Karya : Apung
Mendung gelap menyelimuti langit Majapahit akibat perselisihan sesama saudara, banyak
terjadi ketidak puasan dan pertengkaran diantara para kerabat raja Majapahit.
Kerajaan Majapahit mulai rapuh, salah satu penyebabnya adalah, adanya perang Paregreg,
yang terjadi bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Demak Bintara yang beragama Islam
di pesisir utara pulau Jawa, yg mulai bangkit dibawah rajanya Raden Patah yang disebut juga
Sultan Bintara atau Sultan Patah.
Keruntuhan kerajaan Majapahit terjadi ketika para prajurit Majapahit dibawah Prabu
Brawijaya pamungkas, bertempur melawan pasukan Demak, dibawah pimpinan Senapati
Agung Kasultanan Demak, Sunan Ngudung.
Senapati Agung Kasultanan Demak Bintara, Sunan Ngudung gugur, terbunuh oleh Senapati
Agung Majapahit, Adipati Terung, kemudian sunan Ngudungpun digantikan oleh Sunan
Kudus.
Pasukan Demak dibawah pimpinan Sunan Kudus berhasil mendesak pasukan Majapahit,
sehingga pasukan Majapahit mengalami kekalahan, sehingga sejak saat itu pudarlah masa
kejayaan Majapahit.
Keluarga kerajaan tercerai berai dan terpaksa meninggalkan istana, Raja Majapahit, Prabu
Brawijaya Pamungkas melarikan diri menuju ke arah Gunung Lawu, dan terpaksa berpisah
dengan sebagian keluarga kerajaan yang lainnya.
Salah satu putera Sang Prabu Brawijaya Pamungkas yang bernama Pangeran Dayaningrat,
atau disebut juga Adipati Dayaningrat, penguasa Kadipaten Pengging Witaradya di kaki
gunung Merapi sebelah tenggara, dalam suasana kerajaan yang carut marut, terpaksa
kehilangan istrinya, Dewi Asmayawati, yang meninggal dunia.
Kesedihan yang mendalam karena kehilangan istrinya, menyebabkan Adipati Dayaningrat
jatuh sakit , tak lama kemudian, Adipati Dayaningrat juga meninggal dunia, menyusul
istrinya.
Tinggalah sekarang dua orang putra Adipati Dayaningrat, yang sulung Kebo Kanigara dan
yang bungsu bernama Kebo Kenanga, umur keduanya hanya terpaut beberapa warsa saja.
Waktu demi waktu telah berlalu, Kebo Kanigara lebih sering tidak berada di Pengging dan
menyerahkan urusan wilayah Pengging kepada Kebo Kenanga.
Kebo Kenanga memeluk agama Islam dan disebut juga Ki Ageng Pengging. Kemudian iapun
juga bersahabat dengan beberapa orang pinunjul lainnya.
Suatu saat, Ki Ageng Pengging terkejut, ketika kedatangan dua orang tamu, utusan dari
Sultan Demak Bintara, dan dengan hormat, Ki Ageng Pengging menemui tamu utusan Raja.
Setelah berbincang mengenai berbagai hal, sampailah kedua tamu itu mengatakan, bahwa ia
mengemban dawuh dalem Kanjeng Sultan Demak Bintara.
Sebuah Sejarah Di Jawa | Perebutan Tahta Kasultanan Demak
1
Dawuh dalem Kanjeng Sultan Patah, memerintahkan Ki Ageng Pengging untuk menghadap
Sultan Demak Bintara,
Kepada kedua utusan itu, Ki Ageng Pengging mengatakan :”Mohonkan ampun pada Kanjeng
Sultan, saya belum bisa menghadap Kanjeng Sultan sekarang“
“Baik Ki Ageng, akan saya sampaikan kepada Kanjeng Sultan” jawab utusan dari Demak.
Setelah merasa cukup, maka kedua orang utusan itupun berpamitan, lalu kembalilah mereka
ke kotaraja Demak dan melaporkan hasilnya kepada Sultan Patah.
Tidak jauh dari daerah Pengging, di arah utara, di desa Tingkir di kaki gunung Merbabu, Ki
Ageng Tingkir, kakak iparnya sekaligus sahabatnya, menjadi cemas mendengar penolakan Ki
Ageng Pengging terhadap utusan raja, dan bergegaslah Ki Ageng Tingkir menuju Pengging.
Betapa senangnya Ki Ageng Pengging kedatangan kakak iparnya, tapi mukanya berubah
menjadi sedih ketika Ki Ageng Tingkir berkata :”Adi, aku mendengar kabar, adimas menolak
panggilan Sultan Demak, benarkah ?”
‘Ya kakang, itu benar, saya memang menolaknya, tidak ada gunanya saya menghadap Sultan
Demak, saya hanyalah seorang dari desa, tidak pantas apabila saya menghadap Kanjeng
Sultan Demak Bintara yang besar“ jawab Ki Ageng Pengging.
“Jangan begitu adimas, tidak ada salahnya adi menghadap Kanjeng Sultan ke Demak, Sultan
Demak bukan orang lain bagi adi, adimas adalah putra Adipati Dayaningrat, cucu sang Prabu
Brawijaya pamungkas, Sultan Bintara adalah kakak dari ibumu, dewi Asmayawati “ kata Ki
Ageng Tingkir.
