Pencegahannya
A. Riwayat Alamiyah Penyakit Flu Burung
a.
faktor risiko mempercepat transmisi H5N1 pada manusia. Banyaknya unggas yang
dipelihara di rumah membuktikan bahwa secara nampak sumber penularan H5N1 itu
ada di sekeliling manusia.
Menurut Anies (2006) interaksi manusia dengan lingkungannya telah menyebabkan
kontak antara kuman dengan manusia. Selanjutnya Anies (2006) menyatakan bahwa
sering terjadi kuman yang tinggal ditubuh inang (host) kemudian berpindah ke
manusia karena manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini
terjadi misalnya pada kasus penularan penyakit melalui binatang yang mengalami
domestikasi, seperti sapi, babi, dan anjing. Menurut Aditama (2004) penyakit flu
burung menular ke manusia terjadi karena kontak dengan berbagai jenis unggas yang
terinfeksi oleh virus H5NI maupun tidak langsung.
Keseimbangan interaksi antara manusia dengan sumber penularan sebagai titik
tumpunya adalah lingkungan. Di tahapan pre-patogenesis (tahap peka) lingkungan
mempunyai peran yang nyata terjadinya transmisi dan distribusi penyakit flu burung.
Dari hasil studi yang diperoleh ternyata lingkungan yang menjadi titik tumpu
keseimbangan adalah lingkungan di sekitar rumah bukan lingkungan di luar rumah.
Kenyataannya lingkungan sekitar rumah merupakan tempatnya seseorang berdiam
diri dengan waktu yang paling lama. Baik secara sengaja atau tidak sengaja seseorang
yang ada di rumah melakukan kontak langsung dengan sumber penyakit (Unggas)..
Aspek lingkungan lainnya adalah saluran air limbah rumah tangga dan kotoran
unggas yang terbuka di setiap rumah. Ini mempunyai implikasi tidak terpeliharanya
sanitasi lingkungan sehingga dijadikan tempat hidupnya virus H5N1. Menurut Capua
dan Henzler (2003), faktor risiko penularan dari burung liar pembawa semua varietas
subtipe dari virus influenza A ke unggas peliharaan terutama terjadi kalau unggas
peliharaan tersebut di biarkan bebas berkeliaran. Maka studi ini berhasil
mengidentifikasi tahapan prepatogenesis penyakit flu burung pada manusia menurut
studi kasus diantaranya adalah unggas yang di pelihara untuk keperluan kebutuhan
sendiri dan lingkungan sekitar rumah sebagai salah satu faktor interaksi risiko. Hal ini
saat itu baik dan kemampuan virus H5N1 tidak cukup untuk secara cepat menginfeksi
manusia dan menimbulkan penyakit. Namun setelah virus H5N1 masuk dalam tubuh
secara perlahan menjadi virulen sehingga akhirnya daya tahan tubuh tidak kuat
melawan virulensi virus H5N1 dan akhirnya menjadi sakit. Pada masa inkubasi yang
pendek yaitu hanya 2 hari dianalisis karena adanya tingkat virulensi H5N1 yang
tinggi. Menurut WHO (2006), unggas yang sakit bahkan mati akan mengeluarkan
virus dengan jumlah besar dalam kotorannya. Dari analisis status health folder
penderita flu burung, seperti yang terjadi pada pasien-16,-18, dan serta lainnya
menunjukan bahwa virulensi virus H5N1 pada unggas mati menyebabkan patogenesis
penyakit terjadi sangat cepat. Namun kondisi inipun sebenarnya sangat dipengaruhi
oleh imunitas tubuh.
Masa inkubasi penyakit flu burung pada manusia berdasarkan dari studi kasus yang
dikumpulkan memperlihatkan begitu cepatnya transmisi H5N1 dari unggas ke
manusia. Masuknya bibit penyakit H5N1 pada manusia merupakan suatu risiko
semua orang karena dari hasil penelitian ini menunjukan justru potensi penularan
terjadi di lingkungan sekitar rumah. Menurut Depkes RI (2006) menyatakan bahwa
avian influenza (H5N1) dapat menyebar dengan cepat diantara populasi unggas
dengan kematian yang tinggi, bahkan dapat menyebar antar peternakan, dan
menyebar antar daerah yang luas. Hasil analisis kasus yang diperoleh menunjukan
bahwa pola masuk bibit penyakit tidak mutlak bersumber dari unggas yang dipelihara
oleh keluarga tetapi ada juga yang dimulai dari unggas (ayam) yang dipelihara oleh
tetangga.
