah manifestasi dari naluri beragama. Dalam aktifitas ibadah, akal manusia
berpadu dengan perasaannya agar dia beribadah kepada Dzat yang memang patut disembah, yaitu Al
Khaliq, dan supaya perasaan wijdan (perception intern) tidak tersesat dengan menyembah sesuatu yang
sebenarnya tidak patut disembah, atau keliru (caranya) dalam mendekatkan diri kepada Al Khaliq dengan
suatu cara yang justru menjauhkan dariNya. Maka peranan aqal dalam ibadah adalah suatu keharusan,
Adapun mengenai tata cara bagaimana makhluq beribadah kepada Al Khaliq, maka hal ini berada
di luar jangkauan akal manusia dan akal tak akan pernah mampu memahaminya, karena tata cara ibadah
ini berupa seperangkat hukum-hukum yang harus dikerjakan manusia ketika beribadah kepada Allah.
Dengan kata lain merupakan aturan yang mengatur hubungan antara makhluq dengan Al Khaliq, hubungan
hamba dengan yang disembahnya. Aturan ini jelas tidak mungkin berasal dari makhluq, sebab makhluq
sama sekali tidak mungkin mengetahui hakekat Al Khaliq, sehingga dapat mengatur hubungan denganNya.
Juga karena makhluq tidak mampu memahami DzatNya, sehingga bisa menentukan tata cara beribadah
kepadaNya.
Itulah sebabnya mustahil bagi manusia untuk menetapkan hukum-hukum yang mengatur ibadah
antara dia dengan Khaliqnya berdasarkan aqalnya, begitu pula yang mengatur hubungannya dengan Khaliq
yaitu yang menyangkut bagaimana mensucikanNya. Sebab untuk membuat peraturan diperlukan
jangkauan aqal terhadap hakekat (Dzat) Khaliq. Hal ini mustahil dicapai oleh manusia, dan mustahil pula
manusia dapat menentukan hukum-hukum ibadah yang bertolak dari pandangan aqalnya saja.
Berdasarkan hal ini maka aturan-aturan ibadah harus berasal dari Khaliq, bukan dari makhluq.
Yaitu berasal dari Dzat yang disembah, bukan dari hamba. Jadi hukum-hukum tentang ibadah harus berasal
dari Allah SWT semata, bukan dari manusia. Dan manusia tidak memiliki peran apapun dalam hal ini
meskipun sedikit, karena mustahil bagi manusia dapat menentukannya. Disamping itu aturan-aturan
tersebut harus disampaikan Al-Khaliq kepada seluruh makhluq (manusia) agar ia dapat beribadah sesuai
dengan aturan-aturan yang telah dibuatNya. Dengan demikian kebutuhan manusia terhadap para Rasul
yang menyampaikan hukum-hukum ibadah kepada mereka adalah suatu hal yang pasti, mengingat manusia
82
mustahil menetapkan aturan-aturan itu, sedangkan aturan-aturan tersebut hanya boleh berasal dari Allah
SWT semata.
Ada orang-orang yang mengatakan bahwa manusia tidak membutuhkan aturan-aturan yang
berkaitan dengan ibadah, dan mereka mampu melakukan ibadah tanpa aturan apapun. Karena ibadah
adalah puncak tertinggi dari taqdis, maka menurut mereka manusia bisa saja melakukan sekehendaknya
sendiri, sebab bukankah ibadah merupakan manifestasi dari gharizah tadayyun yang hanya memerlukan
pemuasan belaka. Jadi ia dapat memenuhi kebutuhan beribadah tersebut dengan cara apapun. Dan apa
manifestasi dari berbagai jenis gharizah harus menggunakan aturan terhadap perbuatan-perbuatan tersebut.
Sebab tanpa adanya aturan, pasti akan mendatangkan kekacauan dan akan terjadi pemenuhan yang salah
dan menyimpang. Keduanya bertentangan dengan tujuan penciptaan gharizah itu sendiri. Misalnya saja
naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenis manusia (gharizatun nau') yang memerlukan
pemenuhan. Jika tidak ada aturannya maka manusia akan memuaskan kebutuhan tersebut dengan caranya
sendiri. Hal ini mengakibatkan terjadinya penyimpangan dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang tidak
pada tempatnya (seperti homoseks, lesbian). Ini berarti menghilangkan kecenderungan terhadap lawan
jenis yang menjadi tujuan adanya gharizatun nau'. Bisa juga pemenuhan itu berlangsung pada tempatnya
tetapi tujuannya salah (seperti 'mencampuri' wanita yang bukan istrinya). Hal ini jelas mengalihkan
pandangan dari tujuan pemenuhan kebutuhan seksual yaitu mendapatkan anak. Perbuatan semacam itu
akan mengurangi jumlah keturunan, bahkan bisa menghilangkannya sama sekali. Hal ini akan mengalihkan
perasaan/naluri dari keberadaan dan tujuannya yaitu untuk mengembangkan dan melestarikan jenis
manusia. Oleh karena itu sangat dibutuhkan peraturan yang mengatur naluri tersebut.
Demikian pula halnya dengan naluri beragama. Harus ada aturan bagaimana cara melakukan
(pemuasan) taqdis, yang tidak lain adalah ibadah. Jika tidak, maka manusia akan berusaha melakukan suatu
perbuatan taqdis yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pemenuhan taqdis dengan
mensucikan sesuatu yang tidak layak dan tidak pada tempatnya ditaqdiskan. Misalnya, ia mensucikan api
yang dianggapnya sebagai Tuhan, atau mensucikan patung kurma (roti) buatan sendiri (yang setelah
disembah) kemudian dimakannya (kebiasaan Arab Jahiliyah dimasa lalu). Berarti ia telah mengalihkan
gharizah kepada selain Pencipta, padahal taqdis itu sendiri berupa perasaan lemah/pasrah dan
membutuhkan kepada Yang Maha Kuasa. Dengan demikian taqdis semacam itu justru bertentangan dengan
83
Banyak manusia melakukan taqdis untuk sekedar memenuhi kebutuhannya tanpa mendalami arti
sesungguhnya dari taqdis itu sendiri. Misalnya dengan menyembah patung berhala yang dianggapnya
sebagai jelmaan Tuhan, atau jika ia mensucikannya dianggapnya telah mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Ini berarti telah terjadi usaha pengalihan hasil pemenuhan taqdis yaitu sampainya rasa syukur
makhluq kepada Dzat Yang layak dipuji dan menerima rasa syukur beralih kepada sesuatu yang tak layak
dipuji, yaitu berhala. Hal ini menunjukkan telah terjadi pengalihan gharizah dari keberadaan dan tujuan
gharizah itu sendiri, yaitu kecenderungan manusia mensucikan Pencipta Yang Maha Kuasa.
Berdasarkan hal ini maka manusia memerlukan seperangkat aturan yang mengatur gharizah
tadayyun sebagaimana pada gharizatun nau'. Hanya bedanya pada gharizatun nau' terdapat kemungkinan
bagi manusia menentukan aturan-aturan berdasarkan akalnya untuk memenuhi manifestasi gharizah
tersebut. Sebab gharizah ini berkenaan dengan hubungan antar sesama manusia, sehingga bisa saja manusia
merekayasa aturannya, sekalipun tidak mungkin mampu membuat aturan yang sempurna, sebab manusia
Sedangkan pada gharizah tadayyun, manusia tidak mungkin sama sekali menentukan aturan-aturan
untuk memenuhi manifestasi gharizah tersebut berdasarkan akalnya. Sebab gharizah ini berkaitan dengan
hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta Yang Maha Kuasa, yang tidak mungkin dapat dijangkau
Oleh karena itu tidak mungkin manusia mampu mengatur hubungannya dengan Khaliqnya. Dengan
demikian aturan-aturan/hukum-hukum ibadah sudah selayaknya datang dan berasal dari Allah semata,
84
25. KEKUATAN ROHANI MEMILIKI PENGARUH PALING BESAR
Dorongan untuk melakukan suatu perbuatan pada manusia tergantung pada kekuatan yang dimilikinya.
Semakin besar kekuatan yang dimiliki, semakin kuatlah dorongan untuk berbuat sesuatu. Demikian juga,
ukuran keberhasilan perbuatannya, tergantung pada ukuran kekuatan yang dimilikinya. Manusia memiliki
1). Kekuatan materi atau fisik yang meliputi tubuh dan sarana-sarana yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhannya.
2). Kekuatan moral/jiwa yang berupa sifat-sifat mental yang selalu dicari dan ingin dimiliki oleh
seseorang.
3). Kekuatan Rohani yang terbentuk dengan adanya kesadaran atau perasaan akan hubungannya
Ketiga jenis kekuatan tersebut mempunyai dampak atau pengaruh terhadap manusia untuk
melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi, besar-kecilnya pengaruh tiga jenis kekuatan tersebut berbeda satu
sama lain. Diantara ketiga jenis kekuatan tadi, kekuatan materi mempunyai dampak atau pengaruh yang
paling lemah, sedangkan kekuatan moral mempunyai dampak yang lebih besar dari kekuatan fisik. Adapun
kekuatan rohani mempunyai pengaruh atau dampak yang paling besar dibandingkan kekuatan-kekuatan
lainnya terhadap perbuatan manusia. Sebab kekuatan materi yang terdapat dalam kekuatan jasmani atau
sarana-sarana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya, akan memberikan dorongan pada keinginan
pemiliknya untuk memuaskan syahwat/keinginannya sesuai dengan ukuran kekuatan yang ditentukannya,
tidak lebih dari itu. Kadangkala, bahkan tidak memberikan dorongan sama sekali untuk melakukan suatu
perbuatan, meskipun kekuatan itu terdapat dalam dirinya, sebab pemiliknya memang tidak membutuhkan
perbuatan itu. Oleh karena itu, kekuatan ini memiliki dorongan yang terbatas. Keberadaannya tidak
Sebagai contoh, disaat akan memerangi musuhnya, manusia tentu akan mempertimbangkan
kekuatan fisik/jasmaninya dan berusaha mencari sarana-sarana fisik atau materi. Jika ia merasa telah
memiliki kekuatan yang cukup (kekuatan jasmani/senjata) untuk berperang melawan musuhnya, maka
berangkatlah ia menuju medan perang. Sebaliknya, bila ia merasa bahwa kekuatannya tidak cukup untuk
menghadapi musuh, maka ia pun akan mundur dan kembali, urung melawan mereka.
85
Kadang kala seseorang merasa telah memiliki cukup kekuatan yang dapat menghancurkan
musuhnya, akan tetapi tiba-tiba muncul kekhawatiran padanya bahwa musuh mendapat bantuan kekuatan
yang jauh lebih besar dari kekuatan yang dimilikinya, yang menimbulkan rasa takut dan gentar melawan
musuhnya; atau ia memandang lebih baik mengerahkan tenaganya untuk kesejahteraan diri atau
Memerangi musuh, adalah suatu tindakan yang biasa dilakukan oleh manusia. Tetapi, jika ia
menyandarkan hal itu pada kekuatan materi saja, maka daya "dorong"nya terbatas, sikapnya dipenuhi
keraguan, jika ia dihadapkan pada hal-hal yang dapat membangkitkan rasa takut dan khawatir, sementara
Sedangkan kekuatan moral berbeda dengan kekuatan fisik/materi. Kekuatan moral timbul dari
dalam jiwa. Pada mulanya, ia mendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan, kemudian berusaha
mewujudkan kekuatan yang cukup untuk melakukan perbuatan tersebut, yang dapat melampaui batas-batas
kekuatan yang dimilikinya. Kadang-kadang kekuatan moral ini memberikan dorongan yang lebih besar
kepada manusia dibandingkan dengan kekuatan materi yang sudah dimilikinya. Tetapi kadang-kadang ia
menerima kekuatan moral meskipun belum maksimal. Namun demikian, dalam berbagai kondisi, kekuatan
moral lebih banyak memberikan dorongan berbuat dibandingkan dengan kekuatan materi.
Misalnya saja seseorang yang ingin memerangi musuh untuk membebaskan diri dari dominasi
musuhnya, untuk membalas dendam atau mendapatkan penghargaan, untuk membela yang lemah maupun
untuk tujuan-tujuan lainnya, maka ia akan lebih semangat berperang, dibandingkan dengan seseorang yang
ingin melakukan peperangan sekedar untuk mendapatkan harta rampasan perang atau untuk menjajah, atau
Sebab, kekuatan moral merupakan dorongan yang muncul dari dalam yang berkaitan erat dengan
mafhum yang dimiliki manusia yang lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan mafahim yang muncul dari
naluri (rasa takut dalam peperangan). Dorongan menuntut adanya pemenuhan, dan mendorong pula
munculnya kekuatan untuk mendapatkan sarana-sarana demi terpenuhinya kebutuhan tersebut, sehingga
mampu mengalahkan mafahim yang muncul dari naluri dan menggunakan kekuatan materi yang
dimilikinya. Dengan demikian, maka kekuatan moral lebih dominan dibandingkan dengan kekuatan
materi. Kita telah menyaksikan bagaimana negara-negara di dunia senantiasa berusaha menanamkan
kekuatan moral kepada para prajurit, disamping berupaya menyempurnakan dan mempercanggih kekuatan
86
Adapun kekuatan rohani adalah suatu kekuatan yang memberikan pengaruh yang paling besar pada
diri manusia dibandingkan dengan kekuatan moral ataupun kekuatan materi. Sebab, kekuatan rohani lahir
dari kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah SWT sebagai pencipta segala sesuatu, termasuk
Pencipta segala kekuatan. Kesadaran dan perasaan akan hubungannya dengan Allah SWT ini, baik yang
muncul dari proses berfikir ataupun yang muncul dari perasaan yang timbul dari dalam (naluri)
menghasilkan dorongan kepada manusia sesuai dengan apa yang dituntut oleh Allah SWT dan tidak
tergantung pada kekuatan-kekuatan yang dimiliki atau yang berhasil dihimpunnya. Kekuatan ini hanya
bergantung pada tuntutan dan seruan Allah SWT, apakah jenis tuntutan itu, apakan sesuai dengan kadar
kemampuannya, lebih besar, atau lebih kecil dari kadar kemampuannya. Kadang-kadang tuntutan itu
berupa penyerahan hidupnya dan mengorbankan nyawanya, atau mungkin berupa sesuatu yang akan
mempertaruhkan nyawanya. Ia pun akan melakukannya, walaupun tuntutan Allah tersebut lebih besar
dibanding kekuatan yang dimiliki atau mampu diusahakannya. Dari sini terlihat bahwa kekuatan rohani
memberikan dorongan dan pengaruh terbesar diantara kekuatan-kekuatan lain pada diri manusia. Tetapi,
jika kekuatan rohani muncul dari perasaan yang timbul dari naluri semata, maka dikhawatirkan ia akan
mengalami kemunduran atau perubahan, karena dilindas oleh perasaan lain atau dialihkan secara keliru
pada perbuatan-perbuatan lain yang tidak menjadi sasaran dorongannya. Oleh karena itu kekuatan rohani
ini harus berupa kesadaran dan perasaan yang berdasarkan keyakinan akan hubungannya dengan Allah
SWT. Saat itu, menjadi kokohlah kekuatan tersebut dan senantiasa memberikan dorongan (yang dinamis)
Seandainya dalam diri seseorang telah menghujam kekuatan rohani, maka kekuatan moral tidak
akan berpengaruh apa-apa karena manusia saat itu akan terdorong oleh kekuatan rohani bukan kekuatan
moral. Apabila ia memerangi musuh, maka ia tidak melakukan peperangan untuk mencari harta rampasan
atau kemasyuran setelah mendapat kemenangan. Dia melakukan peperangan karena hal itu semata-mata
perintah Allah. Tidak peduli, apakah akan mendapatkan harta rampasan atau tidak, akan dikenal orang atau
tidak, sebab ia melakukannya hanya sekedar menjalankan perintah Allah, sedangkan kekuatan materi hanya
Demikianlah, Islam telah menjadikan kekuatan rohani sebagai kekuatan pendorong dalam berbuat
bagi seorang muslim, walaupun penampakannya berupa kekuatan materi atau moral. Islam menjadikan
kekuatan rohani sebagai satu-satunya dasar bagi kehidupan, yakni menjadikan aqidah Islam sebagai
landasan kehidupan, halal dan haram sebagai tolak ukur perbuatan, serta mencapai keridloan Allah sebagai
tujuan dari segala tujuan (ghayatul ghayah). Disamping itu, dengan menjadikan kekuatan rohani sebagai
87
dasar kehidupan, berarti setiap amal perbuatannya, baik kecil atau besar senantiasa dikaitkan dengan
perintah dan larangan Allah SWT, serta dibangun berdasarkan kesadarannya akan hubungannya dengan
Allah SWT yang disertai dengan perasaan dan keyakinannya, adalah dasar tegaknya kehidupan seorang
muslim. Ia adalah kekuatan yang mampu mendorong untuk berbuat sesuatu, baik perbuatan itu kecil
ataupun besar. Ia merupakan spirit yang mendasari seluruh aspek perbuatan manusia dalam kehidupan.
Kadar kekuatan kesadaran dan perasaan akan hubungannya dengan Allah SWT, menentukan seberapa
besar kekuatan rohani yang dimilikinya. Oleh sebab itu, setiap muslim wajib menjadikan kekuatan rohani
sebagai harta simpanan yang takkan sirna, dan rahasia mencapai keberhasilan dan kemenangan.
88
26. JIHAD DIWAJIBKAN ATAS SEGENAP KAUM MUSLIMIN
Jihad adalah upaya mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan peperangan di jalan Allah,
baik secara langsung atau dengan cara membantu dalam sektor keuangan, menyampaikan pendapat (tentang
jihad), atau menggugah semangat. Perang untuk menegakkan kalimatullah inilah yang disebut sebagai
"jihad". Adapun jihad dengan menyampaikan pendapat, dapat dijelaskan sebagai berikut: jika pendapat
yang diberikan itu berkaitan langsung dengan salah satu peperangan. Misalnya, menentukan strategi
peperangan atau memberikan suatu pendapat yang berkaitan dengan strategi tersebut, dan lain sebagainya,
usaha-usaha tersebut dapt dimasukkan dalam istilah jihad. Akan halnya menyampaikan pendapat tentang
keadaan musuh, tidaklah termasuk jihad. Akan tetapi menyampaikan pidato di hadapan tentara untuk
memberi semangat, atau menulis artikel untuk mengarahkan perang, maka hal itu termasuk dalam kategori
jihad. Jika tujuannya selain dari usaha-usaha di atas maka tak dapat dikategorikan sebagai jihad.
Jadi, arti "jihad" adalah khusus untuk perang, atau yang berkaitan langsung dengan urusan
peperangan. Para mujahid adalah orang-orang yang terjun dalam peperangan secara langsung.
Hukum jihad adalah fardlu kifayah, berdasarkan mash-nash Al Qur'an dan Hadits. Sebagaimana
firman Allah:
"(Dan) perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah (syirik) lagi dan (sehingga) agama itu hanya
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang
benar, yaitu orang-orang yang diberi al Kitab (Taurat dan Injil) kepada mereka sampai mereka membayar
jizyah sedangkan mereka dalam keadaan tunduk (kepada hukum-hukum Islam)" (QS At Taubah: 29)
"Hai orang-orang yang beriman perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu (negara-negara
tetangga Daulah Islam) itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, serta ketahuilah bahwa
89
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan
(balasan) memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itulah menjadi) janji yang benar dari Allah (yang tercantum) dalam Taurat, Injil, dan Al Qur'an.
Dan siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang
telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar" (QS At Taubah 111)
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mengucapkan 'Laa ilaaha illallah'".
"Perjalanan yang dilakukan pada pagi dan sore hari yang digunakan untuk berperang fisabillillah
Jihad yang dimulai oleh kaum muslimin hukumnya adalah fardlu kifayah. Tetapi dalam keadaan
adanya serangan musuh, maka ia menjadi fardlu 'ain. Yang dimaksud dengan fardlu kifayah dalam berjihad
adalah memulai peperangan, sekalipun musuh belum melakukan serangan. Jika tidak ada sorang pun
disuatu masa yang memulai peperangan, maka berdosalah seluruh kaum muslimin.
Sebagai contoh, jihad yang dilakukan oleh penduduk Mesir atau Iraq tidak akan gugur bagi
penduduk India atau Indonesia. Namun demikian, jihad itu diwajibkan pertama kali kepada penduduk yang
terdekat dengan musuh, sampai kekuatan untuk melakukan peperangan dianggap cukup untuk menghadapi
musuh. Apabila kekuatan mereka belum mencukupi kecuali dengan bangkitnya seluruh kaum muslimin,
maka jihad menjadi fardlu 'ain atas setiap muslim. Usaha ini sama dengan tindakan mendirikan Daulah
Islamiyah yang menjadi kewajiban atas segenap kaum muslimin. Jika sebagian kaum muslimin telah
berhasil mendirikannya, maka gugurlah kewajiban tersebut. Akan tetapi, dosa karena melalaikan kewajiban
mendirikan daulah Islamiyah itu tidak akan gugur, sebelum daulah itu tegak. Jika kaum muslimin belum
90
berhasil mendirikannya, maka kewajiban itu tetap akan berlaku atas seluruh kaum muslimin sampai jumlah
kaum muslimin yang mengusahakannya dianggap cukup untuk menegakkannya, yakni dengan berhasilnya
mendirikan daulah Islamiyah. Demikianlah halnya dengan jihad. Selama musuh belum terusir, maka
kewajiban itu tetap ada bagi seluruh kaum muslimin sampai betul-betul berhasil mengusir musuh. Dari sini
timbul kesalahan tentang definisi fardlu kifayah di kalangan para fuqaha' yang mengatakan bahwa, jika
sebagian kaum muslimin telah berusaha melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban itu bagi yang lain.