“Kakang, kenapa baru sekarang Kanjeng Sultan teringat akan saudaranya yang di desa ?”
tanya Ki Ageng Pengging
“Adimas, menolak panggilan Raja dapat diartikan memberontak terhadap kekuasaan Sultan,
lebih baik Adi menghadap Kanjeng Sultan, biarlah kakang nanti mengantar adimas ke
Demak” kata Ki Ageng Tingkir.
“Sudahlah kakang, terima kasih, tidak usah, biarlah aku untuk kali ini tidak menghadap
Kanjeng Sultan” kata Ki Ageng Pengging.
Demikianlah, mereka berbincang sampai sore, Nyai Ageng Pengging saat itu dalam keadaan
hamil, sudah saatnya melahirkan.
Malam itu, Ki Ageng Pengging telah memanggil dalang wayang beber untuk main di
pendapa.
Hari itu, hari Rebo Legi, 8 Jumadilakir, tahun Dal, musim kelima, disaat hampir fajar,
lahirlah seorang bayi laki-laki, anak Ki Ageng Pengging.
“Kakang, sudilah kakang memberi nama pada anakku ini “ pinta Ki Ageng Pengging.
“Baiklah adimas, anakmu kuberi nama Mas Karebet, nama Karebet artinya adalah wayang
beber, karena lahirnya bertepatan dengan pertunjukan wayang beber” jawab Ki Ageng
Tingkir.
“Terima kasih kakang” kata Ki Ageng Pengging.
Selama tiga hari Ki Ageng Tingkir berada di Pengging, berbincang-bincang sambil melihat
dan menimang Mas Karebet dengan suka citanya.
Perjalanan dari Demak, menyusuri tepi sungai Tuntang, menuju arah ke selatan, lalu berbelok
ke arah matahari terbenam, jauh sebelum sampai di Rawa, rombongan berbelok ke selatan,
dikejauhan tampak gunung Telamaya dan gunung Merbabu, dan langkah kaki mereka terus
menuju daerah Pengging yg berada di kaki gunung Merapi.
Setelah sampai di Pengging, Ki Ageng Wanalapa langsung menuju pendapa Pengging,
mengutarakan maksudnya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging menyambut kedatangan tamunya, utusan dari Demak dengan penuh
hormat
“Selamat datang di Pengging, Ki Ageng Wanalapa, silahkan duduk “ kata Kebo Kenanga.
“Terima kasih anakmas Pengging” jawab Ki Ageng Wanalapa.
Setelah beristirahat sejenak, sampailah Ki Ageng Wanalapa menerangkan tujuannya
menemui Ki Ageng Pengging.
Semua yang diperintahkan oleh Kanjeng Sultan Bintara, telah disampaikan
semuanya :“Anakmas Pengging dipersilahkan sowan ke Kraton Demak, menemui Kanjeng
Sultan Bintara“
“Ki Ageng Wanalapa, saya mohon maaf, saat ini saya belum dapat sowan ke kotaraja
Demak” kata Kebo Kenanga.
“Berarti anakmas Pengging tetap tidak mau sowan Kanjeng Sultan” tanya Ki Ageng
Wanalapa.
Sebuah Sejarah Di Jawa | Perebutan Tahta Kasultanan Demak
3
“Belum Ki Ageng, sampaikan permohonan maaf saya kepada Kanjeng Sultan” jawab Ki
Ageng Pengging.
“Baiklah anakmas Pengging, saya beri waktu tiga warsa untuk sowan ke Demak, setelah
lewat tiga warsa, dan anakmas Pengging tetap tidak mau datang ke Demak, maka semua
tindakan selanjutnya terserah Kanjeng Sultan Bintara” kata Ki Ageng Wanalapa.
“Terima kasih Ki Ageng “ jawab Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Wanalapa beserta pengawalnya kemudian mohon pamit dan diantar sampai diluar
pendapa.
Kembali Ki Ageng Wanalapa beserta empat pengawalnya melakukan perjalanan ke arah
utara, menuju kotaraja Demak.
Sampai di kotaraja Demak, Ki Ageng Wanalapa tidak pulang kerumah dulu didaerah
Wanasalam, tetapi langsung menuju keraton Demak, menghadap Kanjeng Sultan Patah.
Setelah diterima Sultan Bintara, maka Ki Ageng Wanalapa menceritakan semua
pertemuannya dengan Ki Ageng Pengging, runtut teratur, mulai dari awal sampai akhir.
“Hamba memberi batas tiga warsa, kalau sudah sampai tiga warsa Ki Ageng Pengging tetap
tidak mau menghadap ke Kraton, maka hukuman yang harus diterima oleh Ki Ageng
Pengging terserah kepada Kanjeng Sultan” kata Ki Ageng Wanalapa.
“Baiklah kakang, sebelum tiga warsa, mudah-mudahan Adimas Kebo Kenanga mau datang
ke kotaraja Demak” kata Sultan Bintara.
Waktu terus berlalu, siang berganti malam, dan malampun telah berganti menjadi pagi, tak
terasa waktu sudah berjalan tiga warsa, dan selama ini Sultan terus menunggu kedatangan Ki
Ageng Pengging.
