Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Berbagai jenis penyakit semakin banyak yang muncul salah satu penyebabnya
adalah gaya hidup dan lingkungan yang tidak sehat. Murwanti dkk, (2013: 64)
menyebutkan bahwa secara umum ada dua jenis penyakit yaitu penyakit menular
(Infectious Diseases) dan penyakit tidak menular (Non Infectious Diseases).
Penyebaran penyakit menular menjadi keprihatinan dan ancaman bagi masyarakat
karena penyakit menular umumya bersifat mendadak dan bisa menyerang seluruh
lapisan masyarakat dalam waktu tertentu.

Metode penularan penyakit pada manusia diklasifikasikan menjadi dua yaitu


penularan secara vertikal dan penularan secara horizontal. Penularan secara vertikal
yaitu penularan dari ibu ke bayi melalui plasenta saat bayi berada dalam kandungan
atau menular ke bayi yang baru lahir pada saat proses kelahiran normal. Sedangkan
penularan secara horizontal yaitu penularan yang terjadi karena individu sehat
berkontak langsung dengan individu yang terinfeksi oleh suatu penyakit menular.
Kontak langsung dapat melalui udara, batuk, bersin, makanan, minuman, dan bahkan
kotoran individu yang mengandung virus penyakit menular. Menurut Zulkoni (2011:
223) salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui kontak langsung adalah
Varicella. Penyakit Varicella disebut juga dengan Chickenpox, di Indonesia penyakit
ini biasa dikenal dengan cacar air.

Cacar air ( Varicella ) merupakan salah satu penyakit yang umum ditemui pada
anak-anak namun dapat juga menyerang orang dewasa. Di Indonesia, cacar air diduga
sering terjadi pada saat pergantian musim hujan ke musim panas ataupun sebaliknya.
Zulkoni (2011: 223) menyebutkan bahwa penyakit Varicella terdapat diseluruh dunia
dan tidak ada perbedaan ras ataupun jenis kelamin. Penyakit ini disebabkan oleh
Varicella Zoster Virus (VZV). Varicella Zoster Virus (VZV) bertanggung jawab atas
dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu Varicella atau Chickenpox (cacar air) dan

1
Herpes Zoster (cacar ular). Cacar air atau Varicella merupakan infeksi primer yang
terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus Varicella-Zoster. Pada
3 sampai 5 individu dari 100 individu, virus Varicella-Zoster mengalami reaktivasi
yang menyebabkan infeksi rekuren yang kemudian dikenal dengan Herpes Zoster atau
Shingles.

Varicella Zoster Virus (VZV) merupakan salah satu dari delapan virus herpes
yang menyebabkan infeksi pada manusia (NCIRS, 2009). Penyakit cacar air sering
ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan sangat menular, lebih menular dibandingkan
dengan gondong (Parotits) tetapi kurang menular jika dibandingkan dengan campak
(Measles) (Widoyono, 2011: 92). Gejala yang ditimbulkan dari penyakit cacar air yaitu
sakit kepala, demam, kelelahan ringan kemudian diikuti dengan munculnya ruam pada
kulit dan rasa gatal (Esson et al, 2014). Infeksi cacar air menyerang semua usia dengan
puncak insidensi pada usia 5-9 tahun. 90% pasien Varicella berusia dibawah 10 tahun,
sangat sedikit sekali terjadi pada orang dewasa (Widoyono, 2011: 91).

Angka kematian akibat penyakit ini sangat kecil sekali kecuali adanya
komplikasi. Widoyono (2011: 91) menyebutkan bahwa kasus Varicella di Amerika
diperkirakan mencapai 3,1-3,5 juta per tahunnya. Di Amerika, Varicella sering terjadi
pada anak-anak dibawah usia 10 tahun dan 5% kasus terjadi pada usia lebih dari 15
tahun. Sedangkan di Jepang penyakit ini umum terjadi pada anak-anak dibawah usia 6
tahun sebanyak 81,4%. Namun di Indonesia tidak banyak penelitian yang mencatat
kasus Varicella atau cacar air. Mengingat kasus cacar air banyak menyerang anak-
anak, sifat penularannya yang begitu cepat dan dapat menimbulkan kerugian yang
cukup besar. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu cara untuk mengendalikan penyebaran
penyakit cacar air agar tidak menjadi wabah dalam suatu populasi. Salah satu caranya
yaitu dengan program vaksinasi.

