Anda di halaman 1dari 32

TUGAS PEMODELAN MATEMATIKA

“Model Penyebaran Virus H1N1”

Oleh

Yadhurani Dewi Amritha (16305141075)

Salma Almira Wahyu P. (16305144011)

Nining Harnati (16305144026)

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Influenza A (H1N1) merupakan penyakit pernapasan akut pada manusia yang
memengaruhi hidung, tenggorokan, dan paru-paru. Penyakit ini disebabkan oleh virus H1N1
yang merupakan subtipe dari virus influenza A. Virus ini pada mulanya diketahui beredar di
antara populasi babi dan unggas, kemudian ditemukan dapat menular kepada manusia
(Sitepoe 2009).
Pandemi flu merupakan wabah global dari strain baru virus influenza A H1N1, virus ini
sering disebut sebagai “flu babi” di media. Virus ini pertama kali ditemukan pada April
2009 yang mengandung kombinasi gen dari babi, burung, dan manusia. Penyebaran virus
H1N1 yang paling utama adalah melalui udara (El Hia et al. 2012).

Flu burung merupakan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus dan
bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas bagi masyarakat karena telah
mengakibatkan banyak korban baik unggas maupun manusia. Pelaporan kasus pertama yang
menginfeksi manusia terjadi di Hongkong pada tahun 1997, yang kemudian menyebar ke
Cina (seluruh Asia) hingga Eropa dan Afrika. Secara global terdapat sekitar 15 negara yang
melaporkan kasus flu burung (H5N1) pada manusia, 4 negara diantaranya berada di wilayah
Asia Tenggara yaitu Bangladesh, Myanmar, Indonesia dan Thailand (WHO, 2013a).

Berdasarkan laporan resmi World Health Organitation (WHO) jumlah kasus flu burung
pada manusia di wilayah Asia Tenggara yang dilaporkan sejak awal tahun 2004 sampai 31
Desember 2013, sebanyak 228 kasus dengan 181 kematian atau Case Fatallity Rate (CFR)
sebesar 79,38%. Khusus tahun 2013 terdapat 4 kasus dengan 4 kematian flu burung pada
manusia yang dilaporkan ke WHO oleh negara Bangladesh dan Indonesia (WHO, 2013a).

Flu burung pertama kali masuk ke wilayah ASEAN pada tahun 2003 melalui negara
Vietnam, dengan dinyatakannya 3 orang yang menderita penyakit tersebut dan seluruhnya
meninggal. Kemudian pada tahun 2004 jumlah kasus meningkat menjadi 46 dengan 32
kematian (CFR = 69,56%).
Pada Juni 2009, organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan virus H1N1 sebagai
pandemi karena sudah memasuki tahap penularan dari manusia ke manusia dan menyebar
keseluruh dunia. Kasus H1N1 di Indonesia sampai pada tanggal 1 Agustus 2009 terdapat
520 kasus positif H1N1 yang terdiri atas 291 laki-laki dan 229 perempuan (Kompas 2009).
Pada 22 November 2009, lebih dari 207 negara telah melaporkan kasus yang dikonfirmasi
terinfeksi virus H1N1 (WHO 2009).
Sebagian besar pemerintah dari banyak negara merencanakan untuk melakukan vaksinasi
secara massal sebagai tindakan pencegahan pandemi virus H1N1.Vaksinasi massal
diharapkan dapat mengurangi jumlah individu yang terinfeksi.Teori kontrol optimum
digunakan untuk meminimumkan biaya yang dikeluarkan selama vaksinasi, meminimumkan
populasi yang terinfeksi, dan menentukan fungsi kontrol ( ) yang optimum.
Pada karya ini akan dibahas model penyebaran virus H1N1. Model untuk penyebaran
virus H1N1 yang digunakan adalah model Susceptible Infected Recovered (SIR) .Model SIR
dengan pemberian kontrol ke dalam sistem dibahas oleh El Hia et al. (2012).

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1) Merekonstruksi model penyebaran influenza A (H1N1) menggunakan model SIR
dengan dan tanpa kontrol.
2) Menentukan fungsi kontrol yang optimum yang meminimumkan populasi terinfeksi
dan membandingkan nilai bilangan reproduksi dasar yang berbeda terhadap
dinamika populasi dengan dan tanpa kontrol.
3) Membandingkan efek penyembuhan yang berbeda terhadap penurunan jumlah
individu yang terinfeksi setelah pemberian kontrol.
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Mengidentifikasi Masalah
Model matematika yang digunakan untuk membahas masalah penyebaran virus H1N1
adalah model Susceptible Infected Recovered (SIR). Pada model SIR populasi di bagi
kedalam tiga kelas epidemiologi yaitu: kelas yang rentan (susceptible) dimana individu
dalam populasi tidak terinfeksi tetapi berisiko terinfeksi virus, kelas yang terinfeksi
(infected) dimana individu telah terinfeksi dan dapat menularkannya, dan kelas yang
disembuhkan (recovered) di mana individu tidak bisa lagi terjangkit penyakit ini karena
telah disembuhkan.

2. Membuat Asumsi, Mengklarifikasi variable dan Menentukan Hubungan


diantara Variabel
Model penyebaran virus H1N1 menggunakan tiga asumsi, yaitu:
1) Virus H1N1 akan menular jika ada kontak langsung atau hubungan yang erat antara
individu yang sehat dengan individu terinfeksi.
2) Perekrutan individu baru bersifat konstan (ᴧ = µ N0 ).
3) Individu yang telah diberi vaksin atau kontrol akan berpindah ke populasi yang
disembuhkan.

Tanpa Vaksin Dengan Vaksin


Keterangan Variabel

a. 𝛽 = Kontak antara populasi S dengan I


𝐼
b. = Proporsi Individu I dengan populasi total
𝑁

c. 𝑟 = Tingkat penyembuhan
d. 𝜇 = Kematian alami
e. 𝑑 = Kematian oleh virus H1N1
f. ᴧ = Tingkat perekrutan individu baru

NB :𝛽, 𝑁, 𝑟, 𝜇, 𝑑, ᴧ = Konstan tidak negatif

Hubungan antara variabel

a. Tanpa Vaksin

- Perpindahan populasi dari rentan menjadi terinfeksi


Populasi yang rentan akan berpindah menjadi populasi yang terinfeksi bergantung kepada
tingkat keefektifan kontak antara populasi rentan dengan populasi terinfeksi dan proporsi
𝐼
individu yang terinfeksi dalam populasi total (𝑁). Persamaan yang menggambarkan
𝑑𝑆
perpindahan populasi yang rentan menjadi terinfeksi diberikan oleh persamaan 𝑑𝑡 =
𝐼
−𝛽𝑆 𝑁.

- Penyembuhan populasi yang terinfeksi


Populasi yang terinfeksi akan berpindah menjadi populasi yang disembuhkan bergantung
kepada tingkat penyembuhan . Persamaan untuk penyembuhan populasi yang terinfeksi
𝑑𝐼
diberikan oleh persamaan 𝑑𝑡 = −𝑟𝐼.

- Kematian alami
Masing-masing populasi akan mati dengan tingkat kematian alami 𝜇. Individu terinfeksi
juga akan mati disebabkan oleh virus H1N1 dengan kematian d. Persamaan yang
𝑑𝑆
mewakili kematian alami dari masing-masing populasi diberikan oleh persamaan =
𝑑𝑡
𝑑𝐼 𝑑𝑅
−𝜇𝑆, 𝑑𝑡 = −(𝜇 + 𝑑)𝐼 , 𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑡 = −𝜇𝑅.
b. Dengan Vaksin
Dengan vaksin hampir mirip dengan tanpa vaksin hanya ada beberapa perbedaan yaitu
Teori kontrol optimum digunakan untuk mengontrol masalah penyebaran virus influenza
A (H1N1) yaitu dengan memberikan vaksin. Fungsi kontrol u(t) merupakan bagian atau
fraksi dari individu rentan yang telah divaksinasi per unit waktu. Dan perbedaannya dapat
pula dilihat pada skema diatas.

3. Menyusun , Menyelesaikan dan Mengintepretasikan Model


1) Model tanpa Vaksin

𝑑𝑆 𝐼
= Λ − 𝜇𝑆 − 𝛽𝑆 𝑁 (1)
𝑑𝑡
𝑑𝐼 𝐼
= 𝛽𝑆 𝑁 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)𝐼 (2)
𝑑𝑡
𝑑𝑅
= 𝑟𝐼 − 𝜇𝑅 (3)
𝑑𝑡

𝑑𝑆
Kemudian menentukan titik tetap untuk model tanpa vaksin dapat diperoleh dari =
𝑑𝑡
𝑑𝐼 𝑑𝑅
0, 𝑑𝑡 = 0, 𝑑𝑡 = 0, sehingga menjadi persamaan berikut:
𝐼
Λ − 𝜇𝑆 − 𝛽𝑆 𝑁 = 0 (4)
𝐼
𝛽𝑆 𝑁 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)𝐼 = 0 (5)

𝑟𝐼 − 𝜇𝑅 = 0 (6)
Dari persamaan (4) diperoleh:
Λ 𝐼
𝑆 ( 𝑆 − 𝜇 − 𝛽 𝑁) = 0, maka

𝑆 = 0, 𝑎𝑡𝑎𝑢 (7)
Λ 𝐼
( 𝑆 − 𝜇 − 𝛽 𝑁) = 0 (8)

Dari persamaan (5) diperoleh:


𝛽𝑆
𝐼 ( 𝑁 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)) = 0, maka

𝐼 = 0, 𝑎𝑡𝑎𝑢 (9)
𝛽𝑆
( 𝑁 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)) = 0 (10)

Dari persamaan (6) diperoleh:


𝑟𝐼 = 𝜇𝑅, maka
𝑟𝐼
=𝑅 (11)
𝜇

Titik pertama diambil dengan mengasumsikan bahwa tidak ada individu yang terinfeksi
(bebas penyakit), artinya 𝐼 = 0, sehingga bila disubstitusikan persamaan (8) dan (10)
diperoleh:
Λ Λ
− 𝜇 = 0 𝑎𝑡𝑎𝑢𝑆 = 𝜇 , dan 𝑅 = 0.
𝑆
Λ
Sehingga didapatkan titik tetap pertama adalah 𝑇1 = (𝜇 , 0, 0).

Titik kedua diambil dari penyelesaian persamaan (8), (10), dan (11).
Dari persamaan (10) diperoleh:
(𝜇+𝑑+𝑟)𝑁
𝑆∗ = (12)
𝛽

Dengan menyubstitusikan persamaan (12) ke persamaan (8), maka:


Λ 𝐼
−𝜇−𝛽 =0
𝑆 𝑁

𝐼 Λβ
⇔𝛽 = −𝜇
𝑁 𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

𝑁 Λβ
⇔𝐼 = ( − 𝜇)
𝛽 𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

Λ 𝑁𝜇
⇔𝐼 = −
(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 𝛽

Λβ−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟)
⇔ 𝐼∗ = (13)
𝛽(𝜇+𝑑+𝑟)

Kemudian persamaan (13) disubstitusikan ke persamaan (11), maka diperoleh:


Λβ−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟)
𝑟( 𝛽(𝜇+𝑑+𝑟)
)
𝑅∗ =
𝜇
𝑟(Λβ−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟))
⇔ 𝑅∗ = (14)
𝛽𝜇(𝜇+𝑑+𝑟)

Sehingga diperoleh titik tetap kedua, yaitu 𝑇2 = (𝑆 ∗ , 𝐼 ∗ , 𝑅 ∗ ).

Agar titik 𝑇2 = (𝑆 ∗ , 𝐼 ∗ , 𝑅 ∗ ) positif, maka

(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)𝑁
𝑆 ∗ > 0 atau > 0,
𝛽

Λβ − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
𝐼 ∗ > 0, atau >0
𝛽(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

𝑟(Λβ − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟))


𝑅 ∗ > 0, atau >0
𝛽𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

Karena semua parameter bernilai positif, maka 𝑆 ∗ > 0. 𝐼 ∗ akan bernilai positif jika Λβ −
𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) > 0, sehingga 𝛽 > (𝜇 + 𝑑 + 𝑟). 𝑅 ∗ akan bernilai positif jika 𝑟(Λβ −
𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)) > 0, sehingga 𝛽 > (𝜇 + 𝑑 + 𝑟).