“Hmm penantian yang sia-sia” guman Sultan Bintara :“ Biar nanti Kanjeng Sunan Kudus
yang menyelesaikan persoalan ini, sebagai duta pamungkas“
Kanjeng Sultan lalu memanggil salah seorang prajurit Wira Tamtama, dan berkatalah Sultan
Bintara :“Pergilah dua orang prajurit ke Kudus, panggil Kanjeng Sunan Kudus sekarang
juga”
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata prajurit itu.
Bergegaslah prajurit itu, mengambil kudanya dan bersama seorang prajurit yg lainnya,
mereka memacu kudanya menuju Kudus.
“Persoalan Ki Ageng Pengging sudah merupakan tugas Kanjeng Sunan Kudus sebagai
seorang Senapati perang Kasultanan Demak“ guman Kanjeng Sultan.
Hari itu adalah hari Jum’at Pon, di suatu pagi hari yang cerah di daerah Pengging yang
terletak di kaki gunung Merapi, daerah yang subur, beberapa embun masih menempel di
daun, didalam halaman rumah Ki Ageng Pengging.
Dengan memanggul cangkul, Ki Ageng Pengging bersiap berangkat kesawah.
"Hm, kenapa hari ini hatiku merasa tak tenang" berkata Ki Ageng Pengging di dalam hatinya.
Ketika kakinya mulai melangkah, hati Ki Ageng tercekat, hampir terloncat, ketika mendengar
pekikan lirih seekor burung gagak.
“Kenapa suara burung gagak yang lemah, telah mampu mengejutkan aku” guman Ki Ageng
Pengging.
Keduanya lalu menuju pendapa dan utusan dari Tingkir itupun duduk berhadapan dengan Ki
Ageng Pengging.
“Saya hanya sebentar Ki Ageng, hanya menyampaikan berita, bahwa Ki Ageng Tingkir tadi
malam telah meninggal dunia “ kata utusan dari desa Tingkir.
Betapa terkejutnya Ki Ageng Pengging, mendengar berita itu, sesaat mulutnya seperti
terkunci, tapi setelah kesadarannya pulih, terdengar beberapa kalimat lirih, terucap dari
mulutnya.
Utusan dari Tingkirpun berdiam diri, menunggu perintah dari Ki Ageng Pengging.
“Pulanglah dulu ke Tingkir, aku segera kesana”, kata Ki Ageng Pengging.
“Baik Ki Ageng, saya mohon pamit”, kata utusan dari Tingkir yang segera berdiri, dan
berjalan menuju kudanya lalu dipacunya kembali kudanya menuju ke desa Tingkir.
Dari pendapa, Ki Ageng Pengging segera mencari istrinya, dan berkata :”Nyai, Ki Ageng
Tingkir telah meninggal dunia, aku akan pergi ke Tingkir sekarang”.
“Baik Ki Ageng” kata Nyai Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging segera menyiapkan kudanya, dan dipacunya dengan cepat menuju desa
Tingkir.
Mendung menyelimuti desa Tingkir, kedatangan Ki Ageng Pengging ke Tingkir, disambut
dengan linangan air mata Nyai Ageng Tingkir.
“Adi, kakakmu telah mendahului pergi“ kata Nyai Ageng Tingkir.
Ki Ageng Pengging tidak mampu berkata apapun, dirinya merasa kehilangan atas kematian
Ki Ageng Tingkir, terlintas dalam ingatannya, selama ini mereka bersama-sama menuntut
ilmu mengalami susah dan senang berdua, dan sekarang Ki Ageng Tingkir telah
mendahuluinya.
Dilihatnya Nyai Ageng yang masih berurai air mata, Ki Ageng Pengging berkata dalam
hati :“Betapa sepi hidup Nyai Ageng Tingkir“
Upacara pemakamanpun segera dilangsungkan, dan setelah selesai upacara pemakaman,
maka Ki Ageng Pengging minta diri pulang ke Pengging.
“Baik Adi, tapi bawalah barang-barang milik Ki Ageng Tingkir yang masih ada” kata Nyai
Ageng Tingkir.
“Saya tidak akan mengambil Nyai, tetapi saya akan ‘ninggali’, saya nanti yang akan
memberi, Nyai“ jawab Ki Ageng Pengging.
Pada saat yang sama, di kaki Gunung Muria sebelah selatan, di daerah Kudus, salah seorang
Wali Sanga yang juga merupakan Senapati Perang Kasultanan Demak, Sayyid Jaffar Shodiq,
yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus, sedang memberi pelajaran mengaji kepada
para santri di Panti Kudus.
Tapi Sunan Kudus melihat ada santri yang bertugas diluar ruangan, berdiri didepan pintu,
ingin mengatakan sesuatu kepada Sunan Kudus.
Sejenak, Sunan Kudus keluar ruangan, dan bergerak menemui santrinya.
”Ada apa ?” tanya Sunan Kudus.
“Ada tamu Kanjeng Sunan, dua orang prajurit Wira Tamtama dari kotaraja Demak, ingin
bertemu dengan Kanjeng Sunan” jawab santri tersebut.
“Baik, persilahkan dia duduk, aku segera kesana” jawab Sunan Kudus.
Setelah mengangguk hormat, santri tersebut bergegas menemui tamunya kembali.