Vaksinasi adalah pemberian vaksin ke dalam tubuh untuk memberikan


kekebalan aktif pada suatu penyakit. Menurut Ranuh dkk, (2014) vaksinasi dapat
diberikan kepada anak-anak yang berumur 12- 15 bulan dan kepada setiap orang yang
belum mendapat vaksinasi atau bagi yang belum pernah menderita penyakit cacar air

2
sebelumnya. Selain dengan vaksinasi, perkembangan ilmu pengetahuan dibidang
matematika pun turut memiliki peranan penting dalam mengatasi masalah di kehidupan
nyata. Tamrin dkk, (2007) mengungkapkan bahwa salah satu alat yang dapat
membantu mempermudah penyelesaian masalah dalam kehidupan nyata yaitu model
matematika.

Model matematika adalah hasil perumusan yang menggambarkan masalah


dalam kehidupan nyata yang kemudian akan dicari solusinya. Model matematika yang
digunakan untuk melihat tingkat penyebaran suatu penyakit menular disebut dengan
model epidemi. Dari model matematika tersebut akan terbentuk suatu sistem
persamaan diferensial yang dapat diketahui titik kesetimbangannya dan dapat dianalisis
kestabilan di titik kesetimbangannya. Salah satu contoh model matematika epidemi
adalah model epidemi SIR (Susceptible-Infected-Recovered). Model SIR pertama kali
dikenalkan oleh Kermack dan McKendrick (1927) dalam makalahnya yang berjudul
“A Contribution to the Mathematical Theory of Epidemics”, yang kemudian berperan
penting dalam perkembangan matematika epidemi (Iswanto, 2012: 151). Pada model
epidemi SIR klasik, populasi manusia dibagi menjadi tiga kelas yaitu populasi yang
rentan terhadap penyakit Susceptible (S), populasi yang terinfeksi yaitu Infected (I) dan
populasi yang telah sembuh dari penyakit Recovered (R) yang masing-masing
diberikan dalam waktu t (Iswanto, 2012: 152).

Penelitian mengenai model penyebaran penyakit menular telah banyak


dilakukan. Adapun penelitian yang berkaitan dengan pemodelan penyebaran penyakit
cacar air yaitu penelitian yang dilakukan Teri Johnson pada tahun 2009 yang berjudul
“Mathematical Modelling of Diseases: Susceptible-Infected-Recovered (SIR) Model”
dalam penelitian tersebut dibentuk model matematika SIR dengan studi kasus penyakit
cacar air. Didapatkan model untuk ketiga kelas populasi manusia dalam model SIR
yaitu kelas Susceptible (S) merupakan kelompok individu yang sehat dan rentan
terhadap penyakit, Infected (I) yaitu kelompok individu yang terinfeksi penyakit
menular, dan Recovered (R) yaitu kelompok individu yang telah sembuh dan memiliki
kekebalan permanen sehingga tidak akan tertular penyakit yang sama. Selanjutnya

3
dianalisis tingkat penyebaran penyakit cacar air (Varicella) menggunakan Basic
Reproductive Number (BR), Herd Immunity Threshold (HI), Effective Reproductive
Number (ER) serta memperhatikan Control Vaccination Number (CV).

Penelitian lain juga dilakukan oleh Michael Martey Ofori (2011) yaitu tentang
epidemiologi dari penyakit cacar air dengan mengambil kasus di kota Ghana. Model
yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu model SIR dengan memperhatikan laju
kelahiran dan laju kematian alami yang terjadi dalam populasi. Dilakukan analisis
model dengan melihat Basic Reproductive Number, Herd Immunity Threshold, dan
Control Vaccination Number. Berdasarkan simulasi model disimpulkan bahwa
penyakit cacar air akan menjadi endemik di kota Ghana dengan rata-rata laju infeksi
1.4588 dan Basic Reproductive Number R0=1.078. Semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan, banyak para ilmuan yang mengkaji model epidemi SIR secara lebih
khusus.