Dengan definisi ini berarti jika penduduk Aljazair telah berusaha memerangi Perancis, maka kaum
muslimin yang lain bebas dari kewajiban jihad, baik pasukan Perancis itu sudah diusir ataupun belum dari
bumi Aljazair. Sebab hal ini sesuai dengan definisi mereka tersebut di atas. Yakni jika sebagian telah
berusaha mengerjakan kewajiban tersebut, yaitu jihad, maka gugurlah kewajiban itu bagi yang lain. Ini
adalah kesalahan yang tidak ada lagi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin (tentang wajibnya
jihad), sejak masa Rasulullah saw sampai hari ini. Pendapat ini pun bertentangan dengan nash-nash qath'iy
dalam Al Qur'an yang menyebutkan adanya kewajiban jihad sampai musuh dapat ditundukkan/dikalahkan.
Nash-nash Al Qur'an mengenai hal ini bersifat qath'iy dalam menjadikan jihad melawan pasukan
Perancis sebagai fardlu kifayah atas segenap kaum muslimin, bukan hanya atas penduduk Aljazair saja.
Jika penduduk Aljazair tengah berjihad, bukan berarti kewajiban itu gugur atas penduduk Mesir, Iraq, dan
lain-lain. Hal itu tetap menjadi kewajiban atas mereka dan mereka tetap berdosa jika meninggalkan
kewajiban itu, sampai pasukan Perancis betul-betul dapat diusir dari bumi Aljazair.
Oleh karena itu, definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha tentang fardlu kifayah adalah keliru.
Definisi yang benar adalah bahwa fardlu kifayah itu tetap dianggap wajib yang tidak akan gugur, sampai
terwujudnya apa yang dituntut oleh fardlu tersebut. Apabila telah terwujud, maka gugurlah kewajiban itu.
Mendirikan Daulah Islamiyah merupakan kewajiban atas segenap kaum muslimin. Jika suatu
gerakan seperti misalnya Hizbut Tahrir telah berusaha mewujudkannya, tidak berarti kewajiban itu menjadi
gugur atas kaum muslimin lainnya. Tugas ini tetap menjadi kewajiban atas setiap kaum muslimin, sampai
Daulah itu benar-benar berdiri. Dosa karena melalikan tugas ini juga tidak akan gugur, kecuali atas orang-
orang yang terlibat langsung dalam usaha mewujudkannya. Sedangkan yang tidak turut terlibat di
Demikian halnya dengan jihad melawan pasukan Perancis di Aljazair atau melawan pasukan Inggris
di Oman. Semua itu merupakan kewajiban atas segenap kaum muslimin. Apabila penduduk Aljazair berji-
had melawan pasukan Perancis atau penduduk Oman berjihad melawan pasukan Inggris, kewajiban itu
91
tidak gugur atas kaum muslimin yang lainnya. Ia tetap menjadi kewajiban atas setiap kaum muslimin,
sampai pasukan Perancis dan Inggris berhasil diusir. Dosa karena melalaikan kewajiban itupun hanya gugur
atas penduduk Aljazair atau Oman yang melakukan jihad. Sementara kaum muslimin yang lain tetap
berdosa.
Dewasa ini, kaum kafir penjajah masih menguasai sebagian negeri-negeri Islam. Dengan demikian,
jihad merupakan kewajiban atas segenap kaum muslimin. Mereka tetap akan berdosa, karena melalaikan
kewajiban itu, sampai seluruh negeri-negeri Islam bersih dari penguasa-penguasa kafir (negara-negara
Barat). Kemudian, kaum muslimin memulai langkah memerangi musuh-musuh mereka. Jika usaha ini
berhasil, maka gugurlah kewajiban itu dari kaum muslimin lainnya. Apabila belum berhasil, maka
kewajiban itu tetap ada atas segenap kaum muslimin. Mereka berdosa jika meninggalkannya, walaupun
sebagian kaum muslimin lainnya tengah melakukan jihad, sementara sasaran jihad itu sendiri belum
menjadi
92
27. KEDUDUKAN DO'A DI DALAM ISLAM
Do'a adalah permohonan seorang hamba kepada Tuhannya. Do'a merupakan aktivitas ibadah yang
paling agung. Imam Tirmidzi telah meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Anas ra:
Terdapat banyak riwayat dari Nabi saw yang menganjurkan dan mendorong seseorang untuk
"Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah, selain daripada do'a" (HR Ibnu Majah dari Abu
Hurairah).
"Siapa saja yang tidak mau memohon (sesuatu) kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya"
"Mintalah kepada Allah akan kemurahanNya, karena sesungguhnya Allah senang apabila dimintai
(sesuatu)"
"Sesungguhnya do'a itu dapat memberi manfaat (bagi pelakunya) untuk sesuatu yang telah terjadi
dan yang belum terjadi. Maka wahai hamba Allah, lakukanlah do'a itu" (HR Tirmidzi dari Ibnu Umar).
"Tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini yang berdo'a kepada Allah, kecuali akan
dikabulkan do'anya, atau dijauhkan suatu keburukan/musibah yang serupa" (HR Tirmidzi dan Hakim dari
"Tidak ada seorang muslim pun yang berdo'a dengan do'a yang tidak mengandung dosa dan
memutus hubungan silaturrahmi, kecuali Allah akan memberikan kepadanya satu diantara tiga hal:
93
dikabulkan do'anya; ditangguhkan hingga hari kiamat; atau dijauhkan dari suatu keburukan/musibah yang
Semua hadits diatas menunjukkan adanya keharusan berdo'a yang berupa permohonan hamba
kepada Tuhannya untuk mendapatkan sesuatu. Dalam Al Qur'an terdapat banyak ayat yang menunjukkan
"(Dan) Tuhanmu berfirman: 'Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Aku kabulkan bagimu" (QS. Al
Mukmin 60).
"(Dan) apabila hamba-hambaKu bertanya tentang Aku, maka (Jawablah) bahwasanya Aku dekat.
Aku kabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia berdo'a kepadaKu" (QS. Al Baqarah 186).
"Atau, Siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a
kepadaNya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah
"(Malaikat-malaikat) yang memikul Arasy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertastih
memuji Tuhannya dan mereka beriman kepadaNya serta memintakan ampunan bagi orang-orang yang
beriman (seraya mengucapkan): 'Ya Tuhan kami, rahmat ilmuMu meliputi segala sesuatu. Maka, ampunilah
orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalanMu, dan peliharalah mereka dari siksa api neraka yang
menyala-nyala. Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga-surga 'Adn yang telah Engkau
janjikan kepada mereka bersama orang-orang yang shaleh diantara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri
mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Allah SWT telah memerintahkan kita agar berdo'a kepadaNya, juga telah menjelaskan bahwa hanya
Dialah yang dapat mengabulkan do'a, bukan yang lain. Allah juga memaparkan bahwa sebagian dari do'a
94
dilakukan oleh malaikatNya. Maka, Allah menganjurkan kepada setiap muslim agar berdo'a kepadaNya,
baik disaat sempit ataupun lapang, di dalam hati maupun terang-terangan, sehingga ia memperoleh pahala
dari Allah.
Berdo'a itu lebih baik daripada diam atau berserah diri. Hal ini berdasarkan banyaknya dalil yang
menunjukkan, juga karena berdo'a adalah menifestasi dari kepatuhan dan ketundukan kepada Allah SWT.
Akan tetapi, patut diketahui bahwasanya do'a tidak dapat merubah sesuatu yang termasuk ilmu-Allah; tidak
dapat menolak qadla; tidak dapat mencabut qadar serta tidak dapat menghasilkan sesuatu di luar sebabnya.
Karena ilmu Allah adalah ketetapan pasti, qadla Allah adalah suatu kenyataan dan pasti terjadi, kalau saja
qadla dapat ditolak oleh do'a, tentu tidak ada qadla. Dan qadarpun telah diciptakan oleh Allah, sehingga ia
tidak bisa dicabut oleh do'a. Allah telah menciptakan hukum sebab-akibat, dijadikanNya sebab dapat
melahirkan musabab (akibat) dengan pasti. Jika tidak menghasilkan musabab tertentu, berarti ia bukan
sebab. Oleh karena itu, tidak boleh dijadikan keyakinan bahwa do'a itu adalah jalan satu-satunya untuk
memenuhi kebutuhan, sekalipun misalnya Allah SWT mengabulkannya sehingga kebutuhan seseorang
terpenuhi. Sebab, Allah telah menciptakan aturan-aturan untuk manusia, alam semesta, dan kehidupan, di
mana ketiganya tunduk pada aturan-aturan itu. Allahpun mengikatkan sebab dengan musabab. Sehingga
do'a tidak memiliki pengaruh untuk merubah aturan-aturan Allah, atau keluar dari hukum sebab-akibat yang
telah dibuatNya.
Tujuan berdo'a tidak lain semata-mata untuk memperoleh pahala dari Allah, sebagai pelaksanaan
dari perintahNya. Do'a adalah satu diantara jenis-jenis ibadah, sama dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti
shalat, shaum, zakat, dan sebagainya. Maka, seorang mu'min tentu akan berdo'a kepada Allah dan meminta
kepada Allah untuk dipenuhi kebutuhannya, atau untuk menjauhkannya dari rasa sedih, atau hal-hal lainnya
yang berkaitan dengan urusan duniawi atau akhirat. Do'a dilakukan sebagai bukti ketundukkan kepada
Allah dan usaha manusia untuk mendapatkan pahala dari Allah, sekaligus melaksanakan perintah-
perintahNya. Apabila kebutuhannya terpenuhi, maka itu adalah anugerah dari Allah. Pemenuhan itu pun
sesuai (sejalan) dengan aturan-aturan Allah serta berjalan di atas dasar-dasar peraturan sebab-akibat. Jika
Berdasarkan penjelasan tadi do'a bagi seseorang muslim, hendaknya merupakan tanda ketundukan
kepada Allah, sebagai pelaksanaan perintahNya, dan usaha memperoleh pahala dari Allah SWT. Sama saja
apakah permohonannya terpenuhi atau tidak. Boleh saja seorang muslim berdo'a dengan bentuk do'a apapun
yang dikehendakinya; baik di dalam hati, diucapkan melalui lisan, atau dengan kalimat apapun, dan ia tidak
terikat dengan bentuk do'a tertentu. Ia boleh berdo'a dengan do'a-do'a yang tercantum dalam Al-Qur'an,
95
hadits, dengan bentuk redaksinya sendiri-sendiri atau dengan mengambil do'a yang berasal dari orang lain.
Yang penting, ia dituntut untuk berdo'a kepada Allah. Namun demikian yang lebih utama, tentulah bentuk
96
28. HUKUM PIDANA, SANKSI DAN PELANGGARAN DI DALAM
ISLAM
Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum uqubat (hukum pidana, sanksi, dan pelanggaran)
dalam peraturan Islam sebagai "pencegah" dan "penebus". Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah
manusia dari tindakan kriminal; dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim
Keberadaan uqubaat dalam islam yang berfungsi sebagai pencegah, telah ditetapkan dalam nash Al
"Dalam qishash (hukuman mati) itu ada kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal" (QS
Al Baqarah: 179)
Yang dimaksud dengan firman Allah "Dalam qishash itu ada kehidupan" sebagai akibat penjatuhan hukum
qishash adalah melestarikan kehidupan, dan yang dimaksud bukan berarti melestarikan hidup orang yang
dijatuhi hukuman qishash. Sebab bagi dia, yang ada adalah kematian, bukan kehidupan. Kehidupan itu
hanya bagi orang-orang yang menyaksikan hukuman qishash tersebut. Pada umumnya, bagi orang-orang
yang berakal, tidak akan berani melakukan pembunuhan, jika ia mengetahui apabila membunuh orang lain,
maka akibatnya ia akan dibunuh. Demikian pula halnya dengan semua bentuk pencegahan.
Namun demikian hukuman uqubaat tidak boleh dijatuhkan kecuali terhadap para pelaku kejahatan
(tindakan kriminal). Sebab, arti keberadaannya sebagai pencegah, adalah mencegah manusia agar tidak
Yang dimaksud dengan tindak kriminal, adalah suatu perbuatan yang tercela; dan yang dikatakan
tercela, adalah karena syara' memandangnya sebagai perbuatan tercela. Oleh karena itu, suatu perbuatan
tidak dapat dikatakan sebagai tindak kriminal, kecuali jika syara' telah menentukannya dengan nash sebagai
perbuatan tercela, maka barulah dianggap sebagai tindakan kriminal. Tindak kriminal tidak ada dalam
fithrah manusia; dan bukan termasuk sesuatu yang berasal dari keturunan (genetis); juga, bukan termasuk
penyakit yang diderita oleh manusia (sebagaimana yang dianut ilmu/teori psikologi). Tindak kriminal
adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap tata aturan yang mengatur perbuatan manusia.
Manusia diciptakan oleh Allah, dan dalam dirinya diciptakan pula naluri-naluri dan berbagai
kebutuhan jasmani. Naluri-naluri dan kebutuhan jasmani tersebut adalah suatu potensi (yang
menggerakkan) semangat hidup dalam diri manusia. Ia berfungsi sebagai penggerak usaha manusia untuk
97
memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Jadi, manusia melakukan semua tindakannya, adalah untuk
memuaskan kebutuhan hidupnya. Membiarkan pemuasan terhadap kebutuhan tanpa terikat dengan aturan,
tentu akan menyebabkan kekacauan, kerusakan, dan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan
menyimpang.
Allah SWT telah mengatur tata cara pemuasan naluri-naluri dan kebutuhan-kebutuhan jasmani
manusia, dan mengatur perbuatan manusia tersebut melalui hukum-hukum syara'. Syari'at Islam telah
menjelaskan pemecahan terhadap seluruh perbuatan manusia dalam garis-garis besar yang telah ditentukan
yaitu Al Qur'an dan Sunnah. Garis-garis besar tersebut telah dijadikan sebagai sumber hukum untuk setiap
kejadian yang muncul dalam kehidupan manusia, sehingga dari garis-garis besar tersebut dapat digali
hukum bagi setiap perbuatan manusia. Syari'at Islam telah menetapkan hukum halal dan haram terhadap
segala sesuatu yang digunakan oleh manusia. Oleh karena itu, syara telah datang dalam bentuk perintah
dan larangan, serta mewajibkan kepada manusia untuk melaksanakan setiap perintah Allah dan menjauhi
setiap laranganNya. Jika manusia melanggar perintah dan larangan tersebut, berarti ia telah melakukan
perbuatan tercela atau melakukan tindak kriminal; baik pelanggaran tersebut berupa pengabaian perintah
atau mengerjakan hal-hal yang terlarang. Dalam kedua kondisi tersebut, ia dianggap telah melakukan tindak
kriminal, sehingga harus dijatuhi hukuman terhadap tindakan tersebut, agar manusia melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi laranganNya. Sebab, tanpa adanya hukuman setiap pelanggar, maka perintah dan
larangan tersebut tidak akan memiliki arti apa-apa. Perintah apapun yang menuntut mengerjakan sesuatu,
tak akan memiliki nilai jika tak ada balasan bagi pelanggarnya yang mengabaikan perintah tersebut berupa
hukuman, baik perintah itu berkenaan dengan tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu
perbuatan.
Syari'at Islam telah menjelaskan, bahwa pelaku tindakan-tindakan kriminal akan mendapat
hukuman, di dunia maupun di akhirat. Hukuman di akhirat, akan dijatuhkan oleh Allah terhadap para
pelakunya. Allah akan mengazhab mereka pada hari kiamat, sebagaimana dijelaskan dalam firman-
firmanNya:
"Orang-orang yang berbuat kejahatan dapat dikenal dari tanda-tandanya. Maka direnggutlah mereka
"Bagi orang yang kafir disediakan neraka jahanam" (QS Al Fathir: 36)
98
"Begitulah keadaan mereka, dan sesungguhnya bagi orang-orang durhaka, disediakan tempat
kembali yang buruk. Yaitu neraka jahanam yang mereka masuk ke dalamnya, maka amat buruklah jahanam
"Sungguh kami sediakan bagi orang-orang kafir, rantai-rantai/ belenggu-belenggu dan neraka yang
Allah SWT telah menjelaskan hukaman-hukuman itu secara gamblang dalam Al Qur'an. Siksaan-siksaan
itu benar-benar merupakan suatu kenyataan, sebab tercantum dalam ayat-ayat yang pasti sumbernya
(qath'iyatuts tsubut) dan pasti penunjukan maknanya (qath'iyatud dalalah). Sebagaimana yang tercantum
"Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, supaya mereka diseret ke dalam air yang
"Maka tidak ada seorang teman pun baginya pada hari ini disini, dan tidak ada makanan kecuali
darah bercampur nanah, dan tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa"
"Sesungguhnya orang-orang jahat berada dalam kesesatan (di dunia) dan berada di neraka (di
akhirat), yaitu pada hari dimana mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kapada mereka):
"(Dan golongan kiri itu) ada dalam siksaan angin yang amat panas dan air yang mendidih serta
99
"....dan kamu memakan pohon zaqqum, dan perutmu akan penuh dengannya; dan kamu akan
meminum air mendidih. Kamu meminumnya seperti onta yang kehausan" (QS Al Waqi'ah: 52-55)
"(Dan) dia mendapatkan hidangan berupa air mendidih dan dilemparkan ke neraka jahim" (QS Al
Waqi'ah: 93-94)
"Sekali-kali tidak. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak dan mengelupaskan kulit
"(Allah memerintahkan), Ambil dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya, kemudian lemparkan
ke dalam neraka jahim, dan belitlah dia dengan rantai sepanjang tujuh puluh hasta" (QS Al Haaqqah: 30-
33)
"Setiap kulit mereka hangus, maka Kami ganti kulit mereka dengan kulit lain, supaya mereka
Demikianlah, banyak ayat-ayat yang menjelaskan azab Allah secara pasti dengan gaya bahasa yang
merupakan mukjizat. Jika manusia mendengarnya, tentu mereka akan merasa ngeri disertai rasa takut.
Mereka akan menganggap enteng semua siksa di dunia dan seluruh kesulitan materiil, tatkala
membayangkan bagaimana pedih dan ngerinya azab di akhirat. Mereka takkan berani melanggar perintah
dan larangan Allah, kecuali jika mereka melupakan kengerian azab akhirat tersebut.
Demikianlah siksaan yang akan ditimpakan di akhirat. Adapun siksaan/hukuman di dunia, Allah
telah menjelaskannya dalam Al Qur'an dan Hadits, baik secara global maupun terperinci. Dan Allah SWT
telah memberikan wewenang pelaksanaan hukuman tersebut kepada negara. Jadi, hukuman dalam Islam
yang telah dijelaskan pelaksanaannya terhadap para penjahat di dunia ini, dilaksanakan oleh Imam
(khalifah) atau wakilnya (hakim), yaitu dengan menerapkan sanksi-sanksi yang dilakukan oleh Daulah
Islamiyah, baik yang berupa had, ta'zir dan atau kafarat (denda). Hukuman yang dijatuhkan oleh daulah di
dunia ini akan menggugurkan siksaan di akhirat terhadap si pelaku kejahatan. Sehingga, hukuman uquubaat
tersebut bersifat sebagai pencegah dan penebus, yaitu akan mencegah manusia dari perbuatan dosa atau
melakukan tindakan kriminal, sekaligus berfungsi sebagai penebus siksaan di akhirat nanti, sehingga
100
Sebagai dalil, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ubadah bin Ash-Shamit, yang
"Kalian berbai'at kepadaKu untuk tidak mennyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, tidak
berzina, tidak membunuh anak-anamu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri, dan tidak
bermaksiyat dalam kebaikan. Siap saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja
yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia, maka hukuman itu akan menjadi penebus baginya. Dan
siapa saja melanggarnya kemudian Allah menutupinya (tidak sempat dihukum di dunia), maka urusaan itu
diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak, maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak,
maka akan memaafkannya." Lalu ('Ubadah bin Ash Shamit melanjutkan:) kamipun membai'at Rasul saw
Dari sini jelaslah, bahwa hukuman di dunia yang dijatuhkan oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya
(Hakim) terhadap dosa tertentu, akan mengugurkan siksaan di akhirat. Oleh karena itulah banyak kaum
muslimin yang datang kepada Rasulullah saw untuk mengakui kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan,
agar beliau menjatuhkan hukuman atas mereka di dunia, sehingga mereka terbebas dari azab Allah di hari
kiamat nanti. Mereka menahan sakitnya hukuman Had dan qishash di dunia, sebab hal itu jauh lebih ringan
101
29. NALURI BERAGAMA
Di dalam diri manusia terdapat suatu potensi hidup (dorongan/ semangat) yang senantiasa
mendorong melakukan kegiatan serta menuntut pemuasan. Potensi tersebut memiliki dua bentuk
manifestasi:
Yang pertama menuntut adanya pemenuhan yang bersifat pasti, jika tidak terpenuhi maka manusia dapat
binasa. Inilah yang dinamakan 'Kebutuhan jasmaniah' (haajatul 'udluwiyah) seperti makan, minum dan
membuang hajat; Yang kedua menuntut adanya pemenuhan saja, tetapi jika tidak dipenuhi manusia tidak
akan mati, melainkan akan merasa gelisah, hingga terpenuhinya kebutuhan tersebut. Inilah yang dinamakan
naluri (gharizah).