Menurut WHO (2006), penularan penyakit flu burung kepada manusia dapat melalui
kontak langsung dengan sekret/lendir atau tinja binatang yang terinfeksi melalui
saluran pernafasan atau mukosa konjunctiva (selaput lendir). Dari studi kasus yang
dilakukan oleh peneliti, kejadian flu burung di Propinsi Jawa Barat sebagian besar
melalui kontak dengan unggas (ayam) yang mati mendadak. Unggas yang mati
mendadak ini bukan berasal dari peternakan melainkan berasal dari peliharaan ayam
miliknya sendiri atau milik tetangga. Selanjutnya WHO (2006) menyatakan bahwa
penyakit ini juga bisa menular melalui udara yang tercemar virus Avian Influenza
(H5N1) yang berasal dari tinja atau sekret/lendir unggas atau binatang lain terinfeksi
dalam jarak terbatas dan kontak dengan benda yang terkontaminasi H5N1.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, masuknya bibit penyakit pada tubuh manusia
tidak semuanya menyebabkan penyakit. Kekebalan tubuh manusia menentukan juga
apakah bibit penyakit mampu menimbulkan sakit atau sebaliknya justru tidak mampu
menimbulkan sakit. Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan
terus yang mengakibatkan terjadinya gangguan bentuk dan fungsi tubuh. Garis yang
membatasi tempat atau tidak tampaknya gejala penyakit biasanya disebut dengan
nama horison klinik. Ini menunjukan adanya kondisi yang menyatakan bahwa tubuh
itu mempunyai pertahanan kuat yang dapat menangkal infektivitas virus.
c.
Di tahap klinis ini, penderita rata-rata hari ke-5 mendapatkan perawatan dan
pengobatan ditempat pelayanan kesehatan profesional (Mantri Kesehatan, Dokter
Praktek Swasta, Puskesmas, dan Rumah Sakit). Ada beberapa kasus tertentu petugas
kesehatan tidak tepat mendiagnosis penyakit bahkan salah praduga mendiagnosis
penyakit, misalnya mendiagnosis typus abdominalis, atau suspek demam berdarah.
Dampaknya memberikan obat salah, akhirnya gejala yang dirasakan oleh penderita
bukan berkurang malah semakin parah.
Pelayanan kesehatan di tingkat pertama pasien dengan suspek flu burung mestinya
langsung mendapatkan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai dengan berat badan)
lalu dirujuk dengan segera. Ternyata di tataran lapangan pasien dengan suspek flu
burung baru dibawa ke rumah sakit rujukan rata-rata pada hari ke-6. Bahkan data
yang diperoleh rentang waktu penderita di rumah adalah 2-12 hari. Lamanya
penderita mendapatkan perawatan dan pengobatan yang spesifik tentunya ini menjadi
preseden buruk bagi kondisi kesehatan penderita. Maka pada tahap klinik hampir
sebagian penderita yang positif penyakit flu burung masuk perawatan dan pengobatan
di RS sudah masuk pada tahap komplikasi atau stadium lanjut.
d. Tahap Terminal Penyakit Flu Burung pada Manusia
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir sesuai dengan riwayat alamiahnya.
Tahap terminal penyakit merupakan titik berakhir suatu mekanisme penyakit di dalam
tubuh manusia dalam keadaan sembuh, mengalami kecacatan, atau meninggal dunia.
Termasuk perjalanan akhir penyakit flu burung pada manusia. Perjalanan akhir
penyakit flu burung lebih disebabkan adanya komplikasi pada infeksi paru-paru
(pneumonia) berat yang bisa menyebabkan gagal nafas. Hal ini terjadi karena adanya
gangguan ventilasi dan perfusi jaringan paru-paru. Selain itu juga sering terjadi syok
(dapat hipovolemik, distributif, kardiogenis ataupun obstruktif) yang pada akhirnya
tubuh tidak lagi mampu menahan keseimbangan.
Tahap akhir penyakit flu burung dari 31 penderita ternyata sebagian besar berakhir
dengan meninggal yaitu 26 orang (83,8%), sembuh 5 orang (16,2%), dan mengalam
kecacatan (00,0%). Tingginya angka kematian menurut Dirjen P2PL Depkes RI bisa
dikarenakan penderita sendiri yang tidak menyadari dirinya kemungkinan menderita
AI karena gejalanya sangat mirip dengan influenza musiman. Petugas kesehatanpun
bisa terkecoh. Akibatnya penderita baru dikirim ke RS rujukan AI setelah mencapai
stadium lanjut.
a.
b.
c.
f.
Contoh :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
3. Penegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early
diagnosis and prompt treatment)
Merupakan tindakan menemukan penyakit sedini mungkin dan melakukan
penatalaksanaan segera dengan terapi yang tepat.
Contoh :
a.
Pada ibu hamil yang sudah terdapat tanda tanda anemia diberikan tablet Fe dan
dianjurkan untuk makan makanan yang mengandung zat besi
b.
c.
Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh dan tak terjadi
komplikasi, misalnya menggunakan tongkat untuk kaki yang cacat
b.
c.
d.