Anda di halaman 1dari 9

E-Jurnal: Nurma Gemilang Vol. 1 No.

1 Juli 2023
E-ISSN: XXXX-XXX

http://ejurnalnurmagemilang.com/

FENOMENA FANATISME DAN TAQLID BUTA PADA MASYARAKAT


MUSLIM INDONESIA

Rihan Alfitra Daudy*1, Jesika Ramasuci2, Fiqih Ahmad Alfisyari3, Reinita Nur Rahmah4, Wulida
Emeris5.
*1,2,3,4,5
Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Indonesia
*1
e-mail: rihan.daudi@gmail.com
2
e-mail: j.rahmasuci@gmail.com
3
Email: alfiqiahmad@gmail.com
4
Email: reinitanurrahmah@gmail.com
5
Email: emeris2105@gmail.com

Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan hasil observasi dan pengamatan terhadap fenomena fanatisme dan taqlid
buta di masyarakat Indoneisa berupa sikap anarkis dan kekerasan yang terjadi antara masyarakat Indonesia. Penelitian
ini menggunaka metode Studi Pustaka, dengan melihat sumber-sumber ilmiah seperti kitab para ulama, buku, dan
jurnal-jurnal ilmiah. Untuk mengetahui observasi kondisi sosial masyarakat, tulisan ini menggunakan berita terkini
untuk menggambarkan kondisi masyarakat sekitar. Bagaimana sikap fanatisme ini bermula? Bagaimana taqlid buta
berakar pada masyarakat muslim? Pertama, melalui doktrin adab dan persaudaraan solidaritas yang diterapkan dalam
pembelajaran agama Islam. Kedua, melalui ketidaktahuan dan kejahilan yang ada pada masyarakat Indonesia. Ketiga,
melalui tokoh-tokoh agama yang menggemborkan glorifikasi terhadap guru agama. Maka hal yang menjadi solusi
untuk fenomena ini adalah menanamkan sikap toleransi, kritisme dan berpeang teguh pada landasan agama bukan
pada tokoh agama saja.

Kata kunci: Taqlid Buta, Fanatisme, Anarkis, Kekerasan, Kebodohan.


Abstract
This paper aims to describe the results of observations and the phenomena of fanaticism and the blind followers in
Indonesian society in the form of anarchic attitudes and violence that occur between Indonesian people. This research
uses the Literature Study method, by looking at scientific sources such as the books of scholars, books, and scientific
journals. To find out the observations of the social condition of the community, this paper uses the latest news to
describe the condition of the surrounding community. How did this fanaticism start? How is blind taqlid rooted in
Muslim society? First, it comes through the doctrine of manner extremelly and brotherhood of solidarity which is
applied in Islamic religious learning. Second, through ignorance and that exist in Indonesian society. Third, through
religious figures who teach about the glorification of religious teachers. The solutions for this phenomenon are
spreading tolerance, critism dan getting along with the pilar of deen, not just by the religious figures.

Keywords: Blind Followers, Fanatism, Anarchic, violence, stupidness

PENDAHULUAN
Ketidakstablian masyarakat adalah problematika yang sudah terjadi sejak dulu dan
merupakan hal yang lumrah diantara kumpulan-kumpulan manusia, setidaknya didalam mencari
solusi dari ketidakstabilan berupa perbedaan adalah mencari kesamaan sehingga stabilitas dapat
digapai, karena penggapaian kesamaan diantara perbedaan adalah solusi yang efektif untuk