Dari segi munculnya dorongan (tuntutan pemuasan), naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani.
Sebab dorongan kebutuhan jasmani bersifat internal (misalnya, orang ingin makan karena lapar, dan ini
tidak memerlukan dorongan dari luar). Sedangkan naluri, sesungguhnya yang mendorong atau yang
melahirkan suatu perasaan yang menuntut pemenuhan, dapat berupa: pemikiran-pemikiran tentang sesuatu
yang dapat mempengaruhi perasaan, atau berupa suatu kenyataan yang dapat diindera yang mendorong
perasaan untuk memenuhinya. Naluri untuk mengembangkan/ melestarikan jenis misalnya, bisa dirangsang
karena memikirkan atau melihat seorang wanita cantik atau segala sesuatu yang berkaitan dengan seks.
Apabila rangsangan-rangsangan itu tidak ada, maka naluripun tidak akan muncul. Contoh lain adalah naluri
beragama yang dapat muncul dengan adanya pemikiran-pemikiran mengenai ayat-ayat (tanda kebesaran
ciptaan) Allah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengaruh-pengaruh suatu naluri akan nampak ketika ada sesuatu
yang merangsangnya. Pengaruh naluri ini tidak akan muncul apabila tidak ada hal-hal yang merangsangnya
atau apabila terjadi pengalihan terhadap hal-hal yang merangsang dengan menafsirkannya secara keliru
sehingga menimbulkan persepsi yang dapat menghilangkan ciri asalnya (yang biasanya merangsang
naluri).
Naluri beragama merupakan naluri yang tetap ada dalam diri manusia. Sebab naluri ini merupakan
perasaan membutuhkan kepada Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang mengaturnya, tanpa memandang
siapa yang dianggap Sang Pencipta tersebut. Perasaan ini bersifat fithri yang selalu ada selama ia menjadi
manusia. Baik ia (orang yang) beriman terhadap Khaliq atau ia kufur terhadapNya namun beriman kepada
materialisme dan naturalisme. Perwujudan perasaan ini dalam diri setiap manusia bersifat pasti (harus
muncul). Sebab, perasaan ini tercipta sebagai salah satu bagian dari penciptaan manusia, sehingga tidak
102
mungkin memisahkannya atau menghilangkannya dari diri manusia. Itulah yang disebut tadayun (perasaan
beragama).
Adapun perwujudan dari tadayyun adalah adanya perasaan taqdis (pensucian) terhadap Sang
Pencipta Yang Maha Kuasa, atau terhadap segala sesuatu yang digambarkannya sebagai penjelmaan dari
Sang Pencipta. Kadang kala 'taqdis' itu terwujud dalam bentuk yang hakiki (sempurna), sehingga menjadi
suatu 'ibadah'. Tetapi terkadang terwujud pula dalam gambaran/bentuk yang sederhana, sehingga hanya
Taqdis adalah penghormatan setulus hati yang paling tinggi. Yaitu penghormatan yang bukan
berasal dari rasa takut, tetapi berasal dari perasaan tadayyun. Sebab taqdis bukan merupakan manifestasi
dari rasa takut. Manifestasi dari rasa takut tidak lain adalah kegelisahan, pelarian, atau usaha untuk membela
diri. Hal ini jelas bertentangan dengan hakekat (kenyataan) 'taqdis'. Dengan demikian 'taqdis' adalah
Berdasarkan penjelasan di atas maka rasa beragama terpisah dengan gharizatul baqa' (naluri untuk
mempertahankan diri) yang salah satu bentuk perwujudannya adalah rasa takut. Oleh karena itu selalu dida-
pati, bahwa setiap manusia sebenarnya "beragama" semenjak Allah SWT menciptakannya; dan setiap
manusia pasti menyembah sesuatu. Ada yang menyembah matahari, planet-planet, api, berhala, atau
menyembah Allah SWT. Tidak pernah ditemui pada satu masa pun atau pada umat, dan bangsa manapun
kecuali mereka senantiasa menyembah sesuatu. Bahkan pada bangsa yang diperintah oleh penguasa yang
diktator, yang memaksa mereka melepaskan agamanya sekalipun, mereka tetap beragama dan menyembah
sesuatu, meskipun harus melawan kekuatan yang menguasainya serta rela menanggung siksaan yang
dideritanya agar dapat menjalankan ibadah tersebut. Oleh karena itu tidak ada satu kekuatan pun yang
mampu mencabut rasa beragama dari diri manusia, atau menghilangkan usaha 'taqdis' terhadap Al Khaliq,
atau mencegah manusia beribadah. Yang mungkin dilakukan hanya meredamnya untuk sementara waktu.
Sebab, ibadah adalah perwujudan alami dari rasa beragama yang merupakan salah satu naluri (yang ada)
Adapun yang tampak pada sebagian orang atheis, dengan tidak melakukan ibadah atau dengan
mengolok-olok ibadah, sebenarnya mereka telah mengalihkan perwujudan naluri beragama dari ibadah
kepada Allah SWT menjadi ibadah kepada makhluk-makhlukNya dan diwujudkan kepada alam nyata, para
pahlawan, atau terhadap sesuatu yang dianggap agung (super) dan lain sebagainya. Di sini mereka telah
melakukan kekeliruan besar dan penafsiran yang salah terhadap sesuatu dengan mengalihkan tadayyun itu
103
sendiri. Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah difahami, sebenarnya kufur itu lebih sulit dari pada iman,
sebab kekufuran itu merupakan usaha pengalihan manusia dari fitrahnya, dan pengalihan fitrah tersebut
dari perwujudannya yang hakiki. Yang mana hal itu memerlukan usaha yang keras. Adalah amat sulit
104
30. PENGERTIAN TAQDIS
Taqdis (pensucian), adalah tingkat penghormatan setulus hati yang paling tinggi, yang dapat
dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain atau kepada suatu benda. Taqdis dapat muncul akibat adanya
dorongan perasaan manusia yang disertai dengan mafaahim (yang tumbuh dari naluri manusia). Kadang-
kadang taqdis juga muncul akibat adanya dorongan pemikiran yang disertai dengan perasaan yang
Taqdis terhadap berhala atau manusia super (tokoh-tokoh fiksi) adalah termasuk golongan yang
pertama, yakni timbul dari perasaan yang disertai dengan mafaahim (yang tumbuh dari naluri manusia)
tentang ketuhanan atau sesuatu yang dianggap agung. Sedangkan taqdis terhadap Allah, dengan cara
melakukan ibadah, tunduk dan pasrah terhadap hukum-hukumNya, termasuk yang terakhir, yaitu berasal
dari hasil pemahaman akal bahwasanya Allah adalah satu-satunya Dzat yang patut disembah; atau
bahwasanya hukum-hukum tersebut berasal dari Allah, sehingga mewajibkan adanya sikap pasrah dan
tunduk padanya. Dalam dua tindakan taqdis tersebut, dorongan yang muncul dalam diri manusia disertai
dengan perasaan naluri beragama (gharizah tadayyun), yaitu adanya perasaan lemah dan membutuhkan
Taqdis adalah sesuatu yang fithri dalam diri manusia, dan merupakan hasil manifestasi dari naluri
beragama yang memiliki berbagai bentuk pengejawantahan. Bentuk tertinggi berupa ibadah. Bentuk-
bentuk taqdis lain misalnya adanya ketundukan, kekhusyu'an, tindakan merendahkan diri, ataupun tindakan
Perasaan manusia dapat digerakkan oleh taqdis dengan goncangan yang lemah atau kuat sesuai
dengan mafaahim yang terikat dengan perasaan tersebut. Mafaahimlah yang menentukan tata cara taqdis,
Oleh karena itu bisa saja terjadi kesalahan dalam mengalihkan taqdis dari sesuatu kepada sesuatu
yang lain, atau mengalihkan pentaqdisan dari Al-Khaliq kepada pentaqdisan makhluk. Kadangkala,
kesalahan dapat terjadi dalam tata cara taqdis. Seperti, seseorang yang mencium Al-Qur'an dan
menganggap bahwa ia telah mensucikan Al-Qur'an. Padahal, tindakan dan ucapannya bertentangan dengan
apa yang ia sucikan (Al-Qur'an); misalnya orang itu telah menyentuhnya tanpa berwudlu, atau ia
menyatakan bahwa Al-Qur'an sudah tidak layak lagi di masa kini. Jadi, dia melakukan taqdis terhadap Al-
Qur'an dengan cara menciumnya, walaupun tindakannya tersebut bertentangan dengan nash Al-Qur'an yang
105
"Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci (dari hadats kecil atau hadats besar)" (QS. Al
Waaqi'ah: 79).
Atau, ia pun telah kufur akibat ucapannya yang menyatakan bahwa AlQur'an sudah tidak layak lagi.
Berdasarkan hal ini, memang ada kemungkinan untuk menghilangkan atau mengalihkan taqdis dari
sesuatu kepada sesuatu yang lain; atau dengan memutarbalikkan fakta bahwa hanya amal perbuatan seseo-
rang saja yang merupakan taqdis, sedangkan yang lainnya tidak berkaitan dengan taqdis; atau menganggap
perbuatan lain tidak bertentangan dengan taqdis. Hilangnya/beralihnya taqdis terjadi karena kesalahan
yang muncul akibat perubahan mafaahim. Dan hal ini sangat mudah terjadi pada kebanyakan manusia,
terutama pada orang-orang yang sikap taqdisnya muncul dari dorongan perasaan. Sebab mereka itu mudah
sekali mengubah mafaahim yang terikat dengan perasaan tersebut karena pada umumnya mafaahim tersebut
berasal dari naluri manusia yang bersifat pasrah (taslimiyah) dan mudah sekali hilang. Adapun taqdis yang
lahir dari dorongan berpikir yang disertai dengan perasaan dan menggerakkan pemikiran tersebut sulit
sekali menghilangkannya. Dan kalaupun mungkin hal ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan pemikiran yang lebih tinggi serta pandai dalam berhujjah, meskipun ia akan menghadapi
perlawanan keras, sebelum mampu menghilangkan/merubah pemahamannya. Oleh karena itu, taqdis harus
muncul dari dorongan berpikir yang disertai dengan perasaan, sehingga akan menjadi taqdis yang kokoh,
Taqdis yang dilakukan oleh seorang muslim, kedudukannya sama seperti aqidah, yang harus muncul
dari akal. Taqdis tersebut dilakukan karena dorongan dari aqidah yang merupakan aqidah aqliyah
(keyakinan yang muncul setelah melalui proses berpikir, bukan kepercayaan yang membabi-buta --pent.).
Atas dasar hal ini harus dilakukan penetapan, siapa yang harus melakukan taqdis, dan siapa yang harus
disucikan. Disamping itu, jika telah ditetapkan adanya sesuatu yang wajib disucikan, maka di sini taqdis
harus dilakukan tanpa harus diperdebatkan lagi setelah ditetapkan keabsahannya, kecuali dalam keadaan
adanya upaya meyakinkan orang lain untuk mensucikan sesuatu yang patut disucikan, sebab menerima
adanya perdebatan dan pembahasan dalam masalah ini, setelah (sebelumnya) ditetapkan kebenaran taqdis
tersebut, berarti sikap tersebut bertentangan dengan taqdis (yang telah ada dalam diri manusia). Seperti
halnya sikap menerima perdebatan dan pembahasan terhadap aqidah, setelah (sebelumnya) dipastikan
kebenaran aqidah, berarti sikap tersebut bertentangan dengan aqidah yang sudah ada. Yang harus dilakukan
adalah meninggalkan pembahasan dalam aqidah ataupun taqdis dari cara filsafat (perdebatan) ke suatu
106
perkara yang telah pasti kebenarannya (aksioma) disertai dengan ketundukkan. Begitu pula harus
melakukan perubahan dalam taqdis dari sekedar pembahasan filsafat menjadi suatu kebiasaan yang muncul
secara otomatis. Jika tidak, maka tidak mungkin suatu aqidah dapat terkonsentrasi dalam diri seseorang,
selama ia masih melakukan perdebatan dalam masalah ini. Juga tidak akan muncul dorongan taqdis
Dengan akalnya, kaum muslimin telah menyadari bahwa melakukan taqdis kepada Allah adalah
suatu tindakan beribadah kepadaNya yang dilakukan dengan cara mentaati perintah-perintahNya, dan
menjauhi larangan-laranganNya, serta tunduk dan pasrah terhadap apa pun yang tercantum dalam
Kalamullah yaitu Al-Qur'anul Karim. Mereka pun menyadari (dengan akalnya) bahwa mensucikan Nabi
Muhammad saw adalah dengan bersifat ta'dzim dan memuliakan beliau dalam setiap kondisi dan keadaan.
Hal itu dilakukannya dengan menundukkan diri dan pasrah total terhadap apa yang terbukti kebenarannya
dari hadits beliau dengan menganggap bahwa semua itu adalah wahyu dari Allah.
Oleh karena itu, taqdis terhadap Al-Qur'an dan Hadits Nabi dilakukan (pula) dengan pemikiran
yang disertai dengan perasaan yang digerakkan oleh pemikiran tersebut. Al-Qur'an dan Hadits memang
harus disucikan, kemudian apa yang disucikan dijadikan suatu hal yang pasti kebenarannya dan tidak lagi
menerima perdebatan atau dijadikan pembahasan di kalangan orang-orang yang sudah sangat memahami
keharusan taqdis terhadapnya. Apabila seseorang berusaha mengalihkan taqdis dari Hadits Rasul saw, dan
semata-mata mentaqdiskan Al-Qur'an saja, maka hal seperti ini tidak dapat diterima, dan ia terjerumus
dalam kekufuran. Atau ia mensucikan Al-Qur'an dengan cara menciumnya saja tetapi menganggap bahwa
Dengan demikian taqdis harus dilakukan dengan penuh pengagungan, ketundukan dan kepasrahan
secara total dan menyeluruh serta tidak menerima pembahasan/perdebatan lagi kecuali dalam keadaan
Manusia, dilihat dari segi keberadaannya sebagai manusia, diciptakan secara fitri memiliki
kecenderungan untuk mentaqdiskan sesuatu. Tidak mungkin ia dapat menghilangkan kecenderungan untuk
mensucikan sesuatu yang ada dalam dirinya, meskipun mungkin saja dapat ditekan atau dialihkan. Aqidah
aqliyah yang dipeluk oleh kaum muslimin, telah memberikan ketentuan siapa yang harus melakukan taqdis
dan siapa yang harus disucikan. Manusia diciptakan secara fitri memiliki kecenderungan untuk
mentaqdiskan sesuatu. Bagi kaum muslimin, akal telah menentukan apa yang seharusnya disucikan dan
bagaimana cara mensucikannya. Sama sekali manusia tidak akan mampu mematikan/menghilangkan
107
taqdis. Sebab hal itu telah menjadi satu kesatuan (bagian yang tak terpisahkan) dari proses penciptaannya
sebagai manusia.
Kaum muslimin tidak boleh meninggalkan taqdis terhadap sesuatu yang telah diwajibkan
mensucikannya, karena termasuk kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Islam. Akan tetapi
musuh-musuh Islam telah menyusupkan berbagai kekeliruan yang dapat menghilangkan taqdis terhadap
sesuatu yang telah diperintahkan oleh Islam untuk mensucikannya. Mereka pun telah mengubah arti taqdis
terhadap sesuatu, setelah mereka menemui kesulitan untuk menghilangkan taqdis itu sama sekali (dari
benak kaum muslimin). Oleh karena itu, adalah suatu kewajiban atas orang-orang yang sadar dari kalangan
kaum muslimin untuk menjadikan taqdis bersumber dari aqidah Islam yang disertai dorongan berpikir,
kemudian mengalihkan taqdis tersebut menjadi suatu perkara yang telah pasti kebenarannya. Sehingga
setiap muslim memiliki kemampuan menempati satu posisi dalam suatu celah dari sekian banyak celah
108
31. RASA TAKUT
Rasa takut adalah satu bentuk manifestasi naluri mempertahankan diri (Gharizatul Baqa'). Rasa
takut pasti ada dalam diri manusia, karena merupakan bagian dari penciptaannya dan secara fitri ada
kekuasaan, membela diri, kasih sayang dan sebagainya, bahkan juga seperti manifestasi naluri-naluri
lainnya yakni naluri beragama (Gharizatut Tadayyun), atau naluri mengembangkan dan melestarikan jenis
(Gharizatun Nau'), maka manifestasi inipun tidak akan muncul kecuali jika ada sesuatu yang
mempengaruhinya. Jika tidak ada sesuatu yang mempengaruhinya, maka rasa takut ini tidak akan muncul.
Seperti halnya dengan hal-hal yang mempengaruhi munculnya gharizah-gharizah yang lain, maka
hal-hal yang dapat mempengaruhi rasa takut ini dapat merupakan sesuatu yang sifatnya fisik atau bisa pula
berupa pemikiran yang berkaitan dengan naluri tersebut, dengan syarat keduanya merupakan sesuatu yang
biasanya menakutkan atau bisa juga hanya sekedar perasaan yang muncul dari dalam terhadap sesuatu yang
menakutkan.
Apabila tidak terdapat pemikiran maupun perasaan tentang sesuatu yang menakutkan, tentu tidak
dapat mendatangkan rasa takut. Karena pada dasarnya naluri tidak akan tergerak atau terpengaruh
potensinya kecuali jika ada perpaduan antara perasaan takut dengan pemikiran atau dengan identifikasi
yang berdasarkan naluri (tidak berdasar pertimbangan akal). Oleh karena itu rasa takut ini tidak muncul
pada diri manusia, kecuali jika ada sesuatu yang mempengaruhinya, sekalipun merupakan hal yang fitri
Rasa takut termasuk salah satu masalah kehidupan yang berbahaya yang mendominasi bangsa-
bangsa atau umat yang rendah dan lemah, yang pada gilirannya akan menimbulkan kehinaan dan
keterbelakangan bangsa atau umat tersebut. Apabila rasa takut ini menimpa seseorang, maka akibatnya
lenyaplah kelezatan hidup dan keluhuran budi pekerti orang tersebut, disamping menimbulkan kekacauan
berpikir dan hilangnya kemampuan untuk memutuskan sesuatu, yang pada akhirnya menghilangkan
Rasa takut yang paling berbahaya adalah rasa takut yang berasal dari suatu bayangan/ilusi atau
sesuatu yang diada-adakan (hantu). Dimana hal ini tidak mungkin terjadi kecuali pada orang-orang yang
akalnya lemah, baik kelemahan itu karena tidak sempurnanya perkembangan akal seperti anak-anak, atau
karena tidak adanya informasi yang memadai yang dihubungkan dengan realita, seperti orang-orang yang
109
bodoh atau orang-orang yang mengalami keterbatasan informasi karena keterbatasannya di dalam
masyarakat seperti yang terjadi pada kebanyakan wanita. Ataupun mereka yang secara fitri lemah otaknya,
seperti orang-orang yang cacat mental dan idiot atau yang serupa dengan mereka.
Cara memecahkan rasa takut orang-orang seperti mereka ini adalah dengan mengajak mereka
berfikir secara mendalam dan menyederhanakan sesuatu yang dapat memberikan kemudahan berpikir
terhadap mereka, atau dengan merasionalkan apa yang mereka takuti itu menjadi sesuatu yang realistis dan
dapat mereka indera. Dengan cara ini mereka mampu menjauhkan rasa takut baik dihilangkan sama sekali
maupun secara bertahap sampai sisa-sisanya yang masih ada dalam diri manusia dapat dihilangkan.
Ada pula rasa takut yang lebih rendah bahayanya dari rasa takut yang berasal dari ilusi. Rasa takut
ini merupakan hasil dari tidak adanya kemampuan mengidentifikasi sesuatu secara benar. Seperti seseorang
yang melihat sesuatu yang mungkin menakutkan tetapi mungkin juga tidak. Misalnya ia melihat seekor
anjing mendengkur, tapi dikiranya sebagai anjing gila hanya karena ia pernah melihat anjing gila serupa
itu. Maka iapun takut melewati jalan tempat anjing itu berada dan berusaha menghindarinya. Akan tetapi
kalau orang itu cermat menelitinya tentu ia akan tahu bahwa anjing itu adalah anjing jinak yang lagi tidur
dan tidak menakutkan, bahkan tidak merasakan kalau ada yang lewat. Contoh lain seseorang yang melihat
seekor singa terkurung di dalam sangkar. Ia takut mendekati sangkar itu karena khawatir jangan-jangan
singa itu akan keluar dari sangkarnya. Ketika dilihatnya singa itu mangaum meraung-raung, maka rasa
takutnya pun semakin menjadi-jadi, karena ia mengira singa itu benar-benar telah keluar dari sarangnya.