Sunan Kudus kembali memasuki ruangan, memberi pengarahan kepada para santri, lalu
berjalan ke pendapa menemui dua orang prajurit Demak.
Di Pendapa, telah menunggu dua orang tamunya, dan Sunan Kudus pun menemuinya,
berbicara mengenai kabar keselamatannya.
Setelah berbicara panjang lebar, Sunan Kudus lalu berkata : “Ada titah Kanjeng Sultan
kepada saya ?”
“Ya Kanjeng Sunan, dawuh dalem Kanjeng Sultan Bintara, Kanjeng Sunan Kudus
diharapkan datang menghadap Kanjeng Sultan Bintara, sekarang” jawab salah seorang
prajurit Demak.
“Baik prajurit, kalian berangkatlah dulu, saya segera menyusul,” kata Sunan Kudus,
kemudian kedua Prajurit itupun mohon pamit, minta diri kembali ke kotaraja Demak.
Setelah itu, Sunan Kudus memerintahkan kepada dua orang santrinya, untuk mempersiapkan
tiga ekor kuda dan mengikutinya pergi menghadap Sultan Demak.
Berangkatlah Sunan Kudus disertai dua orang santrinya, menuju arah matahari terbenam, ke
arah barat, menuju kotaraja Demak.
Menjelang matahari terbenam, tiga ekor kuda memasuki kotaraja Demak dan langsung
menuju bangunan besar, Kraton Demak.
Sultan Bintara, yang memang telah menunggunya, langsung mempersilahkan Sunan Kudus
untuk masuk kedalam, sedangkan kedua santrinya menunggu di pendapa.
Esoknya, delapan orang terlihat keluar dari Panti Kudus, berjalan menuju arah selatan.
Mereka berjalan lurus, menyusuri sungai, dan menuju ke arah rawa.
Sunan Kudus menyuruh salah seorang santri untuk membawa sebuah bungkusan, yang
didalamnya terdapat sebuah bende pusaka Sunan Kudus yang suaranya ngedab-edabi, Kyai
Sima.
“Kita berjalan kearah selatan, menyusuri kali Serang, menuju kearah kaki gunung Merbabu,
setelah itu kita menuju arah gunung Merapi” kata Sunan Kudus.
Sunan Kudus, yang mengemban tugas dari Sultan Demak, mengajak tujuh orang santrinya,
berjalan cepat , menerobos hutan yang tidak begitu lebat, menuju daerah Pengging, dikaki
gunung Merapi .
Selain seorang santri membawa bende pusaka Kyai Sima, beberapa orang santri yang lain
telah membawa beberapa ontong jagung muda dan ketela pohon, sebagai bekal makanan,
meskipun mereka juga sudah terbiasa makan beberapa buah yang mereka jumpai di hutan.
Jauh sebelum mencapai kaki bukit Telomoyo, Sunan Kudus berbelok ke arah selatan, dan
sampailah rombongan itu di tepi sungai Cemara, kemudian merekapun bermalam di hutan itu.
Tepat pada waktu tengah malam, Sunan Kudus mengambil pusaka bende Kyai Sima yang
dibawanya, lalu iapun memukul bende itu dengan pelan, tapi akibatnya sangat mengejutkan.
Suara bende menggetarkan hati, seperti suara harimau mengaum menggelegar, menggetarkan
udara dingin di kaki gunung Merbabu.
Beberapa penduduk yang berada disekitar sungai Cemara, banyak yang tergetar hatinya
mendengar sebuah auman seekor harimau yang garang.
Rombongan Sunan Kudus, terus berjalan menuju pendapa Pengging, ketika dilihatnya
seorang wanita didalam halaman rumah, Sunan Kudus berkata :”Nyai, tolong sampaikan
kepada Ki Ageng Pengging, Sunan Kudus ingin menemuinya”
Perempuan itu lalu masuk kerumah, dan tak lama kemudian, Ki Ageng Pengging keluar
menemui tamunya.
“Silahkan duduk Kanjeng Sunan” kata Ki Ageng Pengging dengan penuh hormat.
“Terima kasih Ki Ageng” jawab Sunan Kudus, dan merekapun duduk di amben, di pendapa.
Setelah menanyakan kabar keselamatan masing-masing, berkatalah Sunan Kudus :“Ki
Ageng, dawuh dalem Kanjeng Sultan Demak Bintara, sekarang juga Ki Ageng harus
memilih, di luar atau didalam, memilih di atas atau dibawah”
Agak lama Ki Ageng berdiam diri, mencerna pertanyaan Sunan kudus, dan akhirnya dengan
tenang pertanyaan Sunan Kudus dijawabnya :”Kanjeng Sunan Kudus, luar dan dalam adalah
milikku, atas dan bawah adalah juga milikku, karena itu, saya memilih keduanya”
“Ki Ageng, dawuh dalem Kanjeng Sultan kepada saya untuk menjadi seorang duta
pamungkas, diberi purba wasesa penuh untuk menyelesaikan masalah Pengging” kata Sunan
Kudus.
“Baiklah Kanjeng Sunan, saya tetap dalam pendirian saya, saya memilih keduanya” jawab Ki
Ageng Pengging.
"Jawaban Ki Ageng berarti Ki Ageng Pengging tetap tidak mau menghadap kepada Kanjeng
Sultan di Demak Bintara" kata Sunan Kudus.