Salah satu pengembangan dari model epidemi SIR yaitu model epidemi SEIR.
Model epidemi SEIR pada penyebaran penyakit memiliki empat kelas populasi yaitu
kelas Susceptible (rentan) menyatakan kelas individu sehat dan rentan terhadap
penyakit, kelas Exposed (laten) menyatakan kelas individu terinfeksi namun belum
menunjukkan gejala-gejala penyakit, kelas Infected (terinfeksi) menyatakan kelas
individu terinfeksi yang telah menunjukkan gejala-gejala penyakit dan kelas individu
Recovered (sembuh) menyatakan kelas individu yang telah sembuh dari penyakit. Pada
beberapa penyakit infeksi seperti cacar air (Varicella), campak (Measles), gondong
(Mumps), Tuberculosis (TBC) dan HIV/AIDS memiliki periode laten. Periode laten
(masa inkubasi) adalah selang waktu dimana suatu individu terinfeksi sampai
munculnya gejala penyakit. Periode laten ini menjadi alasan pembentukan model SEIR
dengan adanya kelas laten (Exposed). Kelas Exposed yaitu kelas yang digunakan untuk
mewakili individu yang baru terinfeksi dan memasuki periode laten, dalam periode ini
individu tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menularkan penyakit ke individu
lain.

4
Model SEIR dapat digunakan untuk memodelkan penyebaran penyakit cacar air
karena dalam proses penularannya mempunyai periode laten. Menurut Zulkoni (2011:
223) pada kasus penyakit cacar air, gejala dari penyakit akan muncul setelah masa
inkubasi yaitu sekitar 14-17 hari. Masa inkubasi yaitu masa dimana virus masuk ke
dalam tubuh sampai saat timbulnya gejala untuk pertama kali.

Esson, A.B. et al, pada tahun 2014 melakukan sebuah penelitian yang ditulis ke
dalam jurnal dengan judul “Epidemiology of Chickenpox in Agona West Municipality
of Ghana”. Jurnal tersebut memodelkan penyebaran penyakit cacar air atau chickenpox
di kota Ghana dengan model SEIR. Model menggunakan asumsi bahwa tidak terjadi
kelahiran dan kematian dalam populasi. Analisis stabilitas dilakukan dengan simulasi
model. Analisis dari model SEIR menunjukkan bahwa tingkat latency lebih sensitif
terhadap model dari pada tingkat penularan dan tingkat pemulihan.