Kesalahan dalam mengidentifikasi sesuatu sering terjadi dalam hal-hal yang bersifat abstrak, seperti
rasa takut untuk menulis suatu makalah, menyampaikan khutbah; diskusi dengan seorang penguasa/pejabat
tinggi maupun tokoh masyarakat, karena khawatir akan membawa akibat buruk bagi dirinya.
Rasa takut lainnya yang cukup populer di tengah-tengah masyarakat adalah karena
ketidakmampuan membandingkan akibat antara mengerjakan sesuatu dengan bila tidak mengerjakannya,
yang mana keduanya bisa membawa bencana. Maka kesalahan dalam membandingkan hal ini akan
mengakibatkan rasa takut untuk turut melibatkan diri dalam suatu keadaan yang berbahaya. Misalnya rasa
takut untuk mengoreksi penguasa zhalim yang dapat menyeretnya (sebagai individu) dalam bencana.
Karena adanya rasa takut ini, maka seluruh umat ditimpa bencana (sebab kedzaliman tetap ada) termasuk
dirinya sendiri yang menjadi bagian dari umat. Begitu juga rasa takut seorang tentara kepada kematian di
tengah pertempuran. Akibat rasa takut ini seluruh pasukan akan binasa, padahal dirinya adalah salah
seorang dari pasukan tersebut. Juga seperti takutnya seseorang yang dipenjara bila mempertahankan aqidah
yang diyakini dan diembannya. Takut seperti ini dapat mengakibatkan hilangnya aqidah pada diri orang
110
itu. Suatu hal yang lebih menyakitkan daripada dipenjara. Rasa takut seperti ini sangat berbahaya bagi
umat. Sebab dapat membawa bencana, bahkan lebih dari itu akan membawa umat ke jurang kehancuran
dan kehinaan.
Hanya saja pada kondisi-kondisi tertentu rasa takut itu berguna dan bermanfaat, sehingga memang
harus ada dan diadakan. Bisa juga sebaliknya, kadangkala rasa takut bisa berbahaya dan membinasakan,
sehingga tidak boleh ada dan harus segera dihilangkan. Rasa takut terhadap bahaya yang memang benar-
benar membahayakan adalah sesuatu yang bermanfaat dan harus ada. Tiadanya rasa takut dalam kondisi
seperti ini atau karena meremehkannya adalah suatu hal yang membahayakan dan tidak boleh terjadi, baik
itu membahayakan individu ataupun seluruh ummat. Sebab rasa takut semacam ini berfungsi sebagai
penjaga dan pengekang. Oleh karena itu harus dijelaskan kepada umat terhadap bahaya yang akan
menimpanya, agar mereka selalu waspada dan berusaha membela diri serta menghilangkan bahaya tersebut.
Rasa takut kepada Allah dan adzabNya misalnya, adalah sesuatu yang penting dan wajib ada, karena
keduanya merupakan penjaga sekaligus pengekang. Oleh karena itu rasa takut kepada Allah itu harus
ditumbuh-kembangkan dalam jiwa, disertai penjelasan terhadap macam-macam Adzab Allah terhadap
orang yang berbuat maksiyat atau orang yang kufur, sehingga manusia akan mengikuti agama-Nya,
melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Rasa takut seperti ini dan yang
yang sejenisnya adalah penting dan bermanfaat serta harus ada, dan diupayakan keberadaannya karena
merupakan penjaga dan pengekang, sekaligus akan menjamin perjalanan manusia di jalan yang lurus.
Jelaslah bahwa sesungguhnya rasa takut adalah bagian dari fitrah manusia. Persepsi manusialah
yang menentukan apakah rasa takut itu akan membawa pengaruh dalam dirinya atau justru akan hilang dari
dirinya. Dari satu segi amat berbahaya bagi manusia, tetapi dari segi lain dapat membawa faedah yang
besar dalam kehidupannya. Agar manusia dapat menjauhkan bahaya yang menimbulkan rasa takut, dan
agar ia dapat menikmati manfaatnya, maka wajib bagi seorang manusia untuk menentukan satu persepsi
111
32. PEMIKIRAN DAN KESADARAN
Pemikiran, akal, dan kesadaran pengertiannya adalah sama dan merupakan nama-nama yang
berbeda untuk satu sebutan. Kadang-kadang digunakan kata pemikiran dan yang dimaksud adalah proses
berpikir. Dapat digunakan dengan maksud hasil pemikiran, yakni suatu yang telah sampai pada manusia
melalui suatu proses berpikir. Pemikiran dengan arti proses berpikir, tidak memiliki organ tubuh tertentu
yang dapat ditunjuk, melainkan merupakan suatu proses yang rumit yang melibatkan empat unsur yaitu:
fakta yang terindera, panca indera manusia, otak manusia, dan informasi sebelumnya yang berkaitan dengan
fakta tersebut dan dimiliki oleh manusia. Jika keempat unsur tersebut tidak terkumpul dalam suatu proses
Oleh karena itu, orang-orang terdahulu telah mengalami suatu kekeliruan dalam membahas hakekat
akal. Dimana mereka mencoba berusaha menentukan tempat keberadaannya, apakah ada di kepala, di hati,
atau tempat lainnya. Yang jelas mereka menduga, bahwa akal adalah suatu organ tertentu dalam tubuh,
atau bahwa akal itu memiliki organ tertentu yang bekerja secara aktif. Orang-orang modern pun telah
melakukan kekeliruan, tatkala menjadikan otak sebagai tempat bersemayamnya akal, sekaligus sebagai
pusat kesadaran, atau pemikiran. Baik mereka itu yang berpendapat bahwa pemikiran adalah refleksi otak
terhadap kenyataan ataupun yang mengatakan sebaliknya bahwa pemikiran adalah refleksi kenyataan ke
otak.
Sebab, otak adalah salah satu organ sebagaimana organ tubuh yang lain. Tidak ada suatu refleksi
apa pun yang terdapat padanya. Sebab yang dimaksud dengan refleksi adalah memantulnya cahaya pada
suatu benda atau memantulkan suatu benda yang di dalamnya terdapat kemampuan untuk direfleksikan;
yang disertai adanya cahaya. Misalnya, cahaya lampu listrik yang mengenai suatu benda dipantulkan
kembali oleh benda tersebut, sehingga tampaklah bersama-sama dengan cahaya itu. Demikian juga dengan
cahaya matahari, bulan dan cahaya-cahaya lainnya. Atau sampainya gambaran suatu benda pada cermin
disertai dengan adanya cahaya, maka terjadilah pemantulan cahaya, sehingga terjadi pemindahan gambar
benda itu pada cermin, dan terlihat sebagaimana adanya. Pantulan gambaran benda itu seolah-olah
tergambar di balik cermin (bayangan maya) sampai bisa dilihat. Padahal sebenarnya hal itu tidak tergambar
di sana. Yang terjadi adalah refleksi (pencerminan), sebagaimana refleksi cahaya terhadap benda apa saja.
Dalam proses berpikir, tidak terjadi suatu refleksi apapun, tidak menghasilkan suatu refleksi, dan
tidak ada refleksi kenyataan terhadap otak. Yang jelas di sini tidak ada suatu bentuk refleksi sama sekali.
112
Adapun mata yang disangka dengan perantaraannya dapat menimbulkan suatu refleksi, ternyata tidak
terjadi dan tidak menghasilkan apapun. Yang terjadi adalah suatu pencerapan. Sebab suatu benda yang
terlihat, tidaklah terpantul gambarnya keluar. Yang terjadi adalah suatu pencerapan dengan sampainya
gambaran benda tersebut. Jika gambaran benda yang tampak itu tercerap dan terdapat di bagian dalam
mata, maka terlihatlah benda itu. Tidak mungkin terjadi suatu pemantulan di bagian belakang mata, dan
tidak mungkin terjadi atau dihasilkan suatu pantulan. Dengan demikian, otak bukanlah tempat
bersemayamnya akal atau pemikiran. Yang sebenarnya terjadi adalah suatu perpindahan gambaran tentang
fakta yang terindera oleh otak melalui perantaraan indera manusia yang lain. Jenis "gambar" tersebut
tergantung pada indera yang memindahkannya. Bila indera yang digunakan adalah indera penglihatan
(mata), maka yang akan sampai adalah bentuk gambarnya. Jika yang digunakan adalah indera
pendengaran, maka yang akan sampai adalah "gambaran" suara. Dan jika yang digunakan adalah indera
penciuman, maka yang akan sampai adalah "gambaran" baunya, demikian seterusnya. Jadi fakta itu
tergambar sebagaimana yang sampai ke otak atau sesuai dengan gambar yang disampaikan. Dengan
demikian terjadinya suatu penginderaan terhadap fakta belaka, belum merupakan suatu pemikiran. Yang
terjadi hanyalah suatu identifikasi yang berasal dari naluri; apakah hal itu mengenyangkan, menyakitkan,
menggembirakan, memberi kenikmatan atau sebaliknya, dan lain sebagainya, tidak lebih dari itu. Di sini
Namun demikian, jika informasi sebelumnya berkaitan dengan fakta tersebut, di sini akan terjadi
jalinan. Maka daya ingat yang ada dalam otak manusia terhadap kenyataan yang diindera dan telah
tergambar dalam otak, maka terjadilah suatu proses berpikir, dan selanjutnya menghasilkan kesadaran
terhadap hakekat benda tersebut. Jika tidak ada informasi sebelumnya, maka tidak mungkin mengetahui
hakekat benda tersebut, yang ada hanyalah semata-mata penginderaan atau sekedar hanya identifikasi yang
berasal dari naluri --seperti apakah hal itu mengenyangkan atau tidak, tak lebih dari itu-- dan tidak akan
Dengan demikian, proses berpikir tidak akan berlangsung, kecuali dengan terwujudnya empat
unsur, yaitu: fakta yang diindera, satu atau beberapa alat indera, otak, dan informasi sebelumnya yang
berkaitan dengan benda yang diindera. Jika salah satu dari keempat unsur tadi tidak ada, maka sama sekali
tidak akan terjadi suatu proses berpikir. Usaha berpikir yang dilakukan tanpa adanya fakta yang diindera
atau tidak adanya informasi sebelumnya, adalah suatu khayalan/imajinasi yang tidak ada wujudnya, dan
bukan merupakan suatu pemikiran. Hanyut dalam khayalan dengan menjauhkan diri dari fakta yang
terindera atau informasi sebelumnya tentang masalah tersebut, akan menjerumuskan kepada ilusi dan
113
kesesatan. Bahkan mungkin akan menyebabkan kerusakan otak, sehingga tertimpa bencana tidak waras,
epilepsi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, haruslah terdapat fakta yang terindera dan informasi
Jadi pemikiran, akal dan kesadaran adalah penangkapan suatu kenyataan dengan perantaraan indera
ke otak disertai informasi sebelumnya tentang fakta tersebut yang berfungsi menafsirkannya. Dikatakan
penangkapan kenyataan bukan gambarnya. Sebab, yang ditangkap adalah pencerapan fakta, bukan
gambaran fakta tersebut seperti halnya gambar fotografi (potret) yang merupakan gambar suatu kenyataan
yang dapat diindera. Maka lebih tepat jika dikatakan sebagai penangkapan fakta, dari pada memindahkan
gambaran fakta. Sebab, gambar suatu yang ditangkap adalah pencerapan fakta bukan sekedar gambarnya.
Itulah definisi pemikiran, akal dan kesadaran. Proses ini terjadi dalam diri si pemikir yang
menghasilkan pemikiran, bukan yang menerima pemikiran. Sebab dalam diri orang yang menerima
pemikiran tidak berlangsung proses ini karena pemikiran itu telah ditemukan lalu menghilang. Kemudian,
si penemu itu memberikan kepada orang banyak, dan terus berpindah di kalangan manusia, yang kemudian
mereka ekspresikan dengan simbol-simbol bahasa atau simbol-simbol lainnya. Meskipun yang paling
Suatu pemikiran yang disampaikan kepada seseorang perlu dilakukan langkah-langkah peninjauan
sebagai berikut: Jika pemikiran tersebut memiliki fakta yang dapat diindera dan sebelumnya telah diindera
oleh orang tersebut, atau ia menginderanya pada saat menerima pemikiran itu; atau ia belum pernah
menginderanya baik sebelumnya atau saat ia menerima pemikiran itu, tetapi dapat membayangkan dalam
benaknya sebagaimana yang disampaikan kepadanya, lalu ia membenarkan dan menjadikannya fakta dalam
benaknya, seolah-olah telah mengindera dan menerimanya seperti fakta yang benar-benar terindera, maka
dalam dua keadaan seperti ini ia telah menyadarinya. Dengan adanya fakta tersebut, terbentuklah dalam
benaknya suatu persepsi (mafhum) dan menjadi suatu pemikiran yang nyata seolah-olah dia sendiri yang
menghasilkan pemikiran itu. Akan tetapi jika belum terdapat suatu kenyataan pada diri orang yang
menerimanya, kendati telah memahami rangkaian kalimat, pemikiran dan apa yang dimaksud dengan
pemikiran itu, namun pemikiran itu belum mempunyai fakta dalam benaknya, baik dengan menginderanya,
meyakininya, atau menerimanya maka ia hanya merupakan informasi (maklumat) belaka. Dengan kata lain
hanya sekedar pengetahuan tentang berbagai benda saja, sekalipun itu merupakan pemikiran, ditinjau dari
keberadaan unsur-unsurnya, tetapi bagi orang yang belum memahami realitanya tidak lebih dari sekedar
pengetahuan saja.
114
Oleh karena itu yang dapat berpengaruh pada diri manusia bukanlah informasi melainkan persepsi.
Sebab persepsi merupakan pemikiran-pemikiran dalam benak orang-orang yang memahaminya. Karena
itu, adalah suatu keharusan untuk mengetahui hakekat pemikiran agar dapat diketahui bagaimana pemikiran
115
33. PROSES PEMIKIRAN
Pemikiran dapat muncul pada seseorang karena terkaitnya realita yang ada padanya dengan
informasi tentang realita tersebut. Pemikiran tidak mungkin muncul hanya karena adanya realita semata-
Cobalah letakkan di depan bocah kecil suatu benda yang sama sekali belum pernah diketahui
hakekatnya, lalu perhatikanlah; apakah ia akan mendapatkan suatu pemikiran? Tentu saja tidak. Yang anda
dapati ialah dengan mengulang-ulang perasaannya terhadap benda (realita) itu saja, bocah itu akan
merasakan adanya sesuatu, disamping akan mampu membedakan antara suatu benda dengan benda lain;
mampu membedakan antara yang menyakitkan dengan yang tidak menyakitkan, antara yang
menggembirakan dengan yang menyusahkan, antara yang mengenyangkan dan yang tidak dan lain
sebagainya dari hal-hal yang berhubungan dengan instink atau kebutuhan-kebutuhan jasmaniyah. Bocah
itu tidak akan mendapatkan sesuatu lebih dari itu, sekalipun penginderaan itu berbeda-beda, berulang-ulang
dan bermacam-macam. Dengan kata lain bocah itu hanya akan mendapatkan perasaan, di mana dari
perasaan ini --juga karena diulang-ulang-- dapat menghasilkan kemampuan ''membedakan sesuatu'' yang
Tapi cobalah letakkan di depannya suatu benda, lalu sertakan informasi tentang benda tersebut,
tentu dia akan mengetahui apa hahekat benda tersebut. Dan apabila anda tanyakan kepadanya, dia akan
menjelaskan kepada anda hakekat benda tersebut. Berarti pada saat itu dia telah mendapatkan
pengetahuaan tentang benda tersebut. Dengan kata lain dia telah mempunyai pemikiran.
Sedangkan kalau kepadanya hanya anda berikan informasi-informasi saja, lalu informasi-informasi
itu anda ulang-ulang, maka dia akan meniru dan menyebutkan nama-nama tersebut sesuai dengan apa yang
didengarnya. Bocah itu sama sekali tidak akan memiliki pemikiran selama informasi tersebut tidak
dikaitkan dengan realita. Bukti kongkrit terhadap hal itu adalah: letakkan di hadapan seorang anak kecil
sebuah timbangan, satu buah apel dan api, lalu sampaikan informasi kepadanya tentang benda-benda
tersebut sampai hafal. Misalnya dengan mengatakan kepadanya bahwa timbangan itu untuk menimbang,
apel dapat dimakan, api bisa membakar. Dan terus diulang-ulang. Setelah itu tanyakanlah kepadanya mana
yang dinamakan timbangan? Bisa saja dia akan meletakkan jarinya menunjuk apel atau api dan mungkin
juga dia akan menunjuk timbangan, akan tetapi jika dia melihat anda cemberut, seakan tidak menetujuinya,
maka dia akan merubah sikapnya seketika itu juga, dia akan segera memindahkan tangannya menunjuk
116
benda yang lain. Dalam hal ini anak kecil itu telah menerima informasi dan mengulang-ulanginya, akan
Akan tetapi bila timbangan itu anda perlihatkan kepadanya lalu anda katakan bahwa ini adalah
sebuah timbangan yang berguna untuk menimbang sesuatu, kemudian anda jelaskan proses penimbangan
secara berulang-ulang; begitu juga dengan apel atau api, yang secara berulang-ulang anda jelaskan
fungsinya masing-masing, maka ia akan memperoleh suatu pemikiran. Maka ketika anda bertanya
kepadanya mana timbangan, ia akan segera menunjukkannya, Sekalipun anda bermuka cemberut dan
berusaha meragukannya atau mencoba menolaknya, namun ia tidak bergeming dan tetap menunjuk
timbangan yang telah dijelaskan kepadanya, karena sesungguhnya dia telah mengetahui dan memahami
faktanya. Dia dengan mudah akan mengenalinya begitu melihat atau dengan sekedar disebut namanya,
karena dia telah memiliki pemikiran tentang benda-benda tersebut, yaitu dengan mengkaitkan realita
dengan informasi.
Oleh karena itu, proses pemikiran akan muncul pada seseorang berdasarkan penginderaannya
terhadap realita dan setelah mendapatkan informasi-informasi, yang disertai dengan penginderaan dari
orang lain. Dengan demikian ia telah memiliki pemikiran. Hal ini terjadi pada seseorang yang belum
mendapatkan informasi. Sedangkan bila dia telah memiliki informasi, berarti dia pernah mengalami proses
pemikiran. Oleh karena itu apabila ingin mendapatkan pemikiran baru terhadap sesuatu, maka ia akan
mengindera realita lalu menghubungkan penginderaannya terhadap realita dengan informasi yang pernah
diperoleh sebelumnya, ketika itulah akan lahir suatu pemikiran. Akan tetapi apabila ia belum memiliki
informasi apapun yang berhubungan dengan sesuatu, dia harus mendapatkan informasi-informasi tentang
sesuatu itu, sehingga ia akan memperoleh pemikiran baru sebagai hasil penerimaan informasi yang disertai
dengan penginderaan terhadap realita. Berdasarkan proses seperti inilah akan lahir pemikiran.
Proses inilah yang disebut sebagai proses pemikiran yang alami (normal) pada manusia. Suatu
proses berpikir yang mendasar. Dan proses inilah yang melahirkan pemikiran.
Oleh karena itulah maka proses pemikiran dilihat dari segi faktanya mengharuskan terkaitnya
penginderaan terhadap realita dengan informasi yang diperoleh sebelumnya secara bersamaan. Dengan kata
lain apabila informasi yang diperoleh sebelumnya terkait dengan penginderaan terhadap realita, maka pada
saat itulah akan lahir pemikiran. Selain dari proses di atas tidak akan melahirkan pemikiran sama sekali.