"Belum Kanjeng Sunan" kata Kebo Kenanga.
“Ki Ageng, apa boleh buat, saya hanya sebagai orang yang melaksanakan perintah raja” kata
Sunan Kudus.
“Lalu apa yang Kanjeng Sunan kehendaki ?“ tanya Ki Ageng Pengging.
“Kematian Ki Ageng Pengging” jawab Sunan Kudus tegas.
Perlahan-lahan Sunan Kudus meletakkan tubuh Ki Ageng Pengging di amben, dan perlahan-
lahan pula, Sunan Kudus bersama para santrinya, meninggalkan halaman rumah penguasa
Pengging.
Setelah keluar dari halaman, Sunan Kudus bersama tujuh orang santrinya berjalan cepat
menerobos hutan, menuju kearah utara.
Di pendapa rumah, Nyai Ageng Pengging yang keluar membawa kendi berisi air minum
untuk tamunya, hanya melihat tubuh Ki Ageng Pengging yang terbujur di atas amben.
Jerit Nyai Ageng, mengakibatkan beberapa tetangga mendatangi rumahnya, sesaat kemudian
terdengarlah suara kentongan dipukul keras dengan irama cepat, titir.
Di siang hari yang sepi, Pengging diributkan oleh suara titir yang ber sahut-sahutan, dan tak
lama kemudian, belasan orang berkumpul di rumah Nyai Ageng Pengging, dan mereka
semuanya berlarian mengejar pembunuh Ki Ageng Pengging.
Ketika mereka memasuki hutan, belasan orang yang mengejar Sunan Kudus, terpaksa
menghentikan pengejarannya, karena dari dalam hutan terdengar suara harimau mengaum
dahsyat yang mampu menggetarkan udara Pengging.
Puluhan penduduk Pengging memilih kembali pulang ke rumah Nyai Ageng, untuk merawat
dan memakamkan jenazah Ki Ageng Pengging.
Sementara itu, setelah melintasi daerah di kaki gunung Merbabu, dengan cepat Sunan Kudus
bersama tujuh orang santrinya berjalan kearah sungai Tuntang di sebelah timur rawa Pening.
“Kita bermalam di tepi sungai Tuntang” kata Sunan Kudus.
“Baik Kanjeng Sunan” kata beberapa santrinya.
“Kita berjalan ke arah Kudus atau langsung menuju ke kotaraja Demak, Kanjeng Sunan? “
tanya salah seorang santrinya.
Malam itu rombongan Sunan Kudus bermalam di hutan, dengan batu titikan dan serabut aren
kering, salah seorang santri membuat api, sedangkan santri yang lain mengeluarkan jagung
dan ketela pohon.
Dengan berkerudung kain panjang, mereka menikmati ketela bakar dan jagung bakar
”Alangkah nikmatnya jagung bakar ini’ kata salah seorang santri.
“Ya, ketela pohon ini kebetulan mempur, empuk sekali” kata santri lainnya.
Malam itu rombongan Sunan Kudus tertidur nyenyak, dan sebelum fajar, mereka terbangun.
Setelah menunaikan kewajiban sholat Subuh berjama’ah, maka Sunan Kudus mengajak
mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Tuntang menuju arah matahari terbit.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, mereka hampir sampai disuatu kedung yang tenang.
“Didepan ada Kedung Srengenge, kedung itu dalam, kita sedikit memutar, jangan lewat
kedung itu, berbahaya, banyak buaya”, kata Sunan Kudus.
Setelah melewati kedung Srengenge, Sunan Kudus menuju arah utara, dan ketika matahari
tepat diatas kepala, rombongan telah tiba di sebuah ara-ara yang keluar apinya, Mrapen.
“Kita beristirahat disekitar tanah yang mengeluarkan api’ kata Sunan Kudus
“Setelah dari daerah Mrapen, kita lanjutkan perjalanan kita, kotaraja Demak sudah dekat”
kata Sunan Kudus.
Di kotaraja Demak, matahari hampir terbenam, ketika terlihat Sunan Kudus yang sedang
berjalan diikuti tujuh orang santrinya, menuju Kraton Kasultanan Demak.
Dua orang prajurit di pintu gerbang, yang mengenal Sunan Kudus sebagai senapati Perang
Kerajaan Demak, mengangguk hormat.
Sunan Kudus memerintahkan para santrinya untuk menunggu diluar pintu gerbang, hanya
Sunan Kudus sendiri yang masuk kedalam kraton.
Di ruang dalam, dua orang prajurit Wira Tamtama, prajurit pengawal raja, mengangguk
hormat ketika melihat Sunan Kudus.
“Sampaikan kepada Kanjeng Sultan, aku akan menghadap” kata Sunan Kudus.
Sebuah Sejarah Di Jawa | Perebutan Tahta Kasultanan Demak
10
“Baik Kanjeng Sunan” kata salah seorang prajurit Wira Tamtama, dan langsung berjalan
menuju ruang dalam.
Tak lama kemudian Prajurit Wira Tamtama keluar dari ruang dalam dan berkata ”Kanjeng
Sunan dipersilakan masuk, ditunggu Kanjeng Sultan di ruang dalam”
“Terima kasih” kata Sunan Kudus, lalu Sunan Kudus berjalan menuju ruang dalam.