Mengingat pentingnya vaksinasi dalam pengendalian mewabahnya suatu


penyakit menular seperti cacar air (Varicella) dan berdasarkan kajian dari penelitian-
penelitian sebelumnya mengenai model penyebaran penyakit cacar air. Dalam tugas
akhir ini akan dibahas tentang analisis kestabilan dari model matematika SEIR pada
penyebaran penyakit cacar air (Varicella) dengan pengaruh vaksinasi.Pemodelan
penyebaran penyakit cacar air ini memperhatikan adanya kelahiran dan kematian alami
yang terjadi dalam populasi yang mana laju kelahiran diasumsikan sama dengan laju
kematian alami. Selanjutnya akan diformulasikan model matematika untuk empat kelas
populasi yaitu Susceptible (S), Exposed (E), Infected (I) dan Recovered (R). Melalui
model tersebut akan dianalisis kestabilan disekitar titik ekuilibrium dan dilakukan
simulasi untuk nilainilai parameter dan nilai awal-nilai awal tertentu. Analisis model
ini dilakukan untuk mengetahui perilaku penyebaran penyakit cacar air (Varicella)
pada populasi tertutup dan untuk mengetahui pengaruh vaksinasi terhadap penyebaran
penyakit cacar air.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Varicella adalah infeksi akut primer oleh virus varicella zoster yang
menyerang kulit dan mukosa dengan gambaran klinis terdapat gejala konstitusi,
kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh, ditandai
oleh adanya vesikel-vesikel. (Djuanda,2011)
B. Etiologi
Varisela disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV), termasuk
kelompok Herpes Virus dengan diameter kira-kira 150-200 nm. Inti virus
disebut Capsid, terdiri dari protein dan DNA dengan rantai ganda.
(Djuanda,2011)
Varicella Zoster Virus (VZV) dapat menyebabkan Varicella dan Herpes
Zoster. Kontak pertama dengan penyakit ini akan menyebabkan Varicella,
sedangkan bila terjadi serangan kembali, yang akan muncul adalah Herpes
Zoster, sehingga Varicella sering disebut sebagai infeksi primer virus ini.
(Djuanda,2011)
C. Patogenesis
Varicella disebabkan oleh VZV yang termasuk dalam famili virus
herpes. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas
dan orofaring. Multiplikasi virus di tempat tersebut diikuti oleh penyebaran
virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe ( viremia primer ). Virus
VZV dimusnahkan oleh sel sistem retikuloendotelial, yang merupakan tempat
utama replikasi virus selama masa inkubasi. Selama masa inkubasi infeksi virus
dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh dan respon yang timbul.
(Wolff et al. ,2009)
Pada sebagian besar individu replikasi virus dapat mengatasi pertahanan
tubuh yang belum berkembang sehingga dua minggu setelah infeksi terjadi
viremia sekunder dalam jumlah yang lebih banyak. Selanjutnya, akan terjadi

6
replikasi VZV di stratum basalis epidermis menyebabkan degenerasi balon dan
akumulasi cairan membentuk vesikel Lesi kulit muncul berturut-berturut, yang
menunjukkan telah memasuki siklus viremia, yang pada penderita yang normal
dihentikan setelah sekitar 3 hari oleh imunitas humoral dan imunitas seluler
VZV. Virus beredar di leukosit mononuklear, terutama pada limfosit. Bahkan
pada varicella yang tidak disertai komplikasi, hasil viremia sekunder
menunjukkan adanya subklinis infeksi pada banyak organ selain kulit. (Straus
et al., 2008)
Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat
berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Imunitas humoral terhadap VZV
berfungsi protektif terhadap varicella. Pada orang yang terdeteksi memiliki
antibodi serum biasanya tidak selalu menjadi sakit setelah terkena paparan
eksogen. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga berkembang selama varicella,
berlangsung selama bertahun-tahun, dan melindungi terhadap terjadinya resiko
infeksi yang berat. (Straus et al., 2008)
D. Gejala Klinis
Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan, dengan kisaran 10
sampai 21 hari. Masa inkubasi dapat lebih lama pada pasien dengan defisiensi
imun dan pada pasien yang telah menerima pengobatan pasca paparan dengan
produk yang mengandung antibodi terhadap varicella. (Straus et al., 2008)
1) Gejala prodromal
Pada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal. Sementara pada anak
yang lebih besar dan dewasa, ruam yang seringkali didahului oleh demam
selama 2-3 hari, kedinginan, malaise, anoreksia, nyeri punggung, dan pada
beberapa pasien dapat disertai nyeri tenggorokan dan batuk kering. (Wolff
et al. ,2009)
2) Ruam pada varicella
Pada pasien yang belum mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari muka dan
scalp, dan kemudian menyebar secara cepat ke badan dan sedikit ke
ekstremitas. Lesi baru muncul berturut-turut, dengan distribusi terutama di

7
bagian sentral. Ruam cenderung padat kecil-kecil di punggung dan antara
tulang belikat daripada skapula dan bokong dan lebih banyak terdapat pada
medial daripada tungkai sebelah lateral. Tidak jarang terdapat lesi di telapak
tangan dan telapak kaki, dan vesikula sering muncul sebelumnya dan dalam
jumlah yang lebih besar di daerah peradangan, seperti daerah yang terkena
sengatan matahari.(Wolff et al., 2009)