Oleh karena itu telah menjadi suatu keharusan untuk mengkaitkan informasi dengan penginderaan terhadap
realita bila menginginkan terbentuknya suatu pemikiran. Begitu juga adalah suatu keharusan mengindera
realita yang disertai dengan informasi ketika menyampaikannya kepada yang lain apabila kita
117
menginginkan pemikiran itu dapat dijangkau. Dengan demikian harus ada realita/fakta yang dapat diindera
serta harus ada informasi, inilah satu-satunya proses pemikiran. Oleh karena itu apabila hanya diberikan
informasi kemudian mengkaitkan satu informasi dengan informasi yang lainnya tanpa disertai relita yang
dapat diindera, tidak akan membentuk pemikiran pada seseorang, yang dibentuk hanya sekedar informasi
belaka tidak akan terdapat pemikiran apapun walau telah dijelaskan hakekatnya selama belum
mengetahui/mengindera realitasnya. Ini dari segi pembentukan pemikiran bagi seorang terpelajar/pemikir
yang melahirkan atau menghasilkan pemikiran, demikian pula halnya terhadap orang yang menyampaikan
suatu pemikiran kepada orang lain. Berdasarkan hal ini apabila terdapat keinginan untuk menyampaikan
pemikiran pada masyarakat maka hal itu dapat ditransfer kepada mereka dengan sarana komunikasi apapun
seperti misalnya pengungkapan dalam bentuk bahasa. Apabila disertai dengan realita yang pernah mereka
peroleh atau yang serupa dengannya atau minimal mirip dengannya, maka sesungguhnya pemikiran itu
telah ditransfer kepada mereka, dan telah menjadi suatu persepsi dari berbagai persepsi yang ada pada
mereka, seakan-akan merekalah yang melakukan pemikiran tersebut dengan sendirinya. Akan tetapi kalau
tidak disertai dengan realita yang dapat diindera oleh mereka walaupun mereka telah mengetahui arti
kalimatnya yang kemudian telah dijelaskan kepada mereka sedangkan mereka belum dapat membayangkan
suatu realita apapun, maka sesungguhnya pemikiran itu belum ditransfer kepadanya, yang ditransfer
kepadanya hanya berupa informasi-informasi saja. Dengan informasi itu mereka telah menjadi orang-orang
yang berpendidikan, bukan menjadi pemikir/intelek. Karena pemikiran belum ditransfer kepada mereka
dengan cara yang dapat mendorong proses pemikiran, melainkan hanya mentransfer kalimat-kalimat yang
mengandung informasi saja. Disinilah merupakan suatu keharusan bagi mereka yang mentransfer
pemikiran kepada orang lain untuk mendekatkan realita idea yang ditransfer ke benak mereka dengan
berusaha menyertakan realita yang dapat diindera oleh mereka agar dapat diperoleh sebagai bentuk
pemikiran. Jika para pemikir tidak melakukan cara seperti itu, berarti mereka belum mentransfer
pemikirannya kepada orang lain, akan tetapi hanya mentransfer informasi-informasi yang mereka ajarkan
Oleh karena itu harus ada kemauan untuk senantiasa menjalani proses pemikiran tersebut, dengan
jalan mengkaitkan informasi dengan realita pada saat akan melahirkan pemikiran, atau dengan jalan
mendekatkan pemikiran kepada realita yang dapat diindera oleh mereka yang akan menerimanya, sehingga
Atas dasar inilah memulai proses pemikiran dan kemauan untuk terus menjalaninya adalah sesuatu
118
119
34. PERAN INSTINK DALAM IDENTIFIKASI
Banyak orang mencampur adukkan antara pemikiran, dengan identifikasi yang berasal dari naluri.
Mereka tidak mampu membedakan keduanya sehingga terperosok dalam kekeliruan yang kadang
menggelikan dan kadang menyesatkan. Ada yang beranggapan bahwa anak kecil ketika dilahirkan sudah
memiliki akal dan pemikiran. Ada pula yang menganggap bahwa hewanpun memiliki pemikiran. Dan
banyak yang tesesat dalam mendefinisikan pemikiran, lantaran tidak dapat membedakan antara pemikiran
Kekeliruannya terletak dalam memahami apa yang dimaksud dengan akal. Oleh karena itu
penjelasan mengenai identifikasi yang berasal dari naluri merupakan hal yang penting sekali, sebagaimana
halnya penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan akal, pemikiran dan kesadaran.
Identifikasi yang berasal dari naluri terjadi pada diri hewan akibat berulangnya penginderaan
terhadap suatu realita. Hal ini bisa dikarenakan bahwa hewan memiliki otak dan indera, sebagaimana
halnya manusia. Hanya saja otak hewan tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin
informasi/kenyataan. Yang ada hanyalah pusat indera belaka. Jadi hewan tidak memiliki informasi-
informasi sebelumnya yang dapat dikaitkan dengan indera atau realita. Yang ada pada hewan itu hanyalah
perasaan terhadap kenyataan. Perasaan ini akan terulang lagi saat terjadi penginderaan terhadap realita.
Pengulangan ini bukan merupakan usaha mengkaitkan, tetapi hanya sebagai reaksi pusat indera akibat
terjadinya penginderaan terhadap realita pertama atau realita baru yang berhubungan dengan realita
pertama. Akibat pengulangan ini terjadilah identifikasi yang berasal dari naluri, yaitu yang menentukan
tingkah laku hewan tersebut terhadap pemuasan naluri atau kebutuhan jasmani. Tingkah laku ini hanya
untuk sekedar memilih antara memenuhi atau tidak memenuhi kebutuhannya, tidak lebih dari itu.
Dengan demikian yang terjadi pada diri hewan hanyalah penginderaan terhadap realita saja, tanpa
memperhatikan berapa kali dan dalam bentuk apa terjadinya penginderaan ini. Penginderaan inilah yang
mendorong hewan tersebut untuk memenuhi atau tidak memenuhi kebutuhannya. Misalnya, apabila kepada
seekor hewan atau burung disodorkan makanan, maka hewan atau burung itu akan membedakan mana yang
dapat dimakan atau tidak, baru kemudian hewan atau burung itu menentukan sikapnya terhadap makanan
tersebut; apakah akan dimakan atau ditolaknya, tidak lebih dari itu. Apabila tercapai identifikasi dari segi
pemenuhan maka hewan itu akan merasa puas sehingga tidak melakukan sesuatu yang lain lagi dan tidak
mengusahakan lebih dari itu. Contohnya apabila seekor kuda disodori gandum dan seonggok tanah, maka
kuda itu akan mencoba-coba mengetahui mana diantara keduanya yang dapat memenuhi pemuasan.
120
Apabila kuda itu merasakan bahwa gandum itu dapat memuaskan kebutuhannya dan bukan pada tanah,
maka akan terbentuk pada perasaan kuda itu bahwa gandum dapat memuaskan kebutuhannya; sedangkan
tanah tidak. Maka sejak saat itu, kuda ini tidak lagi menggubris onggokan tanah dan akan memakan
Identifikasi yang berasal dari naluri seperti ini terjadi pada diri hewan melalui percobaan yang
terjadi dengan perantaraan indera. Percobaan ini cukup dilakukan hanya sekali baik hewan itu sendiri yang
melakukannya atau hewan lain yang disaksikannya. Begitu pula percobaan itu dilakukan terhadap satu
benda atau terhadap beberapa benda yang berbeda-beda. Semua ini menghasilkan identifikasi yang berasal
dari naluri. Hanya saja percobaan terhadap satu benda lebih menonjol pada diri hewan dari pada percobaan
terhadap beberapa benda lainnya. Pada diri hewan tersebut mungkin saja dapat melakukan berbagai
percobaan seperti yang dilakukan terhadap gandum dan tanah, atau terhadap rasa pahit, manis, dan masam.
Mungkin pula terjadi beberapa percobaan yang rumit sehingga menghasilkan pengulangan penginderaan
yang mirip dengan berpikir. Akan tetapi pada hakekatnya hanyalah suatu pengulangan terhadap apa yang
telah diindera, bukan mengkaitkan informasi-informasi. Contohnya, adalah usaha (percobaan) pencurian
telur oleh tikus. Suatu ketika ada dua ekor tikus masuk ke sebuah toko telur, tikus yang satu terlentang dan
yang lainnya mendorong telur ke perut tikus yang terlentang tadi. Kemudian tikus tersebut
mencengkeramkan dua kakinya pada telur dan tikus kedua menariknya dari ekornya sampai ke sarangnya,
sehingga keduannya dapat meletakkan telur tersebut di dalamnya. Kemudiaan dua tikus itu melakukan hal
yang sama dalam bentuk seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Usaha ini memang rumit; tetapi
dihasilkan dari percobaan-percobaan dan pengulangan penginderaan bukan dengan mengkaitkan informasi-
informasi. Percobaan ini hanya berkaitan dengan pemuasan terhadap kebutuhannya atau berhubungan
dengan apa yang dapat memuaskannya. Jadi kasus tikus ini tidak akan terjadi terhadap benda yang tidak
dimakan olehnya. Walaupun dapat terjadi pada selain telur, asal dapat dimakan (memuaskannya). Apa
yang terjadi pada tikus dan kuda di atas dapat terjadi pada binatang-binatang lain seperti monyet, unta, dan
sebagainya. Dan apa yang dilakukan itu bukan suatu pemikiran, melainkan identifikasi yang berasal dari
naluri yang khusus berkenaan dengan sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhannya saja dan tidak akan
melampauinya. Hal ini berarti hewan tidak mungkin sampai mengetahui hahekat sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhannya dan yang tidak. Oleh karena itu hal ini merupakan identifikasi yang berasal dari
naluri semata, dan tidak menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran, atau kesadaran.
Kejadian yang mirip dengan hewan, terjadi pula pada seorang anak yang baru dilahirkan, meskipun
di dalam otaknya terdapat potensi untuk mengkaitkan informasi-informasi, namun anak itu belum
121
memperoleh informasi tersebut yang harus ia pertautkan dengan indera dan realita yang baru, sehingga bisa
membedakannya. Oleh karena itu pada diri anak tersebut tidak terjadi pemikiran, akal atau kesadaran.
Melainkan hanya identifikasi yang berasal dari naluri belaka terhadap sesuatu yang memberi kepuasan atau
tidak. Hal ini tidak memberinya pengetahuan tentang hakekat sesuatu yang telah dapat ia identifikasi
sebagai hal-hal yang dapat memberinya kepuasan. Si anak tersebut tidak tahu hakekat sesuatu yang dapat
memuaskannya atau tidak. Yang terjadi hanyalah identifikasi yang berasal dari naluri sebatas apakah benda
Apabila anda menyodorkan ke hadapan anak buah apel dan batu, ia akan mencoba salah satunya.
Mana yang ia temukan mengenyangkan ia makan dan yang tidak, ia buang. Dari percobaan ini ia
mengambil buah apel dan membuang batu dengan identifikasi yang berasal dari naluri yang terjadi pada
percobaan tadi saja. Sebab informasi belum ada pada dirinya. Apabila informasi telah diperoleh, maka
secara alami ia akan menggunakannya. Sebab kemampuan mempertautkannya merupakan bagian dari
bentukan otak. Penginderaannya terhadap sesuatu secara pasti terikat dengan dijalinnya informasi sebagai
suatu keharusan.
Oleh karena itu adanya persepsi terhadap sesuatu terikat secara pasti dengan penginderaan
terhadapnya. Pada saat itulah terdapat pada diri anak kecil tersebut pemikiran, akal, atau kesadaran segera
Berdasarkan hal ini, yang dimaksud dengan identifikasi yang berasal dari naluri adalah
penginderaan terhadap realita melalui indera, sehingga terjadi pembedaan terhadap sesuatu, apakah ia
mengenyangkan atau tidak. Berbeda halnya dengan pemikiran, ia adalah penangkapan terhadap suatu
kenyataan dengan perantaraan indera ke otak disertai adanya informasi-informasi yang diperoleh
sebelumnya yang dapat menjelaskan kenyataan tersebut. Dengan kata lain pemikiran itu adalah pengam-
bilan keputusan terhadap sesuatu (mengetahui hakekatnya). Sedangkan identifikasi yang berasal dari naluri
tidak lain adalah penjelasan apakah suatu benda mengenyangkan atau tidak.
122
35. REALITA DAN PERSEPSI MEMPENGARUHI NALURI MANUSIA
Naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani, walaupun keduanya sama-sama merupakan potensi
dinamis yang sama-sama fitri adanya. Kebutuhan jasmani menuntut suatu pemuasan secara pasti, yang jika
tidak terpenuhi manusia akan mati. Berbeda dengan naluri yang menuntut pemuasan, yang bila tidak
terpenuhi dia akan mengalami kegelisahan, tetapi tidak mati, bahkan tetap hidup. Seorang manusia jika
tidak makan atau buang hajat, cepat atau lambat pasti akan mati. Akan tetapi, jika tidak memenuhi
kebutuhan nalurinya, ia tidak akan mati. Misalnya jika ia tidak "berkumpul" dengan wanita, atau tidak
terpenuhi kebutuhan/naluri seksualnya, ia tidak akan mati. Sebab naluri manusia memang tidak
Disamping itu, tuntutan pemuasan kebutuhan jasmani bersifat internal, yakni muncul dari dalam
diri manusia itu sendiri, meskipun kadang-kadang dorongan pemuasan itu dipengaruhi oleh suatu
rangsangan dari luar. Berbeda halnya dengan naluri manusia, yang sama sekali tidak bergerak secara
internal untuk memenuhi kebutuhannya. Maka tidak akan muncul perasaan untuk memuaskan kebutuhan
naluriah, kecuali jika ada rangsangan dari luar. Jika rangsangan itu muncul dari luar, maka naluri
terpengaruh, kemudian muncul perasaan yang menuntut adanya pemuasan. Sebaliknya, jika rangsangan
itu tidak ada yang membangkitkan, maka ia akan tetap terpendam, dan tidak akan muncul suatu perasaan
Lapar misalnya, secara alami muncul dari dalam diri manusia, dan tidak membutuhkan rangsangan
dari luar. Munculnya rasa (lapar) yang membutuhkan pemenuhan itu berasal dari dalam diri manusia. Ia
akan merasa lapar, sekalipun tidak ada pengaruh dari luar. Akan halnya pengaruh luar dapat juga
membangkitkan rasa lapar, misalnya makanan lezat yang dapat "meneteskan air liur" atau cerita-cerita
tentang makanan semacam itu, akan dapat berpengaruh terhadap bangkitnya rasa lapar.
Berbeda halnya dengan keinginan seksual, yang sama sekali tidak akan muncul secara alami dalam
diri manusia, melainkan membutuhkan suatu rangsangan dari luar yang dapat membangkitkannya. Oleh
karena itu perasaan yang menuntut suatu pemuasan kebutuhan naluriah, tidak akan bangkit dari dalam diri
manusia itu sendiri, dan ia tidak akan merasakannya selama tidak ada rangsangan dari luar yang
membangkitkannya, misalnya dorongan biologis untuk "berhubungan" dengan lawan jenis, atau perasaan
apapun yang berkaitan dengan hal itu, tidak akan muncul dalam diri seseorang, kecuali jika ia menyaksikan
123
suatu fakta, mendengar cerita-cerita tentang fakta tersebut, atau dalam dirinya telah muncul berbagai bayan-
gan yang membentuk persepsi tertentu, sehingga semua itu dapat berpengaruh terhadap suatu perasaan atau
hasrat tersebut. Selama belum terdapat kenyataan/pemikiran, perasaan seks tersebut tidak akan muncul.
Oleh karena itu, sebenarnya bukan keberadaan naluri dalam diri manusia yang menimbulkan
kegelisahan. Tetapi, dampak perasaan yang menuntut pemuasan itulah yang menyebabkan munculnya
kegelisahan. Maka apabila tidak muncul suatu perasaan yang menuntut kebutuhan, disebabkan tidak adanya
suatu rangsangan dari luar, tentu tidak terjadi suatu kegelisahan sama sekali. Dengan demikian tidak akan
terjadi suatu kegelisahan dalam diri manusia, akibat tidak terpengaruhinya pemuasan kebutuhan seksual;
dan tidak akan terjadi penindasan terhadap naluri manusia, jika tidak terwujud suatu kenyataan atau
Berdasarkan keterangan di atas, usaha-usaha menanamkan ide-ide yang akan membentuk persepsi
porno/seksual, seperti karangan-karangan atau cerita-cerita yang berbau seksual adalah termasuk tindakan
bodoh dan picik lagi menyesatkan. Begitu juga halnya dengan tindakan memperluas kesempatan
terwujudnya suatu kenyataan yang terindera yang dapat mempengaruhi naluri mengembangkan dan
melestarikan jenis, misalnya dengan mencampur adukkan pergaulan antara laki-laki dan wanita. Ini berarti
mewujudkan sesuatu yang dapat membangkitkan perasaan seksual, yang akan menimbulkan kegelisahan
yang tetap berlanjut sampai terpenuhinya kebutuhan tersebut. Kemudian, dengan terus-menerus
memberikan rangsangan terhadap naluri tersebut maka akan bangkitlah hasratnya untuk senantiasa
memuaskan kebutuhannya. Pada gilirannya ia akan dicengkeram oleh kesibukan aktivitas-aktivitas untuk
melampiaskan kebutuhannya. Atau ia akan dicekam kegelisahan, bila pemuasannya tidak terlampiaskan.
Oleh karena itu, adannya pergaulan yang campur aduk antara laki-laki dan wanita, adalah suatu
tindakan yang paling membahayakan masyarakat. Sebab, hal itu dapat mengakibatkan seseorang akan
mencurahkan segenap tenaganya untuk sekedar melampiaskan kebutuhannya, sedangkan otaknya akan
dicengkeram oleh persepsi (perasaan) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, atau ''memaksa'' manusia
dalam kegelisahan secara terus-menerus. Demikian pula halnya dengan tindakan penyebaran karangan-
Islam telah memberi seperangkat pemahaman yang dapat mengatur kecenderungan seksual
manusia, secara positip (bersifat dorongan, pent) dengan memberinya seperangkat aturan dalam urusan
pernikahan dan segala sesuatu yang terpancar darinya. Islam juga berusaha mencegah dan menjauhkan
manusia dari segala hal yang dapat membangkitkan perasaan seksualnya, sementara ia tidak mampu
124
melampiaskan kebutuhannya; dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menyebabkan dirinya tenggelam
dalam kesibukan serta menghabiskan waktunya untuk memikirkan ataupun bergelimang dalam perbuatan-
perbuatan pelampiasan kebutuhan seksualnya yang timbul dari naluri mengembangkan dan melestarikan
jenis.
Karena itulah Islam mengharamkan khalwat, berduaan antara laki-laki dan wanita bukan mahram
atau bukan suami-istri. Sebab hal itu akan dapat membangkitkan kecenderungan seksual manusia, yang
bila tidak mampu memenuhi kebutuhan naluri sebagaimana aturan yang dipeluknya, akan mendatangkan
kegelisahan atau penyelewengan yang sangat keji dari peraturan. Dalil pengharaman khalwat ini sangat
tegas, yaitu tercantum dalam hadits shahih di mana Rasulullah saw bersabda:
"Janganlah salah seorang kamu berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali ia (wanita itu) bersama
mahramnya".
"Mulai hari ini tidak boleh seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita secara
sembunyi-sembunyi yang suaminya sedang bepergian, kecuali laki-laki itu bersama-sama satu atau dua
Dalam hadits lain dijelaskan bahwa setan akan menjerumuskan wanita dan laki-laki bersam-sama,
apbila mereka berkhalwat, saat itulah setan akan menjadi pihak yang ketiga, sebagaimana sabda Rasulullah
saw:
"Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, karena pihak yang ketiga adalah
setan."
125
Oleh karena itu, menjadi kewajiban atas kaum muslimin, menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat
membangkitkan dan merangsang naluri melestarikan serta merangsang perasaannya sebagai suatu sikap
126
36. POLA PIKIR SAINS DAN POLA PIKIR RASIONAL
Pola pikir sains (thariqah ilmiah) adalah suatu metode pengkajian yang dapat ditempuh agar
seseorang sampai pada tahap mengetahui hakekat sesuatu yang diteliti, melalui berbagai macam percobaan
ilmiah. Tetapi proses pencapaian hanya berlaku bagi benda-benda yang bersifat materi/fisik, dan tidak
terhadap idea-idea (abstrak). Thariqah ilmiah ini dapat diterapkan dengan cara memperlakukan benda pada
situasi/keadaan tertentu bukan pada situasi/kondisi yang alami. Hasil yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan hasil percobaan pada situasi/kondisi alami yang telah ada (kontrol). Dari percobaan
dan hasil yang diperoleh serta perbandingan yang dilakukan, dapat diambil suatu kesimpulan tentang
hakekat benda yang diteliti dan dapat diserap oleh indera. Bentuk percobaan ini telah lazim dilakukan di
laboratorium.
Thariqah ilmiah, mengharuskan adanya "peniadaan" terhadap segala bentuk informasi yang
pengamatan dan eksperimen terhadap materi atau benda tersebut. Thariqah ini mengharuskan seseorang
yang hendak melakukan penelitian, terlebih dahulu harus meniadakan setiap pandangan, pendapat, atau
keyakinan tentang benda/materi tersebut yang telah dihasilkan melalui eksperimen sebelumnya. Kemudian
mulai melakukan pengamatan dan eksperimen, dilanjutkan studi komparasi, klasifikasi sampai mencapai
Apabila seseorang telah sampai pada suatu kesimpulan setelah melakukan eksperimen, maka hasil
penelitiannya itu berupa kesimpulan ilmiah, yang biasanya didasarkan pada suatu penelitian/eksperimen.