Didalam ruangan, sudah menunggu Kanjeng Sultan Patah, dan ketika melihat Sunan Kudus
masuk ruangan, Sultan Bintarapun berdiri dan menyambut :”Silakan duduk Kanjeng Sunan”
Setelah mengabarkan keselamatan masing-masing, mulailah Sunan Kudus bercerita mulai
dari awal, sampai terbunuhnya Ki Ageng Pengging.
“Hanya satu permintaan Ki Ageng Pengging, rakyat Pengging jangan di sangkut pautkan
dengan peristiwa ini” kata Sunan Kudus.
“Baik Kanjeng Sunan, kita anggap persoalan Ki Ageng Pengging sudah selesai, rakyat
Pengging tidak akan disangkut pautkan dengan persoalan Adi Kebo Kenanga” kata Sultan
Bintara.
"Terima kasih Kanjeng Sultan" kata Sunan Kudus.
“Malam ini Kanjeng Sunan menginap di Demak saja, besok pagi baru ke Kudus” kata Sultan
Demak Bintara.
“Terima kasih Kanjeng, hamba mohon diri, besok setelah terbit fajar, hamba langsung pulang
ke Kudus”” kata Sunan Kudus,
Setelah berpamitan, maka Sunan Kudus berjalan keluar ruangan, menemui Wira Tamtama. “
Saya beserta tujuh orang santri, diperintahkan Kanjeng Sultan untuk bermalam di Demak”
“Baik Kanjeng Sunan, kamar segera kami siapkan” kata seorang Wira Tamtama.
Malam itu, Sunan Kudus beristirahat dan tidur di Demak, dan ketika keesokan harinya langit
diatas Demak sudah terlihat terang, berjalanlah Sunan Kudus diiringi tujuh orang santrinya,
meninggalkan kotaraja Demak menuju Kudus.
Hari berganti hari, tujuh hari setelah kematian Ki Ageng Pengging, kembali mendung tebal
menyelimuti desa Pengging yang terletak di kaki gunung Merapi.
Pagi itu, udara sejuk di kaki gunung Merapi digetarkan oleh bunyi kentongan satu dua, satu
dua, terus menerus tanpa henti.
Seorang petani yang sedang mencangkul di sawah, menengadahkan kepalanya :“Suara
kentongan satu dua, ada orang yang meninggal dunia, siapa dia ? “
“Di sebelah selatan, arah rumah Nyai Ageng Pengging” katanya dalam hati.
Diletakkan cangkulnya, lalu dibersihkannya, kemudian dengan cepat ia berjalan menuju
rumah Nyai Ageng Pengging.
Ternyata saat itu sudah banyak orang yang berkumpul dirumah Nyai Ageng Pengging,
“Siapakah yang telah meninggal dunia ?” orang itupun bertanya kepada tetangganya.
“Nyai Ageng Pengging telah meninggal dunia” kata tetangganya itu.
Gemparlah seluruh desa Pengging, Nyai Ageng Pengging meninggal dunia tujuh hari setelah
meninggalnya Ki Ageng Pengging.
Menjelang sore hari, perlahan-lahan masuklah Nyai Ageng Tingkir ke halaman rumah Nyai
Ageng Penging, ditemuinya pengasuh Karebet
“Dimana anakku Karebet ?” tanya Nyai Ageng Tingkir.
“Sejak pagi hari Mas Karebet tidak kelihatan, mungkin bermain dihutan Nyai Ageng” kata
pengasuh Karebet.
“Apakah Karebet sering pergi sendiri, padahal usianya baru tiga warsa ?" tanya Nyai Ageng
Tingkir.
“Ya Nyai Ageng, Mas Karebet sering bermain di hutan” jawab pengasuhnya.
Malam itu Nyai Ageng Tingkir menginap di rumah Nyai Ageng Pengging, dan malam itu
Karebet yang masih kecil tidak pulang kerumah.
"Karebet, kau tidur dimana malam ini ngger” guman Nyai Ageng Tingkir.
Keesokan harinya, ketika langit di arah timur sudah memerah, Nyai Ageng Tingkir masih
menunggu kedatangan Karebet, setelah hari menjadi terang, terlihat seorang anak kecil
berjalan memasuki halaman rumah Nyai Ageng Pengging,
Melihat kedatangan Karebet, Nyai Ageng Tingkir tidak bisa menahan tangisnya, dan berlari
nyongsongnya, Karebet di peluk dan digendongnya masuk ke dalam rumah.
“Anakku Karebet, kau dari mana saja ngger” kata Nyai Ageng Tingkir.
Pagi itu, Nyai Ageng Tingkir mengumpulkan penduduk Pengging, dan berkatalah Nyai
Ageng Tingkir dihadapan rakyat Pengging.
”Saudaraku semua rakyat Pengging, saya minta kerelaan hati saudaraku semua, hari ini Mas
Karebet akan saya bawa ke Tingkir, sekarang saya yang akan menjadi biyungnya, biarlah
disana Karebet menjadi anak saya, nanti apabila Ki Kebo Kanigara pulang ke Pengging dan
bertanya tentang Mas Karebet, jawablah, Mas Karebet berada di desa Tingkir, dan sekarang
ia telah menjadi anakku” kata Nyai Ageng Tingkir
Terbayang wajah Nyai Ageng Tingkir yang cemas sedang menanti kedatangannya.