2) Model dengan Vaksin

𝑑𝑆 𝐼
= Λ − 𝜇𝑆 − 𝛽𝑆 − 𝑢𝑆
𝑑𝑡 𝑁
𝑑𝐼 𝐼
= 𝛽𝑆 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)𝐼
𝑑𝑡 𝑁
𝑑𝑅
= 𝑟𝐼 − 𝜇𝑅 + 𝑢𝑆
𝑑𝑡

Dari solusi diatas diperoleh :


𝐼
1. S(ᴧ/S-𝜇 − 𝛽 𝑁 − 𝑢 )= 0

1
S=0 atau (ᴧ/S-𝜇 − 𝛽 𝑁 − 𝑢 ) = 0

𝐼
2. 𝛽𝑆 𝑁 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)𝐼 = 0
𝐼
I= 0 atau𝛽𝑆 𝑁 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) = 0

3. 𝑟𝐼 − 𝜇𝑅 + 𝑢𝑆 = 0
R= (𝑟𝐼 + 𝑢𝑆)/𝜇

Titik tetap pertama diperoleh dengan mengasumsikan sistem dalam keadaan bebas
penyakit (I=0) maka persamaannya :

ᴧ 𝐼
−𝜇−𝛽 −u=0
S 𝑁


= 𝜇+𝑢
S


𝑆=
μ+u

uS
𝑟=
μ

Sehingga diperoleh titik tetap bebas penyakit

ᴧ uS
𝑇1 = ( , 0, )
μ+u μ

Titik kedua diperoleh dengan menyelesaikan persamaan diatas

𝐼
𝛽𝑆 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) = 0
𝑁

(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)𝑁
𝑆∗=
𝛽

ᴧ𝛽 𝐼
(𝜇+𝑑+𝑟)𝑁
-𝜇−𝛽𝑁 –u=0

ᴧ𝛽−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟)−𝑁𝑢(𝜇+𝑑+𝑟)
I* = 𝛽(𝜇+𝑑+𝑟)

𝑟𝐼+𝑢𝑆 𝑟(ᴧ𝛽−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟)−𝑁𝑢(𝜇+𝑑+𝑟)+𝑢𝑆
R* = =
𝜇 𝛽(𝜇+𝑑+𝑟)𝜇
Sehingga diperoleh titik tetap kedua T2(S*, I*, R*) agar titik tetap T2(S*, I*, R*) positif
maka:

(𝜇+𝑑+𝑟)𝑁
S* > 0 atau >0
𝛽

ᴧ𝛽−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟)−𝑁𝑢(𝜇+𝑑+𝑟)
I* > 0 atau >0
𝛽(𝜇+𝑑+𝑟)

𝑟(ᴧ𝛽−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟)−𝑁𝑢(𝜇+𝑑+𝑟)+𝑢𝑆
R* > 0 atau >0
𝛽(𝜇+𝑑+𝑟)𝜇

Karena semua parameter bernilai positif maka S* >0, I* akan bernilai positif jikaᴧ𝛽 −
𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) − 𝑁𝑢(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) > 0 sehingga > (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) . R* akan bernilai positif
jika 𝑟(ᴧ𝛽 − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) − 𝑁𝑢(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) + 𝑢𝑆 > 0 sehingga 𝛽 > (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)𝜇.
Solusi yang diperoleh dari P merupakan titik tetap dari sistem persamaan diferensial tak
linier dengan vaksin. Titik tetap yang diperoleh ada dua yaitu :

ᴧ uS
 𝑇1 = (μ+u , 0, )
μ

 𝑇2 = (S*, I*, R*) dengan ketentuan seperti diatas.

4. Memeriksa Kebenaran Model


1) Analisis Kestabilan Titik Tetap untuk Model Tanpa Vaksin

Dengan melakukan pelinearan terhadap persamaan modelnya, maka diperoleh matriks


Jacobi berikut:

𝐼 𝑆
−𝜇 − 𝛽 −𝛽 0
𝑁 𝑁
𝐽= 𝐼 𝑆
𝛽 𝛽 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0
𝑁 𝑁
[ 0 𝑟 −𝜇]

Λ
 Di titik 𝑇1 = (𝜇 , 0, 0), maka
Λ
−𝜇 −𝛽 0
𝜇𝑁
𝐽(Λ ,0,0) = Λ
𝜇 0 𝛽 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0
𝜇𝑁
[0 𝑟 −𝜇]

kemudian dicari nilai eigennya dengan menggunakan persamaan karakteristik

𝑑𝑒𝑡 (𝐽(Λ ,0,0) − 𝜆𝐼) = 0


𝜇

Λ
−𝜇 −𝛽 0
𝜇𝑁 𝜆 0 0
𝑑𝑒𝑡 Λ − [0 𝜆 0 ] = 0
0 𝛽 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0
𝜇𝑁 0 0 𝜆
([ 0 𝑟 −𝜇] )

Λ
−𝜇 − 𝜆 −𝛽 0
𝜇𝑁
| |
Λ =0
| 0 𝛽 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) − 𝜆 0 |
𝜇𝑁
0 𝑟 −𝜇 − 𝜆

(−𝜇 − 𝜆)(−𝜇 − 𝜆)(𝛽 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) − 𝜆) = 0

Λ𝛽 − 𝜇𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
𝜆1 = −𝜇, 𝜆2 = −𝜇, 𝜆3 =
𝜇𝑁

karena semua parameter bernilai positif dan tingkat perekrutan individu baru konstan
Λ = 𝜇𝑁, maka 𝜆1 < 0, 𝜆2 < 0 dan nilai eigen ketiga bergantung pada nilai 𝛽 dan
(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) dengan persamaan𝜆3 = 𝛽 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟).

Titik tetap bebas penyakit bersifat stabil jika 𝜆3 < 0. Sehingga diperoleh persamaan

𝛽 < (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

Sehingga

𝛽
<1
(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
Titik tetap bebas penyakit bersifat takstabil jika 𝜆3 > 0. Sehingga diperoleh
persamaan:

𝛽 > (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

Sehingga

𝛽
>1
(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

𝛽
Dari persamaan (21) dan (22) diperoleh bilangan reproduksi dasar 𝑅0 = (𝜇+𝑑+𝑟). Titik

tetap bebas penyakit bersifat stabil jika 𝑅0 < 1 dan bersifat tak stabil jika 𝑅0 > 1.

 Pelinearan di titik 𝑇2 = (𝑆 ∗ , 𝐼 ∗ , 𝑅 ∗ )

Substitusikan titik ke dalam matrik Jacobian

Λβ−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟) (𝜇+𝑑+𝑟)𝑁
( ) ( )
𝛽(𝜇+𝑑+𝑟) 𝛽
−𝜇 − 𝛽 −𝛽 0
𝑁 𝑁
𝐽(𝑆 ∗,𝐼∗,𝑅∗) = Λβ−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟) (𝜇+𝑑+𝑟)𝑁
( ) ( )
𝛽(𝜇+𝑑+𝑟) 𝛽
𝛽 𝛽 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0
𝑁 𝑁
[ 0 𝑟 −𝜇]

Λβ − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
−𝜇 − −(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0
𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
𝐽(𝑆 ∗,𝐼∗,𝑅∗) = Λβ − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
0 0
𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
[ 0 𝑟 −𝜇]

kemudian dicari nilai eigennya dengan menggunakan persamaan karakteristik


𝑑𝑒𝑡(𝐽(𝑆∗ ,𝐼∗,𝑅∗) − 𝜆𝐼) = 0 , sehingga diperoleh:

|𝐽(𝑆 ∗,𝐼∗,𝑅∗ ) − 𝜆𝐼| = 0


Λβ − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
−𝜇 − −𝜆 −(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0
𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
Λβ − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) =0
−𝜆 0
𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
[ 0 𝑟 −𝜇 − 𝜆]

Λβ − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
⟺ (−𝜇 − − 𝜆) (−𝜆)(−𝜇 − 𝜆)
𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
Λβ − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
− (𝜇 + 𝜆)(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) ( )=0
𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

1
⟺− (𝜇 + 𝜆) (−𝑑 2 𝑁𝜇 + Λβ(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
− 𝑁(−𝑟𝜆2 + 𝑟 2 𝜇 − 𝜆2 𝜇 + 2𝑟𝜇 2 + 𝜇 3 )

+ 𝑑(Λβ + N(𝜆2 − 2𝜇𝑟 − 2𝜇 2 ))) = 0

−Λ𝛽 ± √𝑀
𝜆1 = −𝜇, 𝜆2 = 𝜆3 =
𝑁(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

dengan
𝑀 = Λ2 𝛽 2 − 8𝑁𝜇Λβ𝑟 − 8𝑁𝜇Λβ𝑑 − 8𝑁𝑟Λβ𝑑 − 4𝑁𝜇 2 Λβ + 24𝑁 2 𝜇 2 rd − 4𝑁𝑟 2 Λβ
+ 12𝑁 2 𝑟 2 𝜇d + 12𝑁 2 𝑟𝜇d2 − 4𝑁𝑑 2 Λβ + 4𝑁 2 𝜇 4 + 12𝑁 2 𝜇 3 r
+ 12𝑁 2 𝜇 3 d + 12𝑁 2 𝜇 2 r 2 + 12𝑁 2 𝜇 2 d2 + 4𝑁 2 𝑟 3 𝜇 + 4𝑁 2 𝑑 3 𝜇

karena semua parameter bernilai positif, maka 𝜆1 < 0, 𝜆2 dan 𝜆3 bergantung pada nilai
M. Jika 𝑀 > 0, maka kestabilan titik tetap 𝑇2 bersifat simpul stabisl atau sadel. Jika
𝑀 < 0, maka kestabilan 𝑇2 bersifat stabil.

Dari syarat batas yang dihasilkan agar titik tetap 𝑇2 = (𝑆 ∗ , 𝐼 ∗ , 𝑅 ∗ ) bernilai positif dan
kondisi nilai M, maka diperoleh dua kasus berikut:
1. 𝑅0 > 1 dan 𝑀 < 0.
2. 𝑅0 > 1dan 𝑀 > 0.
Λ
Kondisi kestabilan titik tetap 𝑇1 = (𝜇 , 0, 0) dan 𝑇2 = (𝑆 ∗ , 𝐼 ∗ , 𝑅 ∗ ) yang diperoleh

diberikan oleh Tabel 1.

Tabel 1 Kondisi Kestabilan Titik Tetap


No. Kasus Kondisi 𝑻𝟏 𝑻𝟐
1. 𝑅0 < 1 - Stabil -
2. 𝑅0 > 1 dan 𝑀 < 0 - Sadel Spiral stabil
3. 𝑅0 > 1 dan 𝑀 > 0 √𝑀 > Λ𝛽 Sadel Sadel

√𝑀 < Λ𝛽 Sadel Simpul stabil

2) Analisis Kestabilan Titik Tetap untuk Model dengan Vaksin

Angka kestabilan titik tetap diperoleh dari nilai eigen yang dihasilkan matriks jakobi
persamaan dibawah ini yang dievaluasi pada titik tetap tersebut.

𝐼
−𝜇 − 𝛽 −u −𝛽𝑠/𝑁 0
𝑁
𝐽= 𝐼 𝛽𝑠
𝛽 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0
𝑁 𝑁
[ 𝑢 𝑟 −𝜇]

Selanjutnya kestabilan disekitar titik tetap diperiksa :

ᴧ uS
 Titik tetap T1 (μ+u , 0, ) disubstitusikan kedalam persamaan matriks jakobi
μ

persamaan pb sehingga diperoleh :



−𝜇 − 𝑢 −𝛽 N(μ+u) 0
ᴧ uS ᴧ
J(μ+u , 0, )=[ 0 𝛽 N(μ+u) − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0 ]
μ
𝑢 𝑟 −𝜇
Kemudian dicari nilai eigennya dengan menggunakan persamaan karakteristik
ᴧ uS
𝑑𝑒𝑡 (J (μ+u , 0, ) − λI) = 0
μ
−𝜇 − 𝑢 − λ −𝛽ᴧ/N(μ + u) 0

| 0 𝛽 − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) − λ 0 |=0
N(μ + u)
𝑢 𝑟 −𝜇 − λ


(−𝜇 − 𝑢 − λ)( 𝛽 N(μ+u) − (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) − λ)(−𝜇 − λ) = 0

λ1 = −𝜇 − u

λ2 = −𝜇

ᴧ (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)N(μ + u)
λ3 = 𝛽 −
N(μ + u) N(μ + u)

karena semua parameter bernilai positif dan tingkat perekrutan individu baru konstan
(ᴧ = μ + N).λ1 < 0 , 𝜆2 < 0, dan nilai eigen ketiga bergantung pada nilai 𝛽dan
(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)dengan persamaan :

λ3 = 𝛽 (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

titik tetap bebas penyakit bersifat stabil jika λ3 < 0, sehingga diperoleh persamaan:

𝛽 < (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)

𝛽
Sehingga (𝜇+𝑑+𝑟) < 1.

Titik tetap bebas penyakit bersifat stabil jika λ3 > 0, sehingga diperoleh persamaan
𝛽
𝛽 > (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)sehingga (𝜇+𝑑+𝑟) < 1.

𝛽
Dari persamaan diatas R0= (𝜇+𝑑+𝑟)
. Titik tetap bebas penyakit bersifat stabil jika R0<

1 dan bersifat tak stabil jika R0> 1.

 Pelinearan di titik tetap T2(S*, I*, R*)

Substitusikan titik tetap T2 kedalam matriks jakobi berikut:


−ᴧ𝛽+𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟)+𝑁𝑢(𝜇+𝑑+𝑟)
−𝜇 + −𝑢 −(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0
𝑁 (𝜇+𝑑+𝑟)
J (S*I*R* ) = ᴧ𝛽−𝑁𝜇(𝜇+𝑑+𝑟)−𝑁𝑢(𝜇+𝑑+𝑟)
0 0
𝑁 (𝜇+𝑑+𝑟)
[ 𝑢 𝑟 −𝜇]
Kemudian dicari nilai eigennya dengan menggunakan persamaan karakteristik
𝑑𝑒𝑡(J (𝑆 ∗ 𝐼 ∗ 𝑅 ∗ ) − λI) = 0
−ᴧ𝛽 + 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) + 𝑁𝑢(𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
−𝜇 + − 𝑢 − λ −(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) 0
| 𝑁 (𝜇 + 𝑑 + 𝑟) |
ᴧ𝛽 − 𝑁𝜇(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) − 𝑁𝑢(𝜇 + 𝑑 + 𝑟) =0
| −λ 0 |
𝑁 (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)
𝑢 𝑟 −𝜇 − λ

λ1 = −𝜇 − u

λ2 = −𝜇

ᴧ (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)N(μ + u)
λ3 = 𝛽 −
N(μ + u) N(μ + u)

karena semua parameter bernilai positif, maka𝜆1 < 0, 𝜆2 < 0, 𝜆3 dan bergantung pada
nilai 𝛽ᴧ dan (𝜇 + 𝑑 + 𝑟)N(μ + u).

5. Mengimplementasikan Model
Pada bagian ini akan dibahas nilai parameter dan simulasi numerik yang dilakukan untuk
mengontrol penyebaran virus H1N1 dengan menggunakan metode Runge-Kutta orde-4 pada
perangkat lunak.
 Nilai Parameter
Parameter dari model penyebaran virus H1N1 ada enam yaitu tingkat kontak individu
terinfeksi dengan individu rentan𝛽, tingkat perekrutan individu baruΛ, tingkat kematian
alami 𝜇, tingkat kematian yang disebabkan virus H1N1𝑑, tingkat penyembuhan𝑟, dan
total populasi𝑁.
Tingkat kefektifan kontak dipengaruhi oleh bilangan reproduksi dasar yang ditentukan
𝛽
dari persamaan𝑅0 = (𝜇+𝑑+𝑟). Nilai bilangan reproduksi dasar yang digunakan untuk

simulasi ada dua yaitu 𝑅0 = 1.2dan𝑅0 = 1.8.Nilai bilangan reproduksi dasar berbanding
lurus dengan tingkat kontak. Semakin besar bilangan reproduksi dasar, maka tingkat
kontak antara populasi terinfeksi dengan populasi rentan juga akan semakin besar. Nilai
kontak berturut-turut adalah 𝛽 = 0.2460463dan 𝛽 = 0.3090694.
Nilai parameter untuk tingkat perekrutan individu baru bersifat konstan Λ = 𝜇𝑁0 . Tingkat
kematian alami individu 𝜇 diasumsikan berbanding terbalik dengan angka harapan hidup
saat lahir. Angka harapan hidup saat lahir pada tahun 2012 di Indonesia adalah 71 tahun,
sehingga tingkat kematian alami di Indonesia adalah 3.858769 × 10−5 (WHO 2013).
Tingkat kematian yang disebabkan oleh virus H1N1 berbeda untuk masing-masing
negara, rata-rata berkisar antara 0.1% sampai 5.1% (Vaillantet al. 2009). Pada karya
ilmiah ini tingkat kematian disebabkan oleh virus H1N1 adalah 0.5% .Tingkat
penyembuhan𝑟 ditentukan dari lamanya masa pengobatan. Pada karya ilmiah ini lamanya
masa pengobatan diambil 4,5, dan 6 hari, sehingga tingkat penyembuhan masing-masing
1 1 1
sebesar , , dan 6per individu per hari. Total populasi𝑁 diambil berdasarkan jumlah
4 5

penduduk Kabupaten dan Kota Bogor tahun 2012 yaitu sebanyak5.977387 × 106 orang
(BPS Jabar 2012). Nilai-nilai parameter tersebut diberikan olehTabel 2.

Tabel 2 Nilai-nilai Parameter


Parameter Definisi Nilai
𝛽 Tingkat kontak individu terinfeksi 0.2460463 (*)
dengan individu rentan 0.3090694 (**)
Λ Tingkat perekrutan (lahir dan migrasi) 237.3392
𝜇 Tingkat kematian alami 3.858769 × 10−5
𝑑 Tingkat kematian yang disebabkan 0.5%
virus H1N1
𝑟 Tingkat penyembuhan 1 1 1
, , dan
4 5 6
Ket:
(*) untuk 𝑅0 = 1.2
(**) untuk 𝑅0 = 1.8

Nilai awal untuk sistem persamaan diferensial taklinier diberikan oleh Tabel 3.
Tabel 3 Nilai awal model penyebaran virus H1N1
Nilai awal S(0) I(0) R(0)
(orang) 5.977387 × 106 11 10

 Hasil Simulasi
Simulasi numerik yang dilakukan ada dua yaitu membandingkan dinamika masing-
masing populasi sebelum dan setelah pemberian kontrol ke dalam sistem dengan nilai
bilangan reproduksi dasar yang berbeda dan membandingkan efek penyembuhan yang
berbeda (bergantung pada lamanya periode pengobatan) terhadap dinamika populasi dari
individu yang terinfeksi. Parameter dan nilai awal yang akan digunakan untuk simulasi
numerik diberikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Simulasi numerik pertama akan membandingkan perubahan masing-masing populasi
sebelum dan setelah pemberian kontrol dengan bilangan reproduksi dasar yang berbeda.
Gambar-gambar dibawah ini membandingkan perubahan yang terjadi pada populasi
terinfeksi, populasi rentan, populasi yang disembuhkan sebelum dan setelah pemberian
kontrol ke dalam sistem dan menampilkan fungsi kontrol yang diperoleh.

Gambar 3 Dinamika populasi terinfeksi tanpa dan dengan kontrol untuk R0 = 1,2
Dinamika populasi individu terinfeksi dengan R0 = 1,2 pada Gambar 3 menunjukkan
peningkatan secara drastis populasi terinfeksi tanpa kontrol sampai akhir waktu dan
jumlah individu terinfeksi paling banyak sesuai durasi yang diberikan terjadi pada hari
ke-250 sebanyak 9,33 x 104 orang. Pemberian vaksin sebagai kontrol mengurangi jumlah
individu yang terinfeksi lebih banyak.Jumlah individu terinfeksi setelah pemberian
kontrol paling banyak terjadi pada hari ke 136 –sebanyak 88 orang.Tingkat keefektifan
pemberian vaksin untuk mengontrol penyebaran virus H1N1 dihitung dengan
membandingkan penurunan jumlah individu terinfeksi setelah pemberian kontrol dengan
jumlah individu terinfeksi tanpa kontrol saat penyakit mewabah. Tingkat keefektifan
vaksin untuk bilangan reproduksi dasar R0 = 1,2adalah 99,9%

Gambar 4 Dinamika populasi terinfeksi tanpa dan dengan kontrol untuk R0 = 1,8

Pada Gambar 4, dinamika populasi individu terinfeksi denganR0 = 1,8 menunjukan


peningkatan secara drastis populasi terinfeksi tanpa kontrol dan mencapai titik puncak
penyebaran penyakit H1N1 pada hari ke-78 sebanyak 8,098617 x 105 orang. Titik puncak
penyebaran H1N1 setelah pemberian kontrol terjadi pada hari ke- 80 sebesar 1171 orang.
Tingkat keefektian pemberian kontrol ke dalam sistem untuk bilangan reproduksi dasar
R0 = 1,8adalah 99,85 % . Penurunan signifikan jumlah individu terinfeksi setelah
pemberian kontrol ke dalam sistem menunjukan bahwa fungsi kontrol yang diperoleh
berhasil mengontrol penyebaran H1N1.
Bilangan reproduksi dasar sangat berpengaruh terhadap dinamika populasi individu
terinfeksi. Semakin besar bilangan reproduksi dasar akan menyebabkan semakin besarnya
nilai kontak antara individu terinfeksi dengan individu yang rentan, sehingga jumlah
individu rentan yang dapat terinfeksi virus H1N1 juga akan semakin banyak. Dinamika
populasi individu terinfeksi sebelum pemberian kontrol dengan bilangan reproduksi dasar
yang berbeda diberikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Dinamika populasi terinfeksi tanpa kontrol untuk R0= 1,2 dan Ro= 1,8
Populasi rentan tanpa kontrol untuk R0=1,8 berkurang lebih banyak dibandingkan dengan
populasi rentan tanpa kontrol untuk R0=1,2 . Hal ini disebabkan oleh tingkat kontak yang
semakin besar untuk bilangan reproduksi dasar yang besar, sehingga jumlah individu
rentan yang ditransfer ke dalam populasi terinfeksi juga semakin banyak.
Gambar 6 Dinamika populasi rentan tanpa dan dengan kontrol untuk Ro=1,2
Laju berkurangnya jumlah individu rentan dengan kontrol pada Gambar 6 lebih besar
dibandingkan dengan laju berkurangnya jumlah individu rentan tanpa pemberian kontrol
untuk R0=1,2 . Setelah pemberian kontrol, jumlah individu rentan jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan tanpa adanya pemberian kontrol.Penurunan populasi rentan setelah
kontrol terjadi karena fungsi kontrol mentransfer individu rentan menjadi individu
disembuhkan.
Gambar 7 Dinamika populasi rentan tanpa dan dengan kontrol untuk R0=1,8
Populasi rentan untuk R0=1,8 pada Gambar 7 menurun drastis sampai hari ke-77 program
vaksinasi. Jumlah individu yang rentan dengan adanya kontrol lebih kecil dibandingkan
dengan jumlah individu yang rentan tanpa kontrol sampai hari ke-77 program
vaksinasi.Setelah itu, jumlah individu yang rentan dengan kontrol lebih besar
dibandingkan dengan jumlah individu yang rentan tanpa kontrol.
Gambar 8 Dinamika populasi disembuhkan tanpa dan dengan kontrol untuk R0= 1,2
Populasi yang disembuhkan pada Gambar 8 dengan R0=1,2 menunjukkan terjadinya
peningkatan jumlah individu yang disembuhkan setelah pemberian kontrol sampai akhir
program vaksinasi. Laju bertambahnya jumlah individu yang disembuhkan dengan
kontrol lebih besar dibandingkan dengan laju bertambahnya jumlah individu yang
disembuhkan tanpa kontrol.
Gambar 9 Dinamika populasi disembuhkan tanpa dan dengan control R0=1,8
Jumlah individu yang disembuhkan untuk R0=1,8 setelah pemberian kontrol pada
Gambar 9 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah individu yang disembuhkan tanpa
kontrol sampai hari ke-83 program vaksinasi. Setelah itu, jumlah individu yang
disembuhkan dengan kontrol lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah individu yang
disembuhkan tanpa kontrol. Hal ini disebabkan oleh nilai fungsi kontrol yang semakin
mengecil seiring dengan berkurangnya jumlah individu terinfeksi menuju akhir program
vaksinasi. Nilai fungsi kontrol yang semakin mengecil mengakibatkan semakin sedikit
jumlah individu rentan yang ditransfer ke populasi yang disembuhkan.
Gambar 10 Kontrol optimum u*(t)

Gambar 10 menunjukkan perbandingan nilai fungsi kontrol u(t) dengan bilangan


reproduksi dasar yang berbeda. Semakin besar bilangan reproduksi dasar yang digunakan
akan menghasilkan fungsi kontrol yang lebih besar juga. Hal ini terjadi karena tingkat
mewabah suatu penyakit bergantung kepada bilangan reproduksi dasar. Bilangan
reproduksi dasar yang lebih besar menyebabkan penyakit akan mewabah lebih cepat dan
lebih banyak individu yang tertular penyakit. Namun, kedua fungsi kontrol yang
diperoleh berhasil meminimumkan populasi yang terinfeksi virus H1N1 pada akhir
program vaksinasi. Kontrol optimumu(t)* mempunyai nilai maksimum pada awal
program vaksinasi yaitu sebesar 0,01352 untuk R0=1,8 dan 0,002503 untuk R0=1,2 .
Nilai fungsi kontrol turun sampai akhir program vaksinasi seiring dengan semakin
berkurangnya jumlah individu yang terinfeksi. Pada waktu yang sama populasi yang
rentan juga turun disebabkan oleh nilai fungsi kontrol. Nilai fungsional objektif yang
dihasilkan berdasarkan nilai fungsi kontrol yang diperoleh adalah J=717476 untuk
R0=1,8 dan J=48422 untuk R0=1,2 .
Simulasi numerik yang kedua adalah membandingkan tingkat penyembuhan yang
berbeda terhadap dinamika populasi individu terinfeksi. Tingkat penyembuhan individu
terinfeksi r bergantung pada lamanya periode pengobatan. Pada simulasi ini
menggunakan tiga periode pengobatan yang berbeda yaitu 4, 5, dan 6 hari, sehingga
tingkat penyembuhan masing-masing berdasarkan lamanya periode pengobatan secara
berturut-turut adalah ¼=0,25 ,1/5= 0,2 , dan 1/6= 0,16667 per hari. Dinamika populasi
individu terinfeksi dengan tingkat penyembuhan yang berbeda diberikan oleh Gambar 11.

Gambar 11 Dinamika populasi individu terinfeksi dengan kontrol untuk r=0,16667, r=0,2
dan r=0,25
Dinamika populasi individu yang terinfeksi dengan menggunakan tingkat penyembuhan
0,16667 mencapai titik puncaknya pada hari ke-91 , dengan menggunakan tingkat
penyembuhan 0,2 populasi individu terinfeksi mencapai titik puncaknya pada hari ke-80 ,
dan dengan menggunakan tingkat penyembuhan 0,25 populasi individu terinfeksi
mencapai titik puncaknya pada hari ke-68 . Dinamika populasi individu terinfeksi akan
turun secara drastis setelah mencapai titik puncaknya. Gambar 11 menunjukan bahwa
tingkat penyembuhan yang lebih besar dapat mengurangi jumlah individu yang terinfeksi
dengan lebih banyak di waktu akhir. Program Matlab untuk simulasi numerik dapat
dilihat pada dibawah

 M-file Matlab untuk solusi model H1N1 tanpa vaksin

function [S,I,R] = h1n1_nocontrol(beta,Lambda,mu,d,r,S0,I0,R0,t0,tf,n)


h = (tf-t0)/n;
hasil=[];
S(1) = S0;
I(1) = I0;
R(1) = R0;
N = S0+I0+R0;
for i = 1:n
n11 = Lambda - mu*S(i) - beta*S(i)*I(i)/N;
n12 = Lambda - mu*(S(i)+h*n11/2) - beta*(S(i)+h*n11/2)*(I(i)+h*n11/2)/N;
n13 = Lambda - mu*(S(i)+h*n12/2) - beta*(S(i)+h*n12/2)*(I(i)+h*n11/2)/N;
n14 = Lambda - mu*(S(i)+h*n13) - beta*(S(i)+h*n13)*(I(i)+h*n13)/N;
n1 = (n11+2*n12+2*n13+n14)/6;
n21 = beta*S(i)*I(i)/N - (mu+d+r)*I(i);
n22 = beta*(S(i)+h*n21/2)*(I(i)+h*n21/2)/N - (mu+d+r)*(I(i)+h*n21/2);
n23 = beta*(S(i)+h*n22/2)*(I(i)+h*n22/2)/N - (mu+d+r)*(I(i)+h*n22/2);
n24 = beta*(S(i)+h*n23)*(I(i)+h*n23)/N - (mu+d+r)*(I(i)+h*n23);
n2 = (n21+2*n22+2*n23+n24)/6;
n31 = r*I(i) - mu*R(i);
n32 = r*(I(i)+h*n31/2) - mu*(R(i)+h*n31/2);
n33 = r*(I(i)+h*n32/2) - mu*(R(i)+h*n32/2);
n34 = r*(I(i)+h*n33) - mu*(R(i)+h*n33);
n3 = (n31+2*n32+2*n33+n34)/6;
S(i+1) = S(i) + h*n1;
I(i+1) = I(i) + h*n2;
R(i+1) = R(i) + h*n3;
end
for i=1:n+1
hasil=[hasil;i I(i)];
end
hasil
 M-file Matlab untuk solusi model H1N1 dengan vaksin

function [S,I,R,u,lambda1,lambda2,lambda3,J] =
h1n1_withcontrol(beta,Lambda,mu,d,r,A,S0,I0,R0,t0,tf,n)
tol = 0.01;
err = tol + 1;
hasilc=[];
h = (tf-t0)/n;
N = S0+I0+R0;
S = zeros(1,n+1);
I = zeros(1,n+1);
R = zeros(1,n+1);
lambda1 = zeros(1,n+1);
lambda2 = zeros(1,n+1);
lambda3 = zeros(1,n+1);
S(1) = S0;
I(1) = I0;
R(1) = R0;
u = zeros(1,n+1)+0.5;
while(err > tol)
oldu = u;
i = 1:n
n11 = Lambda - mu*S(i) - beta*S(i)*I(i)/N - u(i)*S(i);
n12 = Lambda - mu*(S(i)+h*n11/2) - beta*(S(i)+h*n11/2)*(I(i)+h*n11/2)/N
- u(i)*(S(i)+h*n11/2);
n13 = Lambda - mu*(S(i)+h*n12/2) - beta*(S(i)+h*n12/2)*(I(i)+h*n11/2)/N
- u(i)*(S(i)+h*n12/2);
n14 = Lambda - mu*(S(i)+h*n13) - beta*(S(i)+h*n13)*(I(i)+h*n13)/N -
u(i)*(S(i)+h*n13);
n1 = (n11+2*n12+2*n13+n14)/6;
n21 = beta*S(i)*I(i)/N - (mu+d+r)*I(i);
n22 = beta*(S(i)+h*n21/2)*(I(i)+h*n21/2)/N - (mu+d+r)*(I(i)+h*n21/2);
n23 = beta*(S(i)+h*n22/2)*(I(i)+h*n22/2)/N - (mu+d+r)*(I(i)+h*n22/2);
n24 = beta*(S(i)+h*n23)*(I(i)+h*n23)/N - (mu+d+r)*(I(i)+h*n23);
n2 = (n21+2*n22+2*n23+n24)/6;
n31 = r*I(i) - mu*R(i) + u(i)*S(i);
n32 = r*(I(i)+h*n31/2) - mu*(R(i)+h*n31/2) + u(i)*(S(i)+h*n31/2);
n33 = r*(I(i)+h*n32/2) - mu*(R(i)+h*n32/2) + u(i)*(S(i)+h*n32/2);
n34 = r*(I(i)+h*n33) - mu*(R(i)+h*n33) + u(i)*(S(i)+h*n33);
n3 = (n31+2*n32+2*n33+n34)/6;
S(i+1) = S(i) + h*n1;
I(i+1) = I(i) + h*n2;
R(i+1) = R(i) + h*n3;
end
for i = 1:n
j = (n+1)-i;
n11 = mu*lambda1(j+1) + (lambda1(j+1)-lambda3(j+1))*u(j+1) +
(lambda1(j+1)-lambda2(j+1))*beta*I(j+1)/N;
n12 = mu*(lambda1(j+1)+h*n11/2) + ((lambda1(j+1)+h*n11/2)-
(lambda3(j+1)+h*n11/2))*u(j+1) + ((lambda1(j+1)+h*n11/2)-
(lambda2(j+1)+h*n11/2))*beta*I(j+1)/N;
n13 = mu*(lambda1(j+1)+h*n12/2) + ((lambda1(j+1)+h*n12/2)-
(lambda3(j+1)+h*n12/2))*u(j+1) + ((lambda1(j+1)+h*n12/2)-
(lambda2(j+1)+h*n12/2))*beta*I(j+1)/N;
n14 = mu*(lambda1(j+1)+h*n13) + ((lambda1(j+1)+h*n13)-
(lambda3(j+1)+h*n13))*u(j+1) + ((lambda1(j+1)+h*n13)-
(lambda2(j+1)+h*n13))*beta*I(j+1)/N;
n1 = (n11+2*n12+2*n13+n14)/6;
n21 = -1 + (lambda1(j+1)-lambda2(j+1))*beta*S(j+1)/N +
(mu+r+d)*lambda2(j+1) - r*lambda3(j+1);
n22 = -1 + ((lambda1(j+1)+h*n21/2)-
(lambda2(j+1)+h*n21/2))*beta*S(j+1)/N + (mu+r+d)*(lambda2(j+1)+h*n21/2)
- r*(lambda3(j+1)+h*n21/2);
n23 = -1 + ((lambda1(j+1)+h*n22/2)-
(lambda2(j+1)+h*n22/2))*beta*S(j+1)/N + (mu+r+d)*(lambda2(j+1)+h*n22/2)
- r*(lambda3(j+1)+h*n22/2);
n24 = -1 + ((lambda1(j+1)+h*n23)- (lambda2(j+1)+h*n23))*beta*S(j+1)/N +
(mu+r+d)*(lambda2(j+1)+h*n23) - r*(lambda3(j+1)+h*n23);
n2 = (n21+2*n22+2*n23+n24)/6;
n31 = mu*lambda3(j+1);
n32 = mu*(lambda3(j+1)+h*n31/2);
n33 = mu*(lambda3(j+1)+h*n32/2);
n34 = mu*(lambda3(j+1)+h*n33);
n3 = (n31+2*n32+2*n33+n34)/6;
lambda1(j) = lambda1(j+1) - h*n1;
lambda2(j) = lambda2(j+1) - h*n2;
lambda3(j) = lambda3(j+1) - h*n3;
end
temp = (lambda1-lambda3).*S/A;
u1 = min(0.9,max(0,temp));
u = 0.5*(u1+oldu);
err = sum(abs(oldu-u));
end
for i=1:n+1
hasilc=[hasilc;i I(i)];
end
hasilc
f = I + A/2*u.^2;
J = sum(f*h);
BAB III KESIMPULAN

Model yang digunakan untuk menggambarkan masalah penyebaran virus H1N1 adalah
model Susceptible Infected Recovered (SIR). Populasi dalam model SIR dibagi menjadi tiga
kelas epidemiologi yaitu kelas yang rentan , kelas yang terinfeksi , dan kelas yang disembuhkan .
Simulasi numerik yang dilakukan ada dua yaitu simulasi numerik untuk membandingkan
dinamika masing-masing populasi dengan bilangan reproduksi dasar yang berbeda sebelum dan
setelah pemberian kontrol dan simulasi numerik untuk melihat dinamika populasi individu
terinfeksi terhadap tingkat penyembuhan yang berbeda.Populasi terinfeksi berkurang secara
drastis setelah adanya pemberian kontrol ke dalam sistem.Jumlah individu yang terinfeksi
dengan adanya program vaksinasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan tanpa adanya program
vaksinasi. Semakin besar nilai bilangan reproduksi dasar maka tingkat kontak antara individu
terinfeksi dengan individu rentan semakin besar, sehingga individu rentan akan semakin banyak
yang terinfeksi virus H1N1 dan penyakit mewabah lebih cepat. Periode pengobatan yang lebih
singkat menghasilkan tingkat penyembuhan yang besar dan mengurangi jumlah individu yang
terinfeksi virus H1N1 dengan lebih banyak pada waktu akhir.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Virus_influenza_A_subtipe_H1N1

https://inugzcakep.files.wordpress.com/2008/03/lapta.pdf

http://lipsus.kompas.com/jalanjalan/read/2009/08/01/20121219/Sebagian.Besar.Kasus.A.H1N1.di.In
do nesia.Bukan.Impor.

Sitepoe M. 2009. Melawan Influenza A(H1N1). Jakarta (ID): Grasindo.

Tu PNV. 1994. Dynamical System: An Introduction with Application in Economics and Biology.
Second Revised and Enlarged Edition. Heidelberg (DE): Springer – Verlag.

Vaillant L, Ruche G La, Tarantola A, Barboza P. 2009. Epidemiology of Fatal Cases Associated with
Pandemic H1N1 Influenza. Eurosurveillance. 14(33): pii = 19309.

[WHO] World Health Organization. 2009. Pandemic (H1N1) 2009. [Internet]. [diacu 2014 Februari].
Tersedia dari: http://www.who.int/csr/don/ 2009_11_27a/en/.

[WHO] World Health Organization. 2013. Life Expectancy: Life Expectancy Data by Country.
http://apps.who.int/gho/data/node.main.687?lang=en.

Anda mungkin juga menyukai