Kesimpulan itu tetap merupakan kesimpulan ilmiah, selama belum dapat dibuktikan adanya kesalahan
Kesimpulan yang dihasilkan oleh seorang peneliti melalui thariqah ilmiah, meskipun disebut
sebagai suatu fakta ilmiah atau etika/tata-cara ilmiah, akan tetapi belum fixed (pasti), yakni masih
mengandung "faktor kesalahan". Bahkan adanya "faktor kesalahan" dalam thariqah ilmiah merupakan
paradigma yang paling mendasar yang harus diperhatikan dalam thariqah ilmiah, sebagaimana yang
ditetapkan etika ilmiah. Kesalahan dalam mengambil kesimpulan sering terjadi dan telah terbukti berbagai
kekeliruan di bidang pengetahuan sains, setelah sebelumnya dianggap sebagai faktor ilmiah yang fixed
(pasti). Sebagai contoh teori ilmiah tentang atom, yang sebelumnya dikatakan sebagai partikel kecil dari
suatu benda, yang tidak dapat dipecah lagi. Akan tetapi kemudian terbuktilah kekeliruannya, yang juga
menggunakan metode ilmiah yang sama. Ternyata, atom masih dapat dipecah lagi.
127
Dari sini dapat dipahami, bahwa thariqah ilmiah hanyalah berlaku untuk benda/materi saja. Karena
termasuk kerangka berfikir paling mendasar dalam thariqah ilmiah ini adalah melakukan eksperimen
terhadap benda dengan memperlakukannya pada kondisi teertentu dan bukan dalam kondisi/situasi yang
alami (khusus dilakukan dalam ilmu terapan). Hal itu tidak dapat dilakukan terhadap sesuatu yang
berbentuk ide atau pemikiran (abstrak). Oleh sebab itu pula, kesimpulan yang dihasilkan dari thariqah
ilmiah adalah kesimpulan yang bersifat dugaan dan tidak pasti, serta mengandung "faktor kesalahan".
Sedangkan pola fikir rasional (thariqah aqliyah), adalah suatu metode pengkajian yang dapat
ditempuh agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakekat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indera
yang menyerap obyek. Proses penyerapan tersebut dilakukan melalui panca indera menuju ke otak, dibantu
oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan keputusan (sikap) atas
fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau idea (thought) yaitu pemahaman yang
diperoleh akal secara langsung. Thariqah ini mencakup pengkajian materi/obyek yang dapat diindera (ilmu
fisika), maupun yang bukan materi/abstrak (berkaitan dengan pemikiran). Dan ini satu-satunya metode
yang alami yang ada dalam diri manusia untuk memahami segala sesuatu. Yaitu dengan terbentuknya
pemikiran atau pemahaman terhadap sesuatu. Pola fikir seperti ini merupakan definisi akal. Dengan cara
inilah, manusia dalam kedudukannya sebagai manusia bisa memahami segala sesuatu yang telah lalu, baik
Hasil yang diperoleh melalui thariqah aqliah, mengandung dua kemungkinan. Jika kesimpulan itu
berkaitan tentang "ada" atau "tidak adanya wujud" sesuatu, maka ia bersifat pasti/fixed dan sedikitpun tidak
mengandung faktor kesalahan. Sebab, keputusan itu diambil melalui penginderaan terhadap sesuatu,
sedangkan alat indera manusia tidak mungkin salah dalam menentukan "adanya" sesuatu yang bersifat
nyata, karena penyerapan indera manusia terhadap "adanya" sesuatu kenyataan bersifat pasti, sehingga
keputusan akal untuk menentukan "adanya" sesuatu yang terindera adalah pasti.
Kesalahan yang mungkin tejadi dengan metode ini diakibatkan kesalahan penginderaan. Misalnya
saja fata morgana yang disangka air, atau pensil yang lurus terlihat bengkok dan patah ketika dicelupkan
ke dalam air. Namun demikian hal itu tidak berarti meniadakan adanya sesuatu, yaitu adanya fatamorgana
dan pensil. Kesalahan ini teletak pada fenomena yang ada, yaitu memancang fatamorgana sebagai air, dan
pensil yang lurus dikatakan bengkok atau patah. Demikian juga dalam memahami berbagai fenomena-
fenomena yang lain, sesungguhnya penginderaan manusia tetap tidak akan salah dalam menentukan adanya
sesuatu, jika ia merasakan/mengindera sesuatu maka berarti sesuatu itu pasti ada, begitu pula terhadap
128
Apabila kesimpulan atau keputusaan tersebut berkaitan dengan hakekat atau fenomena dari sesuatu,
maka bersifat tidak pasti dan mengandung faktor kesalahan. Sebab keputusan tersebut diambil berdasarkan
informasi yang diperoleh atau interpretasi terhadap fakta yang terindera melalui informasi yang telah ada,
namun terdapat kemungkinan menyusup unsur kesalahan. Akan tetapi, ia dianggap sebagai pemikiran yang
"benar" sampai terbukti kesalahnya. Pada saat itulah diputuskan bahwa kesimpulannya salah. Sedangkan
sebelumnya, tetap dipandang sebagai kesimpulan yang tepat atau pemikian yang benar.
Adapun penelitian yang menggunakan cara berfikir logika (mantiq), sesungguhnya bukan metode
berfikir, melainkan salah satu cara pembahasan yang dibangun berdasarkan pola fikir rasional. Sebab, pola
fikir logika dilakukan dengan cara membangun suatu pemikiran/premis diatas pemikiran/premis lain yang
kesimpulannya dapat diindera. Dengan cara ini, kemudian dihasilkan suatu kesimpulan tertentu. Misalnya
premis pertama menyatakan papan tulis itu terbuat dari kayu; pe\remis kedua setiap kayu mempunyai sifat
terbakar; maka kesimpulannya papan tulis itu mempunyai sifat terbakar. Begitu pula misalnya, seekor
kambing yang disembelih dikatakan mati jika tidak bergerak; ternyata kambing yang disembelih tidak
Kebenaran pola fikir logika tergantung pada premis-premisnya. Jika premisnya benar, maka akan
diperoleh kesimpulan yang benar. Tetapi jika premisnya salah maka akan diperoleh kesimpulan yang salah
(kontadiksi). Disyaratkan pada premis berupa pernyataan yang dapat menghantarkan pada suatu yang dapat
diindera. Hal ini berarti kembali pada pola fikir rasional, dan dengan penginderaan dapat menentukan
benar-salahnya kesimpulan. Maka dapat dipahami, bahwa pola fikir logika merupakan salah satu pola fikir
yang dibangun berdasarkan pola fikir rasional. Dalam pola fikir logika terkandung unsur kesalahan atau
Untuk menguji kebenaran pola fikir logika, maka lebih baik menggunakan pola fikir rasional dalam
menggali dan menentukan kesimpulan, tanpa mempertimbangkan lagi pola fikir logika --walaupun hal itu
bisa digunakan--, tetapi dengan syarat premis-premisnya harus benar, yang hal ini dapat diketahui dengan
Berdasarkan uraian di atas jelas pada dasarnya metode berfikir hanya ada dua, yaitu pola fikir sains
dan pola fikir rasional. Yang pertama mengharuskan adanya pengabaian terhadap informasi yang sudah
ada (dimiliki), sedangkan yang kedua justru mengharuskan adanya informasi yang diperoleh sebelumnya.
Pola fikir rasional adalah dasar dalam berfikir. Hanya dengan pola fikir tertentu dapat diperoleh
pemikiran yang tidak dapat dicapai dengan cara pola fikir sains ataupun pola fikir logika. Dengan pola
fikir rasional dapat diketahui setiap realita ilmiah melalui pengamatan eksperimen dan penarikan
129
kesimpulan. Dengan metode itu pula dapat diketahui realita setiap kesimpulan yang dihasilkan oleh pola
fikir logika, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan metode itu, akan diketahui realita sejarah dan dapat
membandingkan kesalahan atau kebenaran sejarah. Dengan metode itu pula manusia dapat memperoleh
pemikiran yang bersifat integral mengenal alam semesta, manusia dan kehidupan serta realita dari alam
Sementara itu, pola fikr sains tidak akan dapat menghasilkan sesuatu, atau bahkan tidak pernah ada
kecuali jika dibangun berlandaskan pola fikir rasional atau sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan pola
fikir rasional. Dengan demikian suatu yang pasti akan alami bahwa pola fikir sains tidak dapat dijadikan
sebagai dasar berfikir. Disamping itu pola fikir ini menentukan bahwa segala sesuatu yang tidak dapat
dijangkau oleh indera adalah tidak berwujud. Sehingga ilmu logika, sejarah dan teori-teorinya diabaikan,
karena semua ini belim terbukti secara ilmiah keberadaannya. Sebab semua itu tidak ditetapkan dengan
pola fikir sains, yaitu dengan cara pengmatan, eksperimen dan penarikan kesimpulan. Jika demikian
halnya, maka ini merupakan kesalahan yang total. Karena itu pengetahuan alam hanyalah salah satu cabang
dari dunia ilmu pengetahuan. Ia merupakan salah satu jenis pemikiran dari seluruh jenis pemikiran yang
ada, sedangkan jenis ilmu pengetahuan amat banyak dan semua itu justru tidak ditetapkan berdasarkan pola
fikir sains, tetapi dengan pola fikir rasional. Oleh karena itu pola fikir sains tidak dapat dijadikan asas/dasar
pola berfikir. Yang harus dijadikan dasar/asas berfikir adalah pola fikir rasional.
Namun demikian, pola fikir sains adalah pola fikir yang salah. Kesalahannya adalah menjadikannya
asas untuk berfikir. Dengan demikian sebagai asas berfikir, akan menimbulkan kesulitan. Pola fikir ini
bukanlah suatu asas yang menjadi dasar tegaknya sesuatu, melainkan hanya salah satu cabang yang
ditegakkan di atas suatu asas. Dengan menjadikannya sebagai asas berarti telah membuang/tidak
membahas sebagian besar ilmu pengetahuan dan realita-realita hidup. Hal itu akan mengakibatkan
terjadinya penolakan terhadap sebagian besar ilmu pengetahuan yang dipelajari yang mengandung banyak
Terlebih lagi pola fikir sains hasilnya berupa dugaan dan di dalamnya terdapat unsur kesalahan .
Hal ini menjadi paradigma (kerangka berfikir) yang biasanya selalu diperhatikan oleh pola fikir tersebut.
Oleh karena itu tidak layak pola fikir sains dijadikan sebagai dasar/asas berfikir. Sebab dengan pola fikir
ini akan dihasilkan kesimpulan yang bersifat dugaan tentang wujud dan sifat dari sesuatu. Sebaliknya, pola
fikir rasional mampu menghasilkan kesimpulan atau keputusan yang pasti tentang wujud dan sifat-sifat
tertentu yang ada pada sesuatu, walaupun dari segi hakekat sesuatu dan sifatnya, kesimpulan itu tidak
bersifat dugaan belaka, akan tetapi dari segi penentuan kebenaran "adanya" suatu dan sifat-sifat tertentu
130
dari sesuatu itu adalah pasti dan meyakinkan. Dengan demikian pola fikir rasional harus dijadikan sebagai
asas penelitian, mengingat bahwa kesimpulan yang dihasilkannya bersifat pasti. Jika suatu kesimpulan
tentang wujudnya sesuatu dan sifat-sifat yang terkandung di dalamnya didasarkan pada pola fikir rasional,
maka bertentangan dengan kesimpulan yang diperoleh dengan pola fikir sains, maka sudah selayaknya bila
yang diambil adalah pola fikir rasional. Sebab, tentu yang diambil adalah hal yang bersifat pasti, bukan
Akhirnya dapatlah dipahami bahwa kesalahan berfikir yang terjadi di seluruh dunia ini adalah
karena dijadikannya pola fikir sains sebagai asas pola fikir sekaligus sebagai penentu dalam menetapkan
pemahaman terhadap sesuatu. Kesalahan itu harus diluruskan, dan merupakan suatu keharusan menjadikan
pola fikir rasional sebagai asas berfikir dan senantiasa menjadikannya sebagai pegangan dalam
131
37. PSIKOLOGI, SOSIOLOGI DAN ILMU PENDIDIKAN
Di kalangan masyarakat, baik awam maupun terpelajar, banyak terjadi kerancuan pandangan
tentang ide-ide yang dihasilkan melalui pola fikir aqliyah dan teori-teori ilmiah yang dihasilkan oleh pola
fikir sains.
Berdasarkan asumsi dan anggapan yang rancu ini mereka menganggap psikologi, sosiologi dan ilmu
pendidikan sebagai suatu ilmu, dan ide-ide yang dihasilkannya mereka anggap sebagai pemikiran ilmiah.
Sebab menurut mereka, ilmu-ilmu itu dibangun berlandaskan pengamatan yang dilakukan secara berulang-
ulang terhadap anak dalam kondisi dan umur yang berbeda atau dilakukan terhadap berbagai kelompok
masyarakat dalam situasi dan kondisi yang saling berbeda. Pengamatan yang dilakukan secara berulang
Dan sesungguhnya psikologi, sosiologi dan ilmu pendidikan, bukan merupakan pemikiran ilmiah,
melainkan pemikiran yang dihasilkan melalui pola fikir rasional, sebab eksperimen ilmiah adalah cara
memperlakukan suatu benda atau materi pada suatu situasi tertentu, bukan dalam keadaan yang alami. Dari
hasil perlakuan tersebut kemudian dilakukan pengamatan untuk melihat hasilnya. Dengan kata lain
eksperimen ilmiah dilakukan terhadap materi (benda) seperti eksperimen-eksperimen dalam bidang Ilmu
Adapun pengamatan terhadap "sesuatu" (manusia) pada waktu dan keadaan yang berbeda tidak
Oleh karena itu pengamatan terhadap anak-anak atau balita pada kondisi dan tingkatan umur yang
berbeda, atau pengamatan terhadap sekelompok masyarakat di beberapa negara dalam kondisi yang
berbeda, serta pengamatan terhadap perbuatan/aktivitas beberapa orang pada kondisi yang berbeda pula,
semua itu tidak dapat dimasukkan dalam kategori eksperimen yang ilmiah, sehingga tidak dapat
digolongkan dalam pola fikir sains. Bentuk ini sebenarnya hanya pengamatan yang dilakukan secara
berulang-ulang lalu menghasilkan suatu kesimpulan. Berarti, tergolong dalam pola fikir rasional dan bukan
pola fikir sains. Berdasarkan penjelasan di atas, maka ide-ide yang menyangkut kategori ilmu psikologi,
ilmu sosiologi, dan ilmu pendidikan adalah ide-ide yang berlandaskan pola fikir rasional dan tergolong
Disamping itu, yang dihasilkan dari ilmu psikologi, sosiologi dan ilmu pendidikan berupa ide-ide
yang bersifat dugaan/persangkaan, sehingga mengandung unsur kesalahan dan bukan ide-ide yang bersifat
pasti.
132
Oleh karena itu tidak dibenarkan menjadikan sebagai dasar atau asas menentukan hakekat sesuatu
atau menjadikannya sebagai pegangan untuk menentukan benar-tidaknya sesuatu. Hal ini disebabkan
karena ilmu-ilmu semacam ini, tidak tergolong dalam realita ilmiah/postulat ilmiah, sehingga dapat
dikatakan benar sampai terbukti kesalahannya. Namun demikian ia tetap sebagai pengetahuan yang bersifat
dugaan yang dihasilkan melalui cara dan metode yang tidak menghantarkan pada suatu kepastian.
Meskipun diakui bahwa ilmu-ilmu tersebut dihasilkan melalui pola fikir rasional, tetapi ilmu-ilmu
tersebut tidak berupa penentuan terhadap "keberadaan" sesuatu. Cara penentuan seperti itu masih bersifat
dugaan yang mengandung unsur kesalahan. Jadi ketiga macam ilmu pengetahuan tersebut sebenarnya
dibangun di atas dasar kesalahan. Maka wajarlah bila pemikiran-pemikiran yang dihasilkannya
Menurut kenyataan, ilmu psikologi secara umum dibangun berlandaskan pandangannya terhadap
naluri dan otak manusia. Pakar ilmu psikologi memandang bahwa dalam diri manusia terdapat banyak
naluri. Sebagian telah diketahui dan sebagian lagi belum terungkap. Berdasarkan pandangan yang salah
terhadap naluri ini, para psikolog membangun dan mengembangkan banyak teori yang salah. Inilah
penyebab kerancuan sebagian besar pemikiran yang terdapat dalam ilmu psikologi.
Adapun pandangannya tentang otak, maka ilmu psikologi menganggap otak manusia terbagi dalam
beberapa bagian. Setiap bagian mempunyai bakat yang spesifik. Begitu juga otak sebagian manusia
mempunyai bakat yang tidak dimiliki oleh orang lain. Mereka mengatakan bahwa ada sebagian manusia
yang mempunyai bakat untuk memahami bahasa, sedangkan yang lain berbakat di bidang matematika dan
seterusnya. Berdasarkan pandangan yang keliru ini telah dibangun banyak teori yang salah. Hal ini
menyebabkan kesalahan dalam banyak ide yang terdapat dalam ilmu psikologi.
Setelah mengamati reaksi manusia dapat dilihat bahwa dalam diri manusia terdapat potensi yang
dinamis yang memiliki dua gejala. Gejala pertama mengharuskan terpenuhinya kebutuhan secara pasti,
yang bila tidak dipenuhi dia akan mati. Sedangkan gejala yang kedua memerlukan pemenuhan, yang bila
tidak terpenuhi ia tetap hidup hanya saja ia akan menderita "sakit" dan gelisah.
Dalam gejala pertama dapat dimasukkan kebutuhan jasmani; misalnya rasa lapar, haus, atau buang
hajat. Sedangkan pada gejala yang kedua dapat dimasukkan naluri, yaitu naluri beragama, naluri
mengembangkan dan melestarikan keturunan, serta naluri untuk mempertahankan diri. Semua naluri ini
muncul dalam bentuk perasaan-perasaan serba kurang dan tidak mampu, perasaan untuk mempertahankan
jenis keturunannya dan perasaan untuk mempertahankan diri. Selain yang tiga itu tidak ditemukan
133
penampakan naluri-naluri lain. Selain dari tiga naluri di atas maka tidak lain hanyalah manifestasi untuk
masing-masing naluri tersebut, seperti rasa takut dan cinta kekuasaan yang merupakan manifestasi untuk
naluri mempertahankan diri; atau seperti pengagungan terhadap pahlawan dan ingin menyembah sesuatu
adalah manifestasi dari naluri beragama; demikian pula dorongan seksual terhadap lawan jenis, rasa
kebapakan, keibuan dan rasa persaudaraan tidak lain merupakan manifestasi dari naluri mengembangkan
dan melestarikan jenis. Begitu pula terhadap setiap manifestasi lain yang dapat dikembalikan pada tiga
Adapun dilihat dari segi anatomi, manusia mempunyai otak yang sama walaupun tidak ditemui
adanya perbedaan dari segi pemikiran yang disebabkan oleh perbedaan daya serap indera dan informasi
yang diperolehnya, serta berbeda tingkat kekuatan nalar (yang mengkaitkan antara fakta dengan informasi
yang telah diterima). Tidak ada bakat khusus pada otak sebagian manusia yang tidak terdapat pada manusia
lainnya. Setiap otak mempunyai daya fikir terhadap sesuatu, yang ditunjang oleh empat unsur; yaitu otak,
informasi yang diperoleh, fakta yang dapat ditangkap oleh indera dan panca indera.
Perbedaan yang ada dalam otak hanyalah dalam "kekuatan nalar" dan kekuatan "daya serap indera".
kekuatan ini tak ubahnya dengan kekuatan yang terdapat pada mata dalam melihat sesuatu, atau kekuatan
telinga dalam mendengarkan suara. Oleh karena itu setiap orang dapat diberi pengetahuan apapun jenisnya
yang di dalam otaknya terdapat bakat untuk memahaminya. Dengan demikian tidaklah benar apa yang
terdapat dalam ilmu psikologi bahwa bakat-bakat tertentu pada otak manusia terdapat perbedaan
berdasarkan bakatnya.
Kini jelas bagi kita bahwa pandangan ilmu psikologi terhadap otak dan naluri manusia adalah
pandangan yang salah. Suatu hal yang menyebabkan adanya kekliruan dalam semua teori yang didasarkan
Adapun mengenai ilmu sosiologi secara umum dibangun berdasarkan pandangannya terhadap
individu dan masyarakat. Dengan kata lain pandangannya bersifat individual. Oleh karena itu ilmu ini
kelompok/perkumpulan organisasi dan terakhir kepada masyarakat, dengan anggapan bahwa masyarakat
Para sosiolog membuat asumsi bahwa masyarakat itu berbeda-beda. Sehingga apa yang dianggap
cocok untuk suatu masyarakat belum tentu cocok dengan masyarakat lain. Dengan landasan inilah para
134
pakar sosiolog melontarkan banyak teori yang salah, yang menjadi pokok pangkal munculnya pemikiran-
Fakta menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya terbentuk dari perkumpulan individu. Individu
dengan individu lain akan membentuk kumpulan individu dan bukan masyarakat. Sekelompok individu
tidak akan membentuk masyarakat, kecuali jika diantara individu itu terjadi interaksi yang terus menerus.