“Tidak lama, aku pergi hanya dua candra saja“ kata Karebet didalam hati, masih lebih lama
ketika ketika dia berada di Sela , setelah dari Sela, berjalan ke arah timur, melewati pinggir
bleduk lumpur lalu berbelok ke arah utara, berjalan melingkari gunung Muria, mengunjungi
bandar Jepara lalu berjalan menyusuri pantai hingga sampai daerah Asem Arang.
"Hanya dua candra” kata Karebet, dua candra, waktu yang sama seperti ketika dia pergi ke
gunung Sumbing , lalu berjalan mendaki gunung Sindoro, diteruskan dengan mendaki ke
gunung Prahu yang dipuncaknya terdapat reruntuhan candi.
Kedua kakinya terus melangkah dengan irama yang teratur, menuju desa Tingkir.
Memasuki desa Tingkir, Karebet berjalan cepat menuju rumahnya, dilihatnya seorang
perempuan tua sedang menyapu halaman.
Nyai Ageng Tingkir yang sedang menyapu halaman, terkejut dan segera melemparkan
sapunya ketika dilihatnya Karebet berjalan ke arahnya.
Dipeluknya badan karebet yang tegap, pelukannya masih seperti ketika dia memeluknya
semasa masih anak-anak.
“Ngger anakku Karebet, kau pergi terlalu lama, sudah enam candra kau tidak pulang, kau
tinggal biyungmu sendiri dirumah” kata Nyai Ageng Tingkir.
“Tidak biyung, aku hanya pergi dua candra” jawab Jaka Tingkir.
“Enam candra ngger, kau telah pergi terlalu lama, enam candra” kata biyungnya.
“Ya biyung” sahut Karebet yang heran mendengar perkataan Nyai Ageng Tingkir.
Nyai Ageng Tingkir melepaskan pelukannya, masih dengan berurai air mata, dibimbingnya
tangan karebet dengan penuh kasih “Makanlah dulu ngger, kau pasti lapar”
“Ya biyung” jawab Karebet.
Sebuah Sejarah Di Jawa | Perebutan Tahta Kasultanan Demak
13
"Ngger Karebet, bersihkan dulu tanganmu di belakang" kata Nyai Ageng Tingkir menyuruh
Karebet kebelakang rumah untuk mencuci tangan dan kakinya, sedangkan dia sendiri sibuk
menyiapkan nasi dan sayur serta mengambil kendi yang berisi air minum.
"Kasihan anakku Karebet, ia pasti lapar" kata Nyai Ageng Tingkir dalam hati.
"Makanlah ngger Karebet" kata Nyai Ageng Tingkir.
"Ya biyung' jawab Karebet, dan iapun makan nasi sambil duduk di atas lincak.
"Ngger Karebet anakku, sepasar yang lalu, uwamu, kakang Kebo Kanigara datang kesini
mencarimu" kata Nyai Ageng Tingkir.
"Siwa Kebo Kanigara kesini seorang diri biyung?" tanya Karebet.
"Ya, uwamu ke sini sendiri" kata Nyai Ageng Tingkir.
Sambil mengunyah makanan, pikiran Karebet terus melayang, uwanya, Kebo Kanigara,
kakak dari ayahnya, Kebo Kenanga, sudah beberapa kali menemui dirinya di Tingkir,
mengamati perkembangan ilmunya, bahkan sering juga mereka berlatih olah kanuragan
bersama.
Kebo Kanigara yang mumpuni dalam ilmu kanuragan, sangat memperhatikan perkembangan
ilmu Karebet, dan dari Kebo Kanigara lah dia menerima ilmu perguruan Pengging yang pada
saat itu didalam dirinya telah luluh dengan ilmu dari beberapa perguruan lainnya.
Sambil terus mengunyah makanan, angan-angannya terus melayang, mengembara tinggi di
awan.
Terbayang kembali, ketika setahun yang lalu dirinya berjalan sendiri dari daerah Asem Arang
menuju ke arah matahari terbenam.
Dari bandar Bergota, Karebet membawa sebuah bungkusan kecil berisi selembar dua lembar
pakaian dan beberapa makanan, berjalan ke arah barat menerobos semak dan perdu, berenang
menyeberangi dua sungai besar, dan sampailah dia di hutan yang lebat, Alas Roban.
Matahari yang berada diatas kepalanya, tidak mampu menerobos lebatnya hutan, dan
Karebetpun berjalan semakin ke tengah hutan yang rapat dengan pepohonan yang tinggi.
Alas Roban yang penuh dengan pohon-pohon besar, seperti bayang-bayang hantu yang
tangannya siap menerkam, tetapi yang akan diterkamnya adalah Karebet, ayam jantan dari
Pengging, seorang pemberani, keturunan raja Majapahit, cucu buyut raja Majapahit Prabu
Brawijaya Pamungkas.
Karebet berjalan terus, dan ketika dilihatnya didekat sebuah pohon munggur ada sebatang
pohon yang roboh melintang di tengah jalan, maka Karebet berniat beristirahat duduk disitu.
Perutnya yg memang sudah terasa lapar, minta segera diisi, kemudian diambilnya dari dalam
bungkusan yang dibawanya, sebuah ketela rebus.