8
Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih
kurang 12 jam, dimana mula-mula berupa makula eritematosa yang
berkembang menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari
varicella berdiameter 2-3 mm, dan berbentuk elips, dengan aksis
panjangnya sejajar dengan lipatan kulit. Vesikel biasanya superfisial dan
berdinding tipis, dan dikelilingi daerah eritematosa sehingga tampak
terlihat seperti “ embun di atas daun mawar”. Cairan vesikel cepat menjadi
keruh karena masuknya sel radang, sehingga mengubah vesikel menjadi
pustul. Lesi kemudian mengering, mula-mula di bagian tengah sehingga
menyebabkan umbilikasi dan kemudian menjadi krusta. Krusta akan lepas
dalam 1-3 minggu, meninggalkan bekas bekas cekung kemerahan yang
akan berangsur menghilang. Apabila terjadi superinfeksi dari bakteri maka
dapat terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah menyembuh dapat

9
meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat menetap selama beberapa
minggu/bulan. (Straus et al., 2008)
Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring, trakea,
saluran cerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat
pecah sehingga seringkali terlihat sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3
mm. (Straus et al., 2008)

Lesi dengan spektrum luas

Gambaran khas dari varicella adalah adanya lesi yang muncul secara
simultan (terus-menerus), di setiap area kulit, dimana lesi tersebut terus
berkembang. Suatu prospective study menunjukkan rata-rata jumlah lesi
pada anak yang sehat berkisar antara 250-500. Pada kasus sekunder karena
paparan di rumah gejala klinisnya lebih berat daripada kasus primer karena
paparan di sekolah, hal ini mungkin disebabkan karena paparan di rumah
lebih intens dan lebih lama sehingga inokulasi virus lebih banyak. (Straus
et al., 2008)
Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan
tingginya demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39oC,
tetapi pada keadaan yang berat dengan jumlah lesi banyak dapat mencapai

10
40,5oC. Demam yang berkepanjangan atau yang kambuh kembali dapat
disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial atau komplikasi lainnya. Gejala
yang paling mengganggu adalah gatal yang biasanya timbul selama stadium
vesikuler. (Straus et al., 2008)
E. Penegakan Diagnosis
1) Anamnesis
Masa inkubasi penyakit yang khas adalah 14-21 hari. Lesu dan demam
adalah gejala yang muncul paling awal, segera diikuti dengan munculnya
ruam, pertama pada punggung lalu kemudian pada wajah, anggota badan,
mukosa pipi serta faring. Vesikel segar berturut-turut muncul
dalam crops selama 2-4 hari berikutnya.
2) Pemeriksaan Fisik
Sekitar 24-36 jam setelah timbulnya gejala awal, muncul bintik-bintik
merah datar (makula). Kemudian bintik tersebut menonjol (papula),
membentuk lepuhan berisi cairan (vesikel) yang terasa gatal, yang akhirnya
akan mengering. Proses ini memakan waktu selama 6-8 jam.
Selanjutnya akan terbentuk bintik-bintik dan lepuhan yang baru, pada
hari kelima, biasanya sudah tidak terbentuk lagi lepuhan yang baru, seluruh
lepuhan akan mengering pada hari keenam dan menghilang dalam waktu
kurang dari 20 hari.
Papula diwajah, lengkap dan tungkai relatif lebih sedikit; biasanya
banyak ditemukan pada batang tubuh bagian atas seperti dada, punggung,
bahu. Bintik-bintik sering ditemukan di kulit kepala. Papula di mulut cepat
pecah dan membentuk luka terbuka (ulkus), yang seringkali menyebabkan
gangguan menelan. Ulkus juga bisa ditemukan di kelopak mata, saluran
pernapasan atas kadang menyebabkan gangguan pernapasan.
Bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening dileher bagian
samping. Cacar air jarang menyebabkan pembentukan jaringan perut,
kalaupun ada, hanya berupa lekukan kecil sekitar mata. Infeksi sekunder

11
dapat terjadi pada luka varisela akibat garukan dan biasanya disebaban oleh
stafilokokus.
3) Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis varisela umumnya dapat ditegakkan hanya secara klinis.
Pada pemeriksaan darah rutin sering didapati leukopenia. Pemeriksaan
swab atau scrap pada dasar ruam dapat menunjukkan gambaran yang khas
secara mikroskopis berupa intra-nuclear inclusion atau multinucleated
giant cells. (Craighead, J.E. 2000)

F. Penatalaksanaan
1) Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak mengakibatkan pecahnya vesikel.
Selain itu, dilakukan pemberian nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah
kontak dengan orang lain.
2) Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari karena
dapat menyebabkan Reye’s syndrome.
3) Losio kalamin dapat diberikan untuk mengurangi gatal.
4) Pengobatan antivirus oral, antara lain:
a. Asiklovir : Dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x 20
mg/kgBB (dosis maksimal 800 mg), atau
b. Valasiklovir : Dewasa 3 x 1000 mg/hari. Pemberian obat
tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan
pada 24 jam pertama setelah timbul lesi.
Konseling dan Edukasi
Edukasi bahwa varisella merupakan penyakit yang self-limiting pada
anak yang imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat berupa infeksi
bakteri sekunder. Oleh karena itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan tubuh.
Penderita sebaiknya dikarantina untuk mencegah penularan. (Federal Bureau
of Prisons (BOP). 2009)

12
G. Komplikasi
Pada anak yang imunokompeten, biasanya dijumpai varicella yang
ringan sehingga jarang dijumpai komplikasi. Komplikasi yang dapat dijumpai
pada varicella yaitu : (Hurwitz S, 2006)
1. Infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan oleh bakteri
a) Sering dijumpai infeksi pada kulit dan timbul pada anak-anak yang
berkisar antara 5 - 10%. Lesi pada kulit tersebut menjadi tempat masuk
organisme yang virulen dan apabila infeksi meluas dapat menimbulkan
impetigo, furunkel, cellulitis, dan erysepelas.
b) Organisme infeksius yang sering menjadi penyebabnya
adalah streptococcus grup A dan staphylococcus aureus.
2. Scar
Timbulnya scar yang berhubungan dengan infeksi staphylococcus atau
streptococcus yang berasal dari garukan.
3. Pneumonia
Dapat timbul pada anak - anak yang lebih tua dan pada orang
dewasa, yang dapat menimbulkan keadaan fatal. Pada orang dewasa insiden
varicella pneumonia sekitar 1 : 400 kasus.
4. Neurologik
a. Acute postinfeksius cerebellar ataxia
1) Ataxia sering muncul tiba-tiba, selalu terjadi 2 - 3 minggu setelah
timbulnya varicella. Keadaan ini dapat menetap selama 2
bulan.Manisfestasinya berupa tidak dapat mempertahankan posisi
berdiri hingga tidak mampu untuk berdiri dan tidak adanya
koordinasi dan dysarthria.
2) Insiden berkisar 1 : 4000 kasus varicella.
5. Encephalitis

13
a. Gejala ini sering timbul selama terjadinya akut varicella yaitu beberapa
hari setelah timbulnya ruam. Lethargy, drowsiness dan confusion adalah
gejala yang sering dijumpai.
b. Beberapa anak mengalami seizure dan perkembangan encephalitis yang
cepat dapat menimbulkan koma yang dalam.
c. Merupakan komplikasi yang serius dimana angka kematian berkisar 5 -
20 %.
d. Insiden berkisar 1,7 / 100.000 penderita.
6. Herpes zoster
a. Komplikasi yang lambat dari varicella yaitu timbulnya herpes zoster,
timbul beberapa bulan hingga tahun setelah terjadinya infeksi primer.
b. Varicella zoster virus menetap pada ganglion sensoris.
7. Reye syndrome
a. Ditandai dengan fatty liver dengan encephalophaty.
b. Keadaan ini berhubungan dengan penggunaan aspirin, tetapi setelah
digunakan acetaminophen (antipiretik) secara luas, kasus reye sindrom
mulai jarang ditemukan. (Frieden I J, 1995)

H. Prognosis
Varicella dan herpes zoster pada anak imunokompeten tanpa disertai
komplikasi prognosis biasanya sangat baik sedangkan pada anak
imunokompromais, angka morbiditas dan mortalitasnya signifikan. (Harper J,
2000)

14
BAB III

KESIMPULAN

Varicella adalah infeksi akut primer oleh virus varicella zoster yang menyerang
kulit dan mukosa dengan gambaran klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit
polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh, ditandai oleh adanya vesikel-
vesikel. Varisela disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV), termasuk kelompok
Herpes Virus dengan diameter kira-kira 150-200 nm. Inti virus disebut Capsid, terdiri
dari protein dan DNA dengan rantai ganda. Gambaran khas dari varicella adalah
adanya lesi yang muncul secara simultan (terus-menerus), di setiap area kulit, dimana
lesi tersebut terus berkembang. Suatu prospective study menunjukkan rata-rata jumlah
lesi pada anak yang sehat berkisar antara 250-500. Pada kasus sekunder karena paparan
di rumah gejala klinisnya lebih berat daripada kasus primer karena paparan di sekolah,
hal ini mungkin disebabkan karena paparan di rumah lebih intens dan lebih lama
sehingga inokulasi virus lebih banyak. Penegakan diagnosis dapat dilakukan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan antara lain hindari gesekan kulit agar tidak mengakibatkan pecahnya vesikel.
Selain itu, dilakukan pemberian nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah kontak dengan
orang lain. Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari karena
dapat menyebabkan Reye’s syndrome. Dapat menggunkanLosio kalamin untuk
mengurangi gatal. Dapat diberi pengobatan antivirus oral, antara lain:

a. Asiklovir : Dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis


maksimal 800 mg), atau
b. Valasiklovir : Dewasa 3 x 1000 mg/hari. Pemberian obat tersebut selama 7-
10 hari dan efektif diberikan pada 24 jam pertama setelah
timbul lesi.

Lalu diberikan edukasi dan konseling untuk pasien serta keluarganya. Komplikasi yang
dapat terjadi antara lain Infeksi sekunder pada kulit, Scar, Acute postinfeksius

15
cerebellar ataxia, Encephalitis, Herpes zoster. Reye syndrome. Sedangkan untuk
prognosis penyakit ini adalah baik

16
DAFTAR PUSTAKA

Craighead, J.E. 2000. Varicella-Zoster Virus (VZV). In : Pathology and Pathogenesis


of Human Viral Disease. Burlington: Academic Press. p. 147-62

Djuanda, Adhi. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Adhi, Edisi Enam Cetakan
Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Federal Bureau of Prisons (BOP). 2009. Management of varicella zoster virus


infections. [Citied 2011 Agustus 1]. Available from:
http://www.bop.gov/news/medresources.jsp.

Frieden I J, Penney N S. Varicella - Zoster Infection. In : Schchner L A, Hansen R C


editor. Pediatric Dermatology, second edition, vol 2, Churchill Livingstone,
NewYork, 1995 : 1272 - 75.

Harper J. 2000, Herpes zoster. In : Textbook of Pediatric Dermatology, volume 1,


Blackwell Science, : 339 - 40.

Hurwitz S. 2006, Herpes zoster. In : Clinical Pediatric Dermatology A Texbook of skin


Disease of Childhood and Adolescence, 2 nd edition,

Iswanto, R. J. 2012. Pemodelan matematika aplikasi dan terapannya. Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E. 2008. Fitzpatrick’s


Dermatology in general medicine seventh edition, vol 1 and 2.

Widoyono. 2011, Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga;

Wolff, Klaus. Johnson, Richard Allen. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Sypnosis of
Clinical Dermatology sixth edition.

17

Anda mungkin juga menyukai