Apabila tidak terjadi interaksi ini mereka tetap sebagai kelompok orang saja; misalnya sepuluh ribu
penumpang kapal laut tidak bisa disebut sebagai masyarakat. Akan tetapi seratus orang yang tidak di suatu
desa dapat saja dikatakan sebagai masyarakat, karena diantara mereka terjadi interaksi yang berlangsung
secara terus menerus. Adanya interaksi itulah yang menjadikan mereka sebagai masyarakat. Oleh karena
itu pembahasan tentang masyarakat harus dititik beratkan kepada adanya interaksi, bukan terhadap
sekelompok manusia. Akan tetapi yang menghasilkan interaksi antar individu-individu anggota
Jika terdapat kemaslahatan maka akan tumbuh interaksi dana jika tidak, tidak akan tumbuh interaksi
tersebut. Suatu kemaslahatan akan menumbuhkan interaksi kalau terkumpul tiga faktor:
(1) Adanya pandangan atau pemikiran yang sama diantara kedua belah pihak tentang setiap sesuatu
yang dianggap maslahat. Jika hanya satu yang memandang maslahat sedang yang lain menggapnya lain
(berbahaya), maka tidak mungkin tumbuh adanya suatu interaksi. Agar tumbuh adanya interaksi, masing-
(2) Perasaan terhadap suatu kemaslahatan harus sama. Apabila dua belah pihak merasa senang dan
benci secara bersama-sama, maka akan timbul interaksi. Tetapi jika satu pihak merasa senang sedang pihak
lain merasa benci, maka tidak akan terjadi interaksi diantara keduanya.
(3) Hanya ada hanya satu peraturan yang mengatur kemaslahatan itu. Jika satu pihak mengatur
kemaslahatan dengan peraturan tertentu sedang yang lain menolak, bahkan mengaturnya dengan peraturan
Dengan bersatunya pemikiran, perasaan, dan peraturan diantara individu maka terbentuklah suatu
masyarakat. Individu-individu yang demikian akan membentuk masyarakat yang khas. Jika mereka ingin
menggabungkan suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dengan maksud membentuk masyarakat
baru, maka mau tidak mau harus merombak pemikiran, perasaan dan peraturannya lalu berusaha
menggantinya dengan pemikiran, perasaan dan peraturan yang disepakati kedua belah pihak. Oleh karena
135
itu definisi masyarakat yang terdiri atas sekumpulan individu tidak sesuai dengan arti masyarakat yang
didasarkan pada suatu idologi. Definisi itu hanya cocok untuk masyarakat tertentu.
Adapun arti yang benar tentang masyarakat adalah terbentuk atas unsur manusia, pemikiran,
perasaan dan peraturan. Pemikiran atau pemecahan problema manusia yang dianggap cocok untuk suatu
tempat atau kondisi tertentu pasti cocok untuk manusia pada kondisi atau tempat yang lain. Inilah yang
menjadikan masyarakat yang berbeda menjadi satu setelah diadakan perombakan terhadap pemikiran,
Perbedaan antara manusia dan individu adalah bahwa jika membahas tentang sifat atau karakter
tertentu misalnya Muhammad, Khalid, Hasan maka yang menjadi obyek pembahasan adalah aspek
individunya. Berbeda halnya jika yang dibahas (pada orang tersebut) adalah dari segi kemanusiaan yang
fitri dan alami yang ada pada diri setiap manusia (akal, naluri, kebutuhan jasmani dan lain-lain), maka yang
menjadi obyek pembahasan adalah aspek kemanusiaannya walaupun yang dibahas tentang orang-orang
tertentu.
Usaha perbaikan yang bersifat fundamental terhadap masyarakat adalah dengan cara membahas
masyarakat sebagai kumpulan manusia, perasaan, peraturan dan pemikiran serta bukan dari aspek individu-
individunya.
Oleh karena itu yang perlu diperhatikan di sini adalah memandang masyarakat dari segi
kemanusiaannya bukan dari segi individunya saja, walauapun yang dibahas adalah orang-orang tertentu di
dalam masyarakat.
Inilah definisi masyarakat juga pandangan yang benar tentang pembentukan masyarakat. Begitu
pula hakekat dan kenyataan masyarakat; kelompok dan individu-individunya. Dengan demikian tampak
jelas bahwa pandangan yang salah terhadap masyarakat telah menghasilkan banyak teori sosiologi yang
salah, bahkan mengakibatkan terjadinya pandangan yang salah dalam ilmu sosiologi dalam seluruh aspek
pembahasannya.
Adapun yang terdapat dalam ilmu sosiologi tentang kelemahan yang menyeluruh terdapat pada
kelompok masyarakat dalam memahami setiap sesuatu yang lebih lemah dibandingkan individu. Atau dari
segi reaksi yang lebih cepat terpengaruh dibandingkan apa yang didapati pada individu; maka kebenaran
pandangan ini bukan karena pandangannya terhadap masyarakat, melainkan karena adanya akumulasi
informasi yang berkembang dibandingkan dengan apa yang diperoleh individu yang mempengaruhi
kepuasan terhadap suatu fakta. Lagi pula kebenaran itu disebabkan karena manifestasi untuk hidup
berkoloni yang nampak dalam kehidupan masyarakat dapat membangkitkan reaksi yang merupakan salah
136
satu manifestasi naluri mempertahankan diri. Oleh karena itu setiap teori yang dibangun atas dasar
pandangan ilmu sosiologi terhadap masyarakat adalah keliru. Sedangkan apa yang dianggap benar maka
kebenaran itu diakibatkan oleh sebab lain (seperti yang dijelaskan di atas) selain pandangan yang ada
terhadap masyarakat.
Berdasarkan penjelasan ini, maka ilmu sosiologi penuh dengan kekeliruan, karena dilandaskan pada
pandangan yang keliru yaitu pandangannya terhadap masyarakat dan individu. Adapun ilmu-ilmu
pendidikan didirikan berlandaskan ilmu sosiologi dan dipengaruhi oleh teori-teori sosiologi. Disamping
merupakan hasil pengamatan terhadap aktifitas individu atau keadaan beberapa anak. Landasan seperti ini
telah menyebabkan bercampurnya antara yang benar dan yang salah dalam lapangan ilmu-ilmu pendidikan.
Sehingga apa yang dibangun berlandaskan ilmu psikologi dan teori-teori sosiologi menghasilkan
kerusakan. Kerusakannya itu menyebabkan munculnya banyak teori pendidikan yang rusak dan
Pandangan yang menyatakan bahwa seorang anak mempunyai kemampuan menyerap suatu cabang
ilmu tetapi tidak mampu menyerap cabang ilmu yang lain adalah pandangan yang salah. Oleh karena itu
pembagian ilmu menjadi ilmu pengetahuan alam (sains) dan ilmu sosial, serta membiarkan seseorang
memilih dan mempelajari ilmu tertentu berdasakan kesanggupan daya serapnya adalah pandangan yang
salah pula. Ini adalah pandangan tyang amat keliru dan bertentangan dengan fakta, sekaligus
membahayakan usaha pembangunan ummat. Termasuk pandangan yang rusak adalah pernyataan bahwa
seseorang tidak berbakat mempelajari sebagian ilmu dan berbakat dalam ilmu yang lain. Hal ini akan
mencegah banyak orang mempelajari jenis-jenis ilmu tertentu dan menghalangi banyak orang melanjutkan
pendidikannya.
Teori yang muncul dalam dunia pendidikan berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak dan
aktifitas perorangan pada kondisi dan situasi yang berbeda kadang-kadang benar-benar sesuai dengan
kenyataan. Misalnya adanya rasa lelah, keperluan beristirahat dan kesegaran otak, dan semisalnya adalah
benar secara global, akan tetapi sebagian pengamatan yang tidak sesuai dengan realita, misalnya satu tahun
dibagi menjadi tiga kuartal atau menyediakan waktu libur bagi para pelajar selama dua bulan. Demikian
juga dengan dipilihnya sistem SKS disertai ujian yang diadakan dalam dunia pendidikan. Dari sini
muncullah kesalahan-kesalahan dalam teori pendidikan, serta kerusakan pendidikan dalam segala aspek.
Khususnya teori-teori yang dibangun berdasarkan ilmu psikologi dan dipengaruhi oleh teori ilmu sosiologi.
137
38. M A B D A`
Mabda` dalam bahasa Arab, adalah suatu bentuk (shighat) masydar mimy dari kata bada`a - yabda`u
- bad'an - wa mabda`an, yang artinya memulai. Menurut istilah mabda` berarti pemikiran yang mendasar
Bila ada orang yang berkata: "mabda`ku adalah kejujuran" maka yang dimaksud adalah bahwa asas
tiap-tiap perbuatanku adalah kejujuran. Begitu pula jika seseorang mengatakan bahwa mabda`nya adalah
menepati janji, maka yang dimaksud adalah bahwa asas mu'amalahnya adalah menepati janji. Dan
demikian seterusnya. Hanya saja banyak orang terbiasa menggunakan istilah mabda` untuk pemikiran-
pemikiran cabang yang diantaranya dapat dibangun pemikiran-pemikiran cabang lainnya, dan
pemikiran yang mendasar. Oleh karena itu mereka menganggap kejujuran, berbuat baik kepada tetangga,
Dari sinilah mereka menetapkan/menjadikan akhklak, ekonomi, sosiologi sebagai suatu mabda`.
Yang mereka maksud adalah adanya pemikiran-pemikiran tertentu tentang ekonomi yang menjadi dasar
bangunan bagi pemikiran-pemikiran ekonomi lainnya; atau pemikiran-pemikiran tertentu tentang undang-
undang yang menjadi dasar dan pokok bangunan yang melahirkan pemikiran-pemikiran lain dalam bidang
undang-undang.
Dan Sebenarnya pemikiran-pemikiran tersebut bukan merupakan suatu mabda`, melainkan sekedar
kaidah-kaidah atau pemikiran-pemikiran saja. Sebab mabda` adalah pemikiran yang mendasar. Sedangkan
pemikiran-pemikiran tersebut bukanlah pemikiran yang mendasar, melainkan pemikiran cabang, kendati
diatasnya dibangun pemikiran lain namun tetap tidak berarti menjadikannya sebagai pemikiran yang
mendasar. Pemikiran-pemikiran itu tetap statusnya sebagai pemikiran cabang; walaupun diatasnya
dibangun pemikiran-pemikiran yang lain, atau dapat memancarkan pemikiran-pemikiran baru, selama
pemikiran-pemikiran tersebut bukan merupakan pemikiran yang mendasar, akan tetapi terpancar dari
pemikiran-pemikiran lain, ataupun secara keseluruhan terpancar dari suatu pemikiran yang mendasar.
Dengan demikian, kejujuran, menepati janji, tolong-menolong atau yang selain itu adalah
pemikiran-pemikiran cabang, bukan pemikiran yang mendasar. Sebab pemikiran-pemikiran itu diperoleh
dari suatu pemikiran yang mendasar dan juga karena pemikiran-pemikiran itu bukan merupakan asas.
Kejujuran adalah cabang dari suatu asas. Bagi kaum muslimin kejujuran adalah suatu hukum syar'iy yang
138
diambil dari Al-Qur'an, sedangkan dalam pandangan orang-orang di luar Islam kejujuan merupakan satu
sifat yang baik yang dapat memberikan manfaat, yang diambil dari pemikiran Kapitalisme.
Oleh karena itu, suatu pemikiran tidaklah dikategorikan sebagai suatu mabda`, kecuali jika
pemikiran itu adalah pemikiran yang mendasar, yang memancarkan pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran
yang mendasar adalah pemikiran yang sama sekali tidak didahului oleh pemikiran lainnya. Dan pemikiran
yang mendasar ini hanya terbatas pada pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan
kehidupan. Tidak ada pemikiran lain yang lebih mendasar dari pemikiran itu. Sebab, pemikiran tersebut
adalah dasar dari kehidupan. Seorang manusia apabila memperhatikan dirinya sendiri, akan menemukan
bahwa dirinya adalah seorang manusia yang hidup dalam bagian alam semesta (bumi). Jika dia tidak
menemukan suatu pemikiran tentang dirinya, kehidupan, alam semesta, dari segi keberadaan dan
penciptaannya, maka tidak mungkin ia mendapatkan satu pemikiran yang menjadi dasar bagi kehid-
upannya. Hidupnya akan terus berlangsung tanpa dasar (prinsip), mengambang, berubah-ubah coraknya
dan labil, selama tidak ia temukan suatu pemikiran yang mendasar itu, atau belum mendapatkan suatu
pemikiran yang menyeluruh tentang dirinya sendiri, kehidupan, dan alam semesta.
Dari sini dapat dipahami bahwa pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan
kehidupan adalah satu-satunya pemikiran yang mendasar. Dan inilah yang disebut aqidah. Hanya saja
aqidah ini tidak mungkin dapat memancarkan berbagai pemikiran dan tidak akan dapat dibangun diatasnya
pemikiran-pemikiran lain, kecuali jika aqidah tersebut berupa pemikiran, yakni sesuatu yang diperoleh
melalui proses pemikiran. Adapun apabila aqidah itu ditelan begitu saja (dogmatis) maka aqidah tidak akan
menjadi suatu pemikiran, dan tidak dapat dikatakan sebagai suatu pemikiran yang menyeluruh, meskipun
bisa saja ia disebut sebagai aqidah. Oleh karena itu, seseorang harus memperoleh pemikiran yang
menyeluruh tersebut melalui jalan aqal. Dengan kata lain harus merupakan hasil proses pemikiran akal.
Dengan cara inilah akan diperoleh suatu aqidah yang bersifat aqliyah (dibangun berdasarkan akal). Dari
sinilah terpancar dan dapat dibangun berbagai macam pemikiran, berupa pemecahan problematika
kehidupan manusia yang merupakan seperangkat hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Ketika telah terwujud suatu aqidah aqliyah, dan terpancar darinya hukum-hukum yang dapat
memecahkan problematika kehidupan, maka terbentuklah suatu mabda`. Dengan demikian definisi mabda`
adalah aqidah aqliyah yang terpancar darinya nizham. Dari sini dapat diketahui, bahwa Islam adalah suatu
mabda`, sebab dia adalah aqidah aqliyah yang darinya terpancar sistem, yaitu hukum-hukum syara' yang
dapat memecahkan problematika kehidupan. Begitu pula halnya komunisme dan kapitalisme merupakan
139
mabda`, karena mereka berupa aqidah aqliyah yang diatasnya dibangun pemikiran-pemikiran yang dapat
Berdasarkan hal ini dapat pula dijelaskan, bahwa nasionalisme bukanlah suatu mabda`, demikian
pula patriotisme, Nazisme, dan eksistensialisme. Karena masing-masing idea tersebut bukan merupakan
aqidah aqliyah, tidak dapat memancarkan sistem dan tidak dapat dibangun di atasnya berbagai pemikiran
140
39. KESADARAN POLITIK
Yang dimaksud dengan kesadaran politik bukanlah kesadaran terhadap situasi-situasi politik, posisi-
posisi internasional, maupun peristiwa-peristiwa politik. Sebab kesadaran terhadap situasi politik, posisi-
posisi internasional, ataupun peristiwa-peristiwa politik adalah upaya untuk memahaminya. Sedangkan
yang dimaksud dengan "kesadaran politik" adalah upaya manusia untuk memahami bagaimana memelihara
urusannya. Kesadaran politik adalah suatu pandangan yang universal (mencakup seluruh dunia
internasional)dengan susut pandang yang khas. Pandangan yang universal tanpa melalui sudut pandang
yang khas adalah pandangan yang dangkal, dan bukan merupakan kesadaran politik. Begitu juga
pandangan yang bersifat regional adalah pandangan yang sempit, dan tidak membentuk kesadaran politik.
Kesadaran politik tidak akan sempurna, kecuali dipenuhinya dua unsur. Pertama, adanya
pandangan yang universal, yang tidak terbatas pada negeri-negeri tertentu. Kedua, pandangan tersebut
harus bertolak dari sudut pandang yang khas, dari manapun asalnya, bisa merupakan mabda`/ideologi atau
ide-ide tertentu. Hanya saja, jika sudut pandang yang khusus tersebut merupakan suatu mabda`, maka
kesadaran politik yang terbentuk akan selalu bersifat langgeng (fixed). Sehingga dapat dikembangkan ke
setiap arah yang mengarah pada satu tujuan dan tidak akan bergeser atau berubah dari tujuan yang telah
dicapainya, serta menjadi sifat bawaan yang tetap ada dalam umat, bukan hanya pada diri individu-individu
saja.
Suatu kesadaran politik, dengan sendirinya memastikan adanya perjuangan pada diri manusia yang
dikerahkan untuk membentuk persepsi tertentu tentang kehidupan dimanapun berada. Pembentukan
persepsi ini merupakan tanggung-jawab utama yang diemban oleh orang-orang yang telah memiliki
kesadaran politik. Ia tidak akan merasa tenang, kecuali menghadapi segala macam kesulitan untuk
Orang yang memiliki kesadaran politik, pasti akan menerjunkan diri dalam kancah perjuangan
Karena satu sama lain tidak dapat dipisahkan dalam perjuangannya, walaupun seujung rambut. Termasuk
memperjuangkan tindakan melawan setiap ancaman yang menentang persepsinya tentang kehidupan, serta
melawan setiap hal yang berasal dari naluri semata yang diterima secara turun-temurun sejak abad-abad
kemunduran umat; demikian juga perjuangan melawan pengaruh kapitalisme yang bercokol melalui
141
pemenuhan tuntutan-tuntutan yang temporer. Serta berjuang melawan usaha-usaha menyudutkan tujuan-
Kesadaran politik tidak berarti harus menguasai setiap keadaan yang ada di dunia. Setiap sesuatu
yang menyangkut mabda`, atau menguasai apa yang harus dijadikan sudut pandang tertentu yang bersifat
universal. Akan tetapi kesadaran politik cukup ditunjukkan dengan adanya pandangan tertentu yang
universal, tanpa memandang apakah pengetahuan yang dimilikinya tentang pandangan tersebut banyak atau
sedikit. Serta menjadikan pandangan tersebut bertolak dari sudut pandang tertentu, tanpa memandang
apakah pengetahuannya tentang sudut pandang tersebut sedikit atau banyak. Hanya dengan adanya
pandangan yang bersifat universal dan sudut pandang tertentu, sudah menunjukkan adanya kesadaran
politik. Walaupun tingkat kesadaran itu bisa berbeda-beda, tergantung perbedaan pengetahuan tentang
masyarakat dan negara-negara di dunia. Sebab yang dimaksud dengan "pandangan yang bersifat universal
ini" adalah terfokus pada "pandangan tentang keadaan manusia" yang hidup di bumi ini. Sedangkan yang
dimaksud dengan "pandangan yang bertolak dari sudut pandang tertentu" adalah terfokus pada persepsi
Dari sini dapat dipahami, bahwasanya kesadaran politik tidak hanya dimiliki oleh politikus atau
cendekiawan. Tetapi, bersifat umum, dan mungkin saja terwujud di kalangan awam atau masyarakat yang
buta huruf, sebagaimana halnya dengan para ulama dan kaum terpelajar. Kesadaran politik harus ada
ditengah-tengah umat secara keseluruhan, walaupun dalam bentuk global. Sebab, tanpa adanya kesadaran
politik ini ditengah-tengah umat, malahan ada pada setiap individu umat, maka tidak mungkin menngetahui
Kesadaran politik adalah suatu kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi dan keberadaannya harus
ada ditengah-tengah umat. Tanpa adanya kesadaran politik, maka tidak mungkin mengetahui pentingnya
Islam bagi kehidupan individu dan masyarakat. Begitu juga tidak mungkin menjamin dukungan umat
terhadap para pengemban dakwah yang senantiasa berjuang menentang kekufuran dan menentang
penjajahan. Dukungan umat harus ada disetiap kondisi baik saat datangnya kemenangan atau dikala ditimpa
kekalahan.
Tanpa adanya kesadaran politik, tidak akan terealisir nilai-nilai Islam yang agung, begitu pula
keadaan umat bertambah buruk, sehingga hilanglah sebab-sebab yang mendatangkan kemajuan dan
kemuliaan umat, bahkan terbuanglah segala usaha-usaha dan upaya yang telah dicurahkan untuk
membangkitkan umat. Tiadanya kesadaran politik dikalangan kaum muslimin --mengingat keberadaan
142
mereka sebagai suatu umat-- akan mempercepat kehancuran Islam, dan menambah bahaya kehancuran
kaum muslimin, serta meniadakan setiap cara dan sarana yang memungkinkan berlanjutnya kehidupan
Islam, sekaligus berkembangnya dakwah Islamiyah. Oleh karena itu adanya kesadaran politik, adalah suatu
masalah yang menjadi kebutuhan yang amat mendesak bagi umat Islam. Bahkan tidak berlebihan jika
dikatakan, bahwa masalah ini menyangkut persoalan "hidup atau mati". Keberadaan beberapa individu
umat yang dalam dirinya tertanam suatu kesadaran politik, tidak mungkin dapat menjadikan umat terhindar
dari malapetaka atau mencegahnya dari kemerosotan, walaupun orang-orang yang telah memiliki kasadaran
politik tersebut dalam jumlah yang besar. Selama keberadaan mereka tetap sebagai individu-individu
semata. Mereka bersama umat akan ditimpa malapetaka, sekaligus menyaksikan kemerosotan umat dan
menderita akibat dari kemerosotan ini. Oleh karena itu kesadaran politik harus dimiliki mayoritas individu
Oleh karena itu, mau tidak mau segenap usaha dan tenaga harus dicurahkan dengan sungguh-
sungguh untuk mewujudkan kesadaran politik di tengah-tengah umat, sebanding dengan seluruh usaha dan
tenaga yang harus dicurahkan secara sungguh-sungguh untuk mewujudkan persepsi Islam di tengah umat
dan mempertajam semangat Islam. Agar terbentuk perasaan bahwa seluruh dunia membutuhkan Islam,
dan mengetahui arah hidup yang benar, maka perasaan ini harus terpancar lebih dulu oleh kebutuhan umat
terhadap Islam. Kemudian perasaan ini ditingkatkan dengan membentuk kesadaran kepada kaum muslimin
tentang Islam dan menarik perhatian mereka terhadap Islam. Dengan kata lain, wajib mencurahkan
kesungguhannya, agar umat ini memandang setiap keadaan di dunia dari sudut pandang Islam, sehingga
pandangan tersebut muncul pada sebagian besar kaum muslimin, walaupun masih dalam bentuk global,
Yang harus diperhatikan pertamakali adalah bahwasannya kesadaran yang dihasilkan tersebut
memiliki ciri yang istimewa, yaitu berupa pandangan yang universal terhadap kemaslahatan manusia
ditinjau dari sudut pandang Islam. Demikian juga, umat Islam harus memiliki keyakinan bahwa upaya
menyelamatkan seluruh dunia, dengan selain Islam, adalah sesuatu yang mustahil. Mereka harus menyadari
walaupun secara global; bahwa upaya mewujudkan Islam di tengah-tengah percaturan kehidupan
masyarakat, tanpa adanya daulah Islamiyah, hanya berupa angan-angan kosong belaka. Dikalangan orang
yang telah tumbuh dan terbuka kesadaran politiknya, harus ada kejelasan pada diri mereka bahwa upaya
merealisasikan daulah Islamiyah tanpa adanya umat Islam adalah anggapan kosong; dan bahwasannya
143
usaha umat untuk mewujudkan daulah Islamiyah, tanpa kesadaran politik hanya sekedar khayalan dan
lamunan saja.
Kesadaran politik akan tampak pada diri umat, tatkala telah terlihat bahwa pandangan mereka
terhadap dunia ini berasal dari sudut pandang Islam. Namun demikian bagi seorang individu kesadaran
politik ini tidak tampak kecuali jika telah tumbuh dan terbuka kesadaran tersebut dalam dirinya. Oleh
karena itu amat sulit untuk mengetahui bahwa seseorang telah memiliki kesadaran politik, jika kesadaran
itu belum nampak pada dirinya secara nyata. Bagi orang yang memiliki kesadaran politik tidak mungkin
terpengaruh oleh kata-kata yang hebat dan berlebih-lebihan, julukan dan nama besar. Ia senantiasa akan
berhati-hati agar pikirannya tidak termakan propaganda dan publikasi mas media.
Seorang yang memiliki kesadaran politik senantiasa menjaga diri untuk tidak tersesat oleh fakta-
fakta atau tersesat dalam mencari hakekat tujuan yang ia usahakan untuk meraihnya. Ciri khas yang
dimiliki oleh orang yang memiliki kesadaran politik adalah sifat hati-hati dalam menerima berita-berita
atau pendapat tertentu, agar ia tidak dikacaukan, walaupun oleh sesuatu yang dianggap remeh. Dengan
kata lain, ia akan mengambil segala sesuatu dengan penuh kesadaran, dan senantiasa berpikir tentang
hakekat kenyataan sesuatu serta kedudukannya diantara tujuan yang tengah ia usahakan.
Hendaklah orang-orang yang telah memiliki kesadaran politik berhati-hati untuk menyerahkan
kecenderungannya terhadap pendapat atau berita-berita tertentu. Kecenderungan terhadap sesuatu yang
diperoleh partai, atau suatu gerakan, ataupun ideologi tertentu kadangkala dapat mendorongnya untuk
menafsirkan suatu pendapat atau berita dan kadang-kadang dapat memutarbalikkan fakta dengan
memanambah sesuatu yang dapat dipandang oleh seseorang sebagai hal yang benar, padahal tidak, atau
dipandang sebagai hal yang dibuat-buat, padahal benar. Oleh karena itu, orang yang memiliki kesadaran
politik hendaklah menyadari setiap ucapan yang dilontarkan atau setiap usaha/tindakan yang dilakukan oleh
orang lain. Akan tetapi, tidaklah cukup hanya dirinya yang mengetahui hal itu. Sebab orang yang telah
mempunyai kesadaran politik adalah orang yang dapat memahami sesuatu dan menjelaskannya kepada
setiap manusia, hingga hal itu dapat dijadikan sebagai bahan perbincangan dan diskusi ditengah-tengah
masyarakat. Kemudian, berusaha mewujudkan kesadaran itu pada diri umat secara keseluruhan, sehingga
umat terbiasa tidak "menelan mentah-mentah" kata-kata begitu saja, tetapi mereka terbiasa meneliti atau
Seseorang tidak dapat dikatakan memiliki kesadaran politik, jika ia mengatakan sesuatu dan berbuat
berlawanan dengan apa yang ia katakan; atau ia memiliki pendapat tertentu, tetapi tidak berusaha
menerapkannya. Sesungguhnya orang yang menganut suatu ideologi atau suatu ide tertentu yang memiliki
144
kesadaran politik terhadapnya, maka kesadaran itu akan tampak dalam aktivitas perbuatannya, bukan dalam
bentuk pidato, tulisan, atau diskusi-diskusi. Selama pemikiran-pemikiran yang dimilikinya belum
menjelma dalam aktivitas perbuatannya dan akibatnya, maka sudah selayaknya ia maupun orang lain
meragukan adanya kesadaran politik tersebut atau paling tidak adanya kesadaran yang benar dalam dirinya.
Orang yang sudah mempunyai kesadaran politik baik berupa individu, kelompok/gerakan atau
masyarakat, tidak akan terbukti kesadarannya kecuali dengan merealisasikannya dalam bentuk perbuatan
yang nyata. Disamping itu belum tampak kejujurannya, kecuali dengan melakukan persembahan dan
pengurbanan. Inilah ciri-ciri orang yang benar-benar memiliki kesadaran politik yang benar. Sebab arti
dari kesadaran adalah mengamati dan memperhatikan. Sedangkan yang dimaksud sebagai kesadaran yang
bercirikan politik adalah memelihara dan mengatur urusan diri dan umat berlandaskan kesadarannya itu.
Oleh karena itu, orang-orang yang telah memiliki kesadaran politik, pasti akan berhadapan dengan
berbagai masalah dalam interaksinya secara langsung dengan realita, manusia, dan problematika
kehidupan. Tidak ada perbedaan apakah hal ini berkenaan dengan keadaan lokal ataupun keadaan interna-
sional. Ketika mereka berhadapan dengan semua itu, maka akan tampaklah kemampuannya untuk
menjadikan risalah yang dipikulnya, atau sudut pandang tertentu yang khas terhadap dunia sebagai azasnya
Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara individu dengan umat. Usaha umat untuk berbuat sesuai
dengan sudut pandang yang khas dan tertentu yang digunakannya untuk memandang dunia ini, adalah sama
dengan usaha yang dilakukan individu, dua-duanya harus ada. Demikian pula, umat maupun individu harus
menjadikan sudut pandang tersebut sebagai aqidah sama halnya dengan berhadapannya mereka dengan
berbagai problema kehidupan yang merupakan suatu keharasan, baik untuk umat maupun individu. Semua
itu dilakukan, sehingga dapat dibenarkan adanya kesadaran politik dalam diri umat.
Oleh karena itu, dalam diri umat, sebagai satu kesatuan, harus terhunjam tiga hal:
Pertama: Adanya perhatian terhadap kepentingan umat dengan perhatian yang sempurna, dan merupakan
tindakan yang muncul dengan sendirinya. Sehingga seorang muslim dalam do'anya memohon: "Ya Allah,
berikanlah rahmat (karunia)Mu kepada umat Islam" sebagaimana ia berdo'a untuk dirinya sendiri: "Ya
Kepeduliannya terhadap umat akan nampak dalam perkataannya seperti: "Apakah tentara Islam
mendapat kemenangan?" sebelum ia menanyakan keadaan anaknya yang ada di antara tentara itu (selamat
atau gugur).
145
Kedua: Adanya kesatuan pandangan dan kedisiplinan terhadap hal-hal yang wajib dilawan atau
dimusnahkan, juga terhadap hal-hal yang wajib dibangun dan ditumbuhkembangkan, baik berupa
Ketiga: Dijadikannya ketaatan sebagai suatu watak, dan sikap penolakan terhadap suatu perintah suatu
perbuatan keji yang menjijikkan dan dibenci. Tunduk kepada musuh bukanlah suatu ketaatan. Demikian
juga menghadapi penyimpangan (yang dilakukan penguasa), bukanlah suatu pembangkangan. Tetapi
ketaatan adalah melaksanakan perintah orang yang berhak untuk ditaati dengan penuh ketundukan,
keridlaan, dan ketentraman. Sedangkan pembangkangan adalah kebalikan dari semua itu.
146
40. GAYA PENGUNGKAPAN YANG BERCIRIKAN PEMIKIRAN DAN
YANG BERCIRIKAN SASTRA
Gaya penulisan adalah ungkapan makna-makna yang disusun dengan kata-kata yang teratur.
Dengan kata lain, gaya penulisan adalah cara mengungkapkan sesuatu untuk menggambarkan apa yang ada
Susunan kata-kata dalam bahasa, sekalipun menonjol dalam gaya penulisannya, akan tetapi tidak
mungkin berdiri sendiri dari makna-makna yang ditunjukkan oleh lafadz. Tersusunnya suatu tulisan dalam
gaya bahasa tertentu memerlukan susunan makna-makna yang teratur dan terbentuk dalam diri seseorang
penulis atau pembicara. Dengan begitu ia memiliki gaya penulisan tertentu, kemudian terbentuk keserasian
Seorang penulis atau pembicara dituntut untuk memahami apa yang ia ingin sampaikan secara
mendalam dan jelas, kemudian berusaha menyampaikannya sesuai dengan pemahamannya dengan gaya
penyampaian yang mempunyai kesan yang mendalam. Setelah itu, baru dituangkan dalam bentuk bahasa
yang memerlukan wawasan yang luas dalam bahasa. Kemampuan dalam menggunakan kata-kata dan
Begitu pula memerlukan adanya pengaruh dan reaksi dari pembicara setelah ia memahami hakekat
suatu kenyataan dan berusaha untuk menyampaikannya. Oleh karena itu, ia harus menggerakkan akal,
pemikiran, perasaan, hati, serta imajinasinya, untuk memahami setiap makna dengan semaksimal mungkin.
Setelah itu akan muncul kekuatan bahasanya dengan memilih kata-kata yang tepat dan dapat
menyampaikan ungkapan dengan makna yang cocok dan sesuai. Ungkapan yang "halus" memerlukan kata-
kata yang lembut. Sebaliknya ungkapan yang "luhur" memerlukan kata-kata yang agung, demikian seterus-
nya.
Lebih dari itu sebuah gaya bahasa menuntut penulis dan pembicaranya untuk memahami apa yang
ada disetiap ungkapan yang berupa makna yang mendalam, dan mempertajam pemahamannya mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan keindahan kandungan bahasa (balaghah). Kemudian ia dapat memilih
ungkapan yang mempesona dan tepat sesuai dengan imajinasinya yang indah atau makna-makna yang
mengagumkan serta menjauhi kata-kata yang rancu dan saling bertolak belakang yang hanya akan
mengganggu selera dan rasa. Agar dasar ini menjadi jelas bahwa maksud tulisan atau pembicaraan tidak
lain menyampaikan ungkapan makna-makna yang ada pada diri penulis atau pembicara yang ditujukan
barulah diperhatikan susunan kata yang mampu mengekpresikan makna-makna tersebut sesuai dengan apa
yang dikehendaki si penulis atau pembicara. Dengan demikian, masalahnya hanya berkisar pada dua hal:
pertama, ungkapan makna dan yang kedua, kata-kata yang dipergunakan untuk menyampaikan makna-
makna tersebut.
Dari sini muncul perbedaan ekspresi para penulis dan pembicara terhadap ungkapan makna dan
kata-kata. Ada yang menuangkan perkataannya kepada yang dimaksud terlebih dahulu dan menulis kata-
kata yang dapat menjelaskan ungkapan makna secara mendalam. Ada juga yang lebih mementingkan kata-
kata dan kurang memperhatikan penyampaikan makna-makna secara mendalam demi menjaga keindahan
kata-kata.
Oleh karena itu gaya penulisan dan pembicaraan terbagi dua, ada yang beciri pemikiran dan adapula
yang beciri sastra, masing-masing mempunyai keserasian yang berbeda-beda. Adapun gaya yang becirikan
pemikiran maka seorang penulis atau pembicara dalam hal ini biasanya memilih idea-idea yang
dikehendakinya, karena pentingnya atau kualitas mutunya atau sesuai dengan kebutuhan, kemudian idea-
idea ini disusun dengan cara yang diterima oleh akal agar menjadi lebih mudah dipahami. Kemudian
Peranan emosi dalam gaya pengungkapan yang becirikan pemikiran adalah hal yang harus ada yang
muncul dari jiwa yang bersih. Pengetahuan yang diperoleh oleh akal merupakan landasan pertama dalam
pembentukan gaya tersebut, tidak ada sesuatu isyarat apapun yang menunjukkan emosi yang dibuat-buat.
Tetapi yang menjadi fokus perhatiannya adalah mengumpulkan dan mendalami idea-idea sehingga pantas
disebut sebagai bahasa akal. Tujuan yang ingin dicapai adalah menyampaikan fakta-fakta dengan maksud
Keistimewaan pengungkapan dengan bahasa ini adalah ketelitian, kejelasan dan kedalaman. Pada
dasarnya gaya pengungkapan yang berisi pemikiran selalu tegak berdasarkan akal dan menyebarluaskan
pemikiran dan pengetahuan yang benar (sesuai dengan fakta), untuk mencapai hal ini membutuhkan usaha
maksimal dan mendalam. Secara global gaya ini tersusun dari dua unsur pokok; pertama ide-ide, yang
Adapun gaya pengungkapan yang bercirikan sastra, para penulis dan pembicara tidak hanya
berhenti sebatas fakta (pemikiran yang benar) dan pengetahuan. Tujuannya tidak terbatas hanya untuk
mengisi akal dengan pemikiran, akan tetapi gaya ini berusaha mengenalkan fakta-fakta, dan memilih mana
yang terpenting dan paling menonjol, yang didalamnya dapat ditemukan keindahan kalimatnya, baik yang
148
nampak atau yang tersembunyi, dan atau ungkapan berupa nasehat dan pelajaran; dan berupa ajakan untuk
berfikir atau hal-hal yang menarik dan mempengaruhi jiwa seseorang. Kemudian apa yang dipilihnya itu
diekspresikan dengan gaya bahasa tertentu, yang dapat memberi kesan pada dirinya sebagai seseorang yang
kagum, yang tersentuh hatinya (dengan nasehat) rela atau marah. Lalu ia berusaha membentuk emosi atau
perasaan yang sama pada diri para pembaca atau pendengar, agar mereka dapat menjadi orang-orang yang
Gaya pengungkapan yang bercirikan sastra biasanya berusaha untuk membangkitkan emosi.
Kemudian berusaha mengekspresikan emosi itu dalam bentuk kata-kata dan ungkapan yang digunakan
untuk menyampaikan pemikirannya. Perhatian dalam gaya ini dititikberatkan pada gejolak emosi, sehingga
Tujuan gaya ini adalah untuk mempengaruhi pembaca dan pendengar, yaitu dengan cara
menggambarkan fakta-fakta dalam bentuk yang indah dan mempesona sesuai dengan gambaran yang
dimiliki penulis, atau sesuai dengan gambaran yang harus dimiliki oleh para pendengar atau pembaca.
Sasaran gaya ini adalah meletakkan kata-kata yang luhur/ penting, mempunyai keluasan arti,
menjelaskannya secara panjang lebar untuk menerangkan satu makna dengan memperbaiki aspek
keindahan yang mempesona dan dapat membangkitkan emosi. Keistimewaan gaya ini terletak pada
kekuatan jiwa/perasaan yang mempengaruhi ungkapannya secara jelas. Sehingga nampak dalam bentuk
kata-kata, susunan kalimat termasuk unsur balaghah (sastra)nya. Secara umum gaya ini tersusun atas tiga
unsur: pertama pemikiran-pemikiran, kedua unsur balghahnya, dan yang ketiga ungkapan yang dibentuk
Kekuatan gaya, kejelasan dan keindahan dapat ditemukan pada gaya yang becirikan pengungkapan
pemikiran seperti juga dapat dijumpai pada gaya pengungkapan yang becirikan sastra, jadi tidak khusus
pada suatu gaya tertentu, karena hal ini merupakan sifat bagi suatu gaya baik yang berupa sastra maupun
pemikiran.
Oleh karena itu kita temui banyak gaya pengungkapan yang bercirikan pemikiran yang dapat
mengungkapkan keindahan dan ketepatannya, melebihi gaya pengungkapan yang bercirikan sastra. Gaya
pengungkapan yang bercirikan pemikiran selalu harus digunakan dalam mengajarkan masyarakat tentang
ide-ide, menjelaskan dan menumbuhkan kepercayaan terhadap ide tersebut kepada mereka. Itu semua tidak
akan tercapai kecuali dengan gaya pengungkapan yang bercirikan pemikiran. Gaya ini dapat juga
memberikan pengaruh dalam membangkitkan perasaan dan mendorong untuk melaksanakan idea yang
telah dipahaminya sekalipun pengaruh ini prosesnya lambat dan membutuhkan penghayatan berpikir
149
sehingga dapat membangkitkan jiwa dan perasaannya. Hanya saja perasaan yang terwujud melalui cara ini
dapat menumbuhkan perasaan yang abadi, yang tidak akan lenyap kecuali apabila kepercayaan terhadap
ide itu hilang. Berbeda dengan gaya pengungkapan yang bercirikan sastra yang tidak digunakan kecuali
untuk mempengaruhi perasaan. Cara ini selalu digunakan untuk mendorong masyarakat melakukan suatu
perbuatan. Gaya ini sekalipun mengajarkan pendengar dan pembaca akan fakta-fakta (terhadap kehidupan),
akan tetapi yang diajarkan adalah suatu fakta dan pengetahuan yang sepele dan tidak mampu
menyampaikan ide-ide yang mendalam. Kalaupun berusaha menyampaikannya dia akan menyederhanakan
atau mendramatisir, sehingga akan hilang arti kedalaman makna-maknanya yang akhirnya tidak memiliki
nilai apa-apa.
Dengan demikian tidak mungkin menyampaikan suatu pemikiran untuk suatu ideologi, filsafat,
tasyri' (hukum) atau ilmu-ilmu eksakta dan semacamnya kecuali dengan gaya pengungkapan yang
bercirikan pemikiran, sedangkan puisi dan pidato tidak mungkin kecuali disampaikan dengan bahasa
Atas dasar hal ini maka gaya pengungkapan yang bercirikan pemikiran selalu harus digunakan
untuk menyampaikan idea, sedangkan gaya pengungkapan yang bercirikan sastra harus selalu digunakan
untuk mempengaruhi masyarakat dan mendorong mereka untuk berbuat sesuatu yang diinginkan dari
mereka. Oleh karena itu gaya pengungkapan yang bercirikan pemikiran selalu digunakan oleh umat pada
saat proses kebangkitannya dan dalam menuju puncak kemuliaan. Sedangkan gaya pengungkapan yang
bercirikan sastra selalu digunakan oleh umat yang taraf berpikirnya rendah (dangkal) atau dalam keadaan
hidup bermewah-mewahan. Dari sini kita jumpai bahwa masa ketika diutusnya Rasulullah saw, syair dan
karya sastra kurang nampak dalam masyarakat, sementara gaya pengungkapan yang bercirikan pemikiran
Al-Qur'anul Karim adalah sebaik-baiknya contoh dalam gaya pengungkapan yang bercirikan
pemikiran. Gaya inilah yang lebih banyak digunakan disamping mengandung seindah-indahnya
pengungkapan yang bercirikan sastra akan tetapi bentuknya selalu dirangkai dengan gaya pengungkapan
yang bercirikan pemikiran baik dari segi kedalaman maupun kejelasan dan kelebihannya.
Pada masa ini umat Islam mulai menampakkan gejala kebangkitannya. Sehingga sangat dibutuhkan
sekali gaya pengungkapan yang bercirikan pemikiran untuk menyampaikan fakta-fakta/ide yang benar
kepada masyarakat dan menjadikan perasaan mereka yang telah dibangkitkan untuk berbuat senantiasa ada,
150
namun hal ini dilakukan setelah menanamkan dalam benak mereka pemikiran yang kita inginkan, agar
***
151