"Ketela ini terasa manis" kata Karebet lirih.
Ketika Karebet sedang makan, didengarnya ada suara berisik yang lemah, dan dengan
panggrahitanya yang tajam, dia bisa merasakan, ada beberapa pasang mata yg sedang
mengawasinya.
Karebet segera berdiri, bersiaga penuh, siap menghadapi segala kemungkinan.
"Silahkan ki sanak keluar, jangan bersembunyi dibalik pohon" kata Karebet.
"Serahkan bungkusan itu atau kau memilih mati disini" sambungnya lagi.
Berhadapan dengan gerombolan begal Alas Roban, Karebet merasa tidak ada jalan lain,
selain bertempur.
"Ambilah kalau ki sanak mampu" kata Karebet bersiaga.
Terdengar suitan nyaring dari pemimpinnya, dan ke empat begal Alas Roban segera
menyerang Karebet.
Dengan tangkasnya Karebet menghindari ayunan golok perampok yang bertubuh tegap
gagah, tetapi belum juga kakinya berdiri mapan, pedang pendek perampok bertubuh tinggi
mendesir disamping telinganya, setelah itu disusul tusukan pedang yang hampir bersamaan
dari dua perampok lainnya.
Tubuh Karebet bergerak cepat, serangan lawannya dapat dihindari, bahkan ujung jarinya
bergerak cepat akan menyentuh leher pemimpin perampok, tapi terpaksa ditarik kembali
karena datang serangan tebasan pedang pendek perampok lainnya,
Karebet melompat kebelakang, tapi begal Alas Roban tidak melepaskannya, ke empat
perampok itu bergantian menyerang.
Sebuah pedang terjulur ke arah lambung, memaksa Karebet menghindar dengan menggeliat
kesamping, disusul datang serangan tendangan kaki dari pemimpin begal, Alas Roban, tidak
ada jalan lain selain menangkis dengan sikunya.
Sesaat kemudian terjadi benturan keras, siku Karebet menangkis tendangan kaki pemimpin
perampok, dan akibatnya membuat pemimpin perampok terkejut.
Siku Karebet bergetar, tapi kaki pemimpin perampok itu terpental, terlempar kebelakang,
terlihat dia berguling sekali, lalu dengan susah payah dia berusaha berdiri, siap untuk
menyerang Karebet sekali lagi.
Beberapa saat telah berlalu, perkelahian masih berlangsung cepat, pemimpin gerombolan
begal Alas Roban menjadi heran, sudah sekian lama mereka mengeroyok seorang pemuda,
tapi belum bisa mengalahkannya.
Jangankan mengalahkan lawannya yang masih muda, menyentuh tubuhnyapun, mereka tidak
mampu.
Dengan sepenuh tenaga, pemimpin perampok mengayunkan goloknya, tapi alangkah
terkejutnya, ketika telapak tangannya menjadi sakit ketika goloknya seakan-akan membentur
sebuah perisai yang tidak terlihat, yang hanya berjarak sekilan dari tubuh pemuda perkasa itu.
Dengan sebuah tendangan mendatar, tumitnya mengenai pinggang salah seorang perampok,
lalu tangannya bergerak cepat memukul tangan yang memegang pedang.
Perampok itu hanya merasa tangannya bergetar keras dan sekejap kemudian, ternyata
pedangnya sudah berpindah ketangan lawannya.
Melihat lawannya kini memegang sebuah pedang, begal Alas Roban merasa tidak akan
mampu mengalahkan pemuda perkasa itu, maka pemimpin perampok dengan cepat membuat
suatu keputusan untuk menyelamatkan diri.
Sekejap kemudian terdengar sebuah suitan nyaring, dan keempat gerombolan begal Alas
Roban yang ganas dengan cepat melarikan diri masuk kedalam gerumbul pepohonan di
tengah hutan.
Karebet hanya memandang kearah hilangnya para perampok, dan sekarang ditangannya
tergenggam sebuah pedang milik salah seorang begal Alas Roban.
Namun sesaat kemudian Karebet terkejut bukan buatan, ketika ia mendengar suara orang
batuk, disertai dengan suara gemerisik dibalik pohon munggur.
Ternyata seseorang bersembunyi dibalik pohon munggur tanpa dketahuinya, dan suara
nafasnya tidak dapat ditangkap oleh lantipnya panggrahita, pasti dia orang pinunjul, seorang
yang mumpuni dalam olah kanuragan.
Karebet tidak sempat berpikir siapa orang yang telah bersembunyi dibalik pohon, yang dapat
dilakukan saat itu adalah mengetrapkan Aji Lembu Sekilan sejauh kemampuannya.
Karebet bergerak memutar tubuhnya menghadap ke arah pohon munggur, bersiaga
sepenuhnya menghadapi orang yang bersembunyi dibalik pohon itu.
Sekejap kemudian Karebet terlihat berdiri kokoh diatas kedua kakinya yang renggang, jari
tangannya dengan kuat menggenggam pedang rampasan, mengetrapkan Aji Lembu Sekilan
yang telah manjing dalam dirinya, dalam tingkat kemampuannya yang paling tinggi, dan ia
pun telah bersiap sepenuhnya menghadapi serangan orang yang bersembunyi dibalik pohon
munggur.