Rihan Alfitra Daudy, Jesika Ramasuci, Fiqih Ahmad Alfisyari, Reinita Nur Rahmah, Wulida Emeris. | 42
menenangkan ketegangan diantara kedua belah pihak yang saling berbeda, maka akan muncullah
kestabilan masyarakat yang rukun dan harmonis untuk membangun negeri menjadi lebih baik,
karena tanpa kesatuan tidak ada namanya kemajuan melainkan kemunduran.
Namun perbedaan ini kembali menjadi sulit untuk dicari titik terangnya terlebih lagi ketika
bersinggungan dengan permasalahan Islam. Agama Islam adalah agama yang menjunjung tinggi
bukti dan data didalam menjalankan agama Islam itu sendiri, seluruh hal yan ada didalam Islam
wajib berlandaskan dalil yang valid dan jelas. Hal inilah menjadi titik permasalahan diantara umat
agama Islam mengenai perbedaan pendapat yang disertai dengan faktor-faktor eksternal yang
membuat perbedaan tersebut semakin parah.
Di dalam buku tadzkiratus saami wal mutakallim fii adabil’alim wal muta'allim Ibnu Jamaah
As-Syafi’I menukilkan ucapan Ibnu sirin. Beliau berkata ketika membahas tentang memilih
seorang guru agama “ Ilmu ini adalah agamamu maka perhatikanlah kepada siapa engkau
mengambil agamamu” (As-Syafi’i, 2019). Ulama salaf sangat menyarankan agar seseorang kritis
dan meningkatkan daya intelektual didalam permasalahan agama, karena agama adalah tentang
keyakinan dan keyakinan tidak akan didapat kecuali dengan belajar dan menggunakan daya
pikiran untuk memahaminya. Umat Islam maju karena kecerdasan bukan kefanatikan, inilah poros
yang berusaha diajarkan oleh para ulama salaf terdahulu.
Fanatisme sendiri merupakan sebuah fenomena yang krusial dan penuh dengan konflik serta
diwarnai kekerasan (Makka et al., 2019). Konflik agama berupa kekerasan disebabkan oleh taklid
buta dan fanatisme, sehingga tatanan masyarakat tidak akan stabil dan rentan terjadinya kerusuhan
atas nama agama. Didalam bertujuan untuk membahas mengenai sebab fenomena fanatisme
agama yang terjadi pada masyarakat Muslim Indonesia dan membuktikkan bahwasanya kerusuhan
yang terjadi disebabkan oleh fanatisme buta kepada tokoh-tokoh Muslim.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunaka metode Studi Pustaka, dengan melihat sumber-sumber ilmiah
seperti kitab para ulama, buku, dan jurnal-jurnal ilmiah. Untuk mengetahui observasi kondisi sosial
masyarakat, tulisan ini menggunakan berita terkini untuk menggambarkan kondisi sosial
masyarakat sekitar.
Penelitian ini dilakukan untuk mencari solusi dengan berpijak pada pengkajian secara kritis
dan lebih mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang dibutuhkan. Bahan bahan pustaka
diposisikan sebagai sumber acuan dan inspirasi yang dapat membangkitkan gagasan atau
pemikiran lain, sehingga menggunakan buku-buku ulama dan jurnal yang terkait sangat
dibutuhkan untuk mencari sebab dan akibat dari tindakan fanatisme dan taklid buta (Sari &
Asmendri, 2020).

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hubungan Taklid Dan Fanatisme
Taklid berasal dari bahasa arab Qallada, Yuqallidu, Taqliidan yang bermakna suatu ikatan,
atau mengikatkan sesuatu di leher seperti kalung. Definisi ini diucapkan oleh Syaikh Al-Ustaimin
Rahimahullah di dalam kitab beliau yang berjudul Al-Usul min Ilmi Usul berkaitan tentang usul
didalam agama. Taqlid berarti seseorang menggantungkan sesuatu kepada seorang terhadap
sesuatu yang ia tidak tahu, atau ilmu yang belum tersampaikan kepadanya sehingga ia mengikuti
orang tersebut layaknya seseorang memakaikan kalung di lehernya yang menandakan ia mengikuti
seseorang.
Dari segi istilah, Syaikh Utsaimin mengatakan definisi taqlid adalah “Mengikuti ucapan
seseorang tanpa hujjah.” Praktek taklid sudah menyebar di umat muslim, hal ini disebabkan tidak
Rihan Alfitra Daudy, Jesika Ramasuci, Fiqih Ahmad Alfisyari, Reinita Nur Rahmah, Wulida Emeris. | 43
lain adalah ketidaktahuan dan jauhnya umat muslim dari ilmu, yang dimana umat muslim
tersibukkan dengan perkara duniawi sehingga terlupakan terhadap perkara akhirat. Taklid adalah
solusi untuk permasalahan umat muslim, ketika mereka mengikuti tokoh tersebut untuk bekal ilmu
pengetahuan agama mereka (Utsaimin, 2003).
Imam Al-Ghazali Rahimahullah menyebutkan dalam buku beliau yang berjudul Al-
Mustasyfa tentang definisi taqlid yaitu “Qobuulu qaulin billa hujjah.” Menerima ucapan seseorang
tanpa argumen atau dalil. Sama dengan definisi sebelumnya, penerimaan sebuah ucapan tanpa
memerhatikan atau menganalisis dalil atau hujjah adalah tindakan taklid. Taklid pada zaman imam
Al-Ghazali terjadi dikalangan masyarakat awam bahkan para ulama sekalipun. Hal inilah menurut
Imam Al-Ghazali adalah sumber dari perpecahan dan fanatisme didalam agama Islam. Taqlid bisa
menjadi sumber kerusakan dan perpecahan karena seseorang mengikati emosional dan perasaan
terhadap ucapan seseorang tanpa memikirkan apakah yang diucapkan benar atau salah, sehingga
sifat daya intelektual muslim menurun drastis dan fanatisme tumbuh subur dikalangan masyarakat
(Miftahussa’adah, 2020).
Imam Al-Ghazali salah satu imam sufi yang sangat terkenal di dunia dengan karya-karya
beliau yang luar biasa, namun masih saja disalahpahami oleh sebagian orang dari kalangan sufi
yang mengatakan taqlid adalah hal yang dibolehkan secara mutlak.
Al-Ghazali menegaskan taqlid bisa menciptakan fanatisme buta terhadap Mazhab oleh
karena itu taqlid memang harus di tinggal kan dan tidak diperbolehkan apabila kalau sebagai
pemimpin yang memberikan suatu keputusan atau persepsi tetapi tidak didasarkan oleh dalil akan
menimbulkan pro dan kontra
Imam Al-Ghazali mengatakan ada beberapa sebab kenapa taqlid harus ditolak:
1. Taklid bisa menciptakan fanatisme terhadap mahzab tertentu, sehingga setiap orang akan
merasa dirinya yang paling benar dan menuduh salah penganut mahzab lain, hal ini disebabkan
penyandaran ilmu terhadap taklid bukan dibangun diatas dalil dan ilmu pengetahuan.
2. Taklid membuat seseorang tidak memiliki pengetahuan yang dalam mengenai agama.
Kedangkalan tersebut akan menimbulkan fanatisme. Para pengikut mahzab hanya puas ketika
mendengarkan pendapat mahzab mereka sendiri dan menolak pendapat mahzab lain tanpa
argumen rasional, melainkan hanya bergantung pada ucapan tokoh mahzab yang diikuti.
Ketika seseorang menolak pendapat mahzab lain hanya dikarenakan berbeda apa yang ia
yakini tanpa peduli dengan argumen rasional adalah bencana dan musibah bagi umat muslim.
Kedangkalan akan semakin menjadi-jadi dan fanatisme akan berbanding lurus terhadap hal
tersebut. Merasa paling benar dan bersifat anarkis untuk mempertahankan pemahaman yang
dipegang.
Al-Ghazali mengabdikan hidupnya dengan melibatkan dirinya dalam berbagai mazhab dan
aliran keagamaan untuk mencari kebenaran. Dia memahami semua jalan penyelidikan sampai dia
benar-benar puas dengan jawaban dari pertanyaan yang muncul.Pengalaman dan pengetahuan ini
menuntunnya untuk menghapuskan taklid dan kejumudan intelektual dengan merumuskan metode
dan pendekatannya sendiri. Ia menyadari bahwa manusia memiliki kemampuan berbeda dalam
mempersepsikan pengetahuan dan pemahaman agama. Ia juga meyakini bahwa setiap manusia
diberi tingkat kemampuan yang berbeda-beda, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotorik.Karena alasan di atas, maka al-Ghazali menyediakan sebagian besar waktunya untuk
memberikan pencerahan kepada umat melalui karya-karyanya (Miftahussa’adah, 2020).
Imam Al-Ghazali telah memperingatkan hal taklid didalam buku beliau tentang bahaya
taqlid, dan dampak taqlid terhadap umat muslim jika mereka terus melanjutkan budaya taqlid
secara terus menerus.

Rihan Alfitra Daudy, Jesika Ramasuci, Fiqih Ahmad Alfisyari, Reinita Nur Rahmah, Wulida Emeris. | 44
Disisi lain, dalam karya yang luar biasa Majmu’ fatwa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
Ibnu Taimiyyah mendefinisikan taqlid sebagai “Qobuul qoulil ghairi bigairi hujjah.” Menerima
ucapan orang lain tanpa disertai argumentasi.
Bahkan Ibnu Taimiyah membagi taqlid menjadi dua hal. (1) Taqlid al-Haq adalah taklid
kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬dan ahl Ijma’ (kesepakatan para ulama) karena taklid kepada Rasulullah
adalah taklid kepada kebenaran, dan Allah telah memerintahkan umat anusia untuk Itiiba’
(mengikuti) kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬sehinnga taqlid kepada Rasulullah adalah perkara yang Haq (2)
Taqlid al-bathil adalah menerima ucapan seseorang tanpa hujjah, dan tidak disertai dalil. Orang-
orang dalam kategori ini sulit disebut benar atau salah karena yang menjadi tolak ukur orang-orang
tersebut adalah penguasa, tokoh, leluhur, tradisi (Miftahussa’adah, 2020). Sikap Taqlid seperti ini

َ ُ َ ُ ُٓ َ َ َ َ َٓ ٓ ََ ََۡ ٓ َّ َ ۡ ْ ُ َ ُ َّ َ َ َ ٓ َ ْ ُ َّ ُ ُ َ َ َ
telah disebutkan didalam Al-Quran:
‫ٱَّلل قالوا بَل نتب ِ ُع َما ألف ۡي َنا عل ۡيهِ َءابَا َءنا ۚٓ أ َول ۡو َكن َءابَاؤه ۡم َل َي ۡعقِلون‬ ‫ِإَوذا قِيل لهم ٱتبِعوا ما أنزل‬
َ َ ۡ َ
‫شٔٔا َوَل َي ۡه َت ُدون‬
Artinya: “Ketika dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah!’ Mereka
berkata: ‘(Tidak), tetapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati atasnya nenek moyang
kami.’ Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka (itu) tidak
memahami sesuatu berdasar petunjuk akal dan tidak (juga) mendapat petunjuk?” (QS. al-
Baqarah [2]: 170
Kebinasaan umat terdahulu diawali oleh taklid buta terhadap tokoh agama yang telah populer
pada zaman tersebut, seperti kaum Nabi Nuh yang tertipu dengan berhala orang sholeh terdahulu
sebagaimana kaum Quraisy yang menjadikan berhala sebagai sarana peribadatan hanya karena
Latta (nama berhala) adalah orang baik yang pernah membagikan makanan ketika haji di zaman
itu.
Salah satu tokoh agama Islam, K.H Hasyim Al-Asyari beliau mengatakan didalam kitabnya
bahwa mereka adalah satu kelompok yang telah tenggelam dalam lautan fitnah karena mereka
telah mengambil cara yang bid’ah tanpa mengambil al-Sunnah, mereka telah memutar balikkan
kebenaran, dan mengingkari kebenaran, dan mengakui kemunkaran, mereka mengajak untuk
kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah namun mereka sendiri tidak memiliki pemahaman yang
cukup tentangnya, sedang mereka membuat kelompok yang mengajak kembali kepadanya, maka
kecelakaanlah bagi mereka yang berlagak mampu dalam memahami al-Quran dan al- Sunnah, dan
mereka pun tak menghiraukan sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬: “Perhatikanlah dari siapa engkau mengambil
agamamu, sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat adalah para pendusta dalam agama...” (HR.
Imam Ahmad dan imam Hakim).
K.H Hasyim membahas betapa jeleknya sikap taqlid dan fanatisme buta yang menyebabkan
kehancuran umat dikarenakan menempuh jalan yang menyelisihi Sunnah sehingga menjatuhkan
umat Islam pada kebingungan dan kefanatikan.
Dalam istilah ushul, fanatik dikenali dengan taksub. Asal kata taksub berasal dari perkataan
arab yang berarti tidak menerima kebenaran tentang pandangan dan argumen orang lain untuk
berdasarkan dalil-dalil syarak disebabkan kecenderungan kepada aliran tertentu. Perkataan taksub
tidak terdapat dalam kamus dewan. Hal yang terkandung didalamnya adalah perkataan fanatik.
fanatik bermakna keterlaluan pada suatu pegangan atau pendirian berkaitan dengan agama.
Pengertian yang mendekati makna ekstrem (Malik, 2021).
Fanatik terhadap suatu golongan Ghuluw yang berlebihan dan menyokong salah satu
pendapat mutjahid dalam ketetapan hukum, yang diambil dari rancangan-rancangan kaedah ushul

Rihan Alfitra Daudy, Jesika Ramasuci, Fiqih Ahmad Alfisyari, Reinita Nur Rahmah, Wulida Emeris. | 45
dan hukum. Fanatisme mahzab akan membuat seseorang meyakini bahwasanya pendapat
mahzabnya yang paling benar dan memiliki kemutlakan benar sehingga menyalahkan mahzab
yang lain tanpa dilandasi argumen yang valid. Fanatik yang disertai taqlid buta akan membuat
kegaduhan terhadap kondisi masyarakat, sudah sepantasnya sebagai makhluk yang majemuk
saling menghargai perbedaan yang ada dan fokus terhadap hal persamaan yang masih bisa
ditoleransi dalam perkara furu’ bukan Ushul.
Ibnu Jauzi Rahimahullah pernah berkata dalam kitab beliau Talbis Iblis bahwasanya diantara
masyarakat awam ada yang amat yakin dan puas dengan akal pikiran sendiri, sehingga dia tidak
peduli meskipun bertentangan dengan ulama. Ketika fatwa ulama bersebarangan dengan
pemahamannya, tanpa ragu dia segera membantah atau bahkan mencela mereka (Jauzi, 2020).
Karakteristik orang yang fanatik diantaranya adalah sikap irasional dalam bertindak dan
mengambil keputusan yang tidak disertai pemikiran yang rasonal dan cenderung bertindak
mengutamakan emosional, pandangan sempit, seseorang lebh mengutamakan kelompoknya dan
menganggap apapun yang ada dalam kelompoknya sebagai mutlak kebenaran, akibatnya
menyalahkan pendapat kelopok lain, bersemangat untuk meraih orientasi tertentu, adanya mimpi-
mimpi yang diraih, sehingga memiliki gairah yang menggebu-gebu untuk meraih mimpi tersebut.
Akan tetapi kendati beberapa poin seperti bersemangat untuk mengejar tujuan tertentu dan
menganggap apapun yang ada didalam kelompoknya adalah kebenaran mutlak adalah sebagai
seseuatu yang menjadi kecenderungan untuk menyalahkan kelompok lain (Lesmana & Syafiq,
2022).
Seseorang yang berfanatik jika ditinjau dari sudut pandang psikologis, individu tersebut
tidak mampu memahami apa-apa yang ada berbeda dengan dirinya, tidak menaruh perhatian pada
permasalahan kelompok lain, dan tidak mengerti filsafat pola pikir selain yang mereka yakini.
Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidakmampuan memahami sikap-sikap invidual
orang lain yang berada diluar kelomponya (Zulkarnain, 2020). Keegoisan tersebut timbul karena
adanya fanatik yang tertanam pada diri masyarakat dan adanya sikap irasional.
Irasional lahir ketika adanya stigma pembelajaran yang mengutamakan emosional daripada
intelektual seperti menghormati guru, adab diatas ilmu dan hal hal yang berakitan dengan aspek
emosional seseorang, sehingga perasaan menggebu-gebu hadir pada orang yang mengikuti atau
taqlid kepada suatu tokoh dan hal ini terjadi pada masyarakat awam.
Masyarakat awam adalah orang tidak memiliki landasan agama yang kokoh, melainkan
hanya ikut-ikutan saja, hal ini memperparah keadaan tatkala mereka tidak peduli dengan perkataan
ulama dan hanya fokus terhadap akal mereka dan akal tokoh mereka, sehingga meskipun
bertentangan dengan ulama yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah, mereka tidak
memperdulikan, justru mencela dengan keras dikarenakan ketidaktahuan dan kefanatikan terhadap
tokoh yang diikuti. Fanatik terhadap mahzab akan menimbulkan dampak negatif sebagai berikut
(Agussalim et al., 2020) :
a. Peranan Ulama fanatik yang memberikan ilmu kepada masyarakat sehingga melahirkan
masyarakat yang awam dan fanatik.
b. Sikap negatif pemimpin, yang tidak mengawasi perkembangan fanatisme yang terjadi diantara
umat, sehingga bertumbuh kembang dan pesat
c. Para Da’i yang bersifat fanatik, menyebarkan ilmu dan pemahaman fanatik yang disertai
kebencian terhadap penganut mahzab yang lain.
d. Orang awam yang membela keras mahzabnya sehingga membuat hal ini menjadi lebih luas
cakupannya.
e. Tersebarnya hadist-hadist palsu untuk menguatkan pemahaman mahzab sendiri

Rihan Alfitra Daudy, Jesika Ramasuci, Fiqih Ahmad Alfisyari, Reinita Nur Rahmah, Wulida Emeris. | 46
f. Banyak permasalah fiqih yang belum selesai diperdebatkan
g. Para pengikut Imam Mahzab yang tidak mengikuti ucapan imam mereka.
Fanatisme keagaamaan merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh umat muslim,
karena ada tiga tantangan yang harus dihadapi oleh kaum muslimin (Hanafi, 2018) :
1. Agama ditantang untuk hadir sebagai yang menyuarakan sikap moral-otentik di tenfah
terjadinya disoerientasi nilai dan penurunan moral. Pada hal ini, agama seringkali disibukkan
dengan adanya krisis identitas dan nilai dalam dirinya sendir, yang berakhir pada
pertengakaran internal dan kehilangan kepekaan pada hal-hal yang bersifat substansial.
2. Agama ditantang untuk mampu menggebrak perilaku yang mengarah kepada ekslusivisme
pemahaman keagamaan di tengah merebaknya sikap identitas dan pementingan kelompoknya
sendiri. Agama harus siap menghadapi realita berupa kecenderungan pluralisme, mengolahnya
dalam bentuk pemahaman baru dan mewujudkannya dalam aksi-kasi kerjasama plural
3. Agama ditantang untuk menghadapi setiap bentuk penindasan dan ketidakadila terjadi diantara
kondisi sosial masyarakat.

B. Taqlid Di Indonesia
Taqlid Di Indonesia sangat berakar dimana kaum muslimin sudah meninggalkan literasi
untuk mendapatkan ilmu mereka dan fanatik terhadap kelompok masing masing. Alhasil
anarkisme terjadi di beberapa masjid yang ada di Indonesia.
Kasus pembubaran masjid yang terjadi di Masjid Al-Muttaqien, Desa Laden, Kecamatan
Pamekasan, Madura, yaitu pembubaran terhadap kajian seorang ustadz yang bernama Hanan
Attaki, beliau di fitnah oleh seorang kelompok dikarenakan bahwa Hanan Attaki itu adalah wahabi
yang kedua adalah didukung Yahudi dan yang ketiga adalah Ustadz Hanan itu menghina Nabi
Musa dan dan Aisyah (Detik Jatim, 2023).
Pada akhirnya kelompok tersebut membuat suatu tindakan berupa syahadah ulang, yang
menunjukkan ustadz tersebut telah kembali kepada kelompok tersebut. Hal ini lahir dikarenakan
fanatik yang berlebihan, menganggap kebenaran haqiqi hanya ada pada diri mereka, sampai
mewajibkan untuk syahadat ulang, tentunya hal ini tidak ada tuntunannya sama sekali dalam
agama.
Dapat kita amati bahwasanya pembubaran dan sifat anarkisme terjadi dikarenakan
kurangnya literasi dan fanatik terhadap kelompok masing-masing. Alasan-alasan yang dipakai
hanyalah sekedar isu yang di goreng-goreng untuk memanaskan kondisi sekitar, sehingga
berhujung kepada sikap ektrimisme dan anarkisme. Anarkisme merupakan doktrin politik atau
agama yang menciptakan aksi untuk merealisasikan keinginan dengan jalan yang berbeda-beda,
seperti sikap anarkis berupa kekerasan dan fanatik terhadap sesuatu (Jalil, 2021).
Fanatisme Agama adalah sebuah keinginan tinggi terhadap keyakinan yang bersifat
berlebihan. Faktor- faktor yang mendorong seseorang atau kelompok masyarakat menjadi fanatis
terhadap agama antara lain adalah doktrin, interpretasi atau tafsir terhadap kitab suci yang hanya
dipahami tidak secara keseluruhan. Pengatuh sistem sosia masyarakat yang dipelopori oleh
pemegang kekuasaan, simbol-simbol keagamaan yang besifat manipulasi serta suara-suara politik
yang mengatasnamakan misi-misi agama (Nurish, 2019).
Goddar (2001) mengemukakan bahwa fanatisme adalah suatu kepercayaan yang membuat
seseorang buta sehingga mau melakukan apa saja demi mempertahankan keyakinan yang diyakini,
berbeda dengan Wolman (dalam Suroso 2010) Mengungkapkan fanatisme sebagai antusiasme
pada sebuah pandangan yang bersifat fanatik dimana diwujudkan dalam intensitas emosi dan
bersifat ekstrim (Putri, 2018).

Rihan Alfitra Daudy, Jesika Ramasuci, Fiqih Ahmad Alfisyari, Reinita Nur Rahmah, Wulida Emeris. | 47
Taqlid mengkaitkan diri dengan pemahaman seorang tokoh dan fanatik terjadi ketika
kecintaan telah memuncak dan membutakan akal. Ketika pemahaman yang dianut diinterevesi
oleh orang lain, maka kecintaan akan memicu kemarahan yang besar disertai agresif.
Taklid pada awalnya hanya mempermudah umat muslim untuk memahami Islam secara
instan akan tetapi yang terjadi menimbulkan kefanatikan dan agresif dari umat muslim, taklid
melahirkan kebodohan pada umat muslim ketika mereka tidak ingin lagi mempelajari agama dan
malah fokus untuk membela harga diri kelompok mereka masing masing.
Pada akhirnya manusia tidak mengikuti lagi agama mereka dengan landasan yang benar
melainkan mereka malah mengikuti tokoh-tokoh yang belum segi integritas moral dan kejujuran.
Tokoh-tokoh tersebut berkoar-koar menyuarakan kebencian dengan berfokus kepada dirinya,
kelompoknya bukan kepada apa yang dibawakan oleh kelompok lain. Hal ini akan membentuk
diskusi emosional dan dan akan menghilangkan diskusi ilmiah diantara para tokoh-tokoh agama
Indonesia. Kebodohan ini semakin menjalar lagi dengan pegangungan tokoh-tokoh agama di
Indonesia yang dianggap maksum dari kesalahan.
Murid adalah tempat kesalahan, guru adalah benar meskipun ia memiliki kesalahan. Hal ini
merupakan fenomena yang terjadi didalam kondisi masyarakat Indonesia, sehingga hal ini
berdampak kepada anak-anak muda yang baru mulai masa belajar di dalam sekolah agama.
Doktrin ini semakin mendalam dan melahirkan taklid dan fanatisme buta pada kondisi-kondisi
santri yang ada di Indonesia. Doktrin ini dapat berupa penggambaran kekeluargaan diantara murid
dan guru untuk menunjukkan keharmonisan diantara guru dan murid. Hal ini lah yang menjadi
sebab pembelaan seseorang terhadap kelompoknya, fanatisme tersebut hadir dikarenakan adanya
rasa untuk membela keluarga yang ditindas atau diserang oleh orang lain.
Fanatisme berkembang dengan pesat dikarenakan rasa hormat yang toxic terhadap
seseorang, bahkan pada level tertentu rasa hormat tersebut akan berubah menjadi bias dalam ajaran
agama. Kondisi tersebut akan menghilangkan kritisasi pada seseorang dan bahkan meniadakan
fungsi akal dan pikiran (Nisa, 2022).
Menurut Soeroso, homogenitas dalam kadar tinggi dan kesadaran kolektif yang besar dalam
setiap kelompok menciptakan sifat kensedirian yaitu invidualisme tidak muncul, yang ada sifat
kebersamaan, kekeluargaan semakin besar. Hal ini akan menunjukkan adanya solidaritas
persaudaraan di dalam kelompok dan komunitas tersebut. Rasa cinta persaudaraan, kebersamaan
dan saling percaya satu sama lain, hal ini yang menjadi solidaritas individu (Putri, 2018).
Individualisme hilang karena doktrin persaudaraan yang ada pada hubungan guru dan murid.
Doktrin tersebut pada asalnya baik, karena sudah tercantum didalam buku-buku ulama terkait adab
guru dan murid. Namun terjadi distorsi pemahaman terhadap doktrin ini, sehingga lahirlah sikap
Ghuluw dan Ta’asub kepada guru yang mengajarkan ilmu tersebut, sehingga melahirkan taqlid
buta dan fanatisme terhadap guru.
Cara untuk mengatasi dan menanggulangi sikap dari sikap yang selalu berpikir ekslusif
adalah dengan meningkatkan sikap toleransi serta tidak menerapkan sikap diskriminasi terhadap
orang yang memiliki organisasi lain yang tidak sama dengan pandangan organisasi yang dianut.
Pluralisme merupakan cara pandang atau kerangka berfikit untuk menyelaraskan gaya hidup serta
menyeimbangkan esesensi sosial di dalam masyarakat majemuk yang memiliki keaneragaman
pemahaman dan menunjung tinggi nilai perbedaan agama dan organsisasi (Putra, 2019).
Hal ini diperlukan didalam kondisi masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman
pemahaman, sehingga untuk melaraskan hal tersebut diperlukannya sikap toleran terhadap
perbedaan pemahaman untuk menjaga stabilitas masyarakat. Sikap anarkisme dapat dihindari

Rihan Alfitra Daudy, Jesika Ramasuci, Fiqih Ahmad Alfisyari, Reinita Nur Rahmah, Wulida Emeris. | 48
dengan konsep ini, sehingga bisa meminimalisi aksi anarkis maupun diskriminasi yang dilakukan
oleh tokoh-tokoh agama melalui doktrin-doktrin kepada muridnya.
Dalam Islam perbedaan adalah hal yang lumrah pada manusia, pemaksaan terhadap sebuah
perbedaan justru melanggar fitrah tersebut, apalagi melakukan anarkisme untu memaksakan
keinginan menjadi hal yang bertentangan dengan prinsip Islam sendiri. Menurut bahasa, kata Islam
berarti tunduk, patah, berserah diri, dan damai. Jadi hal-hal yang menggambarkan Islam adalah
gagasan komphrensif mengenai perlunya gagasan perdamaian dalam hidup dan kehidupan
manusia. Islam hadir untuk mewujudkan keselamatan dan perdamaian. Dengan demikian bentuk
kekerasan berupa terorisme dan anarkisme tidak berjalan dengan prinsi-prinsip dan karakteristik
agama Islam (Djafar, 2020).
Sikap-sikap anarkis tidak dapat dibenarkan kendati melakukannya dengan alasan agama,
karena hal tersebut bertentangan dengan karakteristik agama Islam, terlebih lagi ketika anarkis
tersebut tidak berlandaskan apa-apa, melainkan fanatik dan kecintaan terhadap guru, maka hal ini
justru memperparah kondisi umat muslim, sehingga kerukunan antar umat muslim akan sulit
tercapai.

KESIMPULAN
Taqlid yang bermakna mengikat terhadap sesuatu telah berkembang pesat di masyarakat
Indonesia sehingga melahirkan fanatisme diantara masyarakat. Menganggap kebenaran disetiap
kelompok, dan membuat kegaduhan dengan menimbulkan aksi-aksi pembubaran pengajian yang
diselenggarakan oleh sebagian kelompok.
Persaudaraan yang kuat disebabkan adanya doktrin guru terhadap murid, melahirkan
solidaritas dan persaudaraan sehingga intelektualitas seorang murid dihalang oleh kepatuhan
terhadap seorang guru, maka lahirlah sikap taklid buta dan fanatik terhadap guru yang
mengajarkan agama Islam.
Fanatisme dan taqlid buta sudah seperti kakak dan adik, tidak dapat terlepaskan di negara
Indonesia. Taqlid yang pada awalnya digunakan untuk memahami Agama Islam secara mudah
justru disalahgunakan dan menyebabkan jauhnya umat dari Ilmu. Kebodohan yang melanda
kemudian berakar kepada generasi-generasi setelahnya karena kegagalan generasi tua dalam
mendidik generasi muda dalam mengkritisi suatu permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA
Agussalim, M., Hidayat, T., & ... (2020). Ta’asub al-Madhhab dan Kesannya pada Perilaku
Masyarakat Awam: Kajian Menurut Perspektif Fiqh al-Islam [Ta’asub al-Madhhab and Its
Impact on Public Behavior …. … International Journal of ….
http://www.bitarajournal.com/index.php/bitarajournal/article/view/129
As-Syafi’i, I. J. (2019). tadzkiratus saami wal mutakallim fii adabil’alim wal muta’allim. Dar Ibnu
Jauzi.
Djafar, A. B. (2020). Peran Agama dalam Merawat Perbedaan (Islam dan Kebhinekaan di
Indonesia). In Prosiding Seminar Nasional KeagamaaN. core.ac.uk.
https://core.ac.uk/download/pdf/337612174.pdf
Hanafi, I. (2018). Agama dalam Bayang-Bayang Fanatisme. TOLERANSI : Media Komunikasi
Umat Beragama, 10(1), 48–67. http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/toleransi/article/view/5720
Jalil, A. (2021). Aksi Kekerasan Atas Nama Agama. Andragogi: Jurnal Diklat Teknis ….
https://pusdiklattekniskemenag.e-journal.id/andragogi/article/view/251

Rihan Alfitra Daudy, Jesika Ramasuci, Fiqih Ahmad Alfisyari, Reinita Nur Rahmah, Wulida Emeris. | 49
Jauzi, I. (2020). Talbis Iblis. Pustaka Imam Asy-Syafii.
Lesmana, R. P. D., & Syafiq, M. (2022). Fanatisme Agama Dan Intoleransi Pada Pengguna Media
Sosial. Character: Jurnal Penelitian ….
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/46146
Makka, Tumiwa, & Husein. (2019). Fanatisme Agama Dan Taqlid Buta Sebagai Pemicu
Radikalisme Di Kota Manado Perspektif Islam. In academia.edu.
https://www.academia.edu/download/57907317/FANATISME_AGAMA_DAN_TAQLID
_BUTA_.pdf
Malik, M. P. A. (2021). Analisis Beberapa Pemikiran Tajdid Muhammad Tahir Jalaluddin: An
Analysis of Some of Tajdid Thoughts Muhammad Tahir Jalaluddin. Jurnal Usuluddin.
https://jrmg.um.edu.my/index.php/JUD/article/view/34391
Miftahussa’adah, M. I. (2020). Taklid Menurut al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah: Analisis
Perbandingan. Ilmiyyat. http://www.jurnal.stai-
attaqwa.ac.id/index.php/ilmiyyat/article/view/5
Nisa, N. (2022). Akar Fanatisme Pembelajar Agama dalam Perspektif Imam al-Syawkani. MAWA
IZH JURNAL DAKWAH DAN ….
https://jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/maw/article/view/2459
Nurish, A. (2019). Dari Fanatisme Ke Ekstremisme : Ilusi, Kecemasan, dan Tindakan Kekerasan.
21(1), 31–40.
Putra, R. (2019). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu Tahun 2019 1 st International
Seminar on Islamic Studies. 250–256.
Putri, A. P. (2018). Pengaruh Konformitas dan Fanatisme Terhadap Perilaku Solidaritas.
Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(3), 305–309.
https://doi.org/10.30872/psikoborneo.v6i3.4641
Rinanda, Hilda Melissa. (2023). Heboh Pengajian Ustadz Hanan Attaki Dibubarkan di Pamekasan.
Diakses pada 18 Mei 2023 dari https://www.detik.com/jatim/berita/d-6575358/heboh-
pengajian-ustaz-hanan-attaki-dibubarkan-di-pamekasan
Sari, M., & Asmendri. (2020). Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian
Pendidikan IPA. Natural Science [Diakses 11 Juli 2022], 6(1), 41–53.
Utsaimin, S. bin. (2003). Al-Ushul Min Ilmi Ushul.
Zulkarnain, Z. (2020). Pengaruh Fanatisme Keagamaan terhadap Perilaku Sosial. Kontekstualita.
https://e-journal.lp2m.uinjambi.ac.id/ojp/index.php/Kontekstualita/article/view/586

Rihan Alfitra Daudy, Jesika Ramasuci, Fiqih Ahmad Alfisyari, Reinita Nur Rahmah, Wulida Emeris. | 50

Anda mungkin juga